Jumat, 18 November 2022

BUMI MANUSIA KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER #2/27


Kecurigaan tiba-tiba hilang sirna. Suasana baru menggantikan: di depan kami berdiri seorang gadis berkulit putih, halus, berwajah Eropa, berambut dan bermata Pribumi. Dan mata itu, mata berkilauan itu seperti sepasang kejora; dan bibirnya tersenyum meruntuhkan iman. Kalau gadis ini yang dimaksudkan Suurhof, dia benar: bukan saja menandingi malah mengatasi Sri Ratu. Hidup, dari darah dan daging; bukan sekedar gambar.
"Annelies Mellema," ia mengulurkan tangan padaku, kemudian pada Suurhof. Suara yang keluar dari bibirnya begitu mengesani, tak mungkin dapat kulupakan seumur hidup.
Kami berempat duduk di sitje rotan. Robert Suurhof dan Robert Mellema segera terlibat dalam percakapan tentang sepak-bola, pertandingan besar yang pernah mereka saksikan di Surabaya. Aku merasa kikuk untuk mencampuri. Tak pernah aku suka pada sepak bola. Mataku mulai menggerayangi ruangtamu yang luas itu; perabot, langit-langit, kandil-kandil kridai yang bergelantungan, lampu-lampu gas gantung dengan kawat penyalur dari tembaga entah di mana sentralnya potret Sri Ratu Emma yang telah turun tahta terpasang pada pigura kayu berat. Dan untuk ke sekian kali pandang ini berhenti pada wajah Annelies juga. Sebagai penjual perabot rumahtangga, sekali caup sudah dapat aku menentukan, barang-barang itu mahal belaka, dikerjakan oleh para tukang yang mahir. Permadani di bawah sitje bergambarkan motif yang tak pernah kutemui. Mungkin pesanan khusus. Lantainya terbuat dari parket, tegel kayu, yang mengkilat oleh semir kayu.
"Mengapa diam saja ?" tegur Annelies dengan suara manis dalam Belanda pergaulan. Sekali lagi kutatap wajahnya. Hampir-hampir aku tak berani menentang matanya. Tiadakah dia jijik padaku, sudah tanpa nama keluarga dan Pribumi pula " Aku hanya bisa menjawab ue-ngan senyum senyum manis tentu dan sekali lagi melepas pandang pada perabot. 
Dan:
"Semua serba bagus di sini. "Suka kau di sini "
"Suka sekali," dan sekali lagi kupandangi dia.
Sesungguhnya: kecantikannya memang memukau. Di tengah-tengah kemewahan ini ia nampak agung, merupakan bagian yang mengatasi segala yang indah dan mewah. "Mengapa kau sembunyikan nama-keluargamu?" tanyanya.
"Tak ada kusembunyikan," jawabku, dan mulai gelisah lagi. "Apa perlu benar kusebutkan ?" aku lirik Robert Suurhof. Ia tidak tertikam oleh lirikanku. Ia sedang asyik tenggelam dalam sepakbolanya dengan Robert Mellema. Sebelum aku tarik lirikanku mendadak ialah yang justru melepaskan lirikannya.
"Tentu," sambut Annelies. "Nanti disangka kau tak diaku oleh ayahmu." "Aku tak punya. Betul-betul tak punya," jawabku nekad.
"Oh!" serunya pelan. "Maafkan aku." Ia terdiam sejenak. Tak punya pun baik," katanya kemudian.
"Aku bukan Indo," tambahku dengan nada membela diri. "Oh sekai lagi ia berseru. "Bukan.
Rasanya ada gendang bermain dalam jantungku. Dia sudah tahu aku bukan Indo, pengusiran setiap saat bisa terjadi.
Tanpa melihat dapat aku rasai lirikan Robett Sourhof sedang menaksir-naksir bagian tubuhku yang tak tertutup Ya. Seperti gagak sedang menaksir calon bangkai. Waktu aku mengangkat pandanganku ku lihat Robert Mellema menikam Annelies dengan pandangannya. Dan pada waktu itu beralih padaku bibirnya menjadi garis lurus tipis.
Astaga, mau jadi apa aku ini "
Haruskah aku terusir seperti anjing dari rumah yang serba mewah ini, di bawah derai tawa Robert Suurhof " Tak pernah aku merasa secemas sekarang. Lirikan Suurhof menikam batang leherku. Pandang pemuda Mellema padaku masih belum ditarik, bahkan berkedip pun ia tidak.
Annelies menatap Robert Suurhof, kemudian pada abangnya, kemudian kembali padaku. Sejenak penglihatanku kabur. Yang nampak hanya gaun panjang putih Annelies, tanpa wajah, tanpa anggota badan. Dan gaun itu tidak berlengan, berkilauan pada setiap gerak.
Sekarang aku semakin mengerti: memang sudah jadi maksudnya untuk menghinakan aku di rumah orang. Dan sekarang aku hanya dapat menunggu meledaknya pengusiran. Sebentar lagi si Darsam pendekar akan dipanggil, disuruh lemparkan aku ke jalan raya.
Jantung menggila ini terasa mendadak tak lagi berdenyut mendengar lengking tawa Annelies. Lambat-lambat kunaikkan pandang padanya. Giginya gemerlapan, nampak, lebih indah dari semua mutiara yang tak pernah kulihat. Ahoi, philogynik, dalam keadaan begini pun kau masih sempat mengagumi dan memuja kecantikan. "Mengapa pucat?" tanya Annelies seperti sedang memberi ampun. "Pribumi juga baik," katanya masih tertawa.
Pandang Robert Mellema sekarang tertuju pada adiknya, dan Annelies menantangnya dengan pandang terbuka. Sang abang menghindari. Permainan sandiwara apakah semua ini " Robert Suurhof tak bicara sesuatu. Robert Mellema juga tidak. Apakah dua pemuda itu sedang bermasa mata memaksa aku untuk minta maaf " Hanya karena aku tak punya nama keluarga dan Pribumi pula " Puh! mengapa aku harus melakukannya " Tidak!
"Pribumi juga baik," ulang Annelies bersungguh.
"Ibuku juga Pribumi Pribumi Jawa. Kau tamuku, Minke," suaranya mengandung nada memerintah.
Baru aku menghembuskan nafas lega. "Terimakasih."
"Nampaknya kau tak suka pada sepakbola. Aku pun tidak. Mari duduk di tempat lain," ia berdiri menyilakan. mengulurkan tangan dengan manjanya minta digandeng.
Aku berdiri, mengangguk minta maaf pada abangnya dan Suurhof. Mereka ikuti kami dengan pandang. Annelies menoleh dan meninggalkan senyum maaf pada tamu yang ditinggalkannya.
Ruang tamu luas itu kami lintasi. Terasa olehku, langkahku tidak tetap. Pandang dua pemuda itu terasa menusuk punggungku. Kami memasuki ruang-belakang yang lebih mewah lagi.
Juga di sini dinding seluruhnya terbuat dari kayu jati yang dipolitur coklatmuda. Di pojokan berdiri seperangkat mejama-kan dengan enam kursi. Di dekatnya terdapat tangga naik ke loteng. Kenap bertugur di tiga pojok lainnya. Di atasnya berdiri jambang bunga dari tembikar bikinan Eropa. Bunga-bungaan bersembulan dari dalamnya dalam karangan yang serasi.
Annclies mengikuti pandangku, berkata: "Aku sendiri yang merangkai."
"Siapa gurunya "Mama, Mama sendiri." "Bagus sekali.
Melihat mataku terpancang pada lemari pajangan ia bawa aku kesana. Lemari itu berdiri pada dinding  di tentang meja makan. Di dalamnya terpajang benda-benda seni tak pernah kulihat sebelumnya.
"Tak ada kubawa kuncinya," kata Annelies. "Itu yang paling kusukai," ia menuding pada patung kecil dari perunggu-."Kata Mama, itu Fir'aun Mesir," ia berpikir sejenak. "Kalau tak salah namanya Nefertiti, seorang putri yang sangat cantik." Apa pun nama patung itu aku heran juga seorang Pribumi, gundik pula, tahu nama seorang Fir'aun.
Di dalamnya terdapat juga patung Erlangga ukiran Bali, duduk di atas punggung garuda. Berbeda dari yang lain-lain patung ini tidak terbuat dari kayu sawoh, tapi sejenis kayu yang aku tak pernah tahu.
Pada papan pertama terdapat deretan topeng kecil-kecil dari gerabah bergambarkan aneka muka binatang.
"Itu topeng-topeng cerita Sie Jin Kuie," ia menerangkan. "Pernah dengar ceritanya ?" "Belum."
"Suatu kali akan aku ceritai. Mau kau kiranya?
Pertanyaan itu terdengar ramah dan semanak, menenggelamkan seluruh kemewahan dan perbedaan yang ada.
"Dengan senang hati."
"Kalau begitu kau tentu suka datang lagi kemari." "Suatu kehormatan."
Tak ada kulit kerang besar pada.kaki kenap seperti halnya di gedung-gedung kebupatian yang pernah kulihat. Sebuah pho-nograf terletak di atas meja pendek beroda kecil pada empat kakinya. Bagian bawah phonograf dipergunakan untuk tempat
tabung musik. Meja itu sendiri berukir berlebihan dan nam-pak-nya barang pesanan. Semua indah . Dan yang terindah tetap Annelies.
"Mengapa kau diam saja ?" tanyanya lagi. "Kau bersekolah ?" "Kawan sekelas Robert Suurhof."
"Rupa-rupanya abangku bangga punya teman dia, seorang murid H.B.S. kaulah itu. "Tiba-tiba ia menengok ke pintu belakang dan berseru: "Mama! Sini! Mama, ada tamu."
Dan segera kemudian muncul seorang wanita Pribumi, berkain, berkebaya putih dihiasi renda-renda mahal, mungkin bikinan Naarden seperti diajarkan di E.L.S. dulu. Ia mengenakan kasut beledu hitam bersulam benang perak. Permunculannya begitu mengesani karena dandanannya yang rapi, wajahnya yang jernih, senyumnya yang keibuan, dan riasnya yang terlalu sederhana. Ia kelihatan manis dan muda, berkulit langsat. Dan yang mengagetkan aku adalah Belandanya yang baik, dengan tekanan sekolah yang benar.
"Ya, Annelies, siapa tamumu ?"
"Ini, Mama, Minke namanya. Pribumi Jawa, Mama."
Ia berjalan menghampiri aku dengan sederhananya. Dan inilah rupanya Nyai Ontosoroh yang banyak dibicarakan orang, buahbibir penduduk Wonokromo dan Surabaya, Nyai penguasa Boerderij Buitenzorg.
"Pelajar H.B.S., Mama."
"O-ya " betul itu ?" tanya Nyai padaku.
Dan aku ragu. Haruskah aku ulurkan tangan seperti pada wanita Eropa, atau aku hadapi dia seperti wanita Pribumi jadi aku harus tidak peduli " Tapi dialah justru yang mengulurkan tangan. Aku terheran-heran dan kikuk menerima jabatannya. Ini bukan adat Pribumi; Eropa! Kalau begini caranya tentu aku akan mengulurkan tangan lebih dahulu.
"Tamu Annelies juga tamuku," katanya dalam Belanda yang fasih. "Bagaimana aku harus panggil " Tuan " Sinyo " Tapi bukan Indo...."
"Bukan Indo,.....apa aku harus panggil dia " Nyai atau Mevrouw " "Betul pelajar H.B.S. ?" tanyanya, tersenyum ramah. "Betul,......"
"Orang memanggil aku Nyai Ontosoroh. Mereka tidak bisa menyebut Buitenzorg. Nampaknya Sinyo ragu menyebut aku demikian. Semua memanggil begitu. Jangan segan."
Aku tak menjawab. Dan nampaknya ia memaafkan kekikukanku. "Kalau Sinyo pelajar H.B.S. tentu Sinyo putra bupati. Bupati mana itu, Nyo ?" "Tidak, eh, eh...."
"Begitu segannya Sinyo menyebut aku. Kalau ragu tak menghinakan diri Sinyo, panggil saja Mama, seperti Annelies juga."
"Ya, Minke," gadis itu memperkuat. "Mama benar. Panggil saja Mama." "Bukan putra bupati mana pun. Mama," dan dengan memulai sebutan baru itu, kekikukanku, perbedaan antara diriku dengannya, bahkan juga keasingannya, mendadak lenyap.
"Kalau begitu te'ntu putra patih," Nyai Ontosoroh meneruskan. Ia masih berdiri di hadapanku. "Silakan duduk. Mengapa berdiri saja ?"
"Putra patih pun bukan. Mama.,"
"Terserahlah. Setidak-tidaknya senang juga ada teman Annelies datang berkunjung. Hei, Ann, yang tienar layani tamumu."
"Tentu, Mama," jawabnya riang seakan mendapat restu.
Nyai Ontosoroh pergi lagi melalui pintu belakang. Aku masih terpesona melihat seorang wanita Pribumi bukan saja bicara Belanda begitu baik, lebih karena tidak mempunyai suatu kom-plex terhadap tamu pria. Di mana lagi bisa ditemukan wanita semacam dia " Ape sekolahnya dulu " Dan mengapa hanya seorang nyai, seorang gundik " Siapa pula yang telah mendidiknya jadi begitu bebas seperti wanita Eropa " Keangkeran istana kayu ini berubah menjadi makgai teka-teki bagiku. "Aku senang ada tamu untukku," Annelies semakin riang mengetahui ibunya tidak berkeberatan. "Tak ada yang pernah mengunjungi aku. Orang takut datang kemari. Juga teman-teman sekolahku dulu."
"Apa sekolahmu dulu ?"
"E.L.S., tidak tamat, belum lagi kelas empat." "Mengapa tak diteruskan ?"
Annelies menggigit jari, memandangi aku:
"Ada kecelakaan," jawabnya tak meneruskan. Tiba-tiba ia bertanya: Kau IsLAm ?" "Mengapa ?"
"Supaya tak termakan babi olehmu." "Terimakasih. Ya."
Seorang pelayan wanita menghidangkan susucoklat dan kue. Dan pelayan itu tidak datang merangkak-rangkak seperti pada majikan Pribumi. Malah dia melihat padaku seperti menyatakan keheranan. Tak mungkin yang demikian terjadi pada majikan Pribumi: dia harus menunduk, menunduk terus. Dan alangkah indah kehidupan tanpa merangkak-rangkak di hadapan orang lain.
"Tamuku Islam," kata Annelies dalam Jawa pada pelayannya. "Katakan di belakang sana, jangan sampai tercampur babi." Kemudian dengan cepatnya ia berpaling padaku dan bertanya, "Mengapa kau masih juga diam saja ?" "Mengagumi rumah ini," kataku, "serba indah." "Betul-betul senang kau di sini ?"
"Tentu, tentu saja."
"Kau tadi pucat. Mengapa ?"
Keramahannya cukup mempesonakan dan memberanikan.
"Karena tak pernah menyangka akan bisa berhadapan dengan seorang dewi secantik ini."
Ia terdiam dan menatap aku dengan mata-kejoranya. Aku menyesal telah mengucapkannya. Ragu dan pelahan ia bertanya:
"Siapa kau maksudkan dewi itu ?"
"Kau," desauku, juga ragu.
Ia meneleng. Airmukanya berubah. Matanya membeliak. "Aku " Kau katakan aku cantik ?"
Aku menjadi berani lagi, menegaskan: "Tanpa tandingan."
"Mama!,, pekik Annelies dan menoleh ke pintu belakang. Celaka! pekikku mengimbangidalam hati saja tentu.
Gadis itu pergi ke pintu belakang. Dia akan mengadu pada Nyai. Anak sinting! tak sebanding dengan kecantikannya. Dan dia akan mengadu: aku telah berbuat kurangajar. Memang rumah celaka ini! Tidak, tidak, bukan kecelakaan. Kalau terjadi sesuatu, itu hanya akibat perbuatan sendiri.
Nyai muncul di pintu. Annelies menggandengnya. Berdua mereka berjalan ke arahku.
Jantungku kembali berdebaran kencang. Barangkali aku memang telah bersalah. Hukumlah si-lancang-mulut ini, asal jangan permalukan aku di hadapan Robert Suurhof.
"Ada apa lagi, Ann " Apa dia mengajak bertengkar, Nyo ?"
"Tidak, tidak bertengkar," sambar gadis itu, kemudian menghadu dengan manjanya, "Mama," tangannya menunjuk padaku. "Coba, Mama, masa Minke bilang aku cantik ?"
Nyai menatap aku. Kepalanya agak meneleng. Kemudian memandangi anaknya. Berkata ia dengan suara rendah sambil meletakkan dua belah tangan pada bahu Annelies:
"Kan aku sudah sering bilang, kau memang cantik " Dan cantik luarbiasa " Kau memang cantik, Ann. Sinyo tidak keliru."
"Oh, Mama!" Annelies berseru sambil mencubit ibunya. Wajahnya kemerahan dan matanya memandangi aku, berkilau berkinar-binar. Dan terbebaslah aku dari kekuatiran.
Sekarang Nyai duduk di kursi sampingku. Berkata cepat:
"Karena itu aku senang kau datang, Nyo. Kan nama Sinyo Minke " Dia tak pernah bergaul wajar seperti anak-anak Indo lain. Dia tidak menjadi Indo, Nyo.". "Aku bukan Indo," bantah si gadis." Tak mau jadi Indo. Aku mau hanya seperti Mama."
Aku semakin heran. Apa yang hidup dalam keluarga ini "
"Nah, Nyo, kau dengar sendiri: dia lebih suka jadi Pribumi. Mengapa Sinyo diam saja " Tersinggung barangkali kusebut hanya dengan kau dan Sinyo " Tanpa gelar ?" "Tidak, Mama, tidak," jawabku gopoh.
"Kau kelihatan bingung."
Siapa pula tidak bingung dalam keadaan seperti ini " Bahkan dia sendiri. Nyai Ontosoroh, menampilkan diri di hadapanku seakan seorang yang sudah kenal begitu lama dan baik tapi aku terlupa siapa seorang wanita yang seakan pemah melahirkan aku dan lebih dekat padaku daripada Bunda, sekali pun nampak lebih muda.
Aku tunggu-tunggu .meledaknya kemarahan Nyai karena puji-pujian itu. Tapi ia tidak marah. Terdengar peringatan pada kuping batinku: awas, jangan samakan dia dengan Bunda. Dia hanya seorang nyai-nyai, tidak mengenal perkawinan syah, melahirkan anak-anak tidak syah, sejenis manusia dengan kadar kesusilaan rendah, menjual kehormatan untuk kehidupan senang dan mewah.... Dan tak dapat aku katakan dia bodoh. Basa Belandanya cukup fasih, baik dan beradab; sikapnya pada anaknya halus, dan bijaksana, dan terbuka, tidak seperti ibu-ibu Pribumi; tingkahlakunya tak beda dengan wanita Eropa terpelajar. Ia seperti seorang guru dari aliran baru yang bijaksana itu. Beberapa orang guruku yang keranjingan kata modern sering mengedepankan contoh tentang manusia baru di jaman modern ini. Mungkinkah Nyai mereka masukkan ke dalam daftarnya "
"Itulah Ann," ia menambahi, "kau, tidak punya pergaulan, maunya di dekat Mama saja; sudah besar, tapi tetap seperti bocah cilik." Secepat kilat kata-katanya kemudian ditujukan padaku, "Nyo, kau biasa memuji-muji gadis ?"
Pertanyaan itu menyambar sebagai kilat. Melihat gelagat yang baik itu aku pun didorong untuk menangkis secara kilat dan baik-baik pula:
"Kalau gadis itu memang cantik, kan tiada buruk memuji-nya ?"  "Gadis Eropa atau Pribumi ?"
"Bagaimana gadis Pribumi bisa dipuji " Didekati saja pun sulit. Mama. Tentu saja gadis Eropa."
"Berani Sinyo lakukan itu ?"
"Kami diajar untuk secara jujur menyatakan perasaan hati kami." "Jadi kau berani memuji-muji kecantikan gadis Eropa di hadapan orangnya sendiri ?"
"Ya. Mama. guru kami mengajarkan adab Eropa." "Kalau dia kau puji. apa jawabannya " Makian ?"
"Tidak. Mama. Tak ada orang yang tidak suka pada pujian, kata guruku. Kalau orang merasa terhina karena dipuji, katanya pula, tandanya orang itu berhati culas." "Lantas bagimana jawab gadis Eropa itu ?"
"Jawabnya. Mama: terima-kasih." "Jadi seperti dalam buku-buku itu ?"
Dia membaca buku-buku Eropa, Nyai yang seorang ini!. "Benar. Mama. seperti dalam buku-buku cerita." "Nah. Ann. jawablah: te-ri-ma-ka-sih."
Seperti pada gadis Pribumi Annelies merah tersipu, ia tetap membisu. "Kalau gadis Indo bagaimana ?" tanya Nyai.
"Kalau mendapat didikan Eropa yang baik sama saja. Mama." "Kalau tidak
"Kalau tidak, apalagi sedang jengkel, kadang memaki." "Sering Sinyo kena maki ?"
Aku tahu sekarang, mukaku yang merah. Ia tersenyum, berpaling pada anaknya: "Kau dengar sendiri itu, Ann. Ayoh. katakan terimakasih-mu. Hmm. nanti dulu. Begini, Nyo, coba ulangi lagi puji-pujianmu, biar aku ikut dengar." Sekarang aku jadi malu terpental-pental. Manusia apa yang aku hadapi ini " Terasa benar ia pandai menawan dan menggenggam aku dalam tangannya. "Tidak boleh dengar V tanyanya kemudian melihat pada wajahku. "Baiklah." Ia pergi menyingkir. Aku dan Annelies mengawasinya sampai ia hilang di balik pintu. Dan berpandang-pandangan kami seperti dua orang bocah yang sama-sama kaget. Aku meledak dalam tawa lepas. Ia menggigit bibir dan melengos. Keluarga macam apa ini " Robert Mellema dengan lirikan nya yang seram menusuk. Annelies Mellema yang kekanak-kanakan. Nyai Ontosoroh yang pandai menawan dan menggeng gam hati orang, sehingga aku pun kehilangan pertimbangan bahwa ia hanyalah seorang gundik. Bagaimana pula Tuan Her man Mellema, pemilik seluruh kekayaan melimpah ini "
"Mana ayahmu ?" tanyaku menyingkiri percakapan sambungan sebelumnya. Annelies mengerutkan kening.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar