Arus Balik.
Karya : Pramoedya Ananta Toer.
Bagian 16.
Perjalanan Sepucuk Surat Rahasia
Dilihatnya Sang Patih sedang dihadap oleh Syahbandar langsung, ia berjalan melalui samping kepatihan ke belakang. Ada terdengar olehnya sepotong kata-kata Syahbandar dalam Melayu: tak ada hak patik untuk mengusirnya .
Ia berhenti dan terdengar suara Sang Patih: Siapa bilang kami mengusir atau memerintahkan mengusir" Patih Tuban mengundang mereka kemari. Kami tahu mereka penembak meriam. Maka itu kami mengundang mereka.
Wiranggaleng meneruskan jalannya dan masuk ke dapur kepatihan untuk menghilangkan lapar dan dahaga. Begitu Syahbandar pergi ia datang menghadap. Sang Patih duduk di atas bangku kayu sedang mengipas-kipas badan. Melihat Syahbandar-muda datang ia tersenyum senang dan menyilakannya duduk.
Kau nampak agak kurus, Wira. Pasti terlalu berat perjalananmu. Dan belum lagi penghadap itu bersembah ia telah meneruskan, Pasti kau lihat tadi Syahbandar habis menghadap. Dipergunakannya segala alasan untuk menghalangi orang-orang Peranggi petualang itu datang menghadap ke mari. Apa boleh buat. Gusti Adipati berkenan memberikan perlindungan, dengan dugaan mereka mau mengajar membikin meriam. Telah kami persembahkan petualangan mereka di Lao Sam. Sia-sia, Wira. Jangankan Peranggi mau membagi ilmunya, orang Tionghoa di sini saja segan mengajar membikin kertas. Katanya kau sudah pernah melihat orang-orang Peranggi itu. Bagaimana pendapatmu" Ah-ya, nanti dulu, mereka toh masih berada di bawah perlindungan Syahbandar. Bagaimana kepergianmu"
Dan Wiranggaleng bersembah.
Jadi sudah jelas Rangga Iskak memang hendak bertingkah. Dia telah bikin kawula Tuban membangkang dan melawan. Mana surat itu"
Melihat surat itu bertulisan Arab ia hanya mengangguk. Kami tahu kau masih lelah dan rindu pula pada keluargamu. Apa boleh buat, Wira, pekerjaan ini harus kau selesaikan sendiri. Pergi kau ke Bonang dan panggil menghadap Mashud bersama denganmu.
Dengan seekor kuda kepatihan ia berangkat ke Bonang dan keesokannya menghadap lagi bersama Mashud.
Bapa Mashud, kata Sang Patih, kami perintahkan padamu membaca surat Arab ini baris demi baris dan terjemahkan baris demi baris pula.
Mashud membaca baris demi baris dan menterjemahkan: Selamat bagimu, sebaris lagi, Dilimpahkan oleh Allah kiranya padamu taufik dan hidayatnya, sebaris lagi, Dijauhkan Tuan kiranya dari jilatan api neraka, selanjutnya, Kecuali bila kau lakukan hal-hal yang diwajibkan kepadamu untuk mengembangkan dan menyampaikan, melindungi mempertahankan dan mengamalkan, sebaris lagi, Maka itu kerjakan apa yang kami sebutkan di bawah ini .
Mashud tiba-tiba terdiam. Mukanya pucat. Tangan dan bibirnya menggeletar. Matanya liar ke mana-mana seperti keranjingan.
Mengapa, Bapa Mashud"
Orang kurus tinggi bersorban tebal itu menelan ludah dan meneruskan. Tetapi kata-katanya sudah tak jelas lagi artinya.
Sang Patih memerintahkannya berhenti dan menyuruhnya pergi, dan ia pergi masih dalam keadaan pucat dan gugup. Seorang perwira menghadapkan pada Sang Patih guru daripada Mashud. Ia seorang Campa yang sudah lama tinggal di Malaka, bernama Jamhur Tenga, barangkali seumur hidup selalu menggunakan jubah coklat dan sorban coklat pula.
Dengan tenang dan percaya diri ia mulai menterjemahkan, baris demi baris. Sampai pada baris yang memucatkan Mashud ia menjadi gugup dan menubruknubruk, sedang terjemahannya berbeda jauh dari Mashud. Sang Patih mengangguk dan memerintahkannya pergi.
Seorang perwira lain menghadapkan seorang Melayu pelarian dari Malaka, telah kehabisan modal dan kehilangan kapal. Ia telah diambil sewaktu sedang bersiapsiap hendak pindah ke pedalaman. Ia tak berjubah tak bersorban, tetapi berpakaian Pribumi Tuban. Ia menghadap dalam keadaan setengah mati ketakutan. Ia bernama Kamang Sani.
Terjemahannya mulai baris yang memucatkan itu tiada kesamaan baik dengan Mashud ataupun Jamhur Tenga. Sang Patih memerintahkannya pergi.
Jadi kau sendiri tahu, Wira, ada rahasia terkandung di dalamnya. Rahasia ini mengikat Rangga Iskak dengan para penterjemah pada satu pihak dan Rangga Iskak dengan Syahbandar Tuban pada lain pihak. Di sebelah sana lagi ada Peranggi. Di sampingnya ada perusuh yang menentang Tuban
Sang Patih memutarkan tinju dalam genggaman tangan yang lain.
Aneh, Rangga Iskak bermusuhan dengan Syahbandar, juga bermusuhan dengan Peranggi, juga bermusuhan dengan Tuban. Syahbandar bermusuhan dengan Rangga Iskak dan kami mencurigainya bersahabat dengan Peranggi.
Barang tentu surat gawat, Gusti.
Pergi kau sekarang juga ke Gresik. Carikan terjemahan yang benar. Jangan kau tunda-tunda tugasmu.
Dan dengan demikian mendaratlah Wiranggaleng di bandar Gresik.
Bandar itu tidak seindah Tuban, namun masih lebih ramai, juga pasar dan perdagangannya. Di masa-masa yang lalu peranannya jauh lebih penting daripada Tuban, dan sampai sekarang pun masih bandar terbesar di Jawa. Sebelum Portugis menduduki Malaka dan Maluku, sebagian terbesar rempah-rempah Maluku datang kemari, dari sini berpecahan ke seluruh bandar di Jawa dan dunia.
Datangnya Meriam Portugis Pesta laut itu tidak semeriah biasanya.
Pada sore hari gadis-gadis menari mengelilingi Sela Baginda yang tinggal umpaknya sebagai pembukaan pesta. Langit terus menerus bermendung dan sebentar-sebentar turun gerimis kecil.
Lomba perahu belum lagi selesai. Bila lomba usai dan bunga-bungaan dan ketupat telah ditebarkan ke laut orang pun akan naik ke darat untuk mengikuti pesta api.
Tetapi pesta itu kini telah ditiadakan. Dahulu dalam pesta ini tulang-belulang atau mayat-mayat dibakar bersama-sama di empat penjuru kota, bila memang banyak yang harus dibakar. Bila abunya telah diambil, janda-janda pun menyusul masuk ke dalam api unggun sampai lumat jadi abu pula.
Pesta api sudah tiada. Orang-orang Islam telah berusaha melawan adat kejam dan mengerikan ini sambil memasyhurkan agamanya. Golongan wanita terutama yang menyambut perlawanan kaum Muslimin itu. Mula-mula dengan diam-diam mereka bersimpati pada agama baru itu dan membenarkan, bahwa adat itu memang kejam dan mengerikan. Maka juga golongan wanita yang paling mula dalam pembisuannya menerima Islam tanpa sepengetahuan suaminya. Menerima Islam pada tingkat pertama berarti bagi mereka dibenarkan menghindari api maut. Dan sekali kaum wanita menerimanya, pengaruhnya menentukan di dalam kehidupan rumahtangga dan anak-anaknya. Dalam hanya satu generasi pembakaran janda mulai susut keras dan kemudian hilang seperti tertiup angin badai.
Sebagai akibatnya Tuban mulai menghadapi masalah janda hidup dan tinggal hidup. Tak ada yang mau mengawini mereka. Mereka dianggap wanita pembawa sial bagi mendiang suami dan keluarga. Bahkan untuk memberikan atap untuk melindungkan kepala mereka dari hujan dan panas orang tidak sudi, takut terjalari kesialan. Maka mengembaralah mereka bergelandangan di kampungkampung para perantau untuk mendapatkan sekedar makan, suami baru atau sekedar kasih dan kekasihan. Bila nasib baik mereka memang bisa mendapatkan dirinya sebagai istri atau gundik. Yang tidak beruntung terus bergelandangan di pelabuhan sebagai pelacur untuk awak kapal. Dan di daerah pelabuhan juga janda-janda yang kurang beruntung mendirikan gubuk-gubuk-nya dari daun kelapa.
Walau pun pada umumnya penduduk negeri Tuban beragama Buddha, tetapi pengaruh Hindu dan adatistiadatnya masih mendarah-daging. Pergantian raja karena perang ataupun tidak mengakibatkan banyak kala terjadi pergantian agama: Syiwa, Wisynu, Brahma dan Buddha, bagaimana saja rajanya. Dengan demikian penduduk negeri tidak mempunyai kesempatan cukup lama untuk menganut salah satu agama dengan mendalam. Suatu hal yang menyebabkan pembakaran janda tetap umum di manamana di negeri Tuban. Dan wanita yang menceburkan diri ke dalam api mengikuti mendiang suami mendapat nilai sebagai wanita setiawan dan terpuji.
Dengan berpengaruhnya Islam terhadap mereka sekalipun baru terbatas pada penghindaran dari sang api makin lama makin banyak pelacur bergentayangan. Kapal adalah sumber penghidupan mereka yang pokok. Kendaraan laut itu memuntahkan untuk mereka awak kapal yang haus wanita. Dan penghidupan baru itu membikin mereka ber-tingkah-laku sesuai dengan kehendak sang hidup. Pejabat-pejabat bandar tak jarang mengalami kesulitan karena mereka, dan tidak bisa berbuat apa-apa. Bandar Tuban adalah bandar bebas, juga untuk mereka, Pribumi mau pun asing, penetap ataupun pendatang.
Dan kini kelengahan bandar telah mengancam penghidupan mereka. Penghidupan sulit diharapkan datang dari laut. Mereka terhalau makin ke darat, meninggalkan daerah bandar, mengembara ke mana-mana untuk mendapat sekedar makan.
Dengan adanya pesta air, mereka datang lagi menduduki gubuk-gubuknya kembali. Juga mereka berkepentingan untuk ikut memeriahkannya, karena itu mengingatkan mereka pada masa kanak-kanak sewaktu mereka bukan segolongan orang yang dikucilkan. Dan berhubung tiada kapal datang berlabuh, mereka berubah jadi serombongan penekad. Setiap nampak oleh mereka orang asing, segera mereka kepung, mereka tarik-tarik ke suatu tempat, dan merampas barang apa yang ada pada diri mangsanya. Demikianlah pada pesta air ini Liem Mo Han menjadi korban mereka .
Malam itu mendung menutup semua bintang di cakrawala. Kilat antara sebentar mengerjap kejam, seperti mata bencana sedang mengintip dunia.
Liem Mo Han datang ke pelabuhan untuk mencari Wiranggaleng.
Tahu yang dicarinya sedang menunggu istrinya menari tunggal di depan umum. Tetapi ia tak dapat menemukannya. Maka ia berjalan-jalan sambil menunggu selesainya pertunjukan.
Serombongan janda gelandangan telah menyergapnya. Ia meronta dan melawan, tapi sia-sia. Ia tahu mereka adalah wanita-wanita lemah, dan ia tahu, tak mungkin ia harus menggunakan kekerasan. Adalah memalukan kemenangannya terhadap mereka. Maka ia membiarkan dirinya masuk dalam sergapan, la ikuti arus yang menyeretnya. Lebih baik begini daripada jadi tertawaan seluruh negeri, pikirnya.
Kuncirnya yang panjang telah dicengkeram oleh tak kurang dari enam tangan. Juga dua belah tangannya. Juga bajunya. Ia sudah tak ingat lagi di mana topi hitamnya yang kecil itu terjatuh.
Tapi ia tak menyangka dalam waktu sekejap segala apa yang ada pada tubuhnya mereka lolosi. Dan tertinggal ia di lapangan, telanjang bulat seperti seorang bayi baru keluar dari rahim ibunya.
Dalam keadaan seperti itu ia dilepaskan.
Dan larilah Liem Mo Han dalam malam gelap bermendung itu, telanjang bulat, mencari perlindungan. Mula-mula ia menuju ke warung Yakub. Ternyata pintunya tertutup dan terkunci dari dalam. Ia lari ke syahbandaran, tanpa mengindahkan larangan untuk memasuki daerah itu tanpa seijin Syahbandar. Dan bersembunyi ia di sesuatu tempat sambil menunggu kedatangan Wiranggaleng.
Ia masih sempat menimbang-nimbang tempat mana sebaik-baiknya untuk menghindari pandangan orang: di gandok sebelah kanan yang sehari-hari kelihatan lebih tenang dan lengang.
Begitu ia mendekam memanaskan badan terhadap serangan angin, nyamuk mulai menyerangnya tanpa ampun. Dan kepalanya terasa panas seakan tengkoraknya sudah menganga setelah sebanyak itu tangan yang menjahili kuncirnya.
Dengan pakaian sewajarnya ia sudah beberapa kali melakukan pengintaian di sini. Tanpa pakaian ia merasa kikuk dan bersalah terhadap segalanya. Maka ia taksirtaksir kegelapan mana yang kiranya cukup untuk jadi pakaiannya. Ia berdiri dan mengulangi pengintipannya. Dan sekarang ia baru tahu dengan jelas di mana orangorang yang selama ini diburunya: Esteban del Mar dan Rodriguez Dez. Ternyata mereka berada dalam sebuah ruang gudang yang pintunya terpasak dari luar.
Dari suatu celah ia dapat melihat rantai besar mengikat kaki mereka pada sebuah tiang. Dan mereka duduk dan bicara lepas-lepas: Anjing Moro itu mau jual kita pada Malaka.
Bagaimana kita bisa terantai begini" Esteban menggerutu gusar dengan menyesali diri. Bukan untuk dibeginikan kita berkelana. Kemarin kita masih bebas. Bodoh. Mengapa tidak waspada terhadap anjing busuk itu"
Kau masih ingat kata-katanya" Seperti sudah jadi kaisar saja. Mulai hari ini jangan Tuan-tuan pergi ke manamana , katanya, seperti Tuban ini sudah jadi miliknya pribadi.
Esteban mendengus jengkel. Kemudian: Seperti sudah setinggi langit kekuasaannya. Tuan-tuan aman dalam perlindunganku , katanya. Dan kita aman dalam perantaian seperti ini. Tuan-tuan takkan jatuh ke tangan Sang Adipati, karena matilah Tuan-tuan di tangannya. Uih, bangunbangun sudah terantai begini.
Barangkali Sang Adipati memang menghendaki jiwa kita"
Psss. Dia bukan sekutu Demak, Esteban barangkali sudah menerangkan untuk ke sekian kalinya. Ah, tunggu, benar, dia toh sekutu Jepara. Tapi kita tak ada sesuatu urusan.
Liem Mo Han mendengar sesuatu dari belakangnya. Ia lari menghindar. Terdengar olehnya suara teguran: Siapa" dalam Melayu.
Ia lari berputar ke belakang Syahbandaran dan menuju ke gandok kiri.
Justru pada waktu Wiranggaleng bersama istrinya sedang melintasi jalanan taman untuk masuk ke dalam rumah.
Kaukah itu, Wira Salasa" Sahaya, Tuan Syahbandar. Dengan istrimu, Wira" Sahaya, tuan Syahbandar.
Tak ada kau lihat orang berjalan di sini" Tidak. Sahaya justru baru datang.
Percakapan itu selesai. Wiranggaleng bersama istrinya masuk ke dalam rumahnya. Orang telanjang bulat itu mengetuk-ngetuk lemah dan memanggil-manggil pelan: Wira, Wira, keluar sebentar, sahaya ada di sini. Liem Mo Han di sini, Wira.
Juara gulat itu mengenal suaranya, ia segera keluar. Dan tertawa ia terbahak mendengar cerita pengalaman kecelakaan sahabatnya. Ia masuk lagi untuk mengambilkan pesalin.
Mari aku antarkan keluar dari sini, Wiranggaleng menawarkan jasanya.
Tidak, Wira, mari ikuti aku ke gandok sana. Ada sesuatu yang perlu Tuan saksikan sendiri. Selama ini Tuan masih juga belum percaya.
Mereka berdua berjalan mengendap-endap kegelapan. Hujan mulai jatuh dengan derasnya, dan satu-satunya bahaya adalah kilat. Mereka sampai di tempat tujuan dan hujan mendadak berhenti. Mereka mengintip bergantian. Tholib Sungkar Az-Zubaid berdiri di hadapan dua orang Portugis yang masih juga duduk-duduk tak peduli seperti tadi. Pada tangan Syahbandar terdapat selembar nampan dengan cerek tembikar di atasnya. Syahbandar-muda tak mengerti Portugis. Ia serahkan celah pada temannya. Dan ia menjaganya.
Liem Mo Han melihat Esteban del Mar dan Rodriguez Dez mulai berdiri dan berjalan menghampiri Syahbandar sampai pada batas rantai mengijinkan. Nyala lilin di dalam tidak begitu terang.
Ia tak dapat memperhatikan roman mereka dengan jelas. Tetapi suara mereka jelas terdengar olehnya. Mereka sedang memaki-maki.
Pengecut, penipu! suara Rodriguez. Kau rantai kami dalam tidur. Hanya bedebah Moro saja bisa berbuat begini. Sophari yang hina itu pun takkan sepengecut ini.
Hei, Moro, apa salah kami terhadap kau" Anjing" Bukankah kami tamumu, yang makan garammu" suara Esteban, agak lunak.
Sabar, Tuan-tuan. Bukankah Tuan-tuan haus setelah begitu lama tidur" Di luar sana pesta air baru saja selesai. Kalau tidak dibeginikan Tuan-tuan akan menggunakan kebebasan untuk mencelakakan aku. Maafkanlah, Syahbandar membuka pidatonya.
Lepaskan rantai ini, Rodriguez meraung.
Jangan keras-keras, Syahbandar memperingatkan. Biar pun hujan lebat, lebih baik pelan-pelan saja, maksud Tuan-tuan tercapai juga maksudku.
Binatang! suara Rodriguez. Aku bisa meraung sekuat paru-paruku.
Sabar. Suara Tuan sendiri yang bakal memanggil maut Tuan. Dengarkan. Kalau tak kurantai dan Tuan-tuan pergi dari sini sebagai tamuku, matilah Tuan-tuan diterkam balatentara Tuban. Nasibku sendiri" Takkan jauh dari Tuan-tuan celaka. Buat keselamatan Tuan-tuan sendiri dan juga aku terpaksa aku perbuat ini. Percayalah. Bedebah! Siapa bisa percaya pada mulutmu" Hanya si goblok saja mau dengarkan kafir Moro. Lepaskan, Rodriguez mengancam. Awas, jangan sampai aku marah.
Ah, Tuan-tuan boleh marah sesuka Tuan. Tak semudah yang kalian sangka untuk berbuat sesuatu terhadapku. Syahbandar dilindungi kuat oleh Sang Adipati selama kalian tidak lepas, jawab Syahbandar setelah menaruh cerek tembikar di atas lantai, kemudian diambilnya tongkat dari bahu dan mengamang-amangkan. Tidakkah kalian bisa sopan barang sedikit" Sudah lenyapkah kesopanan yang leluhur ajarkan pada bangsamu"
Rodriguez menjawab dengan semburan ludah pada muka Tholib Sungkar Az-Zubaid. Yang belakangan ini menyeka muka dengan lengan jubahnya, kemudian meludah sendiri ke lantai.
Baiklah kalau kalian tak mau bersopan-sopan, dengan ujung tongkatnya ia mulai menyerang sehingga Rodriguez mundur-mundur dan rantai pada kakinya menjadi kendor gemerincing.
Sudah, sudah, hentikan itu, Esteban menyabarkan Syahbandar.
Sekarang begini, Tuan Syahbandar. Kau ini hanya bajingan tengik. Kami akui, kami pun bajingan petualang belaka. Kau dan kami sama saja. Bukankah kita bisa kerjasama"
Baik, aku dengarkan usulmu.
Sebenarnya kau ini begundal raja Pribumi atau begundal d Albuquerque" Kalau kau hanya begundal raja Pribumi, Sang Adipati itu, katakan saja apa dia mau, dan kami akan laksanakan. Kami akan bebas, dan akan tetap bekerjasama denganmu.
Indah sekali. Teruskan. Baik. Sebaliknya kalau kau begundal d Albuquerque, kami lebih suka mati di sini bersama denganmu.
Bagus. Andaikan aku begundal Sang Adipati, bagaimana usulmu setepatnya, ia terbatuk-batuk. Nah, kau lihat bagaimana aku memberi contoh bersopan-sopan. Ya, memang cukup sopan untuk seorang begundal. Bagus. Sopanlah, sabarlah. Aku tahu orangtua, guru dan padri-padrimu mengajarkan dan menganjurkan begitu. Ayoh, mulai. Aku dengarkan kata demi kata.
Rodriguez telah siap dengan makian baru. Esteban mencegahnya.
Dan tiga orang itu berdiri berhadap-hadapan bermain sandiwara.
Jangan kalian kira aku belajar Portugis untuk dengarkan maki-maki-annya. Aku yakin lebih banyak buku Portugis aku baca daripada kalian. Teruskan, Esteban. Tapi Esteban masih sibuk menyabarkan temannya. Kau benar, Esteban. Kau nampaknya lebih tua dan lebih punya pengertian. Hanya kalian agak salah terka, aku bukan bajingan. Juga bukan bajingan petualangan seperti kalian.
Baiklah, setidak-tidaknya begundal. Tuan Syahbandar masih mau dengarkan aku, tidak"
Ayoh, mulailah. Kalau rajamu itu menghendaki bantuan kami, kita bertiga bisa bikin persekutuan. Apalah bisanya orang Pribumi" Kami berdua bisa usahakan kau naik jadi raja, dan kami berdua pembantumu yang paling setia.
Mereka bukan boneka, Tuan-tuan. Mereka punya alat pemerintahan dan kekuasaan seperti kerajaan mana pun di Eropa.
Semua itu bisa diakali, Tuan Syahbandar. Dan Tuan sendiri punya banyak akal dalam persediaan.
Usulmu ternyata lebih bodoh daripada orang Pribumi. Impian di siang bolong. Dengarkan sekarang. Sang Adipati Tuban mengetahui, entah dari setan mana, kalian ini ahli meriam. Ia menghendaki kalian mengajarkan membikin meriam .
Rodriguez tertawa terbahak.
Mengapa tidak dari kemarin bicara" Aku sanggup, apa lagi Esteban. Tanggung beres. Lepaskan rantai ini.
Sabar, nanti dulu. Kalau aku menyanggupinya, matilah aku di sini, Tholib Sungkar Az-Zubaid meneruskan pidatonya. Kalian hanya penembak meriam. Lebih tidak. Apa pengetahuan kalian tentang pengecoran logam" Kalau kalian punya keahlian lebih dari menembak, menembaki kapal-kapal yang tak berdaya, itulah justru petualangan dan kebohongan kalian.
Kafir! maki Rodriguez. Jadi aku punya rencana lain, agar kalian selamat dan aku pun tak kurang suatu apa.
Tak kurang suatu apa buat Moro berarti kerugian buat semua orang, gertak Rodriguez.
Terserahlah pada penilaian kalian. Mengapa kalian aku rantai" Aku mengerti darah Portugis. Kalau kalian orang Ispanya, barangkali lebih daripada rantai. Mungkin kalian aku pakukan pada tiang ini.
Jadi dia mau jual kita pada d Albuquerque, Esteban. Kira-kira. Jangan lupa, dia orang Moro.
Tidak. Kalian bocah-bocah Portugis. Aku tahu kalian membutuhkan pangkalan-pangkalan di Jawa untuk menguasai laut dan darat Nusantara sebelah selatan terutama laut, Syahbandar Tuban meneruskan. Biarlah kalian mendapatkan kembali kesempatan mengabdi pada raja dan negeri kalian.
Tak ada urusan, bentak Rodriguez.
Kalau itu bukan urusan kalian lagi, tak ada artinya aku bawakan cerek ini, dengan tongkatnya Tholib Sungkar menuding pada cerek di atas lantai, tak perlu kuantarkan kemari, biar kalian mampus kehausan.
Diam kau, Rodriguez. Biar aku yang bicara. Nah, teruskan Tuan Syahbandar Tuban. Kami yang mendengarkan sekarang.
Nah, belajar agak bijaksana. Ketahuilah, Tuan-tuan, kapal-kapal Jawa masih juga menerobos ke Maluku. Kapalkapal kalian terlalu sedikit untuk dapat mengawasi perairan seluas ini. Pangkalan baru masih dibutuhkan. Lebih banyak lebih baik. Nah, itulah, Tuan-tuan yang terhormat, untuk kepentingan negeri Tuan-tuan sendiri, untuk kepentingan padroa-do, kami masukkan Tuan-tuan ke dalam rencana kedua ini. Kalian akan merasa puas di kemudian hari dan akan berterimakasih pada orang Moro tulen yang Tuantuan benci ini.
Dia memang hendak jual kita pada Malaka! Rodriguez memperingatkan. Hati-hati, Esteban.
Tidak, demi Allah. Lagi pula d Albuquerque sudah tak ada di Malaka. Dan kalau Tuan-tuan menghendaki acara ketiga, itu lebih mudah. Tuan-tuan celaka, aku selamat dan dapat tambahan real.
Tuan Syahbandar, Esteban menyela. Ingatkah kau bagaimana Moro diusir dari negeriku oleh orangtua kami" Aku kelahiran Ispanya.
Bagus. Jadi kau mengerti. Sejak itu tak ada orang Spanyol atau Portugis, bahkan bayi dalam kandungan pun, bisa percaya pada mulut Moro, Esteban menambahi.
Bagus. Biar begitu, orang Moro juga yang menjamu Tuan-tuan selama ini. Garam orang Moro yang kalian makan. Arak orang Moro yang kalian minum. Sekarang, Tholib Sungkar menyorong cerek arak dengan ujung tongkat ke dekat mereka, orang Moro juga yang melayani Tuan-tuan dengan arak ini. Pasti kalian tidak akan menolaknya. Minumlah.
Mengapa kau sorong dengan tongkat" Kurangajar! Terlalu mahalkah tanganmu" Esteban memprotes. Dijauhkan oleh Allah kiranya aku dari tangan kalian. Rodriguez menghentak-hentak lantai dan rantai tegang kembali karena ia mencoba menyambar Tholib Sungkar Az-Zubaid.
Batang lehernya memang berhak untuk dipatahkan, gumam Rodriguez gemas. Ia tak berhasil menyambar Syahbandar.
Ya, katakan semau kalian. Nyawa kalian toh tetap di tanganku.
Esteban pun kehilangan kesabarannya. Tholib Sungkar pura-pura hendak pergi. Ia terpaksa memanggilnya kembali. Dan Syahbandar kembali berbalik dengan tangkai tongkat hendak menarik cerek.
Kalau kalian tak suka pada pelayanan orang Moro busuk ini, baiklah cerek ini kubawa pulang, katanya mengancam. Rodriguez menangkap cerek yang hendak ditarik itu dan meneguk puas-puas. Baru kemudian disorongkan pada Esteban yang juga segera meminum isinya. Setelah kosong dilemparkannya cerek itu pada muka Syahbandar.
Tholib Sungkar tak sempat mengelak. Benda itu berdentam menubruk pelipisnya dan jatuh menggerontang di lantai. Tak pecah.
Begitulah orang Portugis menyatakan terimakasihnya, ia menggerutu sambil menyeka lukanya. Tapi kalian memang terlalu berharga untuk dibunuh di sini.
Ayoh, dekat-dekat sini kau! tiba-tiba Esteban meluap. Biar kugigit putus tenggorokanmu, biar aku kunyahkunyah jakunmu! Ayoh, dekat sini.
Kalau Tuan-tuan memang berniat mau mengajar Pribumi bikin meriam, sebentar lagi aku lepas. Sayang Tuan-tuan takkan dapat membikinnya untuk sisa hidup kalian. Jadi selamat bermimpi, Tuan-tuan, membikin meriam, pulang ke Lisboa!
Tanpa diduga-duga Tholib Sungkar Az-Zubaid menghantamkan tongkatnya pada Rodriguez.
Ampun, ampun, gumam Rodriguez dengan suara semakin lemah tak nyata, kemudian terguling, tertidur.
Kau pun mendapat bagianmu, tongkatnya menghantami punggung Esteban.
Orang Portugis yang dihantami itu nampak seperti orang yang kehabisan kemauan. Kedua belah tangannya tergantung lunglai, mulut menganga. Tak lama kemudian ia tersungkur dan juga jatuh tertidur.
Syahbandar menyorong-nyorongkan kepala mereka dengan terompahnya, bergumam tak nyata, keluar dari ruangan dan memasak pintu dari luar.
Ia sama sekali tak tahu ada dua orang yang sedang mengintainya. Ia berjalan cepat-cepat dalam malam gelap bermendung dan tanah basah di bawahnya melewati gedung utama, langsung ke pintu gandok Wiranggaleng dan mendengar-dengarkan. Kemudian ia pergi meninggalkan kesyahbandaran.
Bulan tua itu mengintip dari celah mendung. Tholib Sungkar Az-Zubaid masih juga tak tahu sedang diikuti oleh dua orang. Sebentar saja ia memasuki warung yang pintunya ternyata tak terkunci itu. Ia keluar lagi diikuti oleh beberapa orang. Sampai di kesyahbandaran ia menuding ke arah gandok kanan, kemudian masuk ke dalam dan terburu-buru keluar lagi, mengikuti segerombolan orang itu ke gandok kanan.
Mereka semua masuk ke tempat Esteban dan Rodriguez terantai, dan keluar lagi menggotong mereka berdua. Sampai di gedung utama Syahbandar memberikan sesuatu pada Yakub dan orang itu memeriksanya, langsung memasukkan ke dalam sakunya.
Syahbandar masuk ke rumah dan tak keluar lagi. Wiranggaleng dan Liem Mo Han mengikuti penggotongan sampai pada suatu jarak. Mereka berdua naik ke atas menara pelabuhan. Dua orang penjaga itu ternyata sedang tidur nyenyak. Persediaan makan malam mereka belum lagi tersinggung.
Waktu bulan memperlihatkan seluruh wajah tuanya dari bolongan mendung, jauh sekali, nampak kelap-kelip lampu tiang agung sebuah kapal di tengah laut. Sebuah perahu dayung besar sedang meluncur menuju ke kapal tersebut. Di atasnya adalah gerombolan Yakub membawa Esteban del Mar dan Rodriguez Dez.
Jelek benar nasibnya, kata Liem Mo Han. Kalau mereka membuka matanya, mereka sudah berhadapan dengan pengadilan kapal. Enam kali aku sudah pernah lihat. Tangan mereka terikat ke belakang. Seorang imam kapal akan membacakan sesuatu sambil berjalan mengikuti mereka menuju ke tiang gantungan, tiang layar utama. Di sana mereka akan tergeong-geong mati. Mayatnya dibuang ke laut untuk hiu.
Hanya Sang Adipati saja tidak percaya Syahbandarnya hanya orangnya Peranggi, kata Wiranggaleng.
Sang Adipati mengerti benar, Wira. Dia tidak kurang cerdiknya daripada siapa pun. Sampai jauh-jauh di barat sana orang mengakui kecerdikannya. Ia berusaha untuk tidak akan menggunakan kekerasan dalam mencapai semua maksudnya. Ada itu tercatat dalam buku besar kami. Juga sekarang ini, Wira. Ia tahu apa yang ia kehendaki. Selama Syahbandar itu masih bisa dipergunakannya untuk keselamatan dirinya dan Tuban, dia akan tetap dilindungi dan mendapatkan hak-haknya.
Dan nampaknya Peranggi akan mencoba membikin pangkalan di Jawa.
Dia akan teruskan bikin pangkalan-pangkalan yang bisa mengepung Maluku dari semua jurusan. Mereka punya kepentingan untuk memutuskan hubungan antara Jawa dengan Maluku. Lihat, Wira, bedanya dengan kami bangsa Tionghoa. Perjanjian antara Ceng He dan Sang Adipati menyebutkan, kami tidak akan memasuki wilayah Maluku. Kami tak pernah melanggar perjanjian itu. Peranggi lain lagi, Wira. Maka itu Gusti Kanjeng Adipati Unus seluruhnya benar, musuh pertama adalah Peranggi, mereka harus dihalau dari perairan Nusantara.
Wiranggaleng mendengarkan dengan diam-diam. Pengetahuan semacam itu takkan dapat diperolehnya dari para punggawa, hanya bisa dari orang asing dan para nakhoda.
Perahu dayung besar itu semakin lama semakin hilang ke dalam kegelapan malam bermendung. Hilang pula ombak dan puncak-puncak-nya. Hanya lampu kapal di kejauhan sana masih kelihatan samar. Dan waktu hujan turun lagi dengan lebatnya, nyalanya pun hilang-lenyap seakan keluar dari ruang kehidupan.
Esteban terbangun dan mencoba duduk. Selalu ia gagal dan roboh kembali. Ia mulai mengingat-ingat. Tapi pikirannya beku. Ia berusaha keras untuk mengenangkan peristiwa terakhir sebelum tertidur. Tak mampu. Ia berusaha lagi untuk duduk. Kemudian dirasainya tangan dan kakinya terikat erat-erat. Ia menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Tapi ingatannya menolak disuruhnya bekerja.
Dirasainya punggungnya memar dan kepalanya berdenyut-denyut berat. Dunia di hadapannya seperti diliputi awan tipis. Ia tajamkan pengelihatannya. Juga tak berhasil. Kemudian ia tutup kembali matanya dan menopangkan kepala di atas lutut.
Sebuah bundaran cahaya dan beku mulai tertangkap oleh pengelihatannya, samar dan tidak meyakinkan. Bundaran cahaya itu makin lama makin terang, makin terang. Dan diketahuinya itu tak lain daripada sebuah patrisporta kapal. Patrisporta kapal! Kapal apa" Di mana" Dan mengapa sampai bisa datang ke mari" Sekarang ingatannya mulai berjalan tanpa diperintahnya. Kapal! Di kapal! Ia tebarkan pandang ke sekelilingnya. Kapal apa" Kapal Siapa" Pandangnya yang samar itu tertumpuk pada ambin kayu di sampingnya. Ambin kayu, ia mengingat-ingat. Ia hendak merabainya, apakah itu ambin kayu benar. Dan tangannya berat diangkat, tali pengikat itu semakin memperberat. Di sebelah sana berdiri sebuah meja. Dan daun meja itu tergantung dengan dua helai rantai besi pada dinding.
Kemudian ia menyedari adanya Rodriguez yang tidur miring tak jauh dari sebelahnya. Juga tangan dan kakinya terikat tali. Kedua belah lengannya terbuka mendepai udara. Kepalanya miring dan air liur menetes dari sudut mulurnya. Dengan sendirinya Esteban menyeka sudut mulut sendiri dengan bahu.
Teringat sedang ada di dalam kapal, sekali lagi ia terkejut. Mulai ia berpikir keras: di kapal! Tentu kapal Portugis!
Maut, bisiknya, dan dibangunkannya temannya. Aha! seseorang berseru dari belakangnya.
Kontan ia berpaling ke belakang. Pada daun pintu yang terkirai seorang perwira sedang mengintipnya.
Esteban mencoba berdiri untuk menghormat. Ia jatuh terduduk kembali dan pemandangannya berputar. Dari mulurnya keluar ucapan selamat, pelan dan ragu-ragu ia tidak tahu waktu.
Puas berpetualang, he" ejek perwira itu. Ia tak tahu bagaimana harus menjawab.
Akhirnya pulang kembali ke geladak lama juga" Jantung Esteban mulai berdebaran kencang. Ia mencoba untuk berdiri lagi. Tapi perwira itu telah hilang. Pintu tertutup kembali. Kesadarannya mulai pulih. Ia berusaha membangunkan temannya.
Rodriguez hanya menggeliat malas, kemudian meneruskan tidurnya sambil menyeka mulut.
Bangun, bangun kau, ia goyang-goyangkan temannya dengan tangannya yang terikat. Melihat Rodriguez tak juga bangun ia membisikkan pada telinganya, Bangun kau, anjing, kita sudah terkunci dalam kamar kapal. Di dalam kamar perwira! Bangun, anjing!
Ia sorong-sorong temannya. Rodriguez menggeliat lagi kemudian mencoba membuka tapuk matanya yang berat. Dan mata itu tertutup kembali.
Anjing terkutuk! makinya, menikmati tidur, tak tahu kau, sebentar lagi kau akan tidur untuk selama-lamanya. Melihat temannya tak juga mau bangun ia pergunakan sikut untuk menyakitinya.
Rodriguez bangun dengan malasnya. Dan ia mengulangi pengalaman Esteban. Ia buka matanya dengan tapuk berat. Memang kita masih mabuk, kata Esteban. Sebentar lagi kau tahu sendiri apa sedang menunggu kita.
Rodriguez telah menutup matanya kembali. Dengan dua tinjunya yang terikat Esteban memukul pipinya, dan temannya jatuh di geladak sambil menggeram. Esteban menggunakan sikutnya lagi dan Rodriguez bangun menyentak. Dari bawah tapuk matanya yang berat bola matanya mengintip.
Hhhh" tanyanya. Sekarang ini bangun kau! Sebentar lagi kau dapat cukup waktu untuk tidur.
Dan ia usahakan agar temannya menjadi sadar untuk dapat menyertainya dalam ketakutan. Ia tahu tidak menghadapi orang Moro atau Pribumi, tapi bangsanya sendiri.
Dengan sikutan dan tonjokan Rodriguez menjadi sadar. Sadar juga ia akan tali yang mengikat kaki dan tangannya. Ia siap hendak memaki.
Sttt, cegah Esteban. Jangan gaduh. Kita sedang di kapal Portugis.
Kesedaran membikin Rodriguez terkejut, kemudian pucat. Pintu terbuka lagi dan perwira yang tadi masuk ke dalam membawa sebilah tongkat: Anak maut! katanya menggigit pahit. Ia pandangi Rodriguez yang berjuang hendak berdiri menghormatinya. Ia melangkah padanya dan menendang dengan sepatunya pada lambungnya. Rodriguez berpilin, meliuk kesakitan dan jatuh.
Habis suka datang duka, he" Akhirnya di geladak yang lama juga. Apa sudah lupa memberi hormat"
Sekali lagi Rodriguez berjuang untuk dapat bangun. Esteban tinggal duduk di tempat.
Bagaimana" Sudah siap menghormat, kalian, anak-anak maut terkutuk" Rodriguez berdiri dan Esteban berdiri pula dengan berpegangan pada dinding.
Perwira itu nampaknya asyik dan senang melihat mereka berdua. Ia menahan tawanya sehingga darah menjompak pada mukanya.
Kalau semua pemuda Portugis semacam kalian ini, apa jadinya dengan Sri Baginda, Sri Ratu dan negeri kalian"
Bagaimana dengan tugas suci kalian" Ha" Memang hanya tali gantungan yang terbaik. Ya, menghormat!
Mereka berdua memberi hormat. Tapi perwira itu tidak membalas, mengawasi mereka dari ujung rambut sampai ke tumit: Mana sepatu kalian"
Sudah lama hancur, Tuan, jawab Esteban. Pakaian apa kalian kenakan itu" Merampas kepunyaan kafir perbegu"
Tak ada yang menjawab. Perwira itu maju ke hadapan mereka dan meninju muka Esteban. Ia menggelepar jatuh miring di geladak.
Bangun! perintahnya. Sebelum ia dapat bangun, Rodriguez mendapat giliran. Ia jatuh tertelentang dan menjerit kesakitan menindih tangan sendiri.
Apa kataku" Bangun! Dengan susah-payah mereka berusaha bangun dalam pengawasan kejam perwira itu.
Sekawanan burung gereja yang malang. Sudah siap maju ke pengadilan kapal" Mengapa diam saja" Sudah tak punya lidah" Sudah kau gadaikan lidah itu pada kafir perbegu" Sambar geledek, kalian. Heh baru dengar, dengar saja, pengadilan kapal, sudah seperti tikus jatuh ke dalam kuah. Jawab.
Siap menghadap ke pengadilan kapal, Tuan. Bagus. Begitulah pemuda Portugis menghadapi mautnya. Perwira itu menarik sebuah kursi, menarik buku dari laci meja dan mulai memeriksa petualangan mereka. Pemeriksaan dan pencatatan itu berlangsung lebih dari tiga jam. Kemudian: Jadi kalian sudah banyak tahu tentang daerah pesisir Jawa utara. Coba pikir, sekiranya kalian dulu dengan perintah, ia tertawa mengejek, Sri Baginda dan Sri Ratu pasti akan berkenan menerima kalian. Musik istana akan menyambut kalian. Kebangsawanan kalian, sekiranya ada darah biru pada kalian, akan dipulihkan. Kalau tidak boleh jadi kalian akan mendapatnya. Siapa tahu mungkin diangkat jadi laksamana Barisan kehormatan berkuda akan mengelu-elukan kalian dan mengantarkan kalian dalam kereta jemputan dari istana. Apa sekarang" Aku pun muak melihat kalian. Mengapa gemetar" Belum lagi cukup merampok nasi Pribumi"
Mendengar nasi dua orang tangkapan itu sekilas teringat belum lagi makan selama ini, dan merasa lapar membelit di dalam usus. Tiba-tiba mereka merasa dirinya sangat lemah untuk dapat mempertahankan keseimbangannya. Jawab!
Dua hari satu malam kami belum lagi makan, jawab Esteban del Mar.
Kasihan hiu-hiu itu. Tentu kau terlalu kurus untuk mereka. Kasihan, bukan" melihat mereka tak juga menjawab, ia menggertak: Kasihan, bukan"
Ya, Tuan, kasihan sekali, jawab Rodriguez. Mengapa dengan sekali"
Karena mungkin mereka seminggu belum makan. Bagus. Jadi apa yang kau tunggu sekarang" teriaknya pada Rodriguez, kemudian mendadak menuding Esteban: Tiang gantungan, Tuan.
Bagus. Tiang gantungan. Indah, bukan, tiang itu" mendadak ia alihkan tudingan pada Rodriguez: Indah, Tuan.
Tanpa sekali" Kalau Tuan membutuhkan yang sekali . Tinju melayang dan untuk yang kesekian kalinya Rodriguez jatuh. Tapi perwira itu menyambarnya dengan pertanyaan: Tanpa sekali, tanyaku.
Tanpa sekali, Tuan, jawab Rodriguez sambil berdiri. Bagus. Tanpa sekali. Kau simpan dimana sekali itu sekarang" ia tunggu Rodriguez kukuh dalam tegaknya. Kau simpan di mana"
Rodriguez bingung untuk menjawabnya. Di mana" pekik perwira itu.
Sudah tertelan, Tuan. Tertelan" Jadi dalam perut" dan dipukulnya perut Rodriguez.
Dan sekali ini Rodriguez Dez tak bangun lagi. Ia pingsan.
Kau bagaimana, kau, bagaimana bagusnya tiang gantungan"
Seperti seorang penari, Tuan.
Penari" Coba terangkan mengapa seperti penari. Langsing, Tuan, cantik, cantik tanpa sekali, Tuan. Kalau lelaki dia gagah, Tuan.
Juga tanpa sekali, Tuan. Kira-kira tanpa, Tuan. Anak maut! Mengapa tanpa" Karena Tuan belum menghendakinya. Ia tertawa senang, berjalan mendekati pintu dan menjenguk keluar. Memanggil-manggil: Kelasi. He, kelasi! ia kembali ke tempatnya dan duduk.
Kelasi yang dipanggil masuk, memberi hormat dan berdiri di tempat.
Lepaskan tali pada kaki mereka, anak-anak maut ini biar berjalan sendiri ke tiang-gantungannya.
Kelasi itu mengeluarkan sebilah belati dan memutuskan. Rodriguez masih nyenyak dalam pingsannya.
Kelasi, kau tinggal di sini. Tunggu sampai yang satu itu bangun lagi, dan pada Esteban, mengerti kau" Dengan kaki sendiri berjalan ke tiang gantungan.
Indah, Tuan, dengan kaki sendiri berjalan ke tiang gantungan.
Dan kalau kau sudah mati, jadi iblis gentayangan, apakah kau akan membalas dendam padaku" Tidak, Tuan.
Mengapa tidak, kau, calon iblis"
Karena Tuan menjalankan tugas untuk Sri Baginda, Sri Ratu dan negeri Portugis.
Bagus. Kelasi! bangunkah orang itu. Tadi dia pingsan sekarang ia pura-pura.
Dan Rodriguez bangun terburu-buru.
Nah itulah tingkah pemuda Portugis yang tidak patut. Hei, kelasi. Coba lihat baik-baik pemuda-pemuda ganteng ini. Dan coba katakan padaku, bagaimana kalau mereka sebentar nanti mulai menaiki ancak gantungan. Lebih cepat dari sekarang, Tuan. Lantas"
Kakinya mungkin gemetar. Kalau terlalu amat sangat gemetarnya seseorang harus membantunya.
Cuma itu saja" Tentu saja tidak, Tuan. Masih ada, celananya sudah jadi basah dan busuk. Bibirnya tak berdarah dan sebentarsebentar menelan ludah, kerongkongannya kering.
Tahu betul kau, kelasi. Apakah kau sendiri pernah menggantung o-rang.
Pekerjaan tambahan, Tuan.
Pantas. Dengarkan itu, anak-anak maut! Teruskan, kelasi.
Beruntunglah yang lehernya lemah, Tuan. Kalau ancak dilepas, dia akan mudah patah dan sekaligus mati. Celakalah yang lehernya kuat.
Orang tak terbunuhi lagi kalau ancak jatuh" Ya, hanya bunyi sekali nafas tersekat, kadang diikuti bunyi kecil klik dari persambungan tulang leher yang patah. Setelah itu hanya lidah menjelir seperti anjing, Tuan, sebagai pertanda: saat itu .
Ya-ya, aku mengerti, saat itu dia jadi iblis. Mereka biasanya lupa mengucapkan terimakasih pada apa pun dan siapa pun. Kalau tali sudah mengalungi leher, dan kaki mulai meliuk, orang biasanya sudah pingsan, Tuan. Betapa takutnya orang pada maut.
Dan kau sendiri, kelasi, kapan kau berniat untuk digantung orang"
Selama bersetia pada Portugis, Tuan, Sri Baginda, Sri Ratu dan negeri Tuhan takkan membiarkan diri ini mati di tiang gantungan, dengan lidah menjelir seperti anjing kepanasan.
Bukan seperti, mereka memang anjing. Teruskan, kelasi!
Dengan ejekan, sumpahan dan makian orang, tentu dari juru gantung juga, Tuan, mereka menurunkannya dari tali sebagai bangkai sial, dan dengan sorak orang melemparkannya ke laut. Selanjutnya
Bagus. Pandangi sekali lagi anak-anak maut ini sebelum berjalan ke pengadilan. Tentu kau sudah tak kenal. Hampir lima tahun menghilang.
Empat tahun, Esteban membetulkan.
Nafsu hidupmu masih menyala, Esteban! tegur perwira itu. Apa yang masih kau harapkan dari sepenggal hidup ini"
Tiang gantungan yang indah itu, Tuan. Apakah kau juru gantung hari ini, kelasi" Boleh jadi, Tuan, belum ada perintah.
Bagus. Kau sudah memberikan cerita yang indah pada anak-anak maut ini. Bisakah kau bercerita setelah mereka nanti gentayangan sebagai iblis"
Kelasi itu membuat gerak salib dan perwira itu terdiam, kemudian: Cukup, pergi kau.
Kelasi itu memberi hormat dan pergi. Perwira itu mengawasinya sampai hilang di balik pintu.
Dengarkan, kalian: Sri Baginda dan Sri Ratu sungguh menyesal dengan masih adanya pemuda-pemuda Portugis yang berangkat ke tiang gantungan. Apa boleh buat, tanpa kepatuhan yang jadi sendi kebesaran Portugis dan Salib, negeri akan jatuh. Kalian tahu betul itu. Kalian telah dengarkan waktu kata-kata itu dibacakan dalam upacara kalian memasuki angkatan laut. Bukankah kalian meninggalkan negeri dan keluarga tak lain hanya dan hanya untuk kebesaran Portugis dan Salib"
Demikianlah pada mulanya, Tuan, sambar Rodriguez. Pada mulanya, ya. Dan pada akhirnya tali gantungan juga.
Rodriguez terdiam lagi, nampaknya menyesal telah menyambar. Esteban memperhatikan tangan perwira itu. Nampaknya pikirannya beku.
Jangan kalian kira Sri Baginda dan Sri Ratu tak punya pengampunan. Ada, ya, selama pengabdian padanya dan pada Salib tetap dijunjung tinggiKami sanggup mengabdi lebih baik! Rodriguez mendesis.
Diam, kau, calon iblis. Aku tak bertanya. Ya, Tuan.
Nah, apa maksudmu bermulut lancang itu" Mengabdi lebih baik, Tuan, lebih baik dan lebih, lebih baik.
Bukankah itu sudah terlambat"
Kami masih hidup, Tuan, sekarang Esteban memperkuat.
Airmuka perwira itu kelihatan kehilangan kekerasannya. Secuwil senyum manis mencerahi bibirnya. Matanya memancarkan cahaya ramah. Dan terdengar suaranya yang ramah pula, memikat dan menawarkan: Ya, tentu, lebih dan lebih baik lagi. Dan sudah aku pikir baik-baik, tentunya kalian masih sanggup melayani meriam setelah berpetualangan selama empat tahun belakangan ini. Belum lupa, kan"
Meriam itu rasanya masih hangat dalam genggaman, Tuan, sambar Rodriguez.
Dan mengapa temanmu membisu saja, Rodriguez" Lebih dari melayani meriam kami pun sanggup, Tuan. Nah, begitu pemuda Portugis, perwira itu tertawa, memperhatikan wajah dua orang tangkapan itu dan matanya berseri-seri mengejek.
Nafsu hidup kalian memang besar. Ia keluarkan sepucuk surat dari kantong. Kalian sudah pandai berbahasa Melayu dan Jawa. Bagus. Dan tentunya kalian kenal juga siapa itu Tholib Sungkar Az-Zubaid.
Tidak, Tuan, jawab Esteban del Mar mencoba meramahi perwira itu.
Dasar goblok. Mestinya kau Pribumi Jawa atau Malaka, bukan Portugis. Siapa yang menangkap kalian kalau bukan Tholib Sungkar Az-Zubaid" Syahbandar Malaka"
Bukan, Tuan, Sayid Habibullah Almasawa, Syahbandar Tuban, Esteban mendapatkan semangatnya pribadi. Serigala pun lebih cerdik daripada kalian. Ya, Tuan.
Dengarkan: Tholib Sungkar Az-Zubaid, bekas Syahbandar Malaka, apakah namanya Tholib Sungkar ataukah Sayid Mahmud ataukah Sayid Habibullah, telah meminta padaku untuk keselamatan nyawa kalian. Dengar"
Ya, Tuan, mereka menjawab berbareng.
Dia minta hendaknya kalian tidak diserahkan pada tali tiang gantungan. Nyawa kalian diperlukan olehnya. Daripada kalian jadi makanan hiu, pintanya, baiklah kalian diberi hidup sebagaimana dikehendaki olehnya. Kalian barangkali sekarang lebih mengerti: Tholib Sungkar itu penyelamat nyawa kalian. Tapi entahlah bagaimana kalian nanti menjawab di depan pengadilan kapal.
Kami akan menjawab sebaik-baiknya, demi Sri Baginda dan Sri Ratu, demi Portugis, demi Salib, Esteban mewakili.
Dan perwira itu tidak menggubris. Mari aku bawa kalian ke pengadilan.
Perwira itu berjalan keluar dari bilik kapal. Esteban dan Rodriguez mengikuti dengan kedua belah tangan terikat ke belakang.
Mereka melalui lorong yang dapat dikenal dalam setiap kapal Portugis. Pandang mata sepanjang jalan tidak menjadi pertimbangan mereka. Nyawa lebih penting daripada pandang orang.
Tetapi mereka tidak dibawa ke dek. Di sana biasanya pengadilan diadakan, disaksikan oleh awak kapal. Mereka terus juga mengikuti perwira itu menuruni tangga sampai ke dasar kapal, dan sampailah mereka di sebuah ruangan gelap. Perwira itu memerlukan membawa lentera gantung.
Mereka berdiri di tengah-tengah barang-barang rusak atau setengah rusak dan meriam-meriam dengan atau tanpa roda.
Pada mulanya, perwira itu memulai lagi, dua pucuk ini akan kukirimkan ke Pasuruan. Mendadak ia tertawa dengan muka tertengadah pada langit-langit. Kafir-kafir dungu itu mengira, dengan meriam orang bisa jadi segagah Portugis. Tidak jadi barang-barang ini kukirimkan ke Blambangan. Aku ada pikiran lain. Kalian berdua, Esteban dan Rodriguez, sanggupkah kalian melayani dua pucuk meriam ini"
Tapi ini barang rusak, Tuan, Rodriguez menyambar. Tinju itu menghantam mulut Rodriguez dan ia meliuk. Darah keluar dari mulutnya. Ia meludahkan darah dan gigi. Kami bisa betulkan, Tuan, Esteban memperbaiki. Betul. Itu jawaban gaya Portugis. Kalian bisa betulkan sendiri. Memang meriam rusak semua ini. Kalian justru harus berterimakasih dengan adanya barang-barang ini. Kalaulah tidak karena ini, tali gantungan yang akan kalian temui.
Ya, Tuan, Esteban menjawab sangat sopan. Kami pun bersedia dan rela dikirimkan ke Blambangan. Ke mana dikirimkan, aku yang menentukan. Ya, Tuan, Esteban menjawab lebih sangat sopan lagi. Kalau ada kesediaan dan kesetiaan melayani senjata ini . Pikir cepat, jangan gegabah. Kalian terikat, hidup atau mati pada senjata ini.
Dan Esteban dan Rodriguez justru tak dapat berpikir. Bagaimana"
Kami berdua ada kesediaan dan kesetiaan itu, Tuan, jawab Esteban.
Betul" Sudah dipikirkan dengan baik dan cepat sebagai pemuda Portugis"
Betul, Tuan. Perwira itu tertawa melecehkan. Kemudian: Memang, tali lebih berat daripada meriam. Hanya sekali ini kesempatan diberikan, kesempatan hidup, kesempatan memperbaiki diri. Tidak benar" Tali gantungan juga yang kalian parani.
Ke mana pun kami dikirimkan, kami akan setia padanya sampai mati, Esteban hampir-hampir mengulangi sumpahnya sebagai kanonir.
Perwira itu memberi isyarat. Ia berjalan lebih dahulu dan dua orang tangkapan yang terikat itu mengikutinya dari belakang seperti dua ekor anjing. Di geladak itu memang tak ada persiapan pengadilan kapal juga tak nampak ada persiapan penggantungan. Sebaliknya ada serombongan orang bukan Portugis sedang berdiri menggerombol dan tersenyum-senyum memandangi mereka.
Ya! seru perwira itu pada mereka, kemudian dalam Melayu, bawa mereka turun!
Dengan bantuan beberapa orang Esteban dan Rodriguez diturunkan melalui tangga tali ke sebuah perahu dayung besar. Mereka masih tetap terikat dengan tangan ke belakang.
Hari telah malam dan mendung tebal mengapung di udara.
Lampu-lampu dari atas kapal membikin mereka dapat melihat, didalam perahu itu sudah menanti beberapa orang berpakaian Pribumi. Tetapi dari raut mukanya mereka nampaknya peranakan Arab atau Benggal. Di tengahtengah perahu besar itu berdiri dua buah meriam beroda dan peluru-peluru besi.
Dengan muatan ini bisa jadi perahu ini pecah dan tenggelam, pikir Esteban. Dan dengan tangan terikat begini maut masih belum dapat dihindari. Orang mulai mendayung. Perahu mulai bergerak, makin lama makin menjauhi kapal Portugis, menuju ke arah titik nyala nun jauh di seberang sana, kecil, hampir-hampir tak nampak. Para pendayung itu tak ada yang bicara.
Esteban mencoba menembusi kegelapan dengan matanya yang sudah kehilangan keawasannya karena lapar dan tegang selama ini. Namun ia masih dapat melihat beberapa biduk Portugis mengikuti dari belakang.
Mereka berdayung beriringan. Semua menuju ke titik nyala. Dan gerimis kecil mulai turun, membikin Esteban dan Rodriguez merasa kedinginan.
Makan! tiba-tiba Rodriguez meraung.
Seseorang menjejalkan sesuatu pada mulutnya dengan diam-diam. Dan Rodriguez tidak merasa terhina, juga tidak menyemburkan jejalan itu. Ia mulai mengunyah dengan giginya yang kurang dan menelannya dengan lahap.
Esteban duduk merenung-renung. Seseorang memasukkan penganan ke dalam mulutnya. Ia tembusi kegelapan untuk menangkap muka orang itu. Dan ia mengenalnya: Yakub, pewarung arak dan tuak. Ia merasa agak lega dan aman. Dan penganan itu pun tidak terasa jahat. Ia mengunyah dan menelannya.
Lagi! teriak Rodriguez dalam Melayu. Dan minum, bedebah! Ia mendapatkan apa yang dipintanya dan terdiam.
Juga Esteban mendapat tambahan dan minum sampai kenyang dan merasa tenaganya agak pulih. Terutama karena minum manis itu.
Lepaskan tali ini, raung Rodriguez memerintah. Ayoh, bedebah! Lepaskan!
Ia lihat Yakub berdiri, mendekati Rodriguez dan meninju mulutnya. Tak ada yang melihat giginya rontok lagi atau tidak. Ia tak membuka mulut lagi. Iring-iringan biduk dan perahu dayung itu meluncur terus ke arah titik nyala di kejauhan, menerobosi kegelapan malam dan hujan gerimis. Waktu kilat mengerjap, nampak pantai masih sangat jauh, dan sebuah kapal pengawal pantai sedang menuju ke arah barat.
Moga-moga kapal kafir itu tak melihat kita, doa Yakub.
Mereka akan menduga kita nelayan.
Dan mereka semua menunggu mengerjapnya kilat lagi. Mereka akan balik kanan jalan kembali ke kapal Portugis bila diburu. Tetapi kapal peronda itu tidak melepaskan eetbang, Semua menunggu-nunggu. Dayung berhenti bergerak, dan perahu dan biduk terayun-ayun di atas laut tanpa bergerak maju.
Waktu kilat berkejap lagi bentuk kapal peronda itu semakin kecil dengan layarnya menggelembung penuh. Yakub memberi perintah untuk maju lagi, dan majulah semua iring-iringan, tetapi ke arah cahaya yang timbultenggelam di kepala ombak. Lurus ke barat daya.
Iring-iringan itu memasuki hutan bakau-bakau yang agak rapat. Para penumpang dan pendayung turun dan mendorong perahu besar yang kaku dan berat itu. Di belakang mereka orang-orang Portugis memaki-maki dalam bahasanya sendiri.
Seseorang menyalakan obor dan menebangi ranting dan batang yang menghalangi.
Pantai itu sendiri terletak pada suatu ketinggian. Sebuah api unggun yang gelisah menebarkan sinar ke laut lepas, tetapi hutan bakau-bakau itu tak tertembusi olehnya. Mereka berjuang untuk dapat mencapai ketinggian itu. Nyamuk mendengung dan menyerang setiap titik kulit yang terbuka.
Hanya Esteban dan Rodriguez tinggal di atas perahu itu. Dan tak ada seorang pun yang menggugat mereka. Nyamuk makin berdatangan, seperti awan tipis menandingi asap yang keluar dari obor. Dan orang-orang Portugis itu tak juga berhenti menyumpah-nyumpah.
Menjelang pagi baru mereka dapat mencapai pantai. Para penunggu api sedang berhangat-hangat dan mengobrol ramai. Mendengar kecibak air mereka bangkit berbareng, mencoba menembusi kegelapan dan bertanya: Yakub"
Ya, Yakub di sini, ia menjenguk ke perahu dan memerintahkan Esteban dan Rodriguez turun.
Orang mulai sibuk menurunkan meriam dan peluru. Juga orang-orang Portugis yang beberapa belas itu menurunkan barang-barang dari biduknya masing-masing: peluru, onderdil meriam dan perlengkapan sendiri.
Esteban dan Rodriguez menghindarkan mukanya dari sebangsanya sendiri. Dan mereka pun tak berniat untuk menegur. Langsung mereka mendekati api unggun, duduk, kemudian merebahkan diri di rumputan yang kering. Dan mereka tak juga dilepaskan dari tali pengikatnya.
Tak ada orang mengganggu mereka merebahkan diri. Mereka sudah sangat mengantuk, lapar dan haus. Dalam keadaan pura-pura tidur mereka melihat orang-orang sebangsanya mendirikan kemahan, membangunkan sendiri api unggun, menghangati makanan kemudian makan, tanpa datang pada mereka berdua untuk menawari sesuatu.
Untuk pertama kali dalam hidupnya Esteban merasa disisihkan dari bangsanya sendiri. Bahkan makanan sebangsa sendiri, yang selama ini tak pernah dimakannya, juga tersingkirkan daripadanya. Ia merasa nelangsa. Dan ia tak tahu pula hendak diapakan dirinya dibawa ke hutan di tepi laut ini, tetap terikat dan dijaga oleh sebangsa sendiri.
Setidak-tidaknya, bisik Rodriguez, sampai detik ini kita masih hidup. Sambar gledek mereka.
Esteban menutup matanya dengan melindungkan mukanya pada rumputan. Seperti Rodriguez ia pun tidur tengkurap dengan kedua belah tangan di atas. Dan waktu tungau menyerang kemaluan mereka, mereka menyumpahnyumpah, lupa akan keadaan.
Sebangsanya hanya melihatkan mereka bingung tak dapat menggunakan tangan untuk menggaruk. Dalam serangan gatal-panas paha mereka dikerahkan. Sia-sia. Mereka gigit pundak, tapi tak sampai. Mereka melompatlompat. Tapi tungau-tungau celaka itu semakin masuk ke dalam kulit.
Tolong, Tuan Yakub, pinta Esteban, ada binatang masuk ke celana.
Tidak mati kau karena binatang celaka itu. Dia sendiri yang bakal mati. Tidur.
Rodriguez menyumpah. Ia tak berani menatap pada Yakub yang menyala-nyala marah.
Dua orang Portugis dengan musket meronda ke keliling. Waktu berada di dekat mereka minta tolong. Dan mereka jalan terus tanpa menggubris.
Anak buah Yakub seorang demi seorang jatuh tertidur. Juga orang-orang Portugis.
Yang tinggal jaga hanya Rodriguez dan Esteban, deru angin, dan deburan ombak, dan nyala api.
Bahkan dua pucuk meriam itu pun nampak tertidur.
Berlanjut ke jilid 17.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar