Arus Balik.
Karya : Pramoedya Ananta Toer.
Bagian 42
Koma Malam itu tenang dan tenteram di pesanggrahan balatentara Tuban di sebelah barat kota. Dari gubuk-gubuk dan bedeng-bedeng dari daun kelapa nampak sinar pelita suram. Angin laut tak henti-hentinya bertiup dan membawa serta dedaunan kering dari hutan-hutan keliling.
Sudah sejak senja hari udara terasa dingin. Dan angin membikin udara semakin dingin. Tetapi tak ada seorang pun membikin pendiangan. Semua prajurit diperintahkan beristirahat dua minggu penuh tanpa boleh berdiang di malam hari.
Istirahat sepanjang itu membikin mereka jadi gelisah, menduga sendiri apa akan diperbuat oleh Senapati Wiranggaleng dalam mengusir Peranggi.
Pada malam itulah Gelar datang ke pesanggrahan. Kudanya melangkah pelan mendekati gubuk peratusnya, kemudian ia turun.
Sekarang kau boleh beristirahat, Sultan, bisiknya. Ia berhenti, tak jadi masuk waktu mendengar seseorang bicara hati-hati: Tunggu nanti bila bulan mulai tua. Pada waktu itulah kita akan mulai bergerak. Kemenangan Senapatiku sejak dulu diperoleh dalam gerakan malam, berlindungkan kegelapan.
Gelar mendeham dan percakapan berhenti. Ia masuk dan mendapatkan peratusnya sedang duduk bersama peratus lain. Suaranya sekarang tinggal jadi bisikan, tak dapat ditangkapnya. Kemudian peratus lain itu pun pergi.
Ia melaporkan segala yang telah dilihatnya di Tuban, kecuali urusan pribadinya dengan Syahbandar dan Nyi Gede Kati. Dan peratus itu merasa puas. Ia menyatakan pekerjaannya baik.
Tetapi, katanya lagi, kalau keterangan-keteranganmu ternyata isapan jempol, apalagi ternyata kau sama sekali tak pernah masuk ke Tuban Kota kau tahu sendiri ganjarannya.
Barang tentu, peratusku! Siapa saja yang pernah kau temui di sana" Nyi Gede Kati bekas pengurus keputrian kadipaten, la tinggal di gubuk daun kelapa di daerah pelabuhan. Maksudmu di gubuk-gubuk perempuan gelandangan" Benar, peratusku!
Tak pernah kau melihat eh, eh. Syahbandar" Lebih dari melihat, peratusku.
Mengapa tak kau sampaikan sejak tadi"
Dan Gelar dengan rikuh menceritakan segala yang telah terjadi di dalam gubuk Nyi Gede Kati.
Gelar! serunya, bukankah kau dididik dalam Buddha"
Benar, peratusku. Bukankah kau sendiri tahu dia ayahmu" Tahu, peratusku.
Bagaimana bisa kau lakukan .
Sudah terjadi, Peratusku, jalan lain tak ada. Peratus itu menatap prajuritnya dengan mata tajam. Perasaan jijik terpancar pada wajahnya. Kemudian ia pergi tanpa bicara lagi.
Dalam salah sebuah gubuk di pesanggrahan balatantara Tuban beberapa orang mengelilingi pelita minyak yang terbuat dari ruas bambu yang berdiri dengan kaki-kaki. Mereka nampak bersungguh-sungguh. Bayang-bayang yang bergerak-gerak pada wajah mereka disebabkan gerak api, membikin mereka nampak seram. Mereka: Braja, Kala Cuwil, Rangkum, Banteng Wareng dan Wiranggaleng.
Mereka menyimpulkan: Portugis jelas bisa diusir dari Tuban, tidak saja dengan penyerbuan dari laut, juga dan terutama dari darat. Mereka mengakui: pertempuran malam, yang untuk pertama kali dilancarkan oleh Wiranggaleng dalam sejarah perang di Jawa, akan menjamin kemungkinan itu. Dalam perang pengusiran tidak diperlukan cetbang, yang jelas tak dapat menandingi meriam musuh.
Masalah yang kemudian timbul: sampai berapa lama Peranggi dapat menahan serangan" Benteng bawah-tanah mereka memberikan perlindungan yang tak tertembusi oleh tombak, panah ataupun pedang, sedangkan serangan harus kilat pada waktu mereka terlena atau berhasil dibikin lena. Serangan yang tersusul oleh terbitnya bulan atau matari akan menyebabkan meriam-meriamnya menggagalkan semua usaha. Meriam rampasan telah tenggelam di laut, tak bisa diharapkan.
Kesimpulan kedua: serangan harus merupakan sekali pukulan yang mematikan.
Masalah yang kemudian timbul: balatentara Demak. Walau musafir-musafirnya tak sebanyak dan tak sefanatik dulu, setiap waktu Trenggono bisa tahu apa yang terjadi di mana-mana. Bila Demak tahu apa sedang direncanakan Tuban, Trenggono tinggal menunggu terjadinya perang pengusiran, dan tanpa bersusah-payah ia akan mengambilalih semua usaha Tuban, bahkan menguasainya pula.
Keputusan terakhir: semua diserahkan pada satu tangan. Dan yang diserahi adalah Senapati Tuban Wiranggaleng.
Dengan demikian persidangan sambil berdiri mengelilingi pelita itu berakhir. Sebelum mereka bubar, Senapati masih sempat bertanya: Bagaimana berita telik terakhir"
Tidak berbeda dengan yang seminggu terdahulu, dengan tambahan, dia telah memerlukan menghabisi jiwa Syahbandar Tuban Sayid Ulasawa, jawab Kala Cuwil. Wiranggaleng terdiam.
Dia telah kerjakan lebih dari tugasnya, Patih Tuban itu menambahkan.
Berikan pada dia tiga ratus orang dari pasukan kaki. Baik, Senapatiku.
Tugaskan dia mencari minyak tanah. Terserah pada dia di mana dan cara dia mendapatkan.
Gelar telah berusaha dengan berbagai cara dan jalan untuk dapat menemui bapaknya. Selalu tak berhasil. Peratusnya pun menolak menyampaikan pada atasannya.
Senapati sendiri tak pernah kelihatan pada umum. Orang-orang bilang: jiwanya harus diselamatkan dari intaian Demak.
Di mana saja Senapati berada, orang tak banyak tahu. Juga dan apalagi Gelar.
Ia ingin menyampaikan sendiri apa yang telah diperbuatnya terhadap Syahbandar terkutuk itu. Ia merasa telah berjasa besar pada emak dan bapaknya. Ia berhak mendapatkan pengakuan sebagai anak yang baik dan tahu menghapus aib orangtua. Ia telah merasa sebagai pahlawan keluarga. Musuh segala orang itu telah tumpas, oleh tangannya sendiri. Bukankah ia seorang anak yang tahu membalas budi" Tak kurang suatu apa" Bahkan ia pun abang yang baik untuk adiknya dan prajurit yang baik untuk senapatinya" Untuk itu ia telah pertaruhkan jiwanya, segala-galanya" Mereka akan bangga pada dirinya. Tuban pun akan bangga punya seorang prajurit seperti dirinya. Siapa lagi bisa memusnahkan Syahbandar Tuban yang selalu dalam kawalan Peranggi kalau bukan hanya Gelar"
Ia sendiri merasa terbebas dari kerisauannya. Sekali waktu ia akan datang pada emaknya. Dan ia akan mendapat pujian daripadanya. ingin segera pulang untuk berpanen pujian itu. Tapi tak mungkin. Sekiranya Senapati bukan bapaknya sendiri, pasti ia sudah tinggalkan balatentara, kembali dalam lingkungan kasih-sayang emaknya. Ia merasa malu untuk pergi. Wiranggaleng akan malu pada umum punya anak yang melarikan diri dari kewibawaannya. Ia terpaksa tinggal dalam pasukan.
Pada peratusnya ia menawarkan diri untuk tugas-tugas yang lebih berat. Ia tak tahan harus diam-diam tanpa kegiatan. Panggilan dari Senapati itu tak kunjung datang. Ia harus dapat menarik perhatiannya dengan jasa-jasa yang lebih besar.
Ataukah Senapati sengaja tak mau melihatnya lagi" Tidak mungkin. Jasa yang lebih besar mengharuskan ia mengenal Gelar. Dan peratus itu tak juga memberinya tugas penting. Ia menjadi gelisah resah. Pada puncak kerisauan ia telah siap untuk berbuat sesuatu apa saja untuk menarik perhatian Senapati. Dan perintah itu datang: memimpin tiga ratus prajurit kaki, cari minyak tanah di mana saja, dengan cara apa saja. Dan peratus itu menyampaikan padanya pribadi: perintah langsung dari Senapati sendiri. Waktu: tiga minggu.
Ia tak bertanya lebih lanjut. Ia anggap perintah itu sebagai ujian dari seorang bapak sendiri. Dan setelah menerima jumlah yang tiga ratus segera ia berangkat. Semua bersenjata lengkap.
Membawa kekuatan tiga kesatuan adalah pengalaman baru bagi seorang prajurit muda. Dan hanya prajurit luarbiasa saja ada kemungkinan mendapat kehormatan seperti itu. Ia merasa lebih dipercaya daripada tiga orang peratus sekaligus. Pikiran itu membesarkan hatinya.
Mereka semua sudah dan akan lebih bangga padaku, ia memutuskan. Tanpa pikir panjang ia bawa pasukannya ke Bojonegara. Senapati tak dapat ditemui. Baik. Ia akan meminta restu dari Ibunya. Dan yang lebih penting lagi: membawa berita pada Idayu tentang kedatangan Senapati. Di sana nanti baru ia akan pikirkan apa harus diperbuat.
Begitu turun dari kuda ia langsung mendapatkan emaknya dan berkata: Mak, lihat, Mak, tiga ratus orang prajuritku sekarang.
Dan Idayu dan Kumbang mengagumi prajurit sebanyak itu, mengagumi Gelar, semuda itu telah pimpin ratusan orang yang lebih tua daripada dirinya sendiri.
Kau mendapat kepercayaan besar, Gelar.
Tentu, Mak. Tahu kau, Mak, siapa yang memberi kepercayaan ini"
Mana aku tahu, Nak" Nanti aku bilangi. Sekarang , ia berbisik pada Idayu dan emaknya mendengarkan dengan mata terbeliak berpendaran berputar-putar kesana-sini.
Tiba-tiba emaknya memekik: Gelar! sambil menyorongkan badan anaknya. Tidak mungkin! Tidak mungkin! Tidak mungkin! Jangan ulangi kebohongan itu. Aku tak percaya.
Gejolak dan rangsang girang dalam dada Gelar berobah jadi beku, kaku dan membatu. Untuk pertama kali dalam hidupnya ia lihat wanita itu berubah jadi orang lain yang tak dikenalnya, seperti bukan orang yang pernah melahirkan, menyusui membesarkan dan mendidiknya.
Idayu berdiri tegak seperti patung. Matanya masih membelalak tidak bergerak dan tidak berkedip. Gelar kehilangan semangat dan kepribadiannya.
Lambat-lambat Idayu memejamkan mata, menunduk. Suara seorang ibu keluar dari dadanya yang sesak: Memuakkan! Tak ada seorang ibu pernah menyuruh atau menganjurkan perbuatan seperti itu. Aku tak percaya ada anakku bisa berbuat seperti itu!
Gelar tetap tak mengerti mengapa ibunya menanggapi berita kejadian itu seperti orang kehilangan akal. Mengapa lenyapnya seorang yang selama itu menyedihkan hatinya, merusak ketenangan batinnya, ternyata tidak menggirangkan hatinya" Ia kehilangan pegangan. Seorang ibu yang benar-benar dicintainya telah menolak persembahan bakti .
Jadi apa harus kukerjakan, Mak"
Kau! Kau! Mengapa sekarang bertanya padaku" Kau berangkat tanpa meninggalkan kata. Mengapa bertanya" Katanya dengan suara pedih.
Kumbang memperhatikan ibu dan abang berganti-ganti tanpa mengerti duduk-soalnya.
Kau merestui keberangkatanku, Mak.
Betul, tapi bukan untuk perbuatan seperti itu. Memuakkan, memuakkan.
Dia musuh, Mak, manusia terkutuk.
Itu saja yang agak meringankan kau. Hanya itu. Maha Buddha tidak. Memohonkan ampun pun aku takkan sanggup sekalipun kau bohong!
Ada juga keringanannya, pikir Gelar. Dan Idayu sekaligus telah demikian berobah, bukan emaknya yang dulu, dan pondok pengungsian itu tak lagi terasa ramah dan menyambut seperti dulu. Bahkan Kumbang pun sudah nampak lain. Ia dipaksa untuk juga mengambil sikap lain, lebih berhati-hati. Semua dirasainya telah jadi asing. Juga dirinya sendiri. Ia berlutut dan berkata dengan suara memohon: Anakmu akan berangkat terus, Mak. Berilah restu.
Berangkatlah, kata Idayu seperti pada orang asing. Kau tak merestui aku, Mak"
Aku tak tahu apa lagi akan kau perbuat. Sejak sekarang restui dirimu sendiri dengan perbuatan baik. Gelar, berangkatlah.
Mak, tega kau melepas aku tanpa restu, Mak" Dan wanita yang dihadapinya itu memang sudah bukan emak yang dulu, menjadi wanita yang tidak dikenalnya.
Baik, Mak, katanya sambil berdiri. Aku berangkat lagi. Nampaknya tak ada sesuatu yang bisa kuperbuat lagi di sini. Sebelum berangkat kusampaikan padamu. Senapatiku Wiranggaleng sudah datang di Tuban. Bapak! seru Kumbang.
Dan seruan itu terasa seperti halilintar di hati Gelar. Ia tahu, ia tak berhak lagi berseru seperti adiknya.
Lambat-lambat wajah Idayu kembali seperti semula. Matanya lunak dan bibirnya kehilangan ketegangan.
Aku tinggalkan tiga orang prajurit untuk mengantarkan Emak dan Kumbang. Tolonglah, Mak, kalau kau sudi, Mak, sampaikan sembah-sujudku pada Senapatiku, sebagai prajuritnya. Ia hendak mengatakan kalau toh tak mengakui aku sebagai anaknya, tetapi kata-kata itu tersekat beku di dalam jakun.
Dengan hati bolong compang-camping ia tinggalkan gubuk dan manusia-manusia tercinta yang sudah jadi asing itu, menggabungkan diri dengan pasukannya, berangkat lagi memasuki lebih dalam wilayah Bojonegara.
Dari seorang prajurit yang berpengalaman dalam hal minyak-tanah ia mendapat keterangan, minyak bisa didapatkan di tengah-tengah pecahan bukit cadas yang patah atau belah. Mungkin jarak pecahan itu sampai satu atau setengah hari perjalanan. Tengah-tengah jarak itu biasanya sumber minyak.
Ia tak tahu-menahu tentang itu. Diserahkannya pimpinan pencarian padanya.
Pada mulanya orang pada bertanya-tanya apa perlunya minyak-tanah sebanyak yang bisa diangkut oleh tiga ratus orang, kalau gunanya toh untuk melawan wabah bengkak yang membunuh itu dan sakit perut muntah-buang-air" Dan penyakit demikian tak ada sehabis perang melawan Kiai Benggala. Bila untuk penerangan, untuk apa pula penerangan berlebihan di waktu perang" Bukankah cukup dengan minyak kelapa"
Orang tak juga mengerti. Dan orang pun tak mempersoalkannya lagi. Soal yang lebih gawat sekarang adalah: kemungkinan terpergoki oleh pasukan Demak, dan itu berarti pertempuran. Dan tiga minggu yang diberikan mungkin akan terlewati.
Kecompang-campingan dan kebolongan hatinya segera terdesak oleh tugasnya sebagai prajurit. Kewaspadaan dan kesiagaan, pengaturan pasukan dan pengiriman telik, semua jadi pekerjaan pokok untuk dapat menghindar sergapan musuh.
Beberapa hari lamanya pasukan itu menjelajahi perbukitan Kendeng mencari sumber minyak .
Wiranggaleng bersama dengan para pemimpin pasukan sedang berdiri menghadap pada sebuah bukit kecil yang dirimbuni hutan. Di belakang mereka berdiri beberapa orang pengawal bersenjata tombak, pedang dan perisai. Sekeliling mereka sunyi-senyap. Dan di belakang mereka adalah perbukitan rendah yang setengah gundul.
Wiranggaleng berdiri bertolak pinggang dengan pandang merenungi kejauhan. Ia nampak lebih kukuh dan lebih tegap daripada tujuh belas tahun yang lalu. Hanya matanya nampak cekung masuk ke dalam rongga dan garis-garis kaki-ayam mulai menggurati sudut luar matanya. Kumisnya yang kurang lebat dan panjang jatuh lunglai di samping bibir, sedang jenggotnya yang juga kurang lebat dipotong sepanjang tiga jari dan tergantung pada dagu seperti sekepal ijuk.
Kalau mereka tak mampu datang dalam tiga minggu atau tanpa hasil, semua persiapan harus diperpanjang, bahkan diganti, sementara itu mungkin lebih banyak lagi Peranggi datang.
Senapatiku! sela Rangkum, telah kumasukkan dalam pasukan itu seorang yang dahulu bekas pencari minyaktanah. Mereka pasti berhasil. Hanya jumlahnya kita tak tahu. Bila ada halangan, pasti karena menghindari tentara Demak.
Senapatiku, nampak ada orang-orang datang dari celahcelah bukit, pengawal datang memperingatkan.
Semua berbalik ke belakang mengikuti tudingan tangan seorang pengawal. Dan seorang lain melompat ke atas kuda, menuju ke celah-celah bukit itu.
Nampak seperti orang desa biasa, Banteng Wareng berkata, nampaknya ada juga beberapa orang prajurit. Prajurit Tuban, kata Braja.
Seperti prajuritku, kata Rangkum. Seorang menuntun anak. Perempuan nampaknya. Dan jalan itu jarang ditempuh orang.
Mereka menyingkir dari tempat terbuka, menghindari di balik rumpun telekan, meneruskan pembicaraan.
Senapati menerangkan tentang keyakinannya, bahwa sekali Peranggi dikalahkan di sesuatu tempat, mereka takkan kembali untuk membuat perhitungan, mereka akan pergi untuk selama-lamanya. Bahwa alat dan cara perang mereka memang ampuh tidak menyalahi kenyataan, mereka tidak lebih dari siapa pun di antara orang Tuban. Mereka tak kalis dari sakit dan nyeri, mereka tidak lebih mulia, tapi memang lebih unggul karena cara kerjanya. Mereka juga punya kelemahan: takkan berdaya di malam kelam. Mereka manusia biasa. Alat-alat perangnya pun bikinan manusia biasa, bukan anugerah dari para dewa.
Ia memerintahkan pada para kepala pasukan agar semua prajurit Tuban memahami itu, dan bahwa lelanangin jagad adalah dongengan kanak-kanak semata.
Mereka dengar rombongan pendatang itu mendekati dan ternyata memang ada beberapa orang prajurit Tuban di antaranya.
Di dekat semak-semak telekan rombongan itu berhenti, dan terdengar suara wanita memanggil-manggil: Kang Galeng, Kang, aku datang.
Wiranggaleng kurang mendengar.
Seorang pengawal berkuda datang menghadap dengan masih memegangi kendali dan melaporkan: Senapatiku, Nyi Gede Idayu datang menghadap.
Seluruh pancaindra Senapati seakan berhenti bekerja. Mata-batin-nya berhadapan dengan pegunungan masalalu, sambung-menyambung tiada habis-habisnya: alam dan manusia, kesakitan dan kebahagiaan, harapan dan kekecewaan, cinta dan benci. Semua itu diwakili oleh hanya satu nama: Idayu.
Ia berjalan cepat keluar dari balik semak-semak. Yang lain-lain mengikutinya. Dan ia dapatkan anak dan istrinya berdiri menanti. Ya, mereka adalah impian masalalu. Dan ia jadi begitu kikuk.
Kang Galeng, panggil Idayu sekali lagi.
Bapak! teriak Kumbang dan lari, menjatuhkan diri ke tanah, menyembah kemudian memeluk kakinya. Kau datang, Idayu.
Ya, Kang, dan itu anakmu, Idayu menuding pada Kumbang dengan pandangnya.
Senapati mengambil anak itu dari kakinya dan mengangkatnya tinggi-tinggi seperti hendak melemparkannya ke langit.
Sudah besar, kau Nak. Kau tak juga datang, Kang. Mungkin tak patut aku datang kemari. Biar begitu aku paksakan datang untuk mengantarkan anakmu. Dia berhak melihat bapaknya dan bersembah sujud padanya. Turunkan anak itu, biar dapat memuliakan kau dengan sembah yang sempurna.
Senapati itu menurunkan anaknya. Dan Kumbang berlutut: Sembahlah bapakmu. Nak, dengan sembah yang tulus, biarpun sekiranya kau tak diterimanya. Ada apa Idayu" Mengapa kata-katamu begitu pahit" Idayu tak menjawab, dan Senapati membelai rambut anaknya untuk merestui. Kembali anak itu diangkatnya di atas sampai pasang-pasang mata anak dan ayah itu sejajar.
Betul, sudah besar kau. Di mana kau tinggal sekarang" Ah-ya, siapa pula namamu"
Semua yang mendengar tertawa.
Keterlaluan, kau, Kang anak sendiri lupa namanya, tegur Idayu.
Hhh, hhh, tinggal di mana kau, Nandi" Huh-huh, namaku bukan Nandi, Bapak.
Nandi itu anakmu yang lain lagi, yang ada di Malaka sana, sela Idayu.
Kunamakan siapa kau dulu" tanya Senapati. Kembali orang pada tertawa dan Senapati menurunkan Kumbang ke tanah.
Kumbang, Bapak, si anak membetulkan. Kami tinggal jauh di desa sejak terjadi perang. Kang Gelar yang menjaga kami. Sekarang dia pergi.
Kumbang. Benar, Kumbang, bisik Senapati, bapak sudah mulai pikun rupanya, Ya-ya-ya, ke mana Gelar pergi"
Dengan pasukan, Bapak. Wiranggaleng terdiam. Keningnya berkerut. Matanya ditujukan para pemimpin pasukan, pada para pengawal, akhirnya pada Idayu: Pasukan mana"
Pasukan Senapati Wiranggaleng, jawab istrinya. Mata Senapati cepat dialihkan pada para pemimpin pasukan, bertanya: Pasukan siapa berkeliaran di sana" tanyanya tajam.
Pasukan dengan tugas khusus, jawab Braja, dengan perintahmu. Senapatiku, mencari minyak-tanah.
Dialah yang bilang Bapak sudah kembali, Kumbang menambahkan. Idayu merasa perlu untuk menerangkan, agar suasana yang mulai mengandung ketegangan ketentaraan itu mengendur. Ia dekati suaminya dan berkata pelahan setengah bisik: Gelar menggabungkan diri kembali pada tentara Tuban setelah Peranggi masuk. Ditinggalkannya kami berdua di pedalaman. Kemudian dia datang lagi membawa pasukan sebanyak tiga ratus orang.
Dia yang membawa" tanya Senapati membelalak. Dia yang memimpin pasukan" kembali pandangnya berpendar-pendar pada para pemimpin pasukan. Dewa Batara! sebutnya.
Aku belum tahu tepat siapa nama pemimpin pasukan khusus itu, sela Braja.
Senapati memegangi kedua belah bahu istrinya: Tidakkah dia berbohong waktu mengatakan membawa pasukan"
Tak pernah aku ajari dia berbohong, jawab Idayu. Wiranggaleng menoleh pada Braja, bertanya: Bukankah pemimpin pasukan itu orang yang baru pulang dari Tuban Kota, Braja"
Tepat, Senapatiku. Ampun, Dewa Batara, sebut Wiranggaleng. Apakah Senapatiku ingin segera mengetahui orang itu Gelar atau bukan" tanya Braja.
Senapati tak menjawab. Ia melangkah pelahan diikuti oleh semua orang.
Gelar, Senapatiku, seorang prajurit yang gesit seperti elang, berani seperti harimau, patut jadi perwira sekiranya kelakuan cukup baik, Braja menyarani.
Maafkan kami, Kala Cuwil menambahkan, bahwa tak ada di antara kami mengetahui apakah kepala pasukan khusus itu Gelar
Bagaimana keadaanmu, Idayu" tanya Senapati. Kumbang, panggil Idayu. Mintalah gendong pada bapakmu. Belum cukup engkau digendongnya dulu. Nak.
Kumbang dan Idayu belum pulang ke desa. Bersama dengan anak-anak dan perempuan lain mereka ditempatkan di sebuah desa pembikin grabah. Seluruh bocah dan wanita ditugaskan untuk mengempleng tanah liat untuk dibikin jadi gendi-gendi kecil tak bercucuk berbentuk lonjong dan tak dapat berdiri.
Mereka harus membikin beberapa ribu buah dalam waktu tiga minggu.
Gendi-gendi yang belum dibakar dijemur berderet di atas jerami, sedang pembakaran bekerja tanpa henti-hentinya.
Dan pada suatu hari dalam kesibukannya Idayu bertanya pada anaknya: Ada bapakmu menengok hari ini"
Belum, Mak. Di sana orang lebih cepat membikin, Mak.
Apakah kau kira kita kurang cepat" Kecuali malam saja kita bisa mengasoh, dan sudah lima hari. Mengasohlah kau, Nak, biar aku balik sendiri jemuran itu nanti.
Tetapi Kumbang menolak dan kembali ke tempat pekerjaan.
Dari kejauhan terdengar Kumbang berseru-seru: Datang lagi, Mak. Mereka datang lagi.
Semua orang yang sedang bekerja menengok ke jurusan tudingan Kumbang, dan mereka melihat serombongan kecil pengangkut lodong bambu muncul di jalanan hutan. Mereka adalah rombongan ketiga dalam seminggu yang mengangkuti minyak-tanah dari pedalaman.
Idayu berdiri dan lari menyongsong. Tetapi ia tak dapatkan Gelar di antara mereka. Uh, sudah berhari-hari ia ingin bertemu. Ia ingin bicara bersungguh-sungguh dan tenang dan mendalam. Dan ia sangat menyesal melayani anaknya seperti yang telah terjadi. Kurang layak. Ia harus tetap berlaku sebagai seorang ibu yang bijaksana, bukan seperti seorang penuduh.
Di mana yang lain-lain" ia bertanya.
Belum bisa pulang, tentara Demak menyergap, kami diungsikan lebih dahulu. Mereka masih terus bertempur.
Idayu berlutut di pinggir jalan memunggungi rombongan yang lewat, la berdoa untuk keselamatan Gelar. Mengapa Kang Gelar, Mak"
Berlututlah, Nak, dan berdoalah untuk keselamatannya. Dan Kumbang pun berlutut, membikin sembah dada dengan kepala menunduk.
Nyi Gede, seseorang mendekati, ada apa" Anakku. Pasukannya disergap Demak. Anak semuda itu.
Orang-orang pun berlutut dan bersama-sama mereka berdoa.
Nyi Gede, tak usah kau ikut kerja. Jangan kuatir. Nyi Gede, semua akan selesai pada waktunya.
Mari bekerja lagi, jawabnya.
Dan ia bekerja lagi, sekarang lebih keras daripada yang sudah-sudah. Ia menyesal tak merestui keberangkatannya. Anak manja itu. Dan bagaimana ia berani merestui seorang yang telah tak mungkin. Dia patut menerima hukumannya pada umur tuanya. Tapi mengapa yang melakukan harus anakku" anaknya" Mengapa bukan orang lain" Mengapa bukan Galeng" Bahkan Kang Galeng pun nampak terkejut dan tak senang. Bagaimana jadinya anak ini bila perang selesai" Tak ada seorang pun mau diajaknya bergaul. Anak-anak akan takut padanya dan orang-orangtua akan menyingkirinya. Gadis-gadis akan lari daripadanya. Bagaimana akan jadinya" Haruskah dia mengembarai dunia ini seorang diri sampai matinya" Bahkan emaknya sendiri, aku, telah kehilangan kepercayaan terhadapnya, tak mampu hidup di bawah satu atap dengannya. Dan Kang Galeng, bagaimana sikapmu" Betapa sulit bisa bertemu denganmu.
Ia sadar sedang duduk melamun tak kerja waktu Kumbang datang dan menegurnya: Emak tak bekerja" Ia terbangun, tetapi matari sudah hampir tenggelam. Di kejauhan nampak beberapa dapur pembakaran mulai mengepulkan asap tipis ke udara.
Berlanjut kebagian 43
Tidak ada komentar:
Posting Komentar