Sabtu, 19 November 2022

BUMI MANUSIA KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER #8/27

 


Malah melalui dukun dan tirakat ia berusaha menggendam Tuan Administratur, Tuan Besar Kuasa, agar sudi datang ke rumah Juga tak berhasil. Sebaliknya ia sendiri sering berkunjung ke rumahnya. Bukan untuk menemui pembesarnya karena sesuatu urusan. Untuk membantu kerja di belakang! Tuan Administratur tak pernah mempedulikannya.
Aku sendiri merasa risi mendengar semua itu. Kadang dengan diam-diam kuperhatikan ayahku dan merasa iba. Betapa jiwa dan raganya disesah oleh impian itu. Betapa ia hinakan diri dan martabat sendiri. Tapi aku tak berani bicara apa-apa. Memang kadang aku berdoa agar ia menghentikan kelakuannya yang memalukan itu. Para tetangga sering bilang: lebih baik dan paling baik adalah memohon pada Allah; sampai berapalah kekuasaan manusia, apalagi orang kulit putih pula. Doaku untuknya bukan agar ia mendapatkan jabatan itu agar ia dapat mengebaskan diri dari kelakuannya yang memalukan. Waktu itu memang aku tidak akan mampu bercerita seperti ini. Hanya merasakan dalam hati. Dan semua doaku juga tanpa hasil.
Tuan Besar Kuasa adalah seorang bujangan sebagai biasanya orang Totok pendatang baru. Umurnya mungkin lebih tua dari ayahku, jurutulis Sastrotomo itu. Orang bilang, pernah juga ayahku menawarkan wanita padanya. Orang itu bukan saja tidak menerima tawaran dan berterimakasih, malah memaki, mengancam akan memecatnya', Sejak itu ayah jadi ketawaan umum. Ibuku menjadi kurus setelah mendengar sindiran orang: Jangan-jangan anaknya sendiri nanti yang ditawarkan, yang mereka maksudkan adalah aku.
Tentu kau mengerti bagaimana sesak hidup ini mendengar itu. Sejak itu aku tak berani keluar rumah lagi. Setiap waktu mataku liar menatap keruang depan kalau kalau ada tamu orang kulit putih. Syukur tamu itu tidak ada.
Tidak seperti pegawai Belanda lainnyaTuan Besar Kuasa tidak suka ikut bertayub dalam pesta giling. Setiap hari minggu ia pergi ke kota Sidoarjo untuk bersembahyang di gereja Protestan Pada jam tujuh pagi orang bisa melihat ia pergi naik kuda atau kereta. Aku sendin pernah melihatnya dari kejauhan. Waktu berumur tigabelas aku mulai dipingit, dan hanya tahu dapur, ruangbelakang dan kamarku sendiri. Teman-teman lain sudah pada dikawinkan. Kalau ada tetangga atau sanak datang baru kurasai diri berada di luar rumah seperti semasa kanakkanak dulu. Malah duduk di pendopo aku tak diperkenankan. Menginjak lantainya pun tidak.
Bila pabrik berhenti kerja dan pegawai dan buruh pulang sering aku lihat dari dalam rumah orang lalulalang menoleh ke rumah kami. Tentu saja. Tamu-tamu wanita yang berkunjung selalu memuji aku sebagai gadis cantik, bunga Tulangan, kembang Sidoarjo. Kalau aku bercermin, tak ada alasan lain daripada membenarkan sanjungan mereka. Ayahku seorang yang ganteng. Ibuku aku tak pernah tahu namanya seorang wanita cantik dan tahu memelihara badan. Semestinya, sebagaimana lazimnya, ayahku beristri dua atau tiga, apalagi ayah mempunyai tanah yang disewa pabrik dan tanah lain yang digarap oleh orang lain. Ia tidak demikian. Ia merasa cukup dengan seorang istri yang cantik. Di samping itu ia hanya mengimpikan jabatan jurubayar, pemegang kas pabrik, Pribumi paling terhormat di kemudian hariBegitulah keadaannya, Ann.
Waktu berumur empatbelas masyarakat telah menganggap aku sudah termasuk golongan perawan tua. Aku sendiri sudah haid dua tahun sebelumnya. Ayah mempunyai rencana tersendiri tentang diriku. Biar pun ia dibenci, lamaran-lamaran datang meminang aku. Semua ditolak. Aku sendiri beberapa kali pernah mendengar dari kamarku. Ibuku tak punya hak bicara seperti wanita Pribumi seumumnya. Semua ayah yang menentukan. Pernah ibu bertanya pada ayah, menantu apa yang ayah harapkan.
Dan ayah tidak pernah menjawab.
Tidak seperti ayahku, Ann, aku takkan menentukan bagaimana harusnya macam menantuku kelak. Kau yang menentukan, aku yang menimbang-nimbang. Begitulah keadaanku, keadaan semua perawan waktu itu, Ann 1 hanya bisa menunggu datangnya seorang lelaki yang akan mengambilnya dari rumah, entan ke mana, entah sebagai istri nomor berapa, pertama atau keempat. Ayahku dan hanya ayahku yang menentukan. Memang oer-untung kalau jadi yang pertama dan tunggal. Dan itu keluar-saan dalam masyarakat pabrik. Masih ada lagi. Apa lelak.yang mengambil dari rumah itu tua atau muda, seorang perawan gg
perlu mengetahui sebelumnya. Sekali peristiwa itu terjadi perem puan harus mengabdi dengan seluruh jiwa dan raganya pada |e. laki tak dikenal itu, seumur hidup, sampai mati atau sampai dia bosan dan mengusir. Tak ada jalan lain yang bisa dipilih. Boleh jadi dia seorang penjahat, penjudi atau pemabuk. Orang takkan bakal tahu sebelum jadi istrinya. Akan beruntung bila yang datang itu seorang budiman. Pada suatu malam Tuan Administratur, Tuan Besar Kuasa itu, datang ke rumah. Aku sudah mulai cemas. Ayahku gopoh-gapah memerintahkan ini-itu pada Ibu dan aku untuk kemudian dibantahnya sendiri dengan perintah baru. Ia perintahkan aku mengenakan pakaian terbaik dan sekali-dua mengawasi sendiri aku berhias. Memang aku curiga, jangan-jangan benar bisik-de-sus orang itu. Ibuku lebih curiga lagi. Belum apa-apa, dan ia sudah menangis tersedan-sedan di pojokan dapur dan membisu seribu logat.
Ayahku, jurutulis Sastrotomo, memerintahkan aku keluar menyuguhkan kopisusu kental dan kue. Ayah memang sudah berpesan: bikin yang kental. Keluarlah aku menating talam. Kopisusu dan kue di atasnya. Tak tahu aku bagaimana wajah Tuan Besar Kuasa. Tak layak seorang gadis baik-baik mengangkat mata dan muka pada seorang tamu lelaki tak dikenal baik oleh keluarga. Apalagi orang kulit putih pula. Aku hanya menunduk, meletakkan isi talam di atas meja. Biar bagaimana pun nampak pipa celananya, putih dari kain drill. Dan sepatunya, besar, panjang. Menandakan orangnya pun tinggi dan besar.
Aku rasai pandang Tuan Besar Kuasa menusuk tangan dan leherku. "Ini anak sahaya, Tuan Besar Kuasa," kata ayahku dalam Melayu. "Sudah waktunya punya menantu," sambut tamu itu. Suaranya besar, berat dan dalam, seperti keluar dari seluruh dada. Tak ada orang Jawa bersuara begitu. Aku masuk lagi untuk menantikan perintah baru. Dan perintah itu tidak datang. Kemudian Tuan Besar Kuasa pergi bersama ayah. Ke mana aku tak tahu. Tiga hari kemudian, pada tengah hari Minggu sehabis makansiang. Ayah memanggil aku. Di ruangtengah ia duduk bersama Ibu. Aku berlutut di hadapannya. "Jangan, Pak, jangan," Ibu menegah.
"Kem, Ikem," Ayah memulai. "Masukkan semua barang milik dan pakaianmu ke dalam kopor Ibumu. Kau sendiri pakaian baik-baik, yang rapih, yang menarik." Ah, betapa banyak pertanyaan sambar-menyambar di dalam hati. Aku harus lakukan semua perintah orangtuaku, terutama ayah. Dari luar kamarku kudengar Ibu menyangkal dan menyangkal tanpa mendapat pelayanan.
Telah kumasukkan semua pakaian dan barang milikku. Dibandingkan dengan gadisgadis lain barangkali pakaianku termasuk banyak dan mahal, maka kupelihara baikbaik. Kain batikku lebih dari enam. Di antaranya batikanku sendiri. Dan keluarlah aku membawa kopor tua coklat yang sudah penyok disana-sini itu. Ayah dan Ibu masih duduk di tempat semula. Ibu menolak berganti pakaian. Kemudian kami bertiga naik dokar yang telah menunggu di depan rumah. Di atas kendaraan ayah bilang, suaranya terang tanpa keraguan "Tengok rumahmu itu, Ikem. Mulai hari ini itu bukan rumahmu lagi." Aku harus dapat memahami maksudnya. Kudengar Ibu tersedan-sedan. Memang aku sedang dalam pengusiran dari rumah. Aku pun tersedu-sedu. Dokar berhenti di depan rumah Tuan Besar Kuasa. Kami semua turun. Itulah untuk pertama kali Ayah berbuat sesuatu untukku: menjinjingkan koporku. Tak berani aku melihat sekelilingku. Namun aku merasa ada beribu-ribu pasang mata melihatkan kami dengan terheran-heran.
Aku berdiri saja di atas jenjang tangga rumah batu itu. Pikiran dan perasaan telah menjadi tambahan beban, menghisap segala dari tubuh. Badan tinggal jadi kulit. Jadi ke sini juga akhirnya aku dibawa, ke rumah Tuan Besar Kuasa, seperti sudah lama disindirkan. Sungguh, Ann, aku malu mempunyai seorang ayah jurutulis Sastrotomo. Dia tidak patut jadi ayahku. Ta-pi aku masih anaknya, dan aku tak bisa berbuat sesuatu. Airma-ta dan lidah Ibu tak mampu jadi penolak bala. Apalagi aku yang tak tahu dan tak memiliki dunia ini. Badan sendiri pun bukan aku punya. Tuan Besar Kuasa keluar. Ia tersenyum senang dan matanya berbinar. Ada kudengar suaranya. Dengan bahasa isyarat yang asing ia silakan kami naik. Sekilas menjadi semakin jelas
Ah betapa tinggi besar tubuhnya. Mungkin beratnya tiga kali ayah. Mukanya kemerahan. Hidungnya begitu mancungnya, cukup untuk tiga atau empat orang Jawa sekaligus. Kulit lengannya kasar seperti kulit biawak dan berbulu lebat kuning. Aku kertakkan gigi. menunduk lebih dalam. Lengan itu sama besarnya dengan kakiku.
Jadi benar aku diserahkan pada raksasa putih berkulit biawak ini Aku harus tabah, kubisikkan pada diri sendiri. Takkan ada yang menolong kau! Semua setan dan iblis sudah mengepung aku.
Untuk pertama kali dalam hidupku, karena silaan Tuan Besar Kuasa, aku duduk di kursi sama tinggi dengan Ayah. Dihadapan kami bertiga: Tuan Besar Kuasa. Ia bicara Melayu' Hanya sedikit kata dapat kutangkap. Selama pembicaraan semua terasa timbul-tenggelam dalam lautan. Tak ada senoktah pun tempat teguh. Dari kantongnya Tuan Besar Kuasa mengeluarkan sampul kertas dan menyerahkannya pada Ayah. Dari saku itu pula ia keluarkan selembar kertas berisi tulisan dan Ayah mem bubuhkan tandatangan di situ. Di kemudianhari kuketahui, sampul itu berisikan uang dua puluh lima gulden, penyerahan diriku kepadanya, dan janji Ayah akan diangkat jadi kassier setelah lulus dalam pemagangan selama dua tahun. Ann, upacara sederhana bagaimana seorang anak telah dijual oleh ayahnya sendiri, jurutulis Sastrotomo. Yang dijual adalah diriku: Sanikem. Sejak detik itu hilang sama sekali penghargaan dan hormatku pada ayahku; pada siapa saja yang dalam hidupnya pernah menjual anaknya sendiri. Untuk tujuan dan maksud apa pun. Aku masih tetap menunduk, tahu takkan ada seorang pun tempat mengadu. Di dunia ini hanya Ayah dan Ibu yang berkuasa. Kalau Ayah,sendiri sudah demikian, kalau Ibu tak dapat membela aku, akan bisa berbuat apa orang lain.
Kata-kata terakhir Ayah: "Ikem, kau tidak keluar dari rumah ini tanpa ijin Tuan Besar Kuasa. Kau tidak kembali ke rumah tanpa seijinnya dan tanpa seijinku."
Aku tak melihat pada mukanya waktu dia mengatakan itu.
Aku masih tetap menunduk. Itulah suaranya yang terakhir yang pernah aku dengar. Ayah dan Ibu pulang dengan dokar yang tadi juga. Aku tertinggal di atas kursi bermandi airmata, gemetar tak tahu apa harus kuperbuat. Dunia terasa gelap. Samar-samar nampak dari bawah keningku Tuan Besar Kuasa naik. lagi ke rumah setelah mengantarkan orangtuaku. Diangkatnya koporku dan di bawanya masuk. Ia keluar lagi, mendekati aku. Ditariknya tanganku disuruh berdiri. Aku menggigil. Bukan aku tak mau berdiri, bukan aku membangkang perintah. Aku tak kuat berdiri. Kainku basah. Kedua belah kakiku malah begitu menggigilnya seakan tulangbelulang telah terlepas dari perbukuan. Diangkatnya aku seperti sebuah guling tua dan dibopongnya masuk, diletakkannya tanpa daya di atas ranjang yang indah dan bersih. Duduk pun aku tiada mampu. Aku tergolek, mungkin pingsan. Tapi mataku masih dapat melihat pemandangan sayup-sayup dalam kamar itu. Tuan Besar Kuasa membuka koporku yang tiada berkunci dan memasukkan pakaianku ke dalam lemari besar. Kopor ia seka dengan lap dan ia masukkan dalam bagian bawah. Kembali ia hampiri diriku yang tergolek tanpa daya.
"Jangan takut," katanya dalam Melayu. Suaranya rendah seperti guruh. Nafasnya memuputi mukaku.
Aku tutup mataku rapat-rapat. Akan berbuat apa raksasa ini terhadap diriku " Ternyata ia angkat dan digendong aku ki-an-kemari seperti boneka kayu dalam kamar itu. Ia tak peduli pada kainku yang basah. Bibirnya menyentuhi pipi dan bibirku. Aku dapat dengarkan nafasnya yang menghembusi kupingku begitu keras. Menangis aku tak berani. Bergerak pun tak berani. Seluruh tubuh bercucuran keringat dingin.
Didirikannya aku di atas ubin. Ia segera tangkap aku kembali melihat aku meliuk hendak roboh. Diangkatnya aku lagi dan dipeluk dan diciuminya. Aku masih ingat kata-katanya yang diucapkannya, tapi waktu itu aku belum mengerti maksudnya: "Sayang, sayangku, bonekaku, sayang, sayang."
Dilemparkannya aku ke atas dan ditangkapnya kemudian pada pinggangku. Ia goncang-goncang aku, dan dengan jalan itu aku dapatkan sebagian dari kekuatanku. Ia dirikan aku kembali ke lantai. Aku terhuyung dan ia menjaga dengan tangan agar aku tak jatuh. Aku terus juga terhuyung, terjerembab pada tepi-an ranjang. Ia melangkah padaku, membuka bibirku dengan jari-jarinya. Dengan isyarat ia perintahkan mulai sejak itu menggosok gigi. Maka ia tuntun aku pergi ke belakang, ke kamarmandi. Itulah untuk pertama kali aku melihat sikatgigi dan bagaimana menggunakannya. Ia tunggui aku sampai selesai, dan gusiku rasanya sakit semua. Dengan isyarat pula ia perintahkan aku mandi dan menggosok diri dengan sabunmandi yang wangi. Semua perintahnya aku laksanakan seperti perintah orangtua sendiri. Ia menunggu di depan kamarmandi dengan membawa sandal di tangannya. Ia pasang sandal itu pada kakiku. Sangat, sangat besar sandal pertama yang pernah aku kenalkan dalam hidupku dari kulit, berat. ia gendong aku masuk Ke rumah, ke Kamar. Didudukkannya aku di depan sebuah cermin. Ia gosok rambutku denga selembar kain tebal, yang kelak aku ketahui bernama anduk sampai kering, kemudian ia minyaki begitu wangi baunya Aku tak tahu minyak apa. Dialah juga yang menyisiri aku seakan aku tak bisa bersisir sendiri. Ia mencoba mengkondai rambutku, tapi tak bisa dan membiarkan aku menyelesaikan.
Kemudian ia suruh aku berganti pakaian, dan ia mengawasi segala gerakku. Rasanya aku sudah tak berjiwa lagi, seperti selembar wayang di tangan ki dalang. Selesai itu aku dibedakinya Kemudian bibirku diberinya sedikit gincu. Dibawanya aku keluar kamar. Dipanggilnya dua orang bujangnya perempuan. "Layani nyaiku ini baikbaik!"
Begitulah hari pertama aku menjadi seorang nyai, Ann. Dan ternyata perlakuannya yang menyayang dan ramah telah membuat sebagian dari ketakutanku menjadi hilang.
Setelah berpesan pada bujang-bujangnya Tuan Besar Kuasa terus pergi. Ke mana aku tak tahu. Dua wanita itu dengan cekikikan menyindir aku sebagai orang beruntung diambil jadi nyai. Tidak, aku tak boleh dan tak mau bicara sesuatu pun. Aku tak mengenal rumah ini atau pun kebiasaannya. Memang ada terniat dalam hati untuk lari. Tapi pada siapa aku harus melindungkan diri " Apa harus aku perbuat setelah itu " Aku tak berani. Aku berada dalam tangan orang yang sangat berkuasa, lebih berkuasa daripada Ayah. daripada semua Pribumi di Tulangan. Mereka menyediakan untukku makan dan minum. Sebentar-sebentar mengetuk pintu dan menyilakan dan menawarkan ini-itu. Aku diam membisu, duduk saja di lantai, tak berani menjamah barang sesuatu dalam kamar itu. Mataku terbuka, tapi takut melihat. Mungkin itu mati dalam hidup.
Pada malam hari Tuan datang. Kudengar langkah sepatunya yang makin mendekat. Ia langsung masuk ke dalam kamar. Aku gemetar. Lampu, yang tadi sore, dinyalakan oleh bujang, memantulkan cahaya pada pakaiannya yang serba putih dan menyilaukan. Ia dekati aku. Diangkatnya badanku dari lantai, diletakkannya di ranjang dan digolekkan di atasnya. Bernafas pun rasanya aku tak berani, takut menggusarkannya.
Aku tak tahu sampai berapa lama bukit daging itu berada bersama denganku. Aku pingsan, Annelies. Aku tak tahu lagi apa yang telah terjadi.
Begitu aku siuman kembali, kuketahui aku bukan si Sanikem vang kemarin. Aku telah jadi nyai yang sesungguhnya. Kemudian hari aku ketahui nama Tuan Besar Kuasa itu: Herman Mellema. Papamu, Ann, Papamu yang sesungguhnya. Dan nama Sanikem hilang untuk selama-lamanya.
Kau sudah tidur, belum " Belum "
Mengapa aku ceritakan ini padamu, Ann " Karena aku tak ingin melihat anakku mengulangi pengalaman terkutuk itu. Kau harus kawin secara wajar. Kawin dengan seorang yang kau sukai dengan semau sfendiri. Kau anakku, kau tidak boleh diperlakukan seperti hewan semacam itu. Anakku tak boleh dijual oleh siapa pun dengan harga berapa pun. Mama yang menjaga agar yang demikian takkan terjadi atas dirimu. Aku akan berkelahi untuk hargadiri anakku. Ibuku dulu tak mampu mempertahankan aku, maka dia tidak patut jadi ibuku. Bapakku menjual aku sebagai anak kuda, dia pun tidak patut jadi bapakku. Aku tak punya orangtua. Hidup sebagai nyai terlalu sulit. Dia cuma seorang budak belian yang kewajibannya hanya memuaskan tuannya. Dalam segala hal! Sebaliknya setiap waktu orang harus bersiap-siap terhadap kemungkinan tuannya sudah merasa bosan. Salah-salah bisa badan diusir dengan semua anak, anak sendiri, yarig tidak dihargai oleh umum Pribumi karena dilahirkan tanpa perkawinan syah.
Aku telah bersumpah dalam hati: takkan melihat orangtua dan rumahnya lagi. Mengingat mereka pun aku sudah tak sudi. Mama tak mau mengenangkan kembali peristiwa penghinaan itu. Mereka telah bikin aku jadi nyai begini. Maka aku harus jadi nyai, jadi budak belian, yang baik, nyai yang .sebaik-baiknya. Mama pelajari semua yang dapat kupelajari dari kehendak tuanku: kebersihan, bahasa Melayu, menyusun tempat tidur dan rumah, masak cara Eropa. Ya, Ann, aku telah mendendam orangtua sendiri. Akan kubuktikan pada mereka, apa pun yang telah diperbuat atas diriku, aku harus bisa lebih berharga daripada mereka, sekali pun hanya se bagai nyai.
Ann, satu tahun lamanya aku hidup di rumah Tuan Besar Kuasa Herman Mellema. Tak pernah keluar, tak pernah diajak jalan-jalan atau menemui tamu. Apa pula gunanya " Aku sendiri pun malu pada dunia. Apalagi pada kenalan, tetangga. Bahkan malu punya orangtua. Semua bujang kemudian aku suruh pergi. Semua pekerjaan rumah aku lakukan sendiri. Tak boleh ada saksi terhadap kehidupanku sebagai nyai. Tak boleh ada berita tentang diriku: seorang wanita hina-dina tanpa harga, tanpa kemauan sendiri ini.
Beberapa kali jurutulis Sastrotomo datang menengok. Mama menolak menemui. Sekali istrinya datang, melihatnya pun aku tak sudi. Tuan Mellema tidak pernah menegur kelakuanku. Se-baliknya ia sangat puas dengan segala yang kulakukan. Nampaknya ia juga senang pada kelakuanku yang suka belajar. Ann papamu sangat menyayangi aku. Namun semua itu tak dapat mengobati kebanggaan dan harga diri yang terluka. Papamu te-tap orang asing bagiku. Dan memang Mama tak pernah meng-gantungkan diri padanya. Ia tetap kuanggap sebagai orang yang tak pernah kukenal, setiap saat bisa pulang ke Nederland, meninggalkan aku, dan melupakan segala sesuatu di Tulangan. Maka diriku kuarahkan setiap waktu pada kemungkinan itu. Bila Tuan Besar Kuasa pergi aku sudah harus tidak akan kembali ke rumah Sastrotomo. Mama belajar menghemat, Ann, menyimpan. Papamu tak pernah menanyakan penggunaan uang belanja. Ia sendiri yang berbelanja bahan ke Sidoarjo atau Surabaya untuk sebulan.
Dalam setahun telah dapat kukumpulkan lebih dari seratus gulden. Kalau pada suatu kali Tuan Mellema. pergi pulang atau mengusir aku, aku sudah punya modal pergi ke Surabaya dan berdagang apa saja.
Setelah setahun hidup bersama dengan Tuan Mellema, kontrak papamu habis. Ia tidak memperpanjangnya. Sudah sejak di Tulangan ia mentemakkan sapi perah dari Australia dan diajarinya aku bagaimana memeliharanya. Di malamhari aku diajarinya baca-tulis, bicara dan menyusun kalimat Belanda.
   Kami pindah ke Surabaya. Tuan Mellema membeli tanah luas di Wonokromo, tempat kita ini, Ann. Tapi dulu belum seramai sekarang, masih berupa padang semak dan rumpun-rumpun hutan muda. Sapi-sapi dipindahkan kemari.
Pada waktu itu Mama mulai merasa senang, berbahagia. Ia selalu mengindahkan aku, menanyakan pendapatku, mengajak aku memperbincangkan semua hal. Lama kelamaan aku merasa sederajat dengannya. Aku tak lagi malu bila toh terpaksa bertemu dengan kenalan lama. Segala yang kupelajari dan kukerjakan dalam setahun itu telah mengembalikan hargadiriku. Tetapi sikapku tetap: mempersiapkan diri untuk tidak akan lagi tergantung pada siapa pun. Tentu saja sangat berlebihan seorang perempuan Jawa bicara tentang hargadiri, apalagi semuda itu. Y ' pamu yang mengajari, Ann. Tentu saja jauh di kemudian hari aku dapat rasakan wujud hargadiri itu.
Juga ke tempat baru ini beberapa kali ayah datang menengok, dan aku tetap menolak menemuinya.
"Temui ayahmu," sekali Tuan Mellema menyuruh, "dia toh ayahmu sendiri." "Aku memang ada ayah, dulu, sekarang tidak. Kalau dia bukan tamu Tuan, sudah aku usir."
"Jangan," tegah Tuan.
"Lebih baik pergi dari sini daripada menemuinya."
"Kalau pergi, bagaimana aku " Bagaimana sapi-sapi itu " Tak ada yang Bisa mengurusnya."
"Banyak orang bisa disewa buat mengurusnya." "Sapi-sapi itu hanya mengenal kau."
Begitulah aku mulai mengerti, sesungguhnya Mama sama sekali tidak tergantung pada Tuan Mellema. Sebaliknya, dia yang tergantung padaku. Jadi Mama lantas mengambil sikap ikut menentukan segala perkara. Tuan tidak pernah menolak. Ia pun tak pernah memaksa aku kecuali dalam belajar. Dalam hal ini ia seorang guru yang keras tapi baik, aku seorang murid yang taat dan juga baik. Mama tahu, semua yang diajarkannya pada suatu kali kelak akan berguna bagi diriku.dan anak-anakku kalau Tuan pulang ke Nederland.
Tentang Sastrotomo ia tidak mendesak-desak lagi. Beberapa kali jurutulis itu menyampaikan pesan melalui Tuan, kalau sekiranya aku segan menemuinya, hendaklah menulis sepucuk surat. Aku tak pernah laksanakan. Biar pun hanya sebaris-dua. Biar pun aku sudah pandai menulis, juga dalam Melayu dan Belanda. Berkali-kali Sastrotomo menyurati. Tak pernah aku membacanya, malah kukirim balik.
Pada suatu kali Ibu bersama Ayah datang ke Wonokromo. Tuan merasa gelisah, mungkin malu, karena aku tetap tidak mau menemui. Tamu itu, menurut Tuan, telah merajuk minta bertemu. Ibu sampai menangis. Melalui Tuan aku katakan: "Anggaplah aku sebagai telornya yang telah jatuh dari petarangan. Pecah. Bukan telor yang salah."


Tidak ada komentar:

Posting Komentar