Jumat, 18 November 2022

BUMI MANUSIA KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER #3/27


Kecerahannya hilang:
"Tak perlu kau ketahui. Untuk apa " Sedang aku sendiri tak ada keinginan untuk tahu. Mama pun tidak ingin tahu."
"Mengapa tanyaku. "Suka kau mendengarkan musik ?" "Tidak sekarang."
Dan begitulah percakapan berlarut sampai makan siang dihidangkan. Robert Mellema, Robert Suurhof, Annelies dan aku duduk mengepung meja. Seorang pelayan muda, wanita, berdiri di dekat pintu, menunggu perintah. Suurhof duduk di samping temannya dan antara sebentar mencuri pandang padaku dan pada Annelies. Mama duduk pada kepala meja.
Hidangan itu berlebih-lebihan. Yang pokok adalah sapi muda, makanan yang baru untuk pertama kali kucicip dalam hidupku.
Annelies duduk di sampingku dan melayani aku dalam segala hal, seakan aku seorang tuan Eropa atau seorang Indo yang sangat terhormat. Nyai makan tenang-tenang seperti wanita Eropa tulen lulusan boarding school Inggris.
Kuperhatikan sungguh-sungguh letak sendok dan garpu, penggunaan sendok sup dan pisau-pisau, garpu daging, juga service untuk enam orang itu. Semua tiada celanya. Pisau baja putih itu pun nampak tak terasah pada batu, tapi pada asahan roda baja, sehingga tak barut-barut. Bahkan juga letak serbet dan kobokan, serta letak gelas dalam lapisan pembungkus perak tidak  ada cacadnya. Robert Suurhof makan dengan lahap seakan belum makan dalam tiga hari belakangan ini. Aku ragu sekali pun lapar. Annelies hampir-hampir tak makan, hanya karena memperhatikan dan melayani aku yang seorang diri. Waktu Nyai berhenti makan aku pun berhenti, apalagi Annelies. Robert Suurhof meneruskan makannya dan nampak tak begitu mengindahkan Nyai. Dan sampai sebegitu jauh belum juga aku dengar wanita itu bicara pada anak-lelakinya. "Minke," panggil Nyai, "benarkah orang sudah mulai bisa bikin es " Es yang benarbenar dingin seperti dalam buku-buku itu " seperti yang membeku di musimsalju di Eropa ?"
"Betul, Mama, setidak-tidaknya menurut suratkabar." Suurhof menelan sambil mendelik padaku. "Aku hanya mau tahu apa berita koran itu benar."
"Nampaknya semua akan bisa dibikin oleh manusia. Mama," jawabku, tapi dalam hati aku heran ada orang bisa meragukan berita koran.
"Semua " Tidak mungkin," bantahnya.
Percakapan berhenti seperti di-rem. Robert Mellema mengajak temannya pergi.
Mereka berdiri dan pergi tanpa memberi hormat pada wanita Pribumi itu. "Maafkan temanku itu, Mama."
Ia tersenyum, mengangguk padaku, berdiri kemudian juga pergi. Pelayan membereskan meja.
"Mama meneruskan pekerjaannya di kantor," Annelies menerangkan, "sehabis makan siang begini aku pun harus bekerja di belakang."
"Apa kau kerjakan ?"
"Mari ikut." "Bagaimana temanku nanti ?"
"Tak perlu kaurisaukan. Abangku pasti akan mengajaknya pergi. Sehabis makansiang biasa ia pergi berburu burung atau tupai dengan senapan-angin."
"Mengapa mesti sehabis makan siang ?"
"Burung-burung dan tupai juga sudah kenyang dan mengantuk, tidak gesit. Ayoh, mari ikut, setidak-tidaknya kalau kau tak ada keberatan."
Seperti seorang bocah membuntuti ibunya aku beijalan di belakangnya. Dan sekiranya .ia tak cantik dan menarik, mana mungkin yang demikian bisa terjadi " Ai, philogynik!
Melalui pintu belakang kami memasuki ruangan berisikan tong-tong kayu bergelanggelang besi. Pada sebuah ysfng terbesar terdapat pesawat pengaduk di atasnya. Bau susu sapi memenuhi ruangan. Orang bekerja tanpa mengeluarkan suara, seperti bisu. Antara sebentar mereka menyeka badan dengan sepotong kain. Masing-masing mengenakan kain pengikat rambut berwarna putih. Semua pun berbaju putih dengan lengan tergulung sepuluh sentimeter di bawah sikut Tidak semua lelaki. Sebagian perempuan. Nampak dari kain batik di bawah baju putihnya. Perempuan bekerja pada perusahaan! Mengenakan baju blacu pula: Perempuan kampung berbaju! Dan tidak didapur rumahtangga sendiri Apakah mereka berkemben juga di balik baju blacunya itu"Aka perhatikan mereka seorang demi seorang Mereka hanya sekilas memperhatikan aku.
Annelies mendekati mereka seorang demi seorang, dan mereka memberikan tabik, tanpa bicara, hanya dengan isyarat. Itulah untuk pertama kali kuketahui, gadis cantik kekanak-kanakaa ini ternyata seorang pengawas yang harus diindahkan oleh para pekerja! lelaki dan perempuan.
Aku sendiri masih termangu melihat perempuan meninggali kan dapur rumahtangga sendiri, berbaju-kerja. mencari penghi: dupan pada perusahaan orang, bercampur dengan pria! Apa ini juga tanda jaman modern di Hindia ". "Kau heran melihat perempuan bekerja ?"
Aku mengangguk. Ia menatap aku seakan hendak membaca keherananku. "Bagus kan " semua berbaju putih " Semua " Itu hanya mengikuti kebiasaan di Nederland sana. Hanya di sini cukup dengan blacu, bukan lena. Aturan pemerintah kota di sana."
Ia tarik tanganku dan diajaknya keluar ke sebuah lapangan terbuka, tempat penjemuran hasilbumi. Beberapa orang bekerja membalik kedelai, jagung pipilan, kacang hijau dan kacang tanah. Begitu kami datang, semua berhenti bekerja dan memberi tabik dengan anggukan dan tangan sebelah dinaikan ke atas. Semua bercaping bambu.
Annelies bertepuk-tepuk dan memperlihatkan dua jari pada siapa aku tak tahu. Sebentar kemudian datang seorang bocah pekerja membawakan dua buah topi bambu. Sebuah ia kenakan pada kepalaku, sebuah dikenakannya sendiri. Dan kami berjalan terus beberapa ratus meter ke belakang melalui jalanan yang dilapisi krikil kali.
"Sekarang sedang ada pesta besar," kataku. "Mengapa mereka tak diberi libur ?" "Mereka boleh berlibur kalau suka. Mama dan aku tak pernah berlibur. Mereka pekerja harian."
Di jalanan depan kami, agak jauh, nampak dua orang Robert, masing-masing menyandang bedil pada bahu.
"Apa pekerjaanmu sesungguhnya ?"
"Semua, kecuali pekerjaan kantor. Mama sendiri yang lakukan itu Jadi Nyai Ontosoroh melakukan pekerjaan kantor. Pekerjaan kantor macam apa yang dia bisa "
"Semua ma tanyaku mencoba-coba.
"Semua, Buku. dagang, surat-menyurat, bank... "
Aku berhenti melangkah. Annelies juga Aku tatap dia dengan pandang tak percaya. Ia tarik tanganku dan kami berjalan lagi sampai pada deretan kandang sapi. Dari kejauhan bau kotorannya telah tercium olehku. Hanya karena seorang gadis cantik membawaku aku tak lari menghindar, malah ikut masuk ke dalam kandang. Baru sekali im seumur hidup. Sungguh.
Deretan kandang itu sangat panjang. Di dalamnya orang-orang sedang sibuk mengurus umpan dan minum sapi perahan. Bau kotoran dan rumput layu menyesakkan nafas. Aku tak tahan rangsangan untuk muntah. "Sering dokter hewan datang kemari ?", aku bertanya.
"Kalau dipanggil. Setahun yang lalu hampir saban hari. Tuan Domschoor itu. Mama tetap tak mau katakan ramuan yang dibikin oleh perempuan penjual jamu. obat pelawan mastitis."
"Apa mastitis itu " 
Ia tak menjawab. Dengan menjinjing tepi gaun-satinnya Annelies menghampiri beberapa ekor sapi dan menepuk-nepuk pada jidat di antara dua tanduk, bicara berbisik pada mereka, bahkan juga tertawa-tawa. Aku perhatikan dia dari suatu jarak. Ia begitu lincah, memasuki kandang dan beramahan dengan sapi, bergaun satin seperti itu!
Juga di sini terdapat pekerja-pekerja wanita. Hanya tidak berbaju kerja. Orang-orang memberikan tabik dengan membungkuk dan mengangkat tangan pada kami berdua. Dan aku sendiri mundur-mundur mendekati pintu, mendekati udara segar. Ia menengok ke belakang padaku dan dengan isyarat menyuruh aku mendekat. Aku pura-pura tak mengerti. Sebaliknya aku mulai memperhatikan para pekerja yang nampak terheran-heran melihat kehadiranku. Mereka menyapu, menyiram lantai kandang, menggosok dengan sapu yang sangat panjang tangkainya. Semua wanita. Annelies berjalan sepanjang para-para, dan aku berjalan sejajar dengannya. Ia berhenti. Kulihat ia bicara dengan seorang pekerja. Dara itu antara sebentar menggeleng sambil mencari aku dengan matanya. Mungkin mereka berdua sedang membicarakan diriku yang seorang ini.
Seorang gadis pekerja berjalan miring-miring di depanku membawa dua ember kosong dari seng. Wajahnya manis dan menarik. Sebagai yang lain-lain ia berkemban dan berkain, telanjang kaki, basah, kotor, dengan jari-jari kaki menerompet keluar. Buah dadanya padat dan menyolok dan dengan sendirinya menarik perhatian. Ia menunduk, melirik padaku dari bawah kening dan tersenyum mengundang. "Tabik, Sinyo!" tegurnya bebas, lunak dan memikat.
Tak pernah aku temui wanita Pribumi sebebas itu, memberi tabik pada seorang pria yang belum pernah dikenalnya. Ia berhenti di hadapanku, bertanya dalam Melayu: "Kontrol, Nyo
"Ya," kataku. "Yu, Yii Mine m," tiba-tiba Annelies sudah ada di belakangku. "Sudah berapa ember perahanmu sehari ?" sekarang ini menggunakan Jawa.
"Tetap saja, Non," jawab Minem dalam Jawa kromo. "Mana bisa jadi mandor-perah kalau begitu ?" "Kalau Non sudi kan bisa saja ?"
"Kalau hasil perahanmu tidak lebih banyak dari yang lain-lain kau takkan bisa memberi contoh kerja yang baik. Tak mungkin bisa jadi mandor, Yu." "Tapi kami tak punya mandor," bantah Minem.
"Kain aku mandor kalian ?"
Annelies menarik tanganku dan kami berjalan terus sepanjang kepala-kepala sapi.
"Kau memandori mereka ?" tanyaku.
"Perahanku sendiri tetap lebih banyak," jawabnya. "Nampaknya kau tak suka pada sapi. Mari ke kandang kuda kalau kau suka; atau ke ladang."
Tak pernah aku pergi ke ladang. Apa yang menarik pada ladang " Namun aku ikuti juga dia.
"Atau kau lebih suka naik kuda ?" "Naik kuda ?" seruku. "Kau naik kuda ?"
Gadu kekanak-kanakan yang belum pernah menamatkan sekolah dasar ini tiba-tiba muncul di hadapanku sebagai gadis luarbiasa: bukan hanya dapat mengatur pekerjaan begitu banyak, juga seorang penunggang kuda, dapat memerah banyak dari pada semua pemerah.
"Tentu. Bagaimana bisa mengawasi panen seluas itu kalau tidak berkuda ?" Kami memasuki ladang yang habis dipanen. Kacangtanah. Dimana-mana tampak panenan tergelar di atas tanah dan tumpukan-tumpukan rendeng yang telah siap diangkut untuk makanan ternak.
Nampaknya ia dapat membaca pikiranku: peduli apa dua atau lima ton setiap hektar " Terdengar suaranya:
"Kau tak punya perhatian pada ladang. Mari berpacu kuda. Setuju ?" Sebelum aku menjawab ia telah tarik tanganku. Diseretnya aku sambil lari. Kudengar nafasnya sampai terengah-engah. Dibawanya aku masuk ke sebuah bangsal lebar dan besar, yang ternyata kandang kereta, andong, grobak, bendi. Pada dinding-dinding bergelantungan abah-abah dengan sanggurdi aneka macam. Sebagian besar ruangan kosong.
Melihat aku terheran-heran menyaksikan kandang kereta seluas gedung kebupatian ia tertawa, kemudian menuding pada sebuah bendi yang dihiasi dengan serba kuningan mengkilat dan berlampu karbid.
"Pernah melihat bendi sebagus itu ?"
Tak pernah aku memperhatikan kebagusan pada bendi. Kepunyaan siapa pun. Sekarang, karena tunjukannya, tiba-tiba aku melihat kebagusannya. Mungkin karena sarannya, mungkin juga karena memang bagus.
"Belum, belum pernah," jawabku sambil mendekati kendaraan itu. Annelies menarik aku lagi. Kami memasuki kandang kuda yang lebar dan panjang. Hanya ada tiga ekor di dalamnya. Sekarang bau kuda yang memadati ruangan itu menubruk penciumanku. Ia hampiri seekor yang berwarna kelabu. Dirangkulnya leher binatang itu dan membisikkan sesuatu pada kupingnya.
Binatang itu meringkik lemah seperti tertawa menanggapi. Kemudian ia meringis memperlihatkan giginya yang perkasa waktu moncongnya ditepuk.
Annelies tertawa riang. Suaranya berderai.
"Tidak ,Bawuk," katanya dalam Belanda pada si peringkik. "Sore ini kita takkan berjalan-jalan." Kemudian dengan suara mengesankan setelah berbisik sambil memeluk leher Bawuk ia melirik padaku, "Sedang ada tamu. Itu orangnya. Minke namanya.
Nama samar an, kan " Tentu saja. Dia Islam, Bawuk, Islam. Tapi namanya' bukan Jawa, juga bukan Islam, juga bukan Kristen kiraku. Nama samaran . Kau percaya namanya Minke ?"
Gadis itu membelai bulu suri Bawuk, dan kembali binatang itu meringkik menanggapi.
"Nah." katanya, sekarang padaku, dia bilang namamu memang samaran." . ' Mereka nampaknya memang sedang membikin persekongkolan. Aku sasaran. Dan dua ekor yang lain ikut meringkik memandangi aku dengan mata besar tak berkedip. Mendakwa.
"Mari keluar dari sini," kataku mengajak.
"Sebentar," jawabnya. Ia datangi dua ekor yang lain, membelai punggung mereka masing-masing, baru kemudian berkata padaku lagi, "Ayoh."
"Kau berbau kuda," tuduhku.
Ia hanya tertawa. "Nampaknya kau tak merasa terganggu."
"Tidak apa," jawabnya ketus, "sudah terbiasa sejak dia masih kecil. Mama akan marah kalau aku tak menyayanginya. Kau harus berterimakasih pada segala yang memberimu kehidupan, kata Mama, sekali pun dia hanya seekor kuda." Tak kuteruskan gangguanku tentang bau kuda itu.
"Mengapa kau tak percaya namaku Minke ?"
Matanya bersinar tak percaya, menuduh, mendakwa, menuding. Dan aku terpaksa membela diri.....
Memang bukan mauku atau dinamai Minke. Aku sendiri tak kurang-kurang heran. Ceritanya memang agak berbelit, dimulai kala aku memasuki E.L.S. tanpa mengetahui Belanda se-patah pun. Meneer Ben Rooseboom, guruku yang pertamatama, sangat jengkel padaku. Tak pernah aku dapat menjawab pertanyannya kecuali dengan tangis dan lolong. Namun setiap hari seorang opas mengantarkan aku ke sekolah terbenci itu juga.
Dua tahun aku harus tinggal di kias satu. Meneer Rooseboom tetap jengkel padaku dan padanya aku takut bukan buatan. Pada tahun pengajaran baru aku sudah agak bisa menangkap Belanda. Teman-temanku sudah pada pindah ke kias dua. Aku tetap di kias satu, ditempatkan di antara dua orang gadis Belanda, yang selalu usil mengganggu. Gadis Vera di sampingku mencubit pahaku sekuat dia dapat sebagai tanda perkenalan. Aku " Aku menjerit kesakitan.
Meneer Rooseboom melotot menakutkan, membentak: "Diam kau, monk...Minke!"
Sejak itu seluruh kias, yang baru mengenal aku, memanggil aku Minke, satu-satunya Pribumi. Kemudian juga guru-guruku. Juga teman-teman semua kias. Juga yang di luar sekolah.
Pernah aku tanyakan pada kakakku apa arti nama itu. Ia tak tahu. Bahkan ia menyuruh uku bertanya pada Meneer Rooseboom sendiri. Jelas aku tak berani. Kakekku bukan hanya tak tahu Belanda, menulis dan membaca tulisan Latin pun tak bisa. Ia hanya tahu Jawa, tulisan dan lisan, la malah setuju menerima julukan itu sebagai nama tetap: kehormatan dari seorang guru yang baik dan bijaksana. Maka hampir lenyaplah na-ma-asliku.
Sampai tamat E.L.S. aku masih tetap percaya nama itu mengandung sesuatu yang tidak menyenangkan. Waktu menyebutkannya untuk pertama kali mata guruku itu melotot seperti mata sapi. Alisnya terangkat seperti sedang mengambil ancangancang hendak melompat dari mukanya yang lebar. Dan penggaris di tangannya jatuh diatas meja. Sama sekali tak ada kasih-sayang. Kebaikan dan kebijaksanaan " Jauh.
Dalam kamus Belanda tak aku dapatkan kata itu.
Kemudian masuklah aku ke H.B.S, Surabaya. Juga guru-guruku tak tahu arti dan ethymologinya. Mereka pun merasa tak punya dasar untuk mengira-ngira dengan perasaannya. Malah mereka kembali bertanya kepadaku. Salah seorang di antara mereka yang tidak bisa menjawab malah memberi komentar: apalah arti nama, begitu kata pujangga Inggris itu____( Disebutnya sesuatu nama, dan untuk waktu lama aku tak dapat mengingatnya ).
Kemudian mulailah kami mendapat pelajaran Inggris. Enam bulan lamanya, dan aku temukan kesamaan bunyi dan huruf pada namaku. Aku mulai kenangkan kembali: mata melotot dan alis yang hendak copot dari muka yang lebar itu pasti menyatakan sesuatu yang buruk. Dan aku teringat pada Meneer Rooseboom yang agak ragu menyebutkan nama itu. Dengan kecut pikiranku menduga, dulu ia mungkin bermaksud memaki aku dengan kata monkey.
Dan tak pernah dugaanku yang kira-kira tepat itu aku ceritakan pada orang lain. Salah-salah aku bisa jadi bahan lelucon seumur hidup tak dibayar pula. Juga pada Annelies bagian ini tak pernah kuceritakan padanya.
"Nama Minke juga bagus," kata Annelies. "Mari pergi ke kampung-kampung. Di atas tanah kami ada empat buah kampung. Semua kepala keluarga penduduk bekerja pada kami."
Di sepanjang jalan orang-orang kampung menghormati kami. Mereka memanggil gadis itu Non atau Noni.
"Jadi berapa hektar saja tanahmu ini ?" tanyaku tak acuh. "Seratus delapan puluh."
Seratus delapan puluh! Tak dapat aku bayangkan sampai seberapa luas. Dan ia meneruskan:
"Sawah dan ladang. Hutan dan semak-semak belum termasuk.  Hutan! Dia punya hutan. Gila. Punya hutan! Untuk apa " "Hanya untuk sumber kayu bakar," ia menambahkan. "Rawa juga punya, barangkali " 
"Ya. Ada dua rawa kecil."
Rawa pun dia punya. "Bukit bagaimana ?" tanyaku. "Bukit ?" "Kau mengejek," ia cubit aku.
"Barangkali untuk diambil apinya kalau meletus." "liiih!" ia mencubit lagi.
"Apa yang menggerombol di sana itu ?" tanyaku menyeleweng. "Hanya rumpunan glagah. Kau tak pernah melihat-gJagah ?" "Mari ke sana," aku mengajak. %
"Tidak," jawabnya tegas dan bahunya diangkat. Kepalanya nampak bergidik. "Kau takut pada tempat itu, aku menuduh. Ia gandeng tanganku dan kurasai tangan itu dingin. Matanya tiba-tiba saja jadi gugup dan berusaha secepat mungkin melepaskan diri dari rumpunan glagah itu. Bibirnya pucat. Aku menoleh ke belakang, la tarik tanganku, berbisik gugup: "Jangan perhatikan. Ayoh. jalan cepat sedikit." Kami memasuki sebuah kampung, meninggalkannya dan memasuki yang lain. Di mana saja sama: bocah-bocah kecil telanjang bulat bermain-main. sebagian besar dengan ingus tergantung pada hidung. Ada juga di antaranya yang suka menjilati. Di tempat-tempat teduh wanita-wanita bunting tua sedang menjahit sambil menggendong anak terkecil atau dua-tiga wanita duduk berbaris mencari kutu kepala.
Beberapa orang perempuan menahan Annelies dan mengajaknya bicara, minta perhatian dan bantuan. Dan gadis luarbiasa ini seperti seorang ibu melayani mereka dengan ramah. Jangankan pada sesama manusia, pada kuda pun ia berkasih-sayang selama mereka semua .memberinya kehidupan. Ia nampak begitu agung di antara penduduk kampung, rakyatnya. Mungkin lebih agung daripada, dara yang pernah kuimpikan selama ini dan kini telah marak ke atas tahta, memerintah Hindia, Suriname, Antillen dan Nederland sendiri. Kulitnya pun mungkin lebih halus dan lebih cemerlang. Lebih bisa didekati.
Begitu terbebas dari rakyatnya kami berjalan lagi. Di sekitar kami alam luas terbentang dan langit cerah tiada awan. Panas sengangar. Pada waktu itulah kubisikkan padanya kata-kata ini:
"Pernah kau lihat gambar Sri Ratu "  "Tentu saja. Cantik bukan alang kepalang." "Ya. Kau tak salah."
"Mengapa ?"
"Kau lebih daripadanya."
Ia berhenti berjalan, hanya untuk menatap aku, dan: "Te-ri-ma-ka-sih, Minke," jawabnya tersipu.
Jalan itu semakin panas dan semakin sunyi. Aku lompati selokah hanya untuk mengetahui ia akan ikut melompat atau tidak. Ia angkat gaun-panjangnya tinggitinggi dan melompat. Aku tangkap tangannya, aku dekap dan kucium pada pipinya. Ia nampak terkejut, membeliak mengawasi aku.
"Kau!" tegurnya. Mukanya pucat.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar