May Marais tidak tahu atau belum tahu semua itu. Aku akan melukis sambil jadi serdadu, Jean Marais bertekad. Pribumi Hindia sangat sederhana. Takkan ada perang yang bakal mereka menangkan. Apa arti parang dan tombak di hadapan senapan dan meriam " pikirnya. Ia dikirimkan ke Aceh sebagai spandri . Komandan regunya, Kopral Bastiaan Telinga, seorang Indo-Eropa. Sekiranya ia bukan Totok, tak bisa tidak ia akan tinggal jadi serdadu kias dua. Mulailah ia hidup di antara serdaduserdadu Eropa Totok seperti dirinya sendiri, yang juga tak tahu Belanda: orang Swiss, Jerman, Swedia, Belgia, Rusia, Hongaria, Romania, Portugis, Spanyol, Italia hampir semua bangsa Eropa semua sampah buangan dari kehidupan negeri masing-masing. Mereka adalah orang-orang putus-asa, atau ban-dit-bandit pelarian, atau orang yang lari dari tagihan hutang, atau bangkrut karena perjudian dan spekulasi, semua saja petualang.
Dan tak ada di antara mereka di bawah spandri. Serdadu kias dua hanya pangkat untuk Indo dan Pribumi dan umumnya orang-orang Jawa dari Purworejo. Mengapa pada umumnya Pribumi dari Purworejo " sekali waktu aku pernah bertanya. Mereka itu, jawabnya, orang-orang yang tenang. Kompeni memilih mereka untuk menghadapi bang-sa Aceh yang bukan saja pandai menggertak, juga ulet dan keras seperti baja, bangsa perbuatan. Orang-orang berangsangan, terutama dari daerah kapur yang tangguh pada awalnya saja, akan tumpas di Aceh. Pengalaman di Aceh membikin ia mengakui: prasangkanya tentang kemampuan perang Pribumi ternyata keliru. Kemampuan mereka tinggi, hanya peralatannya rendah; kemampuan berorganisasi juga tinggi. Sebaliknya ia juga mengakui kehebatan orang Belanda dalam memilih tenaga perang.
Prasangkaku, sekali waktu ia bercerita, bahwa parang dan tombak, dan ranjau Aceh, takkan mampu menghadapi senapan dan meriam,juga keliru.
Orang Aceh punya cara berperang khusus. Dengan alamnya, dengan kemampuannya, dengan kepercayaannya, telah banyak kekuatan Kompeni dihancurkan. Aku heran melihat kenyataan ini, tambahnya lagi. Mereka membela apa yang mereka anggap jadi haknya tanpa mengindahkan maut. Semua orang, sampai pun kanak-kanak! Mereka kalah, tapi tetap melawan. Melawan, Minke, dengan segala kemampuan dan ketakmampuan.
Waktu aku bertugas di sana, pada lain kali ia bercerita dengan bahasa yang campuraduk itu, pertahanan orang Aceh sudah terdesak jauh ke pedalaman dan selatan, di daerah Take-ngon. Seorang panglima Aceh, Tjoet Ali, sudah kehilangan banyak kekuatan dan daerah, namun tetap dapat mempertahankan ketinggian semangat pasukannya suatu rahasia yang tak dapat aku pfecahkan. Mereka tetap bertempur, bukan hanya melawan Kompeni, juga melawan kehancurannya sendiri. Hubungan lalu-lintas Kompeni selalu jadi sasaran empuk: jembatan, jalanan, kawat tilgrap, keretapi dan relnya, peracunan air minum, serangan dadakan, ranjau bambu, penyergapan, penikaman tak terduga, pengamukan dalam tangsi...... Para jendral Belanda hampir-hampir tak sanggup meneruskan operasi penumpasan. Yang tertumpas selalu kanak-kanak, kakek-nenek, orang sakit, wanita bunting. Dan orang-orang tak berdaya itu, Minke, justru merasa beruntung bila dibunuh Kompeni. Sassus dari atasan mengatakan: -memang kurban di antara serdadu Eropa tak pernah mencapai tiga ribu orang seperti dalam perang Jawa, tapi ketegangan syaraf menguasai seluruh pasukan Kompeni di setiap jengkal tanah yang diinjaknya. Dan Jean Marais mulai belajar mengagumi dan mencintai bangsa Pribumi yang gagah-perwira ini, berwatak dan berpribadi kuat ini. Dua puluh tujuh tahun mereka sudah berperang, berhadapan dengan senjata paling ampuh pada jamannya, hasil ilmu-pengetahuan dan pengalaman seluruh peradaban Eropa.
Cinta itu indah, Minke, terlalu indah, katanya. Ia masih juga belum bercerita bagaimana ia dapat mengubah wanita musuhnya jadi wanita yang dicintai dan boleh jadi mencintainya juga, jadi wanita yang memberinya seorang anak kesayangan, May sekarang duduk bercericau di pangkuanku.
Aku belai rambutnya. Berapa bulan ibumu sempat memberimu air dada padamu, anak manis " Kau tak pernah melihat pasang mata ibiimu, wanita Aceh kelahiran pantai itu! Kau takkan pernah bisa berbakti padanya. Kau, semuda ini, May, telah kehilangan sesuatu yang tak mungkin akan tergantikan oleh apa dan siapa pun! "Lihat sana itu, Oom," serunya dalam Belanda, "di atas mendung mendatang itu, masa layang-layang seperti kepiting!"
"Memang tidak cocok kalau kepiting terbang di langit. Men-dung semakin tebal", May, mari pulang."
Jean Marais masih mencangkungi meja-gambar. Ia angkat pandang waktu kami masuk. May segera menghampiri ayahnya dan bercericau tentang layang-layang kepiting di atas mendung Jean mengangguk memperhatikan. Dan aku mondarmandir melihat-lihat lukisan jadi yang besok atau lusa harus kuantarkan pada Jean kufikir mungkin mampu melayani kebawelan mereka. Ada saja perubahan yang mereka kehendaki agar lukisan lebih sesuai dengan anggapan mereka sendiri. Dan itulah pekerjaanku pekerjaan berat tentu meyakinkan mereka: pelukisnya adalah pelukis besar Prancis, cukup jadi jaminan akan keabadiannya lebih abadi dari pemesannya sendiri. Kalau diubah lagi, keabadiannya akan rusak dan akan di potret kimia biasa. Kebawelan paling gigih selamanya datang dan pemesan wanita. Beruntung aku banyak mendengar keterangan dan Jean sendiri: wanita lebih suka mengabdi pada kekinian dan gentar pada ketuaan: mereka dicengkam oleh impian tentang kemudaan yang rapuh itu dan hendak bergayutan abadi pada kemudaan impian itu Umur sungguh aniaya bagi wanita. Maka juga setiap kebawelan wanita harus dilawan dengan kebawelan lain: lukisan mi adalah warisan terbaik untuk anakanak Mevrouw, bukan sema-ta-mata untuk Mevrouw. (Beruntung semua pemesan wamta itu bukan dari golongan mandul). Biasanya kebawelanku menang. Kalau toh kalah juga terpaksa aku mengancam: baik, kalau Mevrouw tak suka, lukisan ini akan kutebus sendiri, akan kupasang di rumahku sendiri. Biasanya ancaman demikian menimbulkan kecucukan.
Orang segera bertanya: untuk apa " Dan kujawab: kalau sudah jadi milikku apakah juga takkan ada halangan. Diapakan, misalnya " Ya, memang bisa aku ben berkumis (tapi tak pernah aku nyatakan demikian). Pendeknya sampai sekarang aku tak pernah kalah dalam kebawelan, apalagi setelan tahu: kebawelan banyak kali dianggap wanita sebagai ukuran Kelihaian.
"Sudah sore, Jean, aku pulang.
"Terimakasih, Minke, atas segala dan semua kebaikanmu, ia lambaikan tangan meminta aku mendekat. "Bagaimanai seK lahmu " Buat kepentingan May dan aku kau tak pernah semp belajar di rumah. Aku kuatir......."
"Beres, Jean. Ujian selalu aku lalui dengan selamat." Menyeberangi pagar hidup di samping rumah sampailah aku di pelataran pemondokan. Darsam sudah lama menunggu aku dengan sepucuk surat.
"Tuanmuda," ia memberi tabik, kemudian bicara jawa, "Nyai menunggu jawaban. Darsam menunggu, Tuanmuda."
Surat itu memberitahukan: keluarga Wonokromo menantikan kedatanganku; Annelies sekarang jadi pelamun, tak suka makan, pekerjaannya banyak terbengkalai, dan salah. "Sinyo Minke, alangkah akan berterimakasih seorang ibu yang banyak pekerjaan ini kalau Sinyo sudi memperhatikan kesulitannya. Annelies satu-satunya pembantuku. Aku takkan mampu kerjakan semua seorang diri. Aku kuatir sekali akan kesehatannya. Kedatangan Sinyo adalah segala-galanya bagi kami berdua. Datanglah, Nyo, biar pun hanya sebentar. Satu-dua jam pun memadai. Namun kami mengharapkan dengan sangat agar Sinyo suka tinggal pada kami. Selanjutnya terimakasih tak berhingga untuk perhatian dan kesudian Sinyo." Surat itu tertulis dalam Belanda yang patut dan benar. Rasanya tak mungkin ditulis oleh seorang lulusan sekolah dasar tanpa pengalaman. Entahlah, mungkin ditulis oleh orang lain. Setidak-tidaknya bukan oleh Robert Mellema. Tapi apa pentingnya siapa penulisnya " Surat itu memberanikan aku, mengembalikan kepribadianku: bukan aku saja telah tergenggam oleh mereka, mereka sebaliknya pun tergenggam olehku. Genggam-menggenggamlah, kalau tak dapat dikatakan sihir-menyihir. Seorang ibu yang bijaksana dan berwibawa seperti Nyai memang dibutuhkan oleh setiap anak, dan dara cantik tiada bandingan dibutuhkan oleh setiap pemuda. Lihat: mereka membutuhkan aku demi keselamatan keluarga dan perusahaan. Kan aku termasuk hebat juga " Aduh, sekarang ini betapa banyak alasan dapat aku bariskan untuk membenarkan diri sendiri. Baik. Aku akan datang.
4. SURAT NYAI MEMANG TIDAK BERLEBIHAN. Annelies kelihatan susut. Ia sambut aku pada tangga depan rumah. Matanya bersinar-sinar menghidupkan kembali wajahnya yang pucat waktu ia menjabat tanganku.
Robert Mellema tidak nampak. Aku pun tak menanyakan. Nyai muncul dari pintu di samping ruang depan.
"Akhirnya kau datang juga, Nyo. Betapa lamanya Annelies harus menunggu. Urus abangmu itu, Ann, aku masih banyak kerja, Nyo."
Aku masih sempat melirik ke dalam ruangan di samping ruangdepan. Ternyata tak lain dari kantor perusahaan. Nyai menutup kembali pintu, hilang di baliknya. Seperti pada kedatanganku yang pertama juga sekarang timbul perasaan itu dalam hati: seram. Setiap waktu rasanya bisa terjadi peristiwa aneh. Waspada, hati ini memperingatkan. Jangan lengah. Seperti dulu juga sekarang sepantun suara bertanya padaku: mengapa kau begitu bodoh berkunjung kemari " Sekarang hendak coba-coba tinggal di sini pula " Mengapa tidak pulang pada keluarga sendiri kalau memang bosan tinggal di pemondokan " Atau cari pemondokan lain " Mengapa kau mengikuti tarikan rumah seram ini, tidak melawan, bahkan menyerahkan diri mentah-mentah "
Annelies membawa aku masuk ke kamar yang dulu pernah kutempati. Darsam menurunkan kopor dan tasku dari bendi dan membawanya ke dalam kamar. "Biar kupindahkan pakaianmu ke dalam lemari," kata gadis itu. "Mana kunci kopormu " Sini!"
Aku serahkan kunci koporku dan ia mulai sibuk. Buku-buku dari kopor ia deretkan di atas meja, pakaian ke dalam lemari. Kemudian tas dibongkarnya. Darsam menaruh kopor dan tas kosong dia atas lemari. Dan Annelies kini memperbaiki deret buku itu sehingga nampak seperti serdadu berbaris.
"Mas!" itulah untuk pertama kali ia memanggil aku panggilan yang mendebarkan, menimbulkan suasana seakan aku berada di tengah keluarga Jawa. "Ini ada tiga pucuk surat. Kau belum lagi membacanya. Mengapa tak dibaca ?" Rasanya semua orang menuntut aku membacai surat-surat yang kuterima. "Tiga pucuk, Mas, semua dari B."
"Ya, nanti kubaca." .
Ia antarkan surat-surat itu padaku, berkata: "Bacalah. Barangkali penting."
Ia pergi untuk membuka pintu luar. Dan surat-surat itu kuletakkan di atas bantal. Kususul dia. Di hadapan kami terbentang taman yang indah, tidak luas, hampirhampir dapat dikatakan kecil-mungil, dengan kolam dan beberapa angsa putih bercengkerama seperti dalam gambar-gambar. Sebuah bangku batu berdiri di tepi kolam.
"Mari," Annelies membawa aku keluar, melalui jalan beton dalam apitan gazon hijau. Duduklah kami di atas bangku batu itu. Annelies masih juga memegangi tanganku. "Apa Mas lebih suka kalau aku bicara Jawa ?"
Tidak, aku tak hendak menganiayanya dengan bahasa yang memaksa ia menaruh diri pada kedudukan sosial dalam tata-hidup Jawa yang pelik itu.
"Belanda sajalah," kataku.
"Lama betul kami harus tunggu kau." "Banyak pelajaran, Ann, aku harus berhasil." "Mas pasti berhasil."
"Terimakasih. Tahun depan aku harus tamat. Ann, aku selalu terkenang padamu." Ia pandangi aku dengan wajah bersinar-sinar dan dirapat kannya tubuhnya padaku. "Jangan bohong," katanya.
"Siapa akan bohongi kau " Tidak." "Betul itu ?" ..,"
"Tentu. Tentu."
Aku pelukkan tanganku pada pinggangnya dan kudengar nafasnya terengah-engah. Ya Allah, Kau berikan dara tercantik di dunia ini kepadaku. Aku pun berdebar-debar. "Di mana Robert ?" tanyaku untuk penenang jantung.
"Apa guna kau tanyakan dia " Mama pun tak pernah bertanya di mana dia berada." Nah, satu masalah sudah mulai timbul. Dan aku merasa tak patut untuk mencampuri.
"Mama sudah merasa tak sanggup, Mas, ia menunduk dan suaranya mengandung duka. "Sekarang ini semua kewajibannya aku yang harus lakukan." Aku perhatikan bibirnya yang pucat dan seperti lilin tuangan itu" Dia tak menyukai Mama. Juga tidak menyukai aku. Dia jarang di rumah. Kan Mas sendiri pernah saksikan aku bekerja ?"
Kudekap tubuhnya untuk menyatakan sympati. "Kau gadis luarbiasa."
"Terimakasih, Mas," jawabnya senang. "Kau ak perlu perhatikan Robert. Dia benci pada semua dan segala yang serba Pribumi kecuali keenakan yang bisa didapat daripadanya. Rasa-rasanya dia bukan anak sulung Mama, bukan abangku, seperti orang asing yang tersasar kemari."
Jelas ia banyak memikirkan abangnya, dan memikirkannya dengan prihatin anak semuda ini.
"Aku juga tak melihat Tuan Mellema," kataku mencari pokok lain.' "Papa " Masih juga takut padanya " Maafkan malam buruk itu. Dia pun tak perlu kau perhatikan. Papa sudah menjadi begitu asing di rumah ini. Seminggu sekali belum tentu pulang, itu pun hanya untuk pergi lagi. Kadang tidur sebentar, kemudian menghilang lagi entah ke mana. Maka seluruh tanggungjawab dan pekerjaan jatuh ke atas pundak Mama dan aku."
Keluarga macam apa ini " Dua orang wanita, ibu dan anak, bekerja dengan diamdiam mempertahankan keluarga dan perusahaan sebesar itu "
"Bekerja di mana Tuan Mellema ?"
"Jangan perhatikan dia, pintaku, Mas. Tak ada yang tahu bekerja di mana. Dia tak pernah bicara, seperti sudah bisu. KaI mi pun tak pernah bertanya. Tak ada orang bicara dengannya. Sudah berjalan lima tahun sampai sekarang. Rasa-rasanya memang sudah seperti itu sejak semula kuketahui. Dia dulu memang begitu baik dan ramah. Setiap hari menyediakan waktu i untuk bermain-main dengan kami. Waktu aku duduk di kias dua j E.L.S. mendadak semua jadi berubah. Beberapa hari perusa- . haan tutup. Dengan mata merah Mama datang ke sekolah men| jemput aku, Mas, mengeluarkan aku dari sekolah untuk selain
lamanya. Mulai hari itu aku harus membantu pekerjaan Mama dalam perusahaan. Papa tak pernah muncul lagi, kecuali beberapa menit dalam satu atau dua minggu. Sejak itu pula Mama tak pernah menegurnya, juga tak mau menjawab pertanyaannya....."
Cerita yang tidak menyenangkan.
"Juga Robert dikeluarkan dari sekolah ?"tanyaku mengalihkan. "Pada waktu aku dikeluarkan dia duduk di kias tujuh tidak, dia tidak dikeluarkan.'1 "Meneruskan sekolah mana dia kemudian ?", "Dia lulus, tapi tak mau meneruskan. Juga tak mau bekerja. Sepakbola dan berburu dan berkuda. Itu saja." "Mengapa dia tidak membantu Mama ?" "Dia pembenci Pribumi, kecuali keenakannya, kata Mama.
Bagi dia tak ada yang lebih agung daripada jadi orang Eropa dan semua Pribumi harus tunduk padanya. Mama menolak tunduk. Dia mau menguasai seluruh perusahaan. Semua orang harus bekerja untuknya, termasuk Mama dan aku." "Kau juga dianggapnya Pribumi ?" tanyaku hati-hati. "Aku Pribumi, Mas," jawabnya tanpa ragu. "Kau heran " Memang aku lebih berhak mengatakan diri Indo. Aku lebih mencintai dan mempercayai Mama, dan Mama Pribumi, Mas."
Memang keluarga teka-teki, setiap orang menduduki tempatnya sebagai peran dalam sandiwara seram. Banyak Pribumi me-ngimpi jadi Belanda, dan gadis yang lebih banyak bertampang Eropa ini lebih suka mengaku Pribumi.
Annelies terus bicara dan aku hanya mendengarkan. "Kalau itu yang kau kehendaki," terusnya, "mudah, Robert, kata Mama, sekarang kau sudah dewasa. Kalau papamu mati, pergi kau pada advokat, mungkin kau akan dapat kuasai seluruh perusahaan ini. Kata Mama pula: Tapi kau harus ingat, kau masih punya saudara tiri dari perkawinan syah, seorang insinyur bernama Maurits Mellema, dan kau takkan kuat berhadapan dengan seorang Totok. Kau hanya Peranakan. Kalau betul kau hendak menguasai perusahaan dengan baik-baik, belajarlah kau bekerja seperti Annelies. Memerintah pekerja pun kau tidak bisa, karena kau tak bisa memerintah dirimu sendiri. Memerintah diri sendiri kau tak bisa karena kau tak tahu bekerja." "Lihat angsa itu, Ann, putih seperti kapas," kataku mengalihkan. Tapi dia bicara terus. "Mengapa rahasia keluarga kau sampaikan padaku ?"
"Karena Mas tamu kami dalam lima tahun ini. Tamu kami, tamu keluarga. Memang ada beberapa tamu, hanya semua berhubungan dengan perusahaan. Ada juga tamu keluarga, tapi didokter keluarga kami. Karena itu kaulah tamu pertama itu. Dan kau begitu dekat, begitu baik pada Mama mau pun aku," suaranya mendesah sunyi, tak kekanak-kanakan. "Lihat, tak segan-segan aku ceritakan semua itu padamu, Mas. Kau pun jangan segan-segan di sini. Kau akan jadi sahabat kami berdua/' Suaranya menjadi semakin sentimentil dan berlebihan: "Segala milikku jadilah milikmu. Mas. Kau bebas sekehendak hati dalam rumah M."
Betapa sunyi hati gadis dan ibunya di tengah-tengah kekayaan melimpah ini. "Nah, mengasohlah. Aku hendak bekerja sekarang."
Ia berdiri hendak berangkat. Ia pandangi aku sebentar, ragu, mencium pipiku, kemudian berjalan cepat meninggalkan aku seorang diri......
Berapa lama sudah ia simpan perasaannya. Sekarang akulah tempat tumpahan curahan.
Dari tempat dudukku terdengar deru pabrik beras yang sedang bekerja. Bunyi andong-andong pengantar susu yang berangkat dan datang. Derak-derik grobakgrobak mengangkuti sesuatu dari dan ke gudang. Pukulan-pukulan gebahan orang melepas kacang-kacangan dari kulitnya, sambil bergurau.
Aku masuk ke kamar, membuka-buka buku catatanku dan mulai menulis tentang keluarga aneh dan seram ini, yang karena suatu kebetulan telah membikin aku terlibat di dalamnya. Siapa tahu pada suatu kali kelak bisa kubuat cerita seperti Bila Mawar pada Layu cerita bersambung menggemparkan tulisan Hertog Lamoye " Ya, siapa tahu " Selama ini aku hanya menulis teks iklan dan artikel pendek untuk koran-lelang. Siapa tahu " Dengan nama sendiri terpampang dan dibaca oleh umum " Siapa tahu "
Semua kata-kata Annelies telah kucatat. Bagaimana tentang Darsam si pendekar " Aku belum tahu banyak tentangnya. Berpihak pada siapa dia di antara tiga golongan dalam keluarga seram ini " Tiadakah dia justru bahaya terdekat bagi ketiga-tiga pihak " Bahaya " Adakah bahaya itu sesungguhnya " Kalau ada kan aku sendiri pun ikut terancam " Kalau benar ada, untuk apa pula aku tinggal di sini " Kan lebih baik aku pergi "
Pergi begitu saja aku tak kuasa. Gadis mempesonakan ini ke mana pun terbawa dalam pikiran.
Ketukan pada pintu itu membikin aku menggagap, Nyai telah berdiri di hadapanku. "Tak terkirakan gembira Annelies dan aku Sinyo sudi datang, lihat Nyo dia sudah mulai bekerja lagi, mendapatkan kegenitannya yang semula. Kedatangan Sinyo bukan sekedar membantu kelancaran perusahaan, terutama untuk kepentingan Annelies sendiri. Dia mencintai Sinyo. Dia membutuhkan perhatianmu. Maafkan keterus-teranganku ini, Minke " .
Ya Mama" jawabku takzim, rasanya lebih daripada kepada ibuku sendiri, dan kembali kurasai daya sihirnya mencekam, Sudahlah, tinggal di sini saja. Kusir dan bendi bisa disediakan khusus untuk keperluan Sinyo.
"Terima-kasih, Mama."
"Jadi Sinyo bersedia tinggal di sini, bukan " Mengapa diam saja", ya .. ya pikirkanlah dulu. Pendeknya, sekarang ini Sinyo sudah tinggal di sini."
Ya Mama," dan genggamannya atas diriku semakin terasa.
Baik. Istirahatlah. Biar terlambat, tentunya tak ada buruknya aku ucapkan selamat naik klas."
Dengan demikian aku mulai menjadi batih baru keluarga ini. Dengan catatan tentu: aku harus tetap waspada, terutama terhadap Darsam. Aku takkan terlalu dekat padanya. Sebaliknya harus selalu sopan padanya. Robert barangtentu akan membenci aku sebagai Pribumi tanpa harga. Tuan Herman Mellema tentu akan menyembur aku pada setiap kesempatan yang didapatnya Pendeknya aku harus waspada kewaspadaan sebagai bea kebahagiaan hidup di dekat gadis cantik tanpa bandingan: Annelies Mellema. Dan apa bisa diperoleh dalam hidup ini tanpa bea " Semua harus dibayar, atau ditebus, juga sependek-pendek kebahagiaan.
Pada waktu makan malam Robert tak muncul. Bayang-bayang dan langkah menyeret Tuan Mellema pun tiada.
"Minke, Nyo," Nyai memulai, "Kalau suka bekerja dan berusaha, kau cukup di sini saja bersama kami. Kami pun akan merasa lebih aman dengan seorang pria di dalam rumah ini. Maksudku, pria yang dapat diandalkan."
"Terimakasih, Mama. Semua itu baik dan menyenangkan, sekali pun harus kupikirkan dulu," dan kuceritakan keadaan keluarga Jean Marais yang masih membutuhkan jasa-jasaku.
"Itu baik," kata Nyai, "manusia yang wajar mesti punya sahabat, persahabatan tanpa pamrih. Tanpa sahabat hidup akan terlalu sunyi.....suaranya lebih banyak tertuju pada diri sendiri. Mendadak: "Nah, Ann, Sinyo Minke sudah ada di dekatmu. Lihat baik-baik. Dia sudah ada di dekatmu. Sekarang, kau mau apa .. "Ah, Mama!" desau Annelies dan melirik padaku.
"Ah-Mama ah-Mama saja kalau ditanyai. Ayoh, bicara sekarang, biar aku ikut dengarkan."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar