"Sang Bhatara menjadi malu karena ada pengaduan itu dan segera bersembunyi tersipu di balik awan tebal. Angin menghembus, menggoyangkan semua bunga yang pada murung bersedih hati. Tak lama kemudian hujan jatuh membikin layu daundaun bunga yang berwarna-warni itu.
"Sang putri meneruskan perjalanan tanpa mengindahkan apa yang terjadi di belakangnya. Hujan dan angin memang tidak sampaihati mengganggunya. Maka sepanjang jalan orang memerlukan berhenti untuk mengaguminya......" Kulihat Annelies telah memejamkan mata. Kuambil sapu ranjang dan kuusir nyamuk untuk kemudian menurunkan klam-bu.
"Mas," panggilnya, membuka mata, dan memegangi tanganku, menegah aku meneruskan niatku.
Aku duduk lagi. Cerita terputus. Aku gagap-gagap mencari sambungannya: "Ya, sang putri berkendara terus di atas kudanya. Semua orang yang memperhatikan merasa, betapa akan berbahagia diri bila para dewa mengubahnya jadi kuda tunggangan sang putri. Tetapi sang putri itu sendiri tak tahu perasaan mereka. Ia merasa dirinya tak beda dari yang lain-lain. Ia tidak pernah merasa cantik, apalagi cantik luarbiasa tanpa tandingan."
"Siapa nama putri itu ?"
"Ya ?" "Namanya.....namanya.....ia mendesak. "Tidakkah namanya Annelies ?" "Ya-ya-ya, Annelies namanya," dan ceritaku berbelok pada dirinya, "Pakaiannya macam-macam. Yang paling disukainya gaun-malam dari beledu hitam, yang dipakainya sebarang waktu."
"Ah!" "Sang putri merindukan suatu percintaan yang indah, lebih indah daripada yang pernah dimashurkan terjadi di antara para dewa dan dewi di kahyangan. Ia merindukan datangnya seorang pangeran yang gagah, ganteng, perwira, lebih agung daripada para dewa.
"Dan pada suatu hari terjadilah. Seorang pangeran yang dirindukannya benar-benar datang. Dia memang ganteng. Juga gagah. Hanya dia tak punya kuda sendiri. Malahan tak dapat naik kuda."
Annelies mengikik geli. "Dia datang dengan dokar sewaan, sebuah karper. Pada pinggangnya tidak tergantung pedang, karena ia tak pernah berperang. Padanya hanya ada pensil, tangkai pena dan kertas."
Annelies tertawa lagi, ditekan. "Mengapa tertawa, Ann ?" "Minkekah nama pangeran itu ?" "Memang Minke."
Annelies menutup mata. Tangannya tetap memegangi lenganku, takut aku tinggalkan.
"Sang pangeran itu datang, masuk ke istana sang putri seakan habis menang perang. Mereka berdua pun bercengkerama. Sang putri segera jatuh cinta padanya. Tidak bisa lain."
"Tidak," protes Annelies, "sang pangeran menciumnya lebih dahulu." "Ya, hampir sang pangeran lupa. Ia mencium sang putri lebih dulu, dan sang putri mengadu pada ibunya. Bukan mengadu supaya sang pangeran dimarahi ibunya. Mengadu agar ibunya membenarkan sang pangeran. Tapi ibunya tidak menggubris." "Sekali ini ceritamu ngawur, Mas. Ibunya bukan saja tidak menggubris. Lebih daripada menggubris. Sang ibu marah."
"Benar sang ibu marah " apa katanya ?"
"Dia bilang: Mengapa mengadu " Kan kau sendiri yang mengharap dan menunggu ciumannya ?"
Sekarang akulah yang tak dapat menahan tawaku. Agar tak tersinggung buru-buru ceritaku kuteruskan:
"Betapa bodohnya sang pangeran. Dia sudah dua kali ngawur. Sebenarnya sang putri memang mengharap dan menunggu ciuman."
"Bohong! Dia tidak mengharap, juga tidak menunggu. Dia sama sekali tidak pernah menduga. Seorang pangeran datang. Tidak bisa naik kuda, malah pada kuda takut. Dia datang, tahu-tahu mencium."
"Dan sang putri tidak berkeberatan. Ya, sampai-sampai sandalnya ketinggalan....." "Bohong! Ah, kau bohong, Mas," ditariknya lenganku keras-keras, memprotes jalannya kebenaran yang tidak tepat.
Dan terjatuhlah aku dalam kelunakan pelukannya. Jantungku mendadak berdebaran ibarat laut diterjang angin barat. Semua darah tersembur ke atas pada kepala, merenggutkan kese-daran dan tugasku sebagai dokter. Dengan sendirinya aku membalas pelukannya. Dan aku dengar ia terengah-engah. Juga nafasku sendiri, atau barangkali hanya aku sendiri yang demikian, sekali pun tak kusedari. Dunia, alam, terasa hilang dalam ketiadaan. Yang ada hanya dia dan aku yang diperkosa oleh kekuatan yang mengubah kami jadi sepasang binatang purba. Dan kami tergolek tanpa daya, berjajar, kehilangan sesuatu. Seluruh alam mendadak menjadi sunyi tanpa arti. Debaran jantung terasa padam. Gumpalan-gumpalan hitam bermunculan dalam antariksa hati. Apa semua ini "
Dan Annelies memegangi tanganku lagi. Membisu. Dan kami diam-diam seperti bermusuhan. Bermusuhan "
"Menyesal, Mas ?" tanyanya waktu aku menghembuskan nafas. Dan aku menyesal: terpelajar yang mendapat amanat sebagai dokter. Gumpalangumpalan hitam semakin merajalela. Dan memang ada sesalan lain tanpa semauku sendiri.
Annelies menuntut jawaban. Ia duduk dan mengguncangkan badanku, mengulangi pertanyaannya. Tidak pernah kukira kekuatannya kini demikian hebat. Jawabanku hanya hembusan nafas. Lebih panjang. Ia dekatkan mukanya padaku untuk meyakinkan diri. Aku tahu ia membutuhkan jawaban itu.
"Bicara, Mas!" tuntutnya.
Tanpa melihat padanya aku bertanya: "Benarkah aku bukan lelaki pertama, Ann ?"
Ia meronta. Menjatuhkan diri. Menghadap ke dinding memunggungi aku. Ia tersedan-sedan pelan. Dan aku tak menyesal telah mengasarinya dengan pertanyaan yang menyiksa.
Ia masih juga tersedan-sedan dan aku tak menanggapi. "Kau menyesal. Mas. Kau menyesal," sekarang ia menangis. Kembali aku disadarkan oleh tugasku.
"Maafkan aku," dan kubelai rambutnya yang lebat seperti ia sendiri membelai bulusuri kudanya. Ia menjadi agak tenang.
"Aku tahu," ia memaksakan diri, "pada suatu kali seorang lelaki yang aku cintai akan bertanya begitu." Ia menjadi lebih tenang dan meneruskan, "Seluruh keberanianku telah kupusatkan untuk menerima pertanyaan itu. Untuk menghadapi. Aku tetap takut, takut kau tinggalkan. Akan kau tinggalkan aku, Mas ?" ia tetap memunggungi aku.
"Tidak, Annelies sayang," hibur sang dokter. "Akan kau peristri aku, Mas ?" "Ya."
Ia menangis lagi. Pelahan sekali. Bahunya terguncang. Aku tunggu sampai reda. Masih tetap memunggungi ia berkata sepa-tah-sepatah dengan suara hampir berbisik:
"Kasihan, kau, Mas, bukan lelaki pertama. Tapi itu bukan kemauanku sendiri - kecelakaan itu tak dapat kuelakkan."
"Siapa lelaki pertama itu ?" tanyaku dingin. Untuk waktu agak lama ia tak menjawab. "Kau mendendam padanya, Mas, ?" "Siapa dia ?"
"Memalukan," ia tetap memunggungi aku.
Lambat-lambat tapi pasti mulai kusedari: aku cemburu. "Binatang yang satu itu." Ia memukul dinding. "Robert!" "Robert!" jawabku bengis. "Suurhof. Mana mungkin ?"
"Bukan Suurhof," sekali lagi ia memukul dinding. "Bukan dia. Mellema." "Abangmu ?" aku terduduk bangun.
Ia menangis lagi. Aku tarik dia dengan kasar sehingga tertelentang. Cepat-cepat ia menutupi muka dengan lengannya sendiri. Mukanya basah kuyup. "Bohong!'tuduhku, dan seakan sudah jadi hakku penuh untuk memberlakukannya demikian.
Ia menggeleng. Mukanya masih juga tertutup lengan. Aku tarik lengan itu, dan ia meronta melawan.
"Jangan tutup mukamu kalau tak bohong." "Aku malu padamu, pada diriku sendiri." "Berapa kali kau lakukan itu ?"
"Sekali. Betul sekali. Kecelakaan." "Bohong."
"Bunuhlah aku kalau bohong," jawabnya kukuh. "Kelak kau akan tahu duduk perkaranya. Apa guna hidup tanpa kau percayai ?"
"Siapa lagi selain Robert Mellema ?"
"Tak ada. Kau."
Aku lepaskan dia. Mulai aku pikirkan keterangannya yang menggoncangkan itu. Ini barangkali tingkat susila keluarga nyai-nyai " Hampir-hampir aku membenarkan. Tapi suara Jean Marais terdengar lagi: terpelajar harus adil sejak di dalam pikiran. Terbayang Marais menuding dan menuduh: tingkat susilamu sendiri tak lebih tinggi, Minke. Dan aku jadi malu pada diri sendiri. Dia, Annelies, tidak lebih buruk dari Minke.
Lama kami berdua membisu. Masing-masing sibuk dengan hatinya sendiri. Kemudian terdengar:
"Mas, biar sekarang saja aku ceritakan," suaranya sekarang tenang. Ia perlu dapat membela diri. Sedu-sedannya digantikan oleh ketetapan hati. Hanya matanya kembali ditutupnya dengan lengan kanan.
"Aku masih ingat hari, bulan, tahun dan tanggalnya. Kau dapat lihat pada coretan merah pada kalender dinding. Kurang-lebih setengah tahun yang lalu. Mama menyuruh aku mencari Darsam. Orang-orang bilang dia sedang ada di kampung. Aku pergi mencarinya dengan kuda kesayanganku. Kumasuki kampung demi kampung sambil berseru-seru memanggil. Mereka -orang-orang kampung itu ~ sibuk membantu mencari. Dia tak dapat kutemukan.
"Seseorang memberitahukan, dia sedang memeriksa tanaman kacang di ladang. Aku membelok ke perladangan kacang tanah. Juga di sana tak ada. Biar pun tak ada pepohonan tinggi kelihatan pun ia tidak. Pakaiannya yang selalu serba hitam sangat memudahkan pengelihatan. Dia memang tidak ada."
"Seorang bocah yang kupapasi bilang, dia ada di seberang rawa. Waktu itu baru teringat olehku: dia sedang mempersiapkan ladang percobaan baru, yang waktu itu masih semak-semak tebal. Ladang itu menurut rencana akan ditanami rumput alfalfa dan jelai untuk ternak baru yang didatangkan Mama dari Australia. Tempat itu tak nampak karena dari luar terhalangi gla-jgah."
"Ingat kau pada sisa rumpun glagah, yang aku menolak kau ajak ke sana ?" "Ya," dan muncul rumpun itu, rapat dan tinggi. Memang dia menolak. Aku masih ingat ia bergidik.
"Aku belokkan kuda ke sana sambil berseru-seru memanggilnya dari seberang rawa. Tak ada jawaban. Aku masuki jalan-setapak dicelah-celah glagah. Yang" kutemukan justru Robert."
"Ann," tegur Robert dengan pandang begitu aneh. Ia buang senapan dan rentengan burung belibis hasil perburuannya sepagi. 'Darsam baru saja lewat sini,' katanya. 'Dia bilang mau menghadap Mama. Dia lupa harus menghadap pada jam sembilan pagi.' Dia sudah terlambat dua jam.
"Aku merasa lega mendapat keterangan itu. 'Dapat banyak kau hari ini "' tanyaku. Ia ambil kembali rentengan belibis dan diperlihatkan padaku. 'Ini belum apa-apa, Ann,' katanya lagi, 'biasa saja. Hari ini aku dapat binatang aneh. Turunlah.' "Ia melangkah beberapa meter dan mengambil bangkai kucing liar besar berbulu hitam. Aku turun dari kuda.
"'Bukan sembarang kucing,' katanya. 'Barangkali ini yang dinamai Macan. .. "Aku usap-usap bulu halus kurban yang terpukul pada kepalanya itu." "Memang tidak kutembak. Sedang enak tidur melingkar di bawah pohon dan kugebuk sekali mati.'
"Tangannya yang kotor memegangi bahuku dan aku marahi. Dia merangsang aku, Mas, seperti kerbau gila. Karena kehilangan keseimbangan aku jatuh dalam glagahan. Sekiranya waktu itu ada tunggul glagah tajam, matilah aku tertembusi. Ia menjatuhkan dirinya padaku. Dipeluknya aku dengan tangan kirinya yang sekaligus menyumbat mulutku. Aku tahu akan dibunuh. Dan aku meronta, mencakari mukanya. Otot-ototnya yang kuat tak dapat aku lawan. Aku berteriak-teriak memanggil Mama dan Darsam. Suara itu mati di balik telapak tangannya. Pada waktu itu aku baru mengerti peringatan Mama: Jangan dekat pada abangmu. Sekarang aku baru mengerti, hanya sudah terlambat. Sudah lama Mama menyindirkan kemungkinan dia rakus akan warisan Papa.
"Kemudian ternyata olehku dia hendak perkosa aku, sebelum membunuh. Ia sobeki pakaianku. Mulutku tetap tersumbat. Dan kudaku meringkik-ringkik keras. Betapa sekarang kupinta pada kudaku untuk menolong. Kubelitkan kedua belah kakiku seperti tambang, tapi ia urai dengan lututnya yang perkasa. Kecelakaan itu tak dapat dihindarkan.
"Kecelakaan, Mas," dan agak lama ia terdiam. Aku tak menengahi, hanya memindahkan ceritanya dalam bayanganku sendiri.
"Kuda itu meringkik lagi, mendekat dan menggigit pantat Robert. Abangku memekik kesakitan, melompat. Kuda itu memburunya sebentar. Ia lari keluar dari glagahan. Aku pungut senapannya dan lari keluar pula. Aku tembak dia. Tak tahu aku kena atau tidak. Dari kejauhan nampak olehku celananya ber-darah-darah dan meleleh pada pipanya. Bekas gigitan kuda.
"Senapan kulempar. Badanku sakit semua. Darah terasa asin pada mulutku. Tak mampu lagi aku naik ke atas punggung Bawuk. Mendekati kampung aku paksa naik juga untuk menutupi pakaian. yang koyak-koyak....."
"Annelies!" seruku dan kupeluk dia. "Aku percaya, Ann, aku percaya." "Kepercayaan Mas adalah hidupku, Mas. Itu aku tahu sejak semula. Agak lama kami terdiam lagi. Waktu itulah aku menjadi ragu pada pesan Dokter Martinet. Dia cukup dewasa. Dia tahu membela diri walau gagal. Dia mengenal makna mati dan kepercayaan.
"Kau tak mengadu pada Mama ?"
"Apa kebaikannya " Keadaan tidak akan menjadi lebih baik. Kalau Mama tahu, Robert pasti dibinasakan oleh Darsam, dan semua akan binasa. Juga Mama. Juga aku. Orang takkan menyukai perusahaan kami lagi. Rumah kami akan jadi rumah setan."
Semua kata-katanya yang belakangan terasa kuat. Tapi tiba-tiba kekuatan itu lenyap: ia memeluk aku dan menangis lagi -menangis lagi.
"Benar atau salah aku ini, Mas ?"
Aku balas pelukannya. Dan tiba-tiba jantungku berdeburan diterpa angin timur. Satu ulangan telah memaksa kami jadi sekelamin binatang purba, sehingga akhirnya kami tergolek. Sekarang gumpalan hitam tidak memenuhi antariksa hatiku. Dan kami berpelukan kembali seperti boneka kayu.
Annelies jatuh tertidur. Samar setengah sadar terasa olehku Mama masuk, berhenti sejenak di depan ranjang, mengusir nyamuk, bergumam:
"Berpelukan, seperti dua ekor kepiting." Setengah jaga setengah mimpi kurasai perempuan itu menyelimuti kami, menurunkan klambu, memadamkan lilin, kemudian keluar sambil menutup pintu.
15. TEMAN-TEMAN SEKOLAH TETAP MENJAUHI. Satu-satunya yang mulai mendekat tak lain dari Jan Dapperste. Selama ini ia jadi pengagumku dan menganggap aku sebagai Mei-kind , sebagai anak keberuntungan, anak yang takkan menemui kegagalan.
Ia rajin belajar, namun nilainya tetap di bawahku. Uang sakunya setiap hari sekolah juga dari aku. Karena sang uang saku mungkin ia menganggap aku sebagai abang sendiri. Kami duduk satu kias.
Jan Dapperste selalu menyampaikan sassus tentang diriku. Jadi kuketahui segala perbuatan jahat Suurhof terhadap aku. Daripadanya juga aku tahu, Suurhof telah mengadukan aku pada Tuan Direktur Sekolah. Perduli apa, pikirku. Kalau memang hendak pecat aku, silakan. Di sekolah ini memang aku tak dapat berbuat sesuatu. Di tempat lain " Bebas dan bisa.
Sekali Tuan Direktur memang pernah memanggil, menanyakan mengapa sekarang aku jadi pendiam dan nampak tak disukai teman-teman. Aku jawab: aku menyukai mereka semua, dan tak mungkin memaksa mereka menyukai aku. Tentu ada sebabnya mereka tak suka, katanya lagi. Tentu saja. Tuan Direktur. Apa sebabnya " tanyanya lagi. Aku tak tahu betul, jawabku, hanya tahu ada sassus tentang diriku, dari Robert Suurhof.
"Sebab kau sekarang bukan salah seorang dari mereka lagi. Bukan bagian dari mereka, tidak sama dengan mereka."
Segera kuketahui: ini isyarat pemecatan. Baik diri ini telah kupersiapkan untuk menghadapinya. Tak perlu gentar. Tak boleh meneruskan " tidak apa. Sekolah akhirnya toh pemenuh jadwal harian. Kalau bisa maju baik, tidak pun tak apa. "Kami harap kau dapat memperbaiki kelakuanmu. Kau calon pembesar. Kau mendapat didikan Eropa. Semestinya dapat meneruskan sekolah lebih tinggi di Eropa. Apa kau tak ingin jadi bupati ?"
"Tidak, Tuan Direktur."
"Tidak ?" ia tatap aku lebih tajam. Sebentar saja. "Ah-ya, barangkali kau hendak jadi pengarang seperti telah kau mulai sekarang. Atau jurnalis. Biar begitu kelakuan patut diperlukan dalam hidup ini. Atau perlu kiranya kutulis sepucuk surat kepada Tuan Bupati B. " atau Tuan Assisten Residen Herbert de la Croix ?"
"Kalau memang Tuan rasakan ada gunanya menulis tentang diriku tentu saja tak ada jeleknya."
"Jadi kau setuju kutulis surat itu ?"
"Bagiku tak ada soal. Itu urusan Tuan Direktur sendiri. Tak ada sangkut-paut dengan urusanku."
"Tak ada ?" ia pandangi aku lagi, lebih tajam. Kemudian terheran-heran. Meneruskan dengan ragu, "Jadi siapa kuhadapi sekarang " Minkc atau Max Tollenaar ?"
"Sama saja. Tuan, dua-duanya hanya satu pribadi dengan nama berlainan." Ia suruh aku pergi dan tidak memanggil lagi.
Juffrouw Magda Peters juga nampak menjauh walau pandangnya tetap ramah, dan kutemui hanya pada waktu pelajaran saja.
Diskusi-sekolah tetap dibekukan oleh direktur.
Dan heran, apa saja bakal terjadi aku merasa tidak tergantung pada siapa pun. Rasanya diri ini kuat. Tulisan-tulisanku semakin banyak dibaca orang. Juga semakin banyak diumumkan biar pun tak mendatangkan barang sebenggol pun selama ini. Sekiranya umum mengetahui aku hanya Pribumi mungkin bubar perhatian mereka, mungkin juga akan merasa terkecoh. Hanya seorang Pribumi! Terhadap ini pun aku sudah bersiap-siap. Jan Dapperste sudah menyampaikan padaku rencana Suurhof untuk menelanjangi aku di depan umum.
Panggilan direktur sekolah bukan satu-satunya yang mengisi hidupku dalam sebulan terakhir ini. Tak lama setelah bisikan Jan Dapperste dari S. N. v/d D datang permintaan agar aku datang. Tuan Direktur-Kepala Redaksi-Penanggungjawab Koran itu ingin bertemu.
Jan Dapperste tak menolak kuajak serta, Tuan Maarten Nijman menerima kami berdua dan menyodorkan padaku surat pembaca. Tepat seperti telah disampaikan Jan: Max Tollenaar hanya Pribumi saja. Aku dah Jan mengenal tulisan itu. Ia malah mengangguk mengiakan.
"Tuan memanggil untuk mendapatkan ganti kerugian karena surat ini ?" tanyaku. "Jadi surat ini benar ?"
"Benar." "Memang semestinya kami menuntut," ia tersenyum manis. "Tuntutan sudah disediakan. Tuan tahu tentunya apa yang hendak kami tuntut." "Tidak."
"Tuan Tollenaar, kami tuntut jadi pembantu kami, pembantu tetap," ia sodorkan kwitansi dan kuterima honoraria dari tulisan yang sudah-gudah, sekali pun tidak banyak. "Setelah ini, sebagai pembantu tetap, Tuan akan menerima lebih banyak." "Apa yang perlu kubantukan ?"
"Tulisan apa saja, Tuan, dan sukses untuk Tuan." Bendi membawa kami ke sebuah restoran. Jan Dapperste memberikan ucapan selamat dan makan dengan lahap seakan ak pernah makan seumur hidup. Yang ketiga adalah pertemuan dengan Dokter Martinet, terjadi langsung setelah kami meninggalkan restoran. Juga bersama Jan Dapperste .
Dokter itu telah menunggu di serambi dan menyatakan hanya ingin bertemu denganku.
"Dan, Dokter," sapanya, "bagaimana pasienmu ?" "Baik, Dokter."
"Maksudmu ?"
"Sudah semakin sehat, sudah bekerja seperti sediakala, malah sekarang banyak membaca di waktu senggang. Sudah naik kuda lagi kalau pergi ke ladang atau kampung. Jadwal bacaan yang kususun dipatuhinya. Kadang kami bertiga dudukduduk mendengarkan . musik dari phonograf."
"Betul. Sudah baik seperti nampaknya."
Dan Jan Dapperste tertinggal seorang diri di serambi. "Namoaknya " Jadi belum seperti Tuan Dokter harapkan "
"Begini, Tuan Minke. Sudah lima atau enam kali belakangan ini akumemeriksa dia. Mulanya tak begitu kuperhatikan. Setelah untuk ketiga kalinya baru kuinsafi ia selaiau bergidik dan bulu ronanya menggermang bila tersintuh oleh tanganku. Sejak itu aku mulai curiga. Ada apa dalam tubuh gadis cantik ini " Aku kira ada sesuatu yang kurang pada tempatnya di
dalam bawahsadarnya. Segera aku pelajari sesuatu. Mula-mua aku simpulkan, dia jijik padaku. Baginya permunculanku mungkin seperti permunculan seekor hewan yang memang menjijikkan. Aku bercermin. Aku pelajari wajah sendiri sampai teliti. Tidak. Aku tidak berubah selama sepuluh tahun belakangan ini kecuali tambahnya monokel pada mata-kanan. Kan wajahku normal, malah kalau pun hanya sedikit, termasuk tampan ?"
"Bukan sedikit, Tuan Dokter"
"Husy, sedikit pun cukup, yang banyak ada pada kau. Itu sebabnya dia memilih kau daripada aku."
"Tuan Dokter," seruku memprotes.
"Ya, Dokter Minke," ia tertawa. "Setelah aku mengenal Tuan, baru aku tahu, dia tak bergidik karena tampangku. Rupa-rupanya dia bergidik karena kulitku. Kulit putih." "Ayahnya kulit putih. Totok."
"Ts-ts, itu baru dugaanku. Ayahnya berkulit putih. Totok. Ya. Dengarkan, Tuan kupanggil untuk membantu memecahkan soal ini. Ya, ayahnya Eropa Totok. Justru karena itu. Berapa banyak di dunia ini anak jijik pada orangtuanya " Mendalam atau dangkal, menetap atau kadang saja " Tak ada angka-angka memang, tapi ada, dan tidak sedikit. Sebabnya karena kelakuan si orangtua sendiri, misalnya. Kalau kebetulan orangtua dan anak sama kulitnya tentunya dia takkan jijik karena warna kulit."
"Annelies juga putih."
"Ya, dengan kelembutan Pribumi. Aku sendiri pernah me-ngimpi mendapatkan dia. Lucu, bukan, Dokter Minke " Sayang terlalu muda untukku. Hanya mimpi! Jangan gusar. Bukan sung-guhan. Kenyataannya dia bergidik terhadapku. Dia memang berkulit putih. Aku punya dugaan begini: pengaruh dari luar, sangat kuat tak terlawan, telah membikin gambaran salah tentang dirinya sendiri. Ia merasa seorang Pribumi yang seasli-aslinya. Boleh jadi dari ibunya ia mendapat gambaran: semua orang E-ropa menjijikkan dan berkelakuan hina. Interpiu dengan Nyai dan Annelies sendiri memberanikan aku menarik kesimpulan ini. Memang Nyai luarbiasa. Kirakira semua orang mengakui. Kan pernah kukatakan pada Tuan, dia otodidak tanpa sadarnya sendiri " dan karena itu gagal di bidang lain " Dia tak mengerti bagaimana mendidik anak-anaknya. Dia telah tempatkan anaknya di tengah-tengah konflik pribadinya sendiri. Bukan hanya kekurangan sudah kegagalan, Tuan Minke." Nampaknya percakapan ini akan menjadi panjang. Aku minta ijin keluar sebentar dan menyuruh kusir mengantarkan pulang Jan Dapperste.
"Anak yang tak tahu sesuatu itu menerima segala yang dijejalkan padanya sebagai bagian dari dirinya sendiri/' Dokter Martinet meneruskan.
"Tapi Mama bukan pembenci Eropa. Dia banyak berurusan dengan orang Eropa, malah dengan orang-orang ahli, seperti Tuan sendiri. Dia malah membacai pustaka Eropa."
"Betul. Sejauh hal itu menguntungkan kepentingannya. Coba lihat, bagaimana hubungan dia dengan Tuan Mellema " Dia memang menjadi maju karena tuannya, tapi bawahsadarnya tetap bercadang dan mencurigainya. Semua orang kalangan atas tahu riwayat tragis Tuan Mellema dan gundiknya, kecuali Annelies sendiri yang tidak tahu, barangkali. Tanpa disadarinya ia telah bentuk Annelies jadi pribadinya yang kedua. Anak itu takkan bisa jauh dari ibunya untuk bisa berinisiatif. Inisiatif akan selalu bertiup dari pihak ibu, berupa perintah yang tak bisa ditawar. Kasihan anak secantik itu. Pedalamannya kacau. Tuan Minke. Otaknya berada di dalam kepala ibunya."
Aku terlongok-longok mendengarnya. Uraian yang membelit, sulit, untuk pertama kali kutemui, tapi jelas dan menarik. Mengherankan betapa orang bisa mengintip pedalaman seseorang seperti mengintip pedalaman arloji.
"Si ibu terlalu kuat pribadinya, dilandasi pengetahuan umum mencukupi untuk kebutuhan hidupnya di tengah rimba belantara ketidak-tahuan Hindia macam ini. Orang takut berhadapan dengannya karena sudah punya prasangka bakal tak bisa berkutik dalam pengaruhnya. Aku sendiri sering kewalahan. Sekiranya dia hanya seorang nyai biasa, dengan kekayaan seperti itu. dengan kecantikan sebaik itu. dengan suami tak menentu, sudah pasti akan banyak burung kutilang berdatangan memperdengarkan kicauan indah. Tapi tidak. Benar tidak. Tak ada yang datang. Tak ada yang berkicau ~ sejauh kuketahui. Totok, In-disch, apalagi Pribumi yang jelas tak bakal berani. Mereka tahu akan menghadapi macan betina. Sekali mengaum, satu pasukan jengkerik akan buyar tunggang-langgang belingsatan." "Tuan Dokter, apa semua itu benar ?"
"Tuanlah yang membantu berpikir."
"Siswa H.B.S. begini, apa patut Tuan anggap berharga untuk pekerjaan begini ?" Ts-ts-ts, justru Tuan yang paling berkepentingan. Dan, Dokter Minke, apa dikira aku sedang mendongeng " Tuan terpelajar, cobalah buktikan ketidakbenaranku. Itu sebabnya Tuan diperlukan datang. Tuan lebih dekat pada mereka. Sebenarnya Tuan sendiri yang harus menyelidiki untuk bisa memahami. Aku hanya mencoba memberikan sedikit titik-tolak. Tuan telah dewasa. Lagi puja hanya Tuan yang bisa jadi dokter Annelies. Bukan Martinet ini. Dia, gadis itu, mencintai Tuan, dan cinta tak lain dari sumber kekuatan tanpa bandingan, bisa mengubah, menghancurkan atau meniadakan, membangun atau menggalang. Cintanya pada Tuan saja yang kuharapkan bisa membebaskannya dari ibunya, biar dia jadi pribadi sendiri. Dari pengamatan belakangan ini, dari igauannya, dari sinar matanya, dia menyerahkan segala pada Tuan. Itu bukan dugaan, bukan andaian......"
Uraiannya semakin menarik karena memang menyangkut kepentinganku pribadi. "Sekali dia mulai membantah ibunya, itu berarti terjadinya gerak perubahan dalam pedalamannya. Memang akibatnya kesakitan, tepat seperti pada semua peristiwa kelahiran. Nyai sendiri tanpa disadarinya telah mempersiapkan terjadinya kelahiran dalam batin anaknya: dia tidak menentang hubungan Tuan dengan anaknya, malah menganjurkan dan menyarankan, malah mendorong-dorong. Dan masih ada satu hal yang mengganjal dalam hati si gadis.
(Mungkin ada beberapa hal atau kalimatnya yang tak tertangkap olehku karena keterbatasanku, maka tak kutulis disini).
"Annelies. pacar Tuan itu. masih punya perkara yang membebani hatinya yang rapuh selama ini. Memang semua jalan telah terbuka, dirintis oleh ibunya. Nampaknya Tuan memang pemuda yang diharapkan Nyai untuk jadi menantunyua. Tuan sendiri nampaknya menyetujui harapan itu. Biar begitu ganjalan dalam batin si gadis itu bukan tidak menegangkan. Dia telah dapat menawan hati Tuan. kalau aku tidak keliru. Semestinya dia berhak untuk berbahagia. Tetapi tidak. Tuan Minke. Dia justru sangat, sangat menderita: ketakutan kehilangan Tuan. orang yang dicintainya sejujur hatinya. Nah. kan itu suatu tumpuk penderitaan batin yang majemuk " Orang bisa jadi gila. Tuan, bukan main-main. bisa jadi miring, sinting, tak waras, kentir...." Ia berhenti bicara. Dari saku dikeluarkannya setangan dan menyeka muka dan leher. "Panas." katanya. Kemudian berdiri, pergi kepojokan dan memutar pesawat p"r kiliran angin. Setelah kitiran berputar dan mulai menyejukkan ruangan ia kembali duduk. "Bagiku, sebagai persoalan, semua ini mengasyikkan, sebaliknya terlalu mengibakan melihat kemudaan dan kecantikan seperti itu dikuasai oleh ketidakmenentuan. ketakutan-ketakutan.....Mengerti Tuan maksudku ?" "Belum, Tuan, ketakutan-ketakutan itu......"
"Nanti kita akan sampai juga. Barangkali sudah sejak Hawa kecantikan mengampuni kekurangan dan cacad seseorang. Kecantikan mengangkat wanita di atas sesamanya, lebih tinggi, lebih mulia. Tetapi kecantikan, bahkan hidup sendiri menjadi sia-sia bila dikuasai ketakutan. Kalau Tuan belum mengerti juga, inilah soalnya: dia harus dibebaskan dari ketakutan, semua ketakutan itu."
"Ya, Tuan." "Jangan hanya ya-ya-ya. Tuan terpelajar, bukan yes-man. Kalau tidak sependapat, katakan. Belum tentu kebenaran ada pada pihakku, karena aku memang bukan ahli jiwa. Jadi kalau tak sependapat, katakan terus-terang agar memudahkan pekerjaan menyembuhkan dia."
"Sama sekali tidak ada pendapat, Tuan."
"Tidak mungkin. Coba katakan." Aku diam saja. "Kan sudah tak terlalu panas " Lihat, Tuan Minke, dalam kehidupan ilmu tak ada kata malu. Orang tidak malu karena salah atau keliru. Kekeliruan dan kesalahan justru akan memperkuat kebenaran, jadi juga membantu penyelidikan." "Betul, Tuan, tidak ada."
"Aku tahu Tuan menyembunyikan sesuatu. Terpelajar pasti punya pendapat, biarpun keliru. Ayoh, katakan."
Matanya yang kelabu bening seperti gundu itu menatap aku. Dua belah tangannya ditaruhnya di atas pundakku:
"Pandang mataku, katakan sejujur hati Tuan. Jangan sulitkan aku." Aku tatap matanya, dan karena beningnya seakan penglihatanku dapat tembus sampai ke otaknya.
"Dengan hormat, katakan. Harap jangan bikin gagal pekerjaanku " "Tuan," aku mulai mengembik, "sungguh, baru sekali mi kutemui uraian semacam ini. Aku dalam keadaan terheran-he-ran, mana bisa menyimpulkan sesuatu "
Tentang Annelies dan Mama memang pernah aku rasai ada persoalan-persoalan tertentu. Terutama tentang Robert. Menurut perasaanku, bukan dan belum pendapatku, segala apa yang Tuan sampaikan padaku, kira-kira tidak ada salahnya. Malah membuka jalan untuk mengerti. Apakah aku keliru ?"
"Cukup dan tidak keliru. Di bidang ilmu rendahhati kadang diperlukan. Hanya kadang saja. Untuk menjawab pertanyaanku Tuan tak perlu rendahhati. Tapi, ya, maaf, kalau tingkahku seperti jaksa. Aku yakin, ini untuk kepentingan Tuan juga." Putaran kitiran itu sudah mulai berkurang dan ia pergi ke-pojokkan untuk melakukan pemutaran per lagi.
"Baik," katanya tanpa duduk. "Kalau begitu dengarkan, barangkali bisa jadi pertimbangan di rumah nanti. Mula-mula tentang ketakutan kehilangan Tuan. Soal itu sepenuhnya tergantung pada Tuan. Tak ada orang lain bisa mencampuri. Begitu dia melihat tanda-tanda Tuan akan meninggalkannya, dia akan gelisah. Maka Tuan jangan sampai memperlihatkan apalagi melakukannya. Melakukannya berarti dia akan patah." Ia ambil pensil dari atas mejatulis. "Seperti ini," dan dipatahkannya pensil itu. "Patahan pensil ini memang masih bisa dipergunakan. Patahan jiwa tidak, Tuan Minke. Kalau hidup terus orang menjadi beban semua. Kalau mati dia akan jadi sesalan. Kan sekali sudah kukatakan: Tuanlah dokternya " Bisa jadi Tuan justru pembunuhnya: bila tuan mencederai cintanya. Nah, telah kukatakan, seterangterangnya. Tanpa malu, tanpa takut, tanpa pamrih. Terserah pada Tuan, hendak jadi dokter atau pembunuh. Dengan mengatakan ini tanggungjawabku menjadi berkurang."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar