Sabtu, 19 November 2022

BUMI MANUSIA KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER #20/27


Ia mendeham tanpa menelannya. Pandangnya menyeka wajahku. Sekilas saja. Kemudian ia pergi ke jendela, meiihat perladangan dan taman di samping rumah. "Mari Tuan kemari," undangnya tanpa menoleh. Dan' aku berdiri di sampingnya di belakang jendela. "Mengapa Tuan sembunyikan nama keluarga Tuan ?" . "Memang tak punya." "Apa nama Kristen Tuan ?" "Tak punya, Tuan."
"Bagaimana mungkin di H.B.S. tanpa nama keluarga, tanpa nama Kristen" Kan Tuan tidak bermaksud mengatakan Pribumi ?" " "Memang Pribumi, Tuan." Ia menoleh padaku. Suaranya menyelidik: "Bukan begitu adat Pribumi sekali pun jsudah di H.B.S. Tuan menyembunyikan sesuatu." "Tidak." " "
Agak lama ia berdiam diri. Barangkali sedang memantapkan hati sendiri. "-Satu pertanyaan lagi kalau Tuan tak ada keberatan. Sang-| gup kiranya Tuan tetap ramah dan tulus pada Annelies "r
"Tentu saja." "Untuk selama-lamanya ?" "Mengapa, Tuan ?"
"Kasihan anak ini. Dia tak bisa menghadapi kekerasan. Dia mengimpikan seorang yang mengasihi, menyayanginya dengan tulus. Dia merasa hidup seorang diri, tanpa pelindung; tak tahu dunia. Digantungkannya sepenuh harapannya pada Tuan." Tentu dia berlebih-lebihan. Maka:
"Dia ada ibu yang memimpin, mendidik, menyayang."
"Hatikecilnya tidak mempercayai kelestarian sikap ibunya. Setiap saat ia menunggu datangnya ketika ibunya meledak dan memutuskan diri daripadanya." "Hmm."
"Mama wanita bijaksana, Tuan."
"Tak ada yang dapat pungkiri. Tapi hatikecil Annelies tidak yakin. Boleh jadi dengan diam-diam ia menilai ibunya lebih terpaut pada perusahaan daripada dirinya. Ini pembicaraan khusus antara Tuan dan aku saja. Yang lain tak perlu tahu. Tuan mengerti."
Agak lama ia berdiam diri. Mendadak: "Jadi Tuan mengerti."
"Kira-kira mengerti."
"Tak boleh ada kata keras, kasar, mengecewakan. Dia mencintai Tuan. Terutama ini kukatakan karena pria Pribumi belum terbiasa memperlakukan wanita dengan lemah-lembut dan sopan, ramah dan tulus. Setidak-tidaknya begitu yang dapat kuketahui, kudengar, juga kubaca. Tuan telah mempelajari adab Eropa selama ini, tentu Tuan tahu perbedaan antara sikap pria Eropa dan pria Pribumi terhadap wanita. Kalau Tuan sama dengan pria Jawa pada umumnya, anak ini takkan berumur panjang. Terus-terang saja, Tuan, setidak-tidaknya dia bisa mati dalam keadaan hidup. Sekiranya, sekiranya, kataku, Tuan peristri dia, akan Tuan madu dia bakalnya ?"
"Memperistrinya ?"
"Ya, setidak-tidaknya, demikian impian gadis ini. Kan Tuan akan memperistrinya " Tuan sekarang di kias terakhir, kan ?"
"Belum lagi terniat untuk melamar, Tuan."
"Kalau diperlukan aku sendiri yang akan bertindak sebagai pelamar Tuan demi keselamatan gadis ini."
Aku tak dapat bicara sesuatu.
"Jadi Tuan akan memperistri dia. Dan Tuan takkan memadunya," ia ulurkan tangan padaku untuk mengambil kepastian janji dari mulutku.
Aku jabat tangannya. Memang tak pernah terniat olehku untuk kelak beristri lebih dari seorang. Terngiang suara perempuan tua itu, Nenenda: setiap lelaki yang beristri lebih dari seorang pasti seorang penipu, dan menjadi penipu tanpa semau sendiri.
"Hati gadis ini terlalu lunak, terlalu lembut, tidak mampu menahan singgungan, harus selalu diemong, dijaga, dibelai, dilindungi. Kepribadiannya nampaknya telah terambil dari dirinya."
"Terambil ?"
"Oleh orang yang terdekat dengannya." "Siapa itu, Tuan ?"
"Tak tahulah aku. Tuan akan tahu sendiri. Paling tidak oleh keadaan sekelilingnya. Hatinya penuh dengan persoalan terpendam, gadis semuda ini, tak pernah dinyatakan. Maka dia hidup sebagai yatim-piatu. Dan merasa selalu tergantung. Merasa tidak pernah kukuh di tengah lingkungan sendiri. Dia membutuhkan seorang penunjang. Sebagai gadis yang tumbuh di tengah kekayaan dia tak menginsafi kekuatan kekayaan. Baginya kekayaan bukan apa-apa. Itu yang dapat kufahami dari keadaan anak ini. Tuan mendengar, kan ?"
Dokter Martinet menarik monokel dari saku atas dan memasang pada matakanannya. Setelah melihat arloji ia tatap aku.
"Terimakasih atas kesungguhan Tuan. Lihat pemandangan yang tenang dan damai itu. Beruntung gadis ini hidup di tengah kemewahan dan kedamaian. Sekiranya duaduanya tak ada tak tahu aku apa akan jadinya."
Biji palakia dalam kepalaku diganti oleh biji lain lagi: duga-sangka tentang makna sesungguhnya dari ucapan dokter itu.
"Maaf. Aku bukan ahlijiwa. Sudah kucoba banyak bicara dengan ibunya wanita luarbiasa itu. Setiap katanya sopan beradab, berisi, dilatarbelakangi kekerasan dari hati seorang pendendam yang ogah berbagi. Sedemikian terpelajar sebagai wanita pun sudah suatu keluarbiasaan. Juga di Eropa sana. Aku kira memang bukan secara sadar dia telah menjadi demikian. Ada satu atau banyak pengalaman yang jadi penggerak. Aku tak tahu apa. Hatinya sangat keras, berpikiran tajam, tetapi dari semua itu: sukses dalam segala usahanya yang membikin dia jadi seorang pribadi yang kuat, dan berani. Tetapi dia pun satu kegagalan besar dalam satu hal tertentu. Bisa dimengerti: setiap otodidak punya m kegagalan menyolok." Dokter Martinet tak meneruskan. Ia mengharap aku mencari sendiri makna ucapannya.
bumi manusia "Dia sudah mulai akan sadar, Annelies itu," katanya tiba-tiba. Ia menengok, meninggalkan aku dan mendekati pasiennya. Diperiksa desakan darah pada pergelangan, kemudian melambai padaku. "Ya, Tuan. Beberapa menit lagi dia akan menjadi Annelies sebagaimana Tuan kenal. Semoga dia akan sehat tak kurang suatu apa dengan kehadiran Tuan. Sejak detik ini, Tuan, gadis ini bukan pasienku, tapi pasien Tuan. Semua sudah kusampaikan pada Tuan secara pribadi. Selamat siang." Ia tinggalkan kamar, menutup pintu di belakangnya dan hilang dari pemandangan. Sekarang datang kesempatan untuk merasa iba pada diri sendiri. Betapa! Pengalaman mengguncangkan yang silih-berganti menimpa diri pada hari-hari belakangan ini. Belum lagi yang masih harus kuhadapi: Annelies! Seniman besar, Minke, kata Jean Marais dulu, entah dia pelukis, entah apa, entah pemimpin, entah panglima perang, adalah karena hidupnya disarati dan dilandasi pengalaman-pe-ngalaman besar, intensif: perasaan, batin atau badan. Itu dikatakannya sehabis kuceritakan padanya riwayat hidup penyair Belanda Vondel dan Kloos. Tanpa pengalaman besar kebesaran seseorang khayali semata; kebesarannya dibuat karena tiupan orang-orang mataduitan.
Jean Marais sendiri belum pernah tahu, tulisan-tulisanku sudah mulai diumumkan. Kalau kata-katanya benar, barangkali saja kelak aku bisa jadi pengarang besar. Seperti Hugo sebagaimana diharapkan Nyai. Atau pemimpin, atau penganjur bangsa seperti diharapkan keluarga de la Croix. Atau justru hanya jadi daging busuk seperti dikehendaki Robert Mellema (Kalau benar cerita Darsam), dan si Gendut. Kudengar Annelies mengeluh dan menggerakkan jari. Dia akan baik, takkan mati di bawah mataku. Aku menjauh dan duduk di kursi mengawasinya. Memang cantik gemilang biar pun dalam keadaan sakit: kulitnya lembut, hidung, alis, bibir, gigi, kuping, rambut..... semua. Dan aku menjadi ragu pada keterangan Dokter Martinet tentang pedalaman gadis secantik ini. Apa mungkin pedalamannya serapuh itu dalam selaputan tubuh secantik ini " Dan aku seorang luaran, seorang kenalan sahaja kini harus ikut bertanggungjawab hanya karena kecantikannya semata. Kecantikan kreol. Betapa membelit begini perjalanan hidupku. Akibat tingkah philogynikku sendiri.
"Mama!" sebut Annelies. Sekarang kakinya /nulai bergerak. "Ann!"
Ia membuka mata. Dan mata itu "masih juga memandang jauh. Dia pasienku sejak saat ini, kata Dokter Martinet. Kutahan tawa, mengerti bahwa maksudnya sekarang akulah dokter yang harus menyembuhkannya.
Kuambil susu dari meja. Kuangkat lehernya dengan lenganku dan kuminumkan sedikit pada mulutnya. Ia mulai mencicip dan berkecap. Betul, dia mulai akan sadar diri. Lebih banyak lagi kuminumkan. Ia mulai meneguk.
"Ann, Anneliesku, minum sampai habis," kataku dan kuminumkan lebih banyak. Ia meneguk dan meneguk.
Nyai masuk membawa makansiang untuk dua orang. "Mengapa mesti kerjakan sendiri, Ma ?"
"Bukan begitu. Tak ada orang lain boleh masuk atau naik kemari. Jadi betul kata dokter dia sudah harus akan bangun sekarang."
"Hampir, Ma." "Ya, Minke, kata Tuan Dokter hanya kau yang harus merawatnya. Terserahlah padamu," ia keluar lagi.
Annelies membuka mata lagi dan mulai melihat padaku. "Apamu yang sakit, Ann ?"
Ia tak menjawab, hanya memandang padaku jua. Kuletakkan kembali kepalanya ke bantal. Bentuk hidungnya yang indah itu menarik tanganku untuk membelainya. Ujung-ujung rambutnya berwarna agak coklat jagung, dan alisnya lebat subur seakan pernah dipupuk sebelum dilahirkan. Dan bulu matanya yang lengkung panjang membikin matanya seperti sepasang kejora bersinar di langit cerah, pada langit wajahnya yang lebih cerah.
Kecantikan kreol yang sempurna, dalam keserasian bentuk seperti yang aku hadapi sekarang ini, di mana dapat ditemukan lagi di tempat lain di atas bumi manusia ini " Tuhan mencipta-kannya hanya sekali saja dan pada tubuh yang seorang ini saja. Aku takkan lepaskan kau, Ann, bagaimana pun keadaan pedalamanmu. Aku akan bersedia hadapi apa dan siapa pun.
"Pada hari ini, Ann," kataku padanya, "udara sangat indah. Memang lebih panas dari biasa, tapi nyaman, tak terlalu lembab."
Dara itu masih juga memandangi aku. Titik pusat pandangnya adalah puncak hidungku. Dia tetap belum juga bicara. Kedipan matanya begitu lambat. Namun kecantikannya tetap agung, lebih agung daripada segala perbuatan yang pernah dilakukan orang, lebih kaya daripada semua dan seluruh makna yang terkandung dalam perbendaharaan bahasa. Ia adalah karunia Allah tiada duanya, satu-satunya. Dan dia hanya untukku.
"Bangun dan sadar, kau. Puspita Surabaya! Apa kau tak tahu 1 Iskandar Zulkornain " Napoleon, pun akan berlutut memohon kasihmu " Bahwa untuk dapat menyentuh kulitmu mereka akan bersedia mengurbankan seluruh bangsa dan negerinya " Bangun, Puspitaku, karena kehidupan ini merugi tanpa kesaksianmu," dan tanpa setahuku telah kukecup bibirnya dalam keadaan sepenuh sadarku. Nafas panjang yang dihembuskannya memuputi mukaku. Kembali kupandangi dia. Bibirnya tersenyum. Juga matanya. Hanya belum bisa bicara. Maka aku terus juga mengobral kata, seperti Soleman dalam puji-pujiannya pada para perawan Israil: dagu, buahdada, pipi, betis, pandang mata, mata itu sendiri, leher, rambut, semua dan segala. Baru aku berhenti waktu terdengar:
"Mas!" "Ann, Anneliesku!" seruku memutuskan, "kau baik sekarang. Mari bangun. Mari berjalan. Mari, Dewi."
Ia mulai bergerak. Tangannya melambai. Dan aku sambut tangan itu. "Mari kugendong," dan aku gendong dia. Aku gendong. Ya, aku gendong. Dan aku tidak kuat. Badan apa ini, tak kuat menggendong dara! Ku t urunkan. Kakinya melangkah gemetar, badannya terhuyung. Aku papah. Persetan dengan kursi, meja, ranjang. Aku bawa dia ke jendela, tempat sebentar tadi aku berdiri di samping Dokter Martinet dan mengangkat aku jadi dokter. Pemandangan perladangngan yang luas terbentang di depan mata. Dan matari sudah mulai miring. "Lihat sana, Ann, sayup hutan itu membatasi pemandangan kita. Dan gununggemunung, dan langit, dan bumi. Kau lihat, Ann " Lihat betul ?" Ia mengangguk. Angin keras meniup, menerjang dari alam luas, seperti dicorongi memasuki lubang jendela. Annelies menggigil"Dingin, Ann ?" "Tidak."
"Lebih baik kau tidur lagi."
"Aku ingin di dekatmu begini. Lama sekali, dan kau tak juga datang." "Aku sudah datang, Ann."
"Jangan kendorkan peganganmu. Mas." "Kau kedinginan begini."
"Cukup hangat sekarang. Hutan di kejauhan sana nampak lain dari biasanya. Juga angin. Juga gunung-gunung itu. Juga burung-burung." '-Kau sudah sembuh, Ann. Kau sudah mulai sehat."
"Aku tak mau sakit. Aku tidak sakit. Hanya menunggu kedatanganmu." Sakitku sendiri juga hilang, Ann, kalau kau ingin tahu. Sesuatu menarik kepalaku untuk berpaling. Dan kulihat sekilas Nyai dan Dokter Martinet pada kiraian daun pintu. Mereka tak jadi masuk dan menutupnya kembali...........
13. TUAN DIREKTUR SEKOLAH MEMAAFKAN KETIDAK-hadiranku yang telah melewati batas sertifikat dokter. Salam dari Tuan Herbert de la Croix membikin lunak sikapnya. Dalam beberapa hari aku kejar ketinggalanku. Tak ada sesuatu kesulitan. Nenenda telah menanamkan kepercayaan pada diri: kau akan berhasil dalam setiap pelajaran, dan kau harus percaya akan berhasil, dan semua akan jadi mudah; jangan takut pada pelajaran apa pun, karena ketakutan itu sendiri kebodohan awal yang akan membodohkan semua.
Aku ikuti nasihatnya, dan aku percaya pada kebenaran wejangannya. Tak pernah aku tertinggal dibandingkan dengan yang lain-lain, walau pun sesungguhnya aku tak banyak belajar seperti yang lain. Tapi sekarang ini memang aku belajar sungguh, mengejar ketinggalan.
Bendi dan kusirnya sekaligus telah dikhususkan oleh Mama untuk kepentinganku. Tak peduli siang atau malam. Dan dengan kendaraan itu setiap berangkat sekolah aku ambil May Marais, kuturunkan di sekolahnya di Simpang.
Semua sudah berubah. Terutama diriku sendiri. Sekarang aku merasa lebih berharga di tengah lalulintas Surabaya di atas bendiku yang mewah. Teman-teman sekolahku kelihatan juga berubah. Artinya: agak dan mungkin memang menjauhi aku. Aku anggap saja itu sebagai tanda penghormatan pada seorang yang telah merebut peningkatan nilai. Mungkin aku keliru menaksir diriku, maka harus kuanggap sebagai penilaian sementara. Nampaknya guru-guruku, dengan adanya bendi mewah itu, lebih banyak memperlakukan diriku sebagai orang tak dikenal dan sama derajat. Ini pun dugaan sementara.
Aku rasai diriku bukan Minke yang dulu. Badan tetap, isi dan pengelihatan lain. Tak lagi aku suka bercanda. Merasa diri
lebih berbobot, lebih banyak bertimbang, sebaliknya teman-teman sekolah tetap kekanak-kanakan. Diri ini sekarang segan mengapung pada permukaan. Maunya terus juga tenggelam pada dasar persoalan dalam setiap percakapan dan perbincangan.
Lihat saja. Robert Suurhof tetap tak mau mendekati aku. IA selalu menyingkir bila berpapasan. Dan gadis-gadis teman sekolah juga menvingkiri. seperti aku sumber sampar.
Beberapa kali Tuan Direktur Sekolah memanggil aku untuk mendapatkan penegasan adakah benar aku belum kawin, karena seorang murid yang telah kawin harus meninggalkan sekolah. Aku menduga tak lain dari Suurhof yang telah mengadu. Tak bisa lain. Hanya dia yang tahu asal-muasal perkara ini. Lama-kelamaan kuketahui juga. dugaanku tidak meleset. Ia telah menyebarkan omong-kosong, menghasut teman-teman sekolah dengan maksud agar menjauhi aku. (Jadi penilaianku tentang diri sendiri ternyata keliru!) Maka: pandang yang terarah padaku menjadi pandang orang-orang yang belum kukenal rasanya.
Semua berubah. Kini kelilingku di sekolah bukan lagi kecerahan. Sebaliknya: kesunyian yang memanggil-manggil renungan.
Satu-satunya guru yang tidak berubah tetap Juffrouw Magda Peters, guru bahasa dan sastra Belanda. Ia tetap masih tidak bersuami. Pada seluruh kulitnya yang tidak tertutup kelihatan totol-totol coklat. Matanya yang coklatbening selalu kelap-kelip. Pada mula mengenal permunculannya ia dapat menimbulkan tawa. Ia mengesankan diri seakan seekor monyet putih betina yang bertampang kagetan. Tapi begitu mendengar pelajarannya yang pertama semua jadi terdiam. Kesan monyet putih betina hilang. Totol kulitnya lenyap. Perasaan hormat menggantikan. Dan inilah kata-katanya waktu untuk pertama kali turun dari Nederland memasuki ruangan kias:
"Selamat siang, para siswa H.B.S. Surabaya. Namaku Magda Peters, guru baru kalian untuk bahasa dan sastra Belanda. Acungkan tangan barangsiapa tidak suka pada sastra."
Hampir semua mengacungkan tangan. Malah ada yang sengaja berdiri untuk menyatakan antipati.
"Bagus. Terimakasih. Duduklah yang tertib. Suatu masyarakat paling primitif pun, misalnya di jantung Afrika sana, tak pernah duduk di bangku sekolah, tak pernah melihat kitab dalam hidupnya, tak kenal baca-tulis, masih dapat mencintai sastra, walau sastra lisan. Apa tidak hebat kalau siswa H.B.S., paling tidak nyaris sepuluh tahun duduk di bangku sekolah, bisa tidak suka pada sastra dan bahasa " Ya, sungguh hebat."
Tak ada yang tertawa dan mentertawakan. Sunyi-senyap. "Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai. Sebagian terbesar dari kalian belum pernah melihat Nederland. Aku dilahirkan dan dibesarkan disana. Jadi aku tahu, setiap orang Belanda mencintai dan membacai karyasastra Belanda. Orang mencintai dan menghormati karyatulis van Gogh, Rembrandt, para pelukis besar kita dan dunia. Mereka yang tidak mencintai dan menghormati dan tidak belajar mencintai dan menghormati dianggap sebagai Belanda yang kurang adab. Lukisan adalah sastra dalam warna-warni. Sastra adalah lukisan dalam bahasa. Siapa tidak mengerti mengacung."
Untuk tidak dianggap sebagai Belanda kurang adab sejak itu orang merasa harus memperhatikan setiap ucapannya. Dia telah menggenggam para murid itu dalam tangannya.
Dan sikap Juffrouw Magda Peters tidak berubah terhadap diriku. Pasti ia telah menangkap juga sassus Robert Suurhof.

Pada umumnya ia yang membuka diskusi-sekolah pada hampir setiap Sabtu sore. Ia lakukan bukan saja dengan senanghati, juga bersemangat. Setiap siswa boleh mengemukakan persoalan apa saja, umum, pribadi, berita setempat dan internasional sebagai pokok. Bila pokok dari murid tidak ada baru guru membuka pokoknya sendiri. Mereka yang tidak berminat boleh tidak hadir. Nyatanya, bila Magda Peters yang memimpin sebagian terbesar siswa dari semua kias tak ingin melewatkan, sehingga harus diadakan di aula dan semua duduk di lantai. Hanya murid pembicara yang berdiri. Para guru yang hadir juga duduk di lantai. Sebagai guru yang memimpin orang juga berdiri. Pada kesempatan demikian nampak bahwa seluruh tubuh Magda Peters memang bertotol.
Untuk dapat mencocokkan keadaan dan sikapku dengan lingkunganku, benar atau tidak anggapanku tentang diri sendiri dan kelilingku, patut kiranya kudepankan pengalamanku dalam diskusi-sekolah ini:
Aku ajukan pertanyaan tentang teori assosiasi Doktor Snouck Hurgronje. Magda Peters meneruskannya pada para siswa. Tak seorang pun tahu. Ia menoleh sopan pada para guru. Tak ada yang bergerak menanggapi. Kemudian ia sendiri bicara: "Juga aku sendiri tak tahu betul. Boleh jadi itu satu pokok "yang disarankan dalam kehidupan politik kolonial. Tahukah para siswa apa politik kolonial ?" Tak berjawab. "Itulah stelsel atau tatakuasa untuk mengukuhi kekuasaan atas negeri dan hanesabangsa jajahan. Seorang yang menyetujui stelsel itu adalah orang kolonial. Bukan saja menyetujui, juga membenarkan, melaksanakan dan membelanya. Termasuk di dalamnya adalah juga mereka yang bertujuan, bercita-cita, bermaksud, berterimakasih pada stelsel kolonial. Soal pokok di dalamnya adalah masalah penghidupan. Para siswa, semua ini sebenarnya belum perlu menjadi perhatian. Untuk itu para siswa masih terlalu muda. Sekiranya hal itu dituangkan dalam karyasastra pasti akan lebih menarik, seperti telah beberapa kali para siswa diperkenalkan pada karya Multatuli. Coba, Minke, kau yang menerangkan apa itu dan bagaimana teori assosiasi Doktor Snouck Horgronjc."
Kuterangkan sekedarnya tentang apa yang pernah kudengar dan tanggapanku sendiri atas cerita Miriam de la Croix.
"Stop!" kata Magda Peters. "Pokok seperti itu belum boleh dihadapkan di depan sekolah H.B.S. Terserah kalau di luar sekolah. Itu adalah urusan Sri Ratu, Pemerintah Nederland, Gubernur Jendral dan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Sebaiknya kalau ada keinginan para siswa mencari sendiri di luar sekolah. Karena para siswa tak ada yang punya pokok, aku akan ajukan pokokku sendiri. "Baru-baru ini aku temukan sebuah tulisan tentang kehidupan di Hindia. Terlalu sedikit orang menulis tentang ini. Karena itu justru menarik perhatianku. Boleh jadi penulisnya seorang Indo-Eropa. Barangkali, kataku. Ada di antara para siswa pernah membacanya " Judulnya: UU het sehoone Leven van een mooie Boerin . Pengarangnya bernama: Max Tollenaar."


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar