Jumat, 18 November 2022

Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer #14/44


Arus Balik. 
Karya : Pramoedya Ananta Toer.

Bagian 14.
 
Syahbandar, Idayu dan Gelar.
Ia terkejut. Dilihatnya Syahbandar tiba-tiba saja sudah ada di depannya. Tongkatnya tergantung pada bahu dan tangannya bertepuktepuk riang. Bongkoknya kelihatan semakin menjadi-jadi dan matanya menyala-nyala menerkam.
Selamat bagimu, Idayu! katanya lunak, memikat dan membujuk sekaligus.
Cepat cepat Idayu menepiskan Gelar pada dada, begitu keras sehingga anak itu terpekik terkejut dan pengap.
Melihat Idayu terkejut, Tholib Sungkar tertawa menghibur dengan gerak tangan ramai. Kemudian: Masa begitu saja terkejut, Idayu!
Dengan takut bercampur waspada wanita itu dengan merangkul anaknya mendepis pada tiang pintu. Mengapa kau begitu aneh, Idayu"
Apa Tuan kehendaki di sini" tanyanya megap-megap. Biar sahaya pergi ke dapur, memasak bersama Nyi Gede. Buat apa, Cantik" Guna apa" Nyi Gede masih tidur. Biarlah sahaya ikut membersihkan taman dengan Paman Marta.
Buat apa, Idayu" Bukan pekerjaanmu membersihkan taman. Lagi pula Paman Marta sedang mengurus mayat anaknya.
Kalau begitu, jangan masuki rumah sahaya ini Idayu, Permata Tuban, pujaan setiap pria. Betapa murung kau ditinggalkan suami. Tiadakah kau suka bersenang dalam kesepian yang begini mencekik" Idayu! Ia bertepuk-tepuk dan menegakkan bongkoknya.
Ampuni sahaya, Tuan Sayid. Jangan dekati sahaya, dan jangan masuki rumah sahaya.
Syahbandar itu tertawa senang dan maju selangkah. Apa lagi yang kau tunggu-tunggu, Permata" Suami sahaya, Tuan Sayid. Tidak lain dari suami sahaya.
Apa kau harapkan dari suamimu" Tiada sesuatu, kecuali kasih dan sayangnya. Kasihan. Kasih-sayang saja dia tak mampu berikan pada tubuh yang semolek ini .
Kalau dia tidak mampu, tentu doanya saja pun memadai, Tuan jawab Idayu mulai berani setelah terbebas dari kejut.
Gelar dalam pelukan meronta minta kembali bebas. Kepalanya menggeleng-geleng dan kaki dan tangannya bergerak binal.
Mengapa tak kau lepaskan anak itu" Biar dia bermainmain sendiri seperti biasanya.
Biarlah dia temani ibunya dalam menghadapi ayahnya.
Menghadapi ayahnya" Mengapa mesti dihadapi" Lagi pula dia belum lagi pulang.
Ayah tidak pergi, bukan, Gelar" Ayahmu tidak pergi, bukan" Dia sedang di depanmu sekarang. Itulah macam ayahmu. Dia sedang merayu ibumu.
Ayahmu sedang ke pedalaman, Gelar. Ingat-ingat kejadian ini, Gelar, selama hidupmu. Gelar berhenti meronta, memandangi Syahbandar dengan mata ter-heran-heran.
Mak! serunya kemudian. Ya. Itulah ayahmu, Nak, kenali dia baik-baik dari dekat.
Idayu memasang Gelar demikian rupa sehingga si bocah itu berhadap-hadapan dengan Syahbandar. Anak itu sebagai besi berani menarik mata lelaki itu. Dua pasang mata itu bertatapan, yang satu bocah, yang lain setengah baya.
Ya, Gelar, Idayu meneruskan, itu ayahmu sendiri. Kenali dia, tampangnya, wataknya, tingkah-lakunya .
Muka Tholib Sungkar Az-Zubaid merah-padam. Diturunkan tongkat dari bahu dan dihentakkan di lantai. Waktu ia memperdengarkan suaranya, tak ada perempuan berkata begitu. Coba, kalau benar, bagaimana hukumnya maka dia anakku"
Kau dengar sendiri suaranya, Gelar. Memang tidak menyanyi lagi bunyinya seperti tadi. Itulah suaranya yang asli.
Jangan bercericau seperti nuri! sambarnya bengkeng. Dengarkan kata-katanya. Begitulah macam ayahmu, Gelar. Syukur kau hidup sehari-harian serumah dengannya. Makin hari kau akan makin kenal .
Jangan teruskan, Idayu, Syahbandar sekarang merajuk.
 Dan tahulah kau siapa dia. Kau akan semakin jijik. Idayu, kau ajari anak itu kurangajar.
Dengar, kau, Gelar, dia tak mau dikurangajari. Idayu diam!
Dia belum bisa bicara, Tuan Sayid, biarlah dia meminjam dulu kata-kata ibunya
Jadi kau ajari dia kurangajar terhadapku.
Inilah anak Tuan, Tuan Sayid. Bukankah Tuan tahu sejarah kelahirannya"
Bagaimana sejarah kelahirannya" Aku tak tahu. Jangan sebut sekali lagi dia anakku. Tuan Sayid Habibullah Almasawa tak pernah beranak-kan dia! matanya membeliak memperingatkan.
Tak ada yang dengar, Tuan, hanya sahaya, Tuan dan anak Tuan sendiri.
Aku tak beranakkan dia! Tholib Sungkar hampir membentak.
Itu, itulah ayahmu, Gelar, kasihan kau, ayahmu untuk di dunia dan untuk di kemudian hari.
Seakan mengerti maksud ibunya bocah itu tetap menatap Syahbandar seperti lelaki setengah baya itu baru sekali ini dilihatnya. Tetapi melihat wajah orang itu berubah jadi galak, ia menjerit ketakutan.
Idayu kembali mendekapnya pada dada. Dengan suara seperti meratap ia meneruskan: Nasibmu, Nak, punya ayah tiada mengakui. Tapi kau harus akui dia. Dasar sudah nasibmu, punya ayah semacam itu kelakuannya . Idayu!
 Takut pada ayah sendiri, seperti takut pada gandarwa.
Sudah, hentikan igauanmu. Jangan ulangi. Mari berbaik, Idayu, katanya lagi membujuk. Dengarkan dulu aku, jangan ditentang juga. Kau ini, Idayu, belum lagi mengenal dunia.
Kau, Nak, anak seorang Syahbandar yang mengenal dunia. Nasibmu, betapa buruk. Menggendong saja dia tak mau. Nasib.
Diamlah, Idayu. Apa kataku tadi" Kau belum lagi mengenal dunia.
Apalah gunanya dunia sahaya kenal, kalau hanya seperti yang Tuan lihat"
Haiyaaa. Mereka masih juga berdiri berhadap-hadapan di depan pintu kamar di serambi. Mereka berhadap-hadapan, masing-masing berusaha tunduk-menundukkan tanpa kekerasan.
Itulah, Idayu, itulah, justru karena tak kenal dunia, kau anggap semua sudah mencukupi.
Hidup sahaya telah mencukupi, Tuan Sayid, dengan kasih-sayang suami sahaya, si Galeng anak desa yang bodoh itu.
Husy. Dengarkan dulu aku. Kau biarkan suamimu yang seorang itu selalu meninggalkan kau. Kau belum lagi jangan sela dulu aku, kau belum lagi tahu negeri-negeri orang lain.
Apalah gunanya" Tholib Sungkar Az-Zubaid tertawa ramah. Ia tegakkan bongkoknya dan menyangkutkan tongkat kembali ke atas bahu, kemudian bertepuk-tepuk: Kalau di negeri lain sana, Idayu, pastilah kau akan jadi ratu.
Huh! Idayu berpaling melecehkan.
 Tidak jadi istri seorang Galeng yang selalu pergi, membiarkan kau merana dalam menunggu.
Sahaya perempuan Tuban, Tuan Sayid, yang berbahagia menunggu suami pulang.
Jangan kau jadi bodoh seperti perempuan Tuban lain. Cerdiklah sedikit, ia maju setengah langkah.
Dalam menunggu suami pulang sahaya berbahagia. Mak, turun, Mak, pinta Gelar.
Jangan, Nak, temani dulu emakmu.
Gelar meronta lagi minta turun dan Idayu membiarkannya turun. Dan bocah itu lari girang ke pelataran memanggil-manggil Nyi Gede Kati. Ia langsung menuju ke dapur.
Tholib Sungkar berseri-seri dan maju lagi seperempat langkah: Jangan bohongi aku. Tak ada orang berbahagia karena menunggu. Tak ada kesengsaraan lebih mencekik daripada menunggu. Malah, Idayu, kau tak tahu pula apa yang dikerjakan suamimu. Apalagi sekarang. Melihat penari itu mendengarkan ia semakin berani, Pekerjaannya berat. Bukan hanya berat, berbahaya. Setiap waktu bisa mati. Apalagi sekarang ini. Mungkin ia takkan kembali lagi untuk selama-lamanya .
Apalah yang sahaya herani bila suami mati" Jadi kau mengharapkan dia mati"
Apakah hebatnya kematian, Tuan Sayid" Tiadakah pernah terdengar oleh Tuan betapa di pedalaman sana wanita melompat ke dalam api untuk dapat mengikuti suami yang mendahului mati" Tidakkah pernah Tuan dengar" Di Tuban Kota memang sudah tidak kejadian lagi. Pergilah ke pedalaman.
Jangan, Idayu. Semua orang tahu. Tapi jangan lakukan. Betapa bodoh orang membiarkan kecantikan dan kemolekan seperti ini punah dimakan api, larangan sambil mendekat lagi.
Jangan lebih dekat, Tuan Sayid, dan jangan coba-coba masuki rumahku, Idayu memperingatkan. Sahaya sedang jaga, tidak mimpi dalam tidur.
Apakah keberatanmu selama tempat ini jadi bagian dari kesyahbandaran" Dan isinya pun dalam kekuasaanku" Sahaya bilang: jangan.
Layani aku, Idayu, lupakan suamimu.
Syahbandar melangkah menerjang hadangan Idayu sambil menarik wanita itu masuk ke dalam kamar.
Idayu meronta melepaskan diri. Tak terdengar olehnya Gelar memanggil-manggil dari sesuatu jarak.
Syahbandar berusaha menangkapnya lagi. Bodoh! gumam Syahbandar.
Kurang hormat apakah perempuan bodoh ini" kata Idayu cepat-cepat dan terengah-engah. Tuan Sayid, keluar dari sini! dengan cundrik telanjang di tangan wanita itu mengancam. Syahbandar itu terkejut dan undur keluar dari kamar. Naluri beladiri menyebabkan dengan sendirinya ia mengangkat tongkat dan mengamangkan, mengancam: Di mana pun begitu mesti bisa ditundukkan, ia tertawa melecehkan, apa lagi, kau, Idayu. Sampai di mana kekuatanmu" Kalau kupukul kau, keris-kecilmu takkan berdaya, kecantikanmu akan rusak untuk selama-lamanya. Takkan lagi yang bakal mengagumi kau.
Pukullah, Tuan. Tetapi lelaki itu meneruskan gerutunya tanpa mengharapkan jawaban: Apa yang kau andalkan" Wiranggaleng" Kesetiaannya padamu" Hah! Mungkin dia sekarang sudah terkapar dimakan cacing tanah, tinggal tulang-tulang berantakan termakan anjing.
Memang itulah yang Tuan kehendaki.
 Dan bila dia toh balik lagi ke mari, dengarkan kau, perempuan bodoh, bila dia toh balik, segar dan selamat kau, tidak lain dari kau yang bakal celaka. Kerisnya akan tembusi dadamu. Akan diminumnya darahmu seperti dia minum tuak. Dibuangnya mayatmu tanpa upacara.
Jadi apa sesungguhnya yang Tuan Sayid harapkan dari sahaya" Idayu bertanya bodoh.
Singkirkan cundrik itu. Buang jauh-jauh di pelataran sana! Bagaimana kau tak tahu apa yang ku kehendaki"
Kalau soalnya cuma itu, Tuan Sayid, betapa sederhana keinginan Tuan.
Masih juga kau bercericau!
Mari sahaya ceritai, Tuan, Idayu bermanis-manis. Barangkali Tuan mau mendengarkan.
Tholib Sungkar mengendorkan pegangannya pada tongkatnya. Matanya tetap waspada memperhatikan tangan Idayu yang masih juga mengamangkan senjatanya. Apa ceritamu, Idayu"
Cerita sahaya, Tuan, betapa sederhana memilih bagaimana cara berlawan atau mati.
Kau tetap melawan aku, Idayu" Sahaya sedang melawan, Tuan. Keris Wira akan menembusi dadamu! Apalah salahnya. Tapi sebelum itu dari mulut Tuan sendiri ingin sahaya dengar, dengan mata sahaya sendiri ingin melihat, Tuan sudi mengakui Gelar sebagai anak Tuan sendiri, karena memang dia anak Tuan. Tiada aku beranakkan dia! lelaki itu membentak. Keluar! pekik Idayu. Takkan ada orang datang menolong aku, pun tak ada orang bakal menolong Tuan. Keluar! Sahaya tak mengulangi kata-kata sahaya.
Idayu melangkah dan lelaki itu dengan sendirinya bersiaga dengan tongkatnya.
Tholib Sungkar tak juga beranjak dari tempatnya. Idayu melompat maju sambil menyerang dengan cundriknya. Syahbandar melompat ke samping, mengelak. Wanita itu menikam dari samping. Syahbandar melompat lagi dan mengayunkan pukulan pada tangan lawannya yang bercundrik. Idayu menarik tangan dan berputar menikam punggung. Lelaki itu melompat ke depan dan lari meninggalkan kamar, meninggalkan serambi. Lengan bajunya sobek dan darah memerahi sekitar sobekan.
Panggilan Gelar semakin terdengar mendekat. Idayu keluar ke serambi, melihat ke sana-sini mencari-cari anaknya. Tak ada dilihatnya lelaki bongkok itu. Yang muncul adalah Gelar yang masih juga memanggil-manggil. Ia masukkan kembali senjata itu ke dalam sarung dan ia selit-kan pada sanggul. Kemudian ia berjongkok menyambut anaknya.
Dengan sekali renggut Gelar telah berada dalam gendongan, dalam pelukan. Ia menciuminya berkali-kali.
Nasibmu, Nak, nasibmu. Seorang ayah pun tiada mengakuimu.
Gelar memeluk leher ibunya. Sayang kau pada emak"
Gelar mengencangkan pelukannya.

Berlanjut ke bagian 15


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar