Arus Balik.
Karya : Pramoedya Ananta Toer.
Bagian 18.
Dan Pertempuran Meletus
Sunan Rajeg tak dapat menahan kesabarannya setelah menyaksikan sendiri betapa dua pucuk meriam itu ternyata dapat dipergunakan dengan baik. Ia melihat bagaimana meriam itu yang ditujukan ke arah bukit itu menyemburkan peluru dengan iringan halilintar. Peluru-peluru menyeberangi langit di atas padang rumput, kemudian di kejauhan nampak suara gerak pada kehijauan hutan.
Dengan semangat tinggi ia hadiahkan satu regu dari prajuritnya untuk melayani meriam, dan satu regu khusus untuk menjaga keselamatan senjata ampuh dan para pelayannya.
Ia pun sudah saksikan sendiri latihan perang secara Peranggi, yang diajarkannya oleh Manan dan Rois, dua orang mualaf Portugis itu. Dan ia berbesar hati dan yakin, kemenangan pasti akan jatuh ke tangannya.
Panglima Rajeg, Mahmud Barjah, belum dapat menghargai cara perang Peranggi, bahkan melihat latihanlatihan itu pun ia segan. Dua ratus orang yang berada di bawah kekuasaannya tak diperkenankannya ikut menyertai. Ia membikin latihan-latihan sendiri, Sunan Rajeg tak mampu mengendalikannya. Akhirnya ia tidak memaksanya.
Manan dan Rois sudah berusaha keras menyabarkan Sunan Rajeg: balatentara Rajeg belum cukup masak untuk dipergunakan.Dan Sunan Rajeg sudah melihat sendiri bagaimana balatentara Tuban dan kemampuannya, memastikan, tentaranya jauh lebih unggul daripada Tuban.
Mereka ini belum pernah diuji oleh perang, Kanjeng Sunan, kata Esteban. Lain halnya dengan yang langsung dipimpin oleh panglima Rajeg.
Dengan keyakinannya Sunan Rajeg tak dapat diajak bicara lagi.
Esteban memperingatkan, dalam setiap orang, kesabaran diperlukan. Perang bukanlah perkelahian. Perang adalah untuk memenangkan tujuan. Tetapi Sunan Rajeg membantahnya, sekaranglah waktunya yang setepattepatnya untuk memukul Tuban: Ia jatuhkan perintah untuk segera menyerang.
Mahmud Barjah, yang mendapat perintah, dengan segala dalih juga mencoba menunda pelaksanaan perintah. Ia melihat persiapan untuk itu belum lagi memenuhi syarat. Ia tidak membantah, hanya menunda-nundanya tanpa bicara.
Sunan Rajeg melihat tentaranya belum juga bergerak tidak lagi bertanya pada Panglimanya, juga tidak pada kepala pasukan Melayu pelarian dari Malaka itu. Ia turun sendiri dari rumah joglonya dan mengadakan pemeriksaan. Perintah harus dijalankan, perintahnya.
Bersama Manan dan Rois dan Jabal, kepala pasukan Melayu, dan Panglima Rajeg, Sunan Rajeg ikut serta menyaksikan rencana penyerangan.
Mahmud Barjah menggariskan, penyerangan akan dilakukan seperti biasa dilakukan di Jawa dan di manamana: kesatuan-kesatuan bersorak-sorai menyerbu ke perkubuan musuh atau menyerbu ke kota bila tidak dilindungi oleh pasukan. Bila musuh bersedia melawan dan punya persiapan di luar kota, kesatuan-kesatuan harus juga berhenti di luar kota, bersorak-sorai menantang, memanaskan hati musuh agar keluar ke medan pertempuran atas paksaan sorak-sorai. Maka akan terjadi pertarungan penentuan pertama. Sementara itu meriammeriam harus menembaki barisan belakang musuh sewaktu mereka turun ke gelanggang.
Manan dan Rois menyangkal cara yang dianggapnya kuno itu. Itu bukan perang cara Peranggi, katanya, itu hanya adu kekuatan. Tak ada yang tahu apakah yang dikatakannya itu benar atau khayalannya semata. Dengan adu kekuatan saja, katanya selanjutnya, Tuban mesti menang, menang jumlah, menang kekuatan dan menang pengalaman. Tuban punya balatantara yang kuat, belum lagi pagardesa, belum lagi kawula biasa, sedang Kiai Benggala Sunan Rajeg hanya punya pagardesa dan sedikit prajurit. Latihan-latihan belum dapat mengubah seseorang jadi prajurit. Seorang yang dapat melemparkan tombak dengan baik, dapat memanah dengan baik, dan dapat berbaris cara Peranggi dengan baik, belum tentu bisa jadi prajurit yang baik.
Sunan Rajeg tak dapat mendengarkan alasan itu. Mahmud Barjah diam saja mendengarkan keterangan Manan alias Esteban.
Rangga Iskak merasa tak patut menarik kembali perintahnya.
Kalau begitu, kata Esteban alias Manan. Seluruh tentara Kanjeng Sunan harus dipecah-pecah dalam beberapa laskar dan tidak diajukan sekaligus, juga tidak semua harus menuju ke satu medan perang. Satu laskar dengan pimpinan yang baik, dengan prajurit yang baik dan dengan cara Peranggi, dengan bantuan meriam mungkin bisa menghancurkan seluruh kekuatan Tuban.
Bukan dengan bantuan meriam, bantah Sunan Rajeg, meriam yang harus dibantu oleh semuanya.
Kalau pasukan meriam itu terdiri atas kekuatan dua ratus pucuk mungkin bisa terjadi, kata Manan.
Mahmud Barjah yang tidak mempunyai sesuatu pengalaman dengan meriam masih tetap berdiam diri: Dan dalam hati ia mengherani cara berpikir mualaf itu tentang perang. Bahkan dalam hati-kecilnya ia latihan-latihan cara Peranggi itu dapat membikin para prajurit jadi jari-jari pada lengan seorang panglima. Ia sangat setuju. Tetapi dalam menggariskan soal perang ia tidak setuju, semua harus tunduk padanya sebagai panglima dengan pasukan inti. Semua harus menerima garisnya.
Ia membantah Manan, ia pun membantah Sunan Rajeg. Pertikaian mulai terjadi.
Sunan Rajeg hampir-hampir tak dapat mengendalikan kesabarannya. Melepaskan diri ia pun tidak bisa, karena dirinya sendiri yang memulai. Selama ini perintahnya dan saran-sarannya selalu didengarkan oleh penguasa tertinggi Tuban. Seorang mualaf dan seorang perwira pengawal saja sekarang berani membantahnya. Ia mengalami krisis emosi.
Dan tak ada seorang pun di antara dua orang mualaf dan panglimanya mengetahui sesuatu tentang krisis emosi. Mereka hanya melihat Sunan Rajeg terengah-engah, terpaksa dipapah ke tempat tidurnya. Sebelum Khaidar selesai mengurapinya dengan jahe pada seluruh tubuhnya, ia masih sempat berpesan agar penyerangan segera dilakukan.
Sekarang Manan dan Rois berhadap-hadapan dengan panglima Mahmud Barjah. Panglima Rajeg terus-menerus terdesak dalam pertikaian pendapat tentang perang. Dua orang Peranggi itu tidak dapat ditundukkannya. Mereka berdua hanya bicara atas pengalaman perangnya di laut dan darat, di Eropa, di Asia dan Afrika. Mahmud Barjah hanya mengenal cara perang di Jawa. Akhirnya ia mengalah dan itu berarti menerima pemecahan balatentara jadi laskarlaskar.
Kalian tahu, pasukanku akan kupimpin sendiri. Dan siapa yang memimpin laskar-laskar itu"
Tuan Panglima yang menentukan, bukan kami. Kami hanya mengurus soal meriam dan pasukan pengawalnya. Apakah meriam juga mendengarkan perintahku" Tentu saja, Tuan Panglima, hanya garis perang harus diselesaikan dulu. Pertikaian dengan demikian mereda.
Kesimpulannya : dalam penyerangan pertama tidak dipergunakan centara perang Jawa. Tuban harus dikejuti sedemikian rupa sehingga tak punya kesempatan untuk mengerahkan balatentara, apalagi pagardesa, harus dikirimkan surat tantangan yang dapat memuntahkan kemarahan, sehingga musuh dengan terburu-buru akan langsung turun ke medan pertempuran tanpa cukup persiapan.
Tak pernah terjadi surat tantangan dikirimkan, bantah Mahmud Barjah, perang adalah perang.
Dan untuk ke sekian kalinya Panglima Rajeg terdesak dalam pertikaian tentang makna perang.
Jauh tengah malam semua pikiran Manan dan Rois tak dapat lagi dihindari oleh Panglima.
Dan dengan demikian terjadilah apa yang harus terjadi. Orang-orang berhenti bekerja menyingkirkan gapura yang roboh untuk mengangkat sembah pada para pembesar yang sedang meninggalkan kadipaten.
Rombongan penghadap itu berjalan diam-diam dan lambat-lambat penuh pikiran. Mereka berjalan ke tengahtengah alun-alun untuk dapat meneruskan perundingan tanpa didengar oleh yang dianggap tidak berhak. Mereka mendapatkan sebutir peluru besi sebesar tinju menggeletak tak berdaya agak jauh dari cabang-cabang yang somplak, melotot di atas tanah.
Sang Patih, sekarang Senapati Tuban, yang berjalan paling depan, berhenti, mengambil peluru dan mengamatinya sebentar, kemudian menyerahkannya pada yang lain.
Berjalan pada buntut rombongan adalah Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Almasawa. Langsung di belakang Sang Patih adalah kepala-kepala pasukan, termasuk Wiranggaleng.
Selama berjalan kepala pasukan laut itu mencoba memahami mengapa Sang Patih kehilangan semua kemauannya dan ragu-ragu mempertahankan pendiriannya sendiri. Sekarang ia hanya mendapat lima ratus orang prajurit dan musuh punya meriam.
Masih ingat" tanya Sang Patih padanya waktu mendapat giliran memegang peluru itu.
Wiranggaleng menyerahkan peluru itu pada Kala Cuwil dan menjawab: Tidak, Gusti, dan ia lihat kepucatan sudah agak berkurang pada wajah Senapati Tuban itu.
Sama sekali tidak menakutkan sebagaimana didongengkan orang, kata Kala Cuwil memberikan pendapatnya. Tapi bagaimana mereka bisa sudah memiliki meriam" tanyanya kemudian sambil menyerahkan peluru itu pada yang lain.
Jangan terpengaruh oleh sebutir besi, Patih Tuban merangkap Senapati mulai membuka pidatonya di bawah pohon beringin kurung. Kemudian kata-katanya keluar sebagai air bah dari mulutnya yang tua, mendesis melalui giginya yang sudah banyak ompong: Keadaan sungguh sangat sulit. Sang Adipati tak berkenan berkisar sedikit pun dari pendiriannya. Ini adalah masa tergenting dalam hidup kita. Juga Sang Adipati maklum. Dunia kita sudah mulai berubah. Kita harus hadapi perubahan ini dengan cara-cara yang baru. Kita belum lagi mengenal sebenar-benarnya perubahan ini. Sang Adipati juga maklum. Maka timbul banyak dugaan, pandangan, untuk menentukan pendirian. Sang Adipati menghendaki keadaan tetap seperti yang lama sementara menghadapi yang baru, ia melangkah pelahan mengitari beringin kurung. Sang Adipati menghendaki dasar-dasar yang lama tidak berubah, ragu-ragu terhadap yang baru, sedangkan yang baru terus-menerus mendesak. Yang lama dengan segala keuntungan dan keamanannya tidak bisa dipertahankan sambil menerima keuntungan tambahan dari yang baru, dan itu yang Gusti Adipati tidak bisa terima. Kita masih dapat mengingat betapa Tuban mengirimkan gugusan pasukan laut ke Jepara dengan waktu yang sengaja ditidaktepatkan. Penyerangan atas Malaka gagal, hancur, kalah. Kita semua mendapatkan malu. Apa pun yang telah diperbuat oleh Demak terhadap Tuban, Adipati Unus Jepara benar. Sang Adipati melepaskan gugusan Tuban untuk memberikan pukulan berlipat atas Demak, tetapi Tuban sendiri yang rugi. Malaka tidak jatuh, Peranggi tetap berdiri, dan bandar Tuban seperti bandarbandar lain di seluruh Jawa.
Dan Wiranggaleng tak bisa mengerti mengapa Sang Patih masih juga berpidato. Tak nampak tanda-tanda ia hendak bertindak menghalau perusuh. Dengan maksud menghentikan pidatonya ia menyambar sengit: Lima ratus prajurit laut Tuban telah diberangkatkan ke Malaka, Gusti Patih, dengan lima buah kapal dan cetbang-cetbang Trantang. Gugusan Tuban telah siap bertempur .
Kau betul, Wira, bahkan kau sendiri ikut serta. Apa sudah kau perbuat di Malaka" Tiada sesuatu, kecuali melihat apa yang telah terjadi dari kejauhan. Lima hari Tuban terlambat berangkat, untuk membuktikan keraguraguan Sang Adipati dalam menghadapi yang baru ini.
Wiranggaleng semakin tak mengerti melihat Sang Patih masih juga berpidato. Ia menelan ludah untuk menyabarkan diri.
Malaka hampir jatuh seluruhnya, baik dari darat mau pun laut. Armada Peranggi datang. Kalau bukan karena keterlambatan Tuban, Malaka telah beberapa hari jatuh.
Dan yakinlah, Peranggi takkan mampu tandingi tentara gabungan sebanyak itu dan di daratan pula. Penyerangan tidak pernah selesai. Tentara gabungan Aceh-Jepara tertinggal di Malaka. Tuban pulang membawa malu dan sesal. Tapi Gusti Adipati berhasil menyelamatkan lima kapal dan lima ratus prajurit. Malaka tetap dikuasai Peranggi. Semua perhitungan Adipati meleset, sekarang kehilangan segala-galanya. Bahkan putranya sendiri, tak mampu menderitakan malu, bersumpah takkan menginjakkan kaki di bumi Tuban.
Ampun, Gusti Patih dan Senapati Tuban, Wiranggaleng menyela. Kaum perusuh sudah dekat, Gusti.
Tetapi Sang Patih tak peduli dan meneruskan: Ternyata baik di Jepara maupun di Demak Raden Kusnan tidak pernah tertemukan lagi, menghilang entah ke mana. Sang Adipati masih juga ragu-ragu, tetap hendak mengikuti yang lama sambil mendapatkan keuntungan dari yang baru. Lihat itu! ia menuding pada Syahbandar Tuban yang berdiri menjauh-jauh di buntut rombongan. Semua orang tahu siapa sesungguhnya dia: begundal Peranggi.
Tidak benar, Gusti Patih dan Senapati Tuban, bantah Tholib Sungkar Az-Zubaid, tak pernah Gusti Adipati mendakwa patik seperti itu. Itu hanya fitnah dari seorang yang enggan berperang menghalau perusuh negeri. Maka patiklah yang disalahkan.
Tiada satria enggan berperang, Sayid. Tuan menghendaki perang di dalam negeri agar Peranggi masuk dengan berlenggang. Bukan" Mana dua orang Peranggi yang kami minta itu"
Tholib Sungkar Az-Zubaid mendekati rombongan. Ia gantungkan tongkatnya pada lengan dan angkat bicara dengan gerak-gerik tangan ramai, mata bersinar-sinar dan senyum terbuka melecehkan: Ah, Gusti Patih dan Senapati Tuban, tak pernah leluhur patik membenarkan fitnah, apalagi karena hukuman seberat-beratnya dijatuhkan pada pemfitnah. Demi Allah, bukankah telah patik persembahkan mereka telah lari meninggalkan Tuban" Mereka bukan Pribumi yang takluk di bawah Sang Adipati. Mereka telah larikan badan mereka sendiri, bukan badan Pribumi kawula Tuban.
Wiranggaleng meremas-remas tangan. Ia merasa telah kehilangan waktu yang sangat berharga untuk bertindak. Dan ia tak dapat bertindak.
Bagus, Sang Patih meneruskan. Perlukah diingatkan padamu, hai, Syahbandar Tuban, tidak lain dari engkau sendiri yang melarikan mereka ke kapal Peranggi" Gusti Patih Senapati Tuban, Wiranggaleng menyela. Perlukah disebutkan saksi-saksi" Hei, Syahbandar Tuban, sekarang kau masih dilindungi oleh Gusti Adipati Tuban. Tetapi akan tiba masanya .
Mereka sedang mendesak Tuban, Gusti Senapati, sekali lagi Wiranggaleng mencoba memutuskan perbantahan dan mengembalikan Sang Patih pada tugasnya sebagai Senapati.
Tetapi Sang Patih lebih sibuk membela kebijaksanaannya sendiri: Yang penting sekarang ini sama sekali bukan perang. Dengarkan yang baik, Wira, biar kau mengerti. Tapi menyadarkan Gusti Adipati dari kekeliruannya. Tanpa itu perang, bagaimana pun besar dan hebatnya, akan sia-sia. Ayoh, Wira, kau sanggup menyedarkan"
Kepala-kepala pasukan lain nampak juga telah mulai kehilangan kesabaran. Mereka mengawasi Wiranggaleng yang sedang bergulat dalam dirinya untuk menyedarkan Sang Patih Senapati dari keasyikan membela kebijaksanaan sendiri.
Perusuh sedang mengancam, Gusti Senapati, sekali lagi kepala pasukan laut itu memperingatkan.
Ancaman itu tidak berasal dari kaum perusuh. Dengarkan kalian semua kepala pasukan. Semua kerusuhan berasal dari kekeliruan Gusti Adipati sendiri. Selama Sang Adipati tak juga menyedari dan berubah pendirian, perusuh-perusuh lain akan berdatangan.
Sekarang ini perusuh sudah menyerang, Gusti. Wira! bentak Sang Patih. Pernahkah kau merasai penghinaan sebagai karunia pengabdian yang tulus" Apa yang bisa diharapkan dari orang yang tidak dihargai dan dihina"
Apakah Gusti Patih lupa telah dititahkan jadi Senapati"
Sang Patih menatap Wiranggaleng tenang-tenang, mencibir, kemudian mengalihkan tatanannya pada para kepala pasukan seorang demi seorang. Dan ia lihat mereka dengan pandangnya membenarkan kepala pasukan laut itu.
Juara gulat itu telah bertekad untuk memperingatkan Senapati akan kewajibannya.
Kau, Wira, anak baru kemarin!
Adakah Gusti Patih Senapati ragu-ragu, takut, ataukah sedang membangkang"
Rombongan penghadap itu mulai bergerak melingkungi Sang Patih Senapati untuk melindunginya dan menjauhkan Wiranggaleng daripadanya. Tapi yang dijauhkan mendesak terus untuk mendekat.
Dengarkan! Sang Patih meneruskan dari tengahtengah lingkaran dan tak acuh terhadap keadaan. Apakah yang harus diperbuat oleh seseorang yang lain yang menghinanya sebagai balas jasa dari semua pengabdiannya sementara membiarkan musuh berjingkrak di atas kepalanya"
Musuh tidak berjingkrak di atas kepala kita, Gusti Senapati, dia sedang mendatangi hendak menerkam! sambar Wiranggaleng yang menjadi galak.
Ah, priyayi baru dari desa! Siapa musuh itu" Kiai Benggala Sunan Rajeg atau Peranggi" Atau kedua-duanya" Bukankah tidak lain dari kau sendiri yang tahu tadi. Rangga Iskak telah melepaskan peluru Peranggi" Rangga Iskak adalah Peranggi, dan Peranggi adalah Peranggi. Dan itu Sayid Habibullah Almasawa adalah kumis-kumisnya. Mana dia si kumis-kumis Peranggi itu" Biar aku tunjukkan pada kalian semua.
Percuma, Gusti. Yang datang bukan Peranggi, tapi Rangga Iskak. Dia datang dari selatan, bukan dari laut.
Aduh, kau priyayi baru, Patih itu tertawa menghinakan. Apa artinya itu Ishak Indrajit tanpa Peranggi" Kalau dengan kekuatan kecil tentara Tuban bergerak ke selatan, perang akan berlangsung lama, lama sekali, dan Peranggi akan datang dari utara dengan penuh kekuatan. Itu semua orang tahu kecuali si bangau dan si trenggiling. Dan tidak lain dari kau sendiri yang tahu: Sayid keparat itu perencananya. Peranggi membutuhkan pangkalan di Jawa. kalau tidak Tuban, bandar lain jadilah. Selama kumis-kumis Peranggi ada di sini, Tubanlah yang jadi incaran!
Kepala-kepala pasukan tetap membisu, juga tetap melindungi mereka.
Gusti benar. Tak perlu semua itu diulang-ulang, bantah Wiranggaleng. Perintahkan saja apa yang kami harus perbuat sekarang ini.
Dahulu ada seorang anak desa seperti kau, Galeng, Gajah Mada namanya. Tentu kau sudah tahu. Tapi biar Gajah Mada pun tak bakal tahu, bila Rangga Iskak terkutuk itu bisa menang atas Tuban, Peranggi takkan memasuki Tuban. Kalau Tuban dan Kiai Benggala Sunan Rajeg terus berkelahi, Peranggi masuk. Kalau Tuban menang, kita akan hadapi Peranggi dan sunan-sunan yang lain yang akan muncul, dan yang sekarang ini kita belum tahu.
Melihat Sang Patih mulai bermain teka-teki tidak menentu dan perintah tidak juga dijatuhkan, tahulah Wiranggaleng, Senapati Tuban memang tidak mempunyai niat untuk bertindak. Di samping Peranggi dan Sunan Rajeg, Senapati Tuban sendiri kini berdiri di hadapannya sebagai musuh Tuban. Ia kebaskan apitan, melompat menerjang lingkaran, mencabut keris dan menikam Sang Patih pada pinggangnya.
Orang-orang itu terpekik.
Sang Patih terhuyung ke depan dan tertahan oleh keris dengan seluruh mata masuk ke dalam tubuhnya. Dan hulu keris itu masih tetap dipegangi oleh kepala pasukan laut Wiranggaleng.
Ampuni patik, Gusti Patih Senapati Tuban! pekik juara gulat itu dengan suara lantang.
Baik. Aku ampuni kau, Galeng. Berangkatlah ke medan perang. Kau Gajah Mada baru. Hanya kau dapat kerahkan seluruh balatentara. Aku ampuni kau! Tapi semua akan percuma selama raja-raja adalah seperti Gusti Adipati, gustiku.
Ia tak mengedipkan mata pada orang yang menikamnya. Tubuhnya mulai meliuk, jatuh ke tanah.
Aku ampuni, kau. Sang Patih Senapati Tuban mati di tempat.
Dengan keris berlumuran darah di tangan Wiranggaleng memindahkan pandang dari mayat itu dan mengangkat matanya menatap semua kepala pasukan seorang demi seorang. Mata itu membeliak siaga Siapa tidak suka" Maju!
Orang-orang masih terkejut, terpaku pada tanah, tak bergerak. Kalian saksikan, Wiranggaleng telah bunuh Gusti Patih Senapati Tuban. Katakan, kalian saksi pembunuhan ini.
Beberapa orang menyebut ragu-ragu: Kami saksi, Wiranggaleng telah bunuh Sang Patih Senapati Tuban.
Semua! bentaknya sambil berkeliling memutari lingkaran. Mereka menyebut berbareng. Suaranya agak keras tetapi masih tetap ragu-ragu.
Siapa ragu-ragu" Dia menantang aku. Sebutkan sekali lagi, lebih keras, tanpa ragu-ragu.
Mereka menyebut lagi, dengan suara lebih keras, terang, mengumandang ke seluruh alun-alun.
Sebutkan: Tuban dan Gusti Adipati harus diselamatkan. Dengan suara menggelora kepala-kepala pasukan mengulangi. Sekarang Wilanggaleng Senapati Tuban, Senapati kalian. Sebutkan lebih keras. Wiranggaleng Senapati kami!
Wiranggaleng Senapatiku! Wiranggaleng membetulkan. Wiranggaleng Senapatiku!
Kepala-kepala pasukan mengulangi dan mengulang dengan suara keras, akan terdengar ke seluruh alun-alun sekitarnya. Keadaan tidak sunyi sehabis jatuhnya pelurupeluru Peranggi. Suara itu bergaung-gaung bolak-balik dari alun-alun ke pedalamannya, juga masuk ke bilik-bilik dalam kadipaten.
Kepala-kepala pasukan tinggal di sini, perintahnya. Perintahku harus dijalankan oleh semua dan akan segera kuberikan. Pergi kalian yang bukan kepala pasukan!
Yang lain-lain pun pergi dengan ragu-ragu, tak mengerti adalah harus menyembah pada Senapati baru atau tidak.
Tak perlu kalian sembah aku, katanya memperingatkan. Mereka pergi bercepat-cepat.
Katakan sekarang juga, siapa tidak setuju Wiranggaleng Senapati Tuban" Tak berjawab.
Tak ada yang tidak setuju"
Kami menyetujui, jawab Kala Cuwil, kepala pasukan gajah.
Ambil tanda-tanda Sang Patih, kenakan pada diriku, Senapati Tuban! perintahnya.
Dan keris berlumuran darah itu masih tetap di tangannya. Empat orang pemimpin pasukan itu mengerjakan perintahnya. Ia memperhatikan mereka menyembah pada mayat itu kemudian melolosi tanda-tanda jabatan dan pangkat: gelang, baja empat susun, kalung, keris, permata pada destar dan ikat pinggang.
Semua itu dikenakan pada diri Senapati baru.
Kau, Braja, tarik semua pasukan pengawal dan pasang semua di balik semak-semak di sekitar bandar. Kalau ada kapal Peranggi datang, atau sebangsanya, jangan biarkan berkesempatan menembak: Tahan mereka. Berlaku bijaksana, jangan sampai terjadi bentrokan. Usahakan agar kapal-kapal mereka tetap berada dalam jarak tembak cetbang. Hindari setiap kemungkinan berkelahi dengan mereka. Bila tak dapat dihindarkan bakar layar-layarnya dengan tembakanmu. Hati-hati, karena semua kapal perang dan pasukan laut akan ditarik seluruhnya dari Tuban, ke suatu tempat yang akan kutunjuk. Lepaskan semua pakaian dan tanda keprajuritan. Pelabuhan kuserahkan padamu. Gusti!
Panggil aku Senapatiku. Senapatiku, ulangnya rikuh. Jalankan perintah itu dan pergi kau. Adakah kadipaten tidak dikawal, Senapatiku" Kosongkan dari pengawalan.
Braja pergi untuk menjalankan perintah.
Dan kalian, kepala-kepala pasukan yang lain, ikuti aku. Siapkan seluruh pasukan kalian. Kita langsung turun ke medan pertempuran, kalian dan aku.
Senapatiku! mereka menyahut. Tidak ada pembangkangan! perintahnya. Senapatiku, tidak ada pembangkangan. Berangkat!
Senapatiku, berangkat! Dengan langkah cepat mereka meninggalkan alun-alun. Meninggalkan mayat Sang Patih terkapar sendirian di bawah langit bermendung. Meninggalkan kota Tuban yang sunyi senyap.
Sayup-sayup terdengar guruh, tetapi tak ada peluru meriam datang menyambar. Tuban Kota semakin senyap.
Setelah melepaskan berturut-turut empat butir peluru pengaget, Manan dan Rois memerintahkan agar meriammeriam segera ditarik kembali jauh ke pedalaman.
Regu meriam itu sedang mendorong-dorong gerobak obat dan peluru dan meriam melalui jalan desa yang lebar diapit oleh deretan pohon turi waktu terdengar derap kuda datang mendekati dari tikungan jalan. Regu pengawal meriam telah menyiapkan tombak.
Manan memerintah semua berhenti dan bersiaga. Meriam, obat dan peluru di atas gerobak disingkirkan ke pinggir jalan, dan semua yang bersenjata telah bersiap untuk berkelahi.
Dari tikungan jalan muncul Mahmud Barjah tanpa pengawal. Ia telah menarik cambuk perang, siap hendak menyobek siapa pun yang dilecutnya dengan talinya yang berduri-duri baja. Kalian sudah lari sebelum berperang! ejeknya pada Manan dan Rois. Ia meludah ke tanah menghinakan.
Tidak ada Peranggi lari sebelum berperang! Jawab Manan. Panglima belum lagi berpengalaman perang darat dengan meriam.
Kalian sudah tinggalkan gelanggang!
Meriam, Panglima, tidak bisa berperang sendiri atau bergabung dengan pasukan yang hanya berpedang dan bertombak. Musket yang harus melindungi. Kalau tidak, dalam sebentar waktu biar kena serbu pasukan kuda musuh. Dan kita tak punya pasukan kuda.
Pertikaian itu terjadi di selereng sebuah bukit kecil yang hanya beberapa meter tingginya.
Mahmud Barjah masih tetap marah, namun cambuk perang itu diselitkannya kembali pada pinggangnya.
Waktu Manan memerintahkan meneruskan perjalanan, Mahmud tak membantah.
Laskar tombak tentara Sunan Rajeg berbaris dalam serba putih melewati mereka. Tombak yang terpanggul berdiri pada bahu mereka menggermang ke atas. Dari kejauhan nampak seperti ulat putih berbulu tombak sedang merangkaki jalanan.
Regu pengawal meriam dan regu pelayannya sendiri diam-diam di kaki bukit kecil itu memperhatikan tiga orang itu bertikai dalam Melayu.
Begitu laskar itu lewat Mahmud dari atas kudanya menetakkan kata-katanya: Bukankah telah disetujui dan diputuskan, meriam-meriam harus menembaki musuh sebelum mereka turun ke gelanggang"
Benar sekali, Panglima. Tetapi juga menurut keputusan tentara kita harus mesanggrah menunggu kedatangan musuh. Panglima sendiri ragu-ragu menentukan tempat mesanggrah dan memerintahkan langsung masuk ke Tuban. Kalau mengikuti Panglima, meriam-meriam kita bisa jadi takkan menembaki musuh, sebaliknya menembaki kita sendiri di tangan mereka.
Aku Panglima. Benar sekali, tapi yang mengetahui tentang meriam adalah kami. Panglima bisa menghukum kami, tapi meriam-meriam ini takkan berguna.
Mahmud Barjah menuruni bukit kecil itu dan pergi tanpa meninggalkan kata. Ia berpacu ke jurusan dari mana arah datangnya laskar, mencari kesatuannya.
Belum lagi ia sampai di tempat, dari sebuah pertigaan jalanan desa dilihatnya seorang petani penunggang kuda sedang menunggu di bawah sebatang pohon sengon di tengah-tengah pertigaan.
Panglima Rajeg berpacu menghampirinya. Orang itu turun dari atas kudanya. Tombaknya ditancapkannya ke tanah dan menunggu kedatangan Mahmud Barjah.
Gusti Panglima, ia memulai. Adapun pembawa surat tantangan telah tewas bersama dengan kudanya di dekat pasar Tuban Kota. Dia tak dapat menghindari orang-orang yang berlarian mengungsi turun ke laut. Ia tersusul oleh pasukan kuda. Hujan tombak telah membikin dia terjungkal bersama kudanya. Mati, Gusti Panglima.
Surat itu sudah sampai"
Sampai dengan pasti. Baik. Bagaimana hasil meriam"
Peluru-peluru meriam jatuh di alun-alun dan di depan kadipaten seperti disengaja, Gusti. Waktu itu sudah terjadi perselisihan antara para penghadap. Puncaknya adalah matinya Patih Tuban, sedang mayatnya dibiarkan tergeletak di alun-alun, sampai sahaya berangkat dan sampai di sini ini.
Siapa Senapati Tuban" Tidak bersenapati, Gusti Panglima, sejauh sahaya dengar. Belum tahu sekarang ini.
Tidakkah balatentara Tuban bergerak" Belum nampak ada tanda-tanda, Gusti. Teruskan pada Kanjeng Sunan Rajeg. Gusti.
Pelapor itu memacu kudanya memasuki jalanan lain. Mahmud Barjah memacu kudanya. Pada suatu pinggiran hutan ia bertemu dengan laskar yang kesekian. Ia perintahkan pada peratusnya untuk melonjak-lonjakkan panji-panji.
Panji-panji dilonjak-lonjakkan. Barisan itu mempercepat jalan.
Lebih cepat! perintahnya lagi.
Panji-panji makin cepat turun-naik. Barisan itu maju setengah lari.
Ia berpacu terus, dan setiap laskar yang dipapasinya mendapat perintah yang sama. Ia berpacu dan berpacu dan hilang di balik kepulan debu. Lima laskar Sunan Rajeg telah hampir sampai di perbatasan Tuban Kota.
Di mana-mana seakan Mahmud Barjah ada. Ia di belakang di depan, mengenal medan di lambung, kadang mendahului sangat di depan. Ia balik lagi. Dengan isyarat ia perintahkan semua panji-panji dari semua laskar digelenggelengkan. Pada saat itu juga pecah sorak-sorai gemuruh seperti hendak membelah langit. Dan debu pun seakan ikut bersorak, mengepul tanpa hentinya jadi kabut tipis ke udara kemudian jatuh menaburi bumi.
Sekarang Mahmud Barjah mengitari barisannya. Destarnya yang putih, seperti yang lain-lain, berkibar-kibar pada ujungnya. Kaki binatang tunggangannya menari-nari rampak, kelihatan hampir-hampir tak menyentuh tanah.
Laskar paling depan adalah para pemanah. Dan seorang pembawa panji berada paling depan di tengah-tengah barisan. Panji-panjinya berwarna hitam dengan sirip putih.
Di belakangnya adalah laskar tombak berperisai. Setiap orang membawa empat batang tombak yang langsing. Tangkainya dari kayu coklat tua berat. Juga mata tombaknya langsing. Laskar terakhir adalah berpedang dan berperisai. Di antara laskar yang satu dengan yang lain terdapat regu gendang dan gong. Makin cepat panji dilonjakkan, makin menderu gong dan gendang, dan makin cepat langkah para prajurit.
Sorak-sorai, ancaman, ejekan, raungan, berpadu jadi satu guruh, kadang terdengar mencakar dan menggaruk, kadang menggonggong dan melolong, kadang melenguh dan menghiba-hiba.
Tiba-tiba satu barisan tipis pasukan kuda Tuban muncul di depan mereka dengan debu berkepulan tertinggal di belakang. Barisan tipis itu semakin lama nampak semakin nyata. Tentara Sunan Rajeg bersorak dengan sekuat paruparu mereka. Melihat barisan kuda itu tidak menghadapi mereka dari depan mereka mengejek, memaki, menghina dengan kata-kata sekotor mungkin.
Pasukan kuda yang tipis itu semakin menjauhi laskar panah dan tombak, menyingkir barang tiga ratus depa, mendepis-depis ke pinggiran padang, tak menghiraukan ejekan dan cacian.
Dan tentara Sunan Rajeg terus juga maju ke jurusan Tuban Kota. Tak menggubris musuh yang mendepis-depis.
Panji-panjinya melonjak dan menggeleng, menggeleng dan melonjak.
Barisan kuda yang tipis itu tiba-tiba meninggalkan tepian tanah lapang seperti sekawanan elang menyambar barisan pedang sambil bersorak-sorai: Kambing gembel dari gunung: Mau cari apa ke Tuban" dan menggeletarkan cambuk perang mereka, mengatasi sorak-sorai lawannya.
Kirik Tuban! Anjing Peranggi! balas lawannya. Ayoh mendekat, lebih mendekat, biar kubelah kepala kalian!
Pasukan kuda kecil itu dipimpin langsung oleh Banteng Wareng, terdiri dari seratus orang. Mereka hanya meledekledek, mendekat dan menjauh pada laskar pedang Sunan Rajeg, menggeletarkan cambuk, mendekat dan menjauh lagi dengan terus-menerus memaki, bahkan meludahi. Tanah lapang yang sangat luas di luar kota itu mendengung karena caci-maki dan geletar cambuk.
Panglima Mahmud Barjah berteriak-teriak mengelilingi tentaranya, memperingatkan dengan suara yang sudah jadi parau: Jangan layani! Jangan tinggalkan barisan. Jangan menyerang tanpa perintah: Langsung masuk kota!
Suaranya terbenam dalam keriuhan caci-maki dan soraksorai dan gendang dan gong, dan geletar cambuk perang.
Mengetahui perintahnya tidak lagi kedengaran ia hampiri laskar-laskar dan memerintah tidak lagi menggelengkan panji-panji. Seluruh laskar Rajeg diam dan terus mempercepat langkahnya untuk dapat memasuki Tuban sebelum matari tenggelam.
Melihat musuhnya tak terpengaruh oleh ledekan dan cacian. Banteng Wareng memerintahkan melemparkan batu-batu bawaan mereka pada barisan pedang. Dan batubatu pun beterbangan ke tengah-tengah barisan pedang. Tak sebuah pun melayang sia-sia. Semua mengenai orang-orang yang berbaris rapat itu. Pekik kesakitan dan marah menjawabi setiap batu. Beberapa orang nampak telah jatuh dan terinjak-injak oleh barisan sendiri.
Barisan Banteng Wareng terus menerus mengganggu sambil mengintip ke mana-mana untuk mencari tempat meriam. Tetapi yang dicari-cari tidak nampak. Mereka lepaskan tugas pokoknya dan memperhebat gangguan. Batu-batuan terus beterbangan. Pekik kesakitan dan geram amarah semakin riuh. Gong dan gendang dan sorak kembali membelah udara.
Mendung tipis menaungi bumi dan angin kecil memuputi dunia. Tak ada seorang pun di antara mereka yang sedang kejangkitan semangat perang itu memperhatikan.
Mahmud Barjah menghentikan lagi sorak-sorai. Suaranya yang parau terdengar memerintah langsung masuk ke Tuban Kota.
Barisan kuda yang kecil itu mulai menyambarnyambarkan cambuk perang pada tubuh para prajurit Rajeg. Setiap cambuk jatuh kulit pun belah dan darah mengucur. Perintah-perintah Mahmud sudah tidak didengarkan oleh barisan pedang lagi. Dan cambuk itu tak dapat dilawan dengan perisai dan pedang. Juga tak dapat ditangkap tangan karena tajamnya gerigi baja. Tangan yang tercambuk akan melepaskan senjatanya. Kulit dan nadi teriris dalam. Muka yang terkena bersilang-silang darah. Dan ujung cambuk yang dihantamkan pada mata akan merenggut keluar biji dari rongganya.
Tak tahan menderitakan gangguan dari barisan kuda musuhnya, pinggiran barisan pedang mulai buyar, tak dapat membela diri dan mulai menyerang.
Dengarkan gustimu, dengar Panglima Rajeg! pekik Mahmud Barjah parau, jangan tinggalkan barisan!
Barisan pedang semakin banyak meninggalkan laskarnya, digerakkan oleh geram mereka mulai menyerbu musuhnya yang berkaki empat, cepat dan gesit itu. Dengan pedang dan perisai mereka tak dapat mencapai, laskar pedang itu bubar. Pimpinannya tak dapat mengendalikan lagi.
Melihat bencana sedang mendatangi Mahmud Barjah berpacu ke depan, memerintahkan barisan pemanah untuk membinasakan barisan kuda yang terlalu sedikit jumlahnya.
Melihat laskar pemanah berbalik ke belakang dan mulai memburu, Banteng Wareng memerintahkan untuk memencarkan diri dan kembali mendepis-depis di tepian tanah lapang sambil bergerak melingkar, seorang-seorang, dan lama-kelamaan menjadi lingkaran besar mengepung barisan yang telah membubarkan diri.
Para pemedang semakin lama semakin jauh satu sama lain. Laskar tombak yang masih utuh itu maju terus ke depan: Pada suatu titik mereka terhenti untuk menghindari tubrukan dengan laskar pemanah yang berbalik ke belakang.
Manan keparat! Rois laknat! sumpah Mahmud Barjah. Senang-senang dia di belakang dengan meriamnya. Dibelah-belah barisan begini rupa. Awas kau!
Ia sendiri mulai kehilangan kendali atas tentaranya. Tergoda oleh laskar panah yang berbalik dan memburu barisan Banteng Wareng, juga laskar tombak dengan sendirinya terseret oleh arus sungsang. Dalam waktu yang sangat pendek semua tentara Mahmud Baijah telah bergubal jadi satu kebalauan yang mengejar barisan kuda Tuban.
Dan itulah justru yang dikehendaki Banteng Wareng. Ia perintahkan membikin gerakan pengepungan semu, semakin lama semakin tipis dan melebar. Anak panah dan tombak mulai beterbangan di udara.
Barisan kuda Tuban yang kecil itu semakin melebarkan dan merenggangkan kepungan semunya. Dan pada gilirannya juga tentara Rajeg menjadi semakin melebar mengisi kekosongan medan, seperti air yang tercurah di atas dataran.
Pada waktu tentara Rajeg sudah tak dapat dikendalikan lagi, semakin lama semakin memecah dan memencarkan diri mencari sasaran masing-masing, muncul lima belas ekor gajah dari kejauhan. Belalainya terangkat naik, memekik berbareng terdengar seperti seribu serunai. Setiap ekor diikuti oleh lima belas pemanah dari pasukan kaki. Di bawah pengendalian pawang-pawangnya, binatangbinatang yang melihat pertempuran itu lari ke depan dengan belalai tetap terangkat dan bersuling. Juga pasukan kaki di belakangnya ikut lari mengikuti.
Tumpas! Tumpas! mereka bersorak dan bersorak. Dan di atas setiap ekor terikat kotak bentengan dari kayu keras, tak tertembusi oleh panah ataupun tombak. Di situ terdapat enam orang pelempar tombak dan pemanah sekaligus, mahir dan terlatih. Tubuh dan kepala gajah yang dilindungi oleh berlapis-lapis kulit kerbau nampak seperti jubah kebesaran, melambai-lambai, juga tak tertembusi oleh anak panah dan tombak. Pada setiap langkah kaki belakang binatang-binatang itu berdencing oleh krenyak atau sirah baja yang melindungi tumitnya.
Tentara putihhhhhhh! Mahmud Barjah memekik. Gajah! Awas gajah datang!
Gajahhhh! terdengar seruan dari mana-mana. Perhatian tentara Rajeg terpecah-pecah antara kuda dan gajah dan dari gajah ke kuda.
Dan bukit-bukit hidup yang menyemburkan anak panah dari atasnya itu semakin mendekati juga. Anak panah itu keluar berbareng seperti petir yang sedang menyambar, melesit tanpa ampun menembusi tubuh yang dikenainya. Gajah-gajah itu terus juga maju memasuki medan pertempuran.
Tentara Rajeg kacau-berlarian kehilangan posisi. Keadaan itu tak dibiarkan oleh Banteng Wareng. Ia perintahkan barisannya menyerbu ke dalam kekacauan itu.
Dengan suara parau Mahmud Barjah berseru-seru dari atas kudanya dengan di tangan melambai-lambaikan pedang: Goblok! Otak binatang! Mundur. Munduuuuuur! Terobos itu kepungan kuda!
Ayoh, Mahmud! Jangan hanya teriak-teriak! tantang Banteng Wareng. Perlihatkan moncongmu yang besar itu.
Tetapi Mahmud tak dengar tantangan itu. Ia sibuk untuk mengundurkan tentaranya, dengan punggung pedang ia hantami prajuritnya yang tak mau dengarkan perintah.
Barisan kuda tak membiarkan mereka menerobos. Seakan terbang kuda-kuda itu menyambari para penerobos, menggeletarkan cambuk perang, menyobeki daging.
Matari hilang di balik mendung. Hujan lebat pun mengancam dari langit. Kilat seakan menyoraki mereka yang sedang berbunuh-bunuhan.
Dan gajah-gajah maju terus tak mempedulikan barangsiapa terinjak dan terdesak. Anak panah yang bersemburan dari pasukan kaki di belakang dan bawahnya merebahkan siapa saja yang terkenai. Korban-kor-ban jatuh bergelimpangan dan darah merah mewarnai baju putih mereka dan bumi negerinya sendiri.
Trobos kuda sambil memekik kencaaaang! perintah Mahmud. Suaranya semakin parau.
Juga di sana-sini prajurit kuda Tuban menggelimpang jatuh untuk kemudian dihujani dengan tombak dan pedang. Laskar panah Rajeg tak dapat berbuat sesuatu pun dalam kegalauan medang perang.
Kepungan semu kemudian bobol. Dan tak bisa lain. Gajah-gajah itu telah memasuki tengah-tengah medan pertempuran, mendesak ke segala jurusan. Belalainya menyambar-nyambar seperti naga. Barang siapa tertangkap akan melayang ke udara tanpa semau sendiri untuk kemudian jatuh ke bumi dan tak bangun untuk selamalamanya. Dan barang siapa kejatuhan korban kedua akan ringsek tanpa sempat mengaduh. Kakinya melangkah tanpa peduli siapa kena terjang, adalah laksana empat batang pengganda yang menggerincing karena krenyaknya. Barang siapa tersenggol akan terbalik dan terinjak penyek. Dari belakangnya arus anak panah pasukan kaki Tuban, gelombang demi gelombang, beraturan, melayang seperti jari-jari Batara Kala. Manusia dan hewan akan tumpas terkena olehnya. Anak panah yang meniup dari atasnya dari tangan-tangan termahir adalah laksana hembusan Batara Yamadipati. Tak ada bisa meluputkan diri.
Seperti air membuyar dari dataran tinggi tentara Rajeg menerobosi kepungan semu barisan kuda Banteng Wareng, membuyar lari ke segala jurusan.
Dan Banteng Wareng memerintahkan anakbuahnya untuk mengundurkan diri ke belakang pasukan gajah yang dipimpin oleh Kala Cuwil. Dengan susah-payah mereka menarik diri, melindungkan diri ke belakang hewan-hewan raksasa, yang pada kulit kerbau perisainya telah bergelantangan anak panah lawannya.
Dilihat dari belakang bekas jalan gajah-gajah itu bumi telah menjadi merah karena darah dan daging menganga. Sedang gajah yang terluka mengamuk maju terus sambil bersuling, menerjang, menangkap, membanting, menginjak dan mencaling dengan belai seperti baling-baling berputar.
Tentara Rajeg terdesak terus dalam keadaan parah dan kocar-kacir.
Di atas salah seekor gajah, di dalam benteng kayu keras, duduk Wiranggaleng dan Kala Cuwil. Dengan tanda-tanda pangkat dan jabatan, tangan kiri Senapati Tuban diletakkan di atas pundak Kala Cuwil. Pada tangan kanannya tergenggam tombak. Dengan tangan kiri itu juga ia menuding ke bawah, pada pertempuran yang sedang berlangsung.
Tudingan itu terarah pada seorang penunggang kuda berpakaian serba putih di tengah-tengah tentara putih yang kacau-balau. Ia lihat pengendara kuda itu melambailambaikan pedang dengan tangan kanan. Pada tangan kirinya ia memegangi cambuk perang. Kendali sama sekali tak digubrisnya.
Hanya prajurit pengawal Tuban bisa begitu, katanya. Itulah Mahmud Barjah, Senapatiku, peranakan Koja. Pantas. Perhatikan bagaimana dia berusaha mengundurkan tentaranya dalam keselamatan.
Waktu mengatakan itu ia teringat pada kata-kata Rama Cluring sebelum meninggal: Darah ningrat Jawa sudah kehilangan kekuatannya. Hati dan keberaniannya sudah habis di dalam keputrian.
Pantas, ia mengulangi; Peranakan Koja. Apanya yang dikagumi, Senapatiku"
Kalau dia ningrat Jawa, dia akan lari selamatkan dirinya sendiri. Sekarang aku mengerti mengapa Malaka dapat jatuh begitu mudah.
Kala Cuwil menatap Senapati dari samping, tak mengerti.
Lihat! Wiranggaleng berseru, dia telah kehilangan kepemimpinannya dalam kekacauan itu. Dia tetap berusaha. Lihat!
Kala Cuwil nampaknya tak senang mendengarkan pujipujian untuk musuh dan pengkhianat itu.
Senapatiku, digusur ke mana tentara perusuh ini" Sorong terus ke depan sampai matari tenggelam. Sorong terus sampai matari tenggelam, Kala Cuwil mengulang. Mereka akan jadi remah-remah. Ia angkat panji-panji dengan menuding ke depan.
Banteng Wareng yang melihat senapatinya menuding ke arah Mahmud Barjah menghentakkan kendali. Kudanya melesit seperti binatang beralih menembusi awan coklat dan putih di depannya, langsung menuju ke arah Panglima Rajeg. Pedangnya berayun ke kiri dan kanan. Anakbuahnya pun segera menyusul untuk melindungi pemimpinnya. Porak-poranda prajurit-prajurit putih yang sedang kacau itu terkena terjang pasukan kuda seperti permukaan sawah terkena garu, licin dan rata.
Banteng Wareng! Senapati Tuban berteriak dengan tangan dicorongkan pada mulut. Kembali! Tarik pasukanmu!
Pemimpin pasukan kuda itu tidak mendengar.
Dia akan tangkap Mahmud, Senapatiku, Kala Cuwil mencoba menerangkan. Musuh sudah kacau dan lelah, jera dan kehabisan senjata.
Tepat! Tapi dia tak boleh lakukan itu.
Dia akan mudah ditangkap, Kala Cuwil mencoba menerangkan untuk ke sekian kalinya.
Tepat! Siapa pun tahu. Tapi dia tak boleh lakukan itu. Kita harus lihat sampai di mana Mahmud bisa urus anakbuahnya. Kemudian menjerit: Banteng Wareng! Kembali!
Seorang prajurit kuda yang terkebelakang meneruskan teriakan itu, Juga suaranya tenggelam dalam keriuhan pertempuran .
Dari atas gajah Senapati Tuban melihat Mahmud menyedari akan datangnya pasukan kuda Tuban. Ia kelihatan berteriak-teriak memperingatkan anakbuah di selingkungannya, dan mereka berbalik menghadapi Banteng Wareng.
Kala Cuwil! Larikan gajah. Dekatkan pada mereka! Didekatkan pada mereka, Senapatiku!
Dan gajah pimpinan yang sejak tadi berjalan tenang itu sekarang mengangkat belalai tinggi-tinggi, lari sambil bersuling.
Biar dia mendapat kesempatan selamatkan dan undurkan anakbuah-nya, kataku. Beri dia kesempatan bertempur yang baik. Sekarang ia hanya tikus dalam perangkap. Lepaskan dia!
Perkelahian dengan pedang telah terjadi antara pembelapembela Mahmud Barjah dengan prajurit-prajurit kuda. Logam beradu logam berdentangan memainkan lagu maut.
Prajurit-prajurit Rajeg yang membela panglimanya tak dapat bertahan terhadap desakan kuda. Mereka terdesak semakin rapat mengepung panglimanya sendiri. Terkurung oleh anakbuah sendiri Mahmud dan kudanya tak dapat bergerak sebagaimana harusnya.
Mahmud menggeletarkan cambuk perang, tapi cambuk itu terlepas dari tangan dan jatuh di sela-sela bahu anakbuahnya, ke tanah. Dan di sekelilingnya adalah mata pedang anakbuah sendiri.
Banteng Wareng, lepaskan dia! teriak Wiranggaleng. Dan gajah itu semakin mendekati juga, melalui bekas jalanan pasukan kuda. Di atasnya Senapati Tuban melambai-lambaikan tangan. Tetapi pasukan kuda tak mengerti maksud isyaratnya dan terus mendesak.
Mahmud Barjah dengan para pengawalnya telah berada dalam kepungan pasukan kuda. Makin lama makin rapat. Pengawal-pengawal Panglima Rajeg berjatuhan seorang demi seorang.
Matari hampir tenggelam, Senapatiku! Matari sudah lama hilang ditelan mendung. Hentikan pengejaran! perintah Senapati.
Pengejaran dihentikan, Senapatiku, Kala Cuwil mengangkat panji-panji datar dengan dua belah tangannya.
Gajah itu berhenti. Tak ada tanda-tanda matari di barat. Hanya mendung, perbukitan dan hutan hitam.
Mahmud Barjah tertinggal seorang diri dalam kepungan. Semua pedang terarah padanya. Ia menangkis ke segala penjuru. Waktu akhirnya pedangnya patah ia berdiri di atas punggung kuda.
Berhenti! teriak Wiranggaleng dari atas gajahnya.
Pedang Banteng Wareng melayang menyambar kaki Mahmud.
Dari atas gajah Senapati melemparkan tombak. Dan tombak itu melayang cepat di atas kepala orang dan kuda. Bunyi berdentang menyusul. Mata tombak itu menerjang mata pedang Banteng Wareng, patah dua-duanya. Kaki Mahmud tak jadi tertebang tatas.
Semua orang menengok ke arah datangnya tombak. Dan mereka melihat panji-panji terpegangi datar oleh Kala Cuwil dan Senapati melambai-lambaikan tangan menyuruh semua kembali. Baru orang mendengar teriakan senopati mereka: Lepaskan dia! Lepaskan dia dengan damai! Pergi kau, Mahmud! Pergi kau dengan damai!
Prajurit-prajurit kuda menurunkan pedang masingmasing. Mahmud duduk kembali di atas kudanya. Ia jalankan kendaraannya dua langkah maju. Tangannya dilambaikannya ke atas, berteriak: Selamat untukmu, Wiranggaleng, anak desa yang perwira! Lain kali berjumpa lagi!
Kuda diputarnya lambat-lambat, berjalan melangkahi bangkai yang bertebaran di tanah, kemudian memacu tanpa menengok lagi ke belakang, hilang di balik rimbunan hutan yang diselaputi rembang senja.
Dua kekuatan yang bermusuhan telah dilerai oleh malam. Tentara Rajeg menarik diri ke arah kedatangan mereka. Tentara Tuban berhenti di tempat dan mesanggrah.
Senapati Tuban berdiri di atas gajah, masih juga melambai-lambai tangan. Dan semua mata terarah padanya. Suaranya keras dan nyaring, keluar dari paruparunya yang penuh: Dengarkan semua! Dengarkan, bahwa perang adalah perang. Perang bukanlah keinginan untuk membunuh sesama, dia adalah bentrokan dari dua keinginan. Jangan jadi pembunuh! Dan kalian prajuritprajurit Tuban yang perwira dan satria, hargailah juga keperwiraan dan kesatriaan, sekalipun itu ada pada musuhmu. Kalian lihat sendiri, dalam keadaan sulit Mahmud Barjah tidak meninggalkan gelanggang. Dia tidak lari sendirian dan membiarkan anakbuahnya tumpas. Dia undurkan anakbuahnya pada keselamatan. Dia punya kesetiaan pada anakbuahnya.
Dia hanya pengkhianat! pekik Banteng Wareng membantah tanpa pikir panjang.
Sebagai pengkhianat negeri dan terhadap Gusti Adipati dia akan mendapat hukumannya. Sebagai setiawan anakbuah dia harus dihargai. Bergerak! Berkampung kalian ke pesanggrahan. Matari telah tenggelam. Dan hujan akan turun.
Seluruh prajurit berbalik menuju ke pesanggrahan yang telah dibangun oleh kesatuan-kesatuan di belakang.
Malam jatuh dengan cepatnya. Dan pesanggrahan di luar kota itu memberikan mereka perlindungan dari hujan yang mulai mengancam.
Dan sebelum mereka melepaskan lelah dalam tidur nyenyak, suatu bunyi ledakan terdengar di kejauhan. Dua butir peluru besi telah terbang beriringan menerjang langit bermendung melewati perbatasan kota.
Gajah-gajah pun bergidik dan bersuling pelan. Kudakuda meringkik lemah.
Kemudian sunyi senyap.
Berlanjut ke bagian 19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar