Arus Balik.
Karya : Pramoedya Ananta Toer.
Bagian 23.
Idayu Jadi Sandera Bayi itu belum lagi bernama. Ayahnya belum lagi melihat dan menjenguknya. Ia pun belum lagi bisa menelungkup. Baru belajar miring.
Setelah melahirkannya Idayu merasa sangat berbahagia. Bayi ini tidak seperti Gelar. Wajahnya cerah seperti ayahnya dan hidungnya seperti ibunya.
Setiap han penduduk desa ada saja yang memerlukan datang untuk menjenguk dan untuk ikut merawat. Semua di antara mereka tahu belaka: ayah si bayi itulah sekarang Patih Senapati Tuban. Maka kebesaran pun sudah mulai dipersembahkan kepada sang bayi.
Tidak lain dari kepala desa itu juga yang paling gopohgopoh mengurus kesejahteraan dan kebutuhan si ibu dan anaknya. Dan semua itu disambut dengan kewaspadaan oleh Idayu.
Dan tidak lain dari kepala desa itu juga yang sering menebah di hadapan orang-orang lain, kalau bukanlah karena kebijaksanaannya mengirimkan Idayu dan Galeng ke kota, tak bakal mereka menaiki kemuliaan setinggi itu.
Kebahagiaan meliputi hati Idayu. Bayi itu adalah segalanya.
Dan datanglah satu regu prajurit, yang dengan sopannya memberitahukan: atas perintah Sang Patih Senapati Tuban, Idayu dan anaknya dan Nyi Gede Kati harus diboyong dari Awis Krambil ke Tuban Kota; anakbuah Sunan Rajeg telah bersebaran di mana-mana; mereka bertiga harus diselamatkan.
Di bawah kesaksian seluruh desa dan orang tuanya mereka berangkat meninggalkan Awis Krambil: Idayu dengan menggendong si bayi, Nyi Gede Kati yang membawa popok bayi dan menggandeng Gelar. Barangbarang lain diangkat oleh prajurit-prajurit. Mereka berjalan pelan-pelan.
Baik Idayu maupun Nyi Gede Kati merasa was-was terhadap panggilan ini. Semestinya Sang Patih Senapati Tuban mengirim tandu untuk seorang wanita yang baru melahirkan. Tapi mereka tak bertanya.
Tiga buah desa telah dilewati. Kepala regu penjemput, yang tak pernah menawarkan jasanya itu menyuruh Nyi Gede Kati melangsungkan perjalanan ke Tuban. Sendirian"
Tidak, dengan segala bungkusan yang kau bawa itu, tapi tanpa anak yang kau tuntun itu .
Bagaimana dengan Nyi Gede Idayu nanti" Begitulah perintah Senapati .
Biar aku bawa Gelar . Tidak, jalan kau sendiri .
Ia tak meneruskan jalan, berhenti mengawasi Idayu dan Gelar dan si bayi membelok ke kanan dalam iringan regu penjemput. Ia tetap berdiri di situ sampai mereka hilang di kejauhan, baru kemudian meneruskan perjalanan seorang diri.
Wanita yang baru melahirkan menggendong bayi, membawa bungkusan dan menggandeng Gelar itu tidak diperkenankan beristirahat.
Idayu mulai curiga. Bayi itu pun tak boleh disusuinya.
Gelar sudah mulai lelah, tidak boleh beristirahat, dan antara sebentar minta digendong. Dan tak ada seorang pun di antara regu penjemput itu mengulurkan tangan penolongnya.
Tahulah ia sekarang, ia telah jatuh ke tangan musuh suaminya. Ga-leng takkan mungkin memperlakukan keluarganya seperti ini.
Ya, Dewa Batara, pintanya dalam hati, selamatkan aku dari pendarahan, kuatkan aku, selamatkan anak-anak ini.
Dan makin lama Gelar makin sering minta digendong. Dengan dua gendongan dan satu bungkusan ia berjalan pelan-pelan ke tempat yang ia tidak tahu.
Ke mana kami akan dibawa" sekali ia memberanikan diri bertanya.
Ke mana" Ke suatu tempat di mana Wiranggaleng akan datang dan menemui matinya, jawaban yang cukup menyakitkan dan kurangajar sekaligus. Setelah itu ia tak bertanya lagi.
Menjelang tengah malam setelah melalui banyak desa, barulah perjalanan sampai ke tujuan. Ia dan anak-anaknya dimasukkan ke dalam sebuah rumah, tanpa pelita, dan pintu dipasak dari luar.
Dengan menggerayang-gerayang ditemukannya ambin tak bertikar, di situ ia letakkan anak-anaknya dan mulai menyusui anaknya sambil memijiti kaki Gelar. Ia sudah tak dengar mereka menangis lagi seperti di perjalanan. Kakinya sendiri terasa sesak dan tangannya lebih-lebih lagi.
Bangun pada keesokannya ia lihat anak-anaknya masih tidur. Ia duduk dan memandangi mereka. Lubang-lubang pada dinding bambu itu cukup terang. Ia rasai tangan dan kakinya masih juga sesak dan pegal.
Sinar pagi yang mendadak jatuh dari lubang pintu membuat ia menggerayap menghadapi pintu dan bersiaga. Di lubang pintu itu berdiri Sunan Rajeg alias Kiai Benggala alias Rangga Iskak alias Iskak Indrajit.
Seakan melihat maut yang datang mengancam secepat kilat ia ambil bayinya dan didekapkannya pada dada. Dengan punggung melindungi Gelar yang masih nyenyak dalam tidurnya ia hadapi pendatang itu. Tak dirasainya lagi bajunya telah basah diompoli bayinya.
Ah, ah, si Upik! tegur Sunan Rajeg dengan senyum menggigit, lama nian sudah aku tunggu kau. Jangan gugup. Jangan takut. Mengapa bangkit berdiri dan siaga" Kau dan kalian masih lelah. Tidurkan bayimu. Apa kau kira aku hendak terkam bayi itu atau dirimu" Cukup kiranya bila kau tahu siapa aku. Siapa aku, hai perempuan"
Kata-kata itu agak melunakkan kecurigaan Idayu: Tidak tahu, jawabnya pendek.
Astagafirullah. tidak tahu! Tak pernah kau melihat tuan Syahbandar Tuban"
Tuan Syahbandar Sayid . Sayid Sayid! lelaki itu melecehkan. Dari mana sayidnya si iblis itu" Ya, tentu dari iblis dan setan laknat juga. Jangan sebutkan dia seperti itu lagi di hadapanku, Idayu.
Suaranya membangunkan Gelar. Anak itu berdiri di atas ambin, berteriak ketakutan.
Idayu menengok ke belakang sejenak untuk menenteramkan anak itu dengan memberikan punggungnya.
Gelar mengerti, menempel pada punggung itu, memeluk leher ibunya dan mengintip Sunan Rajeg dari samping leher ibunya. Dan ia tetap berdiri di atas ambin.
Mengapa pada takut padaku" Apakah aku kelihatan menakutkan" orang itu bertanya. Kau sendiri juga takut, Idayu. Hei, apakah kau tak pernah dengar nama Sunan Rajeg di desamu Awis Krambil" Inilah aku, Idayu .
Idayu tak menanggapi kata-katanya. Mengetahui itu ia justru menajamkan kewaspadaan dan mengikuti gerak-gerik tangannya..
Dan bayi itu mulai menangis lapar, tapi ia tak menggubrisnya, juga tak mendiamkannya. Matanya tetap tertuju pada tangan Sunan Rajeg.
Kau, Upik, siapa tidak tahu kau" Juara tari tiga kali berturut pujaan Tuban. Di sini, Idayu, kau bukan pujaan siapa pun. Kau, isteri satu-satunya Wiranggaleng . Ia menunggu sambutan. Idayu tetap membisu. Mengapa diam saja" Masih takut" melihat wanita itu tak juga menjawab sekilas wajahnya dijalari oleh darah kemerahan karena tersinggung. Tahu kau mengapa di sini" ia belai-belai jenggot untuk menyalurkan kemarahannya.
Jenggot itu tebal dan keriting dengan sulaman uban yang mulai membanyak.
Mengetahui Idayu tak juga bicara ia meneruskan dengan gaya pemain panggung: Bukan salahku, kau didatangkan ke mari. Suamimulah yang memaksakan keadaan ini. Suamimu Wiranggaleng, si anak desa tak tahu di untung itu, mengangkatkan diri jadi Patih dan Senapati Tuban. Bukan karena pengangkatannya itu ia sendiri menyusahkan aku Idayu, tapi asalnya! Asalnya! Karena bukan ningrat, hanya anak desa, tak pernah belajar keprajuritan, mendadak jadi Senapati, tak tahu aturan dan cara-cara perang, maka perangnya ngawur serampangan, tak dapat ditebak apa maunya. Mengerti kau"
Gelar mengendorkan pelukannya pada leher ibunya. Si bayi menggerayangkan tangan pada dada Idayu.
Sunan Rajeg tetap mengawasi wanita itu dan meneruskan dengan nada menurun seakan mengharapkan simpati yang ikhlas.
Maafkan aku. Bukan maksudku menyusahkan kau. Percaya sajalah. Kau anak desa, istri tunggal, suamimu akan datang menjemput, dan kau dan anak-anakmu akan kulepaskan, akan diantarkan secara baik-baik kembali ke Tuban. Sekiranya kau dulu memilih jadi selir, memang semua tidak akan begini jadinya, Idayu .
Gelar mengintip Sunan Rajeg dari balik tengkuk ibunya. Baru sekarang geraknya menarik dan ia mengalihkan perhatian pada anak itu.
Suaranya menaik lagi dengan telunjuk pada Gelar: Mengapa anak itu tak ada kesamaannya dengan Galeng"
Ah, Kau. Idayu pujaan Tuban. Lepas dari Sang Adipati jatuh ke dalam terkaman si Habibullah keparat itu .
Ia diam memperhatikan Gelar yang sekarang mencoba menyembunyikan diri lagi di balik tubuh ibunya. Sunan Rajeg tertawa menggigit dan mengejek: Kau layani dua lelaki, Idayu! Tak salah lagi. Hidungnya sama bengkuknya, matanya, rambutnya yang agak keriting. Hah! Mukanya sama tipisnya. Kulit kehitaman. Sama sekali tak dapat dikatakan coklat. Kehitaman! Tepat. Ai, si Habib cilik: Kau memang layani dua pria! Yang satu begundal Peranggi, yang lain anak dungu begundal munafik Tak tahan lagi Idayu mendengar tusukan kata-katanya. Ia hanya menunduk, makin menunduk. Kedua orang anaknya harus selamat. Maka penghinaan sekeji-kejinya pun akan diterimanya dengan menunduk.
Malu" Pura-pura malu"
Dengan menahan kesakitan hati pelan-pelan ia angkat kepalanya. Ia pandangi Sunan Rajeg, berkata lembut, seakan tiada terjadi sesuatu dalam hatinya: Suamiku sendiri. Sunan, tak pernah mengejek dan menggugat seperti itu .
Karena dia dungu. Sedikit saja cerdik takkan lama kau menghirup udara. Cukup lama aku tinggal di Tuban. Aku tahu gelagak darah pria Tuban. Dan si dungu itu, kalau bukan karena dungunya, dia takkan mungkin berani mengangkat diri jadi Senapati. Sekarang dia jadi penghalangku yang satu-satunya tak ada duanya di atas bumi selatan ini .
Ya, Sunan. Si dungu itu suamiku. Senapati Tuban, Idayu berkata lambat-lambat dan hati-hati untuk tidak menakutkan Gelar, dan bangga ia istri Wiranggaleng.
Dan kau perempuan tidak setia. Betapa banyak ragamnya.
Hanya suamiku yang menilai diriku .
Suaminya dungu, istrinya tidak setia. Serasi. Istri tidak setia patut bangga pada suaminya yang dungu .
Kalau yang menilai itu Wiranggaleng, Sunan, Idayu berkata lebih lunak lagi. Wiranggaleng Senapati Tuban, tentu akan lain artinya. Selama orang lain yang menilainya, terserah. Setiap orang memang menilai setiap orang .
Kau memang bijaksana, perempuan! Sunan Rajeg tertawa mengejek, menyerahkan penilaian pada suami dungu. Kau bijaksana, ia berkecap-kecap senang, seperti dalam dongeng, Idayu. Tapi biarlah, justru karena suamimu memuja kau, seperti orang-orang gila lainnya itu, pasti dia akan datang kemari. Dia musuhku .
Ya, Sunan. Tak ada yang menyebut aku Sunan Kanjeng Sunan. Ya, Kanjeng Sunan .
Kau masih seperti anak desa yang tak tahu bahasa kadipaten. Baiklah. Kau sendiri memang bukan musuhku. Apalagi anak-anakmu. Jangan buang airmata di hadapanku. Iba hatiku melihat istri seorang Senapati menangisi suaminya. Sia-sia saja sebanyak apa pun airmata itu, penari agung. Sayang di sini tarianmu tiada harga. Hanya tubuh yang harus bergeol-geol di hadapan bukan muhrim .
Idayu dapat mengerti mengapa ia dihina seperti itu sebagai istri Senapati Tuban. Itu sudah sewajarnya. Tapi hatinya sakit karena hal yang lain: penghinaan terhadap tariannya. Guru-gurunya telah membikin ia jadi seorang penari ulung, berhasil memenangkan tiga kali kejuaraan berturut. Seluruh Tuban mengakui, mengapa orang yang satu ini justru menghinanya"
Dan kedua belah tangannya sudah pegal dari menggendong kemarin dan sekarang ia masih juga tahankan sekuat daya agar bayi itu tak jatuh dari dekapan.
Apa aku bilang" Tak ada airmata berharga di hadapanku. Istri seorang musuh bukanlah musuh, apalagi bayi dan bocahnya. Aku tahu aturan, Idayu, bukan kafir jahiliah .
Ia panggil beberapa orang yang datang berdiri di belakangnya. Lihat, ini Idayu, istri Wiranggaleng, istri tunggal si anak desa dungu dan celaka itu. Ingat-ingat, karena dia hanya anak desa dan tetap anak desa, maka istri cuma satu. Berulangkah kukatakan pada kalian: ningrat Jawa tak pernah punya kesetiaan pada istri dan anakanaknya, tapi istri dan istri-istrinya harus selalu setia mutlak padanya. Ningrat Jawa tak mengenal kesetiaan dan kecintaan pada apa dan siapa pun, juga tidak pada anakanak sendiri. Mereka tak lain daripada merak jantan, kesibukannya hanya mengigal mengagumi dirinya sendiri. Mengerti"
Sahaya, Kanjeng Sunan. Barang siapa tak kenal kesetiaan dan kecintaan, dikodratkan untuk menjadi budak dari kehawanafsuan, dari orang-orang yang lebih kuat daripada yang punya hawa nafsu yang lebih besar lagi. Begitu ningrat Jawa, begitu pula nasib Jawa. Masih ingat kalian pada kata-kataku itu" Kita sudah bertekat untuk mengubah nasib Jawa agar tak jadi seperti itu, tapi sesuai dengan ajaran, larangan dan petunjuk .
Kemudian kata-katanya dialihkan lagi pada Idayu: Bukankah sudah aku katakan padamu" Jangan menangis. Suamimu akan terpanggil kemari karena kesetiaannya padamu. Apa keberatannya sekarang, Idayu"
Apakah yang akan kukatakan" Sudah sejak semula aku hanya ditipu untuk datang kemari .
Tidak. Kau bukan ditipu untuk datang kemari. Jangan salah. Ini hanya muslihat perang.
Kalau itu hanya urusan perang, apa gunanya aku ditanyai"
Diam! bentak Sunan Rajeg. Kau tak juga mau mengerti siapa yang kau hadapi .
Idayu menunduk, mengetahui tak ada gunanya bicara. Mengapa diam" Siapa yang kau hadapi Idayu tetap membisu. Siapa"! bentaknya lagi.
Dan Idayu tak juga membuka mulut. Suaranya kemudian merendah jadi gerutu. Betapa banyak orang yang kutolak permohonannya untuk menghadap" Semestinya kau bangga aku ajak bicara . Dan suaranya menaik lagi. Siapa sedang kau hadapi sekarang" Sunan Rajeg.
Kanjeng Sunan Rajeg, Rangga Iskak membetulkan. Kanjeng Sunan Rajeg.
Betul. Siapa lagi" Musuh suamiku seperti kata-katamu sendiri . Diam kau, perempuan perbegu! Tak ada gunanya keangkuhan itu di hadapanku .
Ampunilah aku bila itu suatu keangkuhan. Ya, itulah keangkuhan.
Guru-guru mengajarkan pada kami sikap tahu harga diri dan kehormatan diri .
Di mana harga dan kehormatanmu" Terlalu banyak disanjung orang, ya" Maka di hadapan Sunan Rajeg juga minta disanjung" Apa modalmu untuk angkuh di hadapanku" Tarianmu tak ada harganya di sini. Juga tidak untukku. Gamelan tak punya bunyi di sini, bisu, hanya barang-barang kafir tiada harga. Tak pernah tersebut dalam ajaran. Sombong, akui, ya" bicara tentang kehormatan dan harga diri. Apa artinya anak Habibullah keparat itu" Semua sudah terjadi dan terbukti. Semestinya aku suruh bunuh anak haram itu di wilayah kekuasaanku. Bahkan perkawinanmu pun tidak sah. Tapi tidak aku anggap kalian anak-be-ranak sebagai tamuku. Tak layak kau bersikap angkuh seperti itu. Kalian anak-beranak berhak makan garamku. Semua orang di sini tahu aturan, tahu suruhan dan larangan. Penjaga-penjaga di sini akan menjaga keselamatan dan keamananmu sampai suamimu datang menjemput. Apa kurangnya aku sebagai tuan rumah maka kau seangkuh itu" Di sini takkan ada seorang pun dihukum tanpa dosa atau tanpa pemeriksaan yang betul dan pengadilan yang adil .
Kalau harga diri dan kehormatan diri di hadapan Kanjeng Sunan Rajeg berarti keangkuhan, memang tak perlu lagi aku bicara .
Jih! Dasar kafir turunan kafir!
Ia tinggalkan rumah itu bersama pengiring-pengiringnya dan pintu kembali dipasak dari luar.
Setelah mereka pergi Idayu baru sadar, di atas ambin telah tersedia nasi dan lauk pauk secukupnya dan gendi minum dan pasu kayu berisi air.
Tidak ada apa-apa, Nak, katanya pada Gelar dan disusuinya anaknya yang kecil. Makanlah. Apakah emak harus layani" ia melayani Gelar sambil menyusui.
Ia mempunyai alasan untuk takut. Dan ia tak perlihatkan kepada anaknya. Ia tak ingin kepercayaan anaknya pada dirinya sebagai pelindung tergoncang. Mereka justru memerlukan perlindungannya pada saat seperti ini.
Tidak lebih dari seminggu kemudian terdengar bunyi kentongan dan bedug bertalu-talu menerobos celah dindingdinding bambu masuk ke dalam rumah itu.
Idayu duduk di atas ambin mendengarkan. Si bayi berkicau di tengah-tengah ambin dengan Gelar sedang mencium-cium kakinya yang kecil. Ia sedang mengucapkan syukur pada para dewa telah terlindungi dari pendarahan. Apa yang ramai itu, Mak" Gelar bertanya. Idayu mulai memperhatikan keriuhan itu.
Tak lama kemudian terdengar langkah orang berlarian di depan rumah, makin lama makin banyak.
Siapa pada lari itu, Mak"
Suara orang berlarian itu berhenti.
Tak ada apa-apa, Gelar. Mainlah lagi dengan adikmu . Sekarang terdengar lagi bondongan orang berjalan bergegas, juga terdengar suara kanak-kanak, juga bayi yang menangis dibawa lari. Dari suara mereka terdiri dari berbagai kelamin dan umur. Suara-suara itu kemudian berkurang. Kemudian terdengar suara seorang nenek yang tak dapat lari, hanya melangkah lambat-lambat: Cepat, Yung, jangan terlambat.
Ya, lebih cepat, kalau tidak, binasa kau, suara seorang lelaki dewasa yang melewatinya.
Tertarik oleh suara-suara itu Idayu meninggalkan ambin, mendekati dinding depan dan mencoba mengintip.Dari lubang dilihatnya orang berduyun-duyun membawa harta bendanya yang terbungkus dalam kain tenun atau kain batik coklat atau biru berbunga-bunga, dan bayi-bayi pada digendong dan bocah-bocah pada ditarik-tarik dalam gandengan.
Seorang wanita muda dilihatnya menyisih dari rombongan dan berhenti di depan pintu. Terdengar olehnya ia bertanya pada udara kosong di hadapannya: Mengapa mesti berlari-lari begini" Gusti Adipati raja kita, tak mungkin kawulanya dibunuh tanpa dosa .
Nampaknya ia tak mendapat jawaban atas pertanyaannya sendiri, kemudian menggabungkan diri dengan yang lain-lain, juga lari.
Kentongan dan bedug telah berhenti bertalu. Sekarang nampaknya olehnya seorang tua berjalan terengah-engah melalui depan rumah, mengeluh seorang diri: Mengapa mesti ikut lari" Apa dosaku" ia berhenti lagi untuk mendapatkan nafasnya kembali, kemudian meneruskan jalan dengan pelan-pelan.
Seorang bocah menjerit-jerit memanggil ibunya tanpa mendapat jawaban. Dan bocah itu lari terus.
Seorang ibu yang nampaknya habis melahirkan berjalan terlalu lambat seperti keong. Bayinya ia gendong pada dadanya tanpa dengan selendang. Matanya tidak melihat pada jalanan, hanya pada anak dalam gendongan, dan dari mulutnya keluar keluh dan umpatan, kemudian: Nasibmu, Nak, nasibmu. Bapakmu tewas entah di mana. Lahirmu tak ditungguinya. Terkutuk mereka yang bikin gara-gara ini. Terkutuk sekarang dan kemudian .
Ia tak kuat meneruskan jalannya, berbelok ke kiri dan berhenti di depan pintu, lambat-lambat duduk bersandar pada daun pintu.
Idayu tak dapat melihatnya lagi.
Ada apa, Mak" tiba-tiba Gelar bertanya dari belakang. Ibu muda yang nampaknya baru melahirkan itu kini memperdengarkan suaranya lagi: Ada orangkah di situ" Mengapa pintu dipasak dari luar"
Idayu menutup mulut Gelar dengan tangannya. Dan terdengar lagi suara ibu muda itu: Ijinkan aku masuk. Tolonglah aku!
Idayu tak menjawab, malah memberi isyarat pada anaknya agar tak bersuara.
Ah, keterlaluan! sebut ibu muda itu dari luar. Jaman sekarang orang sudah tak mampu menolong yang lain. Siapakah di dalam situ" Tolonglah aku. Aku sakit. Belum seminggu aku melahirkan . Terdengar orang itu mengerang.
Ah, dipasak mati dari luar begini . Kemudian katakatanya jadi singkat-singkat, terkejut. Ya Allah, ya Dewa Batara, pendarahan! Mati aku, Nak, kalau begini. Siapa mesti rawat kau nanti" ia menangis ter-hisak-hisak. Idayu menarik Gelar, dibawanya naik lagi ke ambin. Tak disadarinya airmatanya menetes untuk ibu muda yang kapiran itu. Dengan diam-diam ditariknya bayinya dan disusuinya. Tidakkah nasib ibu muda itu akan menimpa diri dan anak-anaknya ini" Tangannya yang lain kini menggapai Gelar dan merangkulnya, kemudian menciumnya. Emak menangis, Mak, bisik Gelar, dan ia seka airmata ibunya. Masih juga dapat didengar perempuan di luar itu mencoba membuka pasak. Tersusul kemudian oleh suara seorang lelaki yang berseru-seru dari sesuatu jarak: Jangan ganggu pintu itu!
Keributan makin lama makin susut. Juga tak terdengar ibu muda itu mencoba membuka pasak. Mungkin telah pergi menyingkir dari depan pintu itu. Dan waktu si bayi dan Gelar telah tertidur, ia turun lagi dari ambin dan mengintip. Keadaan telah lengang. Tak seorang pun nampak. Balik lagi ke ambin ia ciumi Gelar, satu-satunya orang selama hari-hari belakang ini dapat diajaknya bicara. Anak itu terbangun, kemudian juga adiknya.
Ada apa, Mak" Tak ada apa-apa. Gelar. Barangkali saja bapakmu akan datang .
Bapak, Mak" Bapakmu, ya. Barangkali membawa balatentara yang sangat banyak .
Gelar turun dari ambin dan lari ke dinding untuk mengintip. Bayi itu menangis, dan Idayu menyusuinya lagi. Kembali, Gelar, sini saja dengan emak .
Terdengar suara beberapa orang lelaki. Gelar lari dari dinding dan mendekati emaknya. Suara mereka semakin mendekati pintu.
Siapa itu, Mak" Stt, Idayu menarik mukanya dari pintu. Ya Dewa Batara , bisiknya berdoa, datanglah kau, Kang, selamatkan anak-anak ini .
Pasak pintu terdengar diangkat orang dari luar. Dan pintu itu terbuka.
Idayu tetap tak melihat ke arah pintu. Hanya Gelar mengawasi pendatang-pendatang baru berpakaian serba putih, bertombak dan berpedang.
Mari, kata salah seorang di antaranya, mari kami antarkan Mbok-ayu ke tempat lain .
Idayu turun dari ambin. Bayi itu digendongnya, dan Gelar digandengnya.
Mari, Mak, kita pergi, dan tak diteruskannya mengatakan: pergi untuk selama-lamanya.
Sekilas ia melihat lelaki yang bicara itu muda, tinggi semampai, berkumis tanpa jenggot, dan ganteng, kulitnya berminyak. Ia menunduk dan melangkah meninggalkan rumah.
Inilah hari terakhir, pikirnya, dan berkata pada Gelar: Lihatah semuanya, Nak, lihat baik-baik, pepohonan, rumah-rumah, langit di atas, sana orang-orang, dan jangan lupa lihat dulu ibumu ini, ia berjongkok untuk dapat dilihat oleh anaknya.
Mengapa harus dilihat semua, Mak .
Biar kau akan selalu ingat di kemudian hari, Gelar . Ke sebelah sini, Mbokayu , orang muda itu berkata lagi.
Dengan Gelar dalam gendongan dan si bayi dalam gendongan ia membelok. Orang-orang lelaki berpedang dan bertombak di belakangnya mengikuti dengan diam-diam.
Suara pemuda itu membangkitkan kenang-kenangan yang indah, jauh, samar, dalam ingatan Idayu. Siapakah yang pernah memanggilnya Mbokayu dengan suara seperti itu" Seindah dan mengandung perasaan seperti itu" Jantungnya berdentaman. Dan tetap ia tak dapat mengingat. Lagi pula apalah gunanya mengingat-ingat sesuatu dalam sisa hidup yang terlalu pendek ini" Mereka telah datang untuk menghabisi istri dan anak musuhnya.
Berlanjut ke bagian 24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar