Sabtu, 19 November 2022

BUMI MANUSIA KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER #7/27

 


Annelies melirik padaku lagi dan mukanya mcrahpadam. Nyai tersenyum bahagia. Kemudian menatap aku, berkata:
"Begitulah, Nyo, dia itu seperti bocah kecil. Sedang kau sendiri, Nyo, apa katamu sekarang setelah di dekat Annelies ?"
Sekarang giliranku tersipu tak bisa bicara. Dan barang tentu aku takkan mungkin berseru ah-Mama seperti Annelies. Perempuan ini memang berpikiran cepat dan tajam, langsung dapat menggagapi hati orang, seakan ia dengan mudah dapat mengetahui apa yang hidup dalam dada. Barangkali di situ letak kekuatannya yang mencekam orang dalam genggamannya, dan mampu pula mensihir orang dari kejauhan. Apalagi dari dekat.
"Mengapa kalian berdua pada diam seperti sepasang anak kucing kehujanan ?" ia tertawa senang pada perbandingannya sendiri;
Memang bukan nyai sembarang nyai. Dia hadapi aku, siswa H.B.S. tanpa merasa rendahdiri. Dia punya keberanian menyatakan pendapat. Dan dia sadar akan kekuatan pribadinya. J
Kami lewatkan malam itu dengan mendengarkan waltz Austria dari phonograf. Mama membaca sebuah buku. Buku apa aku tak tahu. Annelies duduk di dekatku tanpa bicara. Pikiranku justru melayang pada May Marais. Dia akan senang di sini, kiraku. Dia senang mendengarkan lagu-lagu Eropa. Tak ada phonograf di rumahnya, pun tidak di pemondokanku.
Mulailah aku ceritakan padanya tentang gadis cilik yang kehilangan ibunya. Dan nasib ibunya. Dan kebaikan hati Jean Marais. Dan kebijaksanaannya. Dan kesederhanaannya.
Nyai berhenti membaca, meletakkan buku di pangkuan dan ikut mendengarkan ceritaku. Phonograf dilayani seorang pelayan wanita.
Aku teruskan ceritaku tentang Jean Marais. Pada suatu kali ia dengar regunya mendapat perintah menyerbu sebuah kampung di Biang Kejeren. Mereka berangkat pagi-pagi dan sampai di kampung itu sekitar jam sembilan pagi. Dari jauh mereka telah menghamburkan peluru ke udara agar semua pelawan menyingkir, dan dengan demikian tidak perlu terjadi pertempuran. Mereka menembak-nembak lagi ke udara sambil berteduh di bawah pepohonan. Beberapa kemudian mereka berjalan lagi, siap memasuki kampung. Betul saja kampung itu telah kosong. Regunya masuk tanpa perlawanan. lak seorang pun dapat ditemukan. Seorang bayi pun tidak. Orang mulai memasuki rumah-rumah dan mengobrak-abrik apa saja yang bisa dirusak. Penduduk sudah begitu melaratnya selama lebih dua puluh tahun berperang. Tak ada didapatkan sesuatu untuk kenang-kenangan. Kopral Telinga telah memerintahkan membakar semua rumah, lepat pada waktu itu orang-orang Aceh nampak seperti rombongan semut, laki dan perempuan. Semua berpakaian hitam. Berseru-seru dalam berbagai macam nada memanggil-manggil Allah. Beberapa orang saja nampak berikat-pinggang selendang merah.
Di dalam kampung itu sendiri tiba-tiba muncul beberapa orang lelaki muda Aceh, menerjang. Mengamuk dengan parang. Entah dari mana datangnya. Senapan tak bisa dipergunakan lagi. Dan semut hitam di kejauhan itu makin mendekat juga. Regu Telinga kocar-kacir, sekali pun sebagian besar para pengamuk tewas. Sisanya melarikan diri. Dengan mengangkuti teman-teman sendiri yang terluka regu itu tergesa meninggalkan kampung. Jean Marais terjebak dalam ranjau bambu. Sebilah yang runcing telah menembusi kakinya.
Juga Telinga terkena ranjau, hanya kurang parah. Orang mencabut'bilah bambu dari kakinya, dan Jean pingsan. Mereka lari dan lari dan lari. Orang tak dapat menduga apa yang sedang dipersiapkan di luar rombongan semut yang mendatang itu. Orang Aceh pandai bermain muslihat. Bisa saja mendadak muncul pasukan pelawan baru. Hanya lari dan lari yang mereka bisa. Dan membawa kurban yang bisa dibawa. Para kurban dirawat di rumah sakit Kompeni. Lima belas hari kemudian ketahuan kaki Jean Marais terserang gangreen pada perbukuan lutut. Beberapa bulan yang lalu ia telah kehilangan kekasihnya, seTcarang ia kehilangan sebuah dari kakinya, dipotong di atas lutut.
'.'Bawalah anak itu kemari," kata Nyai. "Annelies akan suka sekali mendapatkan adik. Bukan, Ann " Oh, tidak, kau tidak membutuhkan adik, kau sudah mendapatkan Minke."
"Ah, Mama ini!" serunya malu.
Dan aku sendiri tidak kurang dari itu. Tak ada peluang lain. Sudah kucoba bangunkan diri.sebagai pria berpribadi dan utuh di hadapan wanita luarbiasa ini. Tak urung setiap kali ia bicara usahaku gagal. Kepribadianku terlindungi oleh bayang-bayangnya. Memang aku tahu: yang demikian tak boleh berlarut terus. "Mama, ijinkan aku bertanya," begitu usahaku untuk keluar dari bayang-bayangnya, "lulus sekolah apa Mama dulu ?"
"Sekolah ia menelengkan kepala seperti sedang mengintai langit, menjernihkan ingatan. "Seingatku belum pernah
"Mana mungkin " Mama bicara, membaca, mungkin juga menulis Belanda. Mana bisa tanpa sekolah.
"Apa salahnya " Hidup bisa memberikan segala pada barang siapa tahu dan pandai menerima."
Sungguh aku terperanjat mendengar jawaban itu. Tak pernah itu dikatakan oleh setiap orang di antara guru-guruku.
Maka malam itu aku sulit dapat tidur. Pikiranku bekerja keras memahami' wanita luarbiasa ini. Orang luar sebagian memandangnya dengan mata sebelah karena ia hanya seorang nyai, seorang gundik. Atau orang menghormati hanya karena kekayaannya. Aku melihatnya dari segi lain lagi: dan segala apa yang ia mampu kerjakan, dari segala apa yang ia bicarakan Aku benarkan peringatan Jean Marais: harus adil sudah sejak dalam pikiran, jangan ikut-ikutan jadi hakim tentang perkara yang tidak diketahui benar-tidaknya.
Memang ada sangat banyak wanita hebat. Hanya saja baru Nyai Ontosoroh yang pernah kutemui. Menurut cerita Jean Marais wanita Aceh sudah terbiasa turun ke medan-perang melawan Kompeni. Dan rela berguguran di samping pria. Juga di Bali. Di tempat kelahiranku sendiri wanita petani bekerja bahu-membahu dengan kaum pria di sawah dan ladang. Namun semua itu tidak seperti Mama dia tahu lebih daripada hanya kampung-halaman sendiri.
Dan semua teman sekolah tahu ada juga seorang wanita Pribumi yang hebat, seorang dara, setahun lebih tua daripadaku. Ia putri Bupati J. wanita Pribumi pertama yang menulis dalam Belanda, diumumkan oleh majalah keilmuan di Betawi. Waktu tulisannya yang pertama diumumkan ia berumur 17. Menulis tidak dalam bahasa ibu sendiri! Setengah dari teman-temanku menyangkal kebenaran berita itu. Mana bisa ada Pribumi, dara pula, hanya lulusan E.L.S., bisa menulis, menyatakan pikiran secara Eropa, apalagi dimuat di majalah keilmuan " Tapi aku percaya dan harus percaya, sebagai tambahan keyakinan aku pun bisa lakukan apa yang ia bisa lakukan. Kan telah ku-buktikan aku juga bisa melakukan " Biar pun masih taraf coba-coba dan kecil-kecilan " Bahkan dialah yang merangsang aku untuk menulis. Dan didekatku kini ada wanita lebih tua. Dia tidak menulis, tapi ahli mencekam orang dalam genggamannya. Dan dia mengurus perusahaan besar secara Eropa! Dia menghadapi sulungnya sendiri, menguasai tuannya, Herman Mellema, bangunkan bungsunya untuk jadi calon administratur, Annelies Mellema dara cantik idaman semua pria.
Aku akan pelajari keluarga aneh dan seram ini. Dan bakal kutulis.

5. TAK DAPAT AKU MENAHAN KECUCUKANKU. UNTUK mengetahui siapa sebenarnya Nyai Ontosoroh yang hebat ini. Beberapa bulan kemudian baru kuketahui dari cerita lisan Annelies tentang ibunya. Setelah kususun kembali cerita itu jadi begini:
Kau tentu masih ingat pada kunjunganmu yang pertama, Mas. Siapa pula bisa melupakan " Aku pun tidak. Seumur hidup pun tidak. Kau gemetar mencium aku di depan Mama. Aku pun gemetar. Kalau tiada diseret oleh Mama aku masih terpukau pada anak-tangga. Kemudian bendi merenggut kau dari padaku.
Ciumanmu terasa panas pada pipiku. Aku lari ke kamar dan kuperiksa mukaku pada kaca cermin. Tiada sesuatu yang berubah. Makan kita malam itu tak bersambal, hanya sedikit lada. Mengapa begini panas " Kugosok dan kuhapus. Masih juga panas. Kemana pun mata kulayangkan selalu juga tertumbuk pada matamu. Sudah gilakah aku " Mengapa kau juga yang selalu nampak, Mas " dan mengapa aku senang di dekatmu, dan merasa sunyi dan menderita jauh daripadamu " Mengapa tiba-tiba merasa kehilangan sesuatu setelah kepergianmu "
Aku berganti Pakaian-tidur dan memadamkan lilin, masuk keranjang. Kegelapan justru semakin memperjelas wajahmu, aku ingin menggandengmu seperti siang tadi. Tapi tanganmutidak ada. Kumiringkan badan kekiri dan kekanan , tidak juga mau tdur. Tidak juga mau tidur.
Berjam-jam. Dalam dadaku terasa ada sepasang tangan yang jari-jarinya menggelitik memaksa aku berbuat sesuatu.
Berbuat apa " Aku sendiri tak tahu. Kulemparkan selimut dan guling. Kutinggalkan kamar.
Tanpa sadarku panas pada pipi itu terasa tiada lagi.
Aku menyerbu ke kamar Mama tanpa mengetuk pintu seperti biasa ia belum tidur. Ia sedang duduk pada meja membaca buku. Ia berpaling padaku sambil menutup buku, dan sekilas terbaca olehku berjudul Nyai Dasima.
"Buku apa, Ma "i
Ia masukkan benda itu ke dalam laci. "Mengapa belum juga tidur ?" "Malam ini ingin tidur sama Mama."
"Perawan sebesar ini masih mau tidur sama biang . "Ma, ijinkanlah."
"Sana, naik dulu!"
Aku naik dulu ke ranjang. Mama turun untuk memeriksai pintu dan jendela. Kemudian naik lagi, mengunci pintu kamar menurunkan klambu, memadamkan lilin. Gelap-gelita di dalam kamar.
Di dekatnya aku merasa agak tenang dengan harap cemas menunggu kata-katanya tentang kau, Mas.
"Ya, Annelies," ia memulai, "mengapa takut tidur sendirian " kau yang sudah sebesar ini ?"
"Mama, pernah Mama berbahagia ?"
"Biar pun pendek dan sedikit setiap orang pernah" Ann." "Berbahagia juga Mama sekarang ?"
"Yang sekarang ini aku tak tahu. Yang ada hanya kekuatir-an, hanya ada satu keinginan. Tak ada sangkut-paut dengan kebahagiaan yang kau tanyakan. Apa peduli diri ini berbahagia atau tidak " Kau yang kukuatirkan. Aku ingin lihat kau berbahagia ....."
Aku menjadi begitu terharu mendengarkan itu. Aku peluk Mama dan aku cium dalam kegelapan itu. Ia selalu begitu baik padaku. Rasa-rasanya takkan ada.orang lebih baik.
"Kau sayang pada Mama, Ann ?"
Pertanyaanuntuk pertama kali ftu diucapkan, membikin aku berkaca-kaca, Mas. Nampaknya saja ia selalu keras.
"Ya, Mama ingin melihat kau berbahagia untuk selama-lamanya. Tidak mengalami kesakitan seperti aku dulu. Tak mengalami kesunyian seperti sekarang ini: tak punya teman,, tak punya kawan, apalagi sahabat. Mengapa tiba-tiba datang membawa kebahagiaan ?"
"Jangan tanyai aku, Ma, ceritalah."
Ann, Annelies, mungkin kau tak merasa, tapi memang aku didik kau secara keras untuk bisa bekerja, biar kelak tidak ha rus tergantung pada suami, kalau ya, mogamoga tidak kalau-kaiau suami itu semacam ayahmu itu." "
Aku tahu Mama telah kehilangan penghargaannya terhadan Papa. Aku dapat memahami sikapnya, maka tak perlu bertanya tentangnya. Yang kuharapkan memang bukan omongan tentang itu. Aku ingin mengetahui adakah ia pernah merasai apa yan" ku rasai sekarang.
Kapan Mama merasa sangat, sangat berbahagia ?" "Ada banyak tahun setelah aku ikut Tuan Mellema, ayahmu."
"Lantas, Ma ?"
"Kau masih ingat waktu kau kukeluarkan dari sekolah " Itulah akhir kebahagiaan itu. Kau sudah besar sekarang, sudah harus tahu memang. Harus tahu apa sebenarnya telah terjadi. Sudah beberapa minggu ini aku bermaksud menceritakan. Kesempatan tak kunjung tiba juga. Kau mengantuk . "Mendengarkan, Ma."
"Pernah Papamu bilang, dulu, waktu kau masih sangat, sangat kecil: seorang ibu harus menyampaikan pada anak-perempuannya semua yang dia harus ketahui ...... "Pada waktu itu ......."
"Betul, Ann, pada waktu itu segala dari Papamu aku hormati, aku ingat-ingat' aku jadikan pegangan. Kemudian ia berubah, berlawanan dengan yang pernah diajarkannya.
Ya, waktu ,tu mulai hilang kepercayaan dan hormatku padanya Ma, pandai Papa dulu, Ma ".
Bukan saja pandai, juga baik hati, Dia yang mengajari aku segala tentang pertanian, perusahaan, pemeliharaan hewan, pekerjaan kantor. Mula-mula diajari aku bahasa Melayu, kemudian membaca dan menulis dan bahasa Belanda, Papamu bukan hanya mengajar dengan sabar tetapi juga menguji semua yang telah diajarkannya. Kemudian diajarinya aku semua yang berurusan dengan Bank, ahli-ahli Hukum, aturan dagang. Semua yang sekarang mulai juga kuajarkan padamu. Mengapa papa bisa berubah begitu Ma".
Ada, Ann, ada sebabnya. Sesuatu telah terjadi, hanya sekali, kemudian dia kehilangan seluruh kebaikan, kepandaian, keterampilan, kecerdasannya. Rusak, Ann, binasa karena kejadian yang satu itu. Ia berubah menjadi orang lain, jadi binatang yang tak kenal anak dan isteri lagi.
"Kasihan, Papa."
"YaTak tahu diurus' ,ebih suka mengembara tak menentu.
Mama tak meneruskan ceritanya. Kisahnya seakan jadi peringatan terhadap hari depanku, Mas" Dunia menjadi semakin senyap. Yang kedengaran hanya nafas kami berdua. Sekiranya Mama tidak bertindak begitu keras terhadap Papa begitu berkali-kali diceritakan oleh Mama tak tahu aku apa yang terjadi atas diriku Mungkin jauh, jauh lebih buruk yang dapat kusangkakan.
"Tadinya terpikir olehku untuk membawanya ke rumahsakit jiwa. Ragu Ann. Pendapat orang tentang kau, Ann, bagaimana nanti " Kalau ayahmu ternyata memang gila dan oleh Hukum ditaruh onder curateele "  Seluruh perusahaan, kekayaan dan keluarga akan diatur seorang curator yang ditunjuk oleh Hukum Mamamu, hanya perempuan Pribumi, akan tidak mempunyai sesuatu hak atas semua, juga tidak dapat. berbuat sesuatu untuk anakku sendin, kau, Ann. Percuma saja akan jadinya kita berdua membanting tulang tanpa hari libur ini. Percuma 'aku telah lahirkan kau, karena Hukum tidak mengakui keibuanku, hanya karena aku Pribumi dan tidak dikawin secara syah. Kau mengerti ".
"Mama!" bisikku. Tak pernah kuduga begitu banyak kesulitan yang dihadapinya. "Bahkan ijin-kawinmu pun akan bukan dari aku datangnya, tapi dari curator itu - bukan sanak bukan semenda. Dengan membawa Papamu ke rumahsakit jiwa, dengan campurtangan pengadilan, umum akan tahu keadaan Papamu, umum akan.....kau, Ann, nasibmu nanti, Ann. Tidak!"
"Mengapa justru aku, Ma ?"
Kau tidak mengerti " Bagaimana kalau kau dikenal umum sebagai anak orang sinting " Bagaimana akan tingkaumu dan tingkahku di hadapan mereka ?" Aku sembunyikan kepalaku di bawah ketiaknya, seperti anak ayam. Tiada pernah aku sangka keadaanku bisa menjadi seburuk dan senista itu.
"Ayahmu bukan dari keturunannya menjadi begitu," kata Mama meyakinkan. "Dia menjadi begitu karena kecelakaan. Hanya orang mungkin akan menyamakan saja, dan kau bisa dianggap punya benih seperti itu juga." Aku menjadi kecut. "Itu sebabnya dia kubiarkan. Aku tahu dimana dia selama mi bersarang Cukuplah asal tidak diketahui umum.
Lambat-lambat persoalan pribadiku terdesak oleh belas-kasihanku pada Papa. "Biarlah, Ma, biar kuurus Papa.
"Dia tidak kenal kau."
"Tapi dia Papaku, Ma."
"Stt. Belas-kasihan hanya untuk yang tahu. Kaulah yang lebih memerlukannya anak orang semacam dia. Ann, kau harus mengerti: dia sudah berhenti sebagai manusia. Makin dekat kau dengannya, makin terancam hidupmu oleh kerusakan. Dia telah menjadi hewan yang tak tahu lagi baik daripada buruk. Tidak lagi bisa berjasa pada sesamanya. Sudah, jangan tanyakan lagi."
Kumatikan keinginanku untuk mengetahui lebih jauh. Bila Mama sudah bersungguh begitu tidak bijaksana untuk berulah.
Aku tak tahu ibu dan anak orang-orang lain. Kami berdua tak punya teman, tak punya sahabat. Hidup hanya sebagai majikan terhadap buruh dan sebagai taoke terhadap langganan, dikelilingi orang yang semata karena urusan perusahaan, membikin aku tak bisa membanding-banding. Bagaimana kaum Indo lainnya akupun tidak tahu. Mama bukan saja melarang aku bergaul, juga tidak menyediakan sisa waktu untuk memungkinkan. Mama adalah kebesaran dan kekuasaan satusatunya yang aku kenal.
"Kau harus mengerti, jangan lupakan seumur hidupmu, kita berdua ini yang berusaha sekuat daya agar tak ada orang tahu, kau anak seorang yang sudah rusak ingatan," Mama menutup persoalan.
Kami berdua diam untuk waktu agak lama. Aku tak tahu apa yang sedang dipikirkan atau bayangkan. Di dalam dadaku sendiri jari-jari itu mulai lagl menggelitik. Tiada tertahankan. Masih juga ia tidak mau bicara tentang kau MasAdakah dia setuju denganmu atau tidak Mas " atau kau dianggap sebagai unsur baru saja dalam perusahaan.
Kegelapan itu terasa tiadaYang ada hanya kau. Tak lain daripada kau!, maka aku harus hentikan ceritanya yang tidak menyenangkan itu, Jadi :
Mama ceritai aku bagaimana kau bertemu dan kemudian dan kemudian hidup bersama papa.
Ya itu harus kau ketahui Ann, hanya saja jangan sampai kau tergoncang. Kau anak manja dan berbahagia dibandingkan dengan mamamu ini pada umur yang lebih muda . Mari aku ceritai kau dan ingat-ingat selalu.
Dan mulailah ia bercerita:
Aku punya seorang abang: Paiman. Dia lahir pada hari pasaran Paing, maka dinamai dia dengan suku depan Pai. Aku tiga tahun lebih muda, dinamai: Sanikem. Ayahku bernama Sastrotomo setelah kawin. Kata para tetangga, nama itu berarti: Jurutulis yang utama
Kata orang, ayahku seorang yang rajin. Ia dihormati karena satu-satunya yang dapat baca-tulis di desa, baca tulis yang dipergunakan di kantor. Tapi ia tidak puas hanya jadi jurutulis. Ia impikan jabatan lebih tinggi, sekali pun jabatannya sudah cukup tinggi dan terhormat. Ia tak perlu lagi mencangkul atau meluku atau berkuli, bertanam atau berpanen tebu.
Ayahku mempunyai banyak adik dan saudara sepupu. Sebagai jurutulis masih banyak kesulitan padanya untuk memasukkan mereka bekerja di pabrik. Jabatan lebih tinggi akan lebih memudahkan, lagi pula akan semakin tinggi pada pandangan dunia. Apalagi ia ingin semua kerabatnya bisa bekerja di pabrik tidak sekedar jadi kuli dan bawahan paling rendah. Paling tidak mandorlah. Untuk membikin mereka jadi kuli tak perlu orang punya sanak jurutulis B semua orang bisa diterima jadi kuli kalau mandor setuju. Ia bekerja rajin dan semakin rajin. Lebih sepuluh tahun.
Jabatan dan pangkatnya tak juga naik. Memang gaji dan persen tahunan selalu naik. Jadi ditempuhnya segala jalan: dukunn, jampi, mantra, bertirakat memutih, berpuasa semn-kamis. tak juga berhasil. , ,
Jabatan yang diimpikannya adalah jurubayar: kassier, pemegang kas pabrikgula Tulangan, Sidoarjo. Dan siapa tidak berurutan dengan jurubayar pabrik " Paling sedikit mandortebu Mereka datang untuk menerima uang dan membubuhkan "p jempol. Ia bisa menahan upah mingguan kesatuan si mandor kalau ne-reka menolak cukaian atas penghasilan para kuhnya Sebagai jurubayar pabrik ia akan menjadi orang besar di Tulangan. Pedagang akan membungkuk menghormati. Tuan tuan Totok dan Peranakan akan memberi tabik dalam Melayu. Guratan penanya berarti uang! Ia akan termasuk golongan berkuasa dalam Pabrik. Orang akan mendengarkan katanya: tunggu di bangku situ, untuk dapat menerima uang dan tangannya. . Mengibakan. Bukan kenaikan Jabatan, Kehormatan dan ketakziman yang ia dapatkan. Sebaliknya kebencian dan kejijikan orang dan jabatan juru bayar itu tetap tergantung diawang-awang.
Tindakannya yang menjilat dan merugikan orang menjadikannya tersisih dari pergaulan. Ia terpencil ditengah lingkungannya sendiri.
Tapi ia tidak peduli, ia memang keras hati . Kepercayaannya pada kemurahan dan perlindungan tuan-tuan kulit putih tak terpatahkan, Orang muak melihat usahanya menarik tuan-tuan Belanda itu agar sudi datang ke rumah Seorang-dua memang datang juga dan disugunya dengan segala apa yang bisa menyenangkan mereka. Tapi jabatan itu tak juga tiba.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar