Jumat, 18 November 2022

Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer #37/44


Arus Balik. 
Karya : Pramoedya Ananta Toer.

Bagian 37

Panjang Jayakarta Bulan Juli 1527
Pengantin baru itu sengaja hendak menikmati pelayaran melalui kepulauan Seribu, gugusan pulau yang tersebar antara Jawa dan Sumatra. Layar mereka gulung dan keduanya mendayung dari pulau ke pulau. Tak ada bajak di daerah perairan sini. Semua lari menghindarkan diri dari armada Jepara-Demak.
Di hadapan mereka nampak gunung-gemunung pulau Sumatra, di belakang mereka gunung-gemunung pulau Jawa, berlapis-lapis tertimpa sinar surya dari sebelah barat.
Kebetulan laut pun sedang tenang. Air nampak biru dengan ombak kecil-kecil yang riang bermain pada permukaan. Kail yang dipasang pada buritan antara sebentar menghasilkan ikan ekor kuning, sedang yang dipasangi dengan baling-baling bulu ayam putih menghasilkan layur.
Bila mereka lapar, singgahlah mereka di salah sebuah pulau, bertanak nasi, berkasih dan bercumbu, tanpa seorang pun mengganggu. Untuk itu sengaja mereka pilih pulau kecil tanpa penduduk. Dunia berisikan kesukaan semata.
Dan sampai sejauh itu Sabarini tak juga pernah bertanya hendak ke mana. la pun tak pernah mabuk laut Ia bicara hanya bila ditanyai. Bila naik lagi ke atas perahu, tanpa diminta segera ambil dayung dan mulai mengayuh.
Dengan demikian pulau demi pulau disinggahi atau dilewati. Mengapa kau tak pernah bercerita"
Sabarini berhenti mendayung, menciduk air laut dengan tangan, memandanginya sambil tersenyum dan membuang muka. Ia mulai mendayung lagi. Wajahnya kemerahmerahan seperti buah tomat menjelang matang.
Tentu karena ingat pada rumah, desak Pada. Mereka sekarang tak ada di rumah lagi, Gusti, jawabnya dengan suara dan lagu menyanyi bening itu. Mereka semua telah melarikan diri masuk ke hutan-hutan.
Ya, Gusti, karena kita lari. Mereka akan menerima hukuman dari Sri Baginda. Karena patik lari. Mereka akan dihukum oleh Sang Patih Narogol.
Mereka akan dapat menangkap kasut kami. Sabarini mendengus tertawa.
Betapa besar dosaku pada mereka. Sabarini mengayuh cepat-cepat.
Bagaimana harus kutebus dosa kita" Pada bertanya.
Tidak perlu. Gusti. Bapak sahaya sendiri yang bersalah. Jangan jadi fikiran, Gusti. Mereka akan lari ke hutan-hutan, berkumpul di sana dan mencari tempat baru untuk hidup tempat yang sekiranya takkan diketahui oleh Sri Baginda. Kalau mereka tak suka membuka hutan, barangkali mereka akan turun ke Sunda Kelapa.
Nampaknya kau tak berprihatin.
Bukankah sudah cukup lama patik berprihatin" Cukup lama. Coba ceritakan, istriku.
Ya Gusti, Sabarini mulai suka bicara. Di desa kami gadis-gadis dikawinkan pada umur yang masih sangat muda. Kadang-kadang baru tiga tahun. Orangtuanya takut kalau-kalau anak-gadisnya dirampas para ningrat dan dibawa ke Pakuan. Patik sendiri tumbuh jadi gadis tua karena ketentuan putra Sang Narogol. Perjaka-perjaka tak berani melamar patik. Orang memandang patik dengan belas-kasihan semata. Semua orang tahu nasib buruk seorang selir.
Pada mendengarkan suara bening istrinya yang bernyanyi. Itulah untuk pertama kali Sabarini bicara sebanyak itu. Ia mengangguk-angguk memberanikan. Suaranya bernyanyi lagi. Terdengar olehnya jauh lebih indah daripada kebenaran yang terkandung di dalamnya: Mereka akan ikut berbahagia dengan kebahagiaan kita, Gusti. Janganlah Gusti menjadi risau. Semua akan bersyukur bila ada seorang calon selir berani lari dengan seseorang yang dicintainya. Semua akan bersedia membantu dan melindungi dan berkorban tahu mereka bakal mati di ujung tombak. Gusti sama sekali tak berdosa pada mereka.
Sabarini, istriku, sekiranya kau benar, mengapa kau tak suka bicara seperti orang-orang lain"
Mata gadis itu bersinar dan bibirnya tersenyum. Kemudian menunduk malu.
Apa yang menjadikan kau malu pada suami sendiri, di tengah laut tanpa saksi begini"
Ah, Gusti, Gusti tidak tahu bagaimana perasaan patik. Bagaimanakah patik harus lewatkan kebahagiaan ini dengan hanya bicara"
Stt. Mulai sekarang, jangan panggil aku Gusti. Sabarini memandanginya bersungguh-sungguh. Sekarang ceritakan tentang kebahagiaanmu.
Dan berceritalah gadis itu tentang asal-muasal kelahirannya, dan tentang kepala desa serta seluruh penduduk desa yang tak berani mempersembahkan dudukperkara kelahirannya pada Patih Narogol. Betapa ia menderita sebagai calon selir saudaranya sendiri. Maka ia bertekad melatih ilmu berkelahi. Bila toh takkan ada orang yang berani membela dan melindunginya, ia akan membela dan melindungi dirinya sendiri.
Apabila patik berhasil dalam usaha patik, Sabarini meneruskan, patik akan mengembara jauh, jauh entah ke mana, asal keluar dari negeri Pajajaran. Patik lulus, kemudian datang seorang pangeran dari Jepara, yang sekarang memperistri patik. Pangeran itu harus lari dari kejaran tentara Pajajaran. Patik pun akan jadi orang kejaran. Mengapalah patik takkan lari dengannya"
Pada tertawa senang dan berbahagia mendengar cerita di mana keputusan cepat dalam keadaan berbahaya harus diambil. Dan keputusan itu juga diambil secara tepat Dan tidak lain dari Sabarini yang berjasa.
Begitulah Allah mempertemukan kita. Segala pujipujian untukNya semata, Sabarini. Aku merasa berbahagia bila kau berbahagia, janganlah sebut dirimu Patik. Terganggu perasaanku mendengar itu. Aku sama sekali bukan seorang pangeran .
Pada memperhatikan perubahan pada airmuka istrinya. Dan perubahan itu ternyata tak ada. Ia terheran-heran, dianggapnya perempuan itu tak begitu mendengarkan.
Aku sama sekali bukan seorang pangeran, ia mengulangi.
Apakah bedanya suamiku seorang pangeran atau tidak" Seorang pangeran takkan mengindahkan istrinya sebagaimana suamiku mengindahkan diriku
Pada agak kecewa melihat Sabarini tidak terkejut Sabarini lebih suka kalau suaminya seorang petani biasa, karena seorang petani hanya sederhana, tidak ditingkah oleh seribu nafsu. Aku, dan kami semua tahu tingkah kaum ningrat. Maka aku tahu suamiku tidak bertingkah, tidak berbahasa seperti mereka. Sejak semula kulihat, tamu agung itu, itu sudah aku lihat ia seorang orang biasa dalam pakaian kebesaran.
Sabarini! gumam Pada setelah mendengar begitu banyak kata tercurah. lihat, bandar Panjang sudah mulai nampak. Sebentar lagi kita akan menginjakkan kaki di bumi Sumatra.
Matari mulai tenggelam. Awan hitam bergumpal-gumpal muncul dari balik-balik gunung di daratan Sumatra. Angin kencang mulai bertiup seperti dihembuskan oleh mulut raksasa gaib. Alam yang tenang tiba-tiba berubah mengancam. Guruh mengaum dari kejauhan dan kilat sambar-menyambar di cakrawala.
Beberapa noktah dengan puncak-puncak keputihan terpancari sisa sinar matari nampak di kejauhan, di tentang kaki langit.
Armada Peranggi, gumam Pada. Ayoh, dayung cepat.
Mereka mendayung cepat-cepat memasuki pelabuhan Panjang. Dan bersamaan dengan itu badai taufan mulai mengamuk sejadinya. Hujan jatuh mendadak bercampur angin seperti langsung dilemparkan dari langit.
Setelah mencancang perahu pengantin baru itu dengan membawa barang-barangnya yang sedikit lari masuk ke dalam sebuah bedeng yang telah penuh dengan tumpukan kranjang lada.
Seorang penjaga memberi tempat berteduh pada mereka di antara dua tumpukan kranjang sehingga terlindung dari angin dan air.
Pada terheran-heran melihat tumpukan kranjang lada sebanyak itu. Dan bedengnya bukan hanya sebuah. Tak kurang dari sepuluh, terbuat dari kayu seluruhnya, dan nampak belum lagi lama didirikan.
Dari cerita penjaga ia mengetahui, kapal-kapal Peranggi akan datang mengambilnya. Lada itu tidak seluruhnya di panen dari pedalaman. Lebih separoh dari Pajajaran dan Banten setelah lolos dari blokade armada Jepara-Demak. Lada tetap datang seperti dicurahkan. Panjang mendadak jadi bandar ramai. Saudagar dari Sunda Kelapa, Banten dan Cimanuk berlomba-lomba memindahkan kegiatannya di sini dan mendirikan bedeng-bedeng gudang sendiri dan rumah tinggal yang bagus di daerah pelabuhan. Dalam kurang dari setahun Panjang akan telah sangat berubah. Kemakmuran telah menarik orang-orang dari pedalaman untuk bekerja di bandar sehingga pedalaman kekurangan tenaga untuk mengurusi pertanian dan panen lada. Beras pun terpaksa dimasukkan dari tempat-tempat lain, dan minyak, dan kacang-kacangan, dan tenunan, dengan harga yang tinggi.
Pada tak habis-habis pikir mendengarkan betapa kemakmuran bisa berpindah-pindah dari bandar yang satu ke yang lain. Dan bila armada Jepara-Demak terus-menerus menindas bandar-bandar lain dan membikinnya jadi bandar tak bebas, Panjang bisa menggantikan Malaka atau Pasai.
Setelah berunding dengan istrinya mereka bersepakat menunda pelayaran ke Malaka untuk melihat-lihat Panjang lebih lama.

Armada Portugis itu tak mau berkisar dari tujuan semula, menolak berlindung di bandar Panjang.
Francisco de Sa, pemimpin armada, adalah seorang muda berumur tiga puluhan, berwatak keras, giat dan bernafsu untuk menjabat kedudukan tinggi. Ia meningkat dengan cepat dari kelasi menjadi kepala setting, jurumudi, wakil kapten, kapten, dan terakhir sekarang ini: pemimpin armada.
Menurut perintah yang diterima ia harus memulai pembangunan kantor dagang sekaligus benteng di Sunda Kelapa selama setengah tahun dengan menurunkan serdadu dan tukang. Kapal-kapalnya harus segera balik kembali ke Malaka membawa lada dari Panjang.
Tetapi ia juga punya rencana pribadi. Ia akan selesaikan pekerjaannya dalam tiga bulan di Sunda Kelapa. Yang tiga bulan lagi akan dipergunakannya untuk membangun kebesaran baru di Jawa, untuk diri sendiri dan untuk Portugis. Tanpa jalan demikian dirasainya sulit untuk bisa jadi pemimpin Portugis di Asia yang berkedudukan di Malaka.
Ia tak mengindahkan kekuatiran anak buahnya sedangkan hujan angin kian mengganas dan gelombang pun semakin menggunung. Satu mata taufan telah menerjang armada dan menyeret beberapa kapal langsung ke jurusan tenggara. Beberapa tiang kapal telah patah dengan layar compang-camping. Laut yang ditekan taufan itu menjompak naik jadi gunung-gumunung yang gulungbergulung. Beberapa kapal telah patah kemudi, dan tanpa daya diseret terus dalam cengkeraman gelombang.
Taufan itu mendesak sampai separoh dalam laut, menimbulkan alun yang semakin tinggi juga. Pulau-pulau dari gugusan Seribu sebentar hilang sebentar timbul dari balik puncak ombak. Dengan tenggelamnya surya alam pun menjadi kelabu hitam. Curah hujan menyebabkan orang tak bisa lagi melihat ke depan.
Semua layar telah digulung, tetapi deras angin menghalau mereka ke selatan.
Hanya lentera-lentera kapal sayup-sayup menandakan adanya manusia yang hidup di tengah laut itu. Dan lenteralentera itu nampak menyampaikan perintah-perintah dari Francisco de Sa pada kapal-kapalnya yang tak terkendalikan lagi. Ia berteriak-teriak, menghantamhantamkan kaki pada geladak, memaki dan menyumpah. Tanpa guna. Taufan tak juga berhenti. Hujan semakin tebal curahnya dan kilat sabung-menyabung merajai alam.
Bagi Francisco de Sa hanya peristiwa yang sekali ini saja ia harus bisa atasi. Ada satu tahyul di dalam hatinya: bila sekali ini ia gagal, semua cita-citanya selanjutnya akan runtuh. Sekali bencana ini dapat dikalahkan, suatu kegemilangan tanpa batas sedang menunggu-nunggunya di waktu dekat mendatang.
Tiga bulan! Hanya tiga bulan kerja di Sunda Kelapa! Tiga bulan selebihnya adalah untuk kegiatan pribadi tapi atas nama Portugis: pembalasan dendam atas Tuban yang telah berani menghina beberapa tahun yang lalu.
Dalam pancaran kilat ia lihat armadanya cerai-berai, dan dilihatnya juga kapal yang dikapteni oleh Duarte Coelho telah menyelonong paling depan, kadang berputar dalam mata taufan, kadang mendorong permukaan laut, kemudian meluncur ke tenggara dengan buritan jadi haluan. Jelas kemudinya telah patah dan tak ada satu tiang pun utuh.
Sebuah kapal lainnya berdiri dengan haluan di atas, kemudian dalam kerjapan kilat nampak cepat menyelam ke dasar laut dan tak muncul lagi. Beberapa puluh anak kapal berapungan timbul-tenggelam di puncak-puncak ombak.
Petir menyambar. Sebuah kapal pecah, miring, kemudian tenggelam.
Jesus Maria! sebutnya. Pantang mundur! Maju terus! Badai taufan bukanlah tanggungjawabku.
Isyarat-isyaratnya memerintahkan: Maju terus!

Kapal yang dikapteni oleh Duarte Coelho tak dapat keluar dari cengkaman mata taufan. Seperti dalam cakar kucing kapal itu kemudian terangkat ke udara dan terbang dengan cepatnya. Waktu cengkaman agak kendor ia menurun, menerjang kegelapan, menepis air dan terlempar ke daratan, melindas pohon-pohon nyiur pantai, kemudian jatuh di atas rawa-rawa dengan menumbangkan pepohonan. Air rawa itu menyembur ke atas dan lunas kapal menancap pada dasarnya.
Kapal itu tak bergerak lagi dengan dinding pecah berentakan, Manusia di dalamnya kehabisan daya, adalah laksana jamblang kocok. Hanya seorang dua tak mengalami cedera, itu pun hanya karena kebetulan.
Duarte Coelho sendiri tergeletak di geladak dengan lengan patah. Namun ia masih mampu memberikan perintah. Dan perintahnya yang terakhir terdengar adalah: Periksa kapal! Periksa di mana kita berada!
Dua orang yang masih jaya terlongok-longok heran melihat kapal tak lagi berada di atas laut. Di sekitarnya hanya semak-semak rawa.
Terdampar jauh di darat! seorang di antaranya berseru. Sayang kapal sebagus ini.
Dan mata taufan itu bergerak terus meninggalkan mereka di tengah-tengah daerah rawa, tak sudi mengembalikan ke laut lagi, terus menerjang daratan ke jurusan tenggara.
Terdampar jauh di darat! pekik kelasi itu.
Tak ada yang menanggapi. Ia turun ke tanah. Matari baru saja terbit. Ia punguti dan periksa pecahan dinding dan melemparkannya ke tanah. Kemudian ia berdiri di atas batang pohon kelapa rebah dengan akar-akarnya jadi pengganjal kapal bersama dengan batang-batang pohon lain.
Terdampar di tengah-tengah rawa! serunya ke atas. Juga tak ada sambutan.
Mereka naik lagi ke atas, langsung mendapatkan Duarte Coelho yang pingsan tak sadarkan diri.

Prajurit-prajurit Demak yang bertugas menjaga perbentengan mendengar seorang berteriak-teriak di belakangnya, di daerah rawa-rawa. Ia berhenti dan mendengarkan. Teriakan itu juga berhenti.
Daerah itu tak pernah dimasuki orang selama ini. Orang gentar pada demam rawa yang membunuh. Maka ia lari mendapatkan teman-temannya. Dan semua ragu-ragu. Daerah itu juga menjadi sarang buaya besar. Dalam rawarawa dangkal demikian buaya sama saja berbahayanya baik di air ataupun di darat. Monyet dari atas pohon yang tak berbilang banyaknya mungkin juga akan menyulitkan bila yang memasuki hanya beberapa orang saja. Seratus orang kemudian masuk berbareng dengan tombak di tangan dan pedang di pinggang. Dan mereka mendapatkan kapal Portugis yang telah compang-camping tanpa tiang tanpa layar. Mereka terdiam. Tak pernah melihat sebuah kapal sebesar itu dapat mendarat begitu jauh dari laut. Hanya seorang Portugis ia lihat bergerak di dalam kapal itu. Kemudian seorang lagi.
Monyet pada memekik-mekik dan burung-burung bernyanyi seperti lima ratus tahun yang lalu. Tak ada buaya nampak di sekitar.
Mula-mula para prajurit berunding berbisik-bisik, kemudian mendengar-dengar kan lagi. Tapi di atas kapal itu sunyi saja. Seorang prajurit mengambil batu dan melembarkan pada kapal Seorang Portugis muncul dan menjenguk ke bawah, kemudian pergi lagi.
Peratus memerintahkan menyerbu. Mereka turun ke air, langsung menuju ke kapal. Dan mereka tak dapat naik, semua mendongakkan kepala ke atas.
Barisan prajurit di belakang datang membawa batangbatang pohon yang habis ditebangnya. Orang mulai naik. Dua orang Portugis dengan pedang di tangan menghantam setiap orang yang paling atas naik pada batang kayu itu. Dan melihat semakin banyak orang datang membawa batang, mereka pun menggunakan musket dan menembaki.
Dari darat dilemparkan beberapa tombak, dan dua orang Peranggi itu jatuh ke geladak. Seorang di antaranya menukik dari atas dan kepalanya menancap pada lumpur dasar rawa. Tinggal kakinya melengkung di atas air. Seseorang menghantamkan pedangnya, dan tubuh itu kemudian rebah.
Penyerbuan tiada yang menghalangi. Mereka mulai naik ke geladak, menerobosi bingkahan dinding ke dalam paikah dengan tombak dan pedang terhunus. Yang mereka dapatkan hanya tubuh-tubuh Peranggi yang bergelimpangan tanpa daya.
Tombak dan pedang menghabisi mereka tanpa perlawanan. Dalam biliknya orang menemukan Duarte Coelho dengan tangannya yang sehat mencoba memberikan perlawanan. Pertarungan dengan pedang sebentar berlaku. Baja beradu baja berdentingan sebentar kemudian padam sama sekali. Sebilah tombak telah melumpuhkan Duarte Coelho dari lambung. Ia jatuh terkapar.
Prajurit Demak bersorak-sorak di antara bangkai-bangkai bergelimpangan.
Sebelum menghembuskan nafas penghabisan Duarte Coelho masih sempat bicara dalam Melayu: Kami datang untuk bersahabat.
Ia sudah tak mendengar lagi waktu prajurit Demak menjawabinya.
Tak antara lama seratus prajurit lagi datang. Seluruh kapal compang-camping itu diperiksa. Semua benda dikumpulkan di geladak termasuk sembilan pucuk meriam, peluru dan mesiu, alat makan dan dapur, musket, perkakas tukang, buku, persediaan bahan makanan, obat-obatan, alat kebaktian, patung dan salib milik pribadi awak kapal.
Peratus itu memerintahkan menurunkan semua dan mempersembahkan pada Fathillah. Demikian mereka mengangkuti sambil bersorak-sorai melalui jalan setapak yang baru diretas.
Sebagian dari para prajurit mendapat perintah membikin jembatan untuk menurunkan meriam dan barang-barang berat lain. Sebagian mendapat perintah membikin tali. Tapi sebagian besar melakukan pengangkutan.
Daerah rawa yang biasanya tiada bermanusia itu kini riuh-rendah. Monyet dan margasatwa pun beterbangan melarikan diri. Asap mulai mengepul untuk menjerangkan air minum dan makan siang.
Tengah hari Fathillah sendiri memerlukan datang dan melakukan pemeriksaan ke seluruh kapal, sampai-sampai pada kamar mandi dan kamar kecil. Ia tenggelam dalam renungan, dan tiada seorang pun tahu apa sedang bergerak dalam hatinya. Ia turun dari kapal dalam keadaan tenggelam dalam pikirannya dan kembali ke bandar.
Orang menduga ia sedang melihat sendiri akibat dari penanggulan pesisir bandar yang menghalangi pasang-surut air di rawa-rawa. Sebagian terbesar tak punya dugaan sesuatu, mabok mendapat jarahan.
Tak berapa lama ia pergi datang seratus orang prajurit tambahan untuk melakukan kerja pengangkutan dan melebarkan jalan setapak untuk dapat dilalui oleh barangbarang besar.
Markas Fathillah berdiri di atas tanah yang tinggi menghadapi tanah lapang.
Barang-barang jarahan ditumpuk di depan rumah ini. Dalam waktu pendek orang datang berduyun-duyun untuk melihat-lihat barang aneh, sebagian tak jelas apa gunanya.
Fathillah berjalan mondar-mandir dalam markasnya menunggu datangnya meriam-meriam rampasan. Tetapi barang-barang berat itu hanya dengan susah-payah saja bisa melintasi daerah rawa bertanah lunak bercampur hancuran luruhan dedaunan.
Waktu musket-musket datang ia keluar dari markas dan memerintahkan membongkarnya dari ikatan. Diperintahkannya datang pasukan pengawalnya dan membagi-bagikannya pada mereka, kemudian sendiri memberikan petunjuk bagaimana menggunakannya. Dua ratus pucuk telah dirampas pada hari itu.
Seorang prajurit mempersembahkan padanya sebuah bola dunia dan ia menerima persembahan itu dengan kaki dan menendangnya. Dunia menggelinding dan berhenti pada kaki seorang prajurit, tanpa jagang.
Prajurit, yang menduga bola itu barang sihir, melompat kecut. Ketakutan menyebabkan wajahnya nampak jadi ungu.
Tendang! perintah Fathillah.
Bola itu ditendang oleh prajurit lain lagi, menggelinding dan menggelinding, ditendang dan ditendang. Waktu jatuh ke laut benda itu telah penyek.
Sebuah teropong yang dihadapkan segera diambil oleh Fathillah. Ia memeriksanya sebentar kemudian menggunakannya untuk meneropong laut lepas. Benda itu ia panjang-pendekkan. la lepas. Dikocoknya matanya.
Menggeleng dan meneropong lagi. Kembali benda itu diperiksanya, kemudian dipendek-panjangkan. Meneropong lagi ke laut lepas. Kemudian melihat dengan mata telanjang pada ke jauhan dan meneropong lagi.
Ia berpikir sebentar. Kemudian bertanya pada pengiring yang berdiri di belakangnya; dalam Melayu: Coba lihat sana, benarkah yang aku lihat dengan teropong terkutuk ini"
Ada patik lihat, Gusti, tapi tidak jelas, jawab pengiring itu, juga dalam Melayu.
Apa yang kau lihat" Beberapa titik putih. Gusti. Coba dengan ini.
Pengiring itu mengenakan teropong, melepas dan mengenakannya kembali, melepas dan memeriksa kacakaca teropong, kemudian meninjau dengan mata telanjang dan mengenakannya lagi.
Apa kau lihat" Tiga kapal asing, Gusti, dengan teropong ini. Fathillah mengambil teropong itu dan mengenakannya. Kemudian dipanggilnya seorang lagi dan disuruhnya melihat ke kejauhan, setelah itu disuruhnya dengan teropong.
Dengan barang ini muncul tiga kapal asing, Gusti, sedang menuju ke Sunda Kelapa.
Pengangkutan meriam supaya lebih cepat! perintahnya pada yang lain.
Dan meriam yang sudah ada ia perintahkan dipasang di belakang bentengan kayu bakau-bakau.
Dan peluru dan mesiunya. Cepat! Tambah tiga ratus prajurit lagi untuk mengangkut! perintahnya pada seorang peratus Demak.
Orang itu lari untuk menjalankan perintah.
Lima pucuk meriam telah terpasang di balik bentengan. Fathillah sendiri memberi petunjuk cara menggunakan sebagaimana pernah didengar-dengamya dari Arabia dan Mesir. Peluru dan mesiu di bagi-bagikan dari tangan ke tangan.
Fathillah melarang siapa pun melakukan serangan tanpa perintah, la menghendaki pertempuran di darat untuk dapat merampas semua kapal Portugis yang datang dan merencanakan penyergapan tapal kuda jarak beberapa ratus depa.
Hentikan pengangkutan! seorang peratus meneruskan perintah Fathillah. Siapkan pedang dan tombak.
Moncong-moncong meriam rampasan telah ditujukan pada sisa armada Francisco de Sa yang mendatangi. Semua terlindung oleh semak-semak asli dan buatan. Dan semua orang berbesar hati dengan adanya meriam.
Dengan teropong di tangan Fathillah melakukan pemeriksaan di seluruh medan dengan berjalan kaki.
Sebentar lagi, ya sebentar lagi, hari ini juga, kapal-kapal itu akan terampas dengan seluruh isinya, dan anakbuahnya tumpas.
Panglima-Laksamana-Gubernur meneropong dan meneropong. Betapa lama rasanya. Dan kapal-kapal itu semakin lama semakin membesar. Juga nyamuk semakin giat menyerang mereka yang bersiaga dalam keadaan diam. Betapa lama. Dan memang lama.
Kapal-kapal itu ternyata tidak memasuki muara Ciliwung. Tiga-tiganya membuang sauh jauh dari darat. Lama, lama sekali rasanya, baru kemudian mereka menurun-nurunkan sekoci. Mereka yang melayani meriam tanpa pernah berlatih telah gatal tangan untuk segera menembak. Mereka yang mendapat pembagian musket juga tanpa pernah berlatih telah gelisah. Setidak-tidaknya balatentara Jepara-Demak sedang dalam semangat tinggi.
Kapal-kapal mulai menuangkan prajuritnya ke semua sekoci, dan beriringan seperti itik menuju ke muara Ciliwung. Setiap orang menyandang musket panjang. Duduk pada dasar sekoci musket mereka menggermang ke atas, lebih tinggi dari kepala mereka. Dari tempatnya yang terlindung Fathillah meneropong. Mereka turun ke sekoci dengan tangga tali ia memperingatkan. Hati-hati. Mereka kelihatan lelah. Biarpun begitu, awas. Peranggi tetap Peranggi. Tak seorang pun bakal menyerah tanpa berkelahi. Mereka lebih suka tewas daripada bertekuk lutut. Jangan gegabah. Kita akan sergap tepat pada waktunya
Serdadu-serdadu Portugis itu diturunkan di tepian muara Ciliwung. Sekoci-sekoci kembali lagi ke kapal untuk meneruskan pendaratan.
Awasi setiap gerak-geraknya, Fathillah menekan kekecewaan karena yang turun mendarat seluruhnya hanya berjumlah delapan puluh orang. Kapal-kapal di sana itu tetap terjaga dari dalam.
Dari teropongnya ia melihat meriam-meriam kapal ditujukan ke darat. Mereka mengambil jarak di luar daya tembak cetbang.
Mereka yang mendarat harus ditumpas. Kapal-kapalnya kemudian ditembaki, tenggelam atau lan tersapu. Dari teropong itu juga nampak olehnya seorang tidak bersenapan serba putih. Berbeda dari yang lain, topinya dihias dengan jumbai-jumbai kuning dan pada dadanya terhias selempang merah Itulah Francisco de Sa.
Serdadu-serdadu yang telah turun mulai dibariskan. Francisco de Sa berjalan dalam iringan tiga orang. Kemudian seluruh bansan itu mengiringinya. Mereka menuju ke lapangan bandar. Dan bansan itu berhenti.
Francisco de Sa berhenti, meninjau ke segala penjuru. Nampaknya ia heran tak melihat seorang pun. Tak ada orang bekerja, tak ada yang jalan-jalan. la pun tak tahu sama sekali Sunda Kelapa sudah jatuh dan tangan Pajajaran pada Demak, la berjalan beberapa belas depa ke depan, ke samping, kemudian kembali ke barisan.
Dengan iringan tiga orang ia kembali ke tepi Ciliwung, ke muara. Ia mulai perhatikan perahu-perahu yang tertambat, semua tanpa manusia. Dan sekoci-sekocinya tercancang rapi seperti susunan ikan. Semua tanpa manusia. la kembali lagi pada barisan.
Seorang pengiring memberikan pikiran padanya, mungkin penduduk Sunda Kelapa masih ketakutan pada taufan dan melarikan diri ke pegunungan. De Sa membantah, karena bukan adat pelaut lari dari angin. Mungkin sedang merayakan pesta di pedalaman.
Seorang pengiring lain menyarankan untuk membawa naik pasukan ke Pajajaran. Ia menggeleng. Ia tak mau kehilangan terlalu banyak waktu. Ia hanya bisa memberikan jatah tiga bulan. Maka ia menghendaki segera bertemu dengan Pangeran Sunda Kelapa, Gubernur bandar, untuk segera bisa memulai pekerjaan. Dan bila pertemuan tak mungkin, pekerjaan akan dimulai tanpa sepengetahuan Sang Gubernur.
Dan di mana pula Syahbandar"
Dari pengalaman di Tuban ia mengerti, bila seorang Syahbandar tak datang menyambut sewaktu Portugis datang, pasti ada sesuatu yang tidak beres.
Di mana Syahbandar" Bahkan jalan-jalan sampai yang sekecil-kecilnya pun tinggal lengang tak bermanusia.
Tak tahan terkepung oleh kesenyapan Francisco de Sa menjadi penasaran. Ia berjalan cepat menuju ke kantor Syahbandar dan berteriak kencang; tangan dicorongkan pada mulut: Syahbandar! Syahbandar!
Hanya deburan laut jua yang menjawab.
Ia memberikan perintah agar pasukannya bergerak maju. Dan majulah pasukan kecil itu. Semua berbaris menuju ke tempat kantor Syahbandar, kemudian membelok ke kanan menuju ke tempat tugu perjanjian Portugis-Pajajaran.
Francisco de Sa menjadi murka melihat tugu itu telah hancur dan tinggal puntungnya di atas landasan batu segi empat. Ia selidiki luka pada Ipatahan batu itu dan mengetahui belum lama berselang suatu perusakan dengan senjata telah dilakukan oleh orang: suatu kekuatan telah menantang perjanjian itu. Ia perintahkan pasukannya siap tempur.
Semua yang terjadi diikuti oleh Fathillah dari teropong rampasan.
Pasukan kecil Portugis itu bersiap-siap untuk balik ke laut sambil siaga berbaris mundur menghadap ke daratan menuju ke tempat sekoci.
Francisco de Sa menarik pandang tinggi, memekik.
Dari balik semak-semak pasukan Demak bersorak-sorak sambil melemparkan tombak. Musket Demak tak ada sepucuk pun meledak. Contoh penggunaan yang diberikan oleh Fathillah ternyata tidak kena.
Prajurit-prajurit Portugis memencar barisan. Tembakannya mulai terdengar. Mula-mula satu-satu, kemudian bergelombang-gelombang. Semburan pelurunya beterbangan dan berjatuhan menjadi hujan logam.
Meriam rampasan mulai berdentaman dari balik semaksemak dan tanggul. Pelurunya beterbangan ke arah kapalkapal Portugis. Tangan-tangan tak terlatih itu menghamburkan peluru tanpa mengenai sasaran. Prajurit-prajurit Demak sudah mulai bergelimpangan. Fathillah segera mengerti, pertempuran jarak jauh akan menguntungkan Portugis. Dengan jarak dekat mereka takkan segera dapat menyiapkan senjatanya. Ia perintahkan pelemparan tombak terus-menerus sambil menerjang maju. Dengan pedang di tangan ia pimpin sendiri penyergapan. Jubah putih dan ujung-ujung destar putihnya berkibar-kibar dalam puputan angin seperti melambai-lambai pada barisannya.
Pasukan Portugis menyelamatkan Francisco de Sa di tengah-tengahnya sambil terus mundur ke jurusan Ciliwung. Mereka sama sekali tidak bersorak-sorak. Hanya terdengar aba-aba dari seorang saja, dan suaranya nyaring, keras, dan dengan pedang dilambai-lambaikan ke udara. Mereka yang roboh terkena tombak ditinggalkan dalam gerakan mundur. Tak seorang pun korban mereka bawa.
Dari seberang Ciliwung tentara Demak mulai bersoraksorak menuju ke sasaran. Melihat sedang di tapalkuda pasukan Portugis melepaskan tembakan sekali lagi dan buyar berebut dulu turun ke sekoci masing-masing. Yang tak mendapat tempat melompat dalam sampan dan perahu penduduk.
Dari seberang tentara Demak mulai menaiki biduk juga dan mengejar, dan melemparkan tombak dan melepaskan anak panah. Portugis membalas dengan tembakantembakan sehingga para pengejar dipaksa berhenti dan tinggal hanya bersorak-sorak seperti menghalau babi hutan.
Tak sebuah pun sekoci Portugis tertinggal. Mereka mendayung berpencaran melalui peluru meriam Demak yang berjatuhan di laut. Satu-dua di antara peluru-peluru itu telah mengenai salah satu di antaranya, oleng, dan penumpangnya berlompatan ke laut.
Dari teropongnya Fathillah melihat Francisco de Sa tetap berdiri di atas biduk, bertelekun pada hulu pedang dan matanya terpaku pada Sunda Kelapa. Wajahnya merah padam karena murka. Dan nampaknya ia tak tahu apa harus diperbuatnya.
Meriam-meriam kapal tak dapat leluasa menembak, takut mengenai teman-temannya sendiri.
Francisco de Sa mengetahui usahanya gagal, la tak berani mendaratkan pasukannya.

22 Juni 1527 Dengan masih meneropong Fathillah mengatakan, seakan sudah seia dengan Wiranggaleng: Mereka takkan datangi lagi tempat di mana mereka pernah dikalahkan.
Biduk-biduk itu telah sampai di kapal masing-masing. Mereka bemaikan dari tangga tali. Dan sesuatu yang mengherankan telah terjadi: Portugis tak melepaskan satu peluru pun dari meriam-meriamnya.
Sauh-sauh diangkat. Layar dipasang, dan berlayarlah sisa armada yang habis diterjang taufan dan dihalau Fathillah itu menuju ke timur, menjauhi pesisir pulau Jawa.
Tentara Jepara-Demak bersorak-sorai dalam kegembiraannya. Walau banyak korban jatuh, mereka pun telah pernah menghadapi Peranggi le-lananging jagad dalam suatu pertempuran sesungguhnya. Perasaan rendah takut pada Peranggi yang dahsyat itu tiba-tiba menjadi pudar Peranggi ternyata memang hanya manusia biasa yang dapat juga dihalau.
Di tengah-tengah pasukannya sendiri Fathillah mengumumkan: Dengan nama Allah yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih, pada hari ini dengan kekuatan yang dilimpahkan-Nya pada kita, kita telah halau Peranggi ke laut. Insya Allah mereka takkan menginjakkan kaki lagi di bumi kita ini. Sebagai peringatan atas peristiwa ini, aku nyatakan bandar ini berganti nama, dan menjadilah Jayakarta. Jaya pada awal dan kemudiannya, karta untuk selama-lamanya.
Berita penghalauan Portugis dari Sunda Kelapa dan terdamparnya kapalnya di rawa-rawa, segera terdengar di Panjang. Di mana-mana terbentuk gerombolan orang yang membicarakannya dengan bersemangat.
Tetapi saudagar-saudagar lada berkabung: lada mereka tetap tertumpuk di bedeng-bedeng.
Untuk dapat memberitakan pada Wiranggaleng dengan lebih jelas Pada memutuskan untuk sekali lagi menunda keberangkatannya ke Malaka. Dan istrinya menyambut putusannya tanpa bicara. Maka dengan istrinya setiap hari ia bergelandangan di bandar kecil yang mendadak kehilangan kegembiraannya itu.
Berita Portugis akan mengambil lada tak terdengar lagi.
Berita lain datang menyusul: sisa armada Portugis itu berlayar terus ke timur dengan menghindari setiap pertemuan dengan armada Jepara-Demak.
Maka waktu berita itu sampai ke Teluk Bayur, kapalkapal Parsi, Arab, Benggala, yang masih ragu-ragu hendak meneruskan pelayarannya ke selatan mengangkat sauh, berebut cepat mendapatkan lada di Panjang.
Saudagar-saudagar lada di Panjang melepas barangnya sedapat ia jual.
Pada dan Sabarini bekerja memunggah lada untuk penghidupannya. Maka ia tahu harganya tidak setinggi biasanya. Mungkin juga Peranggi berjanji hendak mengambilnya dengan harga lebih mahal.
Waktu kapal-kapal berangkat lagi, ternyata masih terlalu banyak tumpukan lada yang belum terjual. Bandar kembali jadi senyap. Perahu-perahu layar Pribumi mulai membeli sisa itu dan mengangkutnya ke Pasai atau Malaka. Dengan lada bandar-bandar dalam kekuasaan Portugis selalu terbuka.
Dengan habisnya lada dan kosongnya bedeng-bedeng, kembali Pada dan Sabarini tak mempunyai suatu pekerjaan tertentu. Berdua mereka tinggal di bandar dengan kegiatan hanya mendengar-dengarkan berita. Pada suatu hari dalam kehidupannya seperti ini datang sebuah perahu layar dari Madura, membawa berita, bahwa bandar Banten dan Jayakarta untuk ke dua kalinya telah dinyatakan sebagai bandar bebas oleh Fathillah. Memang perahu-perahu mulai berdatangan, tetapi tidak untuk berdagang, hanya untuk mendapatkan air dan beras dan sayuran.
Dan waktu orang bertanya bagaimana keadaan bandar Cimanuk sekarang, nakhoda perahu Madura itu sambil melompat ke darat berkata dengan suara lantang: Tetap, belum dinyatakan bebas. Tak ada perdagangan di sana. Jangan kalian coba-coba ke sana. Bisa dirayah oleh serdadu-serdadu itu.
Orang-orang merubungnya. Dan Pada bertanya: Tidak bertemu dengan armada Peranggi"
Alhamdulillah, kami selamat Yang lain-lain tak dapat menghindarkan diri. Mereka seperti kerbau gila, bedebah terkutuk itu. Tidak puas hanya membajak. Semua orang dari Tuban dan Demak dan Jepara dibunuh, Nakhoda Madura itu menjawab sambil memilin kumisnya yang tebal. Di mana bertemu dengan mereka"
Di atas Juana. Jadi mereka tak mendarat di Jepara"
Tidak. Setelah Juana mereka mulai mendekati pantai. Tapi mereka terus ke jurusan timur.
Ke Blambangan barangkali"
Boleh jadi. Setidak-tidaknya memasuki wilayah Demak mereka tidak berani. Berita itu tidak lengkap dan belum tentu benar. Pada belum lagi puas. Ia masih harus menunggu.
Kapal-kapal dari Atas Angin berdatangan lagi melalui barat Sumatra. Dan Portugis tak kunjung tiba. Lada yang didatangkan oleh para penyelundup dari luar bandar-bandar dalam kekuasaan Demak memang terus berdatangan, tetapi jumlahnya tidak mencukupi untuk memenuhi permintaan. Harga menjadi sangat tinggi. Memang penjualan berjalan sangat cepat, persediaan habis, tetapi keadaan tidak menguntungkan Panjang. Kapal-kapal itu meneruskan perjalanan ke tenggara, ke Jayakar-ta dan Banten sendiri.
Nampaknya Fathillah kini berhasil dengan pembebasan bandar-bandarnya. Kapal-kapal Atas Angin mulai tersedot ke sana. Akibatnya bandar Panjang surut menjadi sepi seperti semula. Akibat selanjurnya: pekerja-pekerja bandar tak punya pekerjaan lagi. Mereka kembali naik ke pedalaman untuk mengurus lada. Pada dan Sabarini ikut saja dengan arus, memasuki pedalaman dan mencari penghidupan seperti yang lain-lain.
Sebuah berita hebat telah pecah, mengabarkan Portugis akan datang mengambil lada yang telah dijanjikan. Orang pun berbondong-bondong turun ke bandar Panjang. Pedagang-pedagang lada sedang sibuk mengangkuti barangbarangnya untuk melarikan diri dari bandar. Tiadanya persediaan lada akan menyebabkan Portugis bakal melakukan pembalasan dendam terhadap seluruh bandar. Penduduk lainnya juga sedang siap-siap untuk mengungsi.
Waktu Pada dan Sabarini sampai, yang mereka dapatkan adalah sebuah perahu layar Bali. Awak perahu segera dirubung orang untuk mendapatkan beritanya.
Kami takkan dapatkan lada di Tuban, katanya. Ke Jayakarta dan Banten kami takut. Kami bukan Islam. Maka kami cari lada ke mari. Lagi pula, kata orang, harga lada di sana terlalu tinggi, maka kami terus ke mari.
Mendengar Tuban disebut-sebut Pada mendesak ke depan dan bertanya: Apakah Peranggi tidak mendarat di Tuban"
Takkan didapatkan sesuatu di Tuban. Mereka mendarat dan mengamuk di sana.
Siapa mereka" Maksudmu Peranggi" Siapa lagi kalau bukan Peranggi"
Bukankah Tuban sudah jadi daerah Demak" Tidak. Hanya sehari Demak memasuki Tuban. Mereka diusir keluar lagi oleh pasukan kuda dan gajah, jatuh lagi ke tangan balatentara Tuban. Pada waktu itulah Peranggi masuk.
Jelas Peranggi sudah menguasai Tuban" Setidak-tidaknya begitulah yang kami dengar. Jadi bagaimana halnya dengan balatentara Tuban dan Demak"
Tuban mengundurkan diri ke luar kota. Demak tidak meneruskan serangannya ke Tuban.
Jadi Tuban kena keroyok" Boleh jadi begitu jadinya.
Pada menarik tangan istrinya dan diajaknya pergi. Mereka memasuki bedeng kosong dan berdiri diam-diam mengawasi laut, memperhatikan perahu mereka yang sudah lama tiada mereka pergunakan.
Sabarini, selesailah sudah urusan kita di Panjang ini. Kita akan teruskan pelayaran.
Karena berita-berita itu"
Karena berita-berita itu, Sabarini. Bukankah belum tentu semua itu benar"
Seorang nakhoda selamanya bicara benar. Kalau tidak dia akan jadi tertawaan di setiap bandar, penghidupannya akan mati.

Berlanjut kejilid 38


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar