Sabtu, 19 November 2022

BUMI MANUSIA KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER #27/27


Nyai membanting pintu, menguncinya dari dalam, dan agak lama berdiri di belakangnnya. Menengok padaku ia berkata:
"Sekali kau beri hati, dia akan kurangajar. Jangan kuatir. iakkan ada akibatnya. Mereka tak punya surat-surat tentang rumah ini. Mereka hanya percaya pada suratsurat. Apa Dun kehebatannya semua takkan berarti tanpa surat. Kertas lebih menentukan, lebih kuasa." suaranya pahit.
Dari jendela pula kulihat Dokter Martinet ganti diusir oleh Sersan Hammerstee, setelah sejenak mereka bertengkar di pintu gerbang Suara mereka tak terdengar dari tempatku. Hanya gerak-gerik mereka menunjukkan Martinet hendak masuk melihat pasien tapi ditolak. Ia bersikeras.
Kemudian nampak Dokter itu naik lagi ke atas dokar dan berangkat Sekarang Annelies harus kami rawat tanpa dokter.
Pada sore hari Annelles Pelahan-lahan mulai sadar dari biusan Ia buka matanya yang besar, melihat ke kiri dan kanan seakan baru menjenguk dunia untuk pertama kali, kemudian menutupnya lagi dan setelah itu membukanya lagi.
Ann, Annelies," panggilku
Ia pandangi aku. Bibirnya terbuka, pucat tanpa darah Tak ada suara keluar. Aku ambil susucoklat dan aku minumkan. Ia meneguk diam-diam sampai separo, berhenti dan duduk di ranjang. Mama duduk diam-diam mengawasinya. Mama bangun dan keluar dari kamar.
Pada mulanya aku menduga ia pergi kebelakang untuk mengawasi pengurusan sapi." Dan tak lama kemudian terdengar suaranya setengah memekik dalam Belanda: Setiap orang boleh pergi ke Nededand' mengapa aku tidak".
Aku menjenguk keluar dan di persada sana Nyai sedang bicara dengan seorang Eropa Totok yang sedang bertolak pinggang. Suaranya terlalu pelan untuk dapat kutangkap. Orang itu sebentar menggeleng, kadang mengacukan jari. "Apa ruginya Tuan, kalau kuantarkan anakku sendiri " Aku gunakan uang sendiri, bukan uang siapa pun."
Tamu itu menggeleng lagi.
"Di mana bisa aku dapatkan aturan tertulis aku tak boleh antarkan anak sendiri ?" Tamu itu nampak menggerakkan tangan, tapi badannya tidak.
"Surat cacar " Surat kesehatan " Sampai sekarang anakku belum punya. Dia malahan sedang sakit. Disuntik di kapal " Aku pun bisa lakukan di kapal."
Aku tinggalkan mereka berdua di persada sana. Annelies nampak berusaha hendak turun dari ranjang. Aku bantu dia berjalan. Kubawa dia ke belakang jendela, karena itulah tempat kegemarannya. Dan lama kami berdiri di situ. Ia diam saja dan tak tahu aku harus bicara apa. Tapi berdiam-diam terus pun tak mungkin. Aku paksakan:
"Tak pernah kau sampai ke gunung sana, Ann " Dari sana akan nampak seluruh Wonokromo dan Surabaya. Kita akan ke sana pada suatu kali." Gunung itu sendiri tidak kelihatan, tertutup oleh gumpalan mendung dan mega, seperti kopisusu yang tak sempurna aduk-annya, dibikin oleh tangan pemalas. Awan tergantung rendah menutup hutan di kejauhan sana yang biasanya nampak hijauhitam. Pada jarak-jarak yang tak dapat kuperhitungkan kadang melesit lidah petir, sekejap merajai langit, mega dan mendung, untuk kemudian hilang entah ke mana. Alam punya kesibukan sendiri.
Dan di sampingku istriku menghembuskan nafas panjang melalui mulut. Mama masuk lagi. Ia duduk di kursi yang tadi, diam-diam tanpa bicara, seakan tak ada terjadi sesuatu. Waktu aku menoleh padanya aku lihat ia melambaikan tangan memanggil. Annelies kutinggalkan di belakang jendela. .
"Minke, kaulah yang menyampaikannya padanya, keberangkatannya tinggal tiga hari lagi."
Aku yang harus menyampaikan, karena aku suaminya. Memang kewajibanku - kewajiban yang belum juga aku lakuKan karena kesibukan yang kejar-mengejar itu. Annelies harus tahu. kita kalah, terlindas tanpa bisa membela diri apalagi melawan. Di kejauhan sana alam tetap suram dan semakin suram dengan kerjapan kilat. Di bawah jendela kami kolam angsa menderita kerusakan dan tetap tak dibetulkan. Sebuah kampung perusahaan, yang biasanya nampak dari tempat kami dengan bocah-bocah pada bermain, kini sunyi, tak ada tanda-tanda kehidupan Aku hampiri istriku. Kuletakkan tangan pada bahunya. Kutempelkan pipiku pada pipinya yang dingin. Seluruh keberanianku pada waktu itu kukerahkan. "Ann!" ia tak menoleh, juga tidak memberikan reaksi. "Ann, Annelies, istriku, mau kau dengarkan aku ?"
Ia tak menggubris. Jari-jari tangan kirinya menggaruk lehernya pelan-pelan. Leher yang indah itu, tertutup oleh rambutnya yang tertekuk ke atas, adalah lebih sempurna dari pada alam di luar sana.
Tinggal tiga hari lagi kami berkumpul. Dia akan berangkat, kekasihku ini, bonekaku .yang cantik tiada bandingan ini. Apa bakal terjadi dengan dirimu nanti, Ann " Dan bagaimana dengan diriku " Adakah kau akan seperti kilat jatuh jauh di sana itu, mengerjap sekejap, merajai keliling, untuk kemudian hilang buat selama-lamanya " Seseorang yang tidak tahu-menahu dirimu tiba-tiba telah menghakimi dan menghukum kau begini. Seseorang lain, juga tak tahu-menahu akan memisahkan kau dari kami, dan semua yang kau cintai. Kau begini kurus dan pucat, Ann. Mama dan aku pun sudah menjadi begini ceking.
Betapa mengibakan kau, Ann, secantik ini, namun tak sempat menikmati kecantikan dan kemudaan sendiri.
"Kau tak mau mendengarkan Ann ?" ia tetap tak menggubris. Kau suka pada gunung di sana itu, Ann ?"
Ia mengangguk tak kentara, mengiakan.
"Semestinya kita sudah pernah berkuda ke sana, ya Ann "
Pan Mama akan tinggal di rumah. Hanya kita berdua, Ann." bekali lagi ia mengangguk tak kentara.
Ann, BaWuk sering meringkik menanyakan kau di mana,
Ia menunduk. Dengan gerak sangat lambat ia menoleh padaku dan matanya yang seperti sepasang kejora kelihatan me-ngimpi. Mulutnya tetap membisu, mengeluarkan bau obat.
Nampaknya Mama tak dapat lagi menahan perasaannya.


 

Terdengar olehku ia tersedan-sedan dan mehinggalkan kamar. Barang sepu uh menit kemudian ia masuk lagi membawa seorang Eropa lain. Ia berjalan langsung menuju ke tempat kami.
Dokter Gubermen" katanya tanpa menyebut nama, datang untuk memeriksa kesehatan Juffrouw Annelies Mellema." Mevrouw, bantahku. Ia tak menggubris; Dituntunnya istriku dan didudukkan ditempat tidur. Dikeluarkan stetoskop dari saku baju-panjang dan mulai memeriksa Dengan mata melotot kemudiin ia meneliti desakan darah, meneleng ke langit-langit. Memasukkan stetoskop kedalam saku lagi. Memeriksa mata istriku. Setelah itu ia membaui nafas yang keluar dari hidung dan mulutnya, ia menggeleng. Mama melihatkan semua itu dengan diam-diam. Dokter Gubermen itu menyuruh pasiennya berbaring.
"Nyai! Mengapa kowe biarkan anak ini dibius begitu hebat tanyanya pada Mama dalam Melayu kasar.
Apa perlu Tuan se8era tinggalkan rumah ?" balas Nyai dalam Malayu bernada dan cara lebih kasar lagi.
"Verdomme, apa kowe misih tidak mengerti " Aku dokter Gubermen." Jadi kowe mau apa ?" bentak Mama.
Kowe bisa dituntut, hei. Juga Dokter Martinet. Awas!" Bikin tuntutan di rumah kowe sendiri, tidak perlu di sini. Tidak perlu banyak mulut di sini. Pintuku masih berengsel!" Dokter Gubermen itu menjadi merah padam. Ia alihkan pandang padaku. "Kowe ikut dengar," katanya, "kowe jadi saksi omongannya, hei " Pintu memang belum dipaku," kataku. Nyai dan aku datang pada Annelies dan membangunkannya untuk makan.
Dia lemah, terlalu lemah. Biarkan tidur. Jantungnya. Jangan ganggu," perintah Dokter Gubermen.
Kami turunkan Annelies dari ranjang dan kami dudukkan di kursi sitje. Aku ambilkan makan, Ann. Jangan gubris siapa dan apa pun." Ia mengangguk lemah.
Dokter itu menghampiri aku dengan sikap mengancam, juga memang mengancam: Kowe coba-coba lawan perintahku, hei ?" Aku lebih kenal istriku daripada orang luar," jawabku dalam Melayu, tanpa memandangnya.
"Baik," katanya dan keluar dari kamar. "Awas!" "Mengapa kau tak mau bicara, Ann ?" ia tetap diam saja.
"Kau mau dengarkan aku, Ann " Dokter gemblung itu sudah tak ada. Jangan takut. Kuikuti matanya yang terarah pada jendela dan melepas pandang ke arah gununggemunung yang masih juga tertutup mega dan mendung. Mama mengawasi perbuatanku tanpa bicara.
Annelies mengunyah pelan, sangat pelan, setiap kali ragu menelan. Plp belakangku Mama terdengar bicara, lebih pada diri sendiri:
"Dulu Maurits membangkit-bangkit soal dosa darah. Sekarang dia tuntut hasil dosa darah ini. Dulu kukira dia seorang nabi yang suci....."
"Tak ada guna diingat, Ma," kataku tanpa menoleh.
"Ya, ingatan kadang menyiksa. Memang tak ada guna mengingat. Kau sudah sampaikan, Nak, Nyo ?"
"Belum, Ma." "Bicaralah kau, Ann. Sudah lama kau tak bersuara."
Annelies memandangi aku. Ia tersenyum. Tersenyum! Annelies tersenyum! Mama membelalak heran, kau mulai baik, Ann, pekikku dalam hati.
Mama bangkit dari tempatnya, merangkul anaknya, menciuminya, berkomat-kamit: "Dukacitaku lenyap karena senyummu, Ann, juga suamimu. Keterlaluan, kau tak mau bicara selama ini," .dan airmatanya berlinangan.
Annelies mengedip pelahan, begitu pelahan, seakan segan membukanya lagi. Dokter Martinet pernah bilang: kesulitan pada dia ialah karena ia berusaha mengukuhi yang ada -secara tegang. Ia tak hendak lepaskan apa yang telah digenggamnya. Tapi bisa jadi suatu krisis akan menyebabkan ia. lepaskan semua pegangannya dan ia bisa tidak peduli terhadap segala apa yang ada dan terjadi. Pada tingkat mikah perkembangan istriku sekarang " Aku tak tahu. Dokter Martinet tak boleh datang menengok. Kata-katanya yang terakhir: Kalau Annelies dapat diyakinkan untuk menyerah pada keadaan, ia akan selamat. Dan bagaimana keadaannya sekarang".
Dokter tahu' Mama tak tahuBetapa jauhnya kau'
Selama dalam perawatan Martinet ia dalam keadaan, sebagaimana dikatakannya, tetap bergayutan tegang pada yang ada selama p Kita semua kalah, katanya lagi, semua usaha patah, sedang Annelies tak mau mengerti semua ini.IA nampak tak pernah berontak, tapi pedalamannya bosah-basih jadi medain perang tidak menentu.
Hanya pembiusan saja dapat menyelamatkannya dari kerusakart pedalaman. Kalau tidak, bisa terjadi; tak ada sesuatu pun yang punya harga lagi baginya. Sebaliknya: dia bisa menjadi tidak berarti bagi siapa pun. Tuan Mellema .....ingat. Maka itu, kalau dia sadar, usahakan bicara terus-menerus tentang apa saja, yang bagus-bagus, indah, berpengharapan, menyenangkan:
Dan tugasku sebagai suami memberitakan kenyataan pahit itu: tiga hari lagi! dan dia takkan dibius. Dokter Martinet telah dilarang datang.
Dokter itu juga pernah bilang: Annelies telah melewati ma-sa-gentingnya. Itu dikatakannya beberapa waktu sebelum kami kawin. Sekarang masa genting itu datang lagi. Juga sekali ini bukan aku dokternya, katanya, tapi Tuan, suaminya, orang yang dicintainya. Usahakan Tuan berangkat menyertainya ke Neder-land. Nyai akan kuat mengongkosi: seratus duapuluh gulden. Baginya tidak mahal. Mereka telah menolak kami untuk pergi mengantarkan.
Usahakan, kata Dokter Martinet, dengan jalan dan cara apa pun. Jangan sia-siakan hidup istri Tuan yang masih sangat muda ini. Dia takkan hidup tanpa Tuan. Sekarang Tuanlah satu-satunya gantungan baginya.
Kurasa sudah kuusahakan segala yang aku bisa, dan aku kalah. Pengadilan Amsterdam tak terlawankan. Pengadilan Putih Surabaya menyatakan: kami berdua tak ada sangkut-paut dengan istriku. Nyai sendiri dengan cekatan telah memerintahkan Panji Darman, dahulu Jan Dapperste, untuk belayar "mengurusi perdagangan rempah-rempah" di Nederland, menemani Annelies sebagai wakilku. Nyai telah melarangnya datang ke Wonokromo untuk menghindari kecurigaan. Dan Agen Maatschappij Nederland dengan cerdiknya telah menempatkannya nanti dalam kabin kias dua di samping kabin Annelies. Agen itu pula yang telah menguruskan anti-datum untuk surat kesehatannya.
Wajah istriku sudah seperti batu pualam pahatan, seakan syaraf mukanya telah terputus dari pusat otak. Tak ada gerak, tak ada expressi apa-apa, dan tetap tak bicara. Dan segala sudut dan segi" telah kucoba untuk menyampaikan hari keberangkatannya. Itu pun gagal.
Ia makan tak lebih dari empat sendok, kemudian taK mau membuka mulut. Entah sudah berapa kali Nyai keluar-masuK kamar dengan gugup. Sekali waktu kamar itu kosong tiada siapapun kupeluk istriku dan kuberanikan membisikkan pada kupingnya.
"Ann, kita kalah, Ann, kami akan menyertai kau belayar ke Nederland, tapi mereka melarang. Ann, kau dengar aku, Ann ?"
Ia tetap tak menanggapi. "Aku tak tahu bagaimana pikiranmu. Ketahuilah, Ann, Jan Dapperste akan mewakili Mama dan aku. Tiga hari lagi dia akan iringkan kau belayar sampai ke Eropa. Jangan kecilhati, ya Ann. Kalau kau telah tiba, Mama dan aku pun akan segera menyusul." ^IH Dan Annelies tetap tak punya perhatian. Namun telah kulakukan tugas berat itu sebagai suami, tugas yang sama sekali tidak sempurna kutunaikan: dia belum juga menanggapi. Berapa kali harus kuulangi pemberitahuan ini " Aku ciumi dia. Juga tidak menanggapi. Mungkinkah benar Dokter Martinet; ia dalam keadaan telah melewati masa genting dan kini mulai melepaskan segala dari dirinya " Untuk kesekian kali Mama masuk. Sekarang menyampaikan tilgram dari Herbert de la Croix dan surat dari Bunda.
Assisten Residen B. itu menyampaikan penyesalan telah mengirimkan seorang advokat yang ternyata gagal. Ia ikut ber-dukacita dan bersympati pada kami. Dalam tilgramnya yang panjang ia juga menyatakan: keputusan Pengadilan Amsterdam tidak adil. Ia telah menilgram Gubernur Jendral, menyatakan akan mengundurkan diri dari jabatannya bila keputusan Pengadilan Amsterdam tetap dilaksanakan. Juga ia kirimkan tilgram protes pada Kementrian Kehakiman, dan tanpa , hasil dijawab pun tidak. Maka ia akan mengundurkan diri dan kembali ke E-ropa bersama Miriam. Dan Annelies sendiri " Ia masih tetap kehilangan perhatian terhadap segala. Dan aku bicara dan bicara, bercerita dan bercerita. Dan ia tetap tak mau bicara. Mendengarkan pun barangkali tidak. Aku bawa dia ke ranjang kembali dan aku baringkan, dan aku sendiri berbaring di sampingnya. Beruntung juga aku mengenal banyak cerita dan dongengan nenek-moyang. Itu pun sudah habis kurawi. Dari cerita Eropa Putri Genoveva saja paling tidak sudah empat kali, Perjalanan Gulliver dua kali, Baron van Munchausen dua kali, Klein Duimpje mungkin lebih dari empat kali. Belum lagi dongengan kancil. Suaraku sendiri sudah parau. Itu pun masih harus ditambah dengan pengalaman sendiri yang cukup lucu. ,
Dengan memeluk istriku aku mendongeng dan mendongeng, mulut kudekatkan pada kupingnya suatu cara yang ia sukai. Waktu aku terbangun, malam ternyata telah lewat, kamar telah terang oleh cahaya siang. Namun kelelahan itu belum juga terhalau oleh tidur yang tak kuketahui sampai berapa lama. Dan kusadari: Annelies memeluk aku, menciumi dan membelai-belai rambutku. Aku tergagap bangkit. "Ann, Annelies!" seruku. Aku pegangi pergelangan tangannya dan kurasai denyutan jantungnya tidak lagi selambat kemarin.
"Mas!" jawabnya.
Betulkah Anneliesku mulai bicara " Atau hanya impianku saja " Aku gosok mataku. Hei, kau mimpi, jangan ganggu aku! Tapi mataku melihat istriku tersenyum. Mukanya pucat, giginya kotor. Dan matanya tidak ikut tersenyum. "Ah, Annelies, Anneliesku! Kau sudah baik, Ann!" aku peluk dan ciumi dia. Tak siasia jerih-payahku selama berhari-hari belakangan ini.
"Makan sudah tersedia, Mas, mari makan," katanya lunak, tepat seperti dulu. Aku pandangi dia. Benarkah Dokterf Martinet: jiwanya goyah, mentalnya tidak tumbuh secara wajar " Kuawasi matanya. Dan mata itu kuyu. Bibirnya masih tersenyum, tapi mata itu tetap tidak ikut tersenyum, bahkan seakan telah jadi juling. "Mama!" teriakku. "Annelies sudah baik." Dan Mama tidak muncul. : Tanpa membersihkan diri aku duduk menghadapi makan siang di dalam kamar. Tak ada sendok-garpu atau pun piring di depanku. Hanya ada di depan Annelies. Sudah berubahkah ingatannya, ataukah aku seorang yang harus makan " Ia mulai menyendok makanan dan disuapkan padaku. "Aku bisa menyuap sendiri, Ann. Kaulah yang makan, mari aku suapi."
Ia tidak makan, hanya menyuapi aku juga. Dan aku harus pengunyah dan menelan. Ia tak boleh tersinggung itu aku tahu betul sampai kenyang.
Mengapa kau suapi aku begini ?"
Sekali dalam hidup biarlah aku suapi suamiku," ia terdiam dan tak mau bicara lagi.........
20. HARI INI HARI TERAKHIR.
Perusahaan telah macet sama sekali. Maresose telah melarang siapa saja memasuki pelataran perusahaan. Hanya pemeliharaan dan pemerahan sapi diperbolehkan bekerja terus.
Protes Mama tidak didengarkan.
"Nyai tidak rugi," bantahnya, "semua biaya ditanggung oleh yang di Nederland sana." Banyak surat berdatangan. Dan tak ada kesempatan untuk membalas. Membaca pun tak ada waktu. Koran yang dikirimkan Nij man bertumpuk tanpa kena singgung. Mama, aku, apalagi Annelies, dikenakan larangan keluar rumah, kecuali untuk mandi dan ke belakang. Jadi kami terkena tahanan-rumah.
Dari kemah-kemahnya di pelataran para serdadu Maresose keluar hanya untuk mengusiri orang yang menggerombol di pinggir jalan sana, yang menyatakan sympatinya pada kami, barangkali, atau hanya untuk menonton saja. Annelies kelihatan agak normal walau kurus, pucat matanya mati. ' "Ceritai aku tentang negeri Belanda menurut cerita Multatu-li dulu," tiba-tiba ia meminta. .
"Adalah sebuah negeri di tepi Laut Utara sana......," aku mulai sekenanya, "tanahnya rendah maka dinamai Negeri Tanah Rendah Nederland, atau Holland." Sampai di sini aku tak mendapatkan sambungannya. Matanya yang mengimpi itu tetap kuyu begitu aneh mengawasi aku, seperti aku ini kadal jenis baru berbuntut biru yang baru dilihatnya dalam hidupnya "Karena tanahnya rendah orang bosan selalu memperbaiki tanggulnya, maka jadi kebiasaan mereka meninggalkan negerinya, mengembara, Ann, untuk mengagumi negeri-negeri lain yang tinggi Kemudian menguasainya tentu. Dinegeri Tinggi itu penduduknya mereka bikin rendah, tak sedikit pun mendekati ketinggian tubuh mereka." "
"Ceritai aku tentang laut."
Seorang wanita Eropa berpakaian dan bertopi serba putih masuk tanpa mengetuk pintu. Nyai dan aku membiarkannya, toh kamar kami belakangan ini dimasuki siapa saja, toh dia hanya akan mengganggu kami bertiga.
"Empat jam lagi kau akan melayari laut, dan laut, dan laut, Sayang," pendatang itu membuka suara, mengambil-alih tugasku' "Ikan tiada terkirakan banyaknya. Ombak, riak, alun, buih dan busa. Juffrouw akan naik kapal besar, indah, melintasi samudra, Sayang, memasuki terusan Suez, berpapasan dengan kapal-kapal lain. Kalau berpapasan, Sayang, kap&l Juffrouw akan bersuling. Yang lain juga akan bersuling. Pernah melihat Gibraltar " A, kota karang itu pun akan Juffrouw lalui. Setelah itu, beberapa hari kemudian, Juffrouw akan menginjakkan kaki di bumi leluhurmu sendiri. Pasirnya kuning gemerlapan, bunga-bungaan, semua yang Juffrouw kehendaki. Menyenangkan. Tak lama lagi musim gugur akan tiba. Dedaunan akan berguguran...... Betapa akan senangnya, dalam asuhan abang sendiri, sarjana, insinyur, kenamaan, terhormat dan dihormati. Betapa akan senangnya........ Kalau tidak suka, yah, barangkali hanya setahun-dua,
Juffrouw sudah boleh menentukan hidup sendiri. Ya, Juffrouw, Mas, aku lebih suka pada ombak, pada busa dan pada gelombang daripada kapal dan Nederland......"
"Tidak, Sayang," pendatang itu menyela, "di Nederland ada segalanya. Semua saja yang Juffrouw inginkan bisa diperoleh." Mas, apakah ada kekurangan sesuatu di sini ?" Tidak, Ann. Kau punya segalanya di sini. Kau berbahagia di sini." "Kalau di Nederland sana ada segalanya," Mama menama bahi dengan berang, "untuk apa orang Eropa datang kemari ?"
"Nyai, jangan sulitkan pekerjaanku. Siapkan pakaiannya."
"Bukan, bukan hanya pakaian," Mama mulai menjadi bengong, "juga perhiasannya, juga buku bank-nya, juga surat pengakuan ayahnya, juga doa ibu dan suaminya." "ingatkah Mama pada cerita Mama
Ann, cerita apa maksudmu "
Mama meninggalkan rumah untuk selama-lamanya Ya' Ann, mengapa ?"
Ya, Ann." "Di mana kopor itu sekarang, Ma "Tersimpan dalam kamar sepen, Ann." "Aku ingin melihatnya." Mama pergi untuk mengambilnya. "Waktunya sudah semakin dekat, Juffrouw," perempuan Eropa itu menyela. Baik Annelies mau pun aku tak menanggapi. Dan Mama datang membawa kopor seng kecil, coklat, berkarat, peot, de-kung dan cembung di sana-sini. Annelies segera menyambutnya. "Dengan kopor ini aku akan pergi, Mama, Mamaku." "Terlampau kecil dan buruk. Tidak pantas, Ann."   "Mama, dengan kopor ini dulu Mama pergi dan bertekad takkan kembali lagi. Kopor ini terlalu memberati kenangan Mama. Biar aku bawa, Mama, beserta kenangan berat di dalamnya. Aku takkan bawa apa-apa kecuali kain batikan Bunda. Hanya kopor ini, kenangan Mama, dan batikan Bunda, pakaian pengantinku, Ma. Masukkan sini, sembah-sungkemku pada Bunda B..... Aku akan pergi Ma, jangan kenangkan yang dulu-dulu.
Yang sudah lewat biarlah berlalu, Mamaku, Mamaku sayang."
"Kereta sudah menunggu di luar, Juffrouw," pendatang Eropa itu menengahi lagi. "Apa maksudmu, Ann?"
"Seperti Mama dulu, Ma, juga aku takkan balik lagi ke rumah ini." "Ann, Annelies, anakku sayang," seru Mama dan dipeluknya istriku. "Bukan Mama kurang berusaha, Ann, bukan aku kurang membela kau, Nak..... Mama tenggelam dalam sedu-sedan penyesalan. Juga aku. "Kami berdua sudah lakukan semua, Ann," tambahku. "Jangan, jangan, menangis, Ma, Mas, aku masih ada permintaan, Ma, jangan menangis."
"Katakan, Ann, katakan," Mama mulai menggerung. "Ma, beri aku seorang adik, adik perempuan, yang akan selalu manis padamu...."
Mama semakin menggerung. "..... begitu manis, Ma, tidak menyusahkan seperti anakmu ini...... sampai....." ; "Sampai apa, Ann ?"
"..... sampai Mama takkan lagi merasa tanpa Annelies ini.'
"Ann, Ann, anakku, betapa tega kau bicara begitu. Ampuni kami tak mampu membela kau, ampuni, ampuni, ampuni."
"Kenangkan kebahagiaan itu saja, ya Mas, jangan yang
"Ayoh!" seru seorang lelaki Indo dari pintu. "Sudah dua menit terlambat berangkat." "Mari, Sayang, Juffrouw," perempuan Eropa itu menuntun Annelies. Sekaligus Annelies tenggelam dalam pembisuan dan ketidakpedulian. Kehormatannya yang sebentar tiba-tiba lenyap. Ia berjalan lambat-lambat meninggalkan kamar, menuruni tangga dalam tuntunan perempuan Eropa itu. Badannya nampak sangat rapuh dan terlalu lemah.
Aku dan Mama lari memapahnya menggantikan perempuan itu. Tetapi lelaki Indo dan perempuan Eropa itu menolak kami. Di bawah tangga telah berkerumun Maresose.
Dan kami dihalau tak boleh mendekat! Maka kami hanya dapat melihat makhluk tersayang itu dituntun seperti seekor sapi, dan berjalan lambat-lambat, anaktangga demi anaktangga.
Mungkin begini juga perasaan ibu Mama diperlakukan oleh Mama dulu karena tak mampu membelanya dari kekuasaan Tuan Mellema. Tapi bagaimana perasaan Annelies " Benarkah dia sudah melepaskan segalanya, juga perasaannya sendiri " Aku sudah -tak tahu sesuatu. Tiba-tiba kudengar suara tangisku sendiri. Bunda, putramu kalah. Putramu tersayang tidak lari, Bunda, bukan kriminil, biar pun tak mampu membela istri sendiri, menantumu. Sebegini lemah Pribumi di hadapan Eropa " Eropa! kau, guruku, begini macam perbuatanmu " Sampai-sampai istriku yang tak tahu banyak tentangmu kini kehilangan kepercayaan pada dunianya yang kecil dunia tanpa keamanan dan jaminan bagi dirinya seorang. Hanya seorang. Aku panggil-panggil dia. Annelies tidak menjawab. Menoleh pun tidak. "Aku akan segera menyusul, Ann," pekikku.
Tanpa jawab tanpa toleh. "Juga aku, Ann, besarkan hatimu!" seru Mama, suaranya parau, hampir-hampir tak keluar dari kerongkongan.
Juga tanpa jawab tanpa toleh.
Pintu depan di persada sana dibuka. Sebuah kereta Gubernur -telah menunggu dalam apitan Maresose berkuda. Mama dan aku tak diperkenankan melewati pintu itu.
Sekilas masih dapat kami lihat Annelies dibantu menaiki Kereta. Ia tetap tak menengok, tak bersuara.
Pintu ditutup dari luar. Pintu ditutup dari luar.
Sayup-sayup terdengan roda kereta menggiling kerikil, lama makin jauh, jauh akhirnya tak terang lagi. Annelies dalam pelayaran ke negeri di mana Sri Ratu Whilelmina bertahta.
Kami menundukkan kepala di belakang pintu. "Kita kalah, Ma," bisikku.
"Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat hormatnya. 

Buru
Lisan, 1973. Tulisan, 1975.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar