Sabtu, 19 November 2022

BUMI MANUSIA KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER #13/27


Abang terdiam, mengawasi aku dengan amarah tanpa daya. "Atau memang begitu macam latihan bagi calon ambtenar " Menggerayangi urusan orang lain dan melanggar hak siapa saja " Apa kau tidak diajar peradaban baru " peradaban modern " Mau jadi raja yang bisa bikin semaa sendiri, seperti raja-raja nenek-moyangmu Kesebalan dan kemarahanku tertumpah-tumpah sudah.
"Dan begitu itu peradaban baru " Menghina " Menghina ambtenar " Kau sendiri bakal jadi ambtenar!" ia membela diri.
"Ambtenar " Orang yang kau hadapi ini tak perlu jadi." "Mari, aku antarkan pada Ayahanda, dan bilang kau sendiri padanya." "Jangankan hanya bilang, dengan atau tanpa kau, kutinggalkan semua keluarga ini pun aku bisa. Dan kau! Menjamah yang jadi hakku minta maaf pun tidak mengerti. Apa kau tak pernah bersekolah " Atau memang tak pernah diajar adab ?" "Tutup mulut! Kalau aku tak pernah bersekolah, kau sudah' kusuruh merangkak dan menyembah aku."
"Hanya kepala kerbau bisa berpikir begitu tentang aku. Bu-a huruf!" Dan Bunda masuk, menengahi: "Baru bertemu sekali dalam dua tahun...... mengapa mesti ribut seperti anak desa ?" "Siapa pun melanggar hak-hak pribadi akan sahaya tentang, Bunda, jangankan hanya seorang abang."
"Bunda, dia sudah mengakui segala kejahatannya dalam buku catatannya. Akan sahaya persembahkan tulisannya pada Ayahanda. Dia ketakutan, lantas mengamuk pada sahaya."
"Kau belum lagi ambtenar yang berhak menjual adikmu untuk sekedar dapat pujian," kata Bunda. "Kau sendiri belum tentu lebih baik dari adikmu."
Aku angkuti barang-barangku.
"Lebih baik sahaya kembali ke Surabaya,, Bunda." "Tidak! Kau besok mendapat pekerjaan dari Ayahandamu." "Dia bisa lakukan itu," kataku dengan pandang terarah pada abangku. "Abangmu bukan dari H.B.S."
"Kalau sahaya diperlukan, mengapa diperlakukan begini ?" Bunda memerintahkan abang pindah ke kamar lain. Setelah ia pergi Bunda meneruskan:
"Kau memang sudah bukan Jawa lagi. Dididik Belanda jadi Belanda, Belanda coklat semacam ini. Barangkali kau pun sudah masuk Kristen."
"Ah, Bunda ini. ada-ada saja. Sahaya tetap putra Bunda yang dulu." "Putraku yang dulu bukan pembantah begini."
"Dulu putra Bunda belum lagi tahu buruk-baik. Yang dibantahnya sekarang hanya yang tidak benar, Bunda."
Itu tanda kau bukan Jawa lagi, tak mengindahkan siapa lebih tua, lebih berhak akan kehormatan, siapa yang lebih ..
"Ah, Bunda, jangan hukum sahaya. Sahaya hormati yang labih benar. "Orang 'Jawa sujud berbakti pada yang lebih tua, lebih berkuasa, satu jalan pada penghujung keluhuran , Orang harus berani mengalah. Gus, nyanyian itu mungkin kau sudah tidak tahu lagi barangkali.
Sahaya masih mengingat bunda, kitab-kitab Jawa masih sahaya bacai. Tapi itulah nyanyian keliru dari orang Jawa yang keliru.
Yang berani mengalah tennjak-injak, Bunda. Gus
"Bunda berbelas tahun sudah sahaya bersekolah Belanda untuk dapat' mengetahui semua itu. Patutkah sahaya Bunda hukum setelah tahu.
Kau terlalu banyak bergaul dengan Belanda , "Maka kau karang tak suka bergaul dengan segangsamu bahkan dengan saudara-saudaramu, dengan Ayahandamu pun. Surat-surat tak kau balas. Mungkin kau pun sudah tak suka aku. "Ampun, Bunda," kata-kata itu tajam menyambar Kujatuh kan diri, berlutut di hadapannya dan memeluk kakinya, Jangan katakan seperti itu. Bunda. Jangan hukum sahaya lebih berat dari kesalahan sahaya. Sahaya hanya mengetahui yang orang Jawa tidak mengetahui, karena pengetahuan itu milik bangsa Eropa, dan karena memang sahaya belajar dan mereka. Ia jewer kupingku, kemudian berlutut, berbisik: "Bunda tak hukum kau. Kau sudah temukan jalanmu sendiri. Bunda takkan halangi, juga takkan panggil kembali. Tempun-lah jalan yang kau anggap terbaik. Hanya jangan sakiti orangtuamu, dan orang yang kau anggap tak tahu segala sesuatu yang kau tahu."
"Sahaya tidak pernah berniat menyakiti siapa pun, Bunda.
"Ah, Gus, begini mungkin kodrat perempuan. Dia mende-ritakan sakit waktu melahirkan, menderita sakit lagi karena tingkahnya."
"Bunda, ampun, kesakitan karena tingkah sahaya hanya kemewahan berlebihan. Kan Bunda selalu berpesan agar sahaya belajar baik-baik " Telah sahaya lakukan sepenuh bisa. Sekarang Bunda menyesali sahaya.
Dan seakan aku masih bocah kecil dulu Bunda membelai-belai rambut dan pipiku. "Pada waktu aku hamilkan kau, aku bermimpi seorang tak kukenal telah datang memberikan sebilah belati. Sejak itu aku tahu, Gus, anak dalam kandungan itu bersenjata tajam. Berhati-hati menggunakannya. Jangan sampai terkena dirimu sendiri....."
   Sejak pagihari orang telah sibuk menyiapkan tempat untuk resepsi pengangkatan Ayahanda. Penari-penari tercantik dan terbaik seluruh kebupatian kabarnya telah disewa untuk keperluan itu. Ayahanda telah mendatangkan gamelan terbaik dari perunggu tulen dari kota T., gamelan Nenenda, yang selalu terbungkus beledu merah bila tak ditabuh. Setiap tahun bukan hanya dilaras kembali, juga dimandikan dengan air bunga.
Bersamaan dengan gamelan datang juga jurularas. Ayahanda menghendaki bukan saja gamelannya, juga larasnya harus murni Jawa-Timur. Maka sejak pagi pendopo telah bising dengan bunyi orang mengikir dalam melaras.
Pekerjaan administrasi kantor kebupatian B. berhenti seluruhnya. Semua membantu Tuan Niccolo Moreno, seorang dekorator kenamaan yang didatangkan dari Surabaya. Ia membawa serta kotak besar alat-alat hias yang selama itu tak pernah kukenal. Dan pada waktu itu juga baru aku tahu: memajang adalah satu keahlian. Tuan Niccolo Moreno datang atas saran Tuan Assisten Residen B., dibenarkan dan ditanggung oleh Tuan Residen Surabaya.
Pagi itu juga aku harus menemuinya. Dengan tangannya sendiri ia ukur tubuhku, seperti hendak membikinkan pakaian untukku. Setelah itu dibiarkannya aku pergi. Pendopo itu telah dirubahnya menjadi arena dengan titik berat pada potret besar Sri Ratu Wilhelmina, dara cantik yang pernah aku impikan dibawa dari Surabaya, dilukis oleh seorang dengan nama Jerman: Hiissenfeld. Aku masih tetap mengagumi kecantikannya.
Bendera Triwarna dipasang di mana-mana, tunggal atau dua bersilang. Juga Triwarna pita panjang berjuluran dari potret Sri Ratu ke seluruh pendopo, dan bakalnya meraih para hadirin dengan kewibawaannya. Tiang-tiang pendopo dicat dengan cat tepung yang baru kuperhatikan waktu itu pula, dan dapat kering dalam hanya dua jam. Daun beringin dan janur kuning dalam keserasian warna tradisi mengubah dinding dan tiang-tiang yang kering-kerontang menjadi sejuk dan memaksa orang untuk menikmati dengan pengelihatannya. Maka mata pun diayunkan oleh permainan warna bunga-bungaan kuning, biru, merah, putih dan ungu indah meresap bunga-bungaan yang dalam kehidupan sehari-hari berpisahan dan dengan diam-diam berjengukan pada Pagar.
Malam kebesaran dalam hidup Ayahanda tiba juga. Game-lan sudah lama mendayudayu pelahan. Tuan Niccolo Moreno Sbuk dalam kamarku: merias aku! Siapa pernah sangka aku yang sudah dewasa ini pula! seakan aku dara akan naik ke puadai pengantin " Selama merias tak hentinya ia bicara dalam Belanda yang kedengaran aneh, datar, seperti keluar dari rongga mulut Pribumi. Jelas ia bukan Belanda. Menurut ceritanya: ia sering. merias para bupati, termasuk ayahku sekarang ini, para raja di Jawa dan sultan di Sumatra dan Borneo. Ia telah banyak membikin rencana pakaian mereka, dan masih tetap dipergunakan sampai sekarang. Katanya pula: pakaian pasukan pengawal para raja di Jawa ia juga yang merencanakan. Diam-diam aku mendengarkan, tidak mengiakan juga tidak membantah, sekali pun tak percaya sepenuhnya.
Ia telah kenakan padaku kemeja-dada berenda, kaku, seperti terbuat dari selembar kulit penyu. Tak mungkin rasanya mem-bongkok dengan kemeja-dada ini. Gombaknya yang kaku seperti kulit sapi juga membikin leher segan untuk maksudnya supaya badan tetap tegap, tidak sering menoleh, pandang lurus seperti gentlemen sejati. Kemudian ta kenakan padaku kain batik dengan ikat pinggang perak. Gaya pengenaan kain itu diatur sedemikian rupa sehingga muncul watak kejawa-timuran-nya yang gagah. Itu yang kiranya dikehendaki Ayah. Aku tetap manda seperti anak dara. Sebuah blangkon, dengan gaya perpaduan antara Jawa-Timur dan Madura, sama sekali baru, kreasi Niccolo Moreno sendiri, terpasang pada kepalaku. Menyusul sebilah keris bertatahkan permata. Kemudian baju lasting hitam berbentuk jas pendek dengan cowak pada bagian punggung, sehingga keindahan keris bisa dikagumi semua orang. Dasi kupu-kupu hitam membikin leherku, yang biasa giat mengantarkan mataku mencari sasaran, serasa hendak dijerat hiduphidup. Keringat panas mulai membasahi punggung dan dada.
Pada cermin kutemui diriku seperti satria pemenang dalam cerita Panji. Di bawah bajuku menjulur selembar kain beledu tersulam benang mas.
Jelas aku keturunan satria Jawa maka sendiri seorang satria Jawa juga. Hanya mengapa justru bukan orang Jawa yang membikin aku jadi begini gagah " dan ganteng " Mengapa orang Eropa " Mungkin Italia " mungkin tak pernah mengenakannya sendiri " Sudah sejak Amangkurat I pakaian raja-raja Jawa dibikin dan direncanakan oleh orang Eropa, kata Tuan Moreno, maaf, Tuan hanya punya selimut sebelum kami datang. Pada bagian bawah, bagian atas, kepala, hanya selimut! Sungguh menyakitkan. .....
Apa pun ceritanya; benar atau tidak, pada cermin itu muncul kegagahan dan kegantenganku. Mungkin nanti orang akan mengatakan : dandananku Jawa tulen, melupakan semua unsur Eropa pada kemeja-dada, gombak, dasi, malah lupa pada lasting dan beledu yang semua bikinan Inggris.
Pakaian dan permunculanku sekarang ini aku anggap produk bumi manusia akhir abad sembilanbelas, kelahiran jaman modern. Dan terasa benar olehku: Jawa dan manusianya hanya sebuah pojokan tidak terlalu penting dalam keseluruhan bumi manusia. Twente telah menenunkan untuk orang Jawa, juga memilihkan bahannya. Tenunan desa tinggal dipakai orang desa. Hanya yang membatik tinggal orang Jawa. Dan tubuhku yang sebatang ini tetap asli!
Tuan Moreno pergi. Dan aku duduk. Waktu aku sadari bunyi gamelan Jawa-Timur, yang mengayunkan suasana malam itu, aku terbangun dari renungan, berkaca lagi dan tersenyum puas sangat puas.
Menurut aturan aku jadi pengiring Ayahanda dan Bunda waktu memasuki sidang resepsi. Abang akan jadi pembuka jalan, sedang saudari-saudariku tak mendapatkan sesuatu tugas di depan umum. Mereka sibuk di belakang.
Tamu telah pada berdatangan. Ayahanda dan Ibunda keluar. Abang di depan, aku di belakang mereka. Begitu memasuki ruang resepsi di pendopo, datang Tuan Assisten Residen B., karena begitu menurut acara.
Semua berdiri menghormat. Tuan Assisten Residen berjalan langsung mendapatkan Ayahanda, memberi tabik, kemudian membungkuk pada Bunda, menyalami abang dan aku. Baru setelah itu duduk di samping Ayahanda. Gamelan memainkan Kebo Giro, lagu selamat datang, menggebu-gebu memenuhi ruangan resepsi dan hati. Dan pendopo telah penuh dengan hadirin dengan wajah dipancari sinar kesukaan dan sinar-lampu gas. Di belakang mereka di pelataran sana, duduk berbanjar para lurah dan punggawa desa, di atas tikar.
Protokol, Patih B., mulai membuka acara. Gamelan padam "setellah ragu sebentar, seperti .ditekan tenaga gaib.
Lagu kebangsaan Belanda, Wilhelmus, dinyanyikan. Orang berdiri Sangat sedikit yang ikut menyanyi. Sebagian terbesar memang tidak bisa. Pribumi hanya seorangdua. Yang lain-lain berdiri terlongok-longok, mungkin sedang menyumpahi melodi yang asing dan mengganggu perasaan itu.
Tuan Assisten Residen B. sebagai wakil Tuan Residen Surabaya mulai angkat bicara. Tuan Kontrolir Willem Emde tampil untuk menjawakan. Tuan Assisten Residen menggeleng dan melambaikan tangan menolak. Aku yang ditunjuknya sebagai penterjemah. .
Sejenak aku gugup, tapi secepat kilat kudapatkan kepribadianku kembali. Tidak, mereka takkan lebih dari kau sendiri! Dan suara itu memberanikan diri. Lakukan tugas ini sebagaimana kau selesaikan ujianmu.
Aku tampil, lupa pada bungkuk dan apurancang dalam adat Jawa. Rasanya diri sedang berada di depan kias. Ke mana saja pandang kulayangkan pasang mata para bupati juga yang tertumbuk olehku. Mungkin mereka sedang mengagumi satria Panji berpakaian setengah Jawa setengah Eropa ini. Mungkin juga sedang memanjakan antipatinya karena kurangnya kehormatan dari diriku untuk mereka. Tuan Assisten Residen selesai berpidato. Aku pun selesai menjawakan. Ia menyalami Ayahanda. Dan sekarang giliran A-yahanda yang angkat bicara. Ia tak tahu Belanda, dan itu masih lebih baik daripada para bupati yang butahuruf. Ia berbasa Jawa dan aku membelandakan. Sekarang dengan lagak Eropa sepenuhnya, tertuju pada Tuan Assisten Residen B. dan hadirin E-ropa. Aku lihat Tuan Assisten Residen mengangguk-angguk mengawasi aku, seakan tidak lain dari diri yang berpidato, atau mungkin juga sedang menikmati sandiwaraku sebagai monyet di tengah kalangan. Pidato Ayahanda selesai dan terjemahan pun habis. Para pembesar memberi salam selamat pada Ayahanda, Bunda, abang dan aku.
Waktu Tuan Assisten Residen menyalami aku ia memerlukan memuji bahasa Belandaku:
"Sangat baik," kemudian dalam Melayu, "Tuan Bupati, berbahagia Tuan berputrakan pemuda ini. Bukan hanya Belandanya, terutama sikapnya." Dan kembali dalam Belanda, "Kau siswa H.B.S.; kan " Bisa besok sore jam lima datang ke rumah kami ?" "Dengan senanghati, Tuan."
"Kau akan dijemput dengan kereta."
Salaman ucapan selamat itu tak lama. Lurah-lurah tak layak menyalami bupati. Maka Ayahanda menghemat tangannya dari dari barang seribu dua ratus jabatan para punggawa desa, mereka tinggal duduk di atas tikarnya di pelataran sana, Gamelan kembali menderu riuh. Seorang penari dengan badan berisi seperti terbang memasuki gelanggang, membawa talam berisi sampur. Dengan talam perak itu langsung ia datang pada Tuan Assisten Residen. Dan pembesar putih itu berdiri dari kursinya, mengambil sampur dan menyelendangkan pada bahunya sendiri. Orang bersorak, bertepuk menyetujui. Ia mengangguk pada Ayahanda, minta ijin membuka tayub. Kemudian pada para hadirin. Dengan langkah tanpa ragu, dalam iringan penari itu, ia masuk ke tengah kalangan di bawah sorak berderai. Dan menari ia dengan jari-jari menjempit ujung sampur, btrpacakgulu pada setiap jatuh gung. Di hadapannya penari cantik menarik dengan badan berisi itu menari mengigal. Beberapa menit kemudian seorang penari lain datang berlarian, juga cantik gemilang. Dengan talam perak di tangan seperti terbang ia memasuki gelanggang membawa gelas kristal kecil i berisi minuman keras. Ia mengambil tempat di samping Tuan ! Assisten Residen dan ikut menari.
Pembesar itu berhenti menari, berdiri tegak di hadapan penari baru. Di ambilnya gelas kristal dan meneguk isinya sampai tiga perempat. Yang seperempat sisanya ia sentuhkan pada bibir temannya menari, yang menghabiskannya setelah berusaha menolak sambil menari, kemudian menunduk malu tersipu.
Hadirin bersorak girang. Lurah-lurah dan para punggawa desa berdiri menyumbangkan keriuhan.
"Minum, manis! Minum, hosssss
Penari baru yang cantik rupawan dengan bahu telanjang berkulit langsat padat bersinar itu mengambil gelas dari tangan pembesar itu dan menaruhnya di atas talam kembali.
Tuan Assisten Residen mengangguk senang, bertepuk girang, tertawa. Kemudian ia kembali ke kursinya.
Sekarang penari lain lagi datang mempersembahkan sampur pada Ayahanda. Dan ia menari dengan indahnya. Juga tarian itu kemudian dihentikan oleh minuman keras dari talam penari lain
lagi. Tuan Assisten Residen pulang setelah itu. Para bupati pun pulang seorang demi seorang dibawa oleh kereta kebesaran masing-masing. Para lurah, wedana, mantri polisi, menyerbu pendopo, dan tayub berlangsung sampai pagi dengan seruan hosiii setiap teguk minuman keras Paginya baru aku ketahui ada sebungkus tumpukan pendek uang perak rupiahan di dalam koporku. Bungkus kertas dengan tulisan Annelies: Jangan kau biarkan kami terlalu lama tak mendengar beritamu. Annelies. Uang itu sebanyak lima belas gulden, cukup untuk makan satu keluarga di desa selama sepuluh bulan, bahkan dua puluh bulan bila belanjanya benar dua setengah sen sehari.
Pagi itu juga aku berangkat ke kantorpos. Sepnya, entah siapa namanya, seorang Indo, menjabat tanganku dan menyampaikan pujian untuk Belandaku yang sangat bagus dan tepat dalam resepsi semalam. Semua pegawai kantor kecil itu berhenti bekerja hanya untuk mendengarkan percakapan kami dan untuk mengingat tampangku.
"Kami akan sangat senang dan bangga kalau Tuan sudi bekerja di sini. Tuan siswa H.B.S., bukan ,?"
"Aku hanya hendak mengirimkan tilgram," jawabku. "Kan tak ada kabar buruk ?"
"Tidak." Sep itu sendiri yang melayani aku mengambilkan formulir. Ia menyilakan duduk pada mejanya, dan aku mulai menulis, kemudian menyerahkan padanya. Kembali ia melayani sendiri.
"Kalau Tuan sempat, boleh kiranya kami mengundang makan ?" Rupanya undangan Tuan Assisten Residen telah menjadi berita penting di kota B. Dapat diramalkan semua pejabat akan mengundang, putih dan coklat. Dengan demikian tiba-tiba saja aku berubah jadi seorang pangeran tanpa kerajaan. Hebatnya, siswa H.B.S! kias akhir! di tengah nasyarakat butahuruf ini. Semua bakal memanjakan aku. Kalau assisten residen sudah mulai mengundang, orang sudah tanpa cacad, semua tingkahnya benar, tak ada sesuatu dapat dikatakan menyalahi adat Jawa.
Dugaan itu tak perlu lebih lama ditunggu kenyataannya. Waktu meninggalkan kantor kecil itu pandangku kutebarkan keseluruh ruangan. Semua orang membungkuk menghormat. Mungkin di antara mereka sudah ada yang menaksir akan mengambil diri jadi menantu atau ipar. Coba: siswa H.B.S. Dan benar saja. Sampai di rumah telah datang beberapa pucuk surat berbahasa dan bertulisan Jawa mengundang! Tak seorang pun di antara para pengirim pernah kukenal. Dugaanku tetap: semua mereka mencalonkan diri jadi mertua atau ipar. Coba: anak bupati, dianggap calon bupati, siswa H.B.S., kias akhir. Semuda ini telah diindahkan seorang assisten residen. Tuan Kontrolir pun sudah dikalahkannya! Kota B.! ah, pojokan kelabu bumi manusia. Demi kehormatan orang tua saja waktuku sepagi habis untuk minta maaf dalam surat balasan, tak dapat memenuhi undangan, harus segera kembali ke Surabaya.
Dan pada sorehari itu kereta yang dijanjikan sudah datang menjemput. Aku berpakaian Eropa seperti biasa di Surabaya sekali pun Bunda tidak setuju. Rupanya berita undangan memang sudah menjalari seluruh kota. Orang memerlukan melihat diri menempuh jarak pendek antara gedung kebupatian dengan gedung keresidenan. Wajah-wajah tak kukenal, dalam pakaian Jawa yang necis tanpa alas kaki, membungkuk memberi hormat. Yang bertopi di atas blangkonnya memerlukan mengangkatnya.
Kereta membawa aku langsung ke belakang gedung keresidenan, berhenti di serambi belakang.
Tuan Assisten Residen bangkit berdiri dari kursi kebun, juga dua orang dara di sampingnya. Ia mendahului memberi salam."
"Ini sulungku," ia mengenalkannya, "Sarah. Ini bungsuku, Minam. Dua-duanya lulusan H.B.S. Yang bungsu satu sekolahan dengan kau, sebelum kau masuk tentu. Nah, maafkan, ada pekerjaan mendadak," dan ia pergi.
Begini jadinya sekarang undangan terhormat yang menggemparkan seluruh kota itu. Diperkenalkannya aku pada putri-putri-nya kemudian ia pergi.
Boleh jadi Sarah dan Miriam lebih tua daripadaku. Dan setiap siswa H.B.S tahu benar: senior selalu mencari kesempatan berlagak, jual tampang, mengejek dan menunggingkan si junior.
Hati-hati kau, diri. Lihat, Sarah sudah mulai: "Guru bahasa dan sastra Belanda Miriam itu, Meneer Mahler, apa masih mengajar " si bawel sinting itu ?"
"Sudah digantikan Juffrouw Magda Peters," jawabku.
"Tentunya lebih bawel dan cuma pandai tentang istilah dapur," susulnya. "Tahu benar kau dia seorang juffrouw ?" tanya Miriam.
"Semua memanggilnya juffrouw."  
Dan Miriam tertawa terkikik. Kemudian juga Sarah. Sungguh aku tak tahu apa yang ditertawakan.
Menjawab membabi-buta: "Aku kira dia bukan hanya mengetahui istilah-istilah dapur. Dia guruku yang terpandai,, paling kusayangi."
Sekarang mereka berdua tertawa cekikikan sambil menutup mulut dengan setangan. Aku agak bingung tak tahu dimana lucunya. Sekilas kulihat lirikan bersinar datang dari kiri dan kananku.
Dapat apa kau dari dia "
Dia panda, menerangkan tentang gaya tahun delapan puluhan dan pintar membandingannya dengan gaya sekarang
Wah wah, seru Sarah, Kalau begitu coba deklamasikan salah lebuah sajak Kloos, biar kami lihat apa benar gurumu memang jagoan.
Dia pandai menerangkan latarbelakang psikologi dan sosial dari karya-karya delapanpuluhan," aku meneruskan membabibuta


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar