Arus Balik.
Karya : Pramoedya Ananta Toer.
Bagian 31.
Kembali ke Malaka Memang berbeda dengan peristiwa tahun 1275 Masehi. Dahulu itu bandar Tuban penuh dengan umbul-umbul dan sorak-sorai yang berkumandang seperti guruh. Pendetapendeta Buddha dengan jubah kuning menggemerincingkan giring-gliing naik-turun ke kapal-kapal, tiga puluh buah banyaknya, untuk memberikan restu. Sri Baginda Kartanegara, raja Singosari sendiri mengantarkan berangkatnya armada yang dipimpin oleh Raden Wijaya dan seorang admiral yang kelak terkenal dengan nama Mahesa Anabrang. Baginda bersabda: Ekspedisi militer ini harus berhasil, harus, demi Maha Buddha. Kalau tidak, Jawa akan remuk dilindas kekuatan Jenghis Khan.
Dan berangkatlah armada itu untuk memasuki daerahdaerah yang diperkirakan bisa jadi pangkalan armada kerajaan langit Jenghis Khan! Sekali armadanya berhasil menusuk ke selatan, memuntahkan balatentaranya yang termasyhur penunggang kuda dan lebih masyhur juga akan keganasannya, maka Jawa dan Nusantara takkan bangun lagi. Maka Sri Baginda Kartanegara telah memerintahkan: persatukan Nusantara. Setiap pulau harus jadi benteng terhadap serangan dari utara: Dan dengan demikian armada Singosari muncul dengan segala kebesaran negerinegeri Melayu.
Dua ratus tiga puluh tiga tahun kemudian, pada 1523 Masehi, berangkat pula sebuah armada ekspedisi militer. Tidak ke daerah Melayu, tetapi ke Malaka. Tidak dengan umbul-umbul dan upacara, tanpa pendeta-pendeta Buddha membawa giring-giring, tidak dengan tiga puluh kapal perang tetapi dengan tiga puluh buah jung! Tidak diantarkankan Sang Adipati Tuban, hanya oleh Patih Sang Wirabumi. Tidak ada sorak sorai. Semua yang mengantarkan, semua penduduk kota menonton dengan diam-diam, dan curiga. Bahkan Sang Adipati menolak menyerahkan dua pucuk meriam. Juga dalam dada mereka yang mengantarkan tanpa sorak telah terjalari perasaan umum: mereka pergi untuk tidak kan kembali. Mereka balatentara dari gugusan Tuban itu.
Baik, kata Wiranggaleng pada Kala Cuwil yang berdiri di dermaga. Kami akan berangkat sebagai hukuman.
Patih Tuban tidak menghukum siapa pun, Senapatiku. Semua atas perintah langsung Sang Adipati.
Ingat-ingat ini: Wiranggaleng takkan kembali ke negeri ini sebelum Sang Adipati mati.
Senapatiku, Kala Cuwil tak bisa berbuat apa-apa. Ada! Katakan padaku, jung-jung siapa semua ini" Jung-jung para pedagang Tionghoa, Senapatiku, ditarik dari mana-mana bandar oleh Liem Mo Han. Senapatiku nanti akan bertemu dengannya di Lao Sam. Sang Adipati tak sudi menyerahkan kapal barang sebuah pun.
Lima ratus orang diserahkan untuk jadi perburuan kapal Peranggi! Kami diharapkan jadi makanan hiu. Tak dapat bertahan sedikit pun terhadap Peranggi. Baik, kami jalani hukuman mati ini.
Kala Cuwil tak dapat berbuat apa-apa.
Wiranggaleng tak menggubris ulangan itu. Dengan geram ia memasuki jungnya diiringkan oleh Pada. Sunyisenyap di dalam jung itu: ia jatuhkan perintah berangkat. Dan jung-jung itu mulai bertolak. Tiada orang bicara.
Prajurit laut yang diberangkatkan bertanya-tanya dalam hati: Apa kesalahan maka Sang Adipati berlaku demikian terhadap kawula sendiri, dan siapa sesungguhnya yang mengajukan namanya untuk menyertai ekspedisi ini"
Mereka sendiri saksikan betapa geram pemimpinnya, Senapati Wiranggaleng. Dan orang melihat, tak seorang pun di antara keluarga Senapati datang menguntapkan keberangkatannya. Orang pun mengetahui: Idayu telah menyatakan seumur hidup takkan sudi menginjakkan kaki di ibukota negeri Tuban. Bahkan anaknya memasuki umur lima belas itu tidak mengantarkan suatu hal yang dianggap tidak patut bagi seorang anak Senapati. Dan ditambah lagi dengan sumpah Wiranggaleng sendiri yang takkan kembali lagi ke Tuban sebelum Sang Adipati mati.
Setiap orang punya pikirannya sendiri. Juga Senapati. Ia masih sempat mengenangkan peristiwa manis sebelum berangkat meninggalkan Awis Krambil. Anak-anak itu bersimpuh dan mencium kakinya, berjanji akan menemani, membantu dan membela ibu mereka. Dan Idayu, ah, wanita yang selalu ditinggalkannya itu ia tak bicara apaapa. Hanya mata merahnya mengatakan segala-galanya; protes keras tak terucapkan terhadap Sang Adipati. Dan seluruh penduduk desa datang untuk mengucapkan selamat jalan. Wanita pada menangis untuk Idayu, dan pria menekur mengherani keputusan Sang Adipati mondarmandir terhadap anak desa yang perwira itu. Ia naik ke atas benteng penduduk: Jaga Nyi Gede Idayu dan anakanaknya. Urus keselamatan dan kesejahteraan mereka.
Di Tuban Kota Sang Adipati menolak dihadap. Dan sekarang jung-jung, bukan kapal perang untuk berangkat ke medan perang.
Lain lagi halnya dengan Pada. Berkali-kali ia mengucapkan syukur alhamdulillah karena keberangkatannya. Setidak-tidaknya ia merasa mendapatkan kembali kemerdekaannya. Semakin jauh jung-jung bendera itu meninggalkan pantai, semakin mudah ia dapat menyusun pikirannya.
Di Awis Krambil ia merasa otak dan hatinya terbelenggu. Salah seorang isi rumah di pinggir hutan itu terus juga mendayu-dayu memanggilnya. Kalaulah tidak disuruh Wiranggaleng tak bakal ia dapat meninggalkan desa perbatasan itu untuk menemui Liem Mo Han.
Pada hari pertama kedatangannya di Lao Sam ia diajak Liem Mo Han beiialan-jalan sepanjang Dusun, menikmati pemandangan pantai yang dijaga oleh bukit-bukit rumah. Suara Gabah Liem tinggi menusuk. Sekalipun dalam tiupan angin keras terus-menerus, suaranya tetap tak menyenangkan masuk ke pendengarannya. Dan ia ingat sepatah demi sepatah. Memang banyak bandar-bandar yang menolak bergabung, kira-kira takut pada pembalasan Peranggi bila serangan gagal. Memang sulit untuk dapat meramalkan. Semestinya Malaka dengan mudah bisa dijatuhkan. Ada suatu kelemahan umum pada mereka: penjagaannya di belakang tidak serapi yang di depan. Penyerangan dari barisan punggungnya akan membikin mereka kocar-kacir. Kita akan lakukan itu.
Dan ia bertanya: Kita" Maksud Babah Tiongkok juga akan ikut serta"
Dan Liem Mo Han menjawab: Tidak, kami hanya perantauan buangan dari Tiongkok. Kami hanya bisa membantu dengan apa saja yang dapat kami bantukan. Kami hanya pedagang, bukan prajurit. Aku sudah usahakan agar ada kesatuan Tiongkok ikut bergabung. Mereka menyanggupi dan akan diturunkan dari Teluk Tonkin. Siapa mereka itu"
Liem Mo Han tak menjawab, hanya berkata, Aku sebenarnya malu tak mampu menyertai di medan perang nanti. Sudah diserukan di mana-mana negeri supaya orangorang Tionghoa punya perhatian dan ikut bergabung dalam penyerangan umum. Belum jelas apa jadinya nanti. Kesatuan Tiongkok akan serta. Semoga berhasil.
Kata-kata itu sama sulitnya untuk dapat ia pahami dengan tingkah hatinya sendiri yang mengimpikan Idayu, istri dari seorang sahabat Wiranggaleng, dan berharga bagi dirinya sendiri.
Seluruh awak jung yang tiga puluh buah itu tak berbahasa Jawa atau Melayu. Semua orang Tionghoa totok, dan nampaknya semua mereka menghindari percakapan dengan para prajurit. Bila terpaksa hanya bahasa gerak yang dipergunakan.
Sebagian kecil dari awak kapal beragama Islam dan pada setiap kesempatan ikut berjemaat.
Di Lao Sam armada jung itu berlabuh.
Liem Mo Han menjemput Wiranggaleng dan menemukan Pada ikut serta.
Tak perlu lama-lama berlabuh di sini, pesan Babah Liem. Senapatiku bisa tertinggal oleh armada Jepara.
Sementara itu dari dermaga dipunggah ke dalam jungjung itu bahan makanan, pakaian dan senjata.
Juga tidak perlu bermalam di Jepara. Bila sudah sampai di Semenanjung, memantai sebelah barat Sumatra, Senapatiku mendarat di mana saja di sebelah utara Malaka. Pasukan-pasukan Aceh sudah tahu di mana harus mendarat. Bila Senapatiku sampai di Aceh, pasukan gabungan Aceh-Bugis sudah menunggu di sana.
Wiranggaleng terheran-heran mengapa kata-kata sahabatnya begitu kacau, dan mengapa dia yang memberikan petunjuk kemiliteran dan bukan Panglima Demak Fathillah. Ia tatap sahabatnya dengan pandang tidak mengerti.
Melihat itu Liem Mo Han meneruskan dengan gugup: Ya, Senapatiku, sahaya hanya meneruskan pesan Gusti Ratu Aisah, Ibunda Sultan. Tuban, Aceh dan Bugis akan merupakan satu kesatuan tersendiri. Demak akan menyerang dari sebelah selatan sebagai kesatuan tersendiri pula, dan akan melakukan pendaratan dari sebelah timur Semenanjung. Boleh jadi armada Demak sudah berangkat terlebih dahulu. Atau lebih kemudian.
Wiranggaleng semakin terheran-heran. Bagaimana bisa demikian" Ia tak bertanya lebih lanjut. Ia curiga. Ia anggap Liem Mo Han tak mempunyai sesuatu hak untuk memberinya petunjuk barang sedikit pun di bidang ini. Dan ia menatapnya dengan curiga.
Dan Liem Mo Han berusaha untuk tidak bicara lagi, mencari dalih untuk segera dapat menghindarinya.
Senapati Tuban mengucapkan terima kasih atas usahanya mendapatkan jung sebanyak itu.
Pada berusaha menyertai bicara, tetapi Liem Mo Han hanya menghormatinya dengan sopan kemudian mengundurkan diri, dengan dalih yang tidak masuk di akal.
Armada jung meneruskan pelayaran. Suasana tetap: suram bertanya-tanya.
Walau telah dipesan oleh Liem Mo Han agar tak bermalam di Jepara, Wiranggaleng memutuskan untuk singgah dan mencari keterangan yang benar. Ia ingin mendapatkan petunjuk dan perintah langsung dari Fathillah. Ia melihat Pada nampak bingung, kuatir dibangkit-bangkit, maka ia sengaja tak hendak bertanya padanya.
Sedang Pada sendiri pun tidak mengerti mengapa Liem Mo Han menjadi begitu aneh. Terhadap dirinya pun ia bersikap seolah tak mengenal, seakan bukan lagi seorang ayah angkat. Dan nampak olehnya orang itu gugup dan ingin segera pergi mengakhiri pertemuan itu.
Armada jung itu berlayar terus dalam suasana muram. Kosong! seru Wiranggaleng waktu dari jung bendera ia melihat pelabuhan Jepara kosong.
Hanya sebuah kapal perang nampak, dan itulah kapal bendera Adipati Unus yang dipajang di pelabuhan.
Tak kelihatan barang sebuah pun kecuali yang satu itu! serunya geram.
Bekas kapal bendera itu bergeleng-geleng lemah. Berbelas tahun lamanya menjalankan perintah Unus untuk jadi tontonan ummat manusia sebagai kapal yang pernah bertempur melawan Peranggi silelananging jagad. Sekalipun kalah dan dikalahkan dia pernah melawan!
Dan kapal pameran itu seakan dimaksudkan sebagai lambang kapal mana pun bisa melawan Peranggi.
Adipati Unus telah melarang diadakannya perbaikan setelah 1513.
Tiang-tiang layar dibiarkan patah, haluannya terpenggal, bahkan kaki cetbangnya terbalik dengan tubuh tinggal sebagian kecil. Dindingnya yang complak tinggal menganga. Perbaikan yang diperkenankan hanya atas kerusakan yang bisa membikin kapal itu tenggelam. Dan semua orang diperkenankan naik ke atasnya untuk menonton.
Sultan Trenggono tak suka melihatnya. Ia tak pernah memerintahkan untuk menenggelamkannya. Hanya pekerjaan perawatan tak diperkenankan diteruskan.
Dengan demikian bekas kapal bendera itu dinamaikan satu itu.
Lima ratus prajurit laut Tuban yang bersemangat rendah sejak mancal, melihat kekosongan Jepara seperti melihat bekas pesta. Di mana-mana nampak daun bekas pembungkus yang bersebaran dan bermain-main ditiup angin. Dan kalau selama pelayaran mereka banyak termenung-menung, sekarang mereka mulai berteriakteriak: Kurangajar! Tak tahu diuntung!
Wiranggaleng dapat mengerti perasaan anakbuahnya. Perasaan mereka adalah juga perasaannya sendiri. Ia telah menduga ada pengkhianatan tersembunyi dalam perintah pemberangkatan ini. Ia belum tahu apa dan bagaimana. Bahkan ia pun mulai mencurigai Pada. Bagaimanapun sahabatnya itu bekas seorang musafir Demak, dan mungkin masih tetap seorang musafir Trenggono.
Jung bendera mulai melewati yang satu itu, memasuki selat antara pulau Kelar dan pulau Panjang. Senapati Tuban itu memerlukan mengangkat sembah pada gambaran gaib Adipati Unus. Dan jung menuju langsung ke pelabuhan.
Bandar itu sunyi walaupun di mana-mana terpasang umbul-umbul segala warna. Galangan dan bengkel sama sekali berhenti bekerja. Bahkan Syahbandar pun tak nampak menjemput, sebaliknya seorang wanita tua berpayung hitam, berdiri, bersama seorang gadis, di samping sebuah tandu yang tergeletak di atas tanah. Para penandu nampak duduk-duduk di kejauhan menonton berlabuhnya armada aneh itu. Wiranggaleng mendarat dengan wajah merah padam.
Anakku, tegur wanita tua berpakaian serba hitam itu. Sudah kami duga kau akan singgah.
Senapati Tuban segera teringat pada wanita tua itu. Ia bersimpuh dan menyembah: Gusti Ratu, patik singgah.
Armada Jepara telah berangkat mendahului. Tentu Babah Liem sudah sampaikan segalanya padamu, Wiranggaleng, Senapati Tuban. Jangan berkecil hati, karena kau, anakku, akan membentuk kesatuan sendiri dengan Aceh dan Bugis. Terimalah ini, cincin yang pernah dibawa dan dikenakan almarhum Unus waktu menyerang Malaka, pertanda kau diberi wewenang oleh Jepara dan Demak. Sri Baginda Sultan Trenggono merestui kau. Senapati Tuban. Allah akan memimpin dan memberkati dan melindungi kau dan semua anakbuahmu, demi doa kami. Insya Allah selamat dan berhasil.
Wanita tua itu minta Wiranggaleng mengulurkan tangan-kanannya, kemudian memasangkan cincin. Dan Senapati membalas dengan sembah dan beribu terimakasih dengan kepercayaan itu.
Ia memberanikan diri mengangkat muka dan bertanya: Ya, Gusti Ratu, apakah gerangan sebabnya pasukan kami diangkut dengan jung Tionghoa, bukan dengan kapal perang sebagaimana layaknya"
Jangan bertanya, anakku, karena itulah kiriman Allah dan bukan sekedar manusia yang mengusahakan.
Bagaimanakah jung-jung ini tanpa barisan pendayung untuk bisa bergabung dengan armada Jepara-Demak"
Jalan dan tugasmu telah ditentukan, anakku. Lepaskan armada Jepara-Demak dari pikiranmu.
Armada jung ini takkan dapat lari dari Peranggi, Gusti Ratu, tak dapat melawan sedikit pun di laut.
Kau takkan dikejar Peranggi, juga tidak melawan di laut. Tugasmu melakukan pendaratan.
Wanita tua itu naik ke atas tandu bersama cucunya. Dan para penandu lari menghampiri, menyembah, kemudian mengangkatnya, bergerak meninggalkan bandar.
Wiranggaleng tertinggal berlutut di atas pasir. Ia makin tidak mengerti. Ia perintahkan para peratus untuk segera mendarat: Sampaikan pada anakbuah kalian, jangan berkecilhati. Apa pun yang terjadi dan tersedia, kita bertekat untuk menggempur Malaka. Jangan pikirkan yang lain.
Orang mulai berdatangan di pelabuhan untuk melihat armada aneh armada jung berbendera Majapahit. Armada apakah ini gerangan" Armada dagang membawa beras ke Pasai" Dan tidak lain dari Wiranggaleng juga yang merasa jengkel armada-anehnya jadi tontonan, dianggap sebagai keanehan jaman yang perlu disaksikan.
Dari suatu tempat yang terlindung. Ratu Aisah di atas tandunya mengantarkan armada jung itu dengan pandang yang memendungi selaput awan.
Nenenda, panggil cucunya, ke mana mereka belayar"
Malaka, mengusir Peranggi. Mengapa nenenda menangis"
Kapal-kapal besar dan kuat dan mewah bikinan pamanmu. Upik, semestinya mengangkut mereka. Ya, nenenda, tapi mengapa nenenda menangis" Upik, kadang ada gunanya orang menangis untuk mengucapkan syukur, kadang untuk mengucapkan doa dan diri merasa demikian rendahnya di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa. Masih kau ingat pamandamu, Unus, penantang Peranggi"
Tentu, nenenda. Paman Adipati Unus, penantang Peranggi.
Dan ingat-ingatlah satu nama lagi: Wiranggaleng. Dia pun menantang Peranggi. Kau masih terlalu kecil untuk dapat mengingat wajah pamanmu almarhum. Tapi Wiranggaleng kau sudah lihat sendiri. Jangan sampai kau lupa seumur hidup.
Yang dikaruniai cincin tadi, nenenda"
Ya, yang tadi itulah. Lihatlah ke sana sekarang, antarkan armadanya dengan doa selamat, cucunda. Sertai nenenda mengucapkan doa untuk kemenangannya.
Wanita itu mengucapkan sebaris kalimat doa dan cucunya mengulangi. Kalimat demi kalimat sehingga selesai. Kemudian dengan suara dalam karena perasaan tertekan ia meneruskan: Kelak kalau orang-orang seumur aku telah dipanggil Tuhan, cucunda, orang-orang seumurmu masih harus mengingat satu nama itu, dan satu lagi itu. Kalau kelak negerimu aman, makmur dan sentausa, adil dan sejahtera, adalah karena mereka. Kalau yang sebaliknya yang terjadi mereka gagal. Ya-ya, kelak kau akan mengerti, musuh negeri dan bangsamu bersaf-saf, berlapis-lapis. Aaa, kau tidak dengarkan.
Tandu itu berangkat lagi dengan mengirimkan doa pada armada jung dan cericau cucu tentang umbul-umbul dan rombongan penonton di pelabuhan.
Setelah bersembahyang magrib Ratu Aisah berdoa sampai menjelang isya, doa terpanjang yang pernah diucapkan di dalam khalwat. Dengan berlinangan airmata ia memohon kedamaian dan kemampuan untuk memaafkan putranya Sultan Trenggono, karena armada Jepara-Demak telah dilarang oleh putranya menerima penggabungan Tuban, dan berangkat satu hari sebelum waktu yang dijanjikan. Dan bukan sebagian armada yang berangkat, seluruhnya dan dengan seluruh pasukan laut ditambah dengan pasukan kaki. Ia sendiri tak percaya armada itu menuju ke Malaka. Maka ia berdoa agar Allah menggerakkan putranya untuk menggerakkan armada itu langsung ke sasaran. Tapi hatinya tidak yakin.
Setelah bersembahyang isya ia menengok cucunya yang ternyata belum lagi tidur, dan direbahkan tubuh tuanya di samping cucunya.
Mengapa nenenda begitu terlambat" tegur cucunya. Sekarang, cucunda bacalah surah-surah yang kau sudah hafal.
Cucu itu mulai mengulang-ulang dari surah hafalan sambil bertidur-an. Suaranya semakin lama semakin lemah untuk kemudian terhenti dan disambung dengan nafasnya yang teratur.
Ratu Aisah bangkit dan keluar dari bilik.
Makan malam itu tak dijamahnya. Ia pergi ke taman, memandangi bintang-bintang bertaburan di langit gelap. Jiwa yang telah tua itu meraung-raung pada antariksa, memanggil-manggil, berseru-seru, terhisak-hisak dalam kekuatiran, dan menjolak-jolak dengan harapan. Ia rasai buminya tiada keteguhan lagi, setapak tanah pun tak lagi kekukuhan untuk berpijak. Ambillah makhluk-Mu ini, habisilah kesia-siaannya, seorang wanita, tua dan tanpa daya. Hidupi terus cucuku, dengan semangat yang sudah dimulai oleh pamannya. Segala sudah aku tempuh, aku usahakan. Janganlah datangkan jaman sebagaimana aku dan orang-orang sebelum aku tiada menghendaki, karena jaman yang itu akan membikin sia-sia segala dan semua yang telah umat-Mu taburkan di bagian bumi ini. Ya Allah, ya Allah.
Tengah malam ia baru masuk ke dalam rumah. Para inang masih juga menunggui. Makan malam telah dihangatkan lagi. Ia tak juga datang untuk menjamah.
Terdengar percikan air. Ratu Aisah mengambil air wudhu, kemudian kelihatan ia masuk ke dalam khalwat kembali dan bersembahyang tahajjud sampai subuh.
Dengan susah-payah armada jung itu berlayar ke arah utara untuk mendapatkan angin yang lebih menguntungkan.
Dan Wiranggaleng masih juga tenggelam dalam pembisuannya. Tak ada yang berani mengganggunya. Orang melihat keterangan telah memperkosa airmukanya. Orang-orang yang datang untuk menunggu perintah tinggal duduk-duduk menunggu dan menunggu Bahkan tak ada orang yang berani menyilakannya makan.
Tempat kesukaannya adalah lambung kiri. Di sana ia berdiri dengan pandang ditebarkan pada pantai Jawa yang serasa tiada kan habis-habis-nya, siang dan malam.
Dan sekali ini ia sengaja mengenangkan kembali pidato Rama Cluring yang terakhir itu, sewaktu cengkaman gurupembicara pada hadirin mulai mengendor, dan di sana-sini orang mulai terdengar mendehem dan terbatuk-batuk. Dan tiba-tiba semua pandang terarah pada Idayu yang angkat bicara: Rama, aku tak begitu tertarik pada kata-katamu yang belakangan itu. Ceritai saja kami tentang jaman kejayaan yang kau agung-agungkan itu.
Rama Cluring menengok ke arah Idayu, tersenyum dan mengangguk: Permintaan yang bijaksana. Gadis, agar kalian tahu perbandingan dengan jaman kalian sendiri sekarang ini. Dengarkan, Gadis: Dalam seluruh pengembaraanku, aku selalu mengagungkan jaman kejayaan itu, biar orang tua-tua sekarang ini tahu sampai di mana mereka sudah merosot, ya sampai ke lutut dibandingkan dengan nenek-moyangnya sendiri. Sayang sekali. Gadis, orang-orang tua itu kalau diceritai, hanya mengangakan mulut seperti buaya berjemur menunggu lalat. Pengelihatannya dan pendengarannya sudah tak peka lagi. Kau anak berbahagia, Gadis. Memang aku lebih suka melayani pertanyaan dan permintaan gadis dan perjaka, karena jaman ini adalah permulaan dari jamannya, dan kalian sendiri, bukan orangtua kalian yang sudah berlengahlengah tak sanggup membiakkan kelapa itu.
Kau sendiri sudah menyia-nyiakan jamanmu sendiri, Rama, seseorang memprotes.
Itu menurut kau. Soalnya karena kalian sejak dulu tak mau mendengarkan aku. Sampai berbulu putih begini aku masih terus bicara dan kalian masih juga menganga menunggu datangnya lalat.
Mulailah dengan cerita itu! Idayu mendesak. Baik, sambar Rama Cluring untuk meninggalkan pertengkaran secepat mungkin. Dahulu adalah seorang anak desa, Nala namanya. Dia berasal dari sebuah kampung nelayan di Tuban. Seorang bocah yang oleh para dewa dikaruniai dengan banyak cipta. Untuk Majapahit dia ciptakan kapal-kapal besar dari lima puluh depa panjang dan sepuluh depa lebar, bisa mengangkut sampai delapan ratus o-rang prajurit dan dua ratus tawanan, kapal-kapal besar, terbesar di dunia ini, di seluruh jagad ini. Pada tiang agungnya selalu terpasang bendera merah-putih yang berkibar tak jemu-jemunya. Seperti bendera kapal-kapal kecil Tuban sekarang ini, hanya lebih pendek.
Beratus-ratus kapal semacam itu dibuat di galangangalangan Majapahit di Tuban, Gresik, Kawal, Panarukan, Pasuruan, Pacitan, Juana aku kira jumlahnya takkan kurang dari tiga ribu. Penuhlah laut dengan armada Majapahit. Setiap di antaranya pasti akan kalian sangka istana Dewi lautan. Dan setiap kapal pimpinan selalu berlayar sutra kuning gemerlapan.
Apakah Rama pernah melihat dan menaikinya" Idayu bertanya lagi.
Waktu muda, ya, dari Gresik sampai ke Nalagasari, dari Malaka sampai ke utara sana, memudiki Kali Mutiara. Tak ada yang menyamai besar dan kelajuannya. Kapalkapal Atas Angin itu, huh, apalah artinya, seperti kambing di sebelah kuda. Dan bila semua layar telah dikembangkan, laksana elang ia meluncur meninggalkan di belakangnya semua bikinan manusia yang terapung di atas laut. Seribu bajak takkan dapat memburu apalagi mengepungnya. Ya, Gadis, aku pernah ikut berlayar dengan sisa jenis kapal Majapahit ini. Tak ada lagi yang bisa membikinnya sekarang.
Mengapa tak bisa" Bukankah di bandar-bandar orang terus menggalang" Idayu merangsang. Aku sendiri pernah berkunjung ke sebuah galangan Tuban setahun yang lalu.
Tidak bisa. Gadis. Sudah lebih seratus tahun orang tak dapat membikinnya lagi. Orang yang dapat mengetahui kayu lunas yang dipergunakan oleh Mpu Nala sudah tiada.
Bocah dari kampung nelayan Tuban itu bukan saja seorang Mpu kapal, ia pun seorang ahli kayu. Memang ia pernah ke kepulauan cengkeh dan pala. Hanya sebuah saja katanya, yang menghasilkan. Pulau itu tidak begitu besar dengan sebuah gunung berapi. Kira-kira seratus tahun setelah Mpu Nala wafat, orang memang masih membangunkan kapal Majapahit, karena masih ada persediaan kayu lunas. Setelah habis, habis pula kemungkinan.
Pada suatu kali, Rama Cluring meneruskan. Airmukanya nampak lunak, dan ia tidak mempedulikan kegelisahan yang masih juga berkuasa di dalam hati setengah orang, Sebuah iring-iringan kapal datang ke sana, begitu menurut cerita guruku dulu. Ternyata gunung itu telah meletus, menghancurkan semua hewan, manusia dan tetumbuhan di atasnya. Yang tertinggal hanya seperlima dari pulau itu, putih, tinggal pasir dan karang semata.
Kalau begitu kayu itu sekarang sudah tumbuh lagi di sana, Galeng mencoba menyertai.
Mungkin kau tak salah, Perjaka. Tapi orang sudah tak tahu lagi kayu yang mana, pada umur berapa baru bisa diteras dan ditebang, bagaimana merawatnya sebelum dan sesudah ditebang. Lagi pula orang datang ke sana bukan untuk mencari kayu, tapi rempah-rempah semata. Ia diam sebentar untuk minum. Memang tidak semudah itu. Mpu Nala telah merahasiakannya. Kalau setiap orang tahu, semua kerajaan di dunia ini bisa juga, maka kapal-kapal Majapahit bukan lagi satu-satunya yang menguasai laut.
Mengapa kau tak bicara lagi, Kang" Idayu berbisik pada Galeng.
Dan Galeng hanya menggeleng, tenggelam dalam cerita guru itu.
Beruntunglah aku pernah ikut berlayar dengannya. Lunasnya masih tetap utuh, biarpun badannya telah berkali diganti. Kata guruku, sebelum kayu dibentuk jadi lunas, beberapa bulan lama direndam dalam lumpur larutan sesuatu. Orang tak tahu ramuannya. Pewaris tunggal ramuan adalah anaknya, juga seorang Mpu kapal. Sayang, ia menghembuskan nafas keluh, ia tewas dalam pertempuran laut di sebelah utara Singaraja dalam perang Paregreg. Ah, jaman silam! Kapal-kapal megah yang mampu membawa ratusan prajurit begitu, dan perlengkapan, dan perbekalan, dan tawanan. Kalau kapalkapal semacam itu masih ada, dan sebanyak dulu, tak bakal ada kapal Parsi, Arab dan Benggala berkeliaran ke mari.
Satu demi satu kapal itu binasa dalam Perang Paregreg. Kapal dari satu jenis berhadap-hadapan, dengan senjata satu jenis: cetbang. Tenggelam terkubur di dasar laut akhirnya semuanya.
Sebuah kapal dari jenis ini pernah dilarikan dari Tuban ke Malaka. Yang melarikan ialah suami kaisar Suhita. Dengan diiringkan oleh beberapa buah kapal kecil Pangeran Bhre Paramesywara itu marak jadi raja di Malaka, tetapi tak pernah dapat membangunkan sendiri kapal Majapahit. Apa yang dijanjikannya tak pernah ditepati. Kalau Majapahit tak mampu hidup di Selatan, kami akan hidupkan dia di utara, kata Pangeran Bhre Paramesywara. Ternyata Malaka tidak pernah melahirkan Mpu Nala. Bandarnya tak lebih baik dan tak lebih besar ataupun bagus daripada Tuban, namun merugikan bandar-bandar di bawahnya, dan tinggal jadi bandar dagang dan persinggahan. Majapahit runtuh di selatan dan tak bangun di utara.
Rama, seseorang menegur, sebenarnya kau hendak bicara tentang apa" Bicaramu tidak menentu. Kau mengagungkan kejayaan Majapahit.
Yang kau agungkan runtuh. Di mana pula kejayaannya" Bicaramu melompat-lompat seperti katak diburu ular!
Uah! kau benar, Rama during mengangkat dagu tinggi-tinggi, mukanya telah berkilat-kilat karena keringat. Ada kalanya katak berlompatan dikejar ular. Ada kalanya dia mati kena terkam. Namun sebagian terbesar dari hidupnya yang pendek dia mengagungkan hidup bukan mati. Hanya kau, yang dalam hidupmu melihat katak cuma dalam buruan ular. Mengerti kau apa maksudku" Boleh jadi kau sedang menunggu-nunggu datangnya kata-kataku yang bisa memperluas hatimu. Puh! Rama CIuring bukan si pengluas hati.
Tak ada yang berkeberatan Rama seorang pengeluas hati atau tidak. Bukankah tahu juga kau, mayat orang baikbaik dibakar, hanya orang-orang tak menentu ditanam" Yang dibakar nyawanya terbang ke Suralaya, yang ditanam hancur dimakan cacing dan nyawanya jadi dedemit. Kau bicara tentang yang sudah mati, Rama, penyanggah itu menetak gencar. Katakanlah, kau bicara tentang suralaya atau kerajaan dedemit"
Suralaya dan kerajaan dedemit dan nirwana aku tak tahu. Itulah perkara parabiksu, pandita dan pedanda. Aku tak bicara tentang kema-tian. tentang kehidupan, tentang hidup dan bercipta dan mencipta. Majapahit kehilangan Mpu Nala, dan Malaka tidak melahirkannya. Di Suralaya dan di kerajaan dedemit dia tidak ada. Kalau ada kapalkapalnya sudah pasti akan datang di bandar-bandar seluruh dunia. Tetapi, dengarkan, kau yang tak mengerti tentang kebesaran dan kejayaan. Dengarkan yang baik, kau pembantah, negeri dengan bandar begini, orang cukup duduk seminggu di pelabuhan, melihat-lihat besar dan banyaknya kapal sendiri yang mondar-mandir pergi dan datang orang akan tahu sampai berapa artinya negeri itu. Hanya orang hidup dari kekecilan negeri ini yang tidak bakal mengerti maksudku. Dan barangkali karena katakataku ini bukan saja seorang tapi banyak Mpu Nala, karena panggilan ini, membenih dalam guagarba perawanperawan yang ada di dalam balai-desa sekarang ini.
Rama CIuring diam dan berdoa. Juga Galeng mengangkat sembah. Kata-kata Rama yang terakhir itu menggelora berseru-seru dalam hatinya. Segera ia akan kawini Idayu. Dan kelak anak-anaknya juga harus jadi Mpu penggalang kapal, pendiri kebesaran dan kajayaan.
Ia sendiri, seperti yang lain-lain, telah banyak mendengar tentang kebesaran dan kejayaan Majapahit Majapahit yang kini telah mati tinggal jadi cerita itu. Doa Rama CIuring ia rasai seakan tertuju pada dirinya semata: kau, kau munculkan dia dari guagarba haridepan.
Ketika ia menengok pada Idayu, perawan itu sedang tersenyum melirik dari samping. Ia betulkan letak kain kerudung pada bahu pacarnya. Kemudian tangannya mencari tangan Idayu, dan mereka berpegangan tangan seakan tiada kan lepas lagi untuk selama-lamanya. Panas bisik Idayu.
Mereka namai dia seorang dewa haridepan, gumamnya. Tanpa pikir panjang, hanya untuk menyatakan penghargaannya, ia angkat kata: Rama, kau tahu tentang jaman lewat, kau sendiri hidup dalam jaman kemerosotan ini seperti kau sendiri telah katakan, maka kau berseru-seru pada jaman mendatang, seakan kau hendak memberikan pada kami tiga-tiga jaman itu tidak berpisahan seperti banyak orang bergandeng-gandengan dalam suatu permainan.
Tidak pernah berpisahan, Perjaka, bersambungan dan bergandengan tak putus-putusnya.
Ya, bersambungan terus-menerus. Tapi tidakkah kau keliru. Rama, atau sengaja membodohi kami, atau memang melebih-lebihkan, atau barangkali kau seorang tua pembohong, waktu kau mengatakan lunas kapal Mpu Nala jauh lebih tahan dari badan kapal yang berkali diganti, sampai kapal itu mencapai umur lebih dari seratus tahun" Indah sekali pertanyaan itu, Perjaka. Memang aku tak dapat membuktikan karena barangnya sudah tidak ada. Kau boleh tuduh aku bodoh, bohong dan melebih-lebihkan. Kau sendiri pun takkan dapat membuktikan kebohonganku. Di jaman jaya dulu memang seorang pembicara harus bisa buktikan kebenaran omongannya, kalau diminta. Itu aturan dulu. Dalam jaman kemerosotan ini aturan itu hilang dengan sendirinya.
Rama Cluring menggerakkan tangan untuk melukiskan bentuk lunas.
Rama, kau tidak memanggil kebesaran pada guagarba haridepan. Kau memanggil balatentara Tuban untuk menumpas kami , seseorang menuduh.
Orang tua itu tidak peduli dan meneruskan: Mpu Nala bukan sekedar hanya mendapatkan kayu itu. Dia punya sumber cipta agung. Dia juga yang membuat aturan sehingga puluhan kapal yang bersebaran di permukaan laut dapat bicara satu-sama-lain seperti aku dan kalian sekarang ini.
Rama, karena kau sudah bilang para guru-pembicara sekarang ini tak dikenakan aturan membuktikan kebenaran kata-katanya, terbebaslah kau, jadi kau boleh membohong sekuat mulutmu. Kau hanya ngomong, ngobrol, tak lebih.
Orang tua yang serba putih itu terhenyak. Matanya menyala-nyala. Mukanya yang keriput makin berkerutkerut dalam, seakan sedang menyiapkan ledakan. Dan ledakan itu ternyata tiada. Ia menuding pada para pendengar yang duduk berbanjar-banjar. Ia menelan ludah. Tak ada keluar kata-kata dari mulut.
Dari beberapa tempat mulai terdengar orang mengejek. Dan mereka yang arif dapat segera melihat, guru-pembicara itu merasa tersinggung. Mereka yang sudah mengenal wataknya tahu, singgungan terhadap kebesaran dan kejayaan Majapahit adalah juga singgungan terhadap kehormatan pribadi Rama.
Mengapa terdiam" Mengapa tidak memekik dan berjingkrak"
Jangan menangis, Rama, seorang dari banjar tengah melengking ria, memang orang-orang muda wajib menghormati orang tua, tapi jangan kau kira kau boleh semburkan abab semau sendiri.
Rama Cluring belum juga menjawab. Nampak benar ia sedang bergulat untuk menindas perasaannya.
Tak lain dari Idayu yang berusaha menyelamatkan Rama. Berseru ia keras-keras: Aku menghargai Rama. Idayu berdiri, seakan menantang semua orang. Sekali lagi Galeng menarik duduk. Pemuda-pemudi desa berseru-seru menyokong Idayu dan membenarkannya.
Baru kemudian keluar kata-kata Rama yang berat dan sepatah-sepa-tah: Kalian datang di hadapanku untuk apa" Untuk mendengarkan aku. Pekerjaanku memang bicara. Suara itu bernada rendah memohon simpati . Seorang diri aku berseru-seru: Jangan biarkan anak-anak kalian tenggelam dalam kemerosotan jaman. Bangkit: Lawan kemerosotan. Lebih dua puluh tahun aku bicara. Tetapi orang masih juga tak mau mengerti.
Sekarang suaranya mengambil nada semula, cepat dan bersemangat: Tugasku adalah bicara agar kalian mengerti, jaman sudah beralih dari kejayaan pada kemerosotan sekarang ini. Kalau kemerosotan tak dapat ditahan, yang bakal datang tak lain dari kebinasaan.
Kalau begitu. Rama, Galeng memaksa bicara hanya untuk menunjukkan simpati. Ceritai kami bagaimana orang membangkitkan kejayaan, menahan kemerosotan. Jangan gubris mereka yang hanya tahu mengejek, yang tak mampu mengerti. Kau jadi panas, Kang" Idayu berbisik memperingatkan. Para pengejek itu tak hanya sekelompok buaya. Suasana berubah waktu gadis anak kepala desa datang membawa nampan berisi gendi, meletakkannya di hadapan Rama, dan mengambil cawan yang telah kosong, kemudian pergi lagi.
Guru itu nampak sangat haus. Ia ambil gendi dan minum dari kucuran cucuknya.
Dengarkan kalian yang ikut bersama kemerosotan jaman ini! Orang bijaksana mengetahui berubahnya jaman dari pengertian-pengertiannya. Guru-pembicara seperti aku ini hanya menyampaikan pengertian. Orang yang tidak bijaksana, yang bebal, baru tahu jaman sudah atau sedang berganti kalau cambukan perang telah mendera-dera pada punggungnya. Tetapi darah dan keringat yang dikucurkannya sudah sia-sia belaka bakalnya. Dia akan meregangkan nyawa di mana saja, di ladang, sawah, jalanan, laut atau darat, untuk kesia-siaan itu. Kesalahannya hanya: bebal, tak punya kebijaksanaan.
Tiba-tiba Rama Cluring meringis. Tangannya menelusuri perutnya. Sakit perut! orang menduga. Kemudian nampak Rama mengerutkan gigi. Dan begitu wajahnya cerah kembali ia melanjutkan kata-katanya, cepat-cepat: Dengarkan, kau Perjaka, bagaimana orang telah membangkitkan kejayaan, dan itu lebih berarti daripada hanya sekedar menahan kemerosotan.
Kembali ia meringis. Tangannya gelisah menelusuri perut.
Ada seorang anak desa, seorang anak lurah, katanya cepat-cepat. Anak ini diemong oleh bujangnya, seorang prajurit pelarian balatentara Tatar Kublai Khan. Dari pengemongannya si bocah belajar membikin senjata-api penangkap rusa dan babi hutan. Bocah bukan sembarang bocah. Dia pun punya cipta dan dayacipta besar. Aku akan perbaiki senjata-api ampuh ini, dibuat sebanyak-banyaknya, dan balatentara yang menggunakannya akan menjadi pemenang tunggal di atas bumi manusia ini.
Ia bertekad menjadi orang besar untuk dapat menggunakan senjatanya. Setelah dewasa ia tinggalkan desa dan orangtua dan pengemongnya, dan masuk ia ke pusat kerajaan Majapahit. Dengan ilmu berkelahi dari pengemongnya dengan mudah ia dapat hancurkan kepala banteng dengan sebelah tangan, dan jadilah ia perwira pengawal Sri Baginda Jayanegara. Ia mendapat nama militer: Gajah Mada.
Wajah Rama kelihatan pucat. Tapi ia berkukuh meneruskan ceritanya: Dengan daya cipta besar ia berhasil meningkat jadi Mahapatih. Uh, pemberontakan Kuti itu sangat berarti bagi seorang seperti dia. Pada waktu itulah ia kembangkan senjata-api yang kini kalian kenal dengan nama cetbang. Dan dengan kapal-kapal Mpu Nala yang dipersenjatai cetbang armada Majapahit tak pernah menemui perlawanan. Bila pelurunya berledakan di udara, kerajaan-kerajaan bandar pada takluk dan menyerah. Kembali ia meringis dan menekan-nekan perut. Idayu bangkit untuk menolongnya.
Rama CIuring meneruskan: Tidak menemui perlawanan di mana pun. Di setiap bandar kerajaan di seberang, raja-raja pada turun dari singgasana, datang menyongsong armada di bandarnya. Peluru-peluru cet-bang yang berledakan di udara, seperti kilat dan guruh sekaligus, membikin Majapahit jadi penguasa tunggal atas Nusantara suatu yang pernah dicapai oleh Sriwijaya selama tiga ratus tahun. Di tengah laut peluru-pelurunya berluncuran di atas permukaan air membinasakan armada-armada perampok dan bajak laut. Maka darat dan laut aman.
Dalam sepuluh tahun kemudian Majapahit mulai jadi kekaisaran. Kemudian seluruh Nusantara bersatu di bawah bendera merah-putihnya.
Ia menguruti perut, dan dada dan leher. Suaranya kehilangan kekuatannya, namun ia masih tetap meneruskan: Waktu itu hanya ada dua kaisar. Kaisar Tiongkok di utara dan Kaisar Majapahit di selatan .
Kebesaran dan kejayaan masa lalu, Wiranggaleng bergumam, kemudian menghembuskan nafas dalam. Kapal besar, kapal pemenang di seluruh jagad. Dan sekarang aku hanya dengan jung jung Tiongkok pula .
Malam datang. Dingin mulai tak tertahankan. Ia lepas kain penutup celana, selembar kain batik buatan istrinya, dan dibuatnya jadi penutup dada.
Sekarang ia terkenang pada rusa yang malam ini mungkin pada berbaris menyerang ladang-ladang petani. Entah sudah berapa puluh saja binatang itu telah memasuki jebakan ranjaunya. Semua telah ia kuliti, ia potong-potong, didendeng. Rusa-rusa itu makhluk yang tak berbahagia di negerinya sendiri. Setiap ekor pada suatu kali mengalami seperti itu. Ya, tidak berbahagia di negeri sendiri. Sedang yang bijaksana tak dapat berbuat apa-apa, hanya bisa bicara di desa-desa. Yang dungu mempunyai segala-galanya dan dapat mengerahkan semua untuk berperang dan mati buat kesukaannya.
Makin malam makin riuh pergolakan dalam dirinya. Bukan bayangan yang memburu-buru, bukan rusa bukan kijang, tapi tanya dan duga yang tiada putus-putusnya.
Bagaimana mereka jadinya dalam sepuluh tahun mendatang" Apakah serba kebalikan daripada impian Rama Cluring impianku pribadi" Bagaimana bakalnya nasib Gelar dan Kumbang" Apakah mereka akan lebih buta dan lebih tidak berdaya, tidak berkemampuan, daripada aku" Apakah mereka akan hanya jadi korban kesia-siaan raja-raja yang dungu"
Dan Pada yang terus mendampinginya menjadi gelisah melihat perkembangan sahabatnya yang jadi aneh itu. Ia memberanikan diri bertanya: Bukankah kita tetap menuju ke Malaka, Kang"
Jangan pikirkan yang lain-lain, ia ulangi perintahnya pada para peratus di bandar Jepara. Kita akan gempur Malaka.
Tengah hari waktu itu. Pesisir pulau Jawa nampak dari kejauhan sebagai garis putih yang gemerlapan, bersambung naik dengan hijau-kelam hutan dan gunung-gemunung, dengan puncak-puncaknya yang semakin tinggi semakin cerah menantang laut.
Kau ingat rumah, Kang"
Belum lagi kau selesaikan ceritamu tentang Trenggono dan Fathillah.
Jung-jung ini takkan mungkin dapat memburu armada Fathillah, Pada mengalihkan percakapan.
Trenggono dan Fathillah, Pada, Wiranggaleng memperingatkan.
Ya, Trenggono dan Fathillah. Apa lagi perlunya kita fikirkan, Kang. Hanya Malaka tujuan kita. Mereka hanya Sultan dan Panglimanya, laksamananya, mereka hanya ipar dengan ipar. Kita bukan apa-apanya. Urusan kita tetap Malaka, Kang.
Mengapa Liem Mo Han tak ramah terhadapmu" Juga tidak padamu. Urusan kita tetap Malaka, Kang. Armada jung aneh itu tidak menyinggahi bandar-bandar kecil. Dan prajurit-prajurit laut ini berlayar semata-mata dengan kekuatan angin. Setiap hari mereka tak mempunyai banyak kerja, dan mencoba melupakan tugas tidak menentu dengan mengobrol, bercerita mendalang atau berlaku sebagai seorang guru-pembicara. Bergurau pun tidak terjadi, kuatir bisa menimbulkan salah duga pada pemimpin mereka.
Ketiga armada jung akan melalui bandar Banten, dari kejauhan nampak armada Jepara-Demak seperti sebarisan camar yang sedang mengapung di permukaan air, putihkelabu dengan layar keperakan, dan dua buah kapal berlayar dengan layar kuning gemerlapan.
Semua orang memerlukan meninjau. Dan mereka tidak bersorak, seakan sedang melihat sesuatu yang sama sekali tidak mereka harapkan.
Kembangkan semua layar. Tambah kalau bisa! perintah Wiranggaleng. Ia sendiri malu memerintahkan untuk mengejar. Yang demikian-memang tidak mungkin.
Orang menghindarkan pandang dari bandar Banten dan membutakan hati pada kerinduan pada darat. Semua layar dipasang penuh, bahkan layar-layar tambahan mulai dikembangkan pula. Titik-titik bersayap keperakan dan keemasan itu makin lama makin kecil. Memang tak mungkin dapat menyusul. Namun pengejaran yang sia-sia diteruskan juga, sedang hati membisu dan hati digumul jengkel.
Dari jung paling belakang orang berseru-seru bersama: Aaaaa! dan armada Jepara-Demak membelok ke kiri, memantai pesisir barat Banten menuju ke selatan, ke Ujung Kulon.
Khianat! Benar ada pengkhianatan, gumam Wiranggaleng pada diri sendiri. Tiba-tiba ia tersenyum: begitu juga barangkali yang dirasakan oleh Adipati Unus waktu Tuban tidak juga muncul untuk bergabung.
Sekarang ia telah dapat menangkap gambaran selengkapnya: semua harapan tentang Jepara-Demak harus dilepaskan. Dan bahwa ia dikirimkan dari Tuban untuk mati di laut, atau di daratan orang, atau di mana saja, asal mati, bersama lima ratus orang yang tak ada merasa bersalah pada Sang Adipati. Gila!
Armada Jepara-Demak di bawah Panglima Laksamana Fathillah telah membelok ke kiri, memantai sepanjang barat Banten.
Para prajurit laut Jepara terheran-heran: mengapa tidak ke Utara" Mereka bertanya-tanya satu pada yang lain: apa sesungguhnya sedang terjadi" Tetapi semua isyarat dari kapal-kapal yang ditujukan pada kapal bendera tidak berjawab.
Sampai di Ujung Kulon hanya beberapa regu prajurit dari kapal bendera diperintahkan mendarat. Juga Panglima- Laksamana Fathillah mendarat dan sendiri memimpin anakbuah itu menjajagi darat. Tidak lama. Dan mereka naik lagi membawa terlalu banyak kelapa muda.
Kemudian armada itu balik lagi ke utara, memasuki selat Sunda, kembali ke Jepara.
Semua kebijaksanaan tentang armada raksasa ini diserahkan kepada Fathillah oleh Sultan Trenggono berdasarkan persekutuan militer untuk meneruskan rencana menguasai Jawa bukan hanya dari darat, juga dari laut.
Dengan demikian pertikaian antara pasukan laut dan pasukan kuda dapat dipadamkan dua-duanya ditundukkan pada keinginan Trenggono sendiri akan memimpin gerakan dari darat. Dan persekutuan militer ini akan melancarkan gerakannya bila pasukan gabungan Tuban-Aceh-Bugis telah mulai melakukan serangan di Malaka. Portugis akan sibuk melayani serangan, maka bahaya terhadap pelaksanaan persekutuan militer Demak tidak akan ada.
Maka itu armada raksasa harus berangkat satu hari sebelum gugusan Tuban diperkirakan akan datang ke Jepara. Jung-jung itu tak boleh menyusul. Demak harus bisa menggunakan hasil persekutuan rahasia Aisah-Usup- Liem Mo Han.
Setelah armada berlabuh untuk beberapa hari di bandar Banten dan berangkat lagi ke Ujung Kulon, mereka tak tahu, bahwa jung-jung telah melihat mereka. Juga tidak mengetahui, Tuban telah melihat mereka membelok ke kiri.
Sesampainya di Jepara kembali armada itu beristirahat selama tiga bulan, kemudian berangkat lagi, menempuh garis pelayaran yang sama.
Dan tak lain dari Aji Usup yang giat mondar-mandir antara Jepara, Demak dan Lao Sam. Ia tahu urusannya telah gagal. Armada raksasa itu tak dapat dibelokkan ke utara. Dan seluruh pasukan laut Jepara tak dapat berbuat sesuatu pun terhadap Fathillah. Sejumlah besar pasukan kaki yang dibaurkan dalam tubuh pasukan laut telah membikin prajurit-prajurit Jepara itu tak dapat berbuat sesuatu pun daripada mengikuti perintah.
Aji Usup insaf ia telah kehilangan segala-galanya. Bahkan ia telah kehilangan keberanian ke luar lebih jauh dari tiga tempat tersebut. Ia merasa telah kehilangan muka.
Setelah kunjungannya terakhir ke Lao Sam ia tak pernah lagi meninggalkan Jepara. Ia memilih mati dan berkubur di Jepara.
Pada suatu hari yang telah diduganya satu regu pasukan pengawal berkuda Demak datang mengepung rumahnya. Tak seorang pun dapat menolongnya. Sepucuk tombak telah menembusi dada hingga bahunya. Ia mati di atas anaktangga rumahnya sendiri. Dua orang anaknya yang berusaha melarikan diri mengalami nasib yang sama. Istri dan menantu-perempuan mati di dalam bilik dengan tikaman keris. Cucu kesayangannya yang cuma seorang terdapat pecah kepalanya tersorong di kolong ambin. Aji Usup telah dipunahkan sampai keturunannya. Sejak hari itu Ratu Aisah tak pernah kelihatan keluar dari rumah. Seorang sahabatnya telah ditumpas beserta seluruh keturunannya: Liem Mo Han tak pernah muncul. Ia menunggu dengan rela datangnya regu pengawal Demak untuk menghabisi jiwanya pula. Dan akan selesailah cerita tentang persekutuan rahasia itu. Akan selesai pula cita-cita Adipati Unus.
Trenggono tetap pada niatnya. Seluruh Jawa harus sujud di bawah kakinya, dari Blambangan sampai Banten, dari laut Jawa sampai lautan Kidul.
Ratu Aisah bersumpah untuk tidak akan menemui siapa pun, kecuali seisi rumah sendiri dan regu penumpas dari Demak. Ia takkan mengampuni Sultan. Dan ia akan gunakan sisa hidupnya yang sedikit untuk mengasuh dan mendidik cucunya, dan mengabdi pada Tuhannya, dan berdoa tak henti-hentinya untuk keselamatan dan kemenangan pasukan gabungan Tuban-Aceh-Bugis .
Sepanjang pelayaran memantai pesisir barat Sumatra armada jung itu dibantu oleh angin yang cukup baik. Tak pernah iring-iringan itu berpapasan dengan armada bajak dalam pemusatan besar, tak pernah memergoki kapal Peranggi, tak pernah dihadang oleh taufan ataupun badai.
Karena tak jadi menyinggahi Banten dan perhitungan karenanya jadi keliru, terjadi kekurangan air dan perbekalan. Walau demikian pelayaran berjalan damai dalam suasana gembira. Orang tak lagi memikirkan armada Jepara-Demak. Mereka sudah berpikir dan bersikap sebagai kesatuan tersendiri. Makin jauh dari Jawa, makin jauh juga dari pengkhianatan! Mungkin untuk pertama kali dalam hidup mereka melihat negerinya sendiri sebagai sarang pengkhianatan, sarang intrik, sejak Tuban sampai Ujung Kulon.
Orang bernyanyi ria. Dan di malam hari orang membaca lontar kuno dan satu lingkaran duduk mendengarkan. Seorang lain lagi menafsirkan. Atau orang berpantunpantunan, sahut-menyahut diikuti gelak tawa.
Puncak kegembiraan ialah waktu mereka mendarat di bumi Banda Aceh. Beratus-ratus rebana menyambut mereka. Pasukan Aceh yang berpakaian celana panjang dan baju serba hitam berikat pinggang selendang merah atau kuning dan berdestar hitam, pasukan Bugis yang berpakaian celana dan baju serba genggang dan pasukan Tuban yang bercelana ditutup dengan kain batik dan bertelanjang dada semua berhimpun, berkampung dan bersuka-ria. Mereka bergerak bebas dan di setiap rumah yang mereka masuki orang mendapatkan segala penganan dan pelayanan. Taritarian dihidangkan setiap malam dalam tingkahan gendang dan seruling. Setiap orang mendapatkan kesukaan dan persahabatan.
Untuk pertama kali orang-orang Tuban itu terpeluk dalam persahabatan yang semesra ini.
Kemudian datanglah hari keberangkatan. Aceh menyerahkan tiga ratus prajurit, Bugis dua ratus. Jumlah seluruhnya seribu lebih dua orang: Wiranggaleng dan Pada. Pihak Bugis menawarkan diri untuk lakukan pekerjaan perintisan dan pengintaian, yang disambut dengan soraksorai semua orang.
Di tanah lapang diadakan sembahyang bersama untuk ummat Islam, memohonkan keselamatan untuk mereka yang akan berangkat ke medan perang.
Begitu mancal dari darat begitu pula mata Wiranggaleng berkaca-kaca melihat ribuan orang, laki dan perempuan, tua dan muda, semua berpakaian serba hitam, celana, baju dan destar, bersorak-sorak mengucapkan selamat berperang. Uh! Tidak dilihatnya yang demikian di Tuban, pun tidak di Jepara. Di sana hanya ada pengkhianatan dan intrik. Di tengah-tengah saudara-barunya ia merasa lebih aman, dan tak lagi merasa seorang hukuman yang sedang menemui algojo. Juga Aceh, juga Bugis tahu: Peranggi harus dihalau. Apa pun yang akan terjadi, penyerangan terhadap Malaka takkan sia-sia.
Mereka melihat tempat pendaratan di sebuah kampung nelayan sekira jarak tiga hari-tiga malam pelayaran di sebelah utara Malaka.
Penduduk kampung melarikan diri entah ke mana, menyangka kedatangan perampok lanun. Kampung di atas tiang-tiang kayu itu tertinggal kosong. Sebuah rumah terbaik disediakan bagi Wiranggaleng yang telah mereka angkat bersama sebagai panglima gabungan dengan panggilan Hang Wira.
Tak ada bangku, meja ataupun ambin di seluruh kampung ini. Geladak pelupuh adalah segala-galanya. Di atasnya digelari tikar pandan rawa. Hampir-hampir tak ada perkakas rumahtangga kecuali perabot masak. Barangbarang gerabah sangat sedikit. Dan bau busuk ikan dijemur di atas para-para bambu sepanjang kampung menyesakkan nafas. Tiga hari lamanya mereka tinggal di kampung itu. Dan penduduk tak juga muncul. Karena tak dapat menahan keheranannya Wiranggaleng terpaksa bertanya pada Pada: Bukankah kau pernah dengar dari cerita Liem Mo Han pasukan Semenanjung akan bergabung dengan kita" Mana batang hidungnya" Semestinya mereka telah melihat kita datang dan menghubungi kita.
Benar Panglimaku. Aku pun belum melihat batang hidungnya. Heran.
Dan manakah armada kecil Tionghoa dari utara itu" Benar, Panglimaku. Aku pun belum lagi melihat kuncirnya.
Apa artinya semua ini" Tahu, Panglimaku. Ya, begini inilah jadinya.
Kita hanya memikirkan Malaka ini saja, Kang. Seorang bocah penduduk kampung telah tertangkap oleh prajurit yang sedang mengenali medan. Tak banyak yang dapat diketahui dari anak kecil itu kecuali, bahwa penduduk selebihnya sedang mengungsi ke dalam hutan. Anak itu dilepaskan setelah diberi makan dan perbekalan, dan diikuti dari kejauhan. Persembunyian penduduk dapat diketahui, dan mereka diperintahkan kembali ke kampung.
Juga penduduk tak tahu akan adanya pasukan Semenanjung ataupun Tionghoa. Mereka menerangkan sebaliknya: justru Peranggi yang sering datang, baik dari darat maupun dari laut.
Perintah siaga dijatuhkan. Kapal dan jung-jung diperintahkan meninggalkan semenanjung. Dan pasukan dari seribu orang lebih dua itupun berbaris meninggalkan kampung dan memasuki hutan belantara. Mereka melalui jalan setapak yang tampak sering dilalui orang. Dan semakin memasuki hutan semakin banyak ditemukan bekas sepatu, samar-samar.
Penduduk yang ditinggalkan melihat semua prajurit pergi menjadi terheran-heran. Lebih heran lagi melihat jung-jung dan kapal-kapal mereka sudah sama sekali tiada dan hartabenda mereka dan perahu-perahu mereka tak kurang suatu apa.
Pasukan gabungan itu bergerak terus dengan melepaskan harapan akan bergabungnya pasukan Demak, Tionghoa atau Semenanjung. Mereka menuju ke arah selatan.
Perundingan antara kepala-kepala pasukan menghasilkan keputusan: Langsung menyerbu ke sasaran.
Dan mereka berbaris menuju ke selatan, melewati kampung-kampung yang terdiri dari beberapa rumah. Penduduknya berlarian entah ke mana.
Yang tertinggal biasanya hanya orang tua-tua yang sudah tak kuat lari, atau orang sakit keras, dan terutama orang gila. Sama tak dapat ditanyai. Satu-satu keterangan yang diperoleh: sekali-dua Peranggi pernah datang dan tak pernah melakukan gangguan: Setelah dua hari menembusi hutan, perundingan antar-sekutu menyimpulkan: penyerangan langsung ke Malaka ternyata tidak mungkin. Tak adanya pasukan semenanjung telah memusnahkan kemungkinan untuk mendapatkan perbekalan. Tanpa perbekalan jangankan menyerang, bertahan pun tidak bisa. Maka diputuskan menunda penyerangan langsung, ladang pertanian harus dibuka terlebih dahulu.
Pasukan gabungan itu membelok ke timur lebih dalam lagi dan membuka huma. Dan tidak lain dari Wiranggaleng yang menyadari: prajurit-prajurit ini akhirnya datang tidak untuk berperang tapi untuk bertani. Ia tahu sudah sejak asal, ekspedisi militer ini akan gagal.
Pengenalan medan terus-menerus dilakukan, bergantian antara tiga macam kesatuan. Tetapi pembukaan humalah yang mengambil pekerjaan terpokok. Patroli tak hentihentinya dikirimkan. Namun persiapan penyerangan tetap harus ditunda.
Sekali peristiwa kesatuan Bugis mendapat giliran untuk mengenali medan. Mereka menemukan sebuah kampung jauh di dalam hutan. Rumah-rumah yang bersirip tinggi di atas tiang-tiang itu telah ditinggalkan oleh penduduknya. Dan di bawah rumah-rumah itu Peranggi sedang sibuk memasak-masak.
Kesatuan Bugis serta-merta merunduk dan melepaskan tombak. Pekikan maut dan seruan terjadi: Serdadu-serdadu Peranggi yang tidak terkena tombak berlarian membawa musket masing-masing dan mulai menembak dari balikbalik pepohonan. Mereka membikin lingkaran pertahanan dalam kepungan kesatuan Bugis. Tombak beterbangan lagi. Korban di pihak Portugis jatuh lagi. Dan jatuhnya tombak sedemikian gencar sehingga musuh terhenti itu tak sempat lagi memasang obat dan bubar melarikan diri. Sebagian lagi tewas pula sewaktu menerobosi kepungan. Sisanya hilanglenyap ke dalam hutan. Daerah pengenalan dan patroli makin diperluas ke sebelah selatan. Kampung bekas tempat pertempuran pertama kini mendapat kehormatan jadi tempat markas gabungan. Dan waktu penduduknya datang kembali bersama-sama mereka membabat hutan, mengeringkan dan membakarnya untuk dijadikan huma.
Tidak lebih dari seminggu kemudian di sebelah selatan nampak asap besar membubung ke langit Asap itu terlalu kecil untuk dianggap sebagai hutan terbakar dan terlalu besar untuk dianggap sebagai rumah terbakar. Orang segera menduga itulah Peranggi sedang membakar sebuah kampung besar.
Seluruh kekuatan mulai bersiap-siap karena tempat kebakaran itu tidaklah begitu jauh.
Dengan separoh kekuatan kesatuan Tuban Wiranggaleng berangkat untuk menyergap mereka. Seorang pengintai telah dikirimkan terlebih dahulu, dan ia pulang dengan laporan, benar yang melakukan pembakaran tak lain dari Peranggi, dan mereka sedang bergerak ke jurusan kampung sebelah utara. Jumlah kekuatan mereka cukup besar. Kesatuan Tuban segera disusun dalam bentuk jebakan. Dari kejauhan telah terdengar Peranggi menembaknembak untuk menghancurkan semangat lawannya.
Wiranggaleng memeriksa tempat penjebakan yang ditempatkannya di daerah hutan dengan semak-semak di bawahnya. Di hadapan jebakan adalah tempat terbuka yang bakal di tempuh oleh serdadu-serdadu Peranggi. Ia telah banyak dengar tentang keampuhan musket musuhnya, dan hanya dengan jalan berlindung di balik-balik pepohonan semprotan pelurunya dapat dihindari. Di tempat terbuka, sekali tembakan dapat melukai sepuluh orang yang sedang berdiri berjajar dalam jarak lima belas depa, sedang tombak hanya bisa mengenai seorang, itu pun kalau kena.
Dan bunyi tembakan itu memang mengecutkan bagi mereka yang sudah mengetahui keampuhannya.
Kalian datang ke mari untuk menghadapi mereka. Kita akan hadapi mereka. Kita belum pernah mangalami pertempuran melawan musket. Sekaranglah waktunya. Lihatlah kesatuan Bugis. Mereka telah berhasil. Kita akan juga berhasil.
Mereka telah memasang perangkap di tempat yang tidak terbuka itu, di tempat yang dapat menahan semprotan peluru musket. Ternyata lain lagi yang terjadi. Serdaduserdadu Portugis tidak menggerombol sebagaimana halnya dengan prajurit Tuban atau tentara Jawa pada umumnya. Musuh itu pun tidak memasuki jebakan yang disediakan. Mereka berpecah-pecah, seorang-seorang sesuai dengan keampuhan senjata dan daya tembaknya, dan tiba-tiba saja kesatuan Tuban yang berada di atas-atas pohon berteriakteriak: Peranggi telah mengepung kita!
Teriakannya dibarengi dengan letusan-letusan yang menyesakkan dada dan menggeletarkan jantung. Dari segala penjuru, kecuali dari belakang anak-anak panah mulai berlayangan dari atas-atas pohon dalam keriuhan letusan. Beberapa orang prajurit Tuban terjungkal dari panjatannya diikuti dengan gemeratak tubuhnya yang menyangsang di atas semak-semak atau bergedebug di atas tanah gundul.
Wiranggaleng memerintahkan mengubah hadap ke arah tiga penjuru angin, tetap bersembunyi di balik pepohonan, menyiapkan tombak atau panah, dan tetap memperhatikan datangnya musuh. Ia sendiri hampir-hampir kehilangan akal menghadapi pertempuran yang aneh itu. Dan belum lagi sampai ke Malaka!
Tembakan-tembakan semakin mendekat. Semprotan musket yang rasa-rasanya tiada kan henti-hentinya mematahkan ranting-ranting semak dan menggugurkan dedaunan dan melubangi batang pohon dan tanah yang dikenainya, dan merobek kulit pohon, dan mendesingkan bunyi bisikan maut seperti selaksa tawon datang menyerang.
Satu semprotan musket berlalu di atas kepala Wiranggaleng. Dan ia bergidik. Bulu romanya berdiri.
Tahankan! serunya, tahankan sampai muka mereka bertemu dengan mukamu, dan sergap dia tanpa ragu-ragu.
Pertempuran aneh. Prajurit-prajurit Tuban dalam jarak jauh tak bisa melakukan serangan ataupun balasan, dan cuma harus diam-diam menunggu, dan menunggu, dalam semprotan maut yang tak putus-putusnya, ledakan dan desingan dan gemerasak dan ranting-ranting berguguran. Dua orang telah jatuh pingsan di tempat karena kejengkelan, kehilangan kesabaran dan kebingungan. Begitu orang beringsut dari tempat di balik pepohonan, semprotan peluru pun mendarat dan mengeram di dalam daging.
Ini bukan pertempuran. Ini penyembelihan! Dalam perang dengan musket begini tak ada prajurit, tak ada satria, yang ada hanya pembunuh dan korbannya.
Mereka lebih hebat daripada kita, seru Panglima memberanikan. Dengan musketnya Peranggilah yang justru mengepung. Dan dengan musketnya pula mereka tak membutuhkan terlalu banyak kekuatan. Di sana-sini perkelahian orang-orang mulai terjadi. Orang yang sudah kehilangan kesabaran melompat ke luar dari balik persembunyiannya dan mengamuk dengan tombak. Makin lama makin banyak yang ke luar. Tembakan menjadi berkurang.
Perkelahian orang-seorang menyebabkan Portugis tak semudah itu lagi menembak dan membikin bentengan peluru. Mereka mulai menggunakan pedang.
Kesatuan Tuban bersorak. Itulah yang mereka kehendaki. Semua meninggalkan persembunyian. Dan pemain-pemain tombak itu memperlihatkan keunggulannya di setiap jengkal tanah di dalam hutan itu.
Orang mengakui keberanian Peranggi menghadapi lawan yang jauh lebih besar. Ayunan pedang mereka begitu mantap, kuat dan gesit, tak peduli pada ranting semak yang menghalangi dan rotan berguguran.
Hanya karena jatuhnya malam saja mereka mulai menarik diri, menghilang ke dalam hutan dengan meninggalkan korban-korbannya.
Beberapa pucuk musket telah kena rampas, beberapa pedang, beberapa peralatan makan dan pakaian. Juga kesatuan Tuban kehilangan beberapa prajuritnya.
Wiranggaleng mengatakan: pertempuran sekali ini sama sekali tidak dimenangkan oleh Peranggi, juga tidak oleh Tuban. Namun seluruh pasukan gabungan telah mendapatkan satu kemenangan mutlak: kemenangan atas ketakutan terhadap Peranggi dan kehebatannya. Dan itulah modal untuk dapat mengalahkan dan mengusir mereka dari Malaka.
Malam itu juga diadakan penguburan untuk temanteman seperjuangan yang tewas dan perawatan bagi mereka yang terluka. Separuh dari kesatuan Tuban mengadakan pengejaran seperti halnya waktu terjadi pertempuran besar melawan Kiai Benggala. Mereka bermaksud mendahului kedatangan musuhnya di suatu tempat, menghadangnya, dengan pengetahuan, di malam hari musket Portugis takkan berdaya.
Wiranggaleng memimpin pengejaran. Tetapi hutan itu terlampau gelap dan jalan yang tersedia hanya jalan setapak yang telah dilalui Portugis. Jalan itu jugalah yang ditempuh. Mereka tak dapat melalui apalagi menghadang. Mereka hanya bisa menguntit dan menemukan musuhnya sedang berkampung di sebuah kampung yang habis dibakarnya.
Suatu serangan dalam kegelapan. Dan sisa pasukan musuh melarikan diri.
Kesatuan Tuban dalam kegelapan itu tidak tahu, bahwa dalam pengejarannya selanjutnya mereka sudah berada di dekat daerah peluaran kota Malaka.
Berlanjut kebagian 32.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar