Jumat, 18 November 2022

Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer #35/44


Arus Balik. 
Karya : Pramoedya Ananta Toer.

Bagian 35.

Lao Sam Pajajaran -Sunda Kelapa
Perang di Tuban bolak-balik ke timur-barat. Usaha Pada untuk menghadap Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi gagal. Ia lepaskan usahanya. Dengan menghindari daerahdaerah pertempuran ia memasuki Lao Sam dari sebelah selatan.
Belum lagi memasuki daerah perkampungan Lao Sam ia telah mengalami sesuatu yang tidak beres. Ia telah terkena dilaso. Seutas tali telah menjerat kaki, membantingnya ke tanah dan mengangkatnya ke udara. Dan tergeonggeonglah ia dengan kepala ke bawah. Bungkusan bawaannya terlempar entah di mana.
Kelelahan dari perjalanan menyebabkan ia tak mampu mengangkat badan untuk membebaskan kaki dengan tangannya. Darah dari kakinya ia rasai menyerbu ke bawah dan menyesak dalam kepalanya. Nafasnya terengah-engah.
Dalam rembang malam itu dilihatnya tiga orang Tionghoa bersenjata trisula besi dengan bagian tengah lebih tinggi. Mereka datang menghampiri. Pada tahu ia telah jatuh ke dalam tangan Nan Lung, Naga Selatan.
Dengan bahasa Jawa yang kaku dan aneh seorang bertanya: Tuban apa Demak"
Dalam keadaan tergeong-geong begitu ia menjawab tabah: Dua-duanya tidak.
Bukankah kau Pribumi"
Betul, Pada telah merasai kesakitan pada bagianbagian badan yang tersekat oleh tali.
Bukankah kau tahu, Pribumi tak boleh memasuki Lao Sam di waktu perang" orang itu bertanya lagi. Tahu, tahu betul.
Mengapa berani-berani masuk kemari" Turunkan aku, biar kuterangkan pada kalian. Mereka menurunkannya, dan Pada merasai darah di kepalanya turun, membikin kakinya jadi semutan. Mereka mengancamnya dengan senjatanya,
Kau dalam bahaya. Jangan beri keterangan bohong. Aku datang untuk mencari Babah Liem Mo Han. Ha! Siapa kau ini"
Pada mulai berdiri, menjawab: Siapa" Apa kalian tidak kenal aku" Aku anak angkat Babah Liem.
Tidak kenal. Kalau begitu kalian orang baru di Lao Sam ini. Dan benar, mereka memang pendatang baru. Setelah Demak menyerbu Tuban, ratusan orang Tionghoa didatangkan ke Lao Sam dari bandar-bandar lain, terutama dari Semarang, untuk melindungi perjanjian Semarang- Demak dan Ceng He-Majapahit Dua macam perjanjian yang tersimpan dalam khasanah kelenting Semarang itu mereka rasai sedang terancam setelah Demak berada dalam kekuasaan Trenggono.
Mereka tidak mengenal Pada.
Tetapi mendengar korbannya ingin menemui Liem Mo Han mereka melepaskannya dari ikatan dan menggiringnya di bawah ancaman tiga trisula menuju ke tengah-tengah kota Lao Sam.
Ia dibawa masuk ke sebuah rumah besar yang sudah dikenalnya -rumah Babah Cia Mie An. Ia disuruh duduk di atas kursi bambu dalam keadaan tetap terjaga. Salah seorang di antaranya menyorongkan bungkusannya pada pangkuannya. Dan ia mengucapkan terimakasih dalam bahasa Tionghoa.
Beberapa orang wanita memasuki ruangan besar itu membawa lampu tambahan. Pada mengocok matanya. Tidak salah. Ia mengenal dua orang wanita itu. Dan mereka nampak terkejut melihatnya. Mereka bersiap-siap hendak menegurnya, tapi Coa Mie An kebetulan sedang masuk, dan mereka pergi menghindar.
Ah, sahabat Pada Mohammad Firman, tegur tuan rumah sambil tertawa senang. Ia lambaikan tangan menyuruh wanita-wanita itu menyingkir lebih jauh. Sahabat mau menemui Babah Liem, aku dengar.
Pada menggangguk. Pikirannya masih tetap terpaut pada perempuan-perempuan itu. Malah matanya masih terpancang pada pintu ke mana mereka tadi menghilang.
Nampaknya sahabat punya perhatian pada mereka. Atau suka barangkali"
Pada dipaksa untuk menyimak tuan rumah, la menggeleng.
Baru beberapa hari ini aku beli mereka itu, yang lainlain sudah aku bagikan. Yang dua ini aku maksudkan untuk diriku sendiri. Maaf, sahabat , aku pun ingin punya anak. Tapi kalau sahabat menghendaki. ..
Pada tahu dua orang itu tak lain dari Nyi Ayu Sekar Pinjung dan Nyi Ayu Campa.
Tidak, Babah, terimakasih. Dari siapa Babah membeli mereka"
Dari seorang perwira, sahabat, jarahan perang. Perwira mana" Demak atau Tuban" Tuban.
Masyaallah, sebut Pada. Bukankah Babah tahu mereka selir-selir Sang Adipati" Bukankah yang seorang itu Nyi Ayu Sekar Pinjung dan yang lain Nyi Ayu Campa"
Tidak salah, sahabat. Dan perwira Sang Adipati sendiri yang menjualnya. Nampaknya sahabat begitu terkejut
Dunia apakah semua ini, pikir Pada. Dan yang keluar dari mulutnya: Aku datang dari Malaka
Ya, aku tahu, sahabat. Untuk bertemu dengan Babah Liem.
Ya, aku tahu. Begini, sahabat, sudahkah ada pasukan Tionghoa bergabung" Dan pasukan Semenanjung sendiri" Dan pasukan Demak"
Seorang pun tak ada, Pada menggeleng.
Sudah aku duga. Dalam catatan disebutkan, Pasukan Tionghoa itu sedikit sekali kemungkinan bisa datang. Mereka juga dibutuhkan di perairan Manado dan Kalimantan. Maaf, kami tak bisa berbuat sesuatu. Biar aku mencari Babah Liem
Koh Gouw Eng Cu sudah berkali-kali memberitahukan pada Liem Mo Han agar jangan menyampaikan janji pada siapa pun. Rupanya dia telah sampaikan pada sahabat. Ada kau bertemu dengan Gouw Eng Cu sebelum berangkat ke Malaka"
Tidak. Mestinya sahabat menemui dia lebih dahulu. Sayang dia telah meninggal, pada hari pertama Demak masuk. Memang suatu bencana, kecelakaan yang tidak bisa dihindari. Perang, sahabat.
Dibunuh" Ya. Mereka terdiam. Kemudian Coa Mie An meneruskan: Karena Babah Liem toh sudah menyampaikan pada sahabat, aku merasa perlu untuk meminta maaf pada Senapati melalui sahabat, juga pada sahabat sendiri.
Pada tak menanggapi, dan ia meneruskan: Melihat penyerbuan Demak kemari boleh jadi dengan sengaja ia tak mengirimkan seorang pun ke Malaka.
Biar aku temui Babah Liem sendiri.
Nanti dulu. Nampaknya sahabat sangat lelah. Perlukah dilayani wanita-wanita tadi"
Tidak, aku sungguh terburu-buru.
Lebih baik sampaikan saja padaku, karena akulah sekarang penggantinya.
Tidak, Babah Liem sendiri yang aku perlukan. Ah, sahabat. Kalau begitu, biar kuceritai apa sesungguhnya telah terjadi: ayah angkat sahabat sudah tiada.
Mati" Ya. Dua bulan yang lalu. Ditangkap oleh pasukan Demak dan diseret dengan kuda di atas jalanan sampai ajalnya.
Pada menyebut. Itu belum semua. Sewaktu membunuhnya, mereka bersorak-sorak hendak juga menumpas Wiranggaleng dan seluruh keturunannya. Juga namamu disebut-sebut. Kalian dianggap bersekongkol melawan Demak.
Pada minta diri. Nanti dulu, masih banyak yang harus dipercakapkan. Seperti sahabat ketahui. Babah Liem tidak punya sanakkeluarga. Ia meninggalkan rumah dan semuanya. Barang tentu semua itu jatuh ke tangan sahabat sebagai warisan .
Pada minta diri untuk kedua kalinya dan mengucapkan terimakasih atas segala yang telah diketahuinya. Malam itu juga ia tinggalkan Lao Sam kembali ke jurusan tenggara. Ia terpaksa balik ke Awis Krambil untuk membawakan berita ancaman itu.
Dalam keadaan kehabisan tenaga ia sampai di Awis Krambil. Ia terpaksa menemui lagi Idayu dan menceritakan segalanya. Keesokan harinya ia ungsikan keluarga itu lebih ke dalam lagi memasuki daerah kabupaten Bojonegara. Di sana ia tinggal selama tiga bulan, membantu menyiapkan ladang dan huma. Dengan menyandarkan kepercayaan pada kebesaran Tuhannya ia tak merasa merana lagi karena cintanya. Sebaliknya Gelarlah yang memberinya kesulitan. Ia selalu mengajak berdebat dan Idayu mendengarkan dengan diam-diam. Ia tahu Idayu takkan berpihak padanya.
Dari perdebatan-perdebatan itu Pada menarik satu kesimpulan. Gelar membenci apa saja yang berbau raja. Bagi anak muda itu, di mana ada raja di situ ada kelaliman. Ia sendiri berpendapat lain: bagaimanakah kehidupan dapat diatur tanpa ada seorang raja"
Perdebatan yang tak habis-habisnya dan tidak memuaskan kedua belah pihak, sampai rumah selesai dibangun dan ladang habis ditanami dan ia harus pergi untuk melakukan tugasnya.
Sekali lagi Gelar mengantarkan sampai ke perbatasan Tuban. Sebelum perpisahan ia memerlukan bertanya: Apa jawaban emakmu"
Tentang apa, paman" Anak Senapatiku kau ini atau bukan"
Ternyata Gelar belum juga mendapat jawaban. Dan mereka berpisahan.
Ia mengambil jalan darat. Jalanan negeri dilaluinya hanya di malam hari. Bungkusannya sekarang dipikulnya pada dua bilah tombak lempar. Pada pinggangnya sekarang tergantung sebilah pedang.
Walau pun ia tak pernah mengalami masa keprajuritan, dengan senjata-senjata itu ia merasa lebih aman.
Perjalanan melalui daerah tandus yang merupakan sayannah dengan selang-seling rawa besar dan kecil itu sangat berat. Lebih-lebih lagi karena ia tahu balatentara Demak yang menghendaki jiwanya. Maka ia pilih jalan di luar kekuasaan Demak.
Setelah sampai waktu harus membelok ke utara, ia berjalan hanya di malam hari melintasi daerah kekuasaan bekas rajanya. Dengan demikian ia selamat sampai di Jepara.
Ia sudah tak punya daya lagi untuk meneruskan perjalanan. Ia telah biarkan kumis dan jenggotnya dan cambangnya melebat pada mukanya.
Dan ternyata tidak semudah itu ia bisa menghadap Ratu Aisah. Sama sulitnya dengan menghadap Kala Cuwil.
Seminggu sudah ia berjemur din di depan pendopo rumah Ratu Aisah, dan tak seorang pun datang menegurnya. Maka ia pun memutuskan, bila pada hari yang ke tujuh ini tak juga mendapat tegur sapa, ia akan meneruskan perjalanan ke Malaka.
Matari sudah mulai condong dan badannya sudah sesiang tadi mandi keringat.
Seorang gadis cilik, cucu Ratu, datang menghampin, berkata: Sudah dihitung harinya. Seminggu sudah kau bersimpuh hendak menghadap Nenenda. Tidak bisa, Paman, Nenenda tak hendak menemui siapa pun. Siapa kau ini. Paman"
Sahaya utusan dari Malaka, Raden, utusan Senapati Wiranggaleng, datang untuk menghadap Gusti Ratu. Wiranggaleng, gadis cilik itu berseru riang. Aku kenal nama itu! Dengan kekanak-kanakan dan keramahan Iuarbiasa ia meneruskan, Kalau begitu akan aku sampaikan. Duduk saja di situ, Paman, biar kubisikkan pada Nenenda Ratu.
Ia lari ke samping rumah dan menghilang. Pada menghela nafas lega.
Dan matan sudah mulai tenggelam. Ia masih menunggu. Gadis cilik itu keluar lagi membawa sebuah bungkusan dan pundi-pundi.
Nenenda Ratu tak berkenan dihadap oleh siapa pun, katanya dan menyerahkan pundi-pundi itu. Ini untuk Paman, dinar-dinar mas untuk perjalananmu, dan ini, ia menyerahkan bungkusan, untuk siapa saja yang mampu mengenakannya, kata Nenenda. Sekarang Paman buruburu saja tinggalkan Jepara. Berlayar sampai Semarang, kemudian jalan darat sampai Banten baru kemudian menyeberang. Begitu pesan nenenda.
Anak itu tak mengulangi kata-katanya dan menyuruhnya pergi dengan lambaian tangan, seakan ia hanya seekor lalat tanpa harga
Dengan prihatin ia berangkat ke pelabuhan. Sepanjang jalan ia berpikir: dunia apakah semua ini" Dia pikul bungkusan sendiri dan pemberian itu pada tombak dan pedang yang telah dibungkuanya dengan daun pisang.
Dengan sebuah perahu layar kecil ia menuju ke Semarang kemudian berjalan darat memasuki pedalaman. Ia menduga, pesan Ratu Aisah mempunyai hubungan dengan gerakan armada Jepara-Demak. Maka ia harus mematuhinya. Dijauhinya daerah pesisir. Dan dengan demikian ia menempuh jarak jauh menuju ke Pajajaran.
la tahu tak mungkin ia turun ke bandar Banten setelah tempat itu diduduki oleh Demak, la harus turun ke bandar Sunda Kelapa. Ia pun sudah mendengar armada Jepara- Demak melakukan garis pengepungan terhadap Selat Sunda. Ia tak pasti dapat menerobosi kepungan itu atau tidak.
Setiap hari ia berjalan seorang diri atau dalam rombongan dengan orang-orang lain. Sepanjang jalan ia berusaha belajar bahasa Sunda. Dan hatinya harap-harap cemas untuk melihat kerajaan Hindu itu. Pasti segalanya akan lebih buruk daripada Demak yang Islam atau Tuban yang setengah Islam. Segala yang kafir pasti buruk.
Dan teman-teman seperjalanannya dengan senanghati mengajarinya bahasa Sunda. Ia sendiri dapat belajar cepat.
Di perbatasan Pajajaran ia menginap seminggu. Sudah lama ia ingin mengetahui apa isi bungkusan dari Ratu Aisah.
Dengan ragu-ragu ia membukanya, mengetahui bukan haknya ia melakukannya, maka ia mengangkat sembah. Tetapi ia tetap ragu-ragu. Dan bagaimana nanti kalau ada punggawa memeriksanya dan ia tak tahu apa isinya" Pada Tuhannya juga ia serahkan putusannya.
Sinar matari yang menerobosi dedaunan itu jatuh di atas bungkusan dan berdansa-dansa dalam bercak-bercak keputihan. Bungkus itu sendiri adalah kain tenunan putih yang sudah agak tua. Di dalamnya ada pembungkus lagi dari kain putih yang ditenun dengan benang sutra kuning, malang dan bujur. Dan pembungkus itu berputar-putar beberapa kali, lebih dari dua depa panjang.
Benda pertama yang keluar adalah selembar kain batik bergambar kupu-tarung.
Lambang Jepara Adipati Unus almarhum! pikirnya. Kain itu dibukanya dan di dalamnya terdapat destar dengan gambar peminggir kupu-tarung pula. Kalau begitu, katanya dalam hati, mungkin pembungkus kedua adalah tilam almarhum.
Di dalam destar terdapat sebuah pundi-pundi coklat dari kulit kepompong berisikan cincin mas dengan gambar itu pula, terukir pada bagian depan. Dalam pundi-pundi coklat lainnya yang berselang-seling dengan wama jambu, juga dari kulit kepompong, hanya lebih besar, terdapat seutas kalung dengan pemberat selembar mas berukir dengan tengah-tengahnya terdapat lambang itu juga. Gambar kupukupu itu seperti ditempel di atas lembaran mas itu, kaki dan belalai-nya dari perak dan matanya dari intan. Selanjutnya terdapat dalam bungkusan lain sebuah ikat pinggang dari lembaran perak dan mas berselang-seling, berukir indah dan pada bagian kepalanya pun terdapat gambar yang sama. Dalam sebuah kasut dari kulit terdapat sebuah bungkusan kulit kepompong kuning berisikan sebuah gelas emas berukir gambar yang sama. Terakhir adalah keris yang terbungkus kain biru nila. Sarung dan tangkainya terbuat dan mas bertatahkan mutu manikam.
Ia perhatikan barang-barang itu sebuah demi sebuah, mengagumi indahnya ukiran.
Tiba-tiba ia berseri-seri Suatu pikiran datang padanya: ia akan memasuki Pajajaran sebagai seorang pangeran.
Aku akan kenakan barang-barang kerajaan ini. Mengapa tidak" Memang bukan hakku, hak orang yang dapat meneruskan cita-cita Gusti Adipati Unus. Aku hanya akan meminjam agar barang-barang bisa lebih cepat sampai pada yang berhak.
Ia kemasi semua dan dengan girang meneruskan perjalanan, terus seorang diri.
Di pinggiran desa Baleugbak di tepi Ctbwung, ia mulai mengubah din-nya jadi seorang pangeran. Mula-mula ia mandi bersih-bersih. Ia gosok badannya dengan pasir kali, mengeringkan badan, dan mengenakan semua pakaian kerajaan itu. Memang agak pendek dan longgar, tapi apa salahnya. Seorang pangeran takkan dilihat dengan sebelah mata karena pakaiannya kependekan dan kelonggaran Dan ia harus berjalan hati-hati, kasut itu tidak cocok untuk kakinya yang tak pernah beralas, kekecilan.
Dari kejauhan dilihatnya orang-orang desa sedang mengangkuti panen.
Bismillah, bisiknya, dan dalam pakaian Adipati Unus ia mengangkat sedikit kainnya dengan tangan kiri sambil menjinjing bungkusan, dan dengan tangan kanan berlenggang bergaya raja. Bungkusan itu ia sembunyikan dalam sebuah rumpun semak di pinggir kali.
Ia tahu betul gaya ningrat bila berjalan. Baginya tak ada sesuatu kesulitan. Dengan tabah, menyerahkan segalanya pada Allah ia berjalan melenggang dengan tangan kanan, meninjau ke sana-sini seakan sedang memeriksa sawah sendiri.
Orang pertama yang dipapasinya adalah seorang gadis yang mencari kejauhan untuk buang air. Anak itu cepatcepat menyingkir, meletakkan bakulnya di tanah, berlutut dan menyembah. Dan Pada mengetahui benar anak itu sudah tak dapat menahan desakan perutnya. la lambaikan tangan dan meneruskan jalannya, berlenggang bangsawan dan bergaya, lambat-lambat berwibawa.
Tanpa melihat ke belakang ia pun tahu gadis cilik itu telah lari dari pandangan orang. Ia berhenti di bawah pohon sambil tersenyum-senyum mengagumi keindahan dirinya sendiri yang bukan dirinya sendiri lagi.
Beginilah rasanya jadi pangeran. Belum-belum sudah dapat satu sembah.
Tetapi gadis itu terlalu lama belum juga muncul, ia mulai memanggil-manggilnya. Anak itu muncul juga dengan kain basah. Ia merunduk-runduk mendekat dan menyembah lagi.
Dua sembah, senyum Pada alias Mohammad Firman. Hai, Upik! perintahnya, pergi kau mendapatkan kepala desamu. Sampaikan Sang Pangeran Adipati Pada agar dijemput.
Ia tak yakin gadis itu dapat menangkap kata-kata Sundanya, namun ia segera menyembah dan lari meninggalkan keranjangnya. Dan Pada menunggu di tengah jalan dengan satu tangan bertolak pinggang dan tangan lain memegangi ujung kainnya.
Sawah-sawah di kiri-kanan jalan hampir seluruhnya telah terpaneni, jalan itu sendiri diapit oleh saluran air yang mengalirkan air jernih tanpa putus-putusnya. Selama hidup di daerah utara Jawa Tengah dan Umur ia tak pernah melihat tanah sesubur itu, kaya akan air yang terkendali. Jelas daerah ini jauh lebih baik daripada Tuban, Jepara atau Demak. Udaranya sejuk dan nyaman.
Dari kejauhan terdengar olehnya kentongan ditabuh bertalu-talu, dan tampak olehnya orang berlarian gugup. Sebentar ia ragu-ragu adakah itu kentongan bahaya yang mencurigai dirinya, ataukah kentong suka untuk menyambut kedatangan Pangeran Adipati Pada.
Ia tersenyum bahagia melihat orang berbondongbondong datang tanpa membawa senjata. Dan ia mengucap syukur.
Orang-orang berpakaian lebih baik daripada umumnya penduduk negerinya sendiri. Kulit mereka langsat. Cara mengenakan destar pun berlainan, lebih ke bawah dan tak ada nampak sudut-sudut datar yang dikakukan dengan kanji, semua jatuh layu di bawah tengkuk.
Lelaki dan perempuan datang bersama-sama seperti biasa terjadi di desa-desa pedalaman. Dan wajah mereka berseri-seri, mungkin karena panen yang berhasil, mungkin pula karena kedatangannya.
Tidak, bantahnya setelah teringat pada kata-kata Gelar, tak ada orang desa berseri-seri ikhlas karena kedatangan seorang pangeran. Jangan bohongi dirimu.
Seorang lelaki setengah tua berpakaian lebih baik, satusatunya yang menyelitkan kens pada punggungnya, menyembahnya sekali, kemudian menyila kannya berjalan lebih dulu.
Dan Pangeran Adipati Pada pun berjalan dengan satu tangan berlenggang besar, tangan lain mengangkat kain. Seseorang membawakan barang-barangnya. Dan semua orang mengiringkan di belakangnya.
Pelataran kepala desa hampir-hampir penuh dengan tumpukan padi sebagaimana halnya di pelataran lain. Wanita-wanita berlutut di antara tumpukan-tumpukan itu dan menyambutnya dengan sembah.
Melalui tumpukan padi pula ia diiringkan memasuki rumah.
Juga di tangga rumah anggota-anggota keluarga kepala desa berlutut menyembah. Bocah-bocah bersimpuh di tanah, juga menyembah.
Selamat, pikir Pada, semua takluk di bawah kekuasaan Sang Pangeran, insya Allah.
la naiki tangga dan masuki pendopo yang digeladaki dengan pecahan kayu sadang yang mengkilat hitam. Sebuah meja rendah disiapkan untuk kedudukan Sang Pangeran. Tak ada bangku di seluruh desa itu. Dan semua orang, baik di geladak ataupun tanah, menghadap padanya seakan mereka punggawa pada hari penghadapan.
Betapa sukacita sekalian kawula di sini mendapat kunjungan Gusti Pangeran..
Pangeran Adipati Pada! Pada membantunya sambil mengangkat lengan memamerkan gelang masnya.
Dari manakah gerangan Gusti Pangeran Adipati maka datang ke desa Baleugbak tanpa pengiring"
Pada mengumpulkan kata-kata Sunda yang dibutuhkannya, tapi ia tak mengerti betul apakah tepat untuk keperluan resmi semacam ini. Ia menjawab sejadijadinya: Kami datang dari jauh, dari timur sana. Dari Jepara.
Jepara! seru beberapa mulut.
Orang tak memperhatikan keanehan kata dan kalimatnya. Orang tersentak karena Jepara.
Bagaimana mungkin, Gusti Pangeran, sedang armada Gusti sedang menerjang bandar Sunda Kelapa .
Pada menggeragap. la menyesal telah menggunakan kata Jepara. Mengapa ia tak menggunakan tempat lain" Mengapa mesti Jepara" Nama yang sedang dibenci di mana-mana. Ia tabah dadanya untuk mendapatkan ketabahannya kembali. Ia tak boleh lebih lama gugup. Ia harus segera menjawab. Dibukanya senyum manis dan berkata meyakinkan, lebih pada diri sendiri: Ketahuilah, kau. Kepala Desa, kami Pangeran Adipati Jepara tidak setuju armada Jepara-Demak melanggar Sunda Kelapa. Maka itulah sebabnya kami berselisih dengan Sultan Trenggono Demak, saudara kami, juga dengan Panglima- Laksamana-Gubernur Fathillah.
Ia hampir-hampir kehabisan kata. Sedang kata-kata yang terhambur pun belum tentu betul. Waktu ia belajar bahasa Tionghoa, Liem Mo Han mengatakan padanya: kalau kau sudah bisa menipu dengan bahasa ini, kau benar-benar sudah pandai Tionghoa. Dan sekarang ia sedang menipu dalam bahasa Sunda, dan ia tahu benar sama sekali tidak pandai Sunda.
Semua orang menunggu kata-katanya selanjutnya. Dan ia meneruskan tersendat-sendat: Jadi larilah kami kemari untuk mengabdi di bawah duli Sri Baginda Prabu Sedah. Barangkali diterima dan diluluskan untuk dapat menghadapi Panglima-Laksamana-Gubemur Fathillah.
Pada diam dan menebarkan pandang pada semua orang di hadapannya. Ia tahu bahasanya menubruk-nubruk, tak ada jalan lain yang dapat ditempuhnya.
Belum lagi kepala desa membuka suara ia menggeragap lagi, menyedari bahaya baru yang mungkin menimpa dirinya dengan serbuan Fathillah terhadap Sunda Kelapa. Ia bermaksud hendak menerobos kepungan Demak dari Sunda Kelapa, sekarang bandar ini justru jatuh ke tangan Demak. Dengan menantang Fathillah hanya karena hendak berkelakar ia akan terjatuh dalam kesulitan yang lebih parah.

Patik semua di sini bergagama Hindu, Gusti, sedang Gusti Islam. Orang-orang Islamlah yang menyerbu negeri kami dari laut, sedang Gusti memasuki negeri kami dari darat.
Ia sepenuhnya mengerti ketidak-percayaan kepala desa itu. Dan sekali dimulai dengan kebohongan, kebohongan lain harus membantunya. Celaka. Cepat-cepat ia menerangkan: Ketahuilah, Pangeran Adipati Jepara ini masuk dari darat tanpa membawa balatentara. Ia datang sebagai pelarian.
Kalau begitu soalnya, Gusti akan patik kirimkan utusan untuk mempersembahkan kedatangan Gusti Pangeran kepada Gusti Patih di Ibukota.
Pada menjadi pucat. Dan kata-katanya tak juga mau datang ke otaknya. Ia gerak-gerakkan lengan untuk menutupi kegugupannya. Dan keluar saja dari mulutnya: Ketahuilah, kami akan menghadap sendiri. Sediakan untuk kami pengiring secukupnya, sediakan untuk kami penginapan untuk beberapa hari .
0o-dw-o0 Armada Jepara-Demak memblokade bandar Sunda Kelapa dari laut dan darat. Perdagangan dan kesibukan bandar jatuh. Perahu-perahu kecil dari pantat jauh dari bandar, juga dari bandar kedua Pajajaran, Cimanuk, berbondong-bondong menerobos ke Panjang di ujung selatan Sumatra, meloloskan diri dari blokade.
Armada Fathillah tak mampu mengatasi penerobosan di jarak sejauh itu, Maka ia jatuhkan perintah untuk menguasai sama sekali Sunda Kelapa.
Pendaratan serentak dimulai. Pertempuran yang tidak begitu berarti terjadi. Mula-mula di daerah sekitar bandar, kemudian meluas ke daerah rawa-rawa di peluaran bandar.
Kekuatan Pajajaran di Sunda Kelapa terlalu kecil dan lemah dibandingkan dengan belasan ribu balatentara penyerbu. Pangeran Sunda Kelapa sendiri yang memimpin pertahanan. Dalam hanya satu hari pertempuran pertahanan Sunda Kelapa dadal, pasukan Pajajaran terdesak mundur sampai ke pedalaman.
Pangeran Sunda Kelapa ditemukan tewas di tengahtengah empat orang perwira yang hendak menyelamatkannya.
Fathillah, yang sendiri memimpin pendaratan, ikut melakukan penghalauan dan pembersihan terhadap daerah bandar. Ia temukan tugu perjanjian Portugis-Pajajaran yang berdiri di atas sebidang tanah, yang dicadangkan untuk kantor dagang Portugis.
Ia memerintahkan untuk merobohkannya dan menceburkannya ke dalam kali Ciliwung tanpa sesuatu upacara.
Keesokan harinya Fathillah mendapat serangan pembalasan. Pajajaran menurunkan balatentara besar untuk menguasai kembali Sunda Kelapa. Pertempuran baru segera terjadi di rawa-rawa, riuh-rendah ditingkah sorak-sorak dan canang dari kedua belah pihak.
Demak menggunakan cetbang bikinan pandai Blambangan. Dan Pajajaran tak pernah mengenal senjata ledak yang melumpuhkan syaraf ini. Mereka terhalau meninggalkan rawa-rawa dan naik ke darat dalam pengejaran peluru cetbang.
Melihat balatentara Pajajaran menarik diri Fathillah memerintahkan penghentian pengejaran. Seluruh bandar jatuh ke tangan Demak. Perlawanan Pajajaran patah dan Sunda Kelapa terpaksa dilepaskan.
Walaupun Trenggono-Fathillah berkokok-kokok untuk menumpas kerajaan Hindu di sebelah barat ini, namun Fathillah tidak bermaksud menguasai pedalaman. Tanpa bandar, katanya pada suatu kali di dalam khotbahnya, Pajajaran akan jatuh dengan sendirinya tanpa arti. Maka bandarnya yang kedua, Cimanuk, juga harus direbut. Seluruh pesisir harus dikawal.
Dan itulah yang akan dikenakannya.
Ia kerahkan penduduk Sunda Kelapa yang telah beragama Islam, dipilihnya yang muda-muda, dilatih dan dipersenjatai, kemudian dinaikkan ke kapal dan dikirimkan ke Cimanuk
Pasukan kaki Demak ditinggalkan di Sunda Kelapa sebagai tentara pendudukan. Ia sendiri sekarang tinggal di Sunda Kelapa sebagai Panglima Laksamana Gubernur Banten dan Sunda Kelapa.
Penduduk Sunda Kelapa tidaklah banyak. Dalam banyak hal bandar ini tak mampu melawan bandar Banten. Daerah bandarnya sendiri pada umumnya ditinggali oleh pelarian dari Semenanjung, terutama Malaka. Orang Pajajaran sendiri segan tinggal di sini karena hebatnya penyakit demam-pembunuh. Pendatang-pendatang itu seluruhnya beragama Islam. Mereka lebih berpihak pada Demak yang Islam daripada Pajajaran. Apalagi Demaklah satu-satunya kekuatan yang dengan sunguh-sungguh berusaha mengusir Peranggi dari negeri kelahiran mereka. Maka jatuhnya Sunda Kelapa ke tangan Demak terlalu mudah.
Fathillah tak menghadapi sesuatu kesulitan dalam mengatur kembali kehidupan. Bahkan perintahnya untuk mendirikan mesjid kemenangan di wilayah bandar disambut dengan bersemangat oleh penduduk. O-rangorang Hindu yang sedikit, yang tak dapat menenggang kerja untuk desa lain dan untuk menguasai lain pada membangkang atau melarikan diri, meninggalkan harta benda dan kampung-halaman. Mereka menghilang di balikbalik perbukitan pedalaman. Yang tertinggal kemudian ditangkapi dan ditindas dengan kerja paksa. Tak ada tempat lagi di bawah kekuasaan Fathillah untuk mereka yang beragama Hindu.
Selama pembicaraan di pendopo Pada dapat melihat hadirnya seorang gadis yang selalu memperhatikan gerakgerik dan bahasanya yang aneh, kaku dan dipaksapaksakan. Dialah satu-satunya yang tidak menunduk Matanya laksana sepasang bulan kembar, bulat, dengan bulu mata panjang dan lengkung. Nampaknya ia bersimpati pada tamu agung yang jelas berada dalam kesulitan dan sedang mencoba sekuat daya untuk keluar daripadanya. Ia adalah Sabarani, anak kepala desa.
Ia jatuh kasihan. Baginya tamu itu sama sekali bukan tamu agung, bukan seorang pangeran, hanya manusia biasa yang membutuhkan pertolongan. Dalam gambarannya, pasukan Pajajaran yang dibakar oleh dendam pada Jepara- Demak akan merejamnya tanpa ampun. Dan gambarannya itu pasti akan menjadi kenyataan dalam beberapa hari ini.
Ia mendengarkan suara hatinya yang memanggilmanggil untuk menolongnya. Tapi bagaimana" Ia belum lagi tahu. Ia harus menolongnya. Bagaimana" Sedang dirinya sendiri pun membutuhkan pertolongan"
Ia sendiri harus melarikan diri dari desanya. Seorang ningrat Pakuan dalam beberapa bulan mendatang akan merenggutkannya dari desanya.
Ia akan diselir olehnya. Orang tuanya tak dapat berbuat sesuatu. Seluruh desa pun tidak.
Ia menunduk waktu orangtuanya menyatakan bersenanghati menerima Pangeran itu sebagai tamunya, sudi menyediakan penginapan, dan berjanji akan mengirimkan utusan ke Pakuan.
Setelah pertemuan selesai, di ruang belakang ibunya berkata padanya: Kau, Sabarini, putri berbangsa, hanya kau saja yang patut melayani Gusti Pangeran.
Dengan demikian ia mulai melayani tamu agungnya, mencuci kakinya dengan air hangat, merapikan tempat tidur dan menyediakan makan dan minumnya. Simpati menyebabkan ia merasa lebih dekat pada orang asing ini daripada seluruh penduduk desa.
Mungkin perpaduan antara kesulitan pribadi dan kesulitan tamu itu dapat menghasilkan satu penyelesaian bagi mereka berdua.
Selama ini tak ada pemuda sedesa berani menyatakan kasih-sayang pada seorang calon selir ningrat. Untuk itu jiwa bisa jadi tebusannya. Maka sebagai seorang gadis ia tumbuh seorang diri dalam kesepian. Ia hanya dapat menyaksikan teman-temannya ria bergembira menikmati keremajaannya. Dengan diam-diam ia berjanji dalam hati untuk membantu tamu itu melarikan diri, dan ia akan mengikutinya kapan saja dan ke mana saja, asal tidak menjadi selir saudaranya sendiri.
Dari cerita ibunya ia dan seluruh penduduk desa sendiri pun tahu, pada suatu kali dalam perburuan kerajaan, Patih Narogol mendapat penginapan di rumah kepala desa. Oleh ayahnya, ibunya disediakan untuk Sang Patih buat jadi pelayannya selama persinggahan. Sejak itu sang ibu tidak digauli oleh ayahnya, sampai si bayi dilahirkan. Dan si bayi itu dinamai Sabarini. Seluruh desa menganggapnya sebagai putri Sang Patih. Dan tak ada seorang pun berani mempersembahkannya pada Narogol.
Lima belas tahun kemudian suatu perburuan singgah lagi di desa Baleugbak. Putra Narogol yang melihat Sabarini sekaligus tertarik pada kecantikannya dan meminta pada kepala desa untuk menyelimya. Ia akan mengambilnya barang tiga tahun kemudian. Ditinggalkan olehnya sebentuk cincin pada keluarga itu dan selembar destar sebagai tanda pengikat. Tak ada yang dapat mematahkan ikatan ini kecuali Sri Baginda sendiri atau Sang Patih. Pelanggaran berarti tebusan jiwa.
Setelah beberapa hari menginap, dan sawah telah dituai seluruhnya, pesta panen untuk memuliakan Dewi Sri. Upacara-upacara telah selesai sedang pesta menunggu setelah itu.
Sebuah kalangan dibuka untuk mengalahkan juara tahun lalu. Mula-mula diadakan pertunjukan demonstrasi perkelahian kanak-kanak yang ditingkah dengan gamelan sederhana, gendang kemong dan banyak suling. Waktu gamelan berhenti, anak-anak keluar dari kalangan. Muncul sang juara dengan sebilah tongkat bambu mengkilat seperti telah lama di ganggang di atas api dan digosok bermingguminggu. Beberapa orang penantang mengeroyoknya berbareng. Pertarungan sengit terjadi, juara itu melompat dan menerjang, berpaling dan bergulung-gulung seperti baling-baling lepas.
Penonton bersorak-sorak gegap-gempita dalam sinar cempor-cempor besar di empat penjuru.
Baik juara maupun para penantang berkilau-kilau bermandi keringat dan debu. Dan setelah agak lama pertunjukan berjalan, senjata seorang penantang terungkit lepas oleh tongkat bambu sang juara, melambung ke atas dan ditangkap oleh penantang lain. Penantang yang kehilangan senjata keluar dari kalangan dalam iringan sorak pujian untuk sang juara.
Selang beberapa bentar sebuah senjata lagi terungkit lepas lagi. Dan demikian seterusnya sehingga para pengeroyok terpaksa meninggalkan kalangan.
Sang juara mempertahankan kejuaraan desanya. Demikianlah kebiasaan di desa patik sejak nenekmoyangnya, kepala desa menerangkan pada tamuagungnya.
Sekilas terangsanglah Pada untuk bercerita tentang Tuban dan pes tatah unannya. Satu kesedaran, bahwa ia seorang pangeran Jepara, mematikan rangsangan. Ia mengangguk dan menggarami: Bagus. Calon-calon prajurit ulung.
Bukan calon prajurit, Gusti. Perang soal lain lagi. Yang pandai berkelahi belum tentu pandai berperang. Lagi pula negeri kami tak pernah berperang seperti negeri Gusti. Kami lebih suka hidup dalam kedamaian.
Pada menggeragap. Ia tahu telah salah menanggapi. Dan ia merasa beruntung kepala desa itu tidak melanjutkan persoalan.
Gamelan bertalu lagi. Suling-suling mengimbau memanggil juara baru. Dan tak terkirakan heran Pada melihat seorang gadis tampil ke gelanggang membawa dua batang bambu kecil sepanjang lengan. Kainnya dilipat sedemikian rupa sehingga menjadi cawat, dan rambutnya terkondai ramping seperti destar.
Dan gadis itu adalah Sabarini. Juara" Pada bertanya.
Juara, Gusti, jawab kepala desa yang duduk di bawah sebelah samping. Matanya berkilau-kilau bangga.
Sabarini memutar-mutarkan dua bilah tongkat pendek itu ke udara dan menangkapnya kembali, melontarkan dan menangkapnya lagi. Tongkat-tongkat itu berputar seperti kitiran. Dan Pada baru sekali akan melihat perkelahian dengan dua tongkat pendek.
Seorang gadis lain melompat ke gelanggang dengan sebilah parang dan langsung menyerang. Orang bersoraksorak, kemudian terdiam melihat hebatnya serangan. Hantaman-hantaman parang itu tertangkis oleh bambubambu pendek yang melindungi lengan.
Pada melihat, dengan bambu-bambu pendek itu Sabarini ternyata juga bisa menyerang. Satu di antara bambu itu melesit berputar mengenai tangan si penyerang. Parang itu meleset ke samping, dan dengan bambu yang lain gadis itu memukul tangan berparang sehingga senjata itu jatuh ke tanah tanpa daya.
Orang bersorak-sorak riang. Penantang meninggalkan gelanggang. Sabarini melontar-lontarkan bambunya ke udara lagi sebagai undangan untuk penantang baru. Tak seorang pun tampil ke depan.
Gusti Pangeran! seseorang berteriak.
Ya-ya, Gusti Pangeran, yang lain-lain membenarkan. Gusti, kepala desa itu memohon, itulah adat desa kami. Gusti dipersilakan turun ke gelanggang. Kami!" tanya Pada tak percaya. Peluh dingin mulai membasahi tubuhnya.
Seumur hidup ia tak pernah berlatih berkelahi. Sekarang! Sekarang akan terbongkar belangnya. Mana ada seorang pangeran tak pernah berlatih keprajuritan dan berkelahi" Mana ada" Haruskah diri dipermalukan di depan umum oleh seorang gadis pula" Gadis desa Baleugbag" Betapa dunia akan mentertawakan ningrat Jepara di kemudian hari.
Silakan Gusti Pangeran Adipati Jepara!
Dan Pada mengerahkan pikiran untuk menemukan akal. Lambat-lambat ia berjalan memasuki gelanggang. Memang tak ada jalan lain untuk menyelamatkan muka.
Sabarini berlutut. Dua potong bambu pendek itu digeletakkannya di hadapan Sang Pangeran, dan ia menyembah.
Aku hanya pernah belajar bicara, pilar Pada, itu pun belum tentu dapat dan bisa meyakinkan orang . Langkahnya gontai dan kakinya berat. Ia ambil dua bilah dari bambu di hadapannya dan pura-pura mengagumi.
Buat para penonton perbuatannya terlalu lama. Orang sudah tak sabar. Tapi akal belum juga datang pada Pada. Sekarang ia pura-pura mengagumi Sabarini, ikut pula berlutut seakan-akan sedang mengikuti adat gelanggang, tetapi bibirnya menggeletar berbisik: Sabarini, ah, Sabarini.
Sabarini menyembah lagi, juga berbisik: Gusti Pangeran, patik di sini, Gusti, suaranya lunak, bening dan bernyanyi, menyirapkan darah Pada.
Orang-orang bersorak tak sabar. Pada berdiri. Sabarini juga berdiri setelah mengambil jarak. Pada mengembalikan bambu pada yang punya. Sambil berpaling pada kepala desa ia berkata dengan nada protes: Tak pernah di tempat kami bambu begini dipergunakan untuk berkelahi.
Ambilkan dua bilah pedang. seseorang berteriak. Celaka, raung Pada dalam hatinya, dari bilah bambu beralih ke pedang. Akal! Hei, kau, akal, mengapa kau tak juga datang hei akal"
Seseorang masuk ke gelanggang membawa dua bilah pedang lebar tapi pendek. Dan badan Pada telah basah kuyup oleh keringat dingin sendiri.
Pembawa pedang itu berjongkok menyembah, kemudian mempersembahkan dua-dua senjata itu untuk dipilih mana yang lebih cocok Dan Pada menerima dua-duanya dan menimang-nimang. Berdoalah ia di dalam hati memohon perlindungan dan petunjuk dari Tuhannya. Keadaan ini harus diatasi. Dan doa itu memberinya ketenangan barang sedikit. Keluar lagi kata-kata bernada protes dari mulutnya: Tidak ada cara di negeri kami seorang satria menghadapi wanita dalam gelanggang semacam ini
Kang Acep, kau tampil, kang, seseorang berseru. Celaka, sekarang juara lelaki yang akan tampil. Menghadapi Sabarini sekarang harus dianggapnya sebagai kesempatan baik sebaik-baiknya. Ia tak memprotes lagi. Dengan membawa dua-dua pedang ia menghampiri Sabarini dan menyerahkan semua. Cepat-cepat ia berbisik Lebih baik kuperistri kau daripada aku binasakan, Sabarini, manis.
Sabarini mengangkat mata dan memandangnya. Tangannya salah menerima pedang dan senjata itu jatuh ke tanah. Dan Sabarini tak juga segera memungutnya.
Orang-orang terdiam, heran melihat seseorang juara luput menerima senjata.
Gamelan berhenti mengejut. Suling-suling membisu. Bagaimana, Sabarini" bisik Pada.
Pedang itu jatuh, Gusti, dan tak ada kekuatan pada patik untuk memungutnya, Sabarini berbisik menjawab.
Pada mendapat kepribadiannya kembali dan berseru: Ambillah pedangmu, Sabarini!
Orang melihat gadis itu gemetar. Sabarini membungkuk, tangannya layu mengambil pedangnya, tapi badan itu lambat sekali tegaknya. Dan belum lagi badan itu berdiri lurus, lututnya kemudian tertekuk, pedang tergelincir dan nampak tak ada niat padanya untuk memungutnya.
Sabarini! terdengar beberapa wanita berseru-seru. Sekarang gamelan berbunyi lagi, pelan-pelan, tanpa suling.
Kepala desa masuk ke gelanggang, menyembah Pada dan menghampiri anaknya, bertanya: Mengapa kau, anakku" dan berpaling pada Pada.
Dia telah menyerah, Kepala Desa, menyerah. Gamelan berhenti sama sekali.
Kepala desa membantu anaknya berdiri.
Sabarini mengangkat sembah lagi pada tamu agung, menerima tangan bapaknya dan berdiri dengan susahpayah, berjalan gemetar keluar gelanggang.
Pesta malam itu bubar dengan keheranan semua penduduk.
0o-dw-o0 Sesampai di rumah Pada segera pergi ke belakang dan kemudian bersembahyang di dalam bilik, mengucapkan syukur yang sebesar-besar-nya atas rahmat dan petunjuk yang diterimanya. Selesai bersembahyang ia lihat, sebagaimana biasa sebelum tidur, Sabarini masuk ke dalam bilik membawa air hangat pencuci kaki.
Ia turun dari ambin dan menyerahkan kakinya. Gusti, bisik Sabarini, benarkah yang patik dengar di gelanggang tadi"
Mengapa, Sabarini" Karena, Gusti, ternyata orangtua patik telah mengirimkan utusan ke Pakuan begitu panen dan upacara panen selesai. Pastilah tentara Pajajaran akan segera datang. Larilah, Gusti, dan bawalah patik.
Suara ribut terdengar di luar rumah: Kepala desa! Mana itu Pangeran Adipati Jepara"
Mereka telah mulai datang, Gusti, mari patik antarkan lari, mari .
Sabarini menarik tangan Pada dan yang ditarik menyambar bungkusan-bungkusan bawaan. Mereka lari setelah memadamkan pelita, ke belakang, langsung menuruni tangga belakang, melintasi ladang, kemudian sawah, sampai ke pinggir Ciliwung.
Naik, Gusti, naik ke atas rakit ini.
Sabarini menarik tali rakit, dan rakit itu meminggir. Mereka berdua melompat ke atasnya, dan Sabarini mengetengahkannya dengan sorongan galah. Tanpa bicara gadis itu meluncurkan dan mengemudikan rakitnya menuju ke hilir.
Pada sendiri masih terlongok-longok, kurang semangat, belum juga sembuh dari terkejutnya,
Dunia apakah semua ini, ya Tuhan, tanyanya pada Tuhannya. Dan ia tak mendapat jawaban. Ia menongkrong di atas rakit bambu, menenggelamkan kepala di antara dua belah lutut. Dan Sabarini, terus juga berjalan mondarmandir menyorong rakit yang laju dibawa air deras. Sudah jauh, Sabarini, berhentilah kau.
Belum, Gusti, mereka masih bisa memburu dengan sampan, dan ia bekerja terus.
Pada berdiri, menghampiri gadis itu, ragu-ragu sebentar, kemudian berkata: Sini, Sabarini, biar aku gantikan. Kau lelah.
Biarlah, Gusti. Patik biasa membawa rakit begini Sedang Gusti tidak pernah.
Aku biasa mendayung perahu. Rakit bukan perahu, Gusti, lain.
Air cukup deras begini, dia akan berjalan sendiri. Kalau tidak dikemudikan akan menubruk-nubruk, Gusti. Patik kenal riam-riam Ciliwung ini.
Sabarini tak dapat dihampirinya. Ia terus juga mondarmandir mendorong rakit dengan galahnya.
Pada tidak tahu sesuatu tentang rakit. Ia ingin membuka pembicaraan.
Sudahlah, biar rakit berjalan sendiri. Nanti berputar-putar. Gusti.
Biar berputar-putar, dan ditangkapnya tangan gadis itu. Ia rasai tangan itu gemetar. Ke mana kau akan pergi malam-malam begini"
Ke mana saja asal Gusti selamat. Pada melepaskan tangan itu. Sejak kanak-kanak ia sudah terbiasa bergaul dengan wanita-wanita harem. Ia lakukan apa saja yang mereka inginkan. Tapi gadis seorang ini menerbitkan hormat dalam hatinya. Ia tidak inginkan sesuatu daripadanya. Ia hanya ingin menyelamatkannya. Dan kalau aku sudah selamat kau akan ke mana lagi" Ke mana saja Gusti pergi.
Sabarini! dan gadis itu tak menyahut. Terimakasih. terimakasih atas pertolonganmu. Nampaknya keselamatanku menjadi kepentinganmu benar.
Bukankah Gusti sudah mengucapkan kata-kata itu" Bukankah Gusti seorang satria, sekalipun Islam"
Malam itu gelap. Dan Pada tidak mengerti bagaimana gadis pendekar ini dapat mengendalikan rakit tanpa petunjuk jalan. Nampaknya ia sudah mengenal alur Ciliwung. Ia perhatikan arus kali permukaan air dan airmuka Sabarini dalam kegelapan. Dan ia tak mampu menduga. Ia tunggu gadis itu menyatakan sesuatu, dan Sabarini tidak membuka mulut.
Jauh di sebelah timur sana ada seorang wanita yang membangkitkan kekaguman dan hormatnya, menyemaikan cintanya yang tulus. Orang itu adalah Idayu. Di Pajajaran ini ada juga seorang. Dan dia adalah Sabarini. Benarkah langkahku, ya Tuhan" Adalah gadis asing ini Kau pertemukan padaku dengan cara seperti ini untuk jadi teman-hidupku yang tulus"
Dan ia tak mendapat jawaban dari Tuhannya. Tetapi dari lubuk hatinya sendiri terdengar suara lantang: Kau dungu kalau tetap mengimpikan Istri seorang sahabat, ibu dari anak-anaknya. Sabarini cukup baik untukmu. Suara dari lubuk hatinya tak berulang lagi. Dan ia sendiri merasa memang telah membutuhkan seorang istri.
Sampai di mana kalau terus menghilir" ia bertanya.
Sunda Kelapa, Gusti. Sunda Kelapa , untuk ke sekian kalinya Pada menggeragap. Mereka akan tangkap dirinya, juga Sabarini. Ia merasa tak patut terlalu sering menggeragap begini. Ia merasa kepercayaannya pada Tuhannya belum cukup sempurna. Seorang yang beriman tidak akan sering menggeragap, karena ada iman padanya, karena ada kepercayaan pada Tuhan dan kekuasaanNya.
Ya, Sabarini. Kita akan sampai ke Sunda Kelapa, memasuki daerah pendudukan Demak. Mereka akan paksa kau masuk Islam. Bagaimana kau"
Semua terserah pada Gusti. Patik hanya mengikuti Gusti!
Tidakkah kau akan takut pada hukuman dari dewadewamu"
Barangtentu Gusti cukup bijaksana untuk memilihkan yang baik untuk patik, jawab gadis itu sambil terus mendorong rakit dengan galahnya.
Baik. Jadi kau sudah sedia jadi istriku.
Sabarini tak menjawab. Sorongan pada rakitnya bertambah keras, dan mondar-mandirnya semakin cepat. Kau diam saja, Sabarini.
Waktu melewatinya Pada mendengar nafas gadis itu yang terengah-engah karena mendorong sekuat tenaga dengan galahnya. Bahkan dalam kegelapan ia mengetahui Sabarini sama sekali tidak menengok padanya. Matanya tertuju pada permukaan air yang samar-samar.
Kita akan kawin di Sunda Kelapa secara Islam, Sabarini, dan kau akan jadi istri-tunggalku. Ia menunggu agak lama dan tetap tak mendapat jawaban. Kau diam saja.
Apalah yang harus patik katakan lagi, Gusti" Semua Gusti yang menentukan. Kebijaksanaan Gusti tidak akan patik ragukan, Gusti.
Baiklah. Jadi kau akan jadi istri-tunggalku. Bagaimanakah dengan selir-selir Gusti"
Selir" Seorang pun aku tak punya. Kaulah calon istriku pertama-tama, calon istri-tunggal.
Dan Sabarini tak menanggapi. Ia hanya menjalankan rakit, tanpa pernah menengok pada Pada.
Menjelang subuh rakit dihentikan di sebuah tempat persinggahan. Gadis itu melompat turun ke darat dan mencancang rakit pada sebatang pohon ketapang. Galah ia letakkan baik-baik di atas rakit, kemudian diulurkan tangannya pada Pada untuk membantunya turun.
Dua orang itu bergandengan mendaki tebing, menuju ke sebuah bangsal bambu pada tubir tebing.
Bangsal itu luas dan menjadi penginapan mereka yang pulang-balik melalui Citarum. Tak ada penjaga khusus. Perawatannya diserahkan pada setiap perakit atau pemilik perahu.
Dan pada subuh itu dalam bangsal telah ada sebuah keluarga pelarian dari Sunda Kelapa. Dari percakapan antara mereka dengan Sabarini Pada dapat mengetahui, Sunda Kelapa benar-benar telah jatuh ke tangan balatentara Demak.
Mereka begitu berangsangan, salah seorang memberikan komentarnya, seperti orang tak pernah bertemu nasi. Tak ada lagi bisa merasa aman, maka kami lari naik kemari. Juga orang Islam sendiri tidak aman. Semua dipaksa menyerahkan batang bakau-bakau buat perbentengan. Jangan turun, lebih baik naik kembali.
Pada mendengarkan dengan diam-diam dari luar bangsal sambil menggambarkan tingkah-laku prajurit-prajurit Demak yang dikatakan berangsangan itu. Ia belum berani bertemu dengan orang, la masih berpakaian pangeran.
Masih mungkinkah turun ke sana dengan rakit" Sabarini terdengar bertanya. Suaranya bening, merdu dan menyanyi.
Tentu saja dapat. Mengapa tak dapat" Tapi buat apa" Salah-salah jiwa tebusannya. Paling tidak orang akan terbongkok-bongkok mengangkuti bakau-bakau setiap hari sampai mati kena demam rawa.
Pada mengherani apa sebabnya balatentara Demak hendak mendirikan perbentengan. Seakan-akan mereka sedang bersiap-siap menunggu datangnya musuh. Dan musuh dari mana" Mungkinkah Peranggi akan membantu Pajajaran sebagaimana pernah diperbincangkan orang" Dan apa keuntungan Peranggi dengan bantuannya"
Tidak mungkin. Peranggi takkan membantu siapa pun tanpa mendapat keuntungan. Boleh jadi Fathillah membentengi dirinya sendiri dari serangan Demak. Dia akan membangkang dan berdiri sendiri jadi raja.
Ia tak dengar percakapan selanjurnya antara Sabarini dengan keluarga pelarian itu. Hari telah terang tanah. Burung-burung dari hutan sekitar menyanyi ria menyambut datangnya sang surya. Pagi itu ia tidak bersembahyang, hanya mengucapkan doa selamat.
Tak lama kemudian Sabarini keluar dari bangsal, menyembah dan berbisik padanya: Lepaskan semua pakaian Gusti, dan kenakan pakaian tani. Pada menggeleng-geleng menyedari betapa kikuk ia selama memainkan peranan Adipati Jepara. Ia mengakui memang tidak pandai menjadi seorang penipu. Dilepasnya semua pakaian Pangeran Adipati
Uitus dan dikenakannya pakaian sendiri, pakaian santri. Waktu ia hendak lepas kasut kerajaan itu, tahulah ia barang itu masih tertinggal di rumah orangtua Sabarini.
Mendung yang menutup puncak pegunungan itu kini berubah jadi hujan deras dan membekukan darah. Keluarga pelarian itu menyalakan pediangan penghangat kemudian naik ke ambin pelupuh dan meneruskan tidurnya.
Pada dan Sabarini pun naik ke ambin, menggolekkan badan berdampingan dan tertidur dalam kelelahan dan kantuk.
Hujan makin deras dan makin deras.
Dan waktu matari dengan lemahnya mewarnai langit, dan silhuet puncak pegunungan dan tajuk pepohonan mulai muncul, hujan masih juga turun. Ciliwung telah meluap sejadi-jadinya.
0o-dw-o0 Ciliwung adalah jalanan utama yang menghubungkan Pakuan dengan Sunda Kelapa. Hasil bumi dari pegunungan turun ke bandar melalui kali ini pula. Sebaliknya barangbarang dari laut naik ke pegunungan melalui kali ini pula.
Tapi kali ini kini sunyi. Rakit dan perahu nampak segan meluncur di atasnya setelah Sunda Kelapa jatuh.
Waktu Pada terbangun hujan belum juga berhenti. Ia lihat Sabarini sudah tak ada di tempat. Penginap-pengmap dari Sunda Kelapa telah berangkat meneruskan pemudikan.
Ia turun ke kali dan dilihatnya Sabarini dalam keadaan telanjang bulat sedang berenang menuju ke rakit yang kini sudah berada di tengah-tengah. Pohon ketapang tempat mencancang berada barang sepuluh depa dari tepi air. Ia lihat gadis itu menyelam untuk mendapatkan tali pada batang ketapang. Kemudian ia muncul lagi dengan membawa tali menarik rakit sambil berpegangan batang kayu itu, kemudian melompat ke atasnya dan mendorongnya ke tepian.
Pada menyembunyikan diri dan hanya bisa menyebutnyebut melihat keindahan tubuh Sabarini: Masyaallah Allah Maha Besar Kau karuniakan keindahan semacam itu kepadaku, ya Tuhan, kepada hamba-Mu yang justru tidak mencari ini. Betapa pemurahnya Engkau, ya Tuhan
Ia sama sekali tidak perhatikan air kali yang kini telah berubah kuning berlumpur. Sinar matari yang jatuh ke bumi setelah menerobosi mendung hanya samar-samar menerawang. Namun kesamaran itu tidak membatalkan pengetahuan Pada, bahwa ia sedang mengagumi tubuh cantik, indah, gesit tubuh seorang wanita yang belum lagi jadi istrinya.
Ia perhatikan gadis itu mengenakan pakaiannya yang disangkutkan pada cabang batang gempol, dan dengan pandangnya mengikutinya naik ke tebing. Dengan membawa bungkusan ia keluar dari persembunyian dan turun ke atas rakit. Dan sekali lagi ia mengagumi keberuntungannya dalam kepercayaan pada keagungan dan kemurahan Tuhannya.
Ia mulai periksa rakit. Sebentar-sebentar ia meninjau ke atas mencari-cari Sabarini. Tapi gadis itu belum juga nampak. Ia berteriak-teriak memanggil, kemudian ia lihat gadis itu lari menuruni tebing. Wajah merah dan nafasnya terengah-engah. Tanpa bicara ia turun ke rakit, melompat lagi ke pantai dan melepaskan tali pencancang, lompat lagi ke rakit, mengambil galah dan mulai mendorong. Kita belum lagi makan pagi, Sabarini. Ia tak menjawab.
Dan Pada mencoba merebut galah, dan Sabarini tidak mengijinkan.
Patik tidak mengenal air sejak dari sini sampai ke Sunda Kelapa, Gusti, apalagi Gusti sendiri. Biar patik yang mengemudikan sendiri-lebih baik Gusti ikat bungkusan itu agar tak terlempar kalau ada apa-apa.
Pada merasa malu telah kalah wibawa, ia merasa dirinya menjadi begitu bodoh di dekat gadis luarbiasa ini. Biasanya ia merasa cerdas dan dapat memecahkan banyak perkara yang pelik-pelik. Ia menguasai persoalan neraka dan sorga, ia dapat menghafal nama dua puluh nabi, ajaran dan mukjizatnya. Tapi di dekat gadis ini ia seperti seorang tua yang pikun. Saking gemasnya pada kepikunannya sendiri akhirnya ia menongkrong di buritan rakit Pada sebuah celah batang bambu ia lihat sebutir lada terjepit sendirian tanpa kawan. Ia korek dengan kuku, memungut dan menggigitnya. Memang lada. Rakit hanya dipergunakan sekali ke Sunda Kelapa. Sampai di sana dijual atau ditinggal. Tentu sebelum ia dan Sabarini menggunakannya, orang pernah memunggah lada di sini, kemudian di bongkar lagi dan lada di daratkan kembali, tak jadi turun ke Sunda Kelapa.
Ia lihat air berkecibak di belakang rakit. Seekor kakap melompat ke atas air, berenang lari ke hulu. Di belakangnya nampak sirip hiu cucut yang memburu, membentuk garis lurus membelah air.
Di sini ada hiu, Sabarini"
Kalau kali banjir, Gusti, kadang-kadang ada juga. Kalau kali banjir, kata Sabarini. Mengapa kali ini banjir sebelum datang musim penghujan" Dan mengapa di sini sudah mulai turun hujan" Dan mengapa di Semenanjung sana lain pula jatuhnya musim penghujan"
Gusti! terdengar Sabarini memekik
Belum sampai ia sempat menengok rakit telah menubruk sesuatu. Pada jatuh dari cangkungannya, tertelentang pada geladak rakit. Dan belum lagi ia dapat berdiri gadis itu datang padanya dan menolongnya berdiri.
Ampun, Gusti, patik tak lihat ada tonggak di bawah air.
Tidak apa, Sabarini. Tidakkah Gusti terluka" Tidak.
Rakit harus meminggir. Gusti. Tali bagian depan putus.
Gadis itu mengambil lagi galahnya dan meminggirkannya. Dengan cekatan ia melompat ke darat, mengambil sebuah batu tajam, dan menariki kulit pohon warn.
Pada tak tahu apa sedang diperbuat gadis itu. Ia berdiri di dekatnya, bertanya: Membikin tali"
Ya, Gusti. Sini, barangkali aku lebih pandai daripada kau. Tidak, Gusti, sebaiknya Gusti lihat-lihat kalau ada perahu balatentara Pajajaran memburu kita.
Jengkel karena kekikukannya Pada menjauh, mencari pohon yang sekiranya dapat ia panjat. Tetapi pepohonan hutan itu tak ada sebuah pun yang dapat dipanjat. Semua besar-besar.
Tak usah naik, Gusti, seru Sabarini. Semua pohon menjadi licin habis hujan begini. Lihat-lihat di dekat patik sini saja, Gusti.
Dan Pada menjadi malu pada dirinya sendiri. Betapa gadis yang belum dikenalnya itu mengutamakan keselamatannya keselamatan seorang asing yang mukanya penuh jenggot dan kumis dan cambang bauk. Tentunya seorang gadis dengan pendidikan baik.
Matari berada di atas kepala waktu tali-tali itu habis terpilin. Mereka berdua mengikat bagian depan rakit dan mengencangkan tali-temali dengan pasak bambu. Kita teruskan mengilir, Gusti.
Dan rakit meneruskan pelayarannya. 0o-dw-o0
Dengan seruan assalamualaikum pada penjagaan setiap tikungan kali rakit itu memasuki Sunda Kelapa. Prajuritprajurit Demak membiarkan mereka lewat.
Dan apa yang diberitakan para pengungsi itu ternyata benar. Orang-orang sibuk memikuli batang bakau-bakau yang berat itu dari rawa-rawa ke bandar. Di sepanjang bandar orang mendirikan tonggak-tonggak untuk perbentengan. Ribuan orang mengangkuti pasir dan menimbun tanggul untuk menjadi dermaga dan benteng sekaligus. Juga ribuan balatentara Demak bekerja mengangkuti batu. Dari kejauhan mereka nampak seperti serumpun semut yang sedang menggalang perumahannya sendiri.
Mereka berdua mendarat di tepi muara tanpa mendapat gangguan.
Cukup hanya dengan assalamu alaikum. Dan mereka tidak tahu, bahwa Fathillah menghendaki agar orang-orang pedalaman turun sebanyak-banyaknya ke Sunda Kelapa, bukan saja untuk bertaubat, juga agar jumlah penduduk yang terlalu sedikit itu bertambah tiga sampai empat kali lipat Dengan penduduk terlalu sedikit ia tak banyak dapat berbuat. Maka setiap pendatang dari pedalaman untuk sementara tidak dikenakannya peraturan apa pun.
Dan pendatang-pendatang baru memang ada, walaupun tidak banyak. Sebagian terbesar dari yang tidak banyak datang dari sebelah barat Sunda Kelapa. Mereka adalah orang-orang Banten yang bermaksud mencari perlindungan dari Pajajaran setelah masuknya Jepara-Demak ke sana. Serentak mereka mengetahui Sunda Kelapa juga telah dikuasai Fathillah, mereka melarikan diri ke barat kembali atau naik memasuki pedalaman Pajajaran. Sebagian kecil dari mereka orang tua-tua dan kanak-kanak yang tak mampu meneruskan perjalanan terpaksa tertinggal. Di antaranya terdapat juga wanita-wanita dengan bayinya. Fathillah memberi mereka tempat di bedeng-bedeng bandar yang paling jauh. Bedeng-bedeng terdekat dipergunakan oleh asrama prajurit-prajuritnya.
Pendatang dari selatan adalah laksana tetesan air, tidak semakin banyak, malah semakin tiada. Pada dan Sabarini adalah pendatang terakhir dari selatan.
Mereka melangsungkan perkawinan di mesjid, dengan dalih mengulangi perkawinan mereka yang telah mereka lakukan secara Hindu. Sabarini bertaubat masuk Islam dan Pada bertaubat untuk kedua kalinya.
Apabila mereka tinggal sampai sebulan, Pada akan terkena wajib kerja seperti yang lain-lain. Bukan maksudnya untuk jadi penduduk Sunda Kelapa. Ia berada dalam perjalanan tugas. Ia harus segera meninggalkan tempat ini.
Ia sempat menyaksikan selesainya tanggul yang sangat panjang itu. Ia ikut menghadiri pesta pembukaan kembali bandar. Fathillah telah menyatakan Sunda Kelapa telah siap untuk menerima lalulintas laut. Tetapi sebagaimana halnya dengan bandar Banten, perdagangan lada ditentukan olehnya. Harga yang menjadi lebih tinggi karena tingginya pajak menyebabkan para saudagar enggan singgah baik di Banten ataupun Sunda Kelapa. Sebaliknya sumber lada kedua, Sumatra terselatan. Kini berubah jadi ramai. Bandar Panjang tiba-tiba menjadi ramai dan penting.
Di sekitar mesjid orang pada membicarakan peraturanperaturan yang berlebih-lebihan dari Fathillah. Maka Pada dapat mengetahui, perkembangan tidak berjalan sebagaimana dikehendaki Sang Panglima-Laksamana- Gubemur itu. Orang telah mendengar ancaman telah dinyatakannya untuk menghancurkan bandar Panjang. Untuk keperluan itu ia telah batalkan persiapannya untuk meneruskan penyerangan dari Cimanuk ke Cirebon. Ancaman itu tak jadi dilaksanakan karena tersusul datangnya utusan dari Trenggono yang tidak membenarkan maksudnya, karena itu menyalahi persekutuan militer Trenggono-Fathillah.

Berlanjut ke bagian 36


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar