Jumat, 18 November 2022

Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer #34/44


Arus Balik. 
Karya : Pramoedya Ananta Toer.

Bagian 34.

Kekacauan di Jawa Pada sadar. Keadaan telah sunyi dan malam telah larut. Galangan dan bangunan lainnya di pelabuhan telah runtuh menjadi bara.
Di sana-sini api masih menyala rendah. Sekali lagi ia membersihkan diri.
Dijepitnya pakaian kotor itu dengan jari, disangkutkan bawaannya yang lain pada lengan, dan ia turun ke bawah. Di sana ia bersihkan dari kotorannya sendiri. Ia merasa kurang patut meninggalkan tempat itu begitu saja. la naik lagi. Belum lagi separoh tangga ia teringat pada keselamatannya sendiri. Tak jadi. Turun lagi.
Di bawah ia merasa resah karena belum merasa bersih. Ia paksakan diri berpikir sejenak di mana kiranya bisa mendapatkan air. Satu pikiran menegahnya: Tuban telah jatuh, mereka sedang nyenyak dalam kemenangan dan kepuasan sehabis menghalau musuhnya dan menjarahmenjarah. Cepat-cepat kau pegi sekarang juga! Jangan pikirkan kebersihan.
Ia berjalan liar, mata tak tenang. Tak diperhatikannya lagi bau yang mengikuti dirinya barang ke mana ia melangkah. Tenaganya mulai pulih sebagai semula. Dan ia merasa sungguh malu pada ketakutannya sendiri seakan ia tidak percaya pada kekuasaan Tuhannya. Kalau peristiwa itu terjadi sekali lagi, aku takkan setakut itu, ia berjanji pada dirinya sendiri.
Sesampainya di luar kota ia memasuki pekarangan rumah yang telah ditinggalkan, langsung mencari sumur dan membersihkan diri, mencuci pakaian yang dikenakannya. Mandi sekali lagi dan sekali lagi, hati-hati, tanpa membangkitkan bunyi.
Dengan mengenakan pakaian basah ia mengambil wudhu dan bersembahyang di beranda rumah kosong yang telah dilanda para penjarah.
Selesai itu ia meneruskan perjalanannya dalam pakaian basah. Dan malam itu dingin, perutnya lapar. Angin menjadi siksaan yang tak terlawankan. Untuk menahan diri dari gigilan sengaja ia mempercepat jalan, tubuh lari sampai terengah-engah.
Ia mengerti takkan mungkin dapat menemui Sang Patih dalam keadan perang ini. la pun tak tahu ada di mana dia. Seperti dengan sendirinya kakmya bergerak ke sebuah titik: Awis Krambil Idayu. Ah, benar ia mengakui. Idayulah yang meniupkan keberanian menerobos! Tuban. Kota dalam pendudukan Demak, la berjalan cepat, lari, terengahengah.
Waktu matari pagi datang lagi ia menyelinap masuk ke dalam hutan, mencari persembunyian sambil menunggu datangnya malam, dan sambil mencari buah-buahan ia memakannya. Segala yang dapat dimakannya peda muson kering itu dilahapnya: dedaunan muda, buah, dalam serangan nyamuk. di atas timbunan semak yang sebelumnya telah di-injak-injaknya menjadi kasur.
la bermimpi ditubruk macan dan terbangun. Darahnya masih berdeburan kencang. Ia hendak segera lari. Suatu benda berat dan hangat terah menahannya, la dengar nafas hangat memuputi mukanya. Dan ia meronta. Kemudian ia dengar suara: Bangun! Ya-ya, bangun, suara wanita.
Dengan tangan ia menggapai-gapai. Ia berada dalam pelukan seseorang.
Tidak salah lagi. Pada Uh ini, suara seorang wanita lainnya.
Pada merontak bangun. Mati, matilah aku sekarang, pikirnya, mereka sudah tangkap aku.
Tidak salah lagi terdengar wanita lain berseru lega, memang Pada ini
Benar, seru wanita lain menggarami dengan suara hati-hati. Tahi lalat di puncak kuping kirinya tak dapat dicuri. Memang dia.
Sudah jantan dia sekarang, suara wanita pertama-tama menambahi dan pelukannya dilepaskan.
Pada berhasil mengebaskan diri dan melarikan diri. Ternyata tangan berbelas orang wanita itu tak dapat diatasinya. Ia merasa sedang lari di atas hawa dengan kaki terpakukan pada tanah.
Jangan lari Pada! mereka menegah. Kau harus tolong kami Mendengar kata tolong barulah Pada mencoba mengetahui siapa o-rang-orang itu. Sekarang ia dikepung rapat oleh lebih dari dua puluh orang: Semua wanita. Ya. wanita. Mengapa wanita" Tak ada seorang pun di antaranya bersenjata. Dan tangan-tangan mereka tak ada yang kasar. Semua halus. Dan wajah mereka nampak tak pernah kena sinar matari, kemerah-merahan, kulitnya memancarkan kesehatan. Dan semua can-tik-rupawan. Tak seorang pun di antara mereka bergigi hitam, adalah tanda mereka semua tak bersuami. Tetapi mengapa tidak hitam" Adakah semua penari" Hanya seorang di antara mereka nampak lebih tua, dan seorang sangat muda, bermata sipit, jelas seorang gadis Tionghoa.
Lupakah kau padaku, Pada" Pada kami" Jantanku" seseorang bertanya. Mengapa nampak takut pada kami"
Lambat-lambat tapi pasti ingatan Pada mulai bekerja dan mencakup kenangan lama: para selir Sang Adipati! Ia tersenyum. Sekilas saja. Tiba-tiba ia bergidik.
Lepaskan aku. pintanya sopan. Mengapa Nyi Ayu sekalian ada di sini"
Kau belagak bodoh. Pada. Dari mana saja kau, sampai tak tahu ada perang" Dan Gusti Adipati sudah mangkat"
Mengapa kau tersenyum goblok begitu, Pada" seseorang bertanya, kemudian menggelendot padanya.
Pada sedang teringat pada sumpah Wiranggaleng. Dan sekarang Hang Wira telah terbebas dari sumpahnya: Sang Adipati telah mangkat. Ia bisa pulang ke Tuban. Senang kau melihat kami terlantar seperti ini" Mari aku antarkan ke perbatasan. Semua dari perbatasan, bukan"
Tidak semua, salah seorang menyangkal.
Aku pun tidak! yang paling tua di antara mereka membenarkan. Suaranya tegas dan mantap.
Dan sahaya dari Lao Sam, gadis Tionghoa itu memperdengarkan suaranya.
Pada menatap yang tertua dan termuda itu bergantiganti. Ia belum pernah mengenal mereka. Yang tua tentulah pengurus keputrian, yang muda tentu selir terbaru.
Nyi Gede" ia bertanya pada yang tertua, dan orang itu menjawab dengan sembah dada.
Pada merasa agak berbesar hati. Setidak-tidaknya ada di antara wanita-wanita cantik tak berdaya ini seorang juara bela diri. Ia melihat ketabahan pada matanya, namun tak tahu apa harus diperbuat dalam keadaan seperti itu. Mari berjalan, Pada menyilakan.
Kakiku, Pada, seseorang menyatakan protes sambil memijit-mijit kakinya.
Kalau suka. Kalau tidak, terserah. Aku akan berjalan terus dan ber-cepat-cepat. Barangsiapa ikut, mari. Jangan harapkan aku mau menggendong.
Jantanku! Jantanku! Begitu kejamnya kau sekarang. Lupa kau pada Nyi Ayu Sekar Pinjung"
Pada tertegun dan menengok padanya.
Barangkali karena aku sudah jadi tua begini, Pada" Dan Pada merasa iba. Tapi cepat-cepat dibuangnya perasaan.
Ia mulai berjalan bergegas mencari jalan setapak, menyasak semak dan belukar. Selir-selir itu berlarian mengikutinya seperti anak-anak ayam membuntuti induknya. Dan semua membawa bungkusan, di-sunggi di atas kepala, dibopong atau digendong. Dari ujung paling belakang wanita-wanita harem itu nampak seperti cendawan yang sedang bergerak berpindah tempat.
Dan jantan yang seorang itu tak mau menengok barang sekali, seakan ia sedang memperlihatkan diri sudah memunggungi masa lalunya untuk selama-lamanya. Antara sebentar ia dengar suara memanggil-manggil minta ditunggu. Ia tak peduli. Bahkan untuk mau diikuti saja baginya sudah pahala yang mencukupi.
Seorang yang tercucuk duri berjalan berjingkat-jingkat, terus lari mengejar, takut ketinggalan. Dan kecuali Nyi Gede semua berebutan untuk berada di dekat Pada.
Dan Pada merasa seorang yang paling berani di atas bumi ini.
Nampaknya Nyi Gede Daludarmi telah banyak mendengar tentang pada. Dari buntut barisan ia berseruseru: Pada, Pada, berhenti dulu! katanya seperti memerintah.
Dan Pada berhenti, berpaling ke belakang. Wanitawanita itu mulai melaluinya, dan ia berhadapan dengan pengurus harem itu.
Gusti Adipati sudah mangkat, katanya bersungguhsungguh, tapi aku masih membawa tugasnya, mengemong wanita-wanita ini. Aku tak peduli apa hubunganmu dengan mereka di masa-masa yang lalu. Aku pun tak peduli apa perasaanmu sekarang ini terhadap mereka. Aku minta, pandanglah mereka sebagai wanita tak berdaya, yang membutuhkan perlindungan.
Sejenak Pada memberontak terhadap kata-kata itu. Wanita seorang yang ada di hadapannya itu nampak teguh pada tugasnya.
Aku ada kepentingan sendiri Pada menerangkan. Bila pasukan Demak memburu, kau pun tak bakal selamat sendiri, kita tumpas bersama. Untuk apa memburu kepentingan sendiri" Kepentingan kita semua sama: selamat
Dan mereka yang telah melewatinya kini pada berbalik melingkunginya. Tanpa bicara semua orang setuju: musuh paling ganas adalah pasukan yang sedang menang, bukan binatang buas hutan. Tapi hutan itu makin lama makin rapat juga.
Pada mulai berjalan pelan-pelan dan Daludarmi tetap berada di belakang barisan, melakukan tugasnya sebagai penjaga dan pengemong. Di depan barisan Pada dapat merasakan, ia menaruh hormat padanya, tapi ia takkan mengucapkannya.
Beberapa orang telah mengeluh kelaparan. Ia tak menggubris, la sendiri lapar Dan wanita-wanita itu tak mengerti dan tak menanyakan lagi kapan si jantan itu akan berhenti untuk beristirahat Ia dengar seorang-dua mulai menangis manja. Akhirnya ia tak tahan, berhenti.
Senja telah membikin hutan rapat itu jadi gelap. Perjalanan memang sudah tak mungkin dapat diteruskan. Ia memerintahkan menyiapkan tempat tidur masing-masing di atas semak-semak yang diinjak-injak. Beberapa orang mulai menggelar apa saja yang patut dipergunakan jadi tilam. Api unggun disiapkan.
Ia kemudian menyiapkan obor dari ranting-ranting dan pelepah kering. Dengan itu ia memimpin mereka mencari umbi-umbian dan buah-buahan. Dan semua mengikuti perintahnya dengan diam-diam. Ia sengaja menghindari percakapan.
Dengan diam-diam pula orang membakar dan memahami pendapatan mereka.
Waktu mereka bersiap-siap hendak tidur, tilam mereka telah dirambati oleh semut dan segala macam serangga, juga ulat berbagai macam. Orang menjadi sibuk membersihbersihkan.
Pada memisahkan diri di tempat yang jauh, pura-pura tak mengetahui sesuatu. Melihat itu perempuan-perempuan itu berebutan menyusul dan memilih tempat sedekatdekatnya dengannya. Dan dalam malam menjelang tidur demikian ketakutan lebih banyak pada binatang buas daripada manusia buas.
Daludarmi mengawasi semua itu dengan prihatin. Melihat Pada risi terhadap momongannya ia pun merasa risi. Seorang diri ia pergi ke api unggun dan menjaganya agar tak padam sampai tengah malam.
Dalam desakan wanita yang terbaring di sampingmenyampingnya Pada memikirkan soal lain: sekiranya Sang Adipati masih hidup, apakah yang akan diperbuatnya terhadap tubuh-tubuh pilihan yang sekarang ini mengepungnya" Adakah dia akan melindungi mereka dari balatentara Demak" Ataukah dia akan melarikan diri sendiri" Dalam keadaan bahaya yang tak dapat ditawartawar ini" Dan dengan puas hati ia menjawab pertanyaannya sendiri: dia akan hanya selamatkan diri sendiri. Dan ia merasa puas, bahwa seorang Pada yang telah lolos dari hukuman matinya, justru yang melindungi orang-orang penghiburnya selama itu. Pada! tidak lain dari Pada!
Di tengah-tengah hutan, di tengah-tengah para selir ini, ia merasa sebagai manusia yang lebih agung daripada seorang Adipati yang pernah berkuasa atas hidup dan matinya. Dan telah mati terlebih dahulu, dan wanita-wanita penghiburnya ini kini jatuh dalam kesediaannya. Ia jadi iba hati.
Bukan hanya Sang Adipati, ia berani memastikan, sebagian besar di antara mereka ini pernah ia gauli semasa ia masih kanak-kanak, dan mungkin masih ada juga jantan lain. Tuhan, ampunilah orang-orang ywg tak punya kemauan sendiri ini. Ampunilah aku, hambaMu ini, yang karena kedaifan, tanpa ajaranMu, telah melanggar laranganMu.
Selir-selir yang jauh daripadanya, dan tak yakin akan keselamatan dirinya, terus juga berebutan dekat dengannya, berebutan memeluk atau memeganginya untuk mendapatkan perasaan terlindung dari binatang buas.
Dan Pada meronta bangun juga akhirnya. Lepaskan aku! pintanya lembut Takut, Pada, kami semua takut.
Kalian tidur yang tertib, biar aku yang menjaga. Ayoh, tidur, api itu pun harus kujaga. Dari kejauhan terdengar auman harimau. Semua terdiam, juga Pada.
Macan, akhirnya seseorang berbisik memperingatkan. Karena itu jangan gelisah begini. Tidur, biar Pada bisa menjaga kalian. Kalau tak mau tidur dengan tertib, biar aku pergi seorang diri malam ini juga.
Dan pergilah ia ke api unggun. Di sana didapatinya Nyi Gede Daludarmi. Dari tempatnya wanita itu memperingatkan para selir. Kalau tak mau diatur, uruslah sendiri diri kalian. Biar macan pada berdatangan. Dan Pada berjalan mondar-mandir seperti seorang kaisar yang paling berkuasa, seorang pahlawan yang paling berani, seorang panglima yang kehabisan musuh.
Wanita-wanita itu tak dapat berbuat lain daripada mengikuti perintah. Tiada antara lama kemudian mereka mulai tertidur. Pada mendengar Daludarmi menghembuskan nafas keluh. Boleh jadi ia sedang menyesalkan haridepannya yang gelap tanpa ada Sang Adipati dan tanpa ada harem. Tanpa bicara ia berdiri, menggabungkan diri dengan yang lain-lain, kemudian membaringkan badannya yang berisi itu di atas tilam semak-semak yang hitam kemerahan oleh malam dan oleh api. la pun segera jatuh tertidur.
Pada menghampiri mereka, mengamati seorang demi seorang. Semua telah tertidur dalam kelelahan. Dan tak ada seorang pun yang tidak rupawan, bahkan juga dalam tidur dengan mulut dan mata setengah terbuka. Ia masih dapat mengenali sebagian terbesar dari mereka, la masih dapat mengingat mana-mana yang pernah digaulinya semasa kanak-kanak dulu, dan semua beberapa tahun lebih tua daripadanya, kecuali Nyi Ayu Campa itu. Ya, kecuali yang seorang itu semua lebih tua daripada Nyi Gede Idayu. Kecuali yang seorang itu, mereka sudah lebih sepuluh tahun jadi betina kurungan hidup dalam pemantian kasih dan kesudian Sang Adipati. Dan Sang Adipati tidak jarang hanya terdengar melangkah di depan pintu bilik. Dalam sepuluh tahun, gadis-gadis tani yang paling cerdas dan paling gesit pun akan berubah jadi boneka, jadi kepompong yang hanya pandai bergeol-geol. Uh, dan sekarang mereka dilepaskan alam terbuka begini, di tengah-tengah segala macam bahaya.
Dengan berbantalkan bungkusan masing-masing mereka tidur, lupa akan keadaan. Uh! milik-milik hidup Sang Adipati. Kemarin dulu orang bisa kehilangan kepala bila kedapatan bicara dengan mereka, hanya bicara saja! Sekarang mereka bergeletakan tanpa harga. Berapa ratus perjaka saja pernah mengimpikan kasih sayang dan tubuh dan hati mereka dulunya" Berapa saja di antaranya telah putus-asa, tak mampu melawan kekuasaan mutlak Sang Adipati, dan lari meninggalkan desa dan harapan masingmasing"
Dan Pada melihat pada mulut-mulut yang setengah menganga itu gigi yang putih nampak, biasa tergosok dengan tepung arang setiap hari, dan liur yang pada menetes dan berleleran seperti rangkaian mutiara dan prastika.
Sekali lagi ia umpani api dengan kayu bakar baru. Dengan tanah mentah yang habis digaruknya ia bertayamum, kemudian bersembahyang, bertakbir, bertahmid dan beristigfar. Dan ia memohon mendapatkan kekuatan untuk tetap teguh dalam iman dan di dalam takwa. Dan ampunilah mereka, ya Tuhan, sebagaimana Engkau ampuni orang-orang yang terdahulu.
Api mulai menjolak-jolak tinggi. Ia baringkan dirinya di bawah kaki mereka dan tertidur.
Pada keesokan hari sikapnya terhadap mereka tiada keras lagi.
Dalam rembang rimba itu ia menduga-duga matahari sudah lama terbit. Dan para selir yang terbiasa bangun terlambat itu masih tidur di tempatnya. Ia bangunkan mereka, tanpa memberi peluang untuk bisa bermanja atau mengganggunya. Ia suruh mereka mencari makan. Dan bersama-sama mereka mengitari tempat sekeliling. Ia potongkan mereka rotan muda untuk minum. Ia panjatkan buah mlinjo, dan pungutkan mereka madu lebah.
Kemudian mereka meneruskan perjalanan lagi. Sekarang tidak secepat kemarin. Ia pun mau membantu memikulkan beberapa bungkusan.
Sampai di depan Gowong Pada sengaja berhenti untuk mengenangkan kebahagiaan lama dapat menyelamatkan Idayu dan anak-anaknya. Ia tahu, itulah detik kebahagiaannya yang tertinggi: menyelamatkan orang yang dipujanya. Memang hanya ada satu tubuh dan satu jiwa yang bersama Idayu. Tak ada tubuh dan jiwa lain di dalamnya, apa lagi jiwa selir. Dan Idayu: ibu dari dua orang anak dan istri sahabatnya.
Didekatinya wanita-wanita rupawan, nyata, dapat digenggamnya setiap detik dia suka. Mengapa ia justru mencintai wanita bayangan, hak suami dan anak-anaknya"
Mengapa berhenti di sini" Daludarmi bertanya. Burung-burung keluar dari gua seperti dahulu kala, dan rumput telah menutup sebagian mulut gua. Pada merasai suatu dorongan untuk menyatakan dukac-itanya dalam bercinta, agar orang lain tahu tentang kesakitannya.
Dahulu ada seorang dewi tinggal di dalamnya ia mendongeng, dalam tawanan drubiksa. Ya, dalam gua itu . kemudian datang seorang satria dan ia merasa diri satria yang disebutnya sendiri, dan sekarang ia pun merasa sebagai satria gagah, didapatinya kepala drubiksa telah bunuhi bawahannya karena ia ingin memiliki Sang Dewi untuk dirinya sendiri. Tetapi Sang Dewi menolaknya.
Para selir mulai merubungnya dengan khidmat, tapi tak berani tebarkan pandang pada mulut gua.
Tulang-belulang drubiksa masih berantakan di dalam sana. Mari kita masuk, dan kala dilihatnya tak seorang pun mau, ia heran pada dirinya sendiri. Dan lebih heran mengapa tak ada seorang yang bertanya siapa satria itu dan siapa pula dewi itu. Ia kecewa. Mengapa kalian tak bertanya mengapa Sang Dewi menolak"
Mari berjalan terus, seseorang yang kengerian memohon.
Ya, mari berjalan terus. Satria itu membunuh kepala drubiksa itu dengan kerisnya, jauh kemudian hari ia merasa menyesal mengapa drubiksa itu ia habisi dengan keris oh, tidak, ia menghabisinya dengan pisau dapur.
Tentu satria itu semacam orang linglung. Daludarmi menyela, Tak ada seorang satria membawa pisau dapur ke mana-mana.
Ya, barangkali semacam satria linglung, Pada menjawab.
Dan orang mulai berdiri. Beberapa sudah mulai berjalan Pada heran mengapa tak ada orang menanggapi dongengnya. Dan ia pun mulai berjalan melupakan Gua Gowong. Dengan nada memaksa sekarang ia bertanya: Mengapa Sang Dewi menolaknya"
Mungkin Sang Satria sudah linglung.
Mungkin Sang Satria sudah tua, seseorang memaksakan diri menjawab.
Sang Adipati adalah satria tua, kalian masih juga mau menerimanya. Itu bukan alasan.
Kalau begitu Sang Satria masih terlalu muda. Pada waktu itu masih sangat muda, malahan bukan satria, dan kalian pernah juga mau menerimanya. Mereka semua tertawa terkikik-kikik.
Karena Sang Dewi bukan manusia maka ia berpikir tidak sebagai manusia, la hanya hendak kembali ke kayangan, berkumpul lagi dengan para Dewa.
Pada merasa bosan sendiri dengan teka-tekinya. Lagi pula apakah gunanya orang lain harus melihat kegagalannya, kesakitannya, dan hatinya yang rongkah" Ia kembali berdiam diri.
Perjalanan diteruskan. Menginap lagi dan menginap lagi dalam hutan Memasuki daerah alang-alang yang menakutkan. Tak ada bekas bakar-bakaran. Tak ada nampak seekor rusa pun. Ia ragu-ragu untuk melintasi. Dan wanita-wanita itu melihat keragu-raguannya. Semua mengerti belaka bahaya yang sedang mereka hadapi.
Kini semua termangu-mangu di tepi hutan. Pada masuk lagi ke dalam hutan, bertayamum, dan bersembahyang memohon keselamatan untuk seluruh rombongan. Ia berdoa dengan dua belah tangan tertengadah tinggi ke langit, lebih tinggi dari biasanya. Berilah pada kami semua keselamatan, ya Tuhan, penguasa bumi dan langit.
Senjata yang ada padanya hanya sebilah pisau, dan padang alang-alang begitu luasnya. Ia tetapkan hati dan teguhkan iman, Tuhan-lah semua yang menentukan. Mari berangkat!
Tak ada seorang pun menginginkan tempat terdepan atau terbelakang. Maka sekarang Daludarmi berjalan paling depan daripada paling belakang. Tak ada seorang pun berbicara. Kaki seakan-akan tak menginjak tanah lagi. Setiap langkah terasa berat dan tak juga maju. Permukaan alang-alang tak juga mau tenang, mengimbak-imbak seperti ombak laut setiap angin datang meniup, menyesatkan orang dari gerakan yang mencurigakan itu.
Tak terdengar orang mengeluh atau mengaduh, kuatir akan membangunkan raja maut yang sedang mengintip entah dimana. Ketakutan pada mati telah menindas perasaan-perasaan yang lebih kecil.
Akhir-akhirnya setiap ketakutan adalah ketakutan pada maut, gumam Pada setelah selamat melalui padang alangalang dan memasuki hutan muda. Alhamdulillah, ya Allah, ya Robbi, ia duduk tersandar pada sebatang pohon kluwih dan para selir duduk mengelilingi. Mereka yang kalah perang pun mungkin tak mengalami ketakutan semacam itu, bisiknya kemudian pada dirinya sendiri. Suaranya dikeraskan: Kalau sudah terlewati hutan muda ini, kita sudah mendekati desa, kita akan berpisahan di sana.
Tidak, aku ikut sampai ke desaku sendiri, seseorang membantah.
Siapa tahu perang masih berkecamuk di jalanan kita nanti" Kami akan tetap mengikuti, seorang lain membantah juga.
Baik, mari berjalan lagi. Sampai di desa pertama matahari sedang tenggelam dan kita menginap di sana.
Ternyata desa pertama itu sunyi tak terkirakan. Malam telah jatuh. Tak ada suara gamelan. Tak ada lampu menyala.
Rumah yang terjauh dari pusat desa mereka masuki. Masih ada orang tinggal di dalamnya: suami-istri dengan dua orang anaknya yang masih kecil. Dengan segala kerelaan mereka berikan penginapan dan hidangan dingin dalam kegelapan itu. Dan hidangan itu sama sekali tidak mencukupi untuk orang sebanyak itu.
Dan tuan maupun istrinya sama sekali tak bertanya, dari mana mereka datang dan ke mana mereka hendak pergi. Bahkan siapa mereka, mereka tak bertanya. Semua berjalan seperti rombongan semut yang satu bertemu dengan rombongan yang lain.
Hanya inilah yang ada. Hanya beginilah tempatnya. Orang-orang yang menanggung kelaparan dan kelelahan dalam tindisan ketakutan yang amat sangat itu sekaligus merasa aman di dalam lingkungan manusia yang belum diubah perangainya oleh perang.
Belum lagi lama mereka tidur, dan matari telah menyembul di timur.
Derap kuda memaksa semua orang melompat dari ketiduran masing-masing. Suami-istri dan anak-anaknya telah lebih dahulu lari, dan nampak sedang menyeberangi padang rumput menuju ke hutan.
Bagi Pada tak ada jalan lain daripada naik ke atas pohon nangka di samping rumah: Pohon itu sangat rimbun tetapi tiada berbuah.
Prajurit-prajurit berkuda itu memasuki rumah dengan masih berkendara. Seorang prajurit, yang melihat beberapa orang wanita lari ke padang rumput di belakang rumah, segera mengejar dan menyambar salah seorang serta mengangkatnya ke atas kudanya. Yang lain-lain terpaksa berhenti dan kembali ke rumah mengikuti perintah.
Dari tempat persembunyiannya Pada tak melihat cambuk-perang pada pinggang prajurit itu. Bukan tentara Tuban, ia memutuskan. Apakah bedanya di masa perang, apakah dia tentara Demak atau Tuban" Ia mendekam mengawasi. Dan ia tahu, ia tidak setakut di menara pelabuhan dulu.
Selir di atas kuda itu menjerit dan meronta-ronta ketakutan. Prajurit itu memeluknya sambil tertawa-tawa. Di dalam rumah selir-selir lain memekik-mekik pula. Dan prajurit itu memacu kudanya, menghilang entah ke mana.
Pekik-pekik semakin meriuh dalam rumah. Pada hanya bisa mendengarkan. Kemudian tak terdengar lagi perlawanan. Keadaan kembali sunyi. Kesunyian yang menyesatkan.
Tiada antara lama kemudian mendadak serombongan prajurit kaki datang bersorak-sorak. Mereka telah melihat beberapa ekor kuda tercancang di depan rumah itu.
Dari pintu belakang rumah nampak prajurit-prajurit berkuda dalam keadaan telanjang bulat atau setengah bulat lari membawa pedang masing-masing menuju ke hutan, melintasi padang rumput.
Pasukan kaki itu mengejarnya, sebagian besar mengepung dan memasuki rumah. Dan Pada dapat melihat di antara dedaunan nangka itu tombak-tombak beterbangan mengejar. Yang dikejar menggunakan pedangnya menangkisi maut yang mendatangi. Tak peduli pada ketelanjangannya di bawah surya. Mereka terus lari ke arah hutan. Yang mengejar pun mempercepat larinya. Beberapa orang prajurit kaki Tuban melompat ke atas kuda-kuda yang tercancang, mengejar dengan mengamangkan tombak masing-masing. Dalam waktu pendek yang terkejar tersusul. Perkelahian tak dapat dihindari Gemerincing pedang beradu pedang dan tombak terdengar nyaring dari tempat Pada.
Dan dalam dekamannya di atas pohon dapat ia lihat seorang pengejar jatuh dari atas kudanya dan dua orang yang dikejar jatuh ke atas tanah untuk tidak akan bangun lagi buat selama-lamanya, la dapat saksikan dari balik dedaunan prajurit-prajurit yang telanjang bulat itu tertubruk oleh kudanya sendiri Mereka punah tertumpas.
Dari tempatnya pula ia melihat selir-selir itu keluar dari pintu depan, digiring dalam pakaian kacau meninggalkan rumah petani itu, hilang dari pemandangan.
Empat orang berkuda dengan pedang atau tombak berlumuran darah itu lewat pelahan-lahan di bawah persembunyian Pada.
Memang selir-selir Gusti Adipati, seseorang berkata. Bagaimana bisa sampai ke mari"
Mengikuti orang bernama Pada, hendak kembali ke desa.
Di mana Pada sekarang"
Katanya lari waktu orang-orang Demak datang. Dia tidak melindungi selir-selir itu"
Melindungi bagaimana" Dia tak bersenjata, bukan prajurit. Katanya juga Gusti Adipati telah mangkat
Pasukan Tuban telah pergi. Ia belum juga turun dari tempatnya. Kemudian nampak seekor gajah perang berjalan diiringkan oleh pasukan kaki di belakangnya. Seorang perwira berdiri dalam bentengan kayu, menyanyi.
Ia masih harus menunggu sampai matari tenggelam, baru ia turun. Dan suami-istri petani itu sudah pula kembali.
Begitu sehari-hari, tuanrumah memulai. Dikeluarkan ubi dan gembili kemudian dibakarnya. Sudahlah, tak perlu kita bicarakan. Mari makan. Mana yang lain-lain" Sudah dibawa tentara Tuban.
O, ia tak meneruskan. Juga istrinya tak bicara apa-apa. Anak-anak mereka tanpa bicara merangkak ke tempat tidur masing-masing, kemudian tak terdengar lagi suaranya.
Dan malam itu juga ia minta diri dan mengucapkan beribu tenma-kasih.
Pada subuh hari sampailah ia di rumah Idayu. Pondok dipinggir hutan itu kosong. Pintu rumahnya telah dipalang silang dengan dua potong bambu belah sebagai pertanda: penghuninya sedang pergi untuk waktu yang tak dapat ditentukan, orang tak diperkenankan masuk ke dalam.
Hampir saja ia terlelap begitu menyandarkan badan pada daun pintu. Ingat pada fajar yang mendatang dan bahaya yang segera akan tiba, ia pun berdiri lagi, menuruni tangga, berjalan masuk ke dalam hutan. Tak sulit baginya untuk menebak di mana Idayu berada. Dulu ia dan Wiranggaleng dan Gelar telah membuka huma di dalam hutan untuk tempat pengungsian bila perang terjadi.
Jalan setapak itu hampir tak nampak lagi karena telah kejatuhan luruhan daun selama ini. Dan ia berjalan dengan susah payah. Beberapa kali ia tersesat di jalanan babi, terperosok dan tersasar.
Pada tengah hari setelah berputar-putar dalam hutan sampailah ia di tempat yang dituju. Dari suatu jarak ia sudah dapat melihat huma di depannya terawat baik dan baru saja berpanen padi. Ia taksir sudah lebih lima bulan huma itu digarap. Sebuah gubuk yang sangat sederhana berdiri di tengah-tengah. Dan tentu Gelar ada di dalam situ.
Ia melangkah hendak keluar dari hutan. Pandangannya terpusat pada pintu gubuk yang terbuka, mengharap wajah Idayu segera akan nampak. Tak dilihatnya lagi akar-jalar melintang di bawah kaki. Ia terjatuh dibarengi bunyi tombak menyambar di atas kepalanya. Dan tangkai tombak itu menggeletar dengan mata tertancap pada batang pohon tempat ia tadi berhenti.
Gelar! Aku di sini, aku, Pada, ia memekik. Pamankah itu" terdengar suara Gelar, dan pemuda itu muncul dari balik semak-semak. Beribu ampun, Paman, tiada terduga. Paman dari Malaka" Mengapa kelihatan lebih tinggi dan kurus" Mari, mari.
Ia dapatkan Idayu tiada kurang suatu apa. Nampak ia terawat baik. Wajahnya segar dan tetap dalam keadaan bersolek seperti biasa. Matanya berseri-seri menyambutnya. Kau kelihatan lebih tua. Pada.
Dan Mbokayu kelihatan lebih muda lagi jawabnya menegang. Kemudian ia langsung bercerita tentang Wiranggaleng dan pasukan gabungan yang tertinggal lola di Semenanjung.
Idayu mendengarkan dengan diam-diam. Dan Gelar mendengarkan dengan gelisah; berita dari Semenanjung itu membikin ia terbakar oleh perasaan tidak puas terhadap orang-orang besar yang mempermain mainkan Senapati.
Dan kau, Gelar, kau kelihatan lebih kukuh, Pada langsung memasuki persoalan pribadi setelah ceritanya selesai. Lemparan tombakmu seperti prajurit sungguh.
Dan Gelar hanya tersenyum senang mendengar pujian itu. Ia malu bercerita telah lari dari pasukan pengawal.
Pada meneruskan ceritanya tentang perjalanannya dari Semenanjung sampai ke Tuban dengan suara semakin lama semakin pelahan.
Kau lelah. Pada. tegur Idayu. Dan matamu merah seperti itu. Sudahlah, kau tidur dulu.
Setelah beberapa hari beristirahat ia bermaksud kembali ke Malaka. Masih banyak yang harus dikerjakan Dan Idayu seakan menggenggamnya tanpa ingin melepaskannya Ia semakin mencintai isteri sahabatnya ini. Dan justru karena itu ia harus segera pergi. Sebelum berangkat ia bertanya pada Idayu dan dua orang anaknya, pesan apa yang harus disampaikannya pada Senapati. Dan dari tiga orang ibuberanak itu ia hanya mendapatkan satu pesan untuk yang tercinta di Malaka sana: pulanglah, karena Sang Adipati telah mangkat, dan tak ada orang yang menyokong pembebasan atas Malaka
Hatinya sendu sayu menghadapi perpisahan dan seorang wanita yang dicintainya dan tidak pernah membalas cintanya. Tapi juga gembira karena akan dapat melepaskan dirii dari genggamannya Memang ia ingin lebih lama berada di dekat wanita pujaan, mendengarkan suaranya, memandangi gerak-geriknya, mengagumi senyum dan ketabahannya. Tetapi bila karena sesuatu hal pandangnya bertatapan dengan pandangannya, ia rasai seribu panah menerjang dadanya, dan darahnya membeludag seakan hendak membikin jantungnya meledak. Beberapa kali saja ia memohon ampun pada Tuhannya karena telah mencintai wanita yang bukan haknya. Ampun, ampun, ampun., tetapi hatinya punya kemauan dan hukum sendiri
Waktu ia minta diri Idayu hanya menatapnya, kemudian mengangguk tanpa bicara, seakan hendak mengatakan, bahwa sudah seharusnya ia pergi lebih dahulu. Buru-buru ia menambahi:
Ampuni aku telah menyusahkan Mbokayu selama ini. Ia mengharapkan sesuatu yang manis diucapkan oleh wanita tercinta itu.
Gelar pergi untuk mengurus kuda. Ia akan mengantarkan tamunya sampai ke luar hutan. Dan Kumbang sedang sibuk membelah kayu bakar.
Ya, pergilah kau dengan selamat. Dan kalau aku boleh berpesan padamu pribadi. Pada, janganlah kau pandangi aku dengan mata seperti itu. Kawinlah kau dengan perempuan yang pertama-tama kau setujui, dan kau akan terbebas dari sikap yang mengganggu hidupmu selama ini
Pada membuang muka. Ia berdiri dan keluar dari gubuk, ia hampiri Kumbang dan minta diri padanya, kemudian bersama Gelar menerobos hutan berkendara dua ekor kuda.
Mengapa kau tak di medan perang. Gelar" tanya Pada untuk melupakan kata-kata Idayu.
Di pihak siapa. Paman" Di pihak Tuban tentu.
Tuban" Apakah yang sudah diperbuat Adipati Tuban terhadap emak, terhadap bapak, dan terhadap diriku sendiri" Kau lihat sendiri Paman, bapakku. Senapati, telah dibuangnya di negeri orang untuk berperang.
Ia dapat temukan kata-kata berontak dari Idayu, dari Senapati dan dari Rama Cluring. Keluarga ini nampaknya benar-benar anak-rohani Rama during. Dan sekilas ia teringat pada ajaran salah seorang gurunya dulu bagaimana seorang musafir Demak harus bersikap dan berbuat terhadap guru-pembicara kafir tumpas! Ternyata pengaruh Rama Cluring sangat besar terhadap keluarga seorang yang dicintainya. Timbul dorongan dalam hatinya untuk mengetahui lebih banyak tentang guru-guru itu. Tapi ia tak jadi bertanya. Apa pula gunanya sekarang ini" Sudah bukan tugasnya lagi.
Gelar, kalau orang melihat gerak-gerik emakmu yang luwes, setiap orang akan dapat mengetahui dia seorang penari ulung. Kalau orang melihat ketrampilanmu naik kuda dan melemparkan tombak, segera aku dapat mengetahui kau pernah jadi prajurit.
Betul, Paman. Aku pernah jadi calon prajurit pengawal Tuban, Gelar mengakui. Kemudian sebentar jadi Prajurit Demak.
Demak" Betul. Kau mondar-mandir tidak karuan.
Gelar tertawa, kemudian meneruskan: Aku rasa, tinggal bersama emak lebih tepat. Setidak-tidaknya berguna untuk emak dan Kumbang Apalah artinya pengabdian pada Tuban dan Demak" Sampai sekarang aku tak tahu.
Coba kau ceritakan, bagaimana kau bisa mondar-mandir pada dua daerah yang saling bermusuhan.
Aku kira tadinya yang satu akan lebih baik dari yang lain.
Bagaimana kau anggap dua-duanya buruk" Demak Islam, Tuban setengah Warn.
Dua-duanya tidak berbuat sesuatu pun untuk pembebasan Malaka, apalagi setelah ternyata Senapatiku dibuang tidak menentu di sana. Orang bilang berangkat hanya dengan jung!
Sekali Pada melihat semangat si Wiranggaleng di dalam kata-katanya. Dan ia membiarkan Gelar meneruskan katakatanya.
Begitu, paman, hanya di rumah aku merasa damai. Di Tuban orang selalu mengejek dan mengganggu dan menghina. Benarkah aku bukan anak Senapatiku"
Kuda itu berjalan beriringan, dan Pada berada di belakang Gelar sehingga ia tak dapat melihat wajah bocah itu. la pun tak menyangka percakapan itu berbelok begitu tajam ke jurusan lain.
Kau diam saja, Paman. Nampaknya juga Paman tak mau menerangkan.
Tahu apa aku tentang itu"
Yang kuketahui selama mi kau anak Senapati dengan Idayu. Mengapa justru bertanya padaku
Emak selalu mengelak-ngeiak, dan bilang tidak cukup baikkah Wiranggaleng dan Idayu jadi orang tuamu" Aku tak sampai hati mendesak. Apalagi bila nampak olehku matanya mulai merah berkaca-kaca.. Tidak, Paman, aku tak bea. Pernah emak mengutip kata-kata seorang gurupembicara, ia lupa namanya ia mengulangi kutipan itu hanya untuk mengelakkan pertanyaan. Aku justru semakin bimbang
Apa katanya" Tak ada seorang manusia pun, katanya, pernah meminta pada para dewa untuk dilahirkan di dunia mi. Setiap orang dilahirkan tanpa semau-nya sendiri Orang dipaksa lahir, dan ibunya dipaksa melahirkan.
Itulah guru-pembicara dungu. Pada terangsang. Hidup adalah karunia tak terhingga, tak peduli siapa bapak atau ibunya.
Ya, tak terhingga, untuk jadi permainan para raja Pada terkejut, tetapi pura-pura tak memperhatikan. Tak pernah ada orang bicara semacam itu. Sendiri seorang gurupembicara, bekas musafir Demak, dilatih untuk mematahkan pengaruh guru-pembicara bukan golongan sendiri, kafir, secara naluriah ia bangkit untuk mengobrakabrik pengaruh itu.
Gelar, mungkin kau tak begitu benar. Setiap kelahiran bukan saja membawa rahmat, juga membawa pesan pada dunia, agar manusia tidak menjadi permainan para raja. Pesan itu juga diberikan kepadamu, padaku, juga untuk kita teruskan Dari negeri Melayu sana datang bidai Raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah .
Belum pernah emak bercerita tentang adanya raja yang kecuali oleh raja lain yang sama lalimnya barangkali. Dan perang pun terjadi, barangkali. Maka kita terjepit seperti pelanduk di tengah dua gajah. Barangkali itulah rahmat dan karunia"
Betapa bocah ini sudah menolak kepahitan hidup, pikir Pada. Dan cepat-cepat ia membelokkan: Gelar, cobalah singkirkan dulu soal raja-raja itu. Sekiranya kau tidak lahir, bukankah kau tak bisa berbakti pada emakmu seperti halnya sekarang" Bukankah itu karunia"
Suatu perdebatan dari dua sikap yang berlain-lainan itu tak menghasilkan kelegaan pada kedua belah pihak. Dan Pada mengakui tak dapat mR matahkan pengaruh para guru-pembicara yang telah berakar di dalam keluarga Wiranggaleng.
Akhirnya mereka terdiam kebosanan.
Tapi Gelar tak urung mengulangi pertanyaannya: Paman belum juga menjawab, benarkah aku bukan anak Senapatiku"
Sudah datang waktu bagiku untuk meneruskan perjalanan seorang diri, Gelar. Tentang itu, datanglah pada emakmu. Tanyakan baik-baik. Sekarang kau sudah cukup dewasa untuk mengetahui segala yang patut kau ketahui. Aku tak tahu apa-apa, dan tidak punya hak apa-apa. Nah, terimalah kembali kudamu ini, dan pulanglah kau pada emakmu, dan berbaktilah lebih baik.
Ia ulurkan tangan untuk dicium Gelar, tetapi bocah itu tak mengenal adat itu. Gelar mengangkat sembah dada.
Kekafiran masih berkuasa atas mereka, keluhnya, kemudian ia berjalan kaki keluar dari hutan.
Begitu lepas dari cengkeraman hutan ia berhadapan dengan rumah di pinggir hutan itu. Ia memerlukan naik ke atasnya, meninjau gubuk yang selama ini ditinggali oleh wanita yang dicintainya. Dilihatnya palang bambu telah tergeletak jauh di beranda, dan pintunya telah terbuka. Ia masuk ke dalam.
Semua perkakas telah berantakan di lantai: orang-orang Demak telah memasuki rumah ini.
Cepat-cepat ia turun, lari, balik memasuki hutan.

Berlanjut ke bagian 35


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar