Jumat, 18 November 2022

Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer #8/44


Arus Balik. 
Karya : Pramoedya Ananta Toer.


Bagian 8.
Wiranggaleng Pergi ke Barat
Idayu mengantarkannya ke pelabuhan dan ikut masuk ke dalam kapal dagang berbendera Tuban.
Suami-istri itu was-was menghadapi perpisahan mereka. Bahkan juga pada merasa tak senang dengan kepergiannya. Dermaga disesaki oleh orang-orang yang hendak melihat Idayu mengantarkan suaminya. Mereka berdiri diam-diam menunggu penari ulung kekasih Tuban dan para desa itu keluar lagi dari kapal untuk dapat melambaikan pandang padanya.
Kalau diperkenankan, Kang, aku bersedia ikut, ke mana pun, Kang.
Kapal akan segera berangkat, Dayu. Aku kuatir, Kang.
Kau sendiri harus belajar dapat lindungi keselamatan sendiri. Tentu kau akan selalu ingat pada Rama Cluring
Idayu menggandeng tangan suaminya dan turun kembali ke dermaga.
Apa pun yang terjadi, Idayu, hadapi semua dengan tabah.
Aku kuatir, Kang, bisiknya. Aku pulang ke desa saja.
Bukankah kau harus menari di pendopo kadipaten" Dan perintah itu sewaktu-waktu bisa datang dari Gusti Adipati sendiri"
Kang, aku kuatir, Idayu berbisik dan memandangi suaminya dengan mata sayu. Aku takut, Kang. Di desa aku tak pernah takut seperti ini.
Kalau diperkenankan, kami sedia ikut menjaga, Wira, seseorang di antara para perubung mengusulkan.
Betapa mulia hati kalian, terimakasih. Sayang, kalian sendiri tahu, tak dibenarkan memasuki pelataran kesyahbandaran.
Nahkoda datang mewartakan pada Wiranggaleng layar akan segera dipasang dan kapal akan berangkat. Wiranggaleng mengusap-usap rambut istrinya. Allah bersama denganmu, Wiranggaleng! seru Tholib Sungkar Az-Zubaid.
Sejahtera, sejahtera untukmu, Galeng, dan istrimu, kerumunan orang itu meninggalkan dermaga, makin kecil dan makin .
Layar turun dan segera menggelembung. Kapal mandal, makin lama makin jauh meninggalkan dermaga, makin kecil dan makin kecil. Dan kerumunan orang itu mengantarkan Idayu sampai ke kesyahbandaran .
Wiranggaleng dan Pada memandangi semua yang bergerak di dermaga sampai iring-iringan itu hilang dari pemandangan. Akhirnya semua pun lenyap ditelan keleluasaan alam.
Terdengar Pada mengeluh. Wiranggaleng sambil berpegangan pada seutas tali layar, bersandaran pada dinding lembung, mengawasinya: Apa yang kau keluhkan"
Jangankan manusia seperti aku ini, Kang, kuda pun kadang-kadang mengeluh juga.
Apa yang dikeluhkan kuda" . Kita akan ke mana, Kang"
Apa yang dikeluhkan kuda" Kau belum lagi menjawab. Kalau kau sendiri, Pada. Aku tahu apa yang kau keluhkan. Kita ke Banten, Kang" Betapa jauh dan lama. Itukah yang kau keluhkan" Jauh dari kadipaten" Jauh dari keputrian" Dari para selir"
Kang! Pada terpekik terkejut.
Wiranggaleng pura-pura tak mengerti dan menjatuhkan pandang pada permukaan laut, pada pantai pulau Jawa yang putih berjabatan dengan kegelapan hitam dan perbukitan dan gunung-gemunung. Juga hatinya sendiri penuh was-was, kekuatiran dan kecurigaan.
Ia tahu benar Tholib Sungkar Az-Zubaid adalah kucing hitam di waktu malam dan burung merak di siang hari. Dalam hati-kecilnya bayangan Sang Adipati, yang jelas memberanikan istrinya, antara sebentar mengawang dan mengancam hendak merobek-robek hatinya. dan sekarang aku harus pergi dari Tuban. Apakah yang bakal terjadi"
Untuk ke sekian kalinya ia hibur dan tenteramkan hatinya dengan menyerahkan segala-galanya pada Idayu sendiri.
Ia telah tinggalkan pada istrinya sebilah cundrik dan pesan, Belalah dirimu kalau ada niatmu untuk membela diri! Dan pada Nyi Gede Kati ia mengharap agar dia sudi ikut menjaga keselamatan Idayu.
Setelah berada di atas kapal ia menyesal telah berpesan pada seorang bekas pengurus harem. Bekas pengurus harem! Tahukah orang seperti itu tentang cinta, kasih dan kesetiaan" Bekas pengurus harem! Harem!
Kang! Pada mengulangi tegurannya. Mengapa kau terkejut, Pada"
Ampun: Kang, janganlah hubung-hubungkan aku dengan keputrian dan para selir. Aku tak tahu apa-apa tentang mereka, Pada membela diri, menghiba-hiba. Takut benar kau nampaknya, Pada.
Dan kapal terus berlayar.
Bagaimana aku tak takut, Kang Nyi Gede Kati telah diusir dari keputrian. Nyi Ayu Sekar Pinjung ke
Dari mana kau tahu mereka kena hukuman" Dan siapa mereka itu"
Semua orang membicarakan, Nyi Gede pengurus. Nyi Ayu selir. Siapa pula dalam kadipaten tidak tahu"
Jadi sudah berapa kali kau panjat pagar kayu keputrian dan masuk ke dalamnya, Pada"
Kang! Pada terpekik lagi untuk kesekian kalinya.
Terkejut lagi kau nampaknya, Pada.
Ah, Kang Galeng, Kang Galeng, bisiknya menghibahiba. Untuk apa aku pergi ke sana" Dan bagaimana bisa aku ke sana"
Wiranggaleng menatap Pada sambil menggeleng. Paling tidak, Syahbandar-muda itu menepuk bahunya beberapa kali, dua kali dalam seminggu kau pasti masuk ke sana
Kang Galeng, kakangku sendiri tega kau berkata begitu. karanya gugup dan megap-megap.
 Kau lemparkan tali berjangkar ke atas pagar kayu tmggi itu, dan kau memanjat masuk.
Kang, aduh, Kang. Itu berarti kau membunuh aku, Kang.
Husy. Kau pura-pura tak mengetahui sesuatu apa tentang dirimu sendiri.
Kang! Pada terpekik lagi.
Husy. Goba selir yang mana saja sudah kau hubungi" Kau menyiksa aku, Kang menganiaya.
Ayoh, katakan pada kakang mu ini. Bukankah aku kakangmu"
Kang tega, kau, Kang suara Pada telah menghampiri sebuah tangs dari seorang bocah yang tak berdaya.
Ayoh, ceritai aku, Pada. Sekali saja. Dengan selir mana saja kau telah lewatkan malam-malam yang sunyi di dalam keputrian"
Pada telah sampai pada puncak kekecutan, tak mampu bicara.
Sewaktu Wiranggaleng melecuti anak itu dengan pertanyaan. terbayang olehnya istrinya, Idayu. Sekiranya Idayu dulu terpaksa jadi penghuni harem, menjadi selir sebagai yang lain-lain, mungkinkah anak ini juga yang akan datang padanya, di malam sepi, dan meletakkan tangan pada tubuh kekasihnya" Darahnya tersirap dan dengan sendirinya tangannya melayang mencekam pergelangan Pada.
Anak itu meraung kesakitan. Syahbandar muda terpaksa metepaskan kembali.
Dengan pandang bertanya Pada menatap juara gulat Itu, kemudian memeriksa pergelangannya. Dibimya cemberut.
Di asrama dulu kau mengenakan gelang, kalung dan cincin mas, Pada. Seperti pembesar. Mana barang-barang itu sekarang"
Kau siksa aku begini macarn, Kang.
Kau tidak menjawab. Dan kau tak mau menjawab. Selir mana yang telah beri kau semua itu"
Kang, tega kau Di mana barang-barang itu sekarang, Pada" Pada terdiam. Pandangnya dilemparkannya ke permukaan laut.
Bocah berumur lima belas! Wiranggaleng meludah ke geladak.
Kata orang, gandarwa berumur dua ratus tahun baru mulai dewasa. Kau, Pada empat belas, lima belas! Keparat! Empat belas, lima belas sudah jadi buaya. Jangan ucapkan itu, Kang. Pada memohon.
Dua orang itu kini terdiam. Lama. Seakan-akan telah terjadi permusuhan bat in antara mereka.
Wiranggaleng melepaskan pandang ke sebelah selatan, pada pantai pulau Jawa yang nampak samar-samar di kejauhan. Dan Pada mulai agak mengerti mengapa ia berada di atas kapal dagang ini.
Juara gulat itu membanding-bandingkan dirinya dengan Pada. Waktu berumur empat atau lima belas ia masih tak mengerti sesuatu kecuali bekerjn di sawah atau ladang atau mengurus ternak: babi, sapi, ayam dan anjing.
Semua tak ada yang kau jawab, Pada. Sekarang yang lain. Barangkali kau mau menjawab: sudah berapa kali kau menulis surat untuk Sayid Habibullah Almasawa Syahbandar Tuban"
Menulis surat" bocah itu berseru terheran-heran. Buaya! Kau memang pandai berpura-pura. Pada, aku tahu surat-surat itu tulisanmu. Apa kau kira dunia ini bisa kau bodohi begitu gampang" ia buang pandangnya ke tempat lain dan meneruskan, pelan-pelan. Orang tak mungkin bisa berbohong terus-menerus. Pada suatu kali orang harus mengakui kebenaran.
Pada terdiam tak membuka mulut. Ia hindari pandang juara gulat yang mengancam itu.
Sekali ini kau harus menjawab, Pada. Syahbandar muda itu memaksa. Berapa kali kau tuliskan surat untuk Syahbandar"
Kang Galeng, bukankah tak lain dari Kakang sendiri yang tahu, semua! Kewajibanku telah kulakukan dengan baik" Apakah yang Pada tak lakukan buat kepentinganmu dan Mbok Ayu Idayu" Sekalipun harus melanggar aturan yang ada"
Wiranggaleng membatalkan niatnya untuk menyakiti bocah itu. Ingat akan jasa Pada menyebabkan ia merasa segan melakukan.
Sang Adipati juga memuji kecakapanmu. Kalau kau anak tertib mungkin bisa kau jadi penggawa di kemudian hari. Aku dan Idayu takkan melupakan jasa-jasamu. Yang aku ingin tahu dari kau sekarang, Pada, apakah yang telah kau lakukan di luar kewajibanmu yang merugikan Sang Adipati"
Ia lihat Pada menjadi pucat dan bibirnya gemetar. Anak itu mulai mengerti benar mengapa ia dibawa ke kapal ini: untuk menjalani pemeriksaan dan hukuman. Dan Wiranggaleng yang ia hadapi kini bukanlah seorang kakang yang lunak, lemah-lembut dan pelindung. Ia adalah pemeriksa dan penghukumnya sekaligus. Ia menekur tak berani mengangkat muka.
Kau tak menjawab, Pada, ia lemparkan pandang jauhjauh. Jawablah. Aku tak perlu melihat mukamu. Aku hanya inginkan jawabanmu. Dijauhkan Kakang hendaknya daripada perbuatan salah terhadapmu, Pada. Jawablah. Ia menunggu dan menunggu. Jawaban itu tak kunjung datang. Bukankah masih kau akui aku kakangmu"
Ya, Kang. Jawablah. Terserah bagaimana menjawabnya. Pada tak juga mau menjawab.
Tanpa mengubah kedudukan pandangnya tangan Wiranggaleng mencekam rambut Pada yang jatuh terurai dari bawah destamya. la tahu cengkaman itu lunak tak menyakiti.
Baik, kau tak mau menjawab. Sekarang Pada, katanya tanpa melihat kepadanya, mengapa kau suka memasuki keputrian" Juga tak berjawab. Mengapa kau menulis surat di atas kertas untuk Nyi Gede Kati dan Sayid Habibullah Almasawa" Tak berjawab. Baiklah kau tak mau menjawab lagi. Tahukah kau, jiwamu ada di tanganku sekarang ini, dan hidup-matimu akulah yang menentukan"
Tak terduga oleh Wiranggaleng si bocah Pada menjawab tertahan: Sekarang aku tahu mengapa aku mendapat perintah untuk mengikuti kau. Kang. Kang Galeng, ketahuilah, aku takkan jawab semua pertanyaanmu. Aku tak mampu, Kang. Ampunilah, aku. Hanya, Kang, kalau aku kau bunuh juga sekarang ini, sampaikan sembahku pada Mbokayu Idayu, Kang. Tak ada sebuah dapat kusampaikan pada siapa pun, karena tak ada orangtua dan sanak padaku.
Mengapa pada Idayu" Karena seluruh Tuban memujanya, juga aku, Kang. Maukah kau"
Katakan sesuatu padaku, Pada.
Tak ada sesuatu yang dapat aku katakan, Kang. Menjawab atau tidak, perintahmu adalah membunuh aku. Semua sudah kukatakan dan jawab.
Ayoh, katakan, katakan sesuatu. Anak itu justru membisu.
Suatu pergolakan telah terjadi di dalam hati juara gulat itu. Batinnya menuduh kau mencemburui bocah kecil ini, Galeng. Kau sendiri ada keinginan untuk melenyapkannya dari muka bumi karena perintah cemburu hatimu sendiri. Kau punya kepentingan pribadi dalam urusan ini! Tapi di hadapanmu ada Gusti Adipati. Dan kau takkan mampu melawannya. Di samping itu ada juga tuan Syahbandar Tuban, kucing di waktu malam dan merak di siang hari itu.
Kau pun boleh jadi tak dapat berbuat apa-apa terhadapnya. Hanya terhadap Pada, si bocah tanpa daya ini, kau berani berbuat, hanya karena cemburu yang tidak terbukti. Bagaimana kau ini, Galeng" Pengikut rama Cluring" Kau bingung! Kau tak tahu di mana tempatmu.
Syahbandar muda itu malu punya perasaan cemburu terhadap si bocah itu. Idayu sendiri lebih tidak berdaya! Kini hatinya jadi sendu. Apa yang dia bisa perbuat menghadapi orang-orang berkuasa seperti Sang Adipati dan Syahbandar Tuban" Dia yang tertinggal di daerah larangan, di kesyahbandaran itu, dalam satu sarang dengan Nyi Gede Kati, bekas pengurus harem, yang sudah selayaknya akan membantu suaminya menundukkan Idayu. Mengapa bocah ini harus jadi sasaran kekacauanku"
Juara gulat dan Pada berdiam diri dengan pikiran masing-masing. Beberapa kali orang berjalan mondarmandir melewati mereka. Dan mereka tetap tak bicara sesuatu.
Matari makin lama makin condong. Angin laut yang bertiup dari belakang menyebabkan rambut mereka tergerai di bawah destar, sedang puputan pada layar menyebabkan antara sebentar terdengar gelepar.
Kalau kau tega juga membunuh aku, Kang tiba-tiba Pada berkata seperti pada diri sendiri.
Mengapa kau punya pikiran aku akan membunuhmu" Siapakah yang tidak dibunuh oleh Sang Adipati, bila orang dianggap merugikannya"
Siapakah aku ini maka harus membunuh kau" Aku sudah banyak tahu, Kang. Kaulah yang akan membunuh aku atas perintah Gusti Adipati.
Kalau saja kau mau ceritai aku tentang keputrian dan diri Sayid
Kalau aku harus dibunuh karena surat dan keputrian; sama saja, Kang, aku pun harus dibunuh karena yang itu juga, hanya surat itu untuk Kang Galeng dan Mbokayu Idayu.
Bukankah telah kukatakan kami berdua berterimakasih" Dan semakin heran ia mengapa si bocah itu begitu tabah menghadapi bahaya maut yang sudah dekat pada lehernya. Pasti ia punya perhitungan: melompat ke laut dan berenang. Pasti! Bertanya ia lembut dan sopan: Tiadakah kau takut pada hiu, Pada"
Ia lihat Pada tersenyum seakan mengerti maksudnya. Kata orang, Pada mulai seperti hendak mendongeng, barangsiapa takut pada hiu, dia takkan menyintuh laut. Barangsiapa menentang laut, dia takkan dapatkan hiu. Kembali mereka berdiam diri.
Waktu seseorang memberitakan, makan sudah siap, baik Wiranggaleng mau pun Pada mulai juga tidak beranjak dari tempat. Dan matari dengan lambatnya ma km mendekati ufuk barat. Semburat merah mulai membakar kaki langit. Kau diam saja, Kang. Hari mendekati malam. Terdengar seseorang menyerukan azan di bawah geladak dan ia memperhatikan. Lagunya begitu asing dan katakatanya ia tak kenal. Setelah seruan selesai ia merangkul Pada dengan mesra.
Jadi segala yang orang ketahui tentang kau temyata benar. Pada. Kau tak mau bicara, baiklah. Dan kalau kau melompat ke laut. aku takkan menghalangi. Kalau kau melompat dan berenang ke sana, cukupkah kiranya nafasmu, Pada"
Jangan pikirkan nafasku, Kang Aku mengerti kau harus bunuh aku. Aku akan berenang dan takkan kembali ke Tuban Demi Batara Kala. Percayalah.
Pada, adikku, maafkan aku. Sembahmu pada mbokayumu nanti aku sampaikan. Kalau kau melompat, aku akan menengok ke sana, ke laut lepas. Melompatlah. Cepat, melompat!
Tetapi Pada tiada bercepat melompat. la bersimpuh di atas geladak itu, menyembah Wiranggaleng mencium kakinya, berdiri lagi dan dengan lambat naik ke atas dinding lambung.
Aku pergi, Kang. Kemudian menyusul bunyi benda jatuh ke laut. Mati! teriak Wiranggaleng sekuat-kuatnya. Mau kau, Pada! Mati!
Orang berlarian naik ke geladak dan bertanya-tanya. Juara gulat itu bertolak pinggang menghadapi mereka dan dengan nada resmi mengumumkan: Telah kubunuh atas titah Gusti Adipati Tuban Arya Teja Tumenggimg Wilwatikta, seorang pendurhaka bemama Pada. Kubunuh dan kulemparkan dia ke laut.
Tanpa menggubris tanggapan dan pertanyaan ia berjalan menuruni tangga geladak untuk mendapatkan makannya.
Dari mereka yang tak suka pada Demak, sindiran datang tanpa henti. Di antaranya yang tajam menusuk: Mendirikan kerajaan memang mudah. Carilah tempat yang sepi di pedalaman. Kalau musuh datang dari laut jangan dirikan di tepi pantai. Kalau takut musuh menyerbu dari gunung, jangan dirikan di tepi pantai. Kalau kuatir musuh datang dari lembah, jangan dirikan di tepi pantai. Kalau was-was musuh datang dari langit, jangan dirikan di tepi pantai!
Lama kelamaan sindiran mencapai puncaknya dalam bentuk yang semakin jelas: Di pedalaman saja, sahabat, di pedalaman, karena Peranggi bakal datang!
Sindiran itu dinyanyikan orang di mana-mana, juga di tengah-tengah Demak sendiri.
Putra mahkota Demak, Adipati Kudus Pangeran Sabrang Lor, tak dapat menenggang semua itu. Pada setiap kesempatan ia memerlukan menangkis: Mereka bilang, Peranggi lelananging jagad, menguasai segala yang dilihatnya. Mereka, Peranggi, belum lagi melihat Demak. Suruh dia melihat Demak, dan dia akan melihat kuburannya sendiri.
Putra mahkota juga yang pada suatu kali menghadap ayahandanya. Sultan Syah Sri Alam Akbar Al-Fattah, memohon satu kesatuan balatentara pilihan. Dengan modal itu ia menyerbu Jepara menduduki dan menguasainya. Kini Demak punya bandar sendiri. Putra mahkota diangkat jadi Adipati Demak dengan gelar Adipati Unus. Dan Unus dimasyhurkan sebagai nama seorang nabi penguasa laut. Ia pun diangkat oleh ayahandanya jadi menteri urusan manca negara. Itulah jawaban Demak terhadap sindiran takut pada Peranggi.
Tetapi orang masih tetap tidak percaya pada sesumbar putra mahkota. Sindiran terus juga datang.
Portugis menduduki Malaka.
Sekarang sindiran lain lagi bunyinya: Lihat, Peranggi sudah menduduki Malaka. Demak menduduki Jepara.
Mereka hanya akan berpandang-pandangan dari bandar masing-masing, sampai kedua-duanya bosan dan tak berpandang-pandangan lagi.
Adipati Unus Jepara pada suatu kesempatan di hadapan para punggawa, yang ditugaskan membangun galangangalangan besar, berkata: Ketahuilah, bila kelak Peranggi tidak datang ke Jepara untuk menantang Demak, maka dari Jepara akan datang Demak ke Malaka menentang Peranggi.
Sindiran-sindiran padam setelah jelas Adipati Unus Jepara tidak tinggal bersumbar-sumbar. Galangan-galangan kapal diperbanyak dan diperbesar. Kapal perang dan niaga dibangunkan. Didatangkannya pengecor-pengecor dari Blambangan. Dan ia tidak peduli pandai-pandai itu beragama Hindu. Ditempatkan mereka di desa Bareng untuk membikin cetbang yang direncanakannya sendiri, khusus untuk menghadapi Peranggi.
Perintah-perintahnya sangat keras. Semua pekerjaan harus selesai pada waktunya.. Permunculannya menerbitkan kegentaran pada para pekerja. Kayu keras didatangkan dari Kalimantan untuk lunasdan Hang kapal. Dan waktu pandai-pandai di Bareng dianggapnya kurang cepat bekerja, mereka dipindahkan bersama bengkelnya ke pinggiran bandar jepara.
Dengan demikian Jepara dihadapkannya ke Malaka. Galeng mendarat di bandar Yuana bandar milik Tuban yang terletak di wilayah paling barat, setelah Jepara jatuh ke tangan Demak
Bandar Jepara sedang giat-giatnya bekerja waktu ia datang. Ia berjalan lambat-lambat, melihat-lihat pemandangan di kiri, kanan dan depannya Sengaja ia perlihatkan diri sebagai orang baru yang tidak tahu sesuatu apa. Tak ada seorang pun dikenalnya.
Duduklah ia di bawah sebatang pohon kenari. Semua orang nampak sibuk. Tak ada orang berlenggang-kangkung dengan tangan kosong. Di sana orang sedang menggotong atau memikul balok dan papan. Di sini orang sedang menumpuk kayu. Dari mana-mana datang bunyi orang membelah, memohon atau berseru-seru memberi perintah, Dalam bedeng-bedeng tanpa dinding orang sedang melengkungkan papan yang dipatok-patok dengan kayu pada tanah dan memanggang lengkungan dengan api. Dan kapal-kapal besar yang sedang digalang adalah laksana kerangka ikan raksasa yang sedang dirubung semut. Gerobak-gerobak beroda kayu untuk mondar-mandir mengangkuti pasir, batu dan kayu. Di tempat yang paling jauh orang sedang membadari batu karang untuk dibikin kapur.
Semua serba berbeda dengan di bandar Tuban, juga dengan di bandar galangan Glendong.
Mereka akan segera mengenali aku sebagai pendatang baru, pikir juara gulat itu. Ia bangkit berdiri waktu seseorang memanggilnya sambil melambaikan tangan. Pakaiannya sama juga dengan orang Tuban.
Hai, kau! Tidak bekerja"
Sekaligus ia dapat menangkap, akhir suku kata yang di tempatnya disebutkan jadi a miring, di sini jadi o miring.
Belum lagi ia sempat menjawab orang itu sudah meneruskan: Ha, pendatang baru. Kebetulan. Apa bisa kau kerjakan" Menukang" Besar betul badanmu.
Hanya memikul, jawab juara gulat itu menirukan lidah Jepara.
Baik, Man ikuti aku. Kami kekurangan pemikul Dengan demikian mulailah Wiranggaleng bekerja sebagai pemikul balok, mondar-mandir dari penumpukan ke galangan. Menjelang matari tenggelam orang membawanya ke bedeng tidur di daerah pelabuhan itu juga. Setelah makan malam orang pun merebahkan diri berjajarjajar seperti di asrama di Tuban dulu, hanya ambin di sini tidak dari kayu, seluruhnya dari bambu dan pelupuh. Dan kepinding menyerang dari segala penjuru.
Kelelahan menyebabkan orang segera tertidur. Namun tidak semua menyerahkan diri pada mimpi. Tak kurang orang sengaja menunda kantuk sesuai dengan pesan orang tua-tua untuk belajar sesuatu dari orang Iain, mendengarkan wejangan, berita, untuk meningkatkan pengetahuan.
Pada malam pertama juara gulat itu menggolekkan tubuhnya yang besar di samping-menyamping orang-orang yang belum dikenalnya. Ia tahankan bau yang keluar dari pakaian mereka. Dan ia tak mencoba membuka mulut. Ia berusaha mendengarkan segala apa yang dapat didengamya.
Dari kegelapan beberapa depa dari tempatnya ia dengar seorang pekerja berkata pada teman-temannya.
Kerajaan itu, Islam atau tidak Islam, dikuasai oleh raja yang menentukan aturan praja. Aturan itu tak banyak bedanya pada semua kerajaan, ada hukuman dan ada karunia. Kalian hanya harus mematuhi dan menjalankan, dan semua akan berjalan beres. Kalian pasti selamat tak kurang suatu apa.
Apakah kau pernah hidup di dalam istana" Tidak.
Tahukah kau, banyak juga orang yang sudah menjalankan dan mematuhi aturan dengan sepatutnya namun dibunuh juga oleh raja"
Mesti ada sebabnya, ada kesalahannya. Misalnya karena cemburu kalau-kalau orang itu akan menggulingkannya.
Betul, itu memang ada, orang lain membenarkan. Boleh jadi raja itu menghendaki istri atau anaknya yang cantik.
Jantung Wiranggaleng berdebar-debar. Idayu muncul dalam penglihatan batinnya. Tapi segera kemudian lenyap oleh kata-kata orang tersebut.
Itu namanya raja lalim. Dalam kerajaan Islam tak ada raja lalim, semua adil.
Baiklah tak ada raja Islam yang lalim. Sekiranya raja Islam itu lalim, siapa yang menghukumnya" Ataukah tidak akan dihukum seperti halnya dengan raja-raja Syiwa atau Buddha atau Wisynu"
Juara gulat itu tak mampu lagi mengikuti perdebatan. Pikirannya sibuk mengurus kekuatirannya sendiri.

Beberapa minggu kemudian tahulah ia, pekerja yang suka memberikan ceramah itu tak lain dari seorang musafir Demak, seorang di antara para pemasyhur Demak dan Sultan Sri Alam Akbar Al-Fattah. Ia menamakan diri Hayatullah. Orang yang sudah mengenalnya sejak kecil memanggilnya Anggoro, bukan Anggara, karena dilahirkan pada hari Anggara. Pada suatu malam Hayatullah menerangkan pada teman-temannya, ada banyak putra Adipati Tuban yang telah mengikat kesetiannya pada Demak, dan tak lama lagi Tuban pasti menjadi daerah Demak.
Betapa hebatnya kerajaan Islam pertama-tama ini, ia meneruskan dalam kegelapan bangsal tidur. Belum seberapa umumya, tapi lebih baik daripada semua kerajaan yang pernah ada. Dahulu seorang raja dapat berselir tanpa batas, dan selir-selir celaka itu tak punya hak sesuatu .
Dari ujung ambin seseorang membentak Tutup mulutmu. Kalau kau tak tahu tentang istana, jangan membual.
Dalam kegelapan itu Wiranggaleng membayangkan Hayatullah terduduk dari rndan mencari-cari penyangkalnya, karena tak lama kemudian terdengar musafir Demak itu menanya.
Siapa itu" Adakah kau sendiri isi istana" Kalau isi istana mengapa tinggal dalam bangsal gelap ini" Atau kira-kira kau seorang pangeran tersasar"
Tidur kau! bentak suara orang tak dikenal itu. Sudah malam, dan besok pagi masih harus bekerja. Kalau tak tahu tentang istana, sebaiknya kau bertanya padaku. Semua selir raja punya hak, pertama gelar untuk anak-anaknya, hak keprajaan, kedua tanah yang harus digarap oleh orang desa, ketiga pengakuan atas anak-anaknya sebagai anak syah raja. Itu sekedarnya saja tentang selir. Sudah, jangan berisik.
Ternyata Hayatullah tak mau diam. Dengan berapi-api ia ganti menyangkal: Itu katamu. Siapa yang menjamin hakhak itu dilaksanakan"
Goblok kau! Menteri-dalam mengurus semua itu. Siapa menjamin Menteri-dalam melakukan kewajibannya"
Yang menjamin Hayatullah alias Anggoro tentu, penyangkal itu berseru jengkel, kemudian sengaja memperdengarkan kuapnya.
Jangan mempermain-mainkan aturan, kau, Hayatullah memperingatkan. Kalau jaminan aturan mesti berlaku tidak ada, tak usah orang bicara tentang aturan. Beda dalam kerajaan Islam. Jangan pura-pura tidur, kau. Dengarkan biar kau tahu sedikit tentang Demak, karena bagaimana pun kalian sekarang ini tak lain dari kawula Demak.
Pertentangan itu menyebabkan orang-orang diam mendengarkan.
Raja Islam hanya boleh beristri empat, dan semua mereka punya hak yang diatur di dalam Alkitab. Dahulu aturan-aturan ditulis dalam seratus lembar lontar yang bemama Nitisastra.
Seseorang terdengar tertawa berbahak mengejek. Hayatullah! Tahu apa kau tentang Nitisastra" Memasuki mandala pun kau tak pernah. Membaca Jawa pun kau tak tahu .
Ada ratusan kali seratus lembar lontar aturan yang harus dipatuhi oleh raja Islam dan kawulanya, Hayatullah meneruskan tanpa menggubris penyangkalnya.
Aturan bukan hanya ada dalam Nitisastra, seorang lain menyangkal dalam kegelapan yang sama. Ada banyak aturan dalam lontar yang kau tak tahu. Perlukah aku sebutkan satu-per-satu"
Biar pun lontar-lontar itu dua puluh kali seratus kali dua ratus berapa saja kau sebutkan, sama saja, Hayatullah meneruskan, tak dapat dibandingkan dengan Alqur an atau Alkitab atau Alfurkon, karena kitab ini berasal dari Allah melalui rasulnya. Lontar itu hanya berasal dari para raja dan para empu, para pujangga.
Untuk ke sekian kalinya Wiranggaleng telah tertidur sebelum ceramah selesai.

Di siang hari sewaktu bekerja ia mencoba memperhatikan Hayatullah. Tubuhnya kecil rapuh, ototototnya pendak dan tipis, tetapi ia bekerja tanpa henti-henti. Seakan sedang mengerjakan sawah dan ladang sendiri. Matanya tidak tenang, pikirannya seperti selalu melayang ke manamana. Pada waktu istirahat siang selalu ia pergi menyendiri membawa lodong bambu berisi air tawar, membasuh tangan, muka, dahi rambut dan kaki, menggelar tikar di bawah sebatang pohon, kemudian bersembahyang. Di malam hari ia muncul di bangsal tidur bila orang sudah pada bergolek di tikar masing-masing dan ia langsung bercerita atau membuka persoalan seperti dilakukan oleh para guru-pembicara di desa-desa. Bedanya, para gurupembicara di desa-desa bicara pada mereka yang mempunyai perhatian, musafir Demak ini bicara terus tak peduli ada yang dengar atau tidak.
Siapakah putra-putra Tuban di Demak" Galeng memberanikan diri bertanya.
Lidahmu seperti lidah Tuban, tegur Hayatullah. Tidak.
Dari Lao Sam barangkali"
Dua-duanya tidak, jawab juara gulat itu.
Memang tidak ada urusanku dengan asalmu. Putraputra Tuban yang terkemuka di Demak ialah Raden Kusnan, Punggawa-dalam. Yang lain Raden Said, anggota Majlis Kerajaan. Orang memanggilnya juga Ki Aji, Kalijaga, dan lebih suka dipanggil demikian. Dibuangnya Raden leluhur sendiri dari Majapahit dulu, digantinya dengan Ki Aji, gelar pemberian orang yang mencintainya. Mengapa dibuang gelar dari leluhumya"
Gelar kafir itu tak mengandung sesuatu arti di dalamnya. Dalam Islam, hanya perbuatan orang yang dinilai oleh sesama dan oleh Allah. Perbuatan atau amal Ki Aji Kalijaga luar biasa agungnya. Dengarkan ceritanya, karena barangkali di Tuban sendiri tak pernah kau dengar. Di Tuban sendiri memang tak pernah terdengar. Beliau telah tinggalkan Tuban dan mengembara ke mana-mana untuk memasyhurkan Islam. Beliau keluarmasuk desa-desa. Beliau tidak bicara di balai-balai desa seperti para guru-pembkara yang tak tahu apaapa tentang wahyu Allah itu. Beliau lebih suka memilih tempt di bawahbawah pohon rindang, mengajak anak-anak bermain-main dan berceritalah beliau tentang kisah para nabi dan mukjijatnya. Lama-kelamaan ibu-ibu mereka ikut mendengarkan. Kemudian juga para bapak.
Apa kisah para nabi itu" Apakah sama dengan kisah para dewa"
Cet, cet, jangan samakan nabi dengan dewa, karena nabi memang bukan dewa. Nabi sungguh-sungguh pernah ada, pernah hidup di atas bumi dan di antara manusia, menerima wahyu langsung atau tidak langsung dari Allah. Dewa-dewa tak pernah hidup di atas bumi dan selalu ngawur.
Siapa bilang para dewa tidak ada" Kalau pernah ada, mana keturunannya" Hadapkan padaku seorang saja di antara. Mereka yang tidak setuju dan jengkel mulai bersorak-sorak mengejek. Wiranggaleng diam memperhatikan sebagaimana biasa pada waktu ia di balai-desa mendengarkan seorang guru-pembicara. Waktu ejekan telah reda, terdengar lagi suara Hayatullah yang tak mengacuhkan gangguan.
Begitulah pada suatu kali Raden Said sampai ke sebuah desa. Mereka adalah orang-orang kafir penyembah Sang Kali
Apa kafir itu" Mereka yang tidak percaya dan tidak tahu ajaran para nabi. Ingat-ingat, kafir namanya. Jadi setiap penyembah berhala, yang nampak atau tidak, termasuk Sang Kali, kafir namanya.
Ngawur, kau, Hayatullah, tak ada orang menyembah Sang Kali Orang hanya menyembah Sang Maha Buddha Galeng membantah karena tersinggung. Kalau kau bilang Sang Maha Buddha tak pernah ada, lebih baik pecahkan saja kepalamu sendiri.
Tetapi Hayatullah tak peduli dan meneruskan. Anakanak itu pada datang, ibu-ibunya, bapak-bapaknya. Kemudian juga tetua desa. Pertentangan pendapat terjadi, perdebatan, sehari, seminggu, dua bulan. Tak ada di antara tetua desa dapat mengalahkan beliau. Begitulah akhimya mereka dapat ditaubatkan.
Apa artinya ditaubatkan"
Diyakinkan akan kebenaran Islam, dan membawa mereka masuk Islam. Mereka meninggalkan Sang Kali. Mereka menyembah Allah dan mendengarkan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Ia diam sebentar. Kau sudah tidur" dan waktu ia masih mendengar jawaban, ia meneruskan, sejak itu beliau dipanggil Ki Aji Kalijaga, Ki Aji, yang menjaga agar Sang Kali takkan kembali untuk seiama-lamanya. Dan sekarang Ki Aji duduk dalam majlis kerajaan Demak. Tidak sembarang orang bisa. Raja Majapahit pun takkan bakal mampu lakukan pekerjaan itu, karena pekerjaannya adalah menurunkan ajaran nabi di dalam keprajaan. Memang hanya empat kali dalam sebulan sidangnya, tetapi menentukan. Enam hari dalam seminggu Ki Aji Kalijaga meneruskan pekerjaannya yang dalam, memasyhurkan Islam dan Demak di desa-desa. Wiranggaleng telah tertidur.
Dalam pekerjaan sehari-hari ia mengetahui, pembikinan kapal-kapal perang dan niaga itu berjalan sangat cepat, tidak seperti di Glondong. Sebuah kapal terbesar, yang akan dipergunakan jadi kapal bendera akan dapat mengangkut lima ratus prajurit laut dengan empat belas cetbang besar pada haluan dan lambung. Badan kapal itu akan dilepa dengan tujuh lapis adonan kapur dengan minyak kelapa. Peluru Peranggi diperkirakan takkan dapat menembusinya.
Orang tak banyak membicarakan kapal yang mereka sedang bikin sendiri. Di dalam bangsal tidur apalagi. Justru soal-soal lain yang orang percakapkan.
Pada malam-malam selanjutnya Hayatullah tak muncul. Beberapa orang, menganggap itu suatu keberuntungan, karena si pengganggu tidur membiarkan mereka melepaskan lelah dengan damai. Sebaliknya beberapa orang yang sudah terbiasa mendengarkan para pembicara di desadesa menyatakan, tak ada buruknya orang mengetahui halhal baru yang terjadi di atas dunia manusia ini.
Lama-kelamaan ketahuan juga Hayatullah tak seorang diri menghilang di malam hari. Beberapa orang ternyata mengikutinya. Di siang hari sekarang ia nampak tidak seorang diri bersembahyang. Ia telah mempunyai pengikut, dari dua jadi enam, dari enam jadi delapan. Terheran-heran orang waktu kemudian mengetahui, tak lain dari Sang Adipati Unus Jepara sendiri yang memerintahkan pembangunan rumah sembahyang di tempat Hayatullah biasa bersembahyang.
Dan sejak itu mereka tak lagi bersembahyang di tempat terbuka, terlindung dari hujan dan angin dan panas.
Pada suatu tengah malam Hayatullah muncul lagi. Tetapi ia bukan pembicara cerewet yang dulu. Ia sudah jadi orang lain. Tak seorang pun berani mengejek atau menyorakinya walaupun tidak setuju. Kata-katanya mulai didengarkan oleh semua orang dengan sungguh-sungguh suka atau tidak suka.
Bukankah pembikinan rumah sembahyang itu, tempat orang menyembah Hyang baru itu, mengurangi kelajuan pembikinan kapal" sekali waktu seseorang bertanya dalam kegelapan.
Mengapa tidak tidur saja di rumah sembahyang" seorang lain lagi bertanya.
Bagaimana kau dapat mengatakan pembikinan rumah itu menyendatkan pembikinan kapal" Kapal dan Islam akan belayar bersama-sama, tidak tunggu-menunggu. Apakah arti kerajaan Islam kalau Islam tak berkembang di antara kawulanya" Tidak seperti Hindu dan Buddha, orang-orang desa harus bangunkan sendiri asrama, mandala dan perguruan sendiri. Sedang kapal-kapal itu gunanya untuk menumpas Peranggi yang jelas-jelas, memusuhi Islam. Peranggi tak boleh memasuki Nusantara, apalagi Jawa, karena cepat atau lambat semua penduduknya akan masuk Islam.
Mana mungkin. Apakah semua kami harus masuk Islam"


Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak ada yang memaksa kalian masuk Islam. Adakah aku memaksa kalian masuk Islam dan bertaubat" Adakah pembicara di desa-desa memaksa kalian mempercayai dan mengikutinya"Tetapi karena aturan Islam adalah yang terbaik, dia akan mengalahkan yang kurang baik dan yang tidak baik. Ada pun aku tidak tinggal di rumah sembahyang, walau sudah berdinding dan berpintu, tunggulah, lain waktu kalian akan tahu lebih baik. Hayatullah meneruskan kata-katanya tentang agamanya. Wiranggaleng tak mendengarkan lagi walaupun belum tidur. Ia telah temukan yang dicarinya: Adipati Unus Jepara mempersiapkan armada untuk menyerang Malaka, untuk melindungi Islam, bukan untuk memanggil kejayaan dan kebesaran masa silam pada guagarba hari depan. Unus akan membangunkan kejayaan dan kebesaran tersendiri, bukan kebesaran dan kejayaan Majapahit. Ia tak dapat bayangkan kebesaran dan kejayaan macam apa itu, dan ia merasa tak ikut jadi bagian dari padanya.
Pada keesokan harinya ia tinggalkan pekerjaannya dan pindah ke bengkel pandai. Cetbang-cetbang buatan pandai Bareng itu temyata lebih besar daripada buatan Tuban. Empat orang takkan kuat memikulnya, sedang bilikledaknya menggelembung sebesar buah kelapa. Ia tak dapat bayangkan seberapa besar peluru yang akan dilemparkan dari bilik ledak sebesar itu. Ia sendiri belum pernah melihat peluru cetbang.
Dua bulan kemudian ia tinggalkan juga pekerjaan barunya.

Seorang diri ia berjalan kaki memasuki Demak. Tetapi tak ada sesuatu yang penting didapatkannya. Ia saksikan penyempumaan pembangunan mesjid raya, pembangunan jaian-jalan raya yang melintasi desa-desa dan tanah-tanah perawan menuju ke Semarang. Ia pernah melihat Raden Kusnan dari kejauhan. Ia pernah melihat Ki Aji Kalijaga sedang memasuki mesjid. Orang yang tersohor itu berpakaian seperti bagawan, berkain baik tanpa wiru, berdestar batik dan berkerobong kain batik untuk penutup badan-atasnya. Kakinya tak beralas sedang destar nampak begitu longgar di kepalanya dengan ikatan bergaya khusus. Ujung-ujung destar itu jatuh lunglai panjang-panjang pada bahunya. Dan di bawah destar tak nampak ada rambut.
Berbeda dengan di Jepara, di Demak di mana-mana orang bicara tentang armada yang sedang dipersiapkan dan tentang sekutu Demak yang akan bergabung dalam armada kesatuan, semua kerajaan Islam termasuk Tuban.
Keterangan itu baginya telah berisi segala-galanya, walaupun ia belum mengerti betul duduk-perkaranya. Kalau Demak satu-satunya kerajaan Islam di Jawa, mengapa Tuban dan Banten juga dianggap sebagai kerajaan Islam" Ia anggap itu bukan masalahnya. Yang jelas: Demak punya sekutu, armada gabungan akan dibentuk, semua akan menyerang Malaka.
Setelah lebih enam bulan meninggalkan Tuban ia merasa telah cukup menjalankan tugasnya untuk mengetahui segala sesuatu tentang persiapan Adipati Unus Jepara. Ia bermaksud pulang. Di tinggalkannya Demak dan berangkat kembali ke Jepara.
Sesampainya di bandar Jepara ia melihat serombongan orang mengejar-ngejar dua orang berkulit putih berpakaian aneh. Yang seorang berambut pirang, yang lain berambut hitam. Kedua-duanya lari dengan gesit menyelamatkan diri dari mata pedang dan mata tombak. Orang bersorak-sorak mengejamya.
Mereka berdua melompat ke dalam perahu besar, mendayung cepat ke tengah laut. Sebentar kemudian layamya berkembang dan dengan lajunya meluncur ke arah timur laksana burung camar.
Para pemburu pun berlompatan ke dalam perahu dan mengejar. Yang dikejar makin lama makin jauh tiada tercapai, lebih unggul dari perahu-perahu para pengejar. Maka pengejaran tak diteruskan.
Di bandar orang-orang pada duduk menyembah seseorang yang berdiri bertolak-pinggang dikawal oleh beberapa belas orang prajurit berpedang. Orang itu kemudian menuding-nuding ke arah larinya dua orang kulit putih tersebut dan meraung dalam bahasa Jawa langgam setempat: Bodoh! Bagaimana bisa mereka dibiarkan berkeliaran disini" Jawab, kau, Syahbandar.
Ampun, Gusti, adapun pelabuhan Jepara ini tiada aturan menolak orang dari mana pun juga datangnya. Apa katamu"
Selama orang tidak mengajukan permohonan untuk menetap atau untuk tinggal sementara di sini, Syahbandar saja yang berwenang mengijinkan atau menolak, Syahbandar Jepara menerangkan. Atau orang tidak melewati daerah bandar. Boleh saja.
Benar, mengapa kau biarkan mereka" Mengapa kau ijinkan mereka"
Mengapa, Gusti" Karena Jepara bandar bebas. Apa kau kira ini bandar nenek-moyangmu sendiri" Ini pelabuhan Demak, bukan pelabuhan siapa saja.
Ini pelabuhan bebas, Gusti, Syahbandar membangkang. Ketentuan itu belum pernah dirobah oleh Gusti Kanjeng Sultan ataupun oleh Gusti Kanjeng Adipati.
Orang yang berdiri bertolak pinggang itu terdiam sejenak. Tiba-tiba ia meledak lagi: Baik. Kau berwenang terhadap pelabuhan ini. Tetapi mengapa mereka kau biarkan bergelandangan memasuki galangan-galangan dan bengkel"
Belum pernah ada larangan.
Tidakkah kau bisa berpikir. Itu tak boieh untuk mereka, pendatang-pendatang" berkulit putih itu"
Jepara pelabuhan bebas, Gusti.
Kau memang sudah tua. Tidakkah kau ada kecurigaan terhadap Peranggi" Mata-mata dari Malaka, atau diturunkan dari kapal Peranggi"
Memang mereka Peranggi, Gusti, dan Jepara masih tetap pelabuhan bebas.
Kami akan persembahkan pada Gusti Jepara. Apa kebangsaanmu, Syahbandar"
Koja, Gusti. Islam agama sahaya.
Wiranggaleng duduk di bawah sebatang pohon kenari dan mengawasi kejadian itu dengan diam-diam. Peranggi temyata sudah memasuki Jepara, pikimya, Jepara belum lagi menjenguk Malaka. Sungguh berani orang-orang kulit putih itu hanya berdua memasuki negeri orang yang memusuhinya.
Selamat untukmu, Syahbandar bukan Pribumi. Apa saja mereka perbuat di sini" Syahbandar tak dapat menjawab. Orang lain yang menjawabkan: Hanya melihat-lihat sambil tertawa-tawa, Gusti.
Mentertawakan siapa"
Ampun, Gusti, orang itu meneruskan, tak ada yang mengerti bahasanya.
Wiranggaleng menangguhkan kepulangannya. Kedatangan dua orang kulit putih itu tentu saja sesuatu kejadian besar. Ia harus mengetahui kelanjutannya.
Kelanjutannya adalah: Syahbandar Jepara diturunkan dari jabatannya. Anak-lelakinya yang menggantikan.
Mendengar itu juara gulat itu tertawa pada dirinya sendiri. Sama saja, dari Koja yang satu pada Koja yang lain. Mau tak mau ia teringat pada Moro Sayid Habibullah Almasawa. Satu demi satu perbuatannya yang ia pernah ketahui berbaris di hadapan mata ingatannya. Apakah Syahbandar Jepara berbeda dari Syahbandar Tuban" Apakah mereka lebih baik dari Rangga Iskak, peranakan Benggala itu" Di Tuban orang tidak suka pada Rangga Iskak ataupun Sayid Habibullah Alamasawa. Syahbandar Jepara, lama atau baru, barangkali sama saja. Ia pun mengherani mengapa Adipati Tuban dan Jepara masih juga menggunakan orang asing.
Sebelum berangkat ke Tuban ia memerlukan minta diri pada orang-orang yang pernah dikenalnya. Ia pun datang ke galangan dan bengkel. Hayatullah tak dijumpainya. Ia temukan orang itu pada senja hari di rumah sembahyang. Beberapa orang murid memenuhi ruangan dalam. Orang itu nampak sedang mengajar dengan sebuah kitab terbuka di hadapannya. Beberapa orang murid mengikuti segala kata yang diucapkannya, kata-kata aneh yang ia tak tahu artinya.
Lama ia duduk di luar mendengarkan. Ia mencoba-coba menirukan, tetapi tak bisa. Ia dengarkan Hayatullah membacakan tafsimya dalam bahasa Melayu, kemudian terjemahannya dalam bahasa Melayu, kemudian terjemahannya dalam bahasa Jawa: Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Katakan: Berlindung aku pada , kata-kata selanjumya Wiranggaleng tak mengerti, dari bahasa makhluk yang diciptakan-Nya. Dan dari bahaya kegelapan malam bila telah datang. Dan dari bahaya . Dan dari bahaya orang dengki, bila ia marasa dengki .
Kalimat-kalimat itu tak punya kesamaan dengan acuan sastra Jawa. Ia tak dapat mengikuti. Ia tetap tak mengerti. Dan Hayatullah alias Anggoro masih juga terus mengajar.
Ia tak jadi minta diri. Ditinggalkannya tempat duduknya, berjalan pelan menuju ke laut .

Berlanjut ke bagian 9


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar