Jumat, 18 November 2022

Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer #33/44


Arus Balik. 
Karya : Pramoedya Ananta Toer.

Bagian 33.

Demak Mulai Bergerak Begitu telah mendapat kepastian pasukan gabungan Tuban-Aceh-Bugis mulai menyerang daerah peluaran kota Malaka, dan Portugis terpaksa membatasi ruang geraknya di dalam kota saja, Trenggono memerintahkan menyerang.
Pasukan kuda dan kaki Demak dengan cepat menerjang kabupaten-kabupaten sebelah timur negerinya. Santenan jatuh. Balatentara itu bergerak tenis mengejar bab tentara Santenan yang melarikan diri ke timur bergabung dengan tentara bupati Blora. Dan dua orang bupati yang sekeluarga itu tak punya pasukan kuda. Trenggono memperhitungkan: juga Blora akan segera jatuh.
Semua orang lelaki kabupaten Santenan yang berumur di atas tujuh belas sampai tiga puluh dan tak sempat melarikan diri, di seret terus ke timur untuk jadi serdadu tambahan.
Balatentara gabungan Pesantenan-Blora yang menyedari kelemahannya memasang perangkap-perangkap kaki kuda dengan ranjau gambangan dari bambu, yang dijajar renggang di atas lobang-lobang dangkal dan ditutup dengan dedaunan dan tanah. Pekerjaan itu tidak sia-sia. Barisan terdepan pasukan kuda Demak memasuki semua perangkap dan kuda-kuda celaka itu pada patah kakinya.
Trenggono sangat marah melihat kerusakan pada pasukan kuda kesayangannya. Ia mengancam bupati-bupati bersangkutan akan merejamnya hidup-hidup.
Maka pasukan kaki Demak yang digalakkan oleh harapan menjarah melewati pasukan kuda, menempuh jalan hutan, dan menyerbu ke depan. Dua-dua pihak balatentara yang bermusuhan tidak lagi mengindahkan aturan perang. Mereka tak mesanggrah untuk kemudian bertempur pada keesokan harinya. Kekuatan Demak mengalir deras tak sempat menunggu persiapan lawannya, menerjang yang terkena terjang membongkar yang terkena bongkar. Pertempuran sengit terjadi di desa dan kampung yang dilewati.
Di sebelah utara, balatentara Demak yang telah dipusatkan Mfeetumnya di Juana, juga bergerak ke timur. Rembang tidak mengosongkan daerahnya seperti halnya dengan Pesantenan Satu pertempuran yang mendarah terjadi dengan sengitnya di hutan bakau-bakau sepanjang pesisir di mana penikan kuda Demak tak dapat berbuat sesuatu pun. Dan pertempuran itu berlarut-larut hingga Trenggono memerlukan datang ke daerah pesisir itu dan sendiri turun ke medan.
Pada hari Trenggono memerintahkan penyerangan, armada Jepara Demak, armada terbesar setelah jatuhnya Majapahit, tujuh puluh kapal besar, dipimpin oleh Panglima-Laksamana Fathillah. meninggalkan bandar Jepara untuk ke tiga kalinya dan menempuh garis pelayaran yang sama: ke jurusan Banten.
Sama halnya dengan dua pelayaran sebelumnya di setiap bandar dikatakan mereka sedang berlayar untuk menghadap Peranggi.
Mengetahui, bahwa balatentara Demak bergerak ke jurusan timur dan mulai menaklukkan bupati-bupati tetangga sendiri, orang menjadi curiga dan bersiaga. Mengapa armada yang ditimang-timang Adipati Unus itu tak juga menuju ke Malaka. Maka di setiap bandar hanya dengan kekerasan bisa diperoleh air dan bahan makanan
Armada bergerak melewati Selat Sunda tanpa mampir ke Banten dan membelok ke kiri sampai Ujung Kulon, seakan memang sedang berja-ga-jaga agar Portugis tak masuk ke Jawa. Walau demikian seluruh Banten telah bersiaga. Kepercayaan orang terhadap Trenggono telah punah sama sekali.
Gerak-gerik armada diikuti oleh Banten dari pesisir Mereka melihat armada besar itu menurunkan beberapa pasukan di Ujung Kulon. Dan di sana sudah menunggu pasukan Banten Pertempuran sengit segera terjadi. Armada menurunkan pasukan bantuan, kemudian mengangkat sauh dan semua berangkat meninggalkan Ujung Kulon. Pasukanpasukan yang didaratkannya terus terlihat dalam pertempuran.
Tujuh puluh kapal itu kembali menuju ke Selat Sunda. Tiba-tiba membelok ke kanan, memasuki bandar Banten sambil melepaskan tembakan-tembakan cetbang. Banten pun melepaskan cetbangnya, tetapi pasukan-nya telah banyak dipasang di sebelah pesisir barat. Pertempuran cetbang yang berjalan selama setengah hari telah menghabiskan peluru Banten.
Pendaratan dimulai oleh para penyerbu. Dan pertempuran di atas pasir pantai meluas ke mana-mana, ditutup hanya oleh malam. Dan dalam malam itu juga Demak meneruskan pendaratannya. Mereka tahu Perangi sedang sibuk di Malaka, dan mungkin melakukan sergapan dari belakang.
Bandar besar di Jawa itu jatuh pada hari berikutnya Pada hari ketiga setelah pendaratannya kekuatan Demak memasuki ke pedalaman Banten. Balatentara Banten kalah dalam jumlah dan persiapan. Dan setelah seminggu bertahan pertahanannya pasukan Banten jatuh ke dalam kekuasaan Demak.
Fathillah bergerak dengan cepat la dudukkan orangorang Demak jadi pemegang kekuasaan di Banten. Dengan keras ia mengatur kembali pulihnya kehidupan dan penghidupan untuk dapat bertahan terhadap kemungkinan datangnya Portugis. Sebagian dari kapal-kapalnya melakukan penjagaan terus-menerus di sepanjang pesisir barat dan utara Banten.
Taraf pertama persekutuan militer Trenggono-Fathillah telah berhasil. Dengan Banten sebagai pangkalan Demak, seluruh Jawa sebelah barat akan dapat ditelan. Dan Demak harus jadi modal.
Dalam waktu hanya tiga bulan kehidupan sudah pulih kembali. Fathillah mulai memanggili penduduk dewasa untuk dijadikan prajurit. Dengan jalan demikian ia telah ganti kerugian manusia selama pertempuran seminggu. Semua pandai besi dikerahkan untuk membikin peralatan perang baru. Bandar dibuka kembali Dan negeri yang kaya akan lada ini siap menunggu kapal-kapal dari Atas Angin.
Banten adalah penghasil lada dan minyak kelapa. Dengan jatuhnya Malaka dan Pasai, ia telah menggantikan kedudukan Gresik sebagai bandar terbesar di Jawa. Tetapi Banten sendiri tidak mempunyai armada dagang ataupun militer, karena percaya kegiatan perdagangan takkan menyebabkan kekuasaan lain akan berniat menyerbu selama dia sendiri tak menghendaki daerah orang lain. Pertahanan dalam negerinya disia-siakan. Dan semua ini telah diperhitungkan oleh Fathillah
Dan sekarang Fathillah akan menggunakan penghasilan bumi dan laut Banten untuk memperluas gerakan memasuki pedalaman sampai he Laut Kidul. Penduduk bandar Banten sendiri membantu dan menyokongnya. Mereka adalah Pribumi yang hidup dalam kampungkampung tersebar di sekitar bandar. Sebagian adalah penduduk bangsa-bangsa Nusantara dan non-Nusantara dan mereka mengirimkan wakilnya untuk menyatakan takluk dan setia pada Demak. Tak bisa lain: balatentara Fathillah sebanyak lebih dari lima belas ribu orang itu takkan mungkin dapat ditahan oleh kekuasaan manapun!
Fathillah sendiri adalah seorang di antara sekian puluh orang di Banten yang telah naik haji, dan seorang di antara beberapa belas orang yang tahu berbahasa Arab. Dengan pengetahuannya tentang agama Islam dalam waktu hanya beberapa bulan orang mulai melupakan penyerbuannya dan melupakan tindakannya yang keras. Ia sering berkhotbah di mesjid dengan bahasa Melayu, la panggili para ulama setempat, dan diperintahkan pada mereka mendirikan majelis dakwah, yang bukan saja bertugas menyebarkan agama Islam secara teratur, juga mewajibkan padanya membentuk barisan musafir sebagaimana pernah dilakukan oleh Demak, hanya sekarang untuk memasyhurkan Gubernur-Panglima-Laksamana Fathillah.
Beberapa kali ia melakukan pemeriksaan ke pedalaman. Beberapa kali pula ia mengerahkan pasukan untuk menghalau penduduk yang menolak Islam dalam segala isi dan bentuknya. Pada mulanya orang melawan dengan senjata, tetapi kekuatan besar Demak yang membeludak itu tiada terlawan. Kemudian mereka melawan dengan katakata makin tidak berarti dan tertindas. Dengan sikap pun tanpa makna. Mereka terpaksa melarikan diri dan mencan daerah hidup baru tanpa Fathillah.
Jatuhnya Banten dan Pesantenan ke dalam kekuasaan Demak sampai pada Wiranggaleng dua bulan kemudian: Khianat bisiknya seorang diri dan pergi menyendiri ke suatu tempat untuk memikirkannya Tepat sebagaimana kuduga. Semua telah berkhianat! Semua hendak menarinari dengan Peranggi di atas pundak si Wiranggaleng, anak desa ini: Trenggono, Adipati Tuban, Fathillah Liem Mo Han, Kala Cuwil, Ratu Aisah, Dan pasukan gabungan ini sekarang menjadi lola di negeri orang
Ia berpikir. Kesimpulannya hanya satu semua yang terjadi telah melawan cita-cita Rama Cluring, bertentangan dengan Adipati Unus.
Dicobanya berpikir terlepas dan semua ikatan dengan Jawa. Ia tak mampu. Semua punya ikatan dengan Jawa, justru bersangkut-sangkutan, bertali-temali.
Ia pulang ke markasnya. Dan Pada telah menunggunya, juga dalam keadaan gelisah dan menunduk menunggu teguran. Wiranggaleng tak menegurnya.
Senapati itu duduk diam-diam di atas ambin. Waktu pimpinan kesatuan Aceh dan Bugis datang. Senopati bertanya apakah tempat di mana pernah terjadi pertempuran pertama antara kesatuan Bugis dan Peranggi, dapat digarap jadi daerah pertanian tetap.
Melihat pimpinan kesatuan Aceh tak memberikan jawaban ia bertanya apakah tidak atau kurang menyetujui.
Tidak, Hang Wira, jawabnya, bukan soal tidak atau kurang menyetujui. Kami ada persoalan lain. Setelah Sultan Mughayat Syah, Sultan kami, Sultan Banda Aceh Darussalam, wafat, kesatuan kami diperintahkan ditarik, dan kami harus pulang ke Aceh begitu jemputan datang. Berita itu laksana petir menyambar. Ia tahu Sultan Aceh yang baru telah kehilangan kepercayaannya pada Trenggono.
Sembah sujudku ke bawah duli Baginda Sultan. Semoga penumpasan terhadap Peranggi dari Malaka tetap jadi perhatian. Kami yang tertinggal akan berusaha sebaikbaiknya.
Berita dari Jawa itu telah melumpuhkan semangat kesatuan Tuban. Di mana-mana tempat mereka menggerombol dan membicarakan kemungkinan terjadinya penyerbuan Demak terhadap Tuban sendiri
Sedang kita ada di sini mereka mengeluh.
Dan keluhan itu adalah yang juga ada dalam hati Hang Wira. Armada sebesar itu! Ia perang tanpa daya, ternyata betul tidak untuk pembebasan Malaka, sebaliknya untuk melampiaskan nafsu kekuasaan pribadi.
Trenggono! sebutnya di hadapan pemimpin-pemimpin kesatuan, telah mengubah kedudukan kita menjadi badut yang lemah, tidak lucu, dan tidak berarti. Aku akui Peranggi berjumlah kecil, keampuhannya hebat. Dan sekarang kekuatan kita semakin berkurang dengan kepergian kesatuan Aceh.
Akan kuusahakan menghadap ke bawah duli Baginda Sultan dan mempersembahkan semua ini, pimpinan kesatuan Aceh menyampaikan, bebasnya Malaka dari Peranggi juga jadi urusan Banda Aceh Darussalam. Kami akan tetap tinggal di sini, pimpinan kesatuan Bugis memberikan jaminan. Jatuhnya Malaka juga jadi urusan Bugis-Makasar. Mereka jatuh, dan jalan kami ke utara akan kembali terbuka.
Dua minggu setelah itu kesatuan Aceh minta diri untuk kembali. Kesempatan itu dipergunakan Hang Wira untuk mengirimkan Pada pulang ke Jawa.
Carilah berita yang benar, dan tengok mbokayumu dan kemenakan-kemenakan, pesan Hang Wira. Cari Liem Mo Han, cari keterangan tentang Kala Cuwil: jangan lupa menghadap Gusti Ratu Aisah.
Dan dengan demikian berangkatlah Pada.
Setelah pertahanan Rembang patah dan medan pertempuran di hutan bakau-bakau selesai, balatentara Demak memasuki Rembang, menjarah-riah segala yang dapat dan ditemuinya.
Penduduk melarikan diri ke hutan-hutan pedalaman. Balatentara pemenang itu kemudian membelok ke selatan untuk membantu menghancurkan persekutuan militer Pesantenan Blora.
Persekutuan, yang tak menduga-duga akan datangnya balabantuan musuh dari utara, meliuk kena terjang dan melarikan diri ke selatan.
Balatentara Demak, di bawah pimpinan Trenggono sendiri, menang untuk ketiga kalinya.
Sultan Demak semakin berbesar hati. Seorang ke Banten dan memberikan perintah baru: Ambil Sunda Kelapa!
Dalam pada itu balatentara Demak dari barat dan utara yang bertemu di Blora, dengan membawa serdadu baru dari tempat yang baru ditaklukkan, diperintahkan menerobos ke timur laut untuk menaklukkan Tuban dan Bojonegara.
Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi telah menyebarkan telik untuk mengikuti gerak-gerik balatentara Demak. Mengetahui bahwa para penyerbu akan menyerang dari jurusan barat daya Tuban, disiapkannya pasukan gajah di perbatasan. Ia percaya Demak takkan mungkin dapat menembus pasukan gajah.
Telah ia pilih tanah lapang untuk membuka medan ini di mana ia berjanji akan giling bonyok balatentara musuhnya. Ditunggunya para penyerbu itu menyeberangi tanah lapang itu. Dan perhitungannya tidak keliru.
Pada suatu hari, pagi-pagi benar, ujung pasukan kuda Demak yang bersenjata tombak berjumbai berwama-wami itu bersorak-sorak menyeberangi lapangan untuk mengutip kemenangan yang ke sekian kalinya. Nyaris sampai ke pinggiran lapangan, gajah-gajah Tuban pada berdiri, bersuling, lari ke depan membawa bentengan kayu di atas punggung.
Kuda-kuda Demak terkejut Tombak-tombak mereka yang berdiri condong menuding langit sekarang mendatar siap untuk melayang. Tetapi mereka tak pernah berlatih menombak pada sasaran tinggi. Dan kuda-kuda kaget itu menyulitkan pembidikan.
Sebaliknya panah dan tombak dari atas gajah berlayangan bebas menuju ke sasaran.
Kuda-kuda Demak masih terus berlarian gugup melihat gajah-gajah menggiling barang apa yang melintang di hadapannya. Kegugupan Demak menyebabkan tubrukantubrukan antara mereka sendiri. Dan kuda-kuda di belakangnya langsung membelok menghindari tanah lapang.
Lindungi Sultan! seseorang berseru.
Mendengar Sultan ada dalam pasukan kuda itu Kala Cuwil menjadi lebih bersemangat. Ia perintahkan pasukan kaki menyerbu dengan ting-kahan canang dan gendang bertalu, yang terdengar dari segala penjuru. Tangkap Sultan! ia berteriak. Suaranya bergema-gema melalui ribuan mulut lainnya. Panah dan tombak berhamburan di medan pertempuran. Balatentara Demak mengalami banyak kerusakan dan segera mengundurkan diri sebelum pasukan kaki Tuban dikerahkan memburu. Bagi Trenggono sendiri kemenangan atas Tuban menjadi petaruh untuk gerakan militer selanjurnya. Dari Tubanlah seluruh Jawa Timur akan dapat dikuasai. Dari sini akan dapat ditumpas Blambangan sebagaimana halnya dari Sunda Kelapa akan ditumpas Pajajaran. Dan dengan tumpasnya dua kerajaan Hindu tersebut seluruh Jawa akan menjadi Islam atas namanya. Dan Islam, menurut Fathillah yang kemudian juga jadi pegangannya, menjamin kebebasan Jawa dari Peranggi.
Khusus untuk Trenggono, Blambangan adalah gudang peninggalan Majapahit. Dengan benda-benda kerajaan Majapahit itu Demak saja yang bakal jadi kerajaan pewaris syah dan tunggal dari Majapahit, dan seluruh Jawa akan sujud dengan badan dan matinya padanya, pada Demak.
Kegagalannya di perbatasan barat daya Tuban membikin ia menjadi beringas. Ditariknya semua pasukan kaki ke utara untuk dapat merebut Tuban dari pesisir. Sebagian kecil pasukan kuda ia perintahkan tinggal untuk menyibuki pasukan gajah.
Tetapi Kala Cuwil tidak dapat ditipu dengan siasat itu. Melihat balatentara Demak mengurangi kekuatannya ia pindahkan semua pasukan gajah kembali ke kota.
Pagardesa dan sebagian kecil pasukan kaki ia tinggalkan untuk menyibuki pasukan kuda Demak.
Demikianlah maka pertempuran kecil-kecilan terjadi terus-menerus di perbatasan ini dengan membawa kerusakan pada kedua belah pihak.
Induk pasukan Demak yang bergerak dari pesisir utara menghindari daerah koloni Tionghoa Lao Sam, kemudian mengancam perbatasan timur Tuban.
Meriam Portugis di tangan Tuban menyambut kedatangan mereka.
Demak tertegun menerima peluru-peluru besi itu sehingga gerakannya terhenti sama sekali. Kemudian mereka menempuh jalan lain dan mendesak terus tiada tertahankan. Cetbang-cetbang Tuban mulai berledakan. Demak meliuk lebih ke selatan dan mulai membuka medan pertempuran baru sebagaimana mereka tentukan sendiri.
Balatentara Tuban yang dipaksa bertahan melepaskan pasukan gajah. Dan Demak meliuk kembali ke utara. Sekali ini Demak berhasil menjebol pertahanan Tuban dengan meninggalkan pasukan gajah.
Banteng Wareng dengan pasukan kudanya belum juga dikeluarkan oleh Kala Cuwil. Patih-Panglima Tuban itu punya rencana hendak menggunakannya untuk menyergap dari belakang, bila Demak berhasil dengan desakannya. Tidak diketahui penghubungnya telah tertangkap oleh musuh dan tewas di pinggiran medan pertempuran.
Di kota Tuban, kehidupan masih berjalan tenang. Tak ada orang percaya Demak bisa menembusi pasukan gajah Tuban. Dua ratus tahun lamanya pasukan ini telah jadi tulang punggung Majapahit Demak hanya kerajaan kemarin! Tak tahu banyak tentang perang besar. Maka juga pasukan pengawal kadipaten masih tenang-tenang di tempatnya masing-masing. Kala Cuwil pun belum lagi memberikan perintah untuk siaga.
Meriam Portugis dan cetbang tak berhasil membendung desakan Demak. Sorak-sorainya kini mulai terdengar di Tuban kota. Pasukan pengawal terperanjat dan tanpa perintah Patih-Panglima mulai disiagakan untuk mempertahankan kadipaten dan kota.
Dengan gopoh-gopoh Braja memasuki kadipaten untuk mempersiapkan pengungsian Sang Adipati. Beberapa orang perwira diperintahkannya memberitahukan pada penduduk untuk mengungsi.
Di depan pintu peraduan Sang Adipati didapati Braja dua orang pengawal bertombak itu masih berdiri di tempatnya. Siapkan tandu! perintahnya. Dua orang itu lari dan hilang dari pemandangan. Braja belum juga masuk. Jantungnya berdebaran dan pikirannya sibuk untuk mendapatkan kata-kata yang tepat. Ia menyembah, menarik tali untuk memberitahukan pada penjaga di dalam. Tetapi tarikannya tak mendapat jawaban. Ia buka pintu. Dilihatnya Sang Adipati tergolek tenang di atas peraduan. Dan tak ada seorang penjaga pun di dalam bilik itu. Braja! panggil Sang Adipati.
Braja menjatuhkan diri, berlutut dan menyembah. Ampun Gustiku, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik. Trenggono berkhianat
Sorak-sorainya telah terdengar dari sini. Gusti. Kami tak dengar. Sorak-sorai Demak" Sorak-sorai Demak, Gusti.
Khianat! Khianat! ia ulangi kata-kata itu dengan suara semakin lama semakin pelahan, kemudian tak terdengar lagi.
Gusti, sudah datang waktunya untuk mengungsi. Sang Adipati tak menjawab. Braja mendekati untuk mengulangi. Sang Adipati sudah tak bernapas lagi. Wajahnya telah menjadi begitu ciut dan rambutnya yang begitu putih seluruhnya terberai di atas bantal. Destarnya terlepas dan jatuh di samping kepala. Ia ambil destar itu, ia tutupkan pada wajah jenasah itu. Kemudian ia lari keluar dan berteriak-teriak: Cepat! Mengungsi semua! Mengungsi! Gusti Adipati Tuban jangan ditunggu. Gusti telah mangkat.
Ia terus lari ke belakang, tak mempedulikan orang berlarian silang-pukang. Digedornya harem. Waktu pintu itu terkirai, ia masuk di bawah protes Nyi Gede Daludarmi, ia tak peduli, berteriak: Pergi kalian! Pergi dari sini! Ke mana saja kalian suka. Sang Adipati mangkat. Balatentara Demak sedang mengancam. Cepat pergi. Bawa semua barang kalian! Perempuan-perempuan itu pada menjerit kebingungan.
Diam! bentak Braja. Bawa harta-benda kalian. Lari sejauh-jauhnya, jangan sampai tertangkap.
la tinggalkan kadipaten dengan bimbang. Siapa dan apa sekarang ia kawal" Jenasah Sang Adipati" Harta-benda kadipaten" Ia lari masuk ke dalam asrama, memanggil semua anakbuahnya, kemudian memerintahkan semua bergerak ke selatan untuk mendapatkan Kala Cuwil Sang Wirabumi.
Gila! Balik! Pertahankan Tuban Kota.
Apa yang dipertahankan" Sang Adipati telah mangkat. Kala Cuwil berlutut. Kepalanya menunduk dalam. Mangkat" Ia termangu-mangu. Apa lagikah yang harus dipertahankan"
Dan Tuban Kota jatuh jadi rayahan dan jarahan tentara Demak tiga puluh ribu prajurit. Balatentara Demak asli! Tambahan dari daerah-daerah taklukan baru lima ribu!
Dalam kawalan barisan kuda Trenggono turun dari kendaraannya di depan gedung kabupaten Tuban. Dengan langkah gugup ia naik ke atas diiringkan oleh para pengawal.
Takluk menyerah kalian yang di dalam! serunya, Sultan Trenggono Demak datang!
Tiada seorang pun datang mengelu-elukan. Putri-putri Tuban tidak, selir-selir pun tidak, apalagi prianya.
Ia berdiri di tengah-tengah pendopo, gugup menunggu datangnya para pengelu. Sunyi senyap. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan. Kesenyapan juga yang hadir. Ia menengok ke belakang. Semua prajuritnya turun belakangan dari kuda masing-masing dan tak menyaksikan suatu penyerahan.
Bedebah! Tumpas setiap yang hidup di dalam sini perintahnya. Pasukan kuda mulai memasuki kadipaten, Trenggono sendiri diiringan regu pemeriksa gedung.
Peraduan Adipati Tuban, seorang perwira mempersembahkan. Bedebah! Keluar kau anjing Tuban! pintu kamar itu ia terjang. Juga tak ada yang datang bersujud pada kakinya, la masuk ke dalam, langsung pada Sang Adipati yang terbujur di peraduan. la cabut kerisnya. Dan tubuh terbujur itu tiada memperdulikan-nya.
Kaulah ini kiranya, bentaknya murka, dan dicabutnya destar itu dari wajah Sang Adipati Tuban.
Sekaligus ia tahu sedang berhadapan dengan mayat Dipunggungjnya mayat itu sambil menyarungkan kembali kerisnya dan bergumam, Sayang. Tak kau saksikan bagaimana kejatuhanmu sendiri. Takkan lagi kau saksikan bagaimana Jawa sujud di bawah kaki Trenggono. Sayang kau tak melihat pasukan gajah andal-andalanmu tersobeksobek oleh pasukan kuda Demak! Ia berbalik lagi dan melusuhi mayat itu. Dengan demikian ia tak jadi bermarkas di kadipaten.
Pasukan Tuban menyingkir ke selatan. Dan Kala Cuwil masih juga tak dapat memutuskan apa harus diperbuat.
Tak lain dari Banteng Wareng yang sangat kecewa terhadap pimpinan Kala Cuwil. Ia lebih suka mati di medan pertempuran daripada menderita kan malu telah kalah tanpa berbuat sesuatu pun. Ia melawan tradisi pasukan kuda Tuban, biarpun tak banyak jumlahnya. Ia tak rela kalah sebelum bertempur
Pagi-pagi benar ia siapkan seluruh pasukannya. Tanpa memberitahukan atau minta diri dan Kala Cuwil pasukan kuda itu melakukan serangan mendadak atas Tuban Kota yang telah jatuh ke tangan musuhnya.
Tak pernah dalam tradisi perang di Jawa sebuah pasukan yang telah kehilangan raja melakukan serangan pembalasan Maka juga Demak tak pernah memikirkan terjadinya kemungkinan itu
Tapi serangan adalah serangan. Dan pagi itu balatentara Demak, yang masih lelah dari berpesta merayah dan menjarah kemarin dan semalam, masih aman tenang bersembunyi di bawah selimut masing-masing. Dengan cambuk-perang dan pedang terhunus pasukan kuda Tuban menyambar-nyambar seperti elang
Balatentara Demak lari kocar-kacir ke jurusan barat dengan meninggalkan jarahannya
Trenggono sendiri belum lagi bangun waktu serangan terjadi. Prajurit pengawal membangunkannya dengan kasar dan menariknya pada kuda yang telah disiapkan. Bedebah! pekik Trenggono
Mereka menyerang, kembali. Gusti
Siapa menyerang, bedebah" Adipati Tuban sudah mampus. Ia menolak naik ke atas kuda Tangannya mencari pedangnya, tetapi senjata itu belum lagi padanya. Bila ada, prajurit itu akan belah jadi dua.
Sorak-sorai dan geletar cambuk-perang pasukan Banteng Wareng mengguruh dan segala penjuru.
Buru-buru Trenggono melompat ke atas kudanya. Ke sini. Gusti, seorang prajurit.
Ia hentikan kudanya dan masuk ke dalam apitan pasukan pengawal, berpacu ke jurusan barat. Dadanya serasa hendak meledak karena murka, merasa dihina dan dipermain-mainkan.
Dan dalam serangan mendadak itu Banteng Wareng bertindak menggiring musuhnya keluar kota Tuban. Ia segera perintahkan untuk merawat jenasah Sang Adipati. Kemudian dikerahkannya pasukannya ke selatan kembali, meninggalkan Tuban Kota dalam keadaan kosong.
Meninggalnya Adipati Tuban tak didengar oleh Wiranggaleng. Dengan berita masuknya Demak ke negeri kelahirannya kembali ia bergulat dalam pikirannya. Ia harus mengubah pendapat yang lama: tidak semua berkhianat. Kalau Demak menyerang Tuban, jelas Tuban tidak berkhianat lagi pada cita-cita Adipati Unus. Tapi mengapa Tuban mengirimkan armada jung" Di mana kapalkapalnya" Mengapa tidak diserahkan padanya" Dan mengapa meriamnya ditahannya sendiri" la belum dapat memutuskan. Setidak-tidaknya Demak harus dipisahkan dari persoalan Tuban. Dulu Demak menyerang Peranggi, dan Tuban mengkhianati. Sekarang Demak tidak menyerang Peranggi, tapi menyerang Tuban, dan Tuban mengirimkan kekuatannya ke Malaka. Dulu Tuban mengirimkan tentaranya ke Malaka dengan ragu-ragu, sekarang pun masih tetap ragu-ragu.
Tentang kelolaan pasukan gabungan lain pula soalnya. Kelolaan menyebabkan pasukan ini tiada mempunyai pusat pengabdian. Memang gerakannya telah berhasil membatasi ruang-gerak musuhnya. Tetapi apakah artinya semua itu bila di Jawa sana kedunguan, nafcu kekuasaan, sudah tak mau kenal lagi apa artinya pengusiran terhadap Peranggi"
Dan beban tambahan yang tak kurang memberati pikirannya adalah kemerosotan semangat prajuritnya. Dari prajurit yang berani dengan cepat mereka berubah jadi petani yang bersenjata. Dari mengusir Peranggi tugas mereka berubah jadi menjaga tanaman terhadap gangguan Peranggi dan celeng. Ketertiban dan disiplin militer dengan cepat meruap jadi kecintaan pada panen di atas tanah yang subur menghidupi itu.
Hanya dengan ancaman hukuman keras saja ia berhasil memerintahkan telik-teliknya memasuki Malaka untuk mendapatkan keterangan. Dan betapa kecewa hatinya mengetahui, Pribumi dalam negeri Malaka tidak mempunyai perhatian terhadap pembebasan negerinya sendiri. Bahkan mereka mulai berduyun-duyun menjadi Nasrani, menjadi Peranggi itu sendiri.
Apa lagikah artinya segala usaha dan jerih-payah ini" Dan tak ada yang dapat membantunya berpikir. Kadangkadang ia menyesali diri bodoh hanya karena berasal dari desa. Kemudian ia bantah kembali: apa kurangnya Trenggono" Dia Sultan memiliki segala-segalanya, namun dungu!
Dari pengalaman selama ini ia merasa hanya mendapatkan satu pelajaran: Peninggi tak akan datang untuk kedua kalinya di tempat ia pernah dikalahkan. Dan pelajaran ini takkan dilupakannya selama ia masih menghadapinya.
Dan apa yang dianggapnya sehagai pelajaran itu ternyata tidak benar seluruhnya. Portugis hanya mengutamakan bandar-bandar pangkalan untuk dapat menyelamatkan pelayaran ke Maluku pulang balik. Ia tak mengutamakan luasnya daerah taklukan seperti Trenggono.
Apa yang terjadi di dalam tubuh kekuasaan Portugis sendiri" Para telik tidak tahu. Wiranggaleng pun tidak.
Melihat serangan-serangan dari luar kota dapat diatasi, malah makin lama makin kendor kehabisan gairah, mengetahui pula armada Jepara-Demak tidak ditujukan pada Malaka. Portugis mulai memikirkan kembali rencana lama untuk menguasai sumber lada dari selatan.
Jatuhnya bandar Banten ke tangan musuhnya yang lama, Fathillah, telah membikin kering arus lada. Harganya di benua Eropa melonjak tinggi tiada terkendali, dua-tiga kali lipat itu pun masih sulit didapatkan. Portugis telah memberi penntah pada Goa, Goa pada Malaka agar segera mengisi pasaran Eropa dengan lada baru, sebanyak-banyaknya.
Pedagang-pedagang sekongkol Portugis memberitakan armada Demak kini merajai Selat Sunda, melakukan apa yang dilakukan oleh Portugis di Selat Malaka, mengawasi kapal dan perahu yang meninggalkan atau memasuki bandar.
Malaka telah mengirimkan sekongkol-sekongkolnya untuk menyelidiki apa sesungguhnya sedang terjadi di daerah Selatan Dan Malaka mendapat berita: armada Demak mulai menutup lalulinlas laut dengan bukan hanya Banten, juga Sunda Kelapa, sumber utama lada.
Beberapa kali penyelidikan dikirimkan. Hasilnya sama saja: Fathillah tetap tidak membuka blokade.
Wiranggaleng tidak tahu sama sekali tentang apa yang terjadi persoalan musuhnya. Kesulitannya sendiri semakin menumpuk: kekurangan manusia dan peralatan. Keduaduanya telah makin memerosotkan kegiatan kemiliteran, dan kedua-duanya tidak bisa diatasi. Betapa bisa menambah kekuatan manusia" Prajurit setempat tidak ada. Kampungkampung hanya terdiri dari empat-lima rumah dengan penduduknya yang menyandarkan penghidupan pada pertanian dan pertukaran barang semata-mata. Mereka tak mempunyai kepentingan dengan penghalauan terhadap Portugis. Pemuda-pemuda kampung yang ikut bergabung merupakan keluarbiasaan. Dan pemuda-pemuda itu kemudian dibenci oleh orang-orang sekampungnya. Soalnya berkisar pada cemburu. Kampung-kampung kecil itu kehilangan daya dalam mengimbangi kebutuhan asmara dari para pendatang yang sebanyak itu dan para pendatang yang dalam segala hal lebih unggul pula. Dengan dukacita Hang Wira dapat ikut merasai perasaan cemburu. Makin banyaknya berita yang datang tentang gerakan balatentara Demak, semangat para prajurit Tuban itu semakin merosot juga. Bila toh harus bertempur, lebih baik di Tuban, di negeri sendiri. Dan semakin lama mereka bergaul dengan penduduk setempat, semakin dalam mereka terlibat dalam soal-soal asmara. Maka prajurit-prajurit mulai berubah jadi pengelana asmara dari kampung ke kampung. Dan begitu seorang prajurit menikahi seorang perawan kampung, seperti wabah yang lain-lain pun mengikuti. Habislah perawan-perawan kampung. Yang belum berhasil menjauhkan pengelanaannya sampai ke tepi-tepi pantai. Ke kampung-kampung nelayan yang lebih jauh. Dan begitu pernikahan terjadi, selesailah si jantan sebagai prajurit. Ia menjadi petani atau nelayan saja.
Wiranggaleng tahu ia tak punya kemampuan untuk membendung kemerosotan ini. Inti pengikatnya telah buyar karena Trenggono. Ia tahu juga: Malaka takkan bakal jatuh ke tangannya.
Pada meninggalkan Banda Aceh Darusalam menumpang kapal Bugis, dan tanpa singgah di Jawa mendarat di Makasar. Di sini ia menumpang sebuah perahu Bali dan mendarat di Gresik. Dengan perahu Gresik ia menuju ke Tuban.
Bandar itu sunyi senyap. Tak ada seorang pun kelihatan. Menara pelabuhan kosong tak terjaga. Kesyahbandaran pun sunyi. Pintunya tertutup dan dipasak silang dari luar. Warung Yakub terkunci dari dalam.
Dari kejauhan ia dengar sorak-sorai perang. Ia mendengar-dengarkan. Jelas bukan sorak-sorai balatentara Tuban, tapi Demak, Celaka! pikirnya.
Kewaspadaan terhadap kemungkinan ditangkap punggawa Sang Adipati karena dosa-dosa lama lenyap, digantikan oleh kekuatiran kena sergap pasukan Demak. Ia rasai ke mana pun pandang dilayangkan hanya mulut maut juga yang menganga.
Dengan sisa pikiran yang tercadang ia lari menuju ke Pecinan: Ternyata semua jalan masuk ke kampung asing, yang tidak dikenakan hukum Pribumi, terjaga oleh penduduknya dengan tombak aneh berjumpai-jumpai. Juga Pecinan mengangakan mulut maut.
la batalkan niatnya dan lari ke menara pelabuhan. Cepatcepat ia naik ke atas dan menyembunyikan diri, menganggap diri aman dan tak nampak oleh siapa pun. Dan siapa akan menengok ke menara yang jelas tidak ada apa-apanya"
Ia depiskan badan tipis-tipis pada geladak. Pada waktu itu ia merasa, setiap orang yang akan menemukannya di situ itulah calon pembunuh nya. Betapa berubahnya manusia di masa perang! Semua yang mereka pelayan di perguruan dan pesantren, dan guru-guru, dari dongengan dan wayang dari Tuban dan manusia, dari kehidupan dan orang tua sendiri, ambyar tanpa makna.
Sebagai seorang pribadi, terlepas dari hubungan orang lain, Kini ia merasa sama sekali tanpa daya. Ia menyadari tak bisa membela diri. Puluhan ribu prajurit yang bersoraksorak di kejauhan itu hanya punya dua perhatian: Jarahan dan korban. Mereka datang bukan untuk berkenalan atau anjangsana tapi untuk membunuh dan hanya membunuh. Terlepas dari prajurit yang satu orang akan jatuh ke tangan yang lain.
Pada alias Mohammad Firman berseru-seru dalam tengkurapnya pada Tuhannya, memohon perlindungan atas dirinya untuk sekali ini saja, karena dalam keadaan seperti itu ia merasa telah kehilangan kemampuan untuk dapet melindungi sesuatu, jiwanya dan raganya.
Ia mengintip dan melihat pasukan kaki Tuban berlarian tanpa atau dengan senjata dan sebelah barat Sebagian telah berlumuran darah. Mata mereka tak terang dan berpendaran ke mana-mana mencari jalan paling dekat untuk meloloskan diri dari pengejaran Antara sebentar mereka menengok ke belakang Dan sorak-sorai balatentara Demak makin lama makin mendekat
Pasukan yang diburu itu mulai melempar-lemparkan perisai yang mengganggu gerak. Ratusan orang yang diburu oleh kepulan debunya sendiri itu menghadang ke jurusan timur lenyap dari penglihatan Pada.
Ia rasai jantungnya berdebar-debar kencang dan ketakutan yang amat sangat menusuk seperti jarum panjang di dalam dadanya Tuhan, suruhlah balatentara Demak mengejar terus, terus, terus, dan melupakan aku. Setelah berdoa tanpa bunyi itu meruap dari pikirannya tiba-tiba ia merasa tidak terkejar. Mereka juga masih ingin bertemu dengan manusia tercinta dan tersayang. Siapa yang mencintai dan menyayangi aku" Bahkan pikirannya sendiri ogah menjawab, la gigit lengannya untuk membunuh pikirannya sendiri. Tuhan menjauhkan aku dari pikiran khianat.
Dan di depan matanya kini melela pasukan kuda Demak yang beterbangan sambil bersorak-sorai seperti sedang memburu tikus. Masing-masing membawa perisai dan tombak yang telah siap di lempar atau dijojohkan. Ya, seperti petani-petani sedang memburu tikus di sawah. Itukah wajah Demak yang selama itu kumasyhurkan" Itukah wajahnya yang sesungguhnya"
Sebagian kecil pasukan kuda itu membelok ke kiri, memasuki daerah pelabuhan.
Pada menggigil dan pantatnya bertepuk-tepuk keras tanpa semaunya sendiri. Ia sorongkan tangan pada dubur agar tepukan berhenti. Tetapi sesuatu yang merambat pada tulang belakang memaksa pantat ini menggelombang, memukuli tangannya, gelombang demi gelombang. Detapa memalukan pantat ini. Betapa ketakutan diri yang terlepas dari kekuatan ini. Sekarang, sendirian dalam kepungan manusia yang sudah jadi lain Ini aku hanya seekor cacing. Ya Tuhan, bila kau tamatkan aku dari bahaya ini, aku akan lebih berbakti pada-Mu, lebih, lebih dari yang sudah-sudah.
Lima orang prajurit berkuda Demak mengelilingi tiangtiang menara, melihat-lihat ke atas. Tangan Pada telah basah oleh air dan lumpur dirinya sendiri. Ia tutup matanya. Dan waktu dibukanya kembali, dari sela-sela geladak ia lihat mereka mulai meninggalkan daerah pelabuhan.
Sunyi-senyap sekarang. Pada berhenti menggigil. Tangan ditariknya dari dubur. Seluar dan kainnya kotor. Dalam keadaan seperti itu ia tak berani mengucapkan syukur pada Tuhannya. Setelah agak tenang dan diduganya tangannya agak bersih dan lebih kering ia gerayangi semua bawaannya dan menarik selembar kain baru dari bungkusan. Ia jauhkan pakaian kotor dan kaki
Dan sorak-sorai menggelombang lagi dari kejauhan. Makin lama makin mendekat. Dari sebelah timur pasukan kuda berdatangan lagi untuk kemudian bertemu dengan pasukan kaki. Mereka mengerumun seperti gerombolan semut.
Sorak-sorai kini padam. Kerumunan itu membubarkan diri. Semua berlarian menyerbu masuk ke dalam rumahrumah tak bersorak-sorai. Pintu yang terpasak didobrak. Dengan batu dan kayu dan gagang tombak semua yang tidak membuka diri dirusak.
Rumah kesyahbandaran dilindas oleh bondongan orang. Warung Yakub bedah hingga dinding-dindingnya. Orang mengambil apa saja yang dapat diambil, memasukkan jarahan ke dalam kain penggendong. Sorak-sorai berubah jadi makian dan tawa bahak.
Ternyata tak ada yang bernafsu untuk menggerayangi menara yang kelihatan jangkung dan miskin, gundul dan kering kerontang itu. Hanya tiang-tiang kurus dan geladak kering di atasnya dengan dinding rendah dan sebuah canang perunggu.
Gelombang prajurit Demak mulai menyerbu ke pelabuhan. Galangan kapal kemudian jadi api unggun, demikian juga gudang dan pasar pelabuhan. Orang riuhrendah meninggalkan daerah pelabuhan dengan membawa jarahan masing-masing.
Sekarang Tuban Kota mendapat giliran.
Malam jatuh. Penjarahan dilangsungkan di tempattempat lain.
Pada alias Mohammad Firman telah lama dingin di tempat.

Berlanjut kebagian 34.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar