Karya : Pramoedya Ananta Toer.
Bagian 7.
Syahbandar Tuban : Rangga Iskak Sayid Habibullah Al-Masawa
Pada waktu tidak dinas seperti sekarang ini ia selalu bersarong, berbaju dan berkopiah putih dari tenunan Benggala -semua kain kaliko kasar. Tamu itu telah turun ke jalan raya dan ia berjalan kembali hendak memasuki gedung kesyahbandaran. Percakapan dengan tamu sangat menarik: masuknya Islam ke Nusantara bukan suatu kebetulan. Juga bukan suatu kebetulan mengapa penguasapenguasa di Perlak, Pasai dan Malaka yang mula-mula masuk Islam: mereka membutuhkan ajaran, perlindungan, kepercayaan lain dari segala yang serba Majapahit .
Gedung kesyahbandaran yang terpampang di hadapannya nampak masih, terindah di seluruh negeri Tuban. Lebih indah dari kadipaten, istana Sang Adipati. Gedung itu adalah yang kedua yang terbuat daripada batu. Yang pertama adalah klenting Tionghoa. Kedua-duanya berdiri di wilayah pelabuhan. Rumah selebihnya di seluruh negeri Tuban terbuat dari kayu atau bambu, beratap sirap, injuk atau ilalang. Yang termiskin berdinding daun nipah atau kelapa.
Selalu bila ia sedang memintasi jalanan halaman depan rumah, ia tak pernah melewatkan nikmat keindahan bungabungaan aneka warna di atas permadani rumput hijau ini. Dua tahun lalu seorang anak kapal dari Malabar, terdampar di Tuban, telah membangunnya meniru taman raja-raja Benggala, dan jadilah yang terindah di seluruh negeri. Di sore hari orang suka berdiri di luar pagar untuk menikmati dan mengagumi. Ia bangga pada tamannya.
Sampai di depan pintu para pelayan sewaan telah berbaris menyongsongnya. Semua sudah dirapikan, Tuan Syahbandar, kata Yakub, majikan para pelayan itu dalam Melayu.
Kalian boleh pergi, jawabnya sambil melambaikan tangan dan memberikan sesuatu di tangan Yakub. Tanpa menoleh ia masuk ke dalam.
Dan bila ia menikmati kebagusan gedungnya, tak pernah ia habis heran akan kebodohan Pribumi yang menganggap rumah batu sebagai sebuah canai, yang nanya Daik untuk menyimpan abu jenasah.
Ruang tamu yang luas itu juga susunan awak kapal dari Malabar. Perabot: kursi-kursi berukir, dua bangku bantal kulit onta. Permadam tergelar di atas lantai batu dihiasi dengan lemari besar dari kayu berukir arabesqus merupakan dinding pembatas antara ruang tamu dan ruang kerja, diatur menurut gaya ruang kerja saudagar-saudagar Parsi.
Percakapan dengan Abdulgafur memang menarik, dan itu terjadi sebelum jatuhnya Malaka. Beberapa hari kemudian setelah Malaka jatuh dan ia mendengamya, buruburu ia buka lemari besar itu dan mengeluarkan sebuah kitab tebal, catatan sambungan dari catatan salinan abangnya dari ayahnya, dan ayahnya meneruskan dari kakeknya yang besar Mirsa Hisyam Syu bah, Syahbandar Malaka, yang pernah mengislamkan Bhre Paramesywara.
Catatan-catatan kakeknya tentang Malaka hampirhampir hafal olehnya di luar kepala. Kakeknya, Mirsa Hisyam Syu bah, telah mendapatkan pelarian dari Majapahit itu, yang ternyata suami kaisar wanita Majapahit, Suhita. Ia adalah Bhre Paramesywara. Pertemuan itu terjadi di Tumasik, bandar Majapahit yang besar, menghubungkan Nusantara dengan Atas Angin dan Tiongkok. Kakeknya segera bersahabat dengan pelarian agung itu.
Dalam catatan itu diterangkan juga, bahwa Bhre Paramesywara terlibat dalam komplotan untuk menggulingkan isterinya sendiri dan berkeinginan untuk jadi kaisar Majapahit. Dari mata-matanya ia mengetahui, bahwa kaisar Suhita telah memerintahkan penangkapan atas dirinya. Larilah ia ke Tumasik. Tetapi komplotan itu diteruskannya. Perang saudara Paregrek meletus pada tahun 1401 sampai 1405 Masehi antara Majapahit dengan Blambangan, antara Kaisar wanita Suhita dengan Bhre Wirabumi. Perang laut dan perang darat membeludag. Cetbang yang menurut aturan perang Majapahit hanya dipergunakan di laut dipergunakan juga di darat oleh dua belah pihak. Armada dua belah pihak bertenggelaman di perairan Bali, Lombok dan Nusa Tenggara. Lumajang, ibukota Blambangan, jatuh. Majapahit jatuh miskin, kehilangan kekuatan lautnya. Bahkan anak dari Bapak Angkatan laut Majapahit, Mpu Nala ke 2, tenggelam dalam perang laut di tentang Singaraja.
Di Tumasik terjadi persekutuan, antara Mirsa Hisyam Syu bah dengan Bhre Paramesywara. Mereka bersepakat mendirikan bandar sendiri di atas Tumasik, dan dengan demikian meruntuhkan bandar besar itu, untuk menjatuhkan Majapahit dari utara. Perang saudara menyebabkan Bhre Paramesywara dan Mirsa berhasil membuka bandar Malaka pada 1402 Masehi, marak jadi raja, dan menjatuhkan arti Tumasik sebagai bandar antarbenua. Dengan berdirinya Malaka berarti hancumya Majapahit dari sebelah utara. Mirsa Hisyam Syu bah diangkat sebagai penasihat dan Syahbandar sekaligus. Kakaknya ini yang menganjurkan padanya untuk lebih bersekutu dengan pedagang-pedagang Islam, dan untuk itu harus sendiri masuk Islam. Kakeknya ini juga yang mengislamkannya, dan sejak itu Bhre Paramesywara mengubah namanya jadi Maulana Ishak, dan sebagai raja Islam bergelar Megat Iskandarsyah.
Rangga Iskak hafal benar bagian itu. Sekarang Malaka jatuh setelah 109 tahun berdiri dari kesultanan. Ia tahu arti kejatuhannya di tangan Peranggi. Semua bandar besar dan kecil di Jawa terancam. Terancam pula penghidupannya. Tetapi kedatangan orang yang mengaku dirinya Sayid Habibullah Almasawa lebih berbahaya lagi daripada jatuhnya Malaka. Dari resam tubuh dan mukanya ia sekaligus menduga, ia tidak lain dari Syahbandar Malaka, yang telah menjatuhkan abangnya. Kelakuannya dalam kadipaten Tuban seperti kelakuannya di kesultanan Malaka sejauh ia dengar dari Zakad, saudagar Gujarat itu: tingkah dan lagaknya seperti raja muda Malaka.
Ia sudah berkali-kali memperingatkan Sang Patih akan bahaya yang mungkin timbul karena orang Moro itu. Sang Patih tak dapat berbuat sesuatu. Di waktu belakangan setelah jatuhnya Malaka Sang Adipati suka mengambil tindakan sendiri tanpa sepengetahuannya, dan tak memberitakan sesuatu padanya. Ia sendiri pusing dengan banyaknya perintah yang datang susul-menyusul. Bahkan perintah penggalangan kapal-kapal baru dan pemborongan seluruh rempah-rempah Maluku, kalau perlu dengan kekuatan senjata, telah membikin Sang Patih kehabisan tenaga. Maka segala persembahan Syahbandar Tuban tak mampu menarik perhatiannya.
Kemudian datang hari yang menutup segala kegelisahannya. Seseorang mempersilakannya pulang dari pelabuhan. Kesyahbandaran telah penuh dengan prajurit yang mengeluarkan semua perabot rumahtangganya, menaikkannya ke atas grobak-grobak dan membawanya entah ke mana. Ia lari mendapatkan peratus yang memimpin pasukan itu.
Tuan Syahbandar harus pindah pada hari ini juga, jawabnya pendek. Atas perintah Sang Adipati. Peratus itu tak dapat diajaknya bicara lagi.
Didapatinya keempat-empat istrinya sedang menggerombol di dapur. Mereka semua tak tahu apa harus diperbuat.
Baik. Benahi barang-barang kalian, perintahnya pada mereka.
Kita tak tahu apa sedang terjadi.
Ia lari dan menghadap Sang Patih. Juga yang dihadap tidak mengerti.
Titah Sang Adipati tak bisa dihalangi, jawab Sang Patih.
Tapi gedung itu adalah gedung patik! Gedung Tuan"
Patik yang membangunkannya.
Semua atas biaya bandar Tuban. jawab Sang Patih. Tapi perencanaan .
Sampai batu terakhir, kawula Tuban yang mengambilkan, Tuan Syahbandar. Genteng terakhir yang didatangkan dari Tiongkok itu pun bandar Tuban yang membiayai. Takkan ada barang Tuan yang bakal terambil percuma.
Syahbandar Tuban masih mencoba memprotes. Kalau Tuan tidak mematuhi titah Sang Adipati, Tuan boleh tinggalkan Tuban sekarang juga.
Syahbandar mohon diri dan pulang ke kesyahbandaran. Dengan kemarahan luarbiasa ia iringkan gerobak-gerobak itu mengangkuti barangnya menuju ke bedeng asrama peserta pertandingan yang baru lalu. Ia kalah. Istri-istrinya segera membersih-bersihkan gedung. Ia sendiri minta pada peratus agar pagar kayu tinggi yang mengelilingi gedung dapat diambil juga. Dan peratus itu sama sekali tak memberinya jawaban.
Ia tahu dengan kosongnya kesyahbandaran, Sayid Habibullah Alamasawa akan memasukinya dan menggantinya jadi Syahbandar Tuban. Ingat akan itu tak bisa lain kemarahannya tertuju pada Yakub si pewarung tuak dan tiu-arak. Dia telah membohonginya uangnya yang satu dinar. Dan ia tak pernah menampakkan diri dalam semmggu terakhir ini. Anak keparat itu.
Biarpun gedung besar itu hampir-hampir kosong dari perabotan, Tholib Sungkar Az-Zubaid alias Sayid Mahmud Al-Badaiwi alias Sayid Habibullah Almasawa sudah merasa puas dengan jabatan barunya sebagai Syahbandar baru Tuban. Seluruh kekuasaan atas bandar, bea keluar-masuk. pajak pasar pelabuhan, semua jatuh ke tangannya.
Dengan kepergian Rangga Iskak gedung kesyahbandaran itu kini nampak ramah. Pintu depannya kini selalu terbuka dan melelakan kehampaan di dalam gedung. Namun ia tak merasa hina atau miskin karenanya. Taman indah di depan rumah itu saja telah menipakan kekayaan warisan yang tiada tertandingi di seluruh Tuban.
Ia isi kekosongan rumah di waktu malam dengan membacai buku-buku cerita dari Portugis dan Spanyol, atau membacai kitab-kitab Arab peninggalan kebudayaan Junani Purba-Arab di Cordoya. Setiap ia tertumbuk pada kaum Sephardi, kaum Jahudi, Spanyol-Portugis, ia tak teruskan bacaannya dan berpindah pada buku lainnya.
Hanya saja ia merasa sunyi dalam gedung besar ini di waktu malam, karena semua pembantu harus pulang di malam hari sesuai dengan ketentuan.
Keadaan mendadak berobah: pengantin baru Galeng- Idayu datang ke kesyahbandaran untuk tinggal bersama dengannya. Mereka menempati sebuah kamar di gandok kiri kesyahbandaran, pavilyun untuk tamu-tamu Islam.
la sambut kedatangan mereka, menunjukkan tempat tinggal mereka. Ia lihat sejoli itu ragu-ragu memasuki kamarnya yang baru. Ia dengar mereka bicara satu-samalain dalam Jawa, dan ia tidak mengerti. Dan ia lihat Idayu jauh lebih cantik di dekat mata daripada dari kejauhan. Kulitnya yang langsat kecoklatan memancarkan seri ramah dan mengundang, halus dan lembut. Dan di balik kulit itu tersembunyi otot-otot padat seorang gadis petani yang biasa kerja.
Setelah menunjukkan tempat mereka ia pergi kembali ke gedung utama.
Idayu mengetoki dinding, kemudian terpakukan pada tanah, hanya matanya melihat ke mana-mana. Mengapa, Dayu"
Batu, Kang, semua batu, bisiknya, takut terdengar oleh orang lain, seperti candi. Dingin. Mengerikan. Galeng menirunya mengetuki semua dinding. Semua batu, Dayu, ia jatuh terduduk di ambin, juga matanya mengembara ke seluruh batu yang dingin itu, putih dan bisu.
Kotak batu semacam ini, Kang, hanya baik untuk . Syahbandar baru masuk tanpa beruluk salam. Bertanya dalam melayu: Apa katamu, Idayu"
Idayu melompat mendekati suaminya dan berlindung di balik gumpaian otot yang kuat itu.
Apa kata istrimu" tanyanya pada juara gulat itu. Pergi kau ke dapur, Dayu perintah Galeng pada istrinya.
Di dapur wanita itu menemukan seorang pembantu. Dilupakannya prasangkanya terhadap tempat tinggalnya yang baru dan segera kemudian mulai bekerja sebagai ibu rumah tangga sebagaimana biasa ia lakukan di Awis Krambil.
Tholib Sungkar Az-Zubaid merasa kecewa melihat wanita pujaan Tuban itu pergi menghindarinya. Ia perlihatkan keramahan dengan membantu Galeng mengatur barang-barangnya semua sumbangan dari penduduk Tuban Kota.
Orang jangkung agak bongkok, berhidung bengkung, muka penuh dengan kumis, jenggot, cambang-bauk dan alis itu, tak henti-hentinya bicara dalam Melayu. Galeng tak mengerti, kecuali beberapa patah kata. Dan syahbandar baru itu tertawa-tawa senang melihat Galeng tidak mengerti dan mengawasinya dengan waspada. Ia hampiri jago gulat muda bertubuh perkasa itu dan menepuk-nepuk pada lengannya. Berkata: Aku undang kalian. Datanglah nanti malam ke tempatku.
Juara gulat itu menggeleng tak mengerti. Syahbandar mengulangi kata-katanya dan membantunya dengan gerakgerak tangan yang ramai. Juara itu mengangguk mengerti. Tholib Sungkar Az-Zubaid mengangguk-angguk senang, kemudian pergi.
Kamar tamu gedung utama kesyahbandaran itu kini diisi hanya dengan bangku-bangku kayu dan meja sederhana. Mereka bertiga duduk mengepung meja.
Tholib Sungkar Az-Zubaid tak henti-hentinya bicara. Suami-istri, pengantin baru itu, duduk diam-diam, kikuk, dan untuk pertama kali bergaul dengan orang asing. Galeng terus-menerus mengawasi Syahbandar, memperhatikan gerak-gerik dan mendengarkan setiap patah kata yang diucapkannya. Idayu sebaliknya terus-menerus menunduk.
Berkah pengantin baru! Berkah untuk kalian berdua! tuan rumah membuka percakapan, maafkan aku terlambat menjamu kalian. Uah , alis Syahbandar baru itu terangkat naik, kemudian cepat turun lagi, pengantin masyhur. Wanitanya penari ulung, cantik-jelita tiada tandingan di seluruh Tuban Kota dan Tuban negeri. Prianya gagah-perkasa, tiada cecat barang secuwil, katanya cepat pula.
Dengan bahasa Jawa sebagaimana diajarkan di perguruan dan asrama Galeng berkata: Sahaya tidak mengerti, Tuan Syahbandar.
Jangan bicara Jawa, tuan rumah melarang, ayoh, mulai sekarang pergunakan Melayu, sekarang ia ucapkan sepatah sepatah. Melayu! Bukankah kau sekarang pembantu-utamaku"
Juara gulat itu mengangguk mengiakan. Melayu! Melayu! Mulai bicara Melayu! Dan bila Idayu mencuri pandang dari bawah keningnya pada Syahbandar, ia tak dapat sembunyikan keheranannya melihat hidung sepanjang itu dan bengkung dan tipis. Seakan muka itu diadakan hanya untuk dapat ditenggeri oleh hidung raksasa. Kalau dia diberi bersayap. pikimya selintas sambil tersenyum, sungguh, orang akan menyangkanya seekor nuri ajaib. Dan matanya yang bulat besar di bawah alis tebal itu seakan mentah-mentah dipindahkan dari muka area lempung yang sering dibuat oleh bocah-bocah penggembala bila menggambarkan dedemit atau gandaran.
Galeng, yang juga terpesona oleh hidung bengkung itu, lain lagi pikirannya. Yang terbayang olehnya adalah seorang raksasa. Dan tingkah-laku Syahbandar di depannya itu, suara dan gerak-geriknya, adalah tepat seluruhnya sebagaimana digambarkan oleh nenek-moyangnya dengan raksasa di dalam wayang. Hanya raksasa yang seorang ini kurus, sedikit bongkok, mungkin dikandungkan dan dilahirkan di miisim paceklik.
Tanpa mengindahkan adakah tamu-tamunya mengerti atau tidak, Tholib Sungkar Az-Zubaid meneruskan kata demi kata: Aku akan jamu kalian dengan janiuan haibat. Pasti kalian belum pernah merasakan. Ambil air panas mendidih dan cawan-cawan dan pengaduk, kau, Idayu, dan gula, dan tangannya bergerak-gerak menggambarkan apaapa yang dipintanya.
Ia sendiri kemudian masuk ke dalam kamar dan tak lama kemudian keluar lagi membawa sesuatu di tangannya.
Begitu Idayu datang membawa barang-barang yang dipintanya, ia meneruskan: Jamuan haibat, ia mengulangi sambil memasukkan tepung hitam dan gula di dalam cawan-cawan itu. Nah! ia menggosok-gosok tangan kemudian bertepuk, sekarang tuangi cawan-cawan itu dengan air panas, Idayu! Hati-hati, jangan sampai turnpah.
Ia mulai mengaduknya, cawan demi cawan. Galeng memperhatikan mata Syahbandar yang antara sebentar mengingatkannya pada istrinya. Dan muka Syahbandar itu mendadak mengingatkannya pada muka hewan yang baru keluar dari lobang arang, karena muka itu dihitami oleh rambut.
Inilah minuman raja-raja jauh di atas Atas Angin sana. Ingat-ingat, nama minuman ini: kahwa! jangan lupa. Ayoh, Galeng, Idayu! minum!
Sekejap mata Tholib Sungkar Az-Zubaid menelan wajah Idayu yang sedang melihat padanya.
Kahwa, Idayu! suaranya merendah lunak dan memikat. Hanya raja dan ratu Ispanya mampu dua kali meminumnya dalam sehari. Raja dan ratu Peranggi tiga kali. Semua membelinya dari pedagang Arab. Dan pedagang-pedagang itu menjadi kaya-raya karena tepung hitam ini. Raja Peranggi tiga kali sehari. Ingat-ingat itu. Betapa hebat Peranggi itu. Tak ada yang bisa tahu. Dia datang hanya untuk menang, di negeri mana pun. Jangan main-main dengan Peranggi. Ingat-ingat itu, jangan mainmain. Ayoh minum!
Di dalam kamar tinggalnya yang baru Galeng menghampiri pelita satu sumbu dan membersihkannya dari kerak. Nyala itu membesar.
Idayu bertiduran di ambin kayu. Karena pengaruh kopi kedua-duanya tak bisa tidur sampai lewat tengah malam.
Minuman setan! dengus juara gulat itu. Ia rasai jantungnya berdebaran kencang.
Tak perlu kita minum lagi, Kang.
Galeng hendak menyumpah. Tak jadi. Ada terdengar olehnya suara yang mencurigakan. Ia melompat keluar kamar. Dalam kegelapan ia masih dapat melihat bayangan seseorang melarikan diri. la lalu memburunya. Bayangan itu hilang entah ke mana. Ia kehilangan arah.
Dikelilinginya seluruh kesyahbandaran. Tiada sesuatu ia tcmukan. Ia periksa gandok kanan, juga kiri. Sunyi-senyap tiada sesuatu. la pulang kembali. Duduk diam-diam di serambi kamar. Juga tiada sesuatu pun terjadi.
Waktu masuk ke dalam didapatinya Idayu telah tertidur dalam kedamaian.
Dalam beberapa hari menjabat pembantu-utama Syahbandar dengan gelar jabatan Wira, ia segera dikenal penduduk Tuban Kota sebagai Wira Galeng. Tetapi lamakelamaan tumbuh sisipan dengan antara nama jabatan dan nama sendiri dan dipanggillah ia Wiranggaleng, Syahbandarmuda.
Baik di pelabuhan atau di jalanan ia mendapat penghormatan dari semua orang. Bukan sekedar karena ia seorang punggawa lebih lagi sebagai seorang yang populer, seorang juara gulat dan suami Idayu: pujaan Tuban.
Dan bila orang lewat di depan kesyahbandaran, orang memerlukan menengok untuk dapat melihat tuan Syahbandar-muda atau istrinya.
Perobahan dari petani desa perbatasan menjadi punggawa di ibukota negeri memang membingungkan dan membikin ia jadi kikuk. la sendiri belli in tahu setepatnya apa saja harus ia kerjakan. Penghormatan orang yang berlebih-lebihan membikin ia sering ragu-ragu, sedang kekualiran akan jatuhnya hukuman tiba-tiba dari Sang Adipati selalu membikin ia terlalu hati-hati. Sedang bayangan yang melarikan diri di malam pertama itu tak juga pernah hilang dari kewaspadaannya.
Idayu tak kurang-kurang gelisah. Rumah batu itu sendin telah merampas kedamaian hatinya. Tak ada orang yang hidup di dalam rumah batu kecuali tuan Syahbandar. Sekarang keharusan mengenakan kemban membikin tubuhnya serasa terupam dalam tungku. Belum lagi angin pantai yang tak henti-hentinya dan deburan ombak yang memeningkan. Ia merindukan kehidupan bebas-merdeka di desa. Di kota ia merasa terjerat-jerat oleh terlalu banyak aturan. Dan ia segan menyampaikan perasaan hatinya pada suaminya, yang toh takkan dapat berbuat sesuatu.
Biar belum mendapatkan ketenangan dalam penghidupannya yang baru Galeng dapat mengikuti dengan cermat adanya perobahan penting dalam kehidupan di ibukota. Pergeseran jabatan sedang terjadi di mana-mana. Dan semua itu, menurut penilaiannya, adalah untuk memudahkan tuan Syahbandar baru menjalankan kewajibannya.
Juga Galeng tahu, bekas Syahbandar Tuban, Rangga Iskak, telah pindah ke bekas asrama dan tak juga mendapatkan jabatan negeri yang patut. Orang menduga ia akan diangkat jadi penghulu negeri, tetapi Sang Adipati tak juga melantiknya. Dan telah diketahui oleh seluruh Tuban Kota, Rangga Iskak tidak suka pada pekerjaan baru apa pun. Dan pekerjaan yang terbaru adalah mengajar anakanak pembesar membaca Alqur an bahasa dan tulisan Arab.
Dua tiga kali Wiranggaleng pernah berpapasan dengan Rangga Iskak sedang berjalan-jalan dengan tongkat diayunayunkan seakan sedang menunggu datangnya kepala untuk dapat dikemplangnya. Dan orang itu tak pernah menampakkan diri di wilayah pelabuhan.
Wiranggaleng membenarkan bisik-desus orang bekas Syahbandar itu tak pernah kelihatan tenang bila sedang berjalan-jalan. Matanya selalu gelisah mencari-cari seseorang yang tak pernah didapatkannya. Dan memang ia selalu mencari-cari Yakub. Tetapi pewarung itu selalu menjauhkan diri tak ingin melihatnya.
Di samping pekerjaannya sebagai pembantu-utama Syahbandar juara gulat itu harus pula mengawasi galangangalangan kapal di bandar Glondong, sebuah pelabuhan lain lagi di negeri Tuban. Dan untuk itu ia mendapat seekor kuda jantan, muda berwarna putih kelabu.
Setelah barang tiga minggu bekerja ia mendengar berita: Rangga Iskak telah mengajukan permohonan berhenti dari jabatannya yang tidak menentu sebagai pengajar agama. Kemudian terdengar juga berita, ia telah menghadap Sang Adipati dan memohon ganti kerugian untuk jabatannya dan untuk gedung kesyahbandaran yang ditinggalkannya. Sang Adipati, kata orang, tak senang pada kecerewetannya.
Berita yang didengamya kemudian: beberapa hari berturut-turut Sang Adipati telah pergi berburu. Pertanda ada soal-soal pelik sedang mengganggu pikirannya. Malah pernah ia dengan tak sengaja telah mendengar seseorang berkata pada temannya: tentulah untuk melupakan Idayu.
Kemudian terjadi perobahan suasana di kesyahbandaran: Siang itu Tholib Sungkar Az-Zubaid dipanggil menghadap oleh Sang Adipati. Pada sore harinya ia datang dengan wajah muram. Di belakangnya, sekira sepuluh depa, mengikuti seorang wanita sambil mengunyah sirih. Di belakang wanita itu seorang lelaki memikul beberapa bungkusan mengikuti.
Suami istri itu tak mengenal pendatang wanita itu. Oleh Tholib Sungkar Az-Zubaid ia ditempatkan di dalam gedung utama. Setelah itu Syahbandar pergi lagi dengan muka cemberut. Dan pemikul itu pun pergi lagi dengan tangan hampa.
Mungkin karena kesepian di dalam gedung utama wanita itu keluar dari kamar, masuk ke dapur. Dan di sana ia bertemu dengan Idayu yang sedang menyiapkan makan malam.
Kaukah itu, Idayu" tegumya dengan lagu dan bahasa kadipaten.
Inilah saya: Ibu, sedang masak. Siapakah Ibu" Aku sudah tahu kau tinggal di sini, Nak. Senangkah kau jadi istri Syahbandar-muda" ia tersenyum ramah dan nampak kilau giginya yang hitam kelam. Pandangnya membelai Idayu dengan persahabatan.
Apakah senangnya tinggal di sini, Ibu" Saya lebih suka tinggal di desa sendiri. Ada apa di sini" Hanya desau angin dan deburan laut, ia bicara sambil terus bekerja.
Mari kita masak bersama-sama, katanya lagi tanpa mengindahkan protes mulai ikut bekerja. Makan seperti ini jugakah tuan Syahbandar"
Bukan begitu, Ibu. Sahaya hanya bisa masak begini rupa. Ibu ini siapa ."
Aku, Nak" Aku istri tuan Syahbandar. Oh-ah, Di mana Ibu dulu tinggal"
Di dalam kadipaten, Idayu. Kau tak pernah melihat aku waktu tinggal di sana. Tapi aku sudah pernah melihat kau.
Hari pertama yang dimulai dengan keakraban dan persahabatan itu dilanjutkan dengan saling mempercayai dan jadilah mereka berdua laksana ibu dan anak sendiri.
Istri Syahbandar Tuban itu tak lain daripada Nyi Gede Kati, bekas pengurus keputrian Kadipaten.
Dari wanita itu Idayu mengetahui, ia pernah dipanggil menghadap oleh Sang Adipati di serambi belakang Yang pertama kali tentang surat, yang kedua ia duduk bersimpuh, kemudian datang menghadap juga tuan Syahbandar.
Tholib Sungkar Az-Zubaid berdiri di belakang Nyi Gede. Tuan Sayid Habibullah Almasawa,! Sang Adipati berkata, inilah Nyi Gede Kati, pengurus keputrian, wanita Tuban pertama-tama yang Tuan kenal.
Terdengar dari belakang Nyi Gede, Sayid Habib Almasawa menjawab gopoh-gapah: Ampun, Gusti, patik belum pernah mengenalnya, melihatnya pun belum!
Kalau begitu, kata Sang Adipati lagi, lihatlah baikbaik. Mungkin sudah agak lupa!
Terdengar olehnya Syahbandar baru Tuban itu membantah.
Ampun, Gusti, betul, demi Rasul, tiada pernah patik melihat perempuan ini.
Baik, kata Sang Adipati, dan kau, Nyi Gede, telah kau serahkan hidup dan matimu pada kami. Maka dengarkan, Tuan Syahbandar Sayid Habibullah Almasawa, ambillah perempuan ini dengan baik-baik sebagai istri Tuan yang baik-baik pula, untuk melayani Tuan dalam hidup Tuan di Tuban. Dan kau, Nyi Gede, kemasi semua barangmu dan ikuti suamimu. Tinggallah kau betsama dengannya di gedung kesyahbandaran. Adipati Tuban menitahkan. Laksanakan pada hari ini juga dan berangkatlah kalian sebagai suami istri.
Kedatangan Nyi Gede di gedung kesyahbandaran mengurangi kerinduan Idayu pada orang tua dan Awis Krambil. Apa lagi sikap wanita itu terhadap Galeng adalah juga seperti terhadap anak sendiri, dan juara gulat itu pun segera menyayanginya. Sebaliknya Syahbandar selalu bersungut-sungut dalam bahasa apa orang tak tahu. Dalam berbagai bahasa yang dikenalnya sebenarnya ia hanya mengulang kalimat: Mengapa perempuan bergigi hitam diberikan padaku, bukan yang satu itu" Dan bukan itu saja, Syahbandar itu kini jadi agak pendiam dan sering bermenung. Ada satu masalah pelik sedang mengganjal dalam otaknya seperti batu krikil bergigi: Mengapa Nyi Gede Kati dihadiahkan padanya sebagai istri yang harus dikawininya di mesjid" Apakah benar wanita itu Nyi Gede Kati" Ia tak pernah melihatnya sebelumnya.
Apakah Sang Adipati tahu tentang diri dan perbuatannya menghubungi haremnya" Tak ada seorang pun di seluruh Tuban dapat diajaknya bicara. Kalau toh ada, itu justru hanya Nyi Gede sendiri.
Setelah Syahbandar menemukan jalan segera ditempuhnya.
Dalam bilik waktu itu. Hari telah larut malam. Dua buah lilin menyala menerangi ruangan. Ia bangunkan Nyi Gede.
Di luar kamar tidur Galeng sedang mengintip mereka. Pelnn, hati-hati, adakah kau bcnar Nyi Gede Kati pengurus keputrian"
Inilah sahaya, Tuan Syahbandar, jawab Nyi Gede juga dalam Melayu.
Kalau begitu siapakah selir kesayangan Sang Adipati" ia menguji.
Siapa" Tidak tahulah sahaya sekarang ini. Tadinya sebelum . tadinya Nyi Ayu Sekar Pinjung.
Mengapa tadinya" Ya, Tuan, apalah guna mengetahui soal keputrian" Bukankah aku suamimu" dan engkau harus menjawab! Ya, Tuan, Sekar Pinjung terkena salah. Dia telah menerima surat dari luar, dari orang yang sahaya tidak tahu.
Jadi dikeluarkan dari keputrian" Syah Syahbandar memberikan ujiannya.
Tidak, Tuan. Dia tetap di dalam keputrian, tetap mendapat apa yang jadi haknya. Hanya untuk seumur hidup dia takkan lagi dikunjungi oleh Sang Adipati. Juga takkan dapat keluar dari keputrian, sebagai hukuman.
Semoga Allah menurunkan dalam hati dia yang teraniaya tanpa dosa kesabaran yang tak terhingga, Syahbandar berdoa. Kemudian: Katakanlah: Amien . Amien, Tuan.
Amien saja, tanpa kau sebut-sebut tuan, karena amien itu untuk Allah, bukan untuk tuan Syahbandar. Amien.
Tholib Sungkar Az-Zubaid masih belum dapat diyakinkan.
Nyi Gede Kati, perlihatkanlah sekarang padaku barangbarang berharga yang jadi milikmu. Ingin aku melihat bagaimana dan macam apa perhiasan perempuan Jawa, katanya dengan suara lebih keras dari semula.
Dengan luwesnya Nyi Gede Kati memperagakan tubuhnya yang berisi dan dengan gerak tangan indah menuding pada perhiasan yang dikenakan pada tubuhnya: subang cepuk besar yang menyebabkan lobang pada godoh menjadi besar dan godoh itu sendiri turun panjang ke bawah, gelang, kalung, cincin dan cundrik langsing bersarung mas berukir.
Tholib Sungkar Az-Zubaid alias Sayid Mahmud Al- Badaiwi, alias Sayid Habibullah Almasawa mengawasi dan memperhatikan benda-benda itu sebuah demi sebuah.
Bagus, bagus sekali, ia mengangguk memuji, tak kalah garapannya dari pandai emas di negeri mana pun, ia berhenti dan mengelus dada. Tentu bukan hanya ini milikmu;
Tentu, Tuan, masih ada pada sahaya. Biar sahaya ambilkan.
Tak lama kemudian terjajar barang-barang berharga milik pribadi Nyi Gede Kati. Di antaranya seutas kalung sebentuk cincin dan gelang bertatahkan zamrud dan mutiara. Jelas bukan bikinan dan tidak bermotit Jawa. Dan dua buah real mas Portugis.
Mata Syahbandar bersinar-sinar. Ia tegakkan bongkoknya dan bertepuk tangan, kemudian menggeserkan tarbus ke belakang. Didekatinya barang yang berjajar di atas ketiduran. dan: Gelang, cincin dari kalung ini jelas seperangkat. Semua dibikin oleh pandai yang sama, dipermatai dengan keserasian hijau putih. Hanya putri-putri negeri Tiongkok menggunakan keserasian ini.
Hadiah para selir dan karunia Sang Adipati sendiri. Nyi Gede menerangkan dengan nada bangga. Yang menarik hati, Tuan, itu adalah hadiah dari seorang tuan yang sahaya tidak kenal. Ia melirik pada suaminya.
Bagaimana duduk perkaranya maka kau tak mengenalnya"
Ya, Tuan, tahu-tahu sudah ada di bawah pintu sahaya beserta sepucuk surat. Sahaya tak pernah tahu dari siapa. Adakah kau balas surat itu"
Kami orang Jawa selamanya membalas surat, senang atau tidak pada isinya, karena demikian diajarkan pada kami di perguruan kami.
Tholib Sungkar Az-Zubaid tertawa senang dan lega. Kemudian: Bagaimana kau membalas surat pada pengirim tak dikenal itu, Nyi Gede"
Sahaya letakkan di bawah pintu itu juga surat balasan sahaya Tuan, setiap malam, sampai datang masanya surat itu tiada.
Sekali lagi Syahbandar tertawa, lebih keras, mendering menembusi udara malam, keluar rumah.
Kalau begitu kau tahu benar ada orang tak dikenal suka masuk ke dalam keputrian. Siapa dia kiranya, Nyi Gede"
Dia datang pada waktu sahaya terlena, Tuan. Sahaya tiada berkemampuan berjaga sepanjang hidup.
Sekarang sesuatu membersit di dalam pikiran Tholib Sungkar Az-Zubaid: ia telah temukan kunci harem, la tersenyum puas. Dan perhiasan-perhiasan bertatahkan zamrut dan mutiara yang telah berada di tangannya itu belum juga diletakkannya, ditimangnya sejenak, kemudian: Kau istriku, bukan, Nyi Gede" Istriku yang syah. Sahaya, Tuan.
Kukawini kau di mesjid. Sahaya, Tuan.
Gusarkah kiranya kau bila barang-barang yang kukagumi ini dan juga dua real Peranggi ini aku simpan sendiri agar selamat dan aman"
Silakan, Tuan, kalau itu yang jadi kehendak Tuan. Ambil barang sahaya, bahkan badan sahaya sendiri ini, adalah milik Tuan Syahbandar Tuban.
Sekali lagi Tholib Sungkar Az-Zubaid tertawa puas. Sambil memasukkan barang-barang tersebut ke dalam sakudalam jubahnya ia bertanya bermain-main dan mencubit pipi istrinya: Semua jadi milikku. Tapi milik siapa jiwamu"
Gusti Adipati, Tuan. Husy, jangan sekali lagi bilang begitu. Jiwa hanya milik Allah.
Nyi Gede tak menjawab. Ia tidak menggeleng, tidak pula mengangguk.
Dengar, Nyi Gede, mulai besok buanglah kebiasaan menggimakan jahawe. Aku lebih suka melihat gigimu putih daripada hitam, seperti gigi iblis, seperti gigi perempuan kafir perbegu Benggala.
Baik, Tuan. Tholib Sungkar Az-Zubaid meninggalkan kamar untuk menyembunyikan benda-benda yang bisa jadi bukti terhadap perbuatannya. Pergilah ia dan turunlah Wiranggaleng dari tempat pengintaiannya. Syahbandar muda itu duduk dalam kegelapan di bawah sebatang pohon menunggu kalau-kalau Syahbandar Tuban keluar dari rumah. Dugaannya tidak keliru.
Sosok tubuh jangkung sedikit bengkok berjubah gelap itu keluar dari rumah dengan mengayun-ayunkan tongkat. Ia mengikutinya dari sesuatu jarak. Yang diikuti ternyata menuju ke warung Yakub, mengetuk pintu dan memasuki ruangan warung yang diterangi dengan sebuah pelita minyak kelapa dari satu sumbu.
Ia dengarkan mereka bercakap dalam bahasa asing yang ia tidak mengerti. Dalam sinar taram-temaram ia lihat Tholib Sungkar Az-Zubaid menyerahkan barang-barang perhiasan pada Yakub. Kemudian terdengar mereka bicara dalam Melayu: Ya Allah, Tuan Syahbandar, Tuan selalu dilindungi Tuhan. Memang tak pernah ada arak baik di sini, tapi demi Allah, ada barang secawan yang agak tepat untuk Tuan.
Selama bukan tuak Pribumi, insya Allah agak tepat kiranya untukku. Keluarkan, Yakub!
Yakub mengeluarkan sebuah cawan tembikar dan segera Syahbandar meneguknya habis dan mengucap syukur.
Tuan nampak sangat gembira hari ini. Alhamdulillah Tuan mempercayai si Yakub ini untuk menyimpannya, Tuan. Percayalah, di Tuban ini tak ada maling seperti di bandar-bandar lain, tak ada perampok Kalau ada kerusuhan selamanya soal asmara. Darah penduduk Tuban sudah panas, dipanaskan lagi oleh tuak setiap hari. Biar begitu tidak mudah menggelegak selama tidak menyinggung asmara. Memang tidak baik tuak buat orang Atas Angin. Lagi araknya, Tuan"
Cukup, Yakub. Harganya memang bukan harga tuak, Tuan, tepat harga arak Di mana pun yang lebih baik lebih mahal harganya, dan baik atau tidak akhir-akhirnya hanya asal selera. Tak peduli di Tuban atau di tempat lain.
Dari tempatnya Wiranggaleng melihat Syahbandar mengawasi Yakub, barangkali untuk memahami apa yang dikiaskan oleh pewarung itu. la melihat Yakub menunduk sambil meneruskan katanya Betul, juga di sini, Tuan, bayaran yang baik untuk jasa yang baik tepat seperti di mana pun, di Lisboa atau Madrid.
Syahbandar itu nampak tak begitu bersenang hati. Ia balikkan badan, mungkin untuk menyembunyikan perubahan pada wajahnya. dan berbalik kembali sudah dengan senyum pada bibir.
Rupa-rupanya kau, Yakub, seperti aku juga, petugas Sang Adipati, ia berkata mencoba-coba.
Ohoi! Yakub berseru pelan. Terkejut benar nampaknya Tuan. Mana bisa Yakub seperti Tuan Syahbandar" Biar pun hanya peranakan Arab dengan Benggala, Tuan, belum perlu rasanya si Yakub ini mengabdi pada seorang raja kecil Pribumi. Kami memang agak lain dari Tuan rupanya. Di mana ada keuntungan di sana Tuan ada. Begitu, bukan, Tuan Syahbandar" ia tertawa menyelidik.
Allah melindungi aku dari perbuatan menghina. Karena, di mana pun langit terbentang, di mana pun bumi terhampar, di sanalah kebesarannya diciptakan untuk seluruh umatnya.
Yakub tertawa-tawa sambil mengusap-usap janggut dan Tholib Sungkar meneruskan pandang padanya.
Allah memberkahi orang yang tak mudah marah. Bukankah sabar juga bagian iman, Tuan Syahbandar" Tuan Sayid"
Aku bayar belanjaku, dan tak ada alasan untuk marah, ia lihat Yakub meneruskan pandang padanya.
Tuan agaknya salah tangkap, Yakub membetulkan. Tak ada yang tidak percaya pada semua kata Tuan. Tuan selalu bayar belanja Tuan. Dan, Tuan Sayid, kapan pun Tuan akan bayar belanja Tuan yang jauh lebih mahal untuk jasa Yakub yang lebih baik dan lebih besar. Percayalah, Tuan Syahbandar.
Manakah di Tuban yang kecil ini ada jasa yang baik apa lagi besar"
Pada Yakub, tuan Sayid, jasa selalu tersedia, besar dan baik, kecil dan besar, setiap saat, tak peduli siang atau malam, pagi atau sore.
Tak ada perbuatan tanpa dipikirkan lebih dulu, Yakub. Tuban menciptakan makhluknya bukan untuk jadi gila. Assalamualaikum, dan dengan kata itu ia pun pergi meninggalkan warung.
Wiranggaleng mengikutinya pulang ke kesyahbandaran. Ia lihat Tholib Sungkar Az-Zubaid berjalan langsung menuju ke gandok kiri, menaiki serambi, kemudian mendengar-dengarkan pada pintu kamar, mencoba mengintip dari sana dan sini. Karena tak melihat sesuatu pun di dalam kamar itu ia pergi lagi masuk ke dalam gedung utama dari pintu tengah.
Tahu lah Wiranggaleng sekarang, tidak lain dari tuan Syahbandar yang jadi bayangan selama ini. Dan keluarganyalah sasarannya.
Berlanjut ke bagian 8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar