Arus Balik.
Karya : Pramoedya Ananta Toer.
Bagian 26.
Pertemuan Kembali Regu kuda itu kecil saja jumlahnya, tak lebih dari dua puluh o-rang. Juga tidak dipimpin oleh Banteng Wareng. Oleh Maesa Wulung pun tidak. Wiranggaleng sendiri yang membawanya. Mereka bergerak bukan untuk bertempur. Mereka sedang berusaha mencari Idayu dan anak-anaknya.
Seluruh Tuban gempar mendengar berita Idayu, penari pujaan itu, diculik oleh gerombolan Sunan Rajeg. Tak ada orang bisa memaafkan bila dia sampai terkena cedera. Bahkan desas-desus tentang perlakuan Syahbandar Tuban terhadapnya, bila tidak karena perlindungan Sang Adipati, telah lama dapat membunuh Tholib Sungkar itu secara kejam. Apalagi kini: diculik oleh musuh Tuban. Takkan ada ampun.
Semua berdoa dan berharap agar penari itu diselamatkan. Para pemimpin pasukan telah mendesak Senapati agar mengerahkan balatentara untuk mencarinya sampai dapat, hidup atau mati. Lima puluh tahun lamanya, belum tentu ada penari seperti itu lagi.
Jadi tak lain dari Senapati Tuban sendiri yang berangkat dengan dua puluh orang pasukan kuda. Sekiranya tidak berangkat dengan diam-diam tak kurang-kurangnya orang yang bersedia bergabung dalam barisan pencari.
Dengan demikian pencarian dimulai. Tujuan langsung desa Rajeg, yang selama ini memang belum lagi dijamah oleh balatentara.
Setiap memasuki desa pedalaman regu kuda itu berkendara pelan-pelan memperhatikan kehidupan yang sedang mulai hendak pulih kembali. Orang telah mulai menggarap sawah dan ladang. Kedamaian yang dulu kelihatan sedang membiak kembali. Dan bila malam datang gamelan pun mulai mendayu-dayu lagi. Perjaka dan perawan menari dan menyanyi lagi. Di tempat-tempat tertentu orang belajar membaca Al-qufan tanpa gangguan. Di tempat lain lagi orang mendengarkan guru pembicara yang semua saja mengumpat dan mengutuk Sunan Rajeg.
Perguruan-perguruan Buddha semakin susut. Dan dengan adanya pengajian-pengajian anak-anak mendapat dalih untuk tidak mengunjungi dua-duanya. Pengaruh Buddha dan Syiwa semakin susut. Tak bisa lain, berabadabad lamanya agama raja adalah agama kawula, dan Sang Adipati dimasyhurkan oleh kawulanya telah memeluk Islam.
Di satu dua desa regu kuda itu mengetahui juga adanya beberapa orang lelaki melarikan diri melihat mereka datang. Dan Sang Senapati memerintahkan pada anakbuah untuk membiarkan mereka lari. Dan pada desa demikian ditinggalkannya pesan, pasukan kuda datang bukan untuk mengaduk desa. karena Senapati Tuban adalah juga anak desa, besok atau lusa toh akan kembali hidup di desa, menjadi petani seperti yang lain-lain.
Bila yang didatangi reda dari ketakutannya, regu kuda itu menambahi: Jangan takut Kami tak memusuhi kalian. Memang ada yang kami cari: Sunan Rajeg. Katakan ke mana dia bersembunyi. Dia yang berdosa, bukan seorang pun di antara kalian.
Kata-kata semacam itu melenyapkan kegelisahan dan ketakutan. Namun tak juga didapatkan keterangan di mana Sunan Rajeg bersembunyi.
Sampai di desa Rajeg, regu kuda itu hanya menemui kesunyian. Desa itu sama sekali telah ditinggalkan. Tak ada tanda-tanda orang tinggal. Hanya kucing kelaparan gentayangan mencari mangsa dan ayam-ayam beterbangan tinggi di pepohonan melihat kedatangan regu kuda.
Regu itu menyebar ke seluruh desa dengan masih menunggang kuda Senapati memasuki pendopo rumah joglo Sunan Rajeg, berhenti di tengah-tengah, kemudian masuk ke dalam rumah dengan pedang telanjang di tangan.
Semua pintu tinggal terbuka. Perabot rumah masih utuh, tetapi semua barang berharga tiada nampak.
Melihat semua itu ia menarik kesimpulan, bekas Syahbandar Tuban itu mempunyai cukup persiapan untuk melarikan diri, dan melarikan diri dengan semua harta bendanya. Maka in takkan dapat pergi jauh. juga di rumah itu Idayu tak ditemukan.
Wiranggaleng memerintahkan memeriksa setiap rumah. Di setiap rumah yang dimasuki pintu didapatkan terbuka dan barang-barang kocar-kacir berantakan di lantai, pertanda ditinggalkan dengan terburu-buru.
Tak seorang pun ditemukan. Apalagi Idayu dan anakanaknya. Ia perintahkan memeriksa daerah sekitar. Kuburan orang Islam pun diperiksa. Bekas galian diselidiki.
Di dekat kuburan itu mereka mendapatkan mayat seorang wanita yang telah rusak dan sisa seorang bayi di dekatnya.
Wiranggaleng memerlukan menelitinya, dan ia mengambil kesimpulan: bukan istri, juga bukan anaknya.
Mayat-mayat itu kemudian ditimbun dengan tanah dan ditinggalkan.
Regu itu bergerak terus ke desa-desa selanjurnya. Dan Senapati menambahi pesannya: Penduduk desa Rajeg supaya kembali ke desanya, mengambil semua harta benda yang masih tertinggal, tetapi jangan lagi tinggal di situ. Tinggalkan Rajeg, menetaplah di desa lain. Jangan lagi desa sial itu ditinggali, biar kembali menjadi hutan .
Semakin meninggalkan Rajeg semakin bertetesan keterangan yang bisa didapat tentang arah perginya Sunan Rajeg. Regu itu mulai dapat menjejak tempat Rangga Iskak yang terakhir.
Pada suatu hari sampailah mereka dijalan setapak yang melebar itu, sampai lebaran itu berakhir, dan di sanalah Gowong, persembunyian bekas Syahbandar Tuban itu.
Dari kejauhan mereka telah dapat melihat bukit kecil tujuan. Persiapan untuk perkelahian telah diatur. Kuda dijalankan pelan-pelan sambil menajamkan mata pada atas pepohonan dan puncak bukit.
Juga di sini tak nampak ada kehidupan manusia. Yakin dekat dengan tujuan, bau bangkai semakin merangsang dan semakin memuakkan. Dan sampai di depan pintu gua keadaan tetap sunyi. Tetapi bau bangkai menjadi-jadi.
Seorang anggota regu melemparkan batu ke dalam gua. Tak terjawab. Sebaliknya ribuan lalat mubal beterbangan ke luar masuk gua.
Tak ada orang di dalam. Masuk!
Mereka menyerbu masuk dengan kuda. Kegelapan, bau busuk dan ribuan lalat itu juga yang menyambut mereka. Dan pada waktu itu juga tahu mereka sedang berada di hadapan bangkai-bangkai yang berkaparan. Sisa bau belerang menyebabkan binatang buas tidak menyerbu ke mari.
Melihat bangkai-bangkai itu Wiranggaleng melompat turun dari kuda. Ia periksa mayat-mayat yang sudah rusak itu seorang demi seorang. Dan lalat tak henti-hentinya mendengung di tempat itu. Tak ada tanda-tanda wanita di antara mereka.
Juga semua prajurit ikut memeriksa.
Dayu! Idayu! teriak Wiranggaleng memanggilmanggil.
Hanya gema yang menjawabi kembali.
Seorang mati ditikam keris, Senapatiku! seorang melaporkan.
Mereka memeriksa yang mati terkeris.
Periksa seluruh gua! pekik Senapati. Inilah si keparat Rangga Iskak. Hem. Kaulah ini gerangan" Hanya begini saja akhirmu"
Ia perhatikan letak bangkai yang satu itu dan anggota badan serta luka-luka tikaman yang telah mengeluarkan belatung itu.
Mati terbunuh atau bunuh diri"
Ia cabut pisau yang masih tertancap, diperiksanya, dan mengetahui: pisau dapur.
Rangga Iskak dibunuh oleh perempuan, pikirnya, dan diperintahnya seorang untuk memeriksa apakah di dalam atau di luar gua terdapat sebuah dapur.
Mungkinkah Idayu yang membunuhnya" Dan ia berteriak memanggil-manggil lagi. Juga hanya gaung yang menjawabi.
Prajurit-prajurit yang memeriksa lebih ke dalam menemukan empat bangkai perempuan. Segera ia melaporkan. Senapati bergegas masuk membawa obor dari ranting-ranting kayu dan serangga beterbangan menubrukinya.
la periksa bangkai-bangkai yang rusak itu seorang demi seorang, dan ia ragu tak dapat memastikan. Hanya hatinya yang hilang: itu bukan orang yang kau cari.
Perbanyak obor! perintahnya. Tapi hatinya lebih keras meraung: Kau tak boleh aku temukan dalam keadaan begini, dan tak boleh di sini.
Dan api dari batang-batang bambu tua lapuk menyinari seluruh rongga berlapis papan itu.
Dalam bilik yang lain orang menemukan selembar popok bayi. Senapati itu sendiri masuk ke dalam dan memeriksa popok itu, Satu raungan keluar dari mulurnya, seperti suara orang gila: Anakku, tak bisa lain, pasti anakku!
Nyi Gede Idayu! yang lain-lain mulai berlarian keluar dan memanggil-manggil ke sekitar.
Suara ramai dan keras itu bergema-gema di dalam rongga, juga di dalam rimba.
Prajurit itu pergi untuk mendapatkan dapur.
Yang lain-lain terus mengelilingi sekitar bukit sambil berseru-seru dari atas kudanya. Tetapi hanya gaung yang menjawabi. Mereka hanya mendapati timbunan kotoran burung pada sebuah lekukan tanah. Dalam pembongkaran tak didapatkan bekas kehidupan, tak ada mayat, tak ada tulang, tak ada pakaian. Kemudian didapatkan galian baru, tertimbun tanah yang agak baru. Waktu dibongkar ternyata bekas-bekas dapur. Dalam waktu dekat didapatkan tanah terbakar bekas tempat tungku.
Wiranggaleng itu menyelidiki sekitar bekas tungku, pada cabang-cabang kayu di dekat-dekatnya untuk mendapatkan bekas sesaji: kapur, sirih, beras kuning, pinang. Setidaktidaknya kapur itu tidak akan terganggu oleh binatang ataupun cuaca. Dan ia tidak mendapatkannya. Bukan seorang perempuan yang masak di sini, ia memutuskan, seorang lelaki. Bukan Idayu yang membunuh Rangga Iskak, tapi seorang juru-masak lelaki.
Mereka menemukan sumber air yang mengalir jemih. Di sana mereka membersihkan diri.
Bakar gua itu! perintahnya.
Orang pun mengangkuti kayu dan ranting, menjejalnya di tempat mayat-mayat bergelimpangan. Daun-daun kering ditimbunkan dan kemudian dibakar.
Kembali! perintah Senapati.
Regu itu meninggalkan bukit dan gua Gowong. Hasilnya dua: selembar popok dan kenyataan Rangga Iskak telah mati, ditikam dengan pisau dapur dan tidak jelas siapa menikamnya.
Api di dalam gua itu dengan cepat membubung. Rongga itu tersekat oleh asap dan api, kini tinggal baranya masih juga menganga
Dan popok itu memberi firasat pada Senapati, bahwa anaknya belum mati, juga istrinya.
Gelar duduk di atas bahu Pada alias Mohammad Firman dan tangannya berpegangan pada kepala. Idayu menggendong bayi.
Mereka berjalan di antara pepohonan raksasa dalam rimba belantara itu. Idayu membawa tombak sebilah dan pada pinggangnya tergantung pedang yang terlalu panjang untuknya. Gelar membawa empat bilah tombak. Juga pada pinggangnya tergantung pedang.
Betapa jadinya anak-anak ini, Pada, kalau kau tak datang menolong" bisik Idayu dalam usahanya untuk menyatakan terimakasihnya.
Rimba itu terlalu lebat. Sinar matari tak mampu menembusi. Dengan tombak di tangan dua orang itu selalu waspada. Mata mereka antara sebentar melihat ke atas untuk dapat menghindari ular yang sedang menunggu mangsa. Dan memang ular itu juga musuh yang paling berbahaya. Baunya yang langau memang segera dapat dikenal, tetapi tanpa mata awas boleh jadi orang tak memperhatikan baunya lagi.
Pandang mata Pada bertebaran ke mana-mana, dengan tombak setiap waktu siap untuk dilemparkan. Namun pendengarannya tetap tertuju pada apa saja yang diucapkan oleh wanita pujaan itu.
Dan betapa jadinya , ia menjawab lambat-lambat, kalau Kang Galeng jalankan apa yang diperintahkan padanya" Kau pun tak bakal menemui aku lagi, Mbokayu . Betapa berliku-liku hidup ini , desis Idayu.
Ya, Mbokayu, berliku-liku memang, dan tak ada orang tahu bagaimana bakal jadinya nanti. Yang jelas semua saja menuju ke arah kematian, memasuki akhirat .
Apa gunanya bicara tentang kematian" Yang baru lewat pun sudah seperti itu. Dan yang sekarang: rimba belantara seperti ini .
Bukankah ada Pada di sampingmu" Adakah dia kurang jantan, Mbokayu"
Sunan Rajeg dalam keadaan sendirian seperti itu Pada, tak bisa keluar dari rimba ini"
Tidak akan terlalu lama. Menginap beberapa malam lagi, sebidang bulak rumput, kemudian desa pertama . Dua malam lagi"
Insya Allah, dua malam lagi .
Dan mereka terus berjalan dalam rembang rimba. Rasarasa takkan ada hari baru bakal tiba: kerembangan dan kegelapan abadi. Pohon-pohon raksasa berdesak-desakan memperebutkan setiap ikat sinar matari dari langit, tak sudi berbagi dengan yang di bawahnya. Dan di bawahnya itu justru melata dengan meranyahnya pepohonan petaicina dan kayu baru, mlinjo dan pepohonan buas, juga berdesakdesakan, memperebutkan sisa sinar matari yang mungkin jatuh tercecer dari langit.
Antara sebentar mereka memapasi jalur-jalur bekas jalan babi hutan. Rotan, cacing dan manau, meliputi pepohonan dan cabang-cabangnya yang kering berbulu duri panjang, runcing dan tajam, mengancam di mana-mana. Segala jenis monyet tiada terdapat di bagian rimba ini, walau kaya akan buah-buahan hutan. Musafir di dalamnya tiada kan mati kelaparan. Bila haus orang tinggal menebang batang rotan muda dan menampung kucuran dan tetesan airnya yang berbuih dengan mulut. Umbi-umbian tinggal memilih mana yang disukai. Hanya kacang-kacangan yang tiada. Terhadap binatang buas pada banyak berpengalaman sudah selama mengembara sebagai musafir Demak. Ia tahu cara menghindari atau melawan.
Hanya gangguan nyamuk dan lintah darah sungguh tak tertahankan. Sedang udara hujan yang lembab dari kadar tinggi membikin kantung jadi gangguan tambahan. Berapa anakmu sekarang. Pada"
Seorang pun belum . Kau belum lagi kawin"
Nantilah kalau sudah temukan seorang seperti Mbokayu .
Ah, kau . Kembali mereka terdiam dan berjalan terus sambil mengusiri nyamuk dengan bahu atau gelengan atau gedrugan kaki. Kadang mereka membiarkan sampai lama lintah jatuh sendiri dari tubuh setelah kenyang menghisap. Dan dengung serangga di pepohonan terasa menumpulkan pancaindera.
Apa menurut dugaanmu anakbuah Sunan Rajeg tak keluyuran di sini"
Tidak. Semua telah dikerahkan ke medan perang Gelar telah tertidur duduk di atas bahu Pada dan membungkuki kepala kendaraannya. Diturunkan ia dari atas bahu dan digendongnya. Tangan Pada yang kanan tetap siaga dengan tombaknya.
Ceritai aku sejak kau tinggalkan Tuban .
Begitulah . Pada langsung memulai, Kang Galeng membawa aku naik ke kapal dagang atas perintah Sang Adipati. Itu kau sudah tahu, Mbokayu. Kang Galeng tidak bunuh aku. Diberikannya kembali nyawaku, diberinya aku kesempatan melompat ke laut. Aku melompat dan berenang ke pesisir. Kujelajahi pesisir itu. Ternyata pelayaran itu belum lagi jauh dari Tuban. Aku tiba di Lao Sam, sebuah bandar Tionghoa yang tenang. Penduduknya hanya sedikit dan hampir semua Tionghoa berkuncir. Seorang telah memungut aku jadi anak-angkatnya, Mbokayu, karena dilihatnya aku masih kanak-kanak dan tiada celanya . Dan kanak-kanak yang terlalu nakal .
Ya, terlalu nakal. Mbokayu. Juga karena diketahuinya aku banyak tahu tentang pedalaman gedung kadipaten Tuban. Di rumahnya itu aku belajar masak, karena dia tidak beristri, lagi pula jarang tinggal di rumah. Kau tak dengarkan aku, Mbokayu"
Aku sedang berpikir Pada, sekiranya dulu aku diselir oleh Sang Adipati kau. Pada, tega juga kau .
Ah, Mbokayu semua itu ceritera lama. Dan siapa tidak mengimpikan seorang Idayu dalam hidupnya" Sekalipun dia masih kanak-kanak"
Huh! Aku teruskan ceritaku" mengetahui Idayu tak menjawab ia pun meneruskan untuk melupakan impian masalalu. Dan melihat Idayu nampak tak acuh, ia memberikan perhatian. Kau sudah bosan mendengarkan . Teruskan saja ceritamu .
Kau sajalah yang bercerita . Sudah habis ceritaku, Pada .
Baiklah. Beberapa kali dia bawa aku ke jurusan barat: Juana, Jepara, Demak, dan juga Semarang. Semarang hampir sama dengan Lao Sam. Penduduknya Tionghoa berkucir melulu, tapi kotanya jauh lebih besar, lebih banyak penduduknya dan rumah-rumahnya lebih besar dan bagus, walau pelabuhannya tidak baik. Tuban jauh lebih bagus. Bapak-angkatnya menyuruh aku belajar di Demak. Diberinya aku sangu dan selembar surat bertulisan Tionghoa yang harus aku antarkan pada seseorang di Demak sana. Jadi tinggallah aku di rumah orang yang kuberi surat itu. Bersama dengan banyak pemuda lain di rumahnya aku belajar agama Islam, macam-macamlah, kau tak kan mengerti, juga babad-babad yang tidak sama dengan yang biasa kita ketahui sejak kecil, riwayat para wali, babad Demak. Kemudian kami pindah belajar di mesjid agung Bintoro. Setelah itu kami dikirimkan ke manamana dan aku ditunjuk untuk kembali ke Tuban, pedalaman Tuban maksudku. Pada mulanya aku berpangkalan di Bonang. Pada Sunan Bonanglah aku melaporkan semua kegiatan Sunan Rajeg sudah bosan, Mbokayu"
Tidak. Ayoh teruskan . Aku yakin kau bisa tertarik mendengar pekerjaanku . Teruskan saja. Pada .
Dan mereka terus berjalan. Lelaki itu tahu Idayu tak tertarik pada ceritanya maka ia berhenti tak meneruskan. Mengapa kau terdiam" Jangan bikin aku mengantuk . Baiklah. Sunan Bonang tidak setuju pada Sunan Rajeg. Ia anggap dia terlalu gegabah, lebih banyak menghancurkan peradaban Jawa daripada menyebarkan agama Islam. Kata Sunan Bonang, orang tak bisa membikin peradaban yang sama sekali baru dalam sepuluh tahun. Ia mengakui Sunan Rajeg pandai bicara, pandai menarik hati, pandai meyakinkan, tapi ia terlalu gegabah dan tak punya kesabaran. Lebih dari itu: dia rakus kekuasaan. Bila tidak, dia akan diajak masuk menjadi anggota Majelis Kerajaan Demak. Mbokayu, akulah sesungguhnya yang ditugaskan untuk mendekatkan dia dengan Demak .
Ternyata kau orang penting Demak, Pada . Tidak, hanya musafir. Apalah artinya seorang Pada" Mengapa kau ceritakan semua itu" Bukankah itu pekerjaan rahasia"
Ya, Mbokayu, rahasia. Sekarang tidak lagi. Sunan Rajeg telah mati, dan tidak lain dari aku sendiri yang membunuhnya. Pengetahuannya terlalu banyak tentang kerajaan-kerajaan di Jawa dan seberang dan Atas Angin sana. Sayang cemburunya sangat besar terhadap Demak. Sebaliknya kerakusannya membikin semua kelebihannya menjadi rusak. Pelitnya luar biasa, berlawanan dengan semua ajaran. Pekerjaan gagal. Hanya berhasil jadi jurumasaknya. Iblis masih mau memberi pada seseorang untuk maksud dan kepentingan sendiri. Sunan Rajeg tak mau kehilangan sesuatu pun dari miliknya. Sesuap nasi pun ia tak pernah berikan pada seseorang. Semua petani membayar upeti tinggi padanya, lebih tinggi daripada desadesa lain kepada Tuban. Benih yang didapatkan dari dia harus diganti dengan empat kali lipat sehabis panen. Sekali memberi makan enak, dia bermaksud membunuh mereka orang-orang yang justru paling setia padanya . Mengapa orang pada mengikutinya tahu dia begitu" Itulah kekeliruan ajaran lama barangkali kerumunilah orang berilmu, ikuti dia, selamatkan dia dan jalani petunjuk dan ajarannya. Kau sendiri tahu ajaran itu, Mbokayu. Anak desa segunung-gunungnya hafal nyanyian itu. Di Demak pun ajaran itu dinyanyikan oleh semua orang .
Lantas siapa yang harus diikuti menurut agamamu yang baru itu. Pada"
Allah yang punya langit dan bumi ini, punya seluruh alam semesta, dengan suruhan dan larangannya, yang diwahyukan pada para nabi dan Nabi Besar Mohammad, di bawahnya lagi adalah Khalifah, yaitu Sultan Al-Fattah, raja Demak. Khalifah mengatur semua orang Islam di tanah Jawa. Maka sekali dalam hidupnya seorang Islam di Jawa harus datang ke Demak, bersembahyang di mesjid agung dan membesarkan nama Sultan .
Makin banyak kata-katamu yang aku tak mengerti . Lama kelamaan kau akan mengerti juga, Mbokayu . Cerita saja tentang hal lain, jangan yang sulit seperti itu .
Celakalah orang Islam Jawa yang tak mematuhi Khalifahnya, dunia dan akhirat .
Yang lain, Pada . Sunan Rajeg, biar pun Islam, karena menentangnya, dia celaka juga .
Dan kau yang membunuhnya. Pada. Apakah itu juga perintah dan Demak"
Sudah lama semestinya aku kerjakan. Dia terlalu kuat dan terjaga. Dia terlalu merugikan Demak dan penyebaran agama Islam. Kalau cara-caranya itu diteruskan juga, rajaraja Jawa akan bangkit melawan Islam, apalagi yang jauh dari pesisir. Guruku bilang: orang Jawa tidak mau kehilangan peradabannya, hanya muballigh bodoh seperti Rangga Iskak yang berani mengawur sejauh itu, pengaruhnya pada suatu saat memang bisa besar, terlalu besar, tapi tidak bisa menetap, sebentar kemudian akan lebih kembali ke dalam alam jahiliah.
Betapa banyak kata-katamu yang sulit . Bukankah Mbokayu juga sudah Islam" Dan Idayu mendengus tertawa.
Kata orang, Mbokayu, Kang Galeng juga sudah masuk Islam. Bukankah itu benar"
Pantas kau mendapat kepercayaan dari Sultan Demak. Kau pun pandai bicara, Pada. Tidak seperti Kang Galeng. Dia hanya pintar gulat .
Dia telah berhasil hancurkan kekuatan Rangga Iskak. Aku harus membantu menyelesaikan sedikit. Mbokayu, tidak benarkah Kang Galeng sudah masuk Islam"
Apakah artinya Islam-tidaknya kami berdua bagimu" Kami hanya orang-orang biasa, hanya ingin jadi petani biasa. Kang Galeng tidak i-ngin jadi apa-apa seperti kau, maka tak perlu bagi kami masuk Islam
Ah, Mbokayu . Dia tak butuh kekuasaan, baik dari manusia, dari para dewa ataupun dari Aliahmu, maka dia tidak ingin membunuh atau dibunuh oleh siapa pun .
Mbokayu! Pada menegah. Mengapa" Jangan gusar. Itulah kami berdua, sikap dan hidup kami. Kami hanya manusia biasa, dan hanya ingin jadi manusia biasa .
Mbokayu! Lihat, rakus kekuasaan menyebabkan Rangga Iskak ingin menggantikan Sang Adipati. Kerakusan itu juga menyebabkan Demak membunuh Rangga Iskak melalui tanganmu .
Mbokayu! Takut kehilangan kekuasaan menyebabkan balatentara Tuban memerangi Rangga Iskak dan Kang Galeng dipaksa jadi Senapati Tuban. Kerakusan menyebabkan matinya begitu banyak orang. Tidak, Pada, kami hanya mau dan ingin jadi manusia biasa .
Ah, Mbokayu, Mbokayu, kau belum mengerti dudukperkara, Pada menyela.
Itulah duduk-perkaranya .
Siapa yang mengajarinya begitu, Mbokayu" Sejak kecil aku tinggal di kota, Pada, di dalam gedung kadipaten, maka tak pernah dengarkan ajaran begitu banyak dari para guru pengembara di desa-desa .
Masih banyakkah guru-pembicara mengembarai desadesa"
Belakangan ini berkurang memang .
Guruku bilang, mereka itu seperti hidup di jaman Daud dan Musa siapa di antaranya yang paling Mbokayu puja"
Rama Cluring. Suaranya lantang penuh keberanian dan kebesaran .
Tentu dia sudah mati . Ya. Sebelum kami berdua berangkat ke Tuban . Siapakah kiranya yang berhasil membunuhnya" Dia tidak mati terbunuh. Siapakah yang akan membunuh orang sebijaksana itu, penuh kebenaran, tidak rakus akan sesuatu, kecuali menginginkan kesabaran dan kejayaan di kemudian hari untuk sesama orang" Mereka berhenti.
Gelar bangun dari tidurnya. Mereka memunguti buah jambu yang telah dirontokkan oleh kelelawar, dan mereka telah memakannya sampai perut merasa agak isi kemudian berjalan lagi. Tanpa ada yang mengatakan, mereka tahu tak boleh makan buah sampai kenyang.
Gelar berjalan kaki lagi. tetapi kelelahan kemarin yang belum juga habis menyebabkan ia segera juga minta duduk di atas bahu, dan di sana ia menyanyi-nyanyi.
Mengapa Rama Curing harus dibunuh" mendadak Idayu bertanya. Melihat Pada tak menjawab ia bertanya lagi. Demakkah yang menghendaki" Dan kau yang harus kerjakan"
Pada tak menengahi. Setelah mendengarkan ceritamu, Pada, terpaksa aku membayangkan Demak, di sana tentu takkan ada gurupembicara. Semua sudah atau akan mati terbunuh .
Tidak, itu tidak benar. Di mana-mana ada, di kota, di desa. Bukankah aku sendiri juga seorang guru-pembicara" Cuma di Demak namanya musafir Demak .
Tentu, aku percaya. Rasa-rasanya akan tetap lain daripada di desa-desa di luar Demak. Dari ceritamu tadi sekali lagi aku terpaksa membayangkan, Pada,, gurupembicara alias musafir Demak itu bicara untuk mendapat pengikut atau merebut pengikut orang lain. Guru-pembicara kami tidak mencari pengikut, maaf, mereka hanya menyatakan perasaan dan pikirannya. Mereka tak punya apa-apa kecuali pikiran dan pendapat dan perasaannya. Mereka tidak menginginkan kekuasaan seperti kau.
Bukankah kau jadi musafir Demak karena kebencianmu terhadap Sang Adipati" Dan Sang Adipati hendak membunuhmu karena kau merugikannya lebih dahulu" Ia memerlukan menengok ke belakang melihat pada Pada, dan lelaki itu tak membantah. Kata orang, dahulu kala mereka itu adalah guru-guru Buddha. Makanya pun didapatkannya dari para pengagumnya, juga pakaian dan pemondokan. Tak ada raja atau siapa pun menyuruh atau memberinya perlindungan .
Ternyata kau pun pandai bicara, Mbokayu . Kau tak marah padaku setelah menolong kami" Apa harus dimarahkan"
Karena ternyata kita berlainan"
Bagaimana pun kebenaran akan menang, Mbokayu. Untuk sampai pada kebenaran itu ada jalan-jalan tertentu yang harus ditempuh. Lihatlah, kalau ada seribu guru pembicara di desa-desa seperti itu, maka ada seribu macam pendapat, dan kebenaran itu sendiri akan semakin jauh, semakin jauh, sampai takkan ada kebenaran sama sekali .
Di desa-desa, Pada, kau pun tahu sendiri, orang sudah terbiasa memilih satu di antara kebenaran-kebenaran yang paling cocok untuk dirinya. Tak ada orang yang marah karena itu, apalagi membunuhnya. Apakah kata-kataku keliru"
Ah, Mbokayu, selama kebenaran berasal dari manusia, dia meragukan, karena hanya Allah pemilik kebenaran, yang Maha Besar .
Aku pernah dengar tentang Aliahmu. Aku belum mengenal. Orang-tua kami tak mengenalnya sama sekali, karena mendengarnya pun belum. Betapa berdosanya kami kalau harus menganggap mereka tidak mengenal kebenaran, hanya karena tak tahu Aliahmu .
Idayu merasa, ia sudah sampai pada titik di mana pertikaian akan bermula, maka ia tak meneruskan katakatanya. Bila Pada menjadi marah, keadaan diri dan anakanaknya mungkin akan sangat menyedihkan. Juga Pada sengaja tak meneruskan bicaranya. Hanya Gelar tertawatawa dan menyanyi di atas bahu Pada.
0o-dw-o0 Malam itu mereka menginap di dalam rimba. Rantingranting dan dedaunan kering mereka kumpulkan untuk alas tidur. Kayu bakar disediakan bertumpuk dan api unggun dinyalakan. Kelembaban pada ranting dan dedaunan itu membubungkan asap tebal dan kelabu.
Kadang-kadang, kata Pada, datang macan atau ular atau babi hutan mengagumi api. Jangan kuatir. Mereka tak akan menerkam atau mengganggu. Matanya memancarkan gemerlap terkena sinar api. Tak mengeluarkan suara apa pun. Bila sudah puas memandanginya mereka pergi lagi seperti habis menonton tarianmu, Mbokayu.
Dari balik-balik luruhan daun jati basah mereka mengumpulkan sejumlah besar kepompong jati. Mereka membakari binatang kecil-kecil coklat itu dan memakannya dengan senang.
Keesokan harinya mereka berjalan lagi, dan menginap lagi, dan berjalan lagi. Dan kini rimba belantara telah dilalui.
Sebuah padang ilalang membentang di hadapan mereka. Dari kejauhan telah nampak bagian-bagian yang telah terbakar. Dan di suatu tempat bekas bakaran, di mana tumbuh ilalang muda, sekawanan rusa nampak sedang merumput.
Padang alang-alang . Pada memulai, yang paling menakutkan. Apalagi kalau berselang-seling dengan semaksemak. Macan. Mbokayu, sarang macan. Matanya mengintip di mana-mana .
Sudah banyak bekas bakaran kulihat .
Ya, syukur alhamdulillah. Nampaknya Mbokayu belum juga lupa pada nyanyian tentang padang alang-alang itu. Maklumlah penari. Bakarlah alang-alang, petani bukankah begitu"
Tumbuhlah yang muda, Idayu meneruskan. Ribuan rusa berdatangan merumput .
Lupakan ladang dan sawahmu , Pada menyambung. Macan menerkamnya sehari seekor. Selamatlah perjalananmu Mereka ingat sajak nyanyian itu. Namun mereka tetap kuatir dan masih juga berdiri ragu-ragu tak juga meninggalkan hutan.
Sebelum tentu si macan berhasil menangkap seekor dan si petani sudah lewat melintasi , Pada berkata pelahan pada padang alang-alang di depannya.
Apa guna cerita seperti itu" Pada, kau sudah pergi ke mana-mana. Pernahkah kau dengar cerita tentang suatu bangsa yang suka makan orang"
Pernah. Itulah bangsa jahil, bangsa bodoh, tak tahu ajaran .
Dengan mata ditebarkan ke mana-mana mereka mulai menyeberangi padang alang-alang tinggi, mengikuti jalan setapak yang hampir hilang.
Mengherankan, Idayu meneruskan untuk melupakan kekuatirannya. Orang makan orang. Bagaimana bisa" Sewaktu memakannya tidakkah terbayang orangtua atau anaknya sendiri" Atau tidakkah dia berpikir, pada suatu kali akan dimakan juga oleh yang lain"
Bodoh, kataku, jahil. Pikirannya tak panjang. Itu sebabnya kalau ajaran belum sampai pada mereka .
Mereka berjalan terus sambil melupakan ketakutan sendiri.
Barangkali itu lebih baik . Sambung Idayu. Apa baiknya kebodohan, kejahilan" Pada menolak. Mereka makan-memakan karena lapar, kiraku. Ajaran datang, barangkali melalui kau, mereka hanya bunuhmembunuh, tidak sampai makan-memakan, dan bukan karena lapar. Mungkin salah karena ajaran yang kau bawa .
Pada tak menanggapi. Idayu tahu, ia tersinggung. Kau marah, Pada" di desa-desa takkan ada orang marah karena ucapan seperti itu. Maafkan kalau kau tak bersenang hati. Tak apa, Pada.
Kau memancing-mancing, Mbokayu , Pada menuduh. Tidak. Aku bertanya mengapa orang bisa makan sesamanya. Kau lantas membawa soal ajaran. Jangan hubungkan .
Kita sedang menyeberangi padang yang menggetarkan ini .
Maka kita bicara saja, Pada, biar tak gentar . Sementara mereka berjalan tanpa bicara. Gelar di atas bahu nampaknya juga merasai kegentaran mereka.
Aku pikir, Pada, benarkah barangkali menurut pendapatmu" Mereka itu ingin makan daging, tapi perburuan sulit didapat, sedang orang lebih mudah ditangkap. Hanya dengan kata-kata manis, janji dan bujukan, atau gertakan, tanpa tenaga, daging bisa datang sendiri dengan jinaknya untuk disantap. Bagaimana pendapatmu. Pada"
Dan Pada tak menjawab. Mereka terus berjalan dengan pandang ditebarkan ke mana-mana. Gelar bersorak-sorak di atas bahu Pada melihat sekawanan rusa yang merumput damai di kejauhan. Anak-anak rusa berlompat-lompatan riang. Waktu angin bertiup dan menyampaikan suara manusia dan baunya, binatang-binatang itu terhenti dari kesibukannya. Semua memanjangkan leher dan menegangkan kuping. Moncong hitamnya mereka angkat tinggi. Setelah mengetahui, hanya serombongan manusia berjalan lewat, mereka merumput kembali dan anakanaknya berlompat-lompatan lagi.
Kalau sudah dilewati padang ini, kita akan sampai ke sebuah hutan muda, kemudian padang rumput pendek, dan sampailah di desa pertama. Lantas kau mau ke mana, Mbokayu" Ke kanan berarti ke Tuban, ke kiri ke Awis Krambil .
Ke kiri. Pada, Awis Krambil. Dan Kang Galeng nanti"
Kalau dia masih memerlukan anak dan bininya, tentu dia akan mencari kami di desa, ia betulkan bayinya dan dalam gendongan dan menyusuinya Tak dapat aku tinggal lebih lama di kota. Semua serba menyesakkan . Kasihan Kang Galeng .
Biarlah dia kembali saja ke desa .
Senapati Tuban kembali ke desa" Mau jadi apa" Jangan main-main, Mbokayu. Apa kau suruh dia mencangkul dan membajak"
Mereka berjalan dan berjalan.
Dia tidak menginginkan kekuasaan atas harta dan manusia. Dia akan kembali ke desa.
Kalau tidak" Kalau dia memang dengan semau sendiri jadi Senapati untuk dapat berkuasa"
Idayu mempercepat jalannya.
Kalau dia tidak mau pulang ke desa" Tidak membutuhkan Mbokayu lagi"
Idayu menyusui anaknya sambil mempercepat jalannya.
Berlanjut ke bagian 27
Tidak ada komentar:
Posting Komentar