Sabtu, 19 November 2022

BUMI MANUSIA KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER #24/27


Sebuah kereta datang. Bukan Annelies, bukan Mama. pat orang agen polisi dan komendannya, seorang Indo. Mereka melakukan pemeriksaan. Seorang mencatat segala apa yang dikatakan komendannya.
"Sudah berubah letaknya ini ?" tanya komendan dalam Melayu. "Sedikit. Tadi kugoyang," jawab Darsam dalam Madura. "Mana pemilik rumah ?"
"Tak ada." "Siapa tinggal di sini ?" ia mengeluarkan arloji saku, hatnya sebentar, kemudian memasukkan kembali.
Tak seorang pun di antara para penghuni menampakkan dii  "Siapa yang mula-mula lihat ?"
Darsam mendeham sebagai jawaban.
"Bagaimana ceritanya maka seisi rumah Boerderij bisa 0 tang ke sini ?" tanyanya dalam Madura.
Jantungku berdebaran kencang. Tak urung akhirnya jatU adi perkara kepolisian juga. Dan semua akan terlibat dalam kesulitan. . ' . uAku sedang cari si Gendut.
"Siapa si Gendut ?"
"Orang yang mencurigakan. Dia lari, aku buru dan menghilang di sini," Darsam menerangkan.
"Kau memasuki rumah orang. Dengan ijin ?"
"Tak ada orang waktu kami datang. Semua orang bisa juga masuk ke sini tanpa ijin.
Ini rumahplesiran." "Tapi kalian bukan untuk berplesir datang kemari."
"Tadi sudah dibilang," Darsam mulai tersinggung, "datang mengejar si Gendut. Barangkali orang plesiran sini."
Komendan itu tertawa mengejek. Dan agen-agen lain mengangkat mayat. Tak kuat. Darsam ikut membantu, hanya untuk menghindari pertanyaan.
"Baik. Siapa nama kalian ?"
Juga Darsam, juga aku, diangkut bersama mayat dalam kereta Gubermen. Pengusutan lebih mendalam dilakukan atas diri kami. Dan......uh, akhirnya Ayahanda akan membaca juga nama putranya, anak terpandai dalam keluarga, anak kebanggaan, tersangkut dalam perkara, dan perkara kotor di rumah plesiran pula seperti sudah dirasakannya akan terjadi.
Pada hari itu juga didapatkan kepastian: Tuan Mellema mati karena keracunan. Muntahan dan kerusakan pada selaput lendir mulut dan tenggorokan menunjukkan adanya kenyatan itu. Menurut penyelidikan Dokter Martinet yang dipanggil untuk memberikan visum, peracunan telah terjadi lama dalam dosis rendah, sehingga kurban menjadi terbiasa karenanya. Pada hari kematiannya mendiang telah mendapat dosis kelewatan dua sampai tiga kali biasa.
Dan benar saja: berita mulai tersiar di harian-harian: matinya salah seorang hartawan terkaya Surabaya, pemilik Boerderij Buitenzorg, Tuan Mellma; mati di rumahplesiran Babah Ah Tjong di Wonokromo; mati dalam muntahan minuman keras beracun! Dan nama kami disebutkan berulang kali.
Juruwarta berdatangan ke tempat kami: Pribumi, Tionghoa, Indo dan Totok. Mama dan Annelies tak memberi jawaban, aku yang melarang mereka membuka mulut. Dan di jalanan sana orang pada menonton rumah kami. Ya, kami mulai jadi tontonan.
Tak ada di antara kami ditahan. Kesempatan itu kuperguna-kan untuk menulis lapuran yang lebih benar tentang kejadian tsb., diumumkan oleh S. N. v/d D. Di kemudianhari kuketahui: lapuran-lapuranku membikin tiras harian tersebut meningkat. Kota-kota lain minta juga koran Surabaya itu, karena dianggap sebagai sumber terpercaya. Matinya seorang hartawan tidak wajar selalu menimbulkan banyak duga-sangka.
Cuti seminggu dari sekolah kupergunakan untuk menulis, membantah berita-berita tak benar dan bersirat  namun muncul tulisan dan berita lain, yang katanya berasal dari pihak kepolisian: polisi mengadakan penjejakan dan pengejaran terhadap si Gendut dan Robert Mellema. sulung keluarga Mellema, diduga keras melakukan persekongkolan pembunuhan terhadap ayahnya sendiri.
Siapa si Gendut " suatu kali harian Melayu-Tiongho mengumumkan. Di dalamnya disebut kemungkinan Sinkeh yang bani masuk ke Jawa secara gelap, boleh jadi anggota dari apa yang menamakan diri Angkatan Muda Tiongkok, bermaksud hendak merubuhkan kekaisaran. Salah satu ciri: tidak berkuncir! Sedang si Gendut memang tidak berkuncir. Boleh jadi dia datang ke Jawa karena di uber-uber polisi Inggris di Hongkong atau Singapura. Sekarang membikin onar Surabaya. Tindakan tegas seyogyanya di lakukan terhadap pendatang gelap, apalagi si tanpa kuncir, yang jelas punya maksud jahat.
Dugaan yang di dasarkan pada isapan jempol! jawabku terhadap koran Melayu- Tionghoa tersebut. Dia memang sipit, agak sipit ~ itu bukan ciri khas Tionghoa satusatunya. Dia tak berkuncir juga tak mesti dapat ditafsirkan sebagai Angkatan Muda Tiongkok.
Akibat tulisan itu: polisi mengusut S.N. v/d D. tentang si Gendut. Maarten Nijman menolak memberikan keterangan. Juga karena ia sendiri memang tak tahu duduk perkara. Untuk itulah ia masuk ke sekapan selama tiga harmal.
Miriam dan Sarah de la Croix menyatakan sympati keluarga mereka padaku, pada kami, dan yakin kami tidak bersalah. Di dalamnya tertompang salam Herbert de la Croix, dan harapan semoga kami dapat hadapi semua cobaan dengan tabah dan dapat melewati semua dengan selamat.
Surat Bunda yang mengibakan menyatakan berduka cita disamping menyampaikan murka Ayahanda yang sudah sedemikian bersirat. tendensing: bertendens. memuncak sampai keluar dari mulut: tak sudi mengakui sebagai anak, dan sendiri mengirimkan surat pada Tuan Direktur H.B.S. Surabaya menyatakan mengeluarkan aku.
Dalam surat susulan Bunda, juga tertulis dalam bahasa dan huruf Jawa, disebutkan: aku belum tentu bersalah. Semoga malah bisa jadi orang yang akan menyelesaikan perkara, dan bahwa Tuan Assisten Residen B. datang pada Ayahanda untuk menyabarkannya dan menyampaikan kata-kata tsb., dan bahwa tinggalku di Boerderij Buitenzorg belum tentu punya persang-kutan dergan kemesuman; bahwa suatu perkara bisa jadi suatu akibat pe buatan sendiri, juga tak jarang suatu kecelakaan belaka, yang bisa menimpa setiap orang; tak ada orang dapat me-ngira-ngirakan kapan kecelakaan bakal tiba. Ayahanda tidak membantah. Pada putra-putrinya ia berkata: siapa saja di antara anak-anaknya berutusan perkara dengan polisi dia adalah menghinanya, maka tak patut ada di dekatnya lagi.
Semua surat itu kubalas. Terhadap ucapan Ayahanda kutulis: kalau itu yang dikehendaki Ayahanda, apa boleh buat, maka sekarang aku akan berbakti hanya pada seorang ibu.
Abangku menulis: Bunda bermandi airmata membaca surat balasanku, menangisi sikapku, mengapa menghadapi ayah sendiri yang sudah begitu murka dengan sikap begitu tidak berbakti, seakan seorang ayah tidak pernah mengharapkan sesuatu yang baik untuk putranya sendiri. Kau putranya, kau yang muda, kau yang harus mengalah.
Dan surat abangku tidak kubalas. Biarlah Ayahanda bebas dengan amarah dan sikapnya sendiri. Lagi pula aku tak begitu kenal ayahku. Sejak kecil aku ikut Nenenda, maka Ayahanda lebih banyak hanya tinggal sebutan. Dalam setiap penghadapanku ia lebih banyak menuntut diakui kewibawaannya sebagai ayah. Terserahlah padanya sendiri! Aku tak ada urusan dengan amarah dan sikapnya. Ada pun Ayahanda mengeluarkan aku dari H.B.S., itu memang haknya. Dan H.B.S. bagi Pribumi hanya mungkin kalau ada orang berpangkat menanggungnya. Hanya yang menanggung aku bukan Ayahanda, tapi almarhum Nenenda. Dan belum tentu Tuan Direktur dapat membenarkan. Ka-'au membenarkan pun apa boleh buat. Aku sudah merasa punya Perbekalan cukup untuk belajar sendiri, cukup kuat untuk memasuki dunia dengan kaki sendiri.
Empat hari setelah ditemukan mayat Tuan Mellema pengucuran dilakukan di pekuburan Eropa di Peneldh. Kami semua "M mengantarkan. Sebagian terbesar pengantar adalah pendu-" kampung-kampung perusahaan. Tujuh orang juruwarta itu pula menyaksikan. Juga Dokter Martinet, Jean Marais dan Telinga. Pelaksanaan penguburan dilakukan oleh Perusahaan pe. nguburan Verbrugge. ^M Dokter Martinet mengambil tugas sebagai wakil keluarga Mellema. Dalam upacara penguburan ia menyatakan sangat ber-dukacita melihat cobaan-cobaan berat yang menimpa keluarga Mellema, terutama Nyai Ontosoroh dan Annelies selama lima tahun belakangan. Hanya orang yang sungguh-sungguh kuat bisa bertahan. Dan orang itu adalah wanita Pribumi pula, yang dibantu hanya oleh anak perempuannya yang trampil dan tangkas. Cobaan itu belum lagi selesai, karena perkara masih akan menyusul di pengadilan.
Ucapan yang seluruhnya tercurahkan sebagai sympati itu kemudian mendapatkan gemanya dalam pers kolonial, Melayu dan Belanda. Dokter Martinet jadi sasaran para juruwarta, dikehendaki perincian dari pidatonya. Ia, yang mengerti, perincian itu akan diubah jadi cerita bersambung yang sama sensasionil, membisu dengan gigih. Maka koran-koran kolonial berbahasa Belanda dengan cara dan gayanya sendiri tidak membenarkan I sympati sang Dokter yang ditujukan hanya pada seorang wanita Pribumi, gundik pula, yang boleh jadi belum tentu bersih dari perkara. Sudah banyak terbukti nyai-nyai bersekongkol dengan orang luar untuk membunuh tuannya. Motif: kemesuman dan harta. Dalam abad sembilanbelas ini saja, kata sebuah koran, dapat dicatat paling tidak lima orang nyai telah naik ke tiang gantungan. Boleh jadi Nyai Dasima bisa melakukan kejahatan yang sama sekiranya Tuan Edward Williams bukan seorang arif bijaksana. Walhasil: penutupnya pembunuhan juga. Hanya bukan Edward Williams yang jadi kurban Dasima sendiri. Koran itu menutup dengan saran agar mengusut Nyai Ontosoroh lebih teliti. Sebuah Koran Betawi malah menampilkan si Minke ini sebagai oknum yang patut mendapat sorotan lebih cermat.
Dokter Martinet dan Maarten Nijman telah mengumpulkan begitu banyak koran terbitan berbagai kota dan menyerahkan pada kami.
Mengikuti komentar dan saran-saran itu pada suatu kali Nyai menyatakan: "Tak bisa mereka melihat Pribumi tidak pfcnyfck terinjak-injak kakinya. Bagi mereka Pribumi mesti salah, orang Eropa harus bersih; jadi Pribumi pun sudah salah. Dilahirkan sebagai BI" bumi lebih salah lagi. Kita menghadapi keadaan yang lebih sulit" Minke, anakku!" (Itulah untuk pertama kali ia memanggil anak' ku, dan aku berkaca-kaca terharu mendengarnya). Apa akan lari dari kami, Nak ?" "Tidak, Ma. Kita akan hadapi semua bersama-sama. Kita juga punya sahabat, Ma. Dan jangan anggap Minke ini kriminil, aku pinta."
"Mereka punya segala alat untuk mengkambinghitamkan kita. Tapi selama tak ada di antara kita ditahan apalagi Darsam pihak polisi nampaknya tidak terpengaruhi." Sebuah tulisan, jelas dari Robert Suurhof, telah menggugat keadaanku di tengahtengah keluarga Mellema sebagai benalu tak tahu malu, ikut menyedot harta orang lain dan menampilkan diri di depan umum sebagai burung-gereja-tanpa-dosa, orang tanpa nama keluarga, tanpa sesuatu, dengan satu-satunya modal keberanian: jadi buaya darat.
Koran itu memang bukan S. N. v/d D tapi harian yang sudah terkenal ketagihan skandal, sensasi di segala bidang, dengan pembantu-pembantu para maniak sensasi. Atau menurut Dokter Martinet: orang-orang sakit, semacam Titus di jaman Romawi. Ia memerlukan datang berkunjung untuk menyatakan sympati-nya: "Boven water houden, jangan tenggelam."
Biar apa pun macamnya hiburan, biar dengan cara apa saja hati hendak diparami, tulisan itu memang memukul. Nyerinya terasa sampai ke bulu rona. "Akan kuajukan pengaduan, Mama."
"Tidak!" tegah Nyai. "Kau tak bakal menang."
"Kalau Mama tidak membenarkan dia saja, aku sudah bisa menang." "Mama ada pada pihakmu," kata wanita itu. "Tapi di depan hukum kau tak bakal menang. Kau menghadapi orang Eropa, Nyo. Sampai-sampai jaksa dan hakim akan mengeroyok kau, dan kau tak punya pengalaman pengadilan. Tidak semua pokrol dan advokat bisa dipercaya, apalagi kalau soalnya Pribumi menggugat Eropa. Tulisan itu jawab saja dengan tulisan. Tantang dia dengan tulisan juga."
Orang yang mengaku, mengenal diriku boleh jadi temanku sendiri; teman baik atau teman buruk, jawabku dalam tulisan. Mengapa Tuan tidak memunculkan muka dengan terang, mengapa lebih suka bersembunyi di balik topeng dan melemparkan najis sendiri " Muncullah, Tuan, dengan muka sendiri. Mengapa Tuan malu pada muka sendiri, nama sendiri, dan perbuatan sendiri "
Tulisan yang diumumkan Maarten Nijman itu kemudian diumumkan juga oleh sebuah koranlelang, yang karena adanya peristiwa kematian Herman Mellema berubah jadi harian umum, sekali pun adpertensinya masih tetap menempati sebagian besar ruangan. Di seluruh Surabaya terdapat enam buah perusahaan lelang. Masing-masing punya korannya sendiri. Hanya koranle-lang yang sebuah ini dapat meningkat jadi harian.
Berapa yang sudah kuambil dari Tuan Herman Mellema mendiang " Cobalah Tuan sebutkan. Kalau mungkin perinci sekali. Tuan dapat minta bantuan dari keluarga Mellema yang ditinggalkan: malah aku sendiri bersedia. Kalau perlu bisa disewa seorang akontan, tulisku.
Sungguh di luar dugaan. Serangan padaku menderu-deru. Betul Mama itu belum lagi kunaikkan jadi perkara pengadilan. Persoalan tidak tinggal memusat pada benar-tidaknya kedudukanku sebagai benalu penyedot harta mendiang Herbert Mellema. Titikbakar berpindah pada perbedaan kulit: Eropa kontra Pribumi. Koran kota-kota lain juga ikut menimbrung. Maka dalam satu bulan penuh tak ada kesempatan lagi padaku untuk melihat pelajaran sekolah. Kesibukan sehari-hari: melayani kejahilan orang. Dan semua serangan disampaikan Maartert Nij-man padaku untuk dijawab.
Juffrouw Magda Peters juga datang untuk menyampaikan sympati. Mengatakan: "Memang begitu kehidupan kolonial di mana saja: Asia, Afrika, Amerika, Australia. Semua yang tidak Eropa, lebih-lebih tidak kolonial, diinjak, ditertawakan, dihina, hanya untuk berpa-mer tentang keunggulan Eropa dan keperkasaan kolonial, dalam segala hal ~ juga kejahilannya. Kau sendiri jangan lupa, Minke, mereka yang merintis ke Hindia ini mereka hanya petualang dan orang tidak laku di Eropa sana. Di sini mereka berlagak lebih Eropa. Sampah itu."
Kami dengarkan sympati, sekaligus umpatan itu, dengan diam-diam. Annelies sendiri kami usahakan agar tetap berada di luar persoalan. Nampaknya hasilnya cukup memadai. Dengan demikian antara Nyai dan diriku lahir persekutuan menghadapi dunia luar rumah.
"Kalau memang kau sudah sepakat menghadapi mereka di sampingku, Minke, Nak, Nyo, kau hadapi mereka sampai selesai. Kalau mereka nanti kewalahan hati-hati - mereka akan mengeroyok. Sudah beberapa kali itu terjadi. Berani kau "Sebagai persoalan memang harus terus dihadapi, Ma. Kira-kira Minke ini, Ma, kirakira memang bukan kriminil. Tidak akan lari."
"Baik. Kalau begitu kau memang tak perlu bersekolah dulu. Perkelahian ini lebih penting daripada sekolah. Di sekolah kau akan dikeroyok dan disakiti tubuh dan hatimu. Dengan menghadapi yang sekarang ini kau akan mempelajari ilmu beladiri dan menyerang di hadapan umum segala bangsa. Kau akan lulus dengan ijasah yang bernama kemashuran."
Tidak diduga dalam sebuah koran Melayu milik orang Eropa muncul tulisan yang membela diriku, ditulis oleh seorang yang mengaku bernama: Kommer. Kalau Minke alias Max Teilenaar jelas memang melanggar hukum, tulisnya, mengapa di antara para pendakwa tak ada yang mengajukan perkaranya, melalui tuntutan, ke Pengadilan " Apa mereka beranggapan hukum di Hindia Belanda belum mencukupi kebutuhan mereka ". Atau mereka sengaja hendak menghina hukum dan menelanjangi ketidakdayaan para pejabat yang terhormat di bidang hukum " Atau memang Tuan-Tuan yang belum tentu terhormat itu ingin menciptakan hukum baru dengan cara demikian "
Walhasil beberapa ahli hukum mulai bertikaian dan serangan-serangan terhadapku tersisihkan. Dan ijasah kemashuran itu, yang dijanjikan Nyai, tak jadi aku peroleh. Nyai Ontosoroh nampak tenang-tenang menghadapi segala kemungkinan. Dalam kesibukan luarbiasa Annelies semakin menekuni pekerjaannya. Urusan dengan dunia luar rumah ia percayakan pada kami berdua. Dan dengan mendadak saja aku terakui sebagai satu-satunya lelaki anggota keluarga. Yang tidak syah tentu. Sidang pengadilan tak dapat ditunda lebih lama. Robert Mellema dan si Gendut tetap tak dapat ditemukan. Maka Pengadilan akan menghadapkan Babah Ah Tjong sebagai terdakwa. Pengadilan Putih, Pengadilan Eropa! bukan karena Ah Tjong punya forum privilegiatum, tapi karena adanya connexi-teit  sebagaimana aku ketahui dudukperkaranya di kemudianha-n. Ia dituduh dengan sengaja dan direncanakan telah membunuh Herman Mellema baik secara pelahan-lahan maupun secara sekaligus. Mungkin ini sidang terbesar di Surabaya selama ini. Digalakkan oleh warta dan pertentangan dalam koran-koran, penduduk Surabaya dari segala bangsa memerlukan datang untuk menyaksikan. Dari kota-kota lain dikabarkan orang pada berdata-ngan. Juga abang Nyai dari Tulangan.
Orang bilang pengadilan ini juga paling mahal. Tidak kurang dari empat orang penterjemah tersumpah dipergunakan: Jawa, Madura, Tionghoa, Jepang, dan Melayu. Semua penterjemah adalah orang Eropa Totok.
Tuan Telinga, Jean Marais dan Kommer juga datang. Kom-mer malah menyatakan: sejak ia menjadi juruwarta tak pernah terjadi gedung yang sangat ditakuti itu kini mendapat kunjungan demikian meriah.
Seorang pemilik kantor dan koranlelang yang aku kenal juga hadir. Sekolah H.B.S. Surabaya untuk pertama kali dalam sejarahnya tutup: guru dan siswa memindahkan kiasnya di pelataran gedung pengadilan.
Dokter Martinet terpanggil untuk jadi saksi ahli di bidang kedokteran. Babah Ah Tjong menggunakan seorang pembela yang didatangkan dari Tiongkok, menggunakan bahasa Inggris. Dengan demikian penterjemah pun ditambah lagi dengan seorang.
Orang bilang: ini juga sidang pertama di mana seorang Tionghoa diajukan ke Pengadilan Putih.
Jalan persidangan pada mulanya berjalan cepat. Bahasa Belanda yang dipergunakan. Dari Babah Ah Tjong memang sulit diperoleh pengakuan tentang motif pembunuhan sekali pun pada akhirnya ia mengakui telah melakukan peracunan itu dengan ramuan Tionghoa yang tidak dikenal oleh dunia kedokteran. Ia tidak mau mengakui perincian ramuan, hanya, bahwa akibat daripadanya adalah: si peminum kehilangan keseimbangan, sebagaimana telah dicobakan pada sepuluh orang pesakitan pembunuh di penjara Kalisosok.
Mula-mula Ah Tjong membantah bahwa ramuan itu bisa membikin kerusakan. Gunanya hanlya untuk pengharum arak, katanya.
Seorang sinsei yang diajukan sebagai saksi ahli menolak keterangan itu dan terdakwa terdesak pada pertahanannya yang paling lemah, yang mengantarkannya pada pengakuan pembunuhan.
Apa motif pembunuhan "
Pada mulanya Ah Tjong mengatakan, ia sudah jemu dengan langganan yang tak juga mau pergi selama lima tahun itu. Tapi ia tak dapat menjawab pertanyaan, apa yang dijemukan selama langganan mendatangkan keuntungan " Dan mengapa pula Robert Mellema kemudian juga ditampung "
Tanya-jawab dengan Nyai Ontosoroh telah membikin perempuan yang jadi bintang Pengadilan itu menjadi merah-pa-dam. Ia tidak diperbolehkan menggunakan bahasa Belanda. Ia diperintahkan menggunakan Jawa, menolak, dan menggunakan Melayu. Ia menerangkan, rekening almarhum Herman Mellema pada Ah Tjong adalah empat puluh lima gulden sebulan, yang selalu ditagih di kantornya oleh seorang pesuruh. Belakangan juga rekening Robert Mellema sebanyak enam puluh gulden sebulan. Mengapa Robert membayar lebih mahal "
Karena, jawab Ah Tjong, Sinyo Lobelll cuma mau Maiko saja yang tarifnya paling mahal, dan untuk dirinya sendiri.
Apa benar Maiko melayani Robert Mellema saja " Maiko membantah. Ia melayani siapa saja sesuai dengan perintah Babah Ah Tjong, termasuk Babah Ah Tjong sendiri. Apalagi karena Robert Mellema makin lama makin kehabisan kekuatan dan kemauan.
Untuk memuaskan para peminat Maiko mendapat pertanyaan, apa selama jadi pelacur tidak pernah mengidap penyakit kotor " Saksi ahli. Dokter Martinet. menerangkan benar Maiko mengidap sipilis.
Apa Maiko tidak menyesal telah menyebarkan penyakit di negeri orang " Ia menjawab, bukan menjadi kehendakku bila aku terkena penyakit. Penyakit bukan aku yang membikin. Tugasku sebagai pelacur hanya melayani keinginan langganan. Masih dalam rangka hendak memuaskan para peminat pertanyaan lain datang lagi: Siapa yang membikin penyakit itu " Dengan suara bening dan indah Maiko mengatakan tidak tahu. Bila langganan tertulari karena aku, bukanlah itu menjadi kesalahanku.
Apa Babah Ah Tjong pernah menyatakan kejengkelannya pada Nyai " Nyai menjawab tak pernah bertemu dengan tetangganya itu seumur hidup. Ia hanya bertemu dengan rekeningnya. Pertemuannya yang pertama kali adalah dalam sidang Pengadilan.

Akhirnya Pengadilan menubruk-nubruk pada banyak soal I yang tidak selesai sehingga sering menjengkelkan orang banyak. Tak hadirnya Robert Mellema dan si Gendut memang jadi penghalang yang tak dapat ditawar. Tapi dari sekian banyak ta  nya-jawab yang aku nilai sebagai menubruk-nubruk adalah tentang. hubunganku dengan Annelies, yang membikin banyak orang tertawa bahak dan cekikikan, dan pada gilirannya baik hakim mau pun jaksa tak melewatkan kesempatan untuk mentertawakan hubungan kami di depan umum. Juga hubunganku dengan Nyai ditampilkan dalam pertanyaan-pertanyaan bersirat, menjijikkan dan biadab. Aku sendiri menjadi heran betapa orang Eropa, guruku, pengadabku, bisa berbuat semacam itu.
Beruntung tanya-jawab itu tidak dibikin berlarut, sekali pun aku mengerti tujuannya adalah hendak membuktikan ada-tidak-nya hubungan kelamin antara kami atau tidak, dan hubungan kelamin sebagai jembatan keikutsertaan kami dalam tindak pembunuhan.
Ah Tjong meringankan kami dengan pernyataannya bahwa baik Nyai, aku, Annelies, Darsam dan orang-orang lain tidak mempunyai persangkutan dengan pembunuhan. Dan itulah kunri yang membebaskan kami dari perkara ini.
Dua minggu lamanya sidang berlangsung. Motif pembunuhan tetap tidak diperoleh dari Ah Tjong. Keputusan pengadilan ~ yang mengecewakan orang banyak: hukuman sepuluh tahun penjara dan kerjapaksa. Tuntutan hukuman mati, karena orang Timur Asing telah membunuh orang Eropa dengan direncanakan, ditolak. Di samping itu terdakwa masih harus membayar ongkos persidangan, biaya penguburan Tuan Mellema mendiang dan mengembalikan kelebihan rekening yang dibayarkan untuk Robert Mellema.
Ah Tjong menerima hukuman yang dijatuhkan dan segera masuk penjara. Pembantu-pembantunya dijatuhi hukuman antara tiga sampai lima tahun. Maiko diperintahkan masuk rumahsakit di bawah pengawasan dokter atas biaya Ah Tjong sebagai maji; kan sambil menunggu kemungkinan dibuka sidang lagi bila si Gendut dan Robert Mellema telah ditemukan.
17. PENGADILAN UNTUK SEMENTARA SELESAI. AKU masuk sekolah. Teman-teman sekolah sudah hadir di pelataran waktu bendiku berhenti di pintu gerbang. Mereka menunda kesibukan hanya untuk memperhatikan dan melihat aku lewat.
Belum lagi masuk kias seseorang telah menyampaikan perintah Tuan Direktur untukku. Dan menghadaplah aku. Inilah kata-katanya:
"Minke, juga aku sebagai pribadi dan wakil semua guru dan siswa, mengucapkan selamat atas kemenanganmu di Pengadilan. Secara pribadi aku ucapkan selamat atas kegigihanmu dalam membela diri terhadap serangan umum. Aku dan kami semua bangga punya siswa berbakat seperti kau. Sidang Pengadilan telah diikuti oleh para guru dan siswa. Tentu kau sudah tahu juga. Minke memang mendapat perhatian besar dari kami, karena memang siswa sekolah ini. Sekarang dengarkan keputusan Dewan Guru dalam pertemuan-pertemuannya dan perbincangan yang tidak mudah tentang dirimu seorang. Berdasarkan jawaban-jawabanmu di depan Pengadilan, maksudku dalam hubunganmu dengan Annelies Mellema, Dewan Guru memutuskan, sebagai siswa kau sudah terlalu dewasa untuk bergaul dengan temanteman sekolahmu, dan terutama sekali dianggap berbahaya bagi para siswi. Sidang Dewan Guru tak berani bertanggungjawab atas keselamatan para siswi pada orangtua atau wali mereka. Kau mengerti ?"
"Lebih dari mengerti. Tuan Direktur."
"Sayang sekali, beberapa bulan lagi kau semestinya sudah akan lulus." "Apa boleh buat. Semua itu Tuan Direktur sendiri yang menentukan." Ia mengulurkan tangan padaku dan mengucapkan: "Gagal dalam sekolah. Minke, sukses dalam cinta dan kehidupan."
Waktu aku meninggalkan kantor, sekolah sudah mulai. Kuli. hat semua mata ditujukan padaku melalui jendela. Aku lambai-kan tangan dan mereka membalas. Balasan yang justru membikin hati tiba-tiba jadi murung harus berpisah dengan orang, orang yang ternyata masih mengindahkan si Pribumi ini.
Kusir bendi masih berjaga di tempat. Aku segera naik. Waktu bendi mulai bergerak kusir kuperintahkan berhenti. Seseorang berlari-larian memanggil. Juffrouw Magda Peters. Dan aku turun.
"Sayang, Minke. Aku tak mampu mempertahankan kau. Aku sudah berkelahi sekuat daya. Sidang Pengadilan itu sudah cukup kurangajar menanyakan soal-soal yang begitu pribadi sifatnya di depan umum."
"Terimakasih, Juffrouw."
Ia pergi. Aku naik dan bendi berjalan pelan-pelan atas permintaanku. Ya, Pengadilan itu memang cukup kurangajar. Jaksa dengan sengaja hendak mengobrak-abrik kehidupan kami di depan umum sebagai sambungan dari perasaan Robert Suurhof.
Seakan mengulangi pertanyaan Dokter Martinet, Jaksa bertanya, dalam Belanda yang dijawakan oleh penterjemah: Minke. di kamar mana kau tidur " Memang aku menolak menjawab pertanyaan bersirat jahat itu. Tapi secepat kilat pertanyaan beralih pada Annelies, langsung dalam Belanda tanpa diterjemahkan: Dengan siapa Juffrouw Annelies Mellema tidur " Dan Annelies tak ada kekuatan untuk menolak menjawab. Maka terdengar suara tawa kikik dan kakak yang menghinakan, demonstratif pula.
Pertanyaan yang menyusul menghembalang Nyai Ontosoroh: Nyai Ontosoroh alias Sanikem, gundik mendiang Tuan Herman Mellema, bagaimana bisa Nyai membiarkan perbuatan tidak patut antara Nyai punya tamu dengan Nyai punya anak "
Derai tawa semakin meriah, mengejek, lebih demonstratif-Juga jaksa, juga hakim tersenyum senang dapat melakukan siksaan batin atas diri wanita Pribumi yang banyak diiri oleh pc  rempuan-perempuan Totok dan Indo Eropa itu. Dengan suara lantang dalam Belanda tiada cela di bawan larangan hakim yang memaksanya menggunakan Jawa. serta ketukan palu laksana air bah lepas dari cengkeraman taufan bicara:
Tuan Hakim yang terhormat, Tuan Jaksa yang terhormat, karena toh telah dimulai membongkar keadaan rumahtanggaku...... (ketokan palu; diperingatkan agar menjawab langsung).
Aku, Nyai Ontosoroh alias Sanikem, gundik mendiang Tuan Mellema, mempunyai pertimbangan lain dalam hubungan antara anakku dengan tamuku. Sanikem hanya seorang gundik. Dari kegundikanku lahir Annelies. Tak ada yang menggugat hubunganku dengan mendiang Tuan Mellema, hanya karena dia Eropa Totok. Mengapa hubungan antara anakku dengan Tuan Minke di persoalkan " Hanya karena Tuan Minke Pribumi " Mengapa tidak disinggung hampir semtja orangtua golongan Indo " Antara aku dengan Tuan Mellema ada ikatan perbudakan yang tidak pernah digugat oleh hukum. Antara anakku dengan Tuan Minke ada cinta-mencintai yang sama-sama tulus. Memang belum ada ikatan hukum. Tanpa ikatan itu pun anak-anakku lahir, dan tak ada seorang pun yang berkeberatan. Orang Eropa dapat membeli perempuan Pribumi seperti diriku ini. Apa pembelian ini lebih benar daripada percintaan tulus " Kalau orang Eropa boleh berbuat karena keunggulan uang dan kekuasaannya, mengapa kalau Pribumi jadi ejekan, justru karena cinta tulus "
Sidang memang menjadi agak kacau. Nyai terus juga bicara tanpa mengindahkan paluan hakim. Nyai dipaksa mengakui bahwa Annelies bukan Pribumi, tapi Indo. Dan suara jaksa yang menggeledek murka itu: Dia Indo, Indo, dia lebih tinggi daripada kau! Minke Pribumi, sekali pun punya forum privilegiatum , artinya lebih tinggi dari Nyai. kau! Forum Minke setiap saat bisa dibatalkan. Tapi Juffrouw Annelies tetap lebih tinggi daripada Pribumi.
Annelies, anakku, Tuan, hanya seorang Indo, maka tidak boleh melakukan apa yang dilakukan bapaknya " Aku yang me-lahirknannya, membesarkan dan mendidik, tanpa bantuan satu senpun dari Tuan-Tuan yang terhormat. Atau bukan aku yang telah bertanggungjawab atasnya selama ini " Tuan-Tuan sama sekali tidak pernah bersusah-payah untuknya. Mengapa usil "
Nyai sudah tidak menggubris kewibaan sidang. Seorang agen diperintahkan mengeluarkannya dari ruangan. Dan ia ditarik dari tempatnya tanpa dapat melawan. Tetapi mulutnya terus juga melepaskan kata-kata, berisikan butiran-butiran dendamnya:
Siapa yang menjadikan aku gundik " Siapa yang membikin mereka jadi nyai-nyai " Tuan-tuan bangsa Eropa, yang diperban. Mengapa di forum resmi kami ditertawakan " dihinakan "
Apa Tuan-Tuan menghendaki anakku juga jadi gundik "
Suaranya bergaung-gaung ke seluruh gedung. Dan semua hadirin terdiam. Agen yang menyeretnya lebih cepat dalam melaksanakan tugas. Pada waktu itu wanita Pribumi itu telah menjadi jaksa tidak resmi, seorang penuduh terhadap bangsa Eropa yang mentertawakan perbuatan mereka sendiri.
la terus bicara sampai keluar dari ruangan sidang.....
Dan sekarang bendi berjalan pelan melalui jalan-jalan pagj. hari yang sudah mulai ramai. Sekarang di luar sidang. Dan pengadilan sekolah juga telah mengetokkan palu: aku sudah tidak sama dengan teman-teman sekolahku, berbahaya bagi para siswi, dipecat tanpa hormat dari sekolah. Sekiranya rahasia pribadi para guru boleh ditelanjangi di hadapan sidang pengadilan, dibelejeti tanpa ampun..... Siapa bisa jamin mereka tidak lebih
keropos daripada selebihnya " Kan setiap orang punya rahasia pribadi, dibawanya terus sampai mati " Dan jaksa, dan hakim yang tak kenal ampun itu, siapa tahu juga menggundik, terbuka atau gelap " Mungkin tanpa pengawasan umum dan hukum tingkahnya jauh lebih busuk daripada Herman Mellema terhadap Sanikem. Di atas bendi ini setiap orang yang terpandang olehku kura-sai sebagai menuding: itulah dia si Minke yang sudah sekamar dengan Annelies, wanita yang belum dinikahinya. Itulah si Minke yang sudah jadi lain daripada teman-temannya, lain dari semua orang kan keadaannya sudah dibongkar dalam sidang " sedang yang lain-lain tidak " dan jaksa dan hakim juga tidak menelanjangi diri sendiri" " Apa yang kurasakan sekarang ini, perasaan rendah begini, adalah yang nenekmoyangku menamai nelangsa perasaan sebatang kara di tengah sesamanya yang sudah menjadi lain daripada dirinya, di mana panas matahari ditanggung semua orang, tapi panas hati ditanggung seorang diri. Jalan yang terbuka hanya ke hati mereka yang senasib, senilai, seikatan, sepenanggungan: Nyai Ontosoroh, Annelies, Jean Marais, Darsam.
Jadi pergilah aku ke rumah Jean.
"Kau lesu, Minke. Dipecat dari sekolah " Tegakkan dagu!
Dan dia yang selalu menenggelamkan dagu sekarang pu" dapat bilang tegakkan dagu! Rasa-rasanya bahan keriangan p dah tumpas dari hatiku. "Sekolahmu itu sudah terlalu kecil untukmu, Minke. Kalau seorang Minke sudah patah begini, kan masih ada seorang Tollenaar ?"
Dia pandang padaku ada jiwa cadangan. Dia tidak menyadari patahnya. Minke mempersulit usaha mencari order. Aku sampaikan padanya. Ia terdiam sebentar. Mendadak ia tertawa bahak. Dan aku agak tersinggung.
"Tahu kau, Minke, aku lihat ada kelucuan.'  "Tak ada yang lucu," kataku sebal.
"Ada. Tahu kau " Ada hanya satu obat buat kesulitanmu. Nikah, Minke. Kau harus kawini Annelies. Tunjukkan pada dunia kau tidak gentar menghadapi mata setan pun. Biar kau jadi seperti yang lain-lain. Tak banyak yang dipinta mereka, hanya kembali jadi bagian mereka orang-orang dungu tak berkebudayaan itu. Kawin, Minke, hanya kawin."
"Magda Peters menganggap sidang itu kurangajar terhadapjkami.' "Memang tidak berkebudayaan. Itu penilaian paling tepat. Ada juga koran Melayu- Belanda mengatakan begitu. Hanya tidak sekeras itu. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu semestinya dilakukan dalam sidang tertutup."
"Ya. Tapi ada koran Belanda yang justru mengatakan Mama kurangajar telah mengacaukan sidang. Tapi kata-kata Mama malah tidak dimuat." "Baca tulisan Kommers. Dia marah seperti singa terluka. Dia ada pada pihakmu." "Ceritakan sajalah. Aku segan baca."
"Tulisnya, perbuatan jaksa dan hakim itu menghina semua golongan Indo Eropa yang berasal dari pergundikan dan per-nyaian. Anak-anak mereka, kalau diakui ayahnya, menjadi bukan Pribumi. Tidak diakui, menjadi Pribumi. Artinya: Pribumi sama dengan anak gundik yang tidak diakui sang ayah. Ia juga mengecam pengungkapan perkara pribadi. Kommers menilai jaksa dan hakim itu tidak berbudi Eropa, lebih buruk dari pengadilan Pribumi yang dilakukan Wiroguna atas diri Pronocitro barang dua ratus lima puluh tahunan yang lalu. Minke, siapa mereka. Aku tak tahu."
"Lain kali sajalah aku ceritakan."
Sampai di rumah'aku langsung masuk kantor, mengabarkan bencana baru itu, dan: "Ma, bagaimana pendapat Mama kalau kami kawin ?"
"Tunggu. Apa hendak diburu ?"
Aku ceritakan tentang kesulitan yang menimpa usahaku mencari order. Mungkin akan menimpa usaha Jean Marais juga.
Apa boleh buat, Nak, menyesal belum bisa meluluskan. Ha-n-hari persidangan telah banyak merugikan perusahaan. Keme-^lan harus disusul lebih dahulu. Karena, Nak, tanpa perusa-berjalan baik keluarga ini akan kehilangan kehormatannya, harap kau bisa mengerti."
Aku perhatikan bibir Nyai yang bicara dengan tenang itu. Ia benar-benar mengharapkan pengertianku.
"Minke, telah lama kurenungkan keanehan hidup ini. Kalau aku tak berhasil menyelamatkan perusahaan ini, aku akan merosot jadi nyai-nyai biasa yang boleh dihinakan semua orang, dipandang dengan sebelah mata. Annelies akan sangat menderita. Percuma aku nanti sebagai ibunya. Dia harus lebih terhormat daripada seorang Indo biasa. Dia harus jadi Pribumi terhormat di tengah-tengah bangsanya. Kehormatan itu bisa didapatnya hanya dari perusahaan ini. Memang aneh. Nak, begitulah maunya dunia ini."
Annelies sendiri sedang bekerja di belakang.
Duduk di kursi dalam kantor begini masalah Totok, Indo dan Pribumi membayang di hadapan mata batinku, menggusur kenelangsaan sendiri. Unsur-unsur itu membentuk jaring-jaring kehidupan laksana jaring laba-laba. Dan di tengahtengahnya adalah si laba-laba: gundik atau nyai-nyai. Dia bukan menampung semua kurban yang datang padanya. Sebaliknya, jaring-ja-ringnya menangkapi semua penghinaan untuk ditelannya seorang diri. Dia bukan majikan biar hidup sekamar dengan tuannya. Dia tidak termasuk golongan anak yang dilahirkannya sendiri. Dia bukan Totok, bukan Indo, dan dapat dikatakan bukan Pribumi lagi. Dia adalah gunung rahasia.
Dan tanganku mulai menulis lancar. Pikiran Kommer dapat dikatakan tulang punggung tulisan sekali ini. Dan matari sudah tenggelam. Dan tulisan itu mulai mendapatkan bentuknya.
Ya, Allah, juga kenelangsaan bisa menghasilkan sesuatu tentang ummatMu sendiri. Kau jugalah yang perintahkan ummat untuk berbangsa-bangsa dan berbiak. Hubungan laki-perempuan yang terjadi karena perbedaan kemampuan sosial dan ekonomi bisa Kau ridlai. Mengapa hubungan sukarela tanpa perbedaan sosial ekonomi begini, didasari saling tanggungjawab begini tak Kau ridlai, hanya karena belum menurut aturanMu " Dan semua itu sudah Kau biarkan terjadi, melahirkan golongan Indo yang begitu berkuasa atas mereka yang lahir dengan keridlaan-Mu " Aku berpaling kepadaMu, karena orang-orang yang dekat denganMu pun tidak pernah menjawab. Kaulah yang menjawab sekarang. Aku hanya menulis tentang yang kuketahui dan yang kuanggap aku ketahui. Bukankah segala ilmu dan pengetahuan juga berasal tidak lain dari Kau sendiri "
Sepuluh hari setelah terbit tulisan Max Tollenaar tentang asalah Totok, Indo dan Pribumi, Magda Peters datang ke rumah pada jam pelajaran. Tuan Direktur memanggil. Dan aku menolak dengan alasan: tak punya sangkut-paut lagi dengan sekolahan.
Nyai juga berkeberatan bila aku pergi. Annelies melarikan diri ke kamar.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar