Arus Balik.
Karya : Pramoedya Ananta Toer.
Bagian 17.
Balatentara Tuban Turun Tangan.
Tak ada tawa dalam penghadapan terakhir itu. Semua punggawa yang desanya bersangkutan dengan kekuasaan Rangga Iskak telah mempersembahkan pagardesa mereka tak sanggup lagi menghadapi perusuh-perusuh Ki Aji Benggala. Penjarahan terhadap desa-desa semakin banyak terjadi. Hilangnya ternak besar menyulitkan orang menggarap tanah, dan dengan demikian jatah upeti terancam takkan terpenuhi pada panen mendatang.
Waktu selama sebulan yang diberikannya oleh Sang Patih telah terlampau sia-sia.
Lebih dari itu dari beberapa tempat orang mulai menyebut Rangga Iskak bukan lagi Ki Aji Benggala, tetapi sudah jadi Kiai Benggala, dan terakhir malah berubah lagi jadi Sunan Rajeg.
Ya, Sang Patih memutuskan. Kalian telah menyatakan tidak sanggup. Kami terima kenyataan ini. Tak ada jalan lain daripada mengirimkan balatentara ke pedalaman. Dan semua itu jadilah tanggungan desa-desa kalian sebagaimana telah jadi aturan. Jangan kalian mengeluh karena harus makan lebih sedikit dan bekerja lebih banyak.
Regu-regu prajurit dari sepuluh orang, masing-masing di bawah seorang perpuluh, mulai diberangkatkan ke sembilan desa terancam dengan perintah untuk mendesak para perusuh sampai mereka masuk kembali ke desa Rangga Iskak dan memukul mereka di kandang sendiri.
Mereka berangkat setelah mendapat restu Sang Patih, berangkat menjelang fajar bersama dengan kepala desa, wedana dan kuwu bersangkutan. Tak banyak orang yang menyaksikan keberangkatan ini. Gong, canang dan gendang sama sekali tidak berbunyi.
Setelah hilangnya kesatuan kecil pasukan kuda, ia mengetahui betapa gentingnya pedalaman. Agar kawula tidak menjadi lebih gelisah, ia harus selesaikan pergolakan ini dengan diam-diam. Setiap keributan akan menarik bupati-bupati tetangga dan Peranggi di laut sana untuk ikut serta berpesta pora.
Maka juga tak banyak orang yang tahu: sembilan regu yang dikirimkan ke sembilan desa itu ternyata takkan pernah lagi ke pangkalan. Semua hilang tanpa bekas.
Dan berita tumpasnya regu-regu itu tidak datang dalam bentuk persembahan resmi. Ia datang dari pusat Tuban Kota.
Seorang penjual bertanya pada langganan mengapa belanjanya begitu sedikit sekarang. Jawabannya: tiga orang anaknya belum juga kembali selama ini, tak ketahuan ke mana perginya. Mereka adalah prajurit kaki Tuban. Seorang penjual lain menambahi, kira-kira mereka tertawan atau tertumpas oleh anah buah Kiai Benggala. Seorang pedagang dari pedalaman menambahi, bahwa orang sudah mulai meninggalkan desanya untuk mengungsi. Percakapan itu menjalar, semakin lama semakin lengkap dengan bahan baru, kenyataan baru, dan sampailah pada Sang Patih.
Sang Patih telah memerintahkan satu kesatuan berkuda untuk menghubungi regu-regu tersebut. Mereka pun tak berhasil. Mereka tak pernah kembali. Bahkan punggawa bersangkutan pun telah tumpas atau melarikan diri.
Setelah penghadapan terakhir dengan terburu-buru ia menghadap Sang Adipati. Ini terjadi di serambi belakang.
Ambil tindakan seperlunya saja, kata Sang Adipati acuh tak acuh.
Sang Patih mencoba meyakinkan gustinya, betapa telah menjalar Kiai Benggala.
Jangan gegabah, Sang Adipati menjawab. Tidak kami benarkan seluruh negeri Tuban menjadi keruh. Di mana kekeruhan berkuasa dan orang tak dapat melihat lagi, mata tertutup lumpur, takkan ada yang tahu bakal datang di hadapan.
Ia masih mencoba meyakinkan gustinya.
Orang itu bukan turunan satria, tidak pernah beroleh keprajuritan. Jangan membesar-besarkan.
Tetapi bawahannya, Gusti Adipati sesembahan patik, barang tentu terdiri dari prajurit-prajurit tangguh. Kalau tidak, tidak mungkin , ia tak berani mempersembahkan hilangnya satu kesatuan kecil pasukan kuda dan sembilan regu prajurit kaki. Ular berbisa itu, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik, biar pun kecil, mungkin masih telor, pada suatu kali akan jadi besar juga bila tidak segera ditumpas.
Apa yang kakang Patih inginkan"
Dan Sang Patih memohon agar diperkenankan mengirimkan kesatuan yang kuat, tidak terlalu besar, seyogianya pasukan kuda, di bawah pimpinan perwira yang paling cakap.
Kerusuhan seyogianya ditumpas dengan cepat, Gusti, cepat, yang dapat bergerak segera dan setiap waktu.
Dan Sang Adipati murka. Dengan suara pelahan tertindih amarah, dengan mata menyala, ia berkata cepat: Jangan terjadi sesuatu yang menarik perhatian orang. Ambil tindakan sekedarnya, biar pun hasilnya hanya sekedar menghalangi pertumbuhan mereka. Tindakan yang seolah tidak terjadi sesuatu. Bisa apa petani-petani itu" Pergi!
Sang Patih pulang membawa kejengkelan kejengkelan semata. Dan bukan sekali ini saja ia jengkel terhadap gustinya, kejengkelan yang selalu mengenangkannya pada cerita orang tua-tua: tidak lain dari Sang Adipati juga yang karena sikapnya itu yang mengambrukkan Majapahit sampai ke dasarnya.
Tanpa sepengetahuan Sang Adipati ia mengambil kebijaksanaan sendiri. Ia panggil seorang perwira pengawal yang terkenal cakap dan patuh, Mahmud Barjah, seorang Islam, muda, gesit dan cerdas. Ia perintahkan perwira itu untuk memimpin dua ratus orang prajurit kaki untuk memimpin penumpasan terhadap perusuh Rangga Iskak alias Iskak Indrajit alias Kiai Benggala, alias Sunan Rajeg.
Sahaya akan segera berangkat, Gusti, sembah Mahmud Barjah. Hanya ijinkan sahaya mempersembahkan sedikit pikiran, karena sahaya orang Islam sedang Sunan Rajeg pun Islam.
Ia mempersembahkan untuk diperkenankan memilih sendiri peratus dan prajurit yang akan dibawanya. Dan ia diperkenankan. Ia bekerja sendiri memilih orang-orangnya.
Dengan demikian pada suatu subuh berangkatlah Mahmud Barjah, juga tanpa gong, canang atau gendang, untuk menumpas para perusuh di pedalaman.
Ia naik seekor kuda, cambuk parang terselit di pinggang, cambuk kuda di tangan, tanpa pedang dan tanpa tombak. Di belakangnya mengikuti dua ratus orang prajurit pilihan .
Belum lagi Mahmud Barjah dan pasukannya meninggalkan batas kota, Sang Patih telah duduk bersimpuh di depan pintu keputrian menunggu keluarnya Sang Adipati.
Begitu pintu terbuka ia menjatuhkan muka ke tanah sambil menyembah, mempersembahkan, keadaan semakin gawat. Kalau tidak ada tindakan tegas, kepercayaan orang pada bandar Tuban akan terancam oleh kemerosotan dan perdagangan yang sepi akan menjadi mati sama sekali. Dan untuk ke sekian kalinya ia mempersembahkan, bahwa kerusuhan di pedalaman mempunyai persangkutan erat dengan bandar. Bila Rangga Iskak dikembalikan pada kedudukan semula sebagai Syahbandar dan Sayid Habibullah bilamana dipindahkan ke Rajeg, kerusuhan dapat dipadamkan tanpa campur tangan balatentara.
Sang Patih yang sudah sampai pada puncak kegugupan itu dalam tunduknya ke tanah tidak dapat melihat Sang Adipati yang sedang menggandeng selir baru dan di belakangnya mengikuti Nyi Gede Daludarmi.
Sang Adipati berpaling pada sang selir, mendenguskan tawa pendek dan berkata: Tak diketahuinya hari masih sepagi ini, tak diketahuinya ada tempat yang lebih baik daripada depan pintu keputrian. Ia angkat telunjuk menuding Sang Patih dan membentak: Kerjakan apa yang telah tertitahkan. Kami yang menentukan.
Sang Patih mengangkat pandang. Tak pernah gustinya segusar sekarang ini. Juga tak pernah ia merasa terhina seperti sekarang, terhina sebagai pribadi dan sebagai patih di hadapan seorang selir dan seorang pengurus keputrian. Suatu kesakitan mencekik hatinya. Ia mengangkat sembah dan memperhatikan gustinya lewat sambil terus menggandeng selir baru dalam iringan Nyi Gede Daludarmi.
Waktu kaki itu sudah tak nampak lagi olehnya, ia mengangkat sembah lagi, kemudian berjalan terburu-buru pulang ke kepatihan membawa kesakitan dalam hatinya.
Betapa mungkin gustiku berbuat demikian terhadapku" Terhadap seoarang patih dan saudara sepupu sendiri"
Memang ia memahami alasan Sang Adipati: bila balatentara Tuban bergerak ke pedalaman, bukan hanya para bupati tetangga, terutama Demak bisa menyerbu dengan leluasa. Memang sudah lama bandar Tuban yang indah itu jadi sumber cemburu mereka. Dan hanya karena kuatnya pasukan gajah dan kuda cemburu mereka sampai sekarang tidak tercetuskan dalam penyerbuan. Memang bupati-bupati tetangga adalah penguasa loba tanpa kekuasaan persekutuan. Tetapi Demak adalah kekuatan yang lebih berbahaya, dia adalah kerajaan baru dengan darah baru, dengan cara baru dan dengan pandangan baru. Dan memang Sang Adipati punya hak mencemburui dirinya sebagai patih.
Barangkali gustiku punya pikiran, aku mempunyai persekutuan dengan mereka untuk merampas Tuban buat diriku sendiri. Memang, memang. Tetapi menyakiti hati patihnya sendiri, pembantu-utamanya dengan sekasar dan sehina ini"
Ia tak dapat menerima. Sudah berapa kali saja ia mempersembahkan, Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Almasawa tak lain dari matarantai kekuasaan Peranggi di lautan, maka harus disingkirkan. Selama itu Sang Adipati hanya mendengarkan tanpa tanggapan. Sekarang ledakan itu telah terjadi, pertanda tak sesuatu dalih untuk menyingkirkannya.
Ia tahu, bagi Sang Adipati yang terpenting adalah bandar-bandar adalah kebesaran. Ia tak begitu mementingkan kawula tani yang jadi sandaran negeri Tuban. Ia terlalu mempercayakan segala pada pasukan gajah sebagai kekuatan Tuban. Boleh jadi Sang Adipati menyangka, dengan satu dua hari gerakan pasukan gajah, para perusuh akan dapat ditumpas. Gustinya tak pernah mau mendengarkan, perusuh ini bukan sekedar kegiatan Rangga Iskak yang melepaskan dendamnya pada Sang Adipati, tapi sudah merupakan pemberontakan dari perubahan sikap. Dan bila mereka dibiarkan dengan kegiatannya, bukan hanya petani sebagai sandaran negeri Tuban sudah terjamah, juga kekuatan Tuban pasukan gajah itu akan kewalahan, kebesaran Tuban -bandar itu akan jatuh tanpa daya, dan seluruh negeri Tuban akan lenyap dari peredaran, berubah jadi ladang dan semak belukar.
Ia menyesali Sang Adipati yang selalu berkukuh: hanya dengan jasa-jasanya Syahbandar itu saja Peranggi dan Ispanya akan datang sebagai sahabat seperti dilakukan oleh Giri Dahanapura Blambangan" Terlalu banyak yang dipertaruhkan untuk keselamatan Sayid Habibullah. Bahkan persembahan tentang permintaan meriam Kiai Benggala pada Syahbandar dianggapnya ringan.
Apakah yang bisa diperbuat oleh perusuh itu dengan meriam" katanya. Omong kosong saja. Satu kerajaan yang kuat di Nusantara ini tak ada yang mempunyai, apa pula hanya perusuh dari pedalaman, jauh dari laut, jauh dari Peranggi dan Ispanya. Apakah Kakang Patih tak mampu berpikir sejauh itu" Memang kapal-kapal Islam pada kabur berlarian terhadapnya, negeri-negeri jatuh ke dalam tangannya Peranggi dan Ispanya memang tidak bisa ditahan mereka sedang naik pada jaman jayanya.
Dan ia tahu gustinya telah kena terkam ajaran Syahbandar: dekatilah yang jaya, maka orang pun akan ikut jaya.
Dan itulah pandangan gustinya sekarang, seakan orang di luar yang jaya, orang tak dapat membangunkan kejayaan sendiri.
Pada puncak kejengkelannya ia mengulangi pandangannya yang lama yang membikin Sang Adipati cemburu: Aku dapat ambil seluruh kekuasaan atas negeri Tuban. Aku dapat perintahkan seluruh balatentara Tuban. Kau bisa celaka Arya Teja, sebagaimana kau mencelakakan Majapahit. Tapi lihat, sampai sekarang pun tak ada terniat dalam hatiku untuk membikin kau menungging di bawah kakiku.
Berkali-kali ia tergoda untuk mengerahkan seluruh pasukan gajah, kuda dan kaki dan pengawal untuk melakukan gerakan pembasmian cepat gaya garuda menyambar elang. Tapi selalu ia dicegah oleh pikiran, bahwa hukuman pastilah yang sedang digalangnya bila perhitungan meleset. Dan hukuman mati itu bisa dicegah hanya dengan melalui satu jalan: meneruskan gerakan garuda menyambar elang juga terhadap gustinya sendiri, dan diri sendiri menggantikan. Dan ia bersumpah untuk mengabdi pada gustinya sampai mati.
Maka yang tertinggal dalam hatinya adalah sakit hati yang itu juga.
Sejak peristiwa di depan pintu keputrian ia kehilangan gairah. Yang berkuasa atas dirinya adalah kejengkelan dan ketidakpedulian.
Pukulan pertama itu belum lagi sembuh. Pukulan kedua datang menyusul, dan tidak terduga-duga.
Dari persembahan para penghubung didapat keterangan: Pasukan Mahmud Barjah ternyata juga hilang tanpa bekas. Dua ratus prajurit, dua peratus dan seorang perwira pengawal.
Pukulan kedua itu hanya membikin semakin parah kelumpuhan batinnya. Ia terbenam dalam ketakacuhan. Ia merasa sudah terbebas dari tanggungjawab sebagai patih, sebagai saudara sepupu dan sebagai kawula. Ia tak punya sesuatu tanggungjawab lagi. Ia tak mau memikirkannya.
Hampir seminggu lamanya orang-orang itu berkampung di tepi laut di sebelah timur Tuban. Dari daratan mereka terlindung oleh hutan belantara. Dari laut oleh hutan bakau-bakau. Tipis sekali kemungkinan bisa diketahui oleh kapal-kapal peronda pantai.
Esteban dan Rodriguez hampir mati kebosanan dikerubut nyamuk dan tungau tanpa dapat sedikitpun kesempatan membela diri. Tangan mereka tetap terikat ke belakang.
Dan perondaan itu terjadi pada subuh hari waktu datang rombongan perahu-perahu dayung dari sebelah barat. Tak kurang dari delapan puluh orang telah mendarat. Orangorang Portugis segera membongkari perkemahan mereka, mengangkutinya ke biduk masing-masing dan berangkat entah ke mana.
Waktu biduk-biduk mereka nampak dari balik hutanhutan bakau, Esteban mulai menyumpah dan Rodriguez meraung seperti orang gila: Tak sepatah kata pun mereka tinggalkan untuk kita, serigala-serigala itu. Anak-anak maut makanan hiu.
Belum lagi Esteban sempat memuaskan kejengkelannya, Yakub telah datang dan memerintahkan dengan kasar, semua orang dan semua barang harus segera berangkat. Ia tak bilang berangkat ke mana. Semua orang terkecuali dua orang Portugis itu mulai sibuk.
Esteban dan Rodriguez menduga, semua akan berangkat ke Blambangan. Mereka tak dapat bayangkan di mana tempat itu. Orang pun tak bakal memberitahukan.
Dengan petunjuk Esteban orang mulai membongkari meriam dari roda-rodanya, kemudian semua dipikul. Juga peti-peti obat dan peluru besi.
Iring-iringan panjang lebih dari seratus dua puluh orang itu ter-bungkuk-bungkuk menerobosi hutan belantara, makin masuk ke pedalaman. Tiga orang berjalan di depan dengan parang terhunus sebagai pembuka jalan.
Setelah tiga hari perjalanan mereka baru sampai di sebuah jalan setapak di dalam hutan. Dan mereka berjalan terus menghindari jalan negeri dan jalan desa. Tiga hari lagi berjalan, dan sampailah mereka di sebuah desa yang dikuasai oleh Sunan Rajeg.
Penduduk desa itu bersorak-sorai menyambut mereka, menggabungkan diri dan mengganti memikul beramairamai sampai ke desa selanjutnya. Dan mereka mengherani orang-orang kulit putih yang terikat tangannya di belakang badan, terutama yang berambut pirang dan ompong gigi depannya. Mereka mengherani meriam, dan roda meriam, dan peti-peti dan logam-logam bulat sebesar tinju.
Di desa-desa lain sama saja yang terjadi. Iring-iringan penggabung semakin lama semakin besar, tua-muda, laki perempuan. Nampaknya tak ada seorang pun ingin melewatkan keanehan sekali ini.
Pada hari pengangkutan terakhir mereka sampai di depan rumah joglo Sunan Rajeg.
Rangga Iskak dan Khaidar, istrinya dari Malabar itu, berdiri di bendul pendopo menyambut mereka. Ia mengenakan pakaian kebesaran jubah putih tenunan Atas Angin yang selama ini tak pernah dikenakannya, sorban putih bersulam benang kuning. Khaidar mengenakan sari dari sutra biru. Wajah mereka berseri-seri, senyum lebar tersungging pada bibir dan mata berkilau-kilau.
Orang-orang pun pada duduk bersila di tanah. Di samping-menyam-ping mereka regu-regu bertombak duduk dengan senjatanya menuding ke langit. Pendatangpendatang itu mengangkat sembah. Juga Yakub, yang duduk di kepala barisan pengangkut. Dan dengan pandang mencuri-curi mereka menyuruh Esteban dan Rodriguez duduk di tanah pula dan menyembah.
Tapi dua orang Portugis itu tetap berdiri dengan tangan terikat ke belakang.
Dan Rangga Iskak Sunan Rajeg, yang melihat dua orang kulit putih itu tetap berdiri, sama sekali tak nampak tersinggung. Ia malah mengangguk-angguk pada mereka. Ia turun dari pendopo untuk dapat menjamah laras meriam. Khaidar mengikuti dan juga menjamah, malah mengintip pada mulut meriam, kemudian membersihkan tangan dengan kulit kakinya. Mereka berdua naik lagi ke bendul pendopo.
Keselamatan untuk Tuan Sunan Rajeg, seru Yakub mengacarai serah terima meriam dan penembaknya. Keselamatan untuk kalian semua.
Sahaja datang mengantarkan kiriman: dua pucuk meriam, obat dan pelurunya, dan dua orang Peranggi penembaknya, katanya dalam Melayu. Hei, kalian, Esteban dan Rodriguez, hormatilah Tuan Sunan Rajeg.
Meriam dan perlengkapannya. Alhamdulillah, sambut Sunan Rajeg sambil mengangguk-angguk puas.
Alhamdulillah! dengung semua pengikutnya, suaranya berkumandang ke seluruh Rajeg.
Dua orang bertombak telah menyorong-nyorong ke hadapan Kiai Benggala. Dan mereka maju dan tetap berdiri di hadapan bekas Syahbandar Tuban, enggan memberi hormat. Mata mereka menyala dengan kejijikan dari kemuakan.
Kasih hormat, kasih tabik, kafir-kafir keparat! teriak Yakub di tempatnya dalatri Melayu.
Melihat dua orang itu tak mendengarkan perintahnya ia berdiri sambil menyembah Sunan Rajeg, mendekati dua orang itu dan membagikan spdokan tinju pada pinggang mereka.
Hormat! Hormati kanjeng Sunan Rajeg, orang-orang berseru-seru memperingatkan dalam Jawa.
Tiada kalian dengar itu" Sunan Rajeg memperkuat perintah mereka dalam Melayu.
Tak sabar melihat tingkat Esteban dan Rodriguez beberapa orang lagi bangun dari duduknya sambil menyembah Rangga Iskak dan menekan bahu mereka sehingga berlutut di tanah. Kepala mereka pun ditekan pula ke bawah sampai mencium debu.
Betapa angkuhnya kafir-kafir Peranggi ini, kata Sunan Rajeg. Angkuh dan sungguh berani mati. Hei, kafir! Bertahun-tahun kalian telah tembaki kapal-kapal dan bandar-bandar Islam. Atau kalian kira di sini pun kalian jaya tanpa perlindunganku" Hei, hati-hati, jangan kalian sampai tak dengar kata-kataku. Setiap patah dari Sunan Rajeg adalah hukum. Mulai hari ini, Insya Allah, hidup atau mati kalian berada dalam tanganku.
Mendengar itu Rodriguez dan Esteban berdiri memprotes. Tak pernah kami kenal siapa Tuan, kata Esteban, kami berdua maka tak mungkin bersalah pada Tuan, dalam Melayu yang cukup jelas. Mengapa kami diperlakukan begini"
Dari apa Tuan kehendaki dan kami, orang-orang yang Tuan tak pernah kenal ini" tambah Rodriguez.
Kesalahan kalian" Sunan Rajeg kini menarik airmuka bersungguh-sungguh. Bukan hanya padaku, ia menuding dirinya sendiri, kemu
dian tangan itu berkembang menunjuk pada semua orang di hadapannya, pada seluruh ummat Islam. Dungu! Tak mengerti kalian apa kataku" ia membentak. Mengapa diam saja" Suaranya kini mendekati gerutu: Nyawa semut pun lebih berharga daripada kalian! Hei, semua pengikutku, jagalah jangan sampai dua kafir laknat ini lepas tanpa seijinku.
Satu suara bersama bergalau membubung dari para hadirin di depannya.
Masih hendak ingin tanyakan apa kesalahan kalian" Siapa tidak tahu dosa-dosa kafir Peranggi" Perompak, bajak, pembunuh, perampas harta, nyawa dan negeri!
Orang memaksa mereka berdua untuk kembali duduk dan menekurkan kepala mereka ke tanah.
Sunan Rajeg kembali mendapatkan keramahannya. Ia mengangguk-angguk membenarkan.
Kiriman paling memberkahi, tiba-tiba ia tertawa pelahan dan menengok pada Khaidar, dan wanita itu mengangguk-angguk menyetujui.
Alhamdulillah! orang-orang mengulangi dengan suara menggelora.
Allah telah kirimkan meriam, perlengkapan dan penembaknya kepadaku untuk kupergunakan sebagaimana kehendaknya, katanya dalam Jawa. Kemudian dalam Melayu. Hei, kafir-kafir tak tahu diuntung. Dulu, bertahun-tahun kalian tujukan meriam kalian pada kami, ummat Islam. Demi Allah, demi kekuasaan yang ada pada tanganku, mulai saat ini kalian harus tujukan meriammeriam itu pada kafir, kafir Jawa, kafir Peranggi, kafir apa saja. Jawab kalau kalian bersedia.
Tidak mungkin menembak dengan dua tangan terikat, bantah Rodriguez bengkeng.
Hanya pembangkang bisa bicara seperti itu. Hei, ompong, pernahkah aku katakan pada kalian harus menembak dengan tangan terbelenggu"
Lepaskan ikatan ini, biar kami bisa menjawab sebagai manusia yang punya juga kehormatan sebagai manusia. seru Esteban lantang.
Sunan Rajeg tertawa senang sampai bahunya terguncang.
Bukan di dunia ini orang bisa percaya ada kafir Peranggi punya kehormatan, tapi hanya karena kalian bersedia mengakui kekuasaanku, mengakui kemurahanku, dan bersedia menjalankan perintahku. Demi Allah! Demi Allah! para pengikat mendengung mengulangi. Aku dapat melihat pada mata kalian, hai kafir Peranggi, kalian tidak rela takluk, tidak rela menerima dan mengakui kekuasaan yang diberitakan oleh Allah padaku.
Kami bukan kafir! bantah Rodriguez, mukanya merahpadam karena marah.
Bukan kafir" pekik Sunan Rajeg. Baik, kurung mereka selama seminggu dengan tangan tetap terikat dan makan sekali sehari, pisang setengah matang. Belum lagi selesai kuningannya mereka akan sudah ter-kaing-kaing minta ampun. Kurung!
Dan dikurunglah mereka.
Penembak-penembak meriam yang berbadan kukuh itu kini sudah kurus kering kelelahan, kejengkelan dan kelaparan.
Belum lagi selesai yang seminggu, mereka telah memohon agar diperkenankan menghadap Sunan Rajeg. Jadi dibawalah mereka menghadap ke depan pendopo.
Mereka telah melihat meriam-meriam itu masih berdiri di tempat semula, juga peluru, juga kelengkapan, juga petipeti obat. Hanya tak ada penonton, tak ada orang-orang bertombak, tak ada para pengikut.
Sudah patahkah kebanggaan diri kalian" Sunan Rajeg mendahului dari bendul pendopo.
Kami bersedia melayani meriam itu, Tuan, kata Esteban.
Mengapa baru sekarang menjawab"
Kami berdua harus memikirkan terlebih dahulu. Tuan boleh gusar sebelumnya, jangan kemudian. Maka kami pikirkan masak-masak untuk dapat memutuskan.
Tak ada alasan padaku untuk percaya. Biar pun begitu teruskan persembahanmu.
Memang kami tak ada niat meminta kepercayaan dari Tuan. Tapi lihatlah, Tuan, kami diharapkan melayani meriam-meriam itu. Baiklah, kami terima. Tapi tahukah, Tuan, kalau barang-barang itu sudah rusak dan disingkirkan, tak digunakan lagi selama ini"
Rusak" Sunan Rajeg memekik. Kemudian menggerutu. Bedebah itu hendak menipu aku. Si bedebah!
Kalau terjadi kemacetan , Rodriguez menambahi. Kiai Benggala alias Sunan Rajeg menebarkan pandang pada meriam-meriam yang berdiri telanjang bulat di tempat semula. Ia nampak ragu-ragu. Mendadak airmukanya berseri kembali.
Tidak apa, katanya, meriam adalah meriam. Yang penting adalah kalian, orang-orang yang melayani. Barangbarang itu, huh, semua bikinan manusia, bisa dibetulkan atau dihancurkan oleh manusia pula. Pandai-pandai besi Tuban yang ikut denganku bisa memperbaiki segala barang apa dari logam.
Dan obat yang dibiarkan saja di udara terbuka, dan sudah sekian lama, boleh jadi kurang kuat lagi ledakannya.
Bagaimana dengan belenggu kami" Rodriguez mendesak.
Kalian kafir, selalu menuntut tanpa pikir. Kalian kuterima dalam keadaan terbelenggu. Padaku kalian menuntut bebas.
Tiba-tiba dari beberapa penjuru terdengar orang berseruseru ramai. Kemudian disusul dengan suara orang berlarian.
Sunan Rajeg memanggil seorang pengantar tangkapan itu dan menyuruh pergi mencari keterangan. Sebelum suruhan itu datang muncul beberapa orang bertombak, berlutut di bawah kaki Rangga Iskak dan minta ampun. Kemudian: Ampun Kanjeng Sunan, Yakub meloloskan diri. Semua sekarang dikerahkan untuk menangkapnya.
Pergi! Bawa kemari ular kepala dua itu, hidup atau mati! Dan tertuju pada dua orang Portugis itu, Juga kalian akan mengalami nasib yang sama bila berani-berani meloloskan diri dari kekuasaanku. Beruntung dia bila kembali sebagai bangkai. Kembali hidup di hadapanku kalian akan lihat bagaimana ular kepala dua akan kehilangan sisiknya selembar demi selembar sebelum kehilangan kepalanya yang dua.
Esteban dan Rodriguez terdiam menunggu Sunan Rajeg terlepas dari kemarahannya terhadap Yakub.
Ya, bagaimana persembahan kalian"
Kami menyanggupi, Tuan, untuk menjalankan perintah Tuan. jawab Rodriguez cepat-cepat, melihat Sunan Rajeg sudah mulai agak ramah.
Jadi kalian sudah bersedia melayani meriam" Ya, tuan. Esteban memperkuat.
Baik. Itu baik sekali. Setuju menembaki musuhmusuhku, semua kafir, termasuk kafir Peranggi.
Esteban terdiam dan Rodriguez menyambar: Kami sanggup, Tuan.
Mengapa kau diam saja" tanya pada Esteban. Semua yang dia ucapkan, kami menyetujui, kami berdua, jawabnya.
Baik. Apa lagi" Kami berdua bersedia juga melatih tentara Tuan berperang cara Eropa, secara Peranggi.
Sunan Rejeg alias Kiai Benggala alias Rangga Iskak alias Iskak Indrajit mengangguk lambat, bertanya sambil memperlihatkan senyum: Mengapa tidak kemarin-kemarin kalian persembahkan" Aku senang mendengar itu. Tapi kalian tahu diri, orang tak boleh percaya begitu saja pada kafir, apalagi kafir Peranggi seperti kalian sudah bergelimang dengan banyak dosa.
Kami memang Peranggi, tapi bukan kafir. Rodriguez membantah. Kami Kristen.
Sekali lagi Sunan Rajeg tertawa menang, dan tertawanya terdengar tajam menyiksa kedua orang Peranggi tangkapan itu.
Memang tidak suka dinamai kafir" Bukankah kalian menamai kami juga kafir"
Esteban dan Rodriguez seakan sudah setuju dalam batin untuk tidak menjawab.
Mengapa diam" Bukankah kami kafir untuk kalian dan kalian kafir untuk kami"
Dan dua orang itu membisu. Mereka tahu pertanyaan itu mengandung ancaman maut.
Baik. apa lagi yang kalian sedia lakukan" Sunan Rajeg mendesak terus.
Setelah agak lama berdiam diri Esteban berkata ragu: Semua yang Tuan inginkan.
Itulah jawaban yang kutunggu. Itu mendengarkan kekuasaan yang dibenarkan oleh Allah. Karena tiada sesuatu bakal menjadi tanpa kerelaannya ia turun dari bendul pendopo dan berdiri di atas tanah. Sebaiknya, dengan mendengarkan kekuasaan yang dibenarkan ini, kalian pun berhak mendapatkan apa yang kalian butuhkan. Tapi ingat, aku tak mempunyai kafir.
Sekali ini Rodriguez dan Esteban lama terdiam, merenung, berpikir, berunding antara mereka dengan batinnya, dan mengertilah mereka apa yang dikehendaki oleh Sunan Rajeg.
Apakah Tuan menghendaki kami masuk Islam" Esteban bertanya ragu-ragu.
Sunan Rajeg tak menjawab. Hanya sinar matanya berkilau-kilau semakin ramah. Ia pandangi tenang-tenang dua orang tangkapan itu, tersenyum manis, dan keluar katakata dari mulutnya yang tak kurang manisnya: Mana bisa aku menghendaki kalian bertaubat masuk Islam" Kalian sendiri yang menentukan, bukan aku dan bukan siapa pun. Jangan terburu-buru, pikirkan masak-masak, karena kalian sendiri yang bakal menjalani kewajibannya, bukan orang lain.
Kami bersedia, Rodriguez menyambar.
Orang tidak mengatakan bersedia masuk Islam, Sunan Rajeg memotong, orang bertaubat dengan suka sendiri, kerelaan sendiri dan suka sendiri.
Kami akan bertaubat, Kanjeng Sunan, Rodriguez membetulkan kata-katanya, dan ia mengangkat sembah.
Sunan Rajeg meninjau ke kejauhan, bertepuk-tepuk memanggil. Dalam waktu pendek depan pendopo telah penuh dengan orang. Semua mereka duduk di atas tanah dalam terik matari menunggu kata-katanya: Dengarkan kalian, bahwa pada hari ini, ia memulai dalam Jawa. Orang Peranggi yang ompong ini tiba-tiba dalam Melayu, siapa namamu, ompong"
Rodriguez, Kanjeng Sunan.
Bahwa pada hari ini Rois akan bertaubat masuk Islam. Syukur Alhamdulillah.
Syukur Alhamdulillah, orang-orang mengulangi dengan suara menggelora.
Dan kau, siapa pula namamu" Esteban, Kanjeng Sunan.
Ya, Manan. Dan kau, Manan, bagaimana denganmu" Sama saja. Kanjeng Sunan.
Sunan Rajeg lupa sudah, bahwa Yakub benar-benar telah lolos dan tak dapat ditemukan lagi .
Rasanya belum lagi selesai penduduk Rajeg menyambut peng-Islaman Esteban dan Rodriguez, dan siang itu juga terdengar sorak-sorai riuh dari kejauhan. Sorak-sorai itu semakin lama semakin dekat, kemudian nampak serombongan orang desa mengantarkan seorang penunggang kuda yang masih muda, gagah, tampan, berkulit kehitaman, tapi tidak lebih hitam daripada Sunan Rajeg. Orang itu berpakaian perwira balatentara Tuban, perwira pengawal.
Sunan Rajeg dan Khaidar menjemput di bendul pendopo. Wajah mereka berseri penuh sukacita dan syukur.
Assalamu alaikum! perwira itu memulai sambil turun dari kudanya. Ia berjalan menghampiri Sunan Rajeg. Paman! dan diulurkan tangannya setelah membuat sembah dada.
Sunan Rajeg menerima tangan itu, dan itulah untuk pertama kali penduduk melihat orang bersalaman.
Bibi! tegurnya pada Khaidar, dan memberikan sembah dada pula.
Khaidar membalas dengan sembah dada pula. Naik, naik, Nak, mari, sudah lama kutunggu-tunggu, kata Sunan Rajeg dan berjalan ia ke dalam diiringkan oleh istri dan tamunya.
Khaidar tak ikut menemui tamu. Ia berjalan langsung masuk ke dalam rumah dan hilang di balik pintu.
Tuan rumah dan tamunya duduk di atas permadani tua di tengah-tengah pendopo. Dengan tangannya Sunan Rajeg menghalau orang-orang yang masih menggerombol di depan pendopo. Mereka bubar setelah menyembah.
Akhirnya kau bisa lolos juga, kembali Sunan Rajeg membuka persoalan. Matanya bersinar-sinar mengagumi tamunya. Betapa lama sudah kami menunggu di sini, ia memulai dengan menggunakan Melayu.
Ya, Paman, sungguh-sungguh kemurahan Allah telah mengaruniai sahaya dengan kesempatan seindah ini.
Ceritakan, ceritakan, desak tuan rumah berkobarkobar.
Perwira itu tertawa terbahak-bahak dengan menutup mulutnya.
Bahunya terguncang begitu tinggi. Dadanya yang telanjang dihiasi dengan bulu lebat dan hitam itu membungkuk dan lengannya yang berhiaskan gelang baja itu tertarik jadi siku-siku.
Tak baik tertawa berlebih-lebihan, Nak, Sunan Rajeg memperingatkan.
Dan peringatan itu membuat perwira itu reda dari tawanya.
Ceritanya begini, Paman, Sang Patih telah perintahkan sahaya untuk menindas Paman, ia tak dapat menahan tawanya lagi. Dan gaya tawanya menggoda Sunan Rajeg untuk ikut tawa.
Teruskan, teruskan. Karena bernafsu untuk menindas Paman dengan terburu-buru dia kirimkan pasukan yang lebih besar daripada yang diperkenankan oleh Gusti Adipati. Dua ratus prajurit!
Dua ratus! seru Sunan Rajeg. Teruskan, Nak. Sahaya persembahkan yang dua ratus ini pada Paman, di samping diri sahaya sendiri.
Sunan Rajeg merangkulnya: Nak, Nak, kemenakan yang setia. Tidak percuma ibumu melahirkan kau. Dilimpahilah kiranya kau ini dengan karunia. Dua ratus prajurit yang sahaya pilih sendiri, Paman. Kau pilih sendiri!
Semua prajurit Tuban asli, gagah berani. Anak-anak laut pelawan ombak penakluk pulau!
Tuhan memberkahi, Nak. Di mana mereka sekarang" Masih di perbatasan, Paman. Menunggu ijin masuk dari Kanjeng Sunan Rajeg.
Betapa tahu adat, kau ini, Nak. Sahaya adalah seorang perwira, Paman.
Betul juga, tak percuma kau jadi perwira. Bawa mereka masuk, Mahmud. Tiada kafir di antara mereka, bukan"
Pilihan terperinci, Paman. Nah, biar sahaya pergi menjemput mereka. Dua ratus, Paman. Tidak sedikit. Sediakan tempat dan makannya"
Mudah, Mahmud. Ah-ah, panglimaku datang, panglimaku! Jemput mereka segera biar kulihat wajah mereka seorang demi seorang, ia bangkit untuk memberi isyarat pada Mahmud Barjah agar segera pergi.
Mahmud Barjah pergi, melompat ke atas kudanya dan perpacu hilang di balik debu mengepul.
Kentongan dan beduk ditabuh bertalu-talu memanggil orang untuk mendengarkan perintah Sunan Rajeg. Dan orang pun meninggalkan sawah dan ladang, rumah dan pekarangan, memenuhi pelataran depan pendopo Sunan Rajeg. Dan orang bersorak-sorak mendengar dari mulutnya: dua ratus prajurit Tuban pilihan telah bergabung dengan mereka.
Mereka akan hidup bersama dan dengan kalian, beban sama dipikul, suka sama-sama dikenyam, duka sama-sama dideritakan. Sambutlah mereka dengan pesta dan syukur!
Menjelang subuh pasukan Mahmud Baijah baru tiba. Mereka sempat menikmati hidangan dan bersuka. Kelelahan yang amat sangat memaksa mereka mencari tempat seterlindung mungkin untuk dapat tidur senyenyak mungkin.
Pesta terpaksa ditunda sampai mereka bangun. Mahmud Barjah sendiri mendapat tempat di dalam rumah Sunan Rajeg.
Lain lagi yang terjadi di gedung utama kesyahbandaran. Dalam beberapa hari belakangan ini Syahbandar Tuban sangat gembira. Segala apa yang diusahakannya nampak berhasil. Dan menurut ilmu angka, hasil yang lebih besar nampaknya sedang menunggu di hadapannya. Tinggal beberapa langkah lagi, dan seluruh Tuban akan menari-nari menurut tarikan tangannya. Balatentara Tuban akan tersobek-sobek dari dalam. Kekacauan dan kebalauan akan membikin orang lebih sibuk dengan ususnya sendiri.
Pasukan gajah yang ditakuti itu akan buyar tanpa daya. Apalah artinya pasukan gajah tanpa lindungan pasukan kaki" Dan apalah artinya pasukan kaki tanpa petani membayar jatah upeti" Pasukan kuda" Apalah artinya pasukan kuda tanpa ada petani mempersembahkan upeti rumput" Pasukan laut" Apalah artinya pasukan laut bila daratnya kocar-kacir"
Ya, balatentara Tuban akan tersobek-sobek dari dalam. Dan bila kekuatan dan kewibawaan Tuban ringsek, para pembesar akan berebutan merayah kekayaan negeri sebelum negeri itu sendiri, negeri yang diurusnya, ambruk berkeping-keping.
Tuban harus jadi bangkai yang membusuk dari dalam. Dia harus mati dengan kekuatan sendiri. Maka bandar Tuban, bandarnya, akan menjadi pangkalan Peranggi. Dan dari sini Peranggi akan dapat mengawasi perairan bumi selatan. Jasa-jasanya akan dibayar berganda di Malaka atau Lisboa. Atau dikirimkan kepadanya di rumahnya di Andalusia, Ispanya.
Tinggal beberapa langkah lagi. Mungkin tinggal tiga tahun lagi. Itu pun paling lama. Dan satu kehidupan senang, tenang dan aman akan dinikmati untuk sisa hidup selanjutnya.
Betapa senang melihat segala apa yang dipegang jadi. Diri akan tinggal duduk-duduk membacai cerita-cerita Arab semasa kekuasaan Muawiah di semenanjung Iberia, mengagumi orang-orang besar dalamberbagai bidang keilmuan: perbintangan, pengobatan, kedokteran, kimia, filsafat, tauhid, matematika. Dan ia akan mengulangi tafsir atas Platon dari Al Kindi, Al Farabi, Ibn Sina
Jatuhnya Tuban nampaknya jauh lebih mudah daripada Malaka, tanpa pukulan perang berarti dari luar. Tak bisa lain, Malaka bandar yang sedang kembang-kembangnya, Tuban sedang dalam keadaan runtuh.
Pagi itu cangkir tembikar sudah berisi dengan air kahwa mengepul. Antara sebentar ia mencicip, dan setiap cicipan dihembuskannya nafas berat, ditujukan di gandok sana. Uh, manusia-manusia tanpa harga itu. Congkaknya seperti merak, kau Idayu! Apalah artinya kau! Ia tindas kegagalannya. Lima puluh orang sebagus kau, lebih bagus daripada kau, bisa kudapatkan sekaligus di Ispanya sana. Huh! Dan kalau Tuban runtuh seperti pedati masuk jurang, kaulah yang paling dulu akan merayap pada kakiku minta penghidupan. Maka kembali pikirannya ia susun untuk dapat menggerayangkan tangan buat ke sekian kalinya ke dalam keputrian. Ia sudah dengar Sang Adipati mendapat selir kesayangan baru, seorang gadis Tionghoa persembahan penduduk Lao Sam, Nyi Ayu Campa namaharemnya.
Dari percakapan dengan Paman Marta ia mengetahui, orang Tua-tua Tuban sudah mulai membicarakan tandatanda kejatuhan Tuban, sama dengan tanda-tanda kejatuhan Majapahit, yakni apabila seorang raja mulai menyelir gadis Tionghoa. Bukankah Bre Wijaya Purnawisesa jatuh setelah menyelir Ratna Subanci anak saudagar Gresik, Tan Go Hwat, yang lebih terkenal dengan sebutan Babah Ba tong itu"
Melihat Nyi Gede Kati sedang datang membawa nampan berisi penganan segera ia menegur: Ai, Nyi Gede
Wanita itu meletakkan nampan di atas meja dan bersiapsiap hendak pergi lagi. Suaminya mencegahnya, maka ia tinggal berdiri di hadapannya.
Ada kau dengar tentang Nyi Ayu Campa, Nyi Gede" Tidak, Tuan, tiada pernah sahaya dengar nama itu. Orang-orang sudah membicarakannya, Nyi Gede. Orang bilang dia adalah titisan Ratna Subanci. Siapa dia, Kati"
Ratna Subanci semua orang tahu, Tuan, Nyi Ayu Campa sahaya tidak tahu.
Ah, kau, Kati, Kati, apakah kau sudah mulai menyembunyikan sesuatu daripadaku"
Tidak, Tuan, demi Allah. Baik, demi Allah. Sekarang sudah seminggu berlalu, Kati. Bagaimana jawabanmu sekarang"
Bukankah sahaya telah menjawab, Tuan Sayid" Belum, belum kau jawab sebagaimana aku kehendaki. Sahaya telah menjawab, Tuan, sahaya tiada lagi akan menghubungi keputrian. Sekali salah sahaya ini bersalah. Tidak untuk kedua kalinya.
Itu salah benar, Kati, Nyi Gede. Hubungan lama jangan dilupakan. Hubungan harus dipelihara. Apa beratnya tidak melupakan hubungan lama" Tidak ada beratnya. Hanya berusaha datang dan bicara-bicara. Kalau tak bisa banyak, sedikit pun jadi. Bukankah begitu"
Betul, Tuan Sayid, sahaya tidak bersedia.
Kau lupa, Kati, apa yang kukatakan ini bukan permintaan, tapi perintah.
Betul, Tuan, perintah. Kau kuperistri atas perintah Sang Adipati. Seorang istri tidak patut menolak perintah suami. Orang harus melakukannya. Bukan, Kati"
Benar, Tuan, tapi menghubungi keputrian sahaya tidak sedia.
Kau membangkang, Kati, kata Syahbandar itu tak bersenanghati dan nadanya tinggi memaksa.
Sahaya telah berjanji untuk tidak bersalah untuk kedua kalinya pada Gusti Adipati. Sahaya akan tetap di Tuban, Tuan, sampai mati. Tuan setiap waktu dapat meninggalkan tempat ini entah ke mana-mana.
Akan kubawa ke mana pun aku pergi kau, Kati. Jangan kuatir, Tholib Sungkar menghibur istrinya dan dirinya sendiri.
Tidak, Tuan, ini adalah negeri sahaya. Tapi kau istriku! Syahbandar menekan. Sahaya istri Tuan Sayid.
Lakukan perintah suamimu, perintahnya keras. Hubungi keputrian, kataku, matanya melotot.
Sahaya telah dan akan lakukan perintah Tuan, suami sahaya, kecuali khianat untuk kedua kalinya.
Apakah aku bilang kau harus berkhianat" Kau hanya berusaha ke keputrian dan bertemu dengan kenalan-kenalan lama, Tholib Sungkar menurunkan kembali nada suaranya.
Itulah sudah semua jawaban sahaya. Di samping itu besok sahaya akan pergi ke desa Awis Krambil, mengantarkan Idayu untuk melahirkan.
Binatang, desis Syahbandar Tuban dan berdiri dari tempat duduknya. Ia berdiri di hadapan istrinya.
Moga-moga Tuan, anaknya yang kedua ini, katanya tenang, tidak lagi seperti Tuan.
Kurangajar kau! makinya dan dicengkamnya rambut Nyi Gede Kati dengan tangan kiri, digulungnya sampai hampir lepas kulit kepala dari tengkorak. Dengan telunjuk kanan ia menuding-nuding wanita yang meringis kesakitan itu seperti hendak menotok biji matanya.
Lepaskan sahaya, Tuan, pohon Nyi Gede. Tamparan bertubi datang pada pipi wanita itu dan cengkaman pada rambut tak juga dilepaskannya. Ampun, Tuan, lepaskan sahaya.
Syahbandar itu menghentakkan cengkamannya ke belakang. Wanita itu jatuh terbalik ke lantai. Suaminya nampak sudah kalap dalam menundukkan istrinya. Sekarang ditariknya tongkat dari atas meja, diayunkan ke atas untuk dilandaskan pada tubuh Nyi Gede.
Melihat ayunan tongkat yang mengancam, bekas pengurus harem itu mengisarkan badan sambil mengait sebelah kaki Tholib Sungkar. Kemudian ia berguling berputar.
Syahbandar yang jangkung itu kehilangan keseimbangan dan terjerembab ke lantai. Tongkatnya berdetak terpelanting. Tarbusnya berguling-guling dengan segala kehormatan, kemudian berhenti mendarat pada kaki meja. Dan belum ia mendapatkan keseimbangannya dan kesedaran apa yang sesungguhnya terjadi atas dirinya, istrinya telah melompat dan membikinnya jadi tertelungkup. Ke dua belah tangannya terpulir ke balakang dan wanita itu telah duduk di atas tengkuknya. Akan sahaya patahkan tangan lancang ini, Tuan. Dan Tholib Sungkar Az-Zubaid mengerang kesakitan. Tak ada kesempatan lagi baginya untuk memperhatikan tarbusnya yang terhormat. Tak diingatnya lagi sang tongkat yang angker, yang telah sempat menohok iganya sendiri sebelum terpental.
Jangan, Nyi Gede, jangan.
Dan kalau tangan ini sudah patah, Tuan, kepala Tuan yang mulia ini akan sahaya remukkan dengan tongkat Tuan sendiri.
Kaki Tholib Sungkar meronta-ronta, tapi tak berdaya menyelamatkan seluruh tubuhnya. Kepalanya meneleng ke samping, pipih pada lantai dan mulutnya terbuka mengucurkan liur. Di bawah tindihan tubuh montok Nyi Gede kepala yang pipih itu nampak jadi lebih tipis, seperti terbuat dari ketan hitam.
Lepaskan aku, rintihnya. Mintalah ampun, Tuan. Dan lelaki itu pantang meminta ampun. Nyi Gede Kati menambahi pulirannya pada tangan suaminya. Dan lelaki itu mengaduh, mengerang dan merintih.
Ya-ya, ampun, Nyi Gede. Wanita itu melepaskan pulirannya, dan tangan lelaki itu jatuh terkulai di samping. Ia tinggalkan juga tengkuk suaminya, berdiri, kemudian dengan tangan sendiri menolong mengangkat kepala Syahbandar Tuban, menyosor-nyosorkan pada lantai, seperti biasa dilakukan orang terhadap anak-anak anjing yang nakal.
Ampun, ampun, ampun, Nyi Gede! rintih Syahbandar dengan kata-kata yang tak terdengar jelas.
Nah, Tuan, inilah ampun ia berdiri lagi dan menolong suaminya berdiri.
Bibir lelaki itu berdarah-darah. Dan wanita itu menyekanya dengan ujung kemban yang dicopotnya dari lipatan. Tholib Sungkar mengebas-ngebaskan debu dari pakaiannya, meraba-raba pipi dan muka, rambut, dan: Mana tarbusku" Tarbus mulia buat kepala mulia"
Nyi Gede Kati mengait topi itu dengan kaki, mengambilnya dengan tangan kiri dan menenggelamkan kepala suaminya di dalamnya.
Apa saja kau lakukan ini, Kati" tanya lelaki jangkung itu sambil memperbaiki letak tarbusnya.
Hanya satu pelajaran, Tuan, bahwa perbuatan Tuan sungguh tidak patut.
Tak ada istri berbuat begitu pada suaminya, protesnya. Memang tak ada, Tuan. Di sini pun, di negeri ini, juga tidak ada. Sungguh luarbiasa, kecuali, Tuan, kecuali kalau suami itu sudah begitu kurangajarnya .
Aku . " Siapa lagi, Tuan, Nyi Gede berjalan beberapa langkah dan mengambil tongkat yang terpental. Maukah Tuan mendengarkan sahaya" melihat lelaki itu mengangguk lesu ia meneruskan: Di sini, Tuan, petani yang sebodohbodohnya tidaklah akan menganiaya bininya kecuali kalau dia memang sudah gila. Jangan bicara dulu. Di sini, Tuan, seorang istri bukan hanya dianggap istri, juga sebagai ibunya sendiri, dihormati dan didudukkan di tempat yang dimuliakan. Hanya orang gila menganiayanya. Sebaliknya seorang istri Tuan, menganggap suaminya bukan hanya sebagai suami saja, juga sebagai gurunya dan sebagai dewanya sekaligus. Tuan orang asing di sini. Sahaya sampaikan ini agar Tuan mengerti, karena semua itu mungkin tak ada dalam ajaran Tuan.
Tholib Sungkar duduk lagi di kursinya untuk melupakan ceramah yang bodoh itu.
Kau wajib minta ampun pada suamimu.
Tentu, Tuan, jawab wanita itu dan mengembalikan tongkat pada pemiliknya. Sahaya minta ampun. Sekiranya terulang kembali penganiayaan terhadap sahaya, janganlah tuan ragu-ragu untuk tertelungkup lagi.
Perempuan haibat! Tak pernah aku temui, ia menggeleng-geleng pusing.
Nyi Gede Kati pergi ke belakang tanpa bicara lagi dan tanpa menghormatinya.
Syahbandar membenahi kitab-kitabnya, beberapa kali menyapu muka dan bibir yang masih juga mengeluarkan rasa asin, menarik-narik hidungnya yang pipih dan bengkung merajawali, kemudian mengenangkan dengan tenang-tenang peristiwa tak menyenangkan yang baru lalu.
Ia masih juga heran betapa mudah ia bisa ditumbangkan seorang wanita yang selalu penurut itu. Dan berjanji ia dalam hati untuk selalu berhati-hati terhadapnya.
Sekali ini tidak berhasil, malah aku yang celaka, pikirnya, besok atau lusa toh akan berhasil. Seribu betina seperti dia, tantangnya, dan seribu kali seribu jantan seperti dia, tak bakal bisa gagalkan usahaku. Semua akan lengkung dan lelah di dalam tanganku. Pribumi bodoh ini takkan sanggup membendung kekuatan Portugis, kekuatan yang sedang jaya.
Tiba-tiba ia merasa sangat malu tersipu teringat pada kekalahannya terhadap Idayu. Di mana harus kusangkutkan mukaku kalau dia menyaksikan peristiwa itu tadi" Tidakkah Nyi Gede akan menyampaikan gempa bumi ini padanya" Kurangajar! Tak pernah aku semalu ini. Biar, bagaimanapun mereka takkan sanggup membendung kekuatan Portugis. Dua perempuan Pribumi ini sudah membikin aku bongkar-bangkir. Tapi tunggu!
Selesai sembahyang asar waktu itu. Sunan Rajeg memperkenalkan Mahmud Barjah pada Manan, dulu Esteban, dan Rois, dulu Rodriguez.
Teman-temanmu ini, katanya lagi Adalah penembakpenembak meriam. Nanti akan kau lihat senjata-senjata kita itu.
Meriam" seru Mahmud Barjah. Meriam betul" Meriam Peranggi"
Sunan Rajeg hanya mengangguk-angguk membenarkan.
Dan kau akan lihat sendiri bagaimana mereka melatih anak-anak berperang cara Eropa, cara Peranggi. Mahmud Barjah mengernyitkan kening.
Mengetahui sinar cemburu memancar pada mata Mahmud, Sunan Rajeg buru-buru menambahkan: Dan perwira Tuban ini, Mahmud Barjah, adalah panglimaku. Memang Manan dan Rois mualaf, mereka berada di bawah perintahmu, Mahmud. Dan kau harus mengerti, Mahmud, perang secara Pribumi takkan mungkin dapat menghadapi Peranggi. Cara baru harus dipergunakan, biarpun asalnya dari Peranggi.
Bagaimanakah kiranya berperang cara Peranggi" Barjah mengangkat dagu meremehkan. Belum pernah aku dengar atau lihat.
Kau harus lihat mereka berlatih. Hari ini kita tidak bicara tentang perang. Hari ini kita berpesta. Ayoh, bersalam-salaman kalian.
Mereka bersalam-salaman. Dan segera setelah itu Mahmud Barjah pergi dengan alasan hendak melihat anakbuahnya.
Sunan Rajeg menggeleng-geleng tak memahami cemburu hati panglimanya. Panglima Rajeg itu muncul lagi menjelang magrib untuk berjemaah di mesjid. Ia bergabung dengan semua makmum sampai isya. Kemudian semua orang turun dari mesjid untuk mengikuti Sunan Rajeg menyampaikan wejangannya pada seluruh penduduk yang sudah duduk berjajar-jajar di pelataran pendopo membawa tikar masing-masing.
Malam itu langit bermendung tapi tidak hujan. Orang duduk diam-diam dengan mata gelisah dan pandang ke mana-mana seperti biasa. Damarsewu terpasang di mana-mana dengan apinya yang gelisah. Sunan Rajeg duduk di atas selembar permadani di dalam pendopo. Di belakangnya duduk Mahmud Barjah dan para tetua. Dengan semangat tinggi ia memperkenalkan panglima baru, kemudian diteruskan dengan wejangan yang biasa itu, seluruhnya dalam Jawa: Sudah pernah kukatakan pada kalian, ada kerajaan Islam di Jawa ini, Demak. Katanya saja kerajaan Islam. Yang Islam hanyalah Dewan atau Majelis kerajaan, beberapa Kiai yang dianggap wali Islam, digelari Sunan, dan para pembesarnya. Kawulanya tidak tahu sesuatu tentang Islam, kafir-kufur jahil. Dan rajanya" Tidak beda, sama dengan yang selebihnya. Betapa tidak malunya mereka menamainya kerajaan Islam yang pertama-tama.
Ia memperdengarkan tawa yang pahit menggigit. Siapa yang menamakan itu" Pasti bukan Sunan Rajeg, ia meneruskan. Juga bukan kalian. Tapi: Majelis kerajaan dan musafir Demak yang gentayangan ke mana-mana itu.
Mahmud Barjah terlongok-longok tidak mengerti. Dan karena itu Sunan Rajeg mengulangi wejangannya yang penduduk sudah hafal di luar kepala: Kalian tahu benar siapa musafir-musafsir Demak itu ratusan orang yang dikirimkan oleh Demak ke semua mata-angin untuk bercerita sebaik dan seindah-indahnya tentang Demak, rajanya, pembesar-pembesarnya. Majelis kerajaan dan anggota-anggotanya, ia menengok pada Mahmud Barjah.
Sunan Rajeg dan kalian, pengikut-pengikutnya, ia meneruskan, tidak bisa ditipu begitu mudah. Kerajaan Islam pertama-tama di Jawa tidak di Demak, tapi di sini! dan ditudingnya lantai pendopo sedang matanya menyalanyala pada para hadirin di depannya.
Hadirin diam tiada bersuara sebagai biasa bila tidak ditanyai. Para tetua dan Mahmud Barjah, yang duduk di belakang Sunan Rajeg, tiada mengangkat kepala, seakan patung-patung tembaga pada sebuah candi.
Pekerjaan musafir-musafir celaka itu hanya membedaki dan merias muka Sultan Al-Fatah dan memajang-majang Demak, karena muka
Sultan itu bopeng dan karena Demak itu busuk. Ingatingat kalian, anak-anakku, Islam tidak boleh disekutukan dengan kebohongan dan dusta macam apa pun. Maka juga tidak ada hak Demak menamakan kerajaan Islam pertamatama di Jawa
Dengan pandang menantang seakan Demak ada di depannya ia angkat telunjuk yang mengancam. Katakatanya curah dari mulut diberani-kan oleh kedatangan panglimanya.
Hei, kau, Sultan Demak. Dari manakah hakmu mengangkat diri jadi khalifah" Kau orang ayan" Siapa gurumu" Bagaimana Majelismu sampai begitu gegabah dengan pengangkatan begitu" Berani kau dan kalian menyamakan Al-Fattah dengan Ali dan Umar" Apa dasarmu dan dasar kalian"
Waktu perasaannya meluap, penyakit lamanya menyerang. Ia terbatuk-batuk, badannya membungkuk dan kedua belah bahunya tersengal-sengal tanpa daya.
Mahmud Baijah dan para tetua gelisah ingin memijati bahu dan punggung pemimpinnya, tetapi tak berani. Para hadirin memanjangkan leher untuk dapat melihat bagaimana Sunan Rajeg bertahan terhadap serangan batuk, apakah dia punya kekuatan gaib untuk menundukkan sang gatal yang meruyaki tenggorokan dan pedalamannya. Dan untuk ke sekian kalinya kekuatan gaib itu tidak menyatakan dirinya.
Sunan Rajeg menggapai-gapaikan tangan meminta bantuan. Mahmud Barjah mendekat dan menangkap tangan itu. Ia membantunya berdiri dan membawa tubuh pemimpin yang terbongkok-bongkok karena batuknya masuk ke dalam.
Dan hadirin menarik nafas lagi. Mereka tak juga bubar karena sebelum ada tengara untuk itu. Waktu dilihatnya Mahmud Barjah muncul kembali, ternyata bukanlah untuk memberikan perintah bubar.
Perwira muda yang tampan itu duduk di atas permadani bekas Sunan Rajeg. Ia berdiri membelakangi para tetua. Ia dengar hadirin mulai bergumam menyatakan keheranan dan kecurigaan dan tak senang hatinya. Tapi ia tidak memaklumi.
Setelah mengucapkan salam, yang disambut menggelora, ia mulai berpidato tentang dirinya sendiri, tentang pengalamannya, tentang ketidaksenangannya terhadap Sang Adipati, tentang maksiat pembesar-pembesar Tuban, tentang harem Sang Adipati yang penuh dengan wanita bukan muhrim, namun tanpa malu adipati itu menamai diri Islam, tak pernah bersembahyang pula. Ia sama sekali tidak pernah menyebut Demak.
Dan pidatonya makin lama makin melarut membeberkan perasaan pribadinya. Ia bicara dan bicara, bersemangat berapi-api, kaya dengan ungkapan, pribahasa, kebohongan dan khayalan, bertele, meliuk ke sana dan ke mari.
Pelita damarsewu dipadamkan satu per satu. Ia masih terus bicara. Dan tengara bubar tak kunjung datang juga. Damarsewu padam sama sekali. Ia masih juga bicara. Para tetua di belakangnya sudah pada loyo terbatuk-batuk. Ia tetap bicara. Hujan jatuh dengan lebatnya. Hadirin lintangpukang melarikan diri, bukan dari kebasahan, tapi dari pembicara ulung: panglima Rajeg Mahmud Barjah.
Pendopo itu sudah penuh-sesak dengan para pembesar negeri. Sang Adipati telah duduk di atas singgasanagadingya. Tholib Sungkar Az-Zubaid berdiri seorang diri di pinggiran, sejajar dengan barisan penghadap yang kedua, para pemimpin pasukan: Braja, kepala pasukan pengawal kadipaten, Banteng Wareng, kepala pasukan kuda, Kala Cuwil, kepala pasukan gajah, Rangkum, kepala pasukan kaki.
Wajah baru dalam barisan pemimpin pasukan adalah Wiranggaleng. Ia telah mengenakan gelang baja tiga susun. Ia duduk sebagai kepala pasukan laut.
Tempat Sang Patih masih juga kosong.
Sang Adipati nampai gelisah tak bersenanghati. Berkalikali dipandangnya tempat yang kosong itu. Dan tetap kosong. Karena tak dapat menahan kesabarannya, keluar suara tuanya yang meledak seperti gerutu macan betina: Di manakah kakang Patih"
Tiada berjawab. Semua menunduk.
Tulikah kalian maka tiada yang bersembah" Tiada berjawab. Kegelisahan mulai menguasai seluruh penghadap.
Tiadakah diketahui keadaan gawat" Kalian para kuwu dan demang, benarkah pagardesa kewalahan menghadap perusuh"
Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik, salah seorang yang tertua di antara mereka bersembah, demikianlah adanya.
Dan kesatuan kecil pasukan kuda hilang"
Ampun, Gusti, sembah Banteng Wareng, demikianlah adanya.
Dan sembilan puluh prajurit kaki Tuban hilang tanpa bekas"
Ampun, Gusti, sesembahan, demikianlah adanya, sembah Rangkum.
Dan dua ratus pasukan kaki Tuban dengan dua orang peratus, di bawah pimpinan perwira pengawal Mahmud Barjah juga lenyap tanpa bangkai"
Demikianlah adanya, sembah Rangkum.
Dan perusuh itu mendesak terus ke arah Tuban seakan Tuban hanya segumpal daging tanpa tulang di hadapan sekawanan anjing. Apakah orang sudah lupa, dua ratus tahun lamanya Tuban tak pernah diganggu musuh karena balatentaranya" Apakah Kakang Patih lupa, pasukanpasukan Tuban tiada mungkin terkalahkan" Dalam dua ratus tahun balatentara Tuban telah ikut menegakkan Majapahit di banyak daratan dan di banyak pulau, di laut maupun di hutan" Braja! Katakan sesuatu biar orang tahu, apa dan siapa Gustimu!
Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik. Patik, kepala pasukan pengawal Gusti Adipati tiada rela Tuban dijamah oleh musuh dari mana pun datangnya, siapa pun orangnya, apa pun dalih dan kapan pun makarnya. Seluruh pasukan pengawal adalah kulit Gusti Adipati. Barang siapa menyentuh kulit itu, dia akan robek di bawah injakan pasukan pengawal, karena Braja yang akan menjawab.
Kesetiaanmu adalah kesetiaan lama dari perwira Majapahit. Kau, Banteng Wareng, bersembah. Ampun, Gusti Adipati sesembahan patik, ada pun pasukan kuda Tuban setiap saat siap untuk menyerang segala yang bergerak menuju ke Tuban dengan kejahatan di dalam hatinya. Malam bisa dijadikan siang, siang bisa dijadikan malam, sebagaimana Gusti Adipati titahkan. Telapak kudanya akan capai semua jarak dan cambukcambuknya akan menggeletari udara dan hati musuh durjana. Tombaknya akan beterbangan seperti camar menepis puncak-puncak ombak. Musuh akan diporakporandakan sebelum mencapai luar kota Tuban, Banteng Wareng adalah dada Gusti Adipati.
Kau sungguh melegakan dada hati kami, Banteng Wareng. Darah tersirap mendengar persembahanmu, darah Majapahit, bukan darah kecoak. Ah, Kala Cuwil, kaulah yang bersembah.
Ampun, Gusti Adipati. Pasukan gajah selamanya jantung hati Tuban dan Gusti Adipati. Tanpa kesudian Gusti, tiadalah pasukan gajah. Pasukan gajah mendegupkan darah pertahanan Tuban. Gajah-gajah yang lincah dan berat, tanpa dipotong gadingnya, gajah tentara sejati, adalah bukit-bukit otot di tangan pawang tentara yang ulung. Punahlah musuh Tuban terlindas oleh kakinya, terburai terbanting oleh belalai dan ludas tertikam gadingnya. Bila musuh ingin mencoba, pasukan gajah Gusti Adipati akan memberikan pada mereka apa yang mereka kehendaki. Gusti Adipati sesembahan patik, kesetiaan pasukan gajah sepenuhnya berada di dalam tangan Gusti,
Kami tak meragukan, Kala Cuwil. Kau tetap perwiraku andalan Tuban. Kau Rangkum. Betapa kau kelihatan gelisah. Sudah berapa prajuritmu yang hilang"
Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik. Ada dua ratus sembilan puluh tidak termasuk perwira Mahmud Barjah.
Bagaimana bisa maka kau sampai kehilangan orang sebanyak itu" Dan mengapa kau sendiri tidak pernah persembahkan"
Ampun, Gusti, patik persembahkan jumlah yang hilang tersebut kepada Gusti Patih berdasarkan titah.
Apakah kau sudah bikin pasukan kaki Tuban jadi tape yang bisa dikeping-keping dan ditelan" Dua ratus sembilan puluh tanpa bekas tanpa dibangkai. Hadapkan sini Kakang Patih, hidup atau mati, sakit atau sehat. Jalan kau, Rangkum, dan segera.
Setelah menyembah Rangkum tergopoh-gopoh mengundurkan diri.
Penghadapan itu dikuasai oleh suasana ketegangan luarbiasa. Jangankan senyum, keramahan sedikit pun tak nampak pada airmuka Sang Adipati. Bibir yang biasa tersenyum itu keunguan karena murka. Keriput pada wajahnya nampak semakin dalam.
Mendadak Sang Adipati menengok pada Syahbandar Tuban: Tuan Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Al- Masawa, katanya dalam Melayu. Dalam bulan ini hanya ada tiga kapal Atas Angin masuk. Sebelum Tuan menjabat, jauh lebih banyak. Selama Tuan, merosot dan merosot. Sekarang tinggal tiga.
Ampun, Gusti Adipati Tuban, Allah s.w.t. telah membikin lautan dan daratan untuk manusia. Manusia membikin kapal untuk melayari lautan dan menyinggahi daratan. Itulah usaha manusia, Gusti. Tetapi semua ditentukan oleh hukum, adakah kapal berlayar atau tidak, singgah atau tidak. Dan hukum itu hanya berasal dan milik Tuhan.
Sang Adipati mengisyaratkan biti-biti perwara di bawahnya, dan wanita-wanita itu mempersembahkan nampan sirih. Dengan cepat Sang Adipati mengambil dan bercepat-cepat pula mengunyahnya. Seorang biti lain dengan gopoh-gapah mempersembahkan tempolong ludah, dan lelaki itu meludah ke dalamnya.
Tak pernah orang melihat penguasa Tuban itu makan sirih secepat itu, tanpa menikmatinya.
Tuhanlah yang telah menentukan bandar-besar dan makmur dan sejahtera; yang tidak disinggahi merana. Lenyap dalam kemerosotan. Allahlah yang membagi-bagi rejeki di antara ummatNya!
Sekali lagi Sang Adipati meludah cepat-cepat. Sebentar satu bandar dimakmurkan-Nya, sebentar pula dilupakan-Nya. Sama sekali bukanlah pekerjaan seorang Syahbandar untuk memanggil kapal-kapal itu, Gusti.
Sampai di mana usahamu untuk mengembalikan semarak bandar Tuban"
Ampun, Gusti, kejayaan juga berpindah-pindah karena bandarnya. Kerajaan jatuh dan jaya karena bandarnya. Itu sama sekali bukan usaha manusia. Manusia tanpa daya, hanya bisa memohon pada Tuhan. Kapal bisa berpindahpindah, Gusti, tetapi bandar tidak. Tak ada kekuasaan di bawah kolong langit dapat memerintah: hei, kau, kapalkapal dagang, jangan singgah di sana, di sini saja. Hanya Nabi Musa a.s. dapat membuka jalan laut hanya dengan tongkatnya dan menyelamatkan ummat-Nya.
Bukankah yang kami tanyakan sampai di mana usahamu" Dahulu orang memerlukan datang ke Tuban untuk melihat pesta. Pesta laut yang belakangan sepi dan susut. Tak ada sebuah pun kapal Atas Angin berlabuh. Segala usaha telah patik tempuh, Gusti, akhirnya Tuhan jua yang menentukan. Hamba tak mampu memaksa kapal-kapal berlayar dari Maluku ke Malaka singgah di Tuban. Bahkan kapal-kapal dagang Tuban sendiri mulai dilabuhkan di bandar-bandar lain: Jepara, Banten, Pasai. Tinggal benderanya saja yang masih Tuban.
Diam! bentak Sang Adipati.
Wiranggaleng yang duduk sejajar dengan para kepala pasukan berdebar-debar. Ia belum lagi tahu sepenuhnya tentang pasukan laut Tuban, belum mengerti sampai di mana kesetiaan mereka. Ia sibuk menyusun kalimat yang harus dapat mengukuhkan sikap pasukan laut pada Sang Adipati.
Justru pada saat itu muncul Sang Patih. Mukanya pucat dan pakaiannya nampak kusut tak terawat. Tanda-tanda pangkat dan jabatan, yang biasanya rapi di tempat yang sepatutnya, kini kacau, bahkan destarnya pun agak miring, tidak segaris dengan batang hidungnya. Kerisnya agak terdalam terselitkan. Dan matanya merah seperti tidak tidur selama seminggu atau seperti habis menangis sepanjang hari.
Ia jatuhkan diri di hadapan Sang Adipati, bersimpuh dan menyembah, kemudian dengan tak acuh menempati tempatnya di depan para kepala pasukan dan menunduk dalam.
Mengapakah kau, Kakang Patih, tiada menghadap pada waktunya" Adakah kau sudah bosan pada adipatimu maka demikian tingkahmu"
Sang Patih menyembah tiga kali berturut-turut tetapi tak berkata sesuatu dan terjatuh pada sikap duduk semula.
Tiada kami lihat kau sakit. Hanya kau pucat dan matamu merah. Kau masih kuat membawa badan sendiri. Apakah kurang kami terhadapmu"
Sekali lagi Sang Patih mengangkat sembah tiga kali. Ia tetap tak bersembah barang sepatah.
Sang Adipati mengernyitkan kening dan membentak: Tiadakah sesuatu yang kau rasakan patut untuk dipersembahkan lagi"
Pelahan Sang Patih mengangkat kepala dan menyembah lagi, tetapi kepala itu tunduk lagi. Bibirnya bergerak beberapa kali, namun suara tak keluar dari mulurnya. Adakah kami yang tuli, ataukah kau yang bisu" Gusti Adipati Tuban sesembahan patik, kata Sang Patih parau.
Apalah lagi yang mesti patik persembahkan" Dalam satu minggu belakangan ini semua telah patik persembahkan dan Gusti Adipati Tuban, sesembahan patik tiada berkenan mendengarkan bahkan patik mendapat murka Gusti Adipati.
Berapa kalikah harus kami katakan, balatentara Tuban tidak boleh dikerahkan dan engkau juga yang terus mendesak seakan tidak ada pikiran lain yang boleh tinggal kecuali perang" Perusuh tak perlu dihadapi dengan perang. Dan kau Kang Patih, telah kirimkan dua ratus sembilan puluh prajurit untuk hilang tanpa bekas tanpa bangkai. Bukankah demikian"
Patik, Gusti Adipati. Dan kau masih berusaha mendesak dikirimkan lebih banyak, lebih banyak dan lebih banyak, sampai balatentara Tuban akan terkuras habis.
Sang Patih tidak bersembah.
Rangkum, persembahkan tentang pasukanmu. Ampun, Gusti Adipati, dua ratus sembilan puluh adalah kehilangan besar. Tetapi pasukan kaki Tuban belumlah bergerak dalam bentuknya yang semestinya. Kalau dua ratus sembilan puluh prajurit patik hilang, pasti bukan perang, Gusti. Yang demikian tidak mungkin terjadi. Ampunilah patik bila akan mempersembahkan sesuatu yang mendahului-Gusti Patih Tuban. Ialah bahwa hilangnya prajurit-prajurit patik besar kemungkinan adalah karena pengkhianatan.
Semua penghadap melihat ke arah Rangkum. Sementara sunyi-senyap.
Kakang Patih, adakah benar terjadi yang demikian" Dan bila benar, bagaimana jalannya pengkhianatan"
Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik, kiranya benar persembahan Rangkum, kepala pasukan kaki. Mahmud Barjah, perwira peranakan Koja itu, telah bergabung dengan perusuh. Kaum perusuh telah mendapat tambahan kekuatan sedang Tuban kehilangan.
Tak pernah diingat orang adalah pengkhianatan terjadi dalam tubuh balatentara Tuban. Coba, siapakah yang pernah dengar adalah prajurit Tuban berkhianat" Kesenyapan menyusul lagi.
Kakang Patih, bukankah kau sendiri yang melakukan pilihan atas mereka yang harus berangkat itu" Demikianlah adanya, Gusti.
Dan tanpa sepengetahuan kami" Demikianlah adanya, Gusti. Tentu tidak ada sesuatu maksud untuk melawan gustimu"
Sama sekali tidak keliru, Gusti. Maka jatuhkanlah hukuman pada patik karena kekeliruan ini.
Sang Adipati nampak menghela nafas panjang. Airmukanya mulai nampak terang seperti biasa. Ditariknya tangan kanannya dari atas paha kanan dan dipergunakan untuk menyangga kepala. Ia titahkan Sang Patih untuk meneruskan persembahannya.
Kalau permohonan patik untuk mengerahkan balatentara agar dapat menumpas perusuh secepatcepatnya, Gusti, Gusti timbang sebagai kekeliruan juga, memang hanya hukuman yang patik tunggu, dan tiada sesuatu yang patut patik persembahkan lagi, ia mengangkat sembah dan berdiam diri.
Kami mengerti kesulitanmu, Kakang Patih, dan itulah tanggungjawab sebagai Patih Tuban. Kami tahu kesetiaanmu. Tetapi melakukan sesuatu yang bertentangan dengan titah , ia tak meneruskan kata-ka-tanya. Baik, demikianlah hatimu. Sekarang kami perkenankan kau mengeluarkan lima ratus prajurit, dapat kau ambil dari berbagai pasukan. Juga kau boleh ambil dari pasukan laut, Wiranggaleng, ayoh, persembahkan sesuatu tentang pasukanmu.
Wiranggaleng mengangkat sembah. Selama itu ia telah susun kata-katanya. Begitu mendapat kesempatan, meluncur mereka seperti air pada saluran sawah.
Ampun, Gusti, sesungguhnya belum lagi lama patik memegang pasukan laut. Beberapa kali kapal-kapal asing tidak dikenal berkeliaran jauh di tengah laut, di malam hari, dengan lampu-lampu dipadamkan. Tetapi kilat di musim hujan tak urung dapat menerangi dunia. Penjaga menara tidak melihat, dan kapal-kapal pengawal pantai nampaknya juga segan mempersembahkan. Boleh jadi takut menghadapi Peranggi. Ampun, Gusti, pada waktu itu patik belum memegang pasukan laut. Adanya kapal-kapal yang mencurigakan itu, Gusti Adipati sesembahan patik, pertanda akan adanya bahaya dari laut. Dan bahaya dari laut tidak kalah buruknya daripada darat. Jatuhnya Malaka, Gusti, jadi peringatan .
Kau betul, Wira, maka kami menolak pengerahan besar-besaran balatentara. Tapi kau pun harus ingat juga, penyerangan laut Adipati Unus Jepara, dengan dua puluh ribu orang atas Malaka, tidak berhasil. Serangan laut selamanya tidak mesti berhasil. Walau demikian kalau pertahanan dalam kosong, seperti Malaka dulu, jatuh juga yang diserang. Bukankah begitu, Tuan Syahbandar Tuban"
Semua orang menengok ke arah Syahbandar. Orang jangkung agak bongkok itu nampak lebih bongkok. Tangannya tergantung dan jari-jarinya menggapai-gapai mencari kata. Dan waktu kata-katanya keluar, terdengar agak ragu-ragu: Ampun, Gusti, tentang Malaka itu sahaya kurang periksa, malahan tidak pernah mendengarnya.
Setiap Syahbandar mengetahui segala sesuatu tentang tepian laut. Aneh bahwa Syahbandarku, Syahbandar Tuban bisa tidak mengetahui barang sesuatu tentang Malaka
Orang masih juga melihat pada Syahbandar yang jarijarinya bergerak-gerak, tapi tak ada kata keluar lagi dari mulutnya.
Sang Adipati tersenyum dan meneruskan: Dengarkan semua penghadap: Tuban bukan Malaka. Adipati Tuban Arya Teja Tumenggung Wilwatikta bukan Sultan Mahmud Syah. Malaka jatuh karena usaha manusia untuk memiliki bandar itu, sedang pemiliknya sendiri lengah. Gajahgajahnya mati termakan racun. Habislah andal-andal Malaka. Maka itu, ingat-ingat Kala Cuwil, akan gajahgajahmu.
Peringatan Gusti Adipati jadilah ajimat untuk patik. Tak seekor pun gajah Tuban dapat didekati orang, siang dan malam, Gusti, kecuali oleh pawang masing-masing, sejak jatuhnya Malaka.
Wiranggaleng gelisah di tempatnya karena persembahannya belum lagi selesai.
Apa persembahanmu lagi, Kakang Patih"
Patih Tuban itu menyembah tiga kali tapi tak berkata sesuatupun.
Sikapnya itu membikin gelisah para penghadap. Dan Wiranggaleng sendiri merasa jengkel karenanya. Mengapakah orang yang terkenal bijaksana itu tak ada semangat untuk mempertahankan pendapatnya dan kebijaksanaannya" Ia pun merasa tidak puas terhadap Sang Adipati yang terus-menerus memojokkan Sang Patih. Apakah jadinya kalau dua-duanya hanya bisa bermain katakata, sedang Syahbandar tenang-tenang menempa rencananya" Baik Sang Patih mau pun Sang Adipati tahu tentang rencananya itu. Dan mengapa tak juga ada sesuatu tindakan diambil terhadapnya" Dari kenyataan itu ia menarik kesimpulan Sang Adipati masih tetap melindunginya.
Ia membenarkan perbuatan Sang Patih. Tetapi pasukan yang dikirimkannya tumpas. Pasukan yang lebih besar harus dikerahkan untuk melakukan penumpasan cepat sebelum lebih banyak kapal asing tak dikenal berkeliaran. Prajurit sejumlah lima ratus orang yang diperkenankan memang terlalu kecil. Tapi mengapa Sang Patih tidak mempersembahkan pendapatnya" Malah semestinya meyakinkan Sang Adipati, bahwa lima ratus orang itu tidak mempunyai sesuatu arti dalam menghadapi Mahmud Barjah dan pasukannya" Mengapa dia hanya menyembah dan membisu"
Ketahuilah, Kakang Patih, apa pun yang terjadi, jangan harapkan balatentara kami dititahkan bergerak. Jangan coba-coba lagi persembahkan itu. Kami ampuni kau tentang hilangnya dua ratus sembilan puluh prajurit kaki. Pergunakan lima ratus! Wiranggaleng, bagaimana cetbangmu"
Dalam keadaan siap dan menunggu titah, Gusti" Jangan ada cetbang dipergunakan dalam pertempuran darat, karena itulah aturan Majapahit. Tarik semua yang di darat ke pelabuhan dan yang di pelabuhan ke kapal.
Wiranggeleng hampir saja menyangkal titah yang dianggapnya tidak tepat itu. Tak jadi. Dan semakin terheran-heran ia mengapa Sang Adipati tak juga ingin mengetahui tentang kapal asing yang mencurigakan itu.
Bila cetbang sudah dimulai dipergunakan di darat, kerusakan akan datang lebih cepat dari kebaikannya. Patik laksanakan titah Gusti.
Kakang Patih, ada kau dengarkan kami"
Kembali Sang Patih hanya menyembah tapi tak berkata sesuatu pun.
Jadi kau tidak membenarkan kami" suara Sang Adipati meledak dengan suara parau.
Semua orang di penghadapan menekur dalam. Dan semua perhatian terpusat pada ledakan-ledakan selanjutnya. Ketegangan membenam mereka semua dalam kewaspadaan yang makin lama makin meruncing. Sunyi. Dan di sela-sela kewaspadaan itu juga masih terdengar oleh mereka ledakan lain, dari kejauhan, sayup-sayup, dengan gemanya yang berguling-guling seperti guruh yang sedang malas.
Beberapa bentar kemudian kewaspadaan itu buyar. Satu ledakan lain di belakang para penghadap: beberapa cabang pohon beringin kurung di alun-alun patah dan jatuh gemerasak ke tanah.
Sang Adipati berdiri dan meninjau ke arah alun-alun, pada pohon beringin kurung. Para penghadap terbujuk untuk menoleh ke belakang, tapi tak dibenarkan oleh ketentuan.
Tak ada seorang pun bicara.
Tiada antara lama terdengar dentuman lagi di kejauhan untuk ke dua kalinya. Dan beberapa bentar kemudian gapura balok-balok kayu kadipaten terbongkar dengan bunyi riuh dan rubuh tanpa daya di tanah.
Meriam! seru Syahbandar Tuban. Masyaallah, meriam, Gusti, meriam!
Meriam! gumam Sang Adipati. Meriam Peranggi! seru Syahbandar.
Diam! bentak Wiranggaleng pada Tholib Sungkar Az- Zubaid. Tak ada canang dari menara pelabuhan.
Betul, tidak dari pelabuhan, Gusti, baru Sang Patih bersembah, meriam Peranggi. Perusuh sudah punya meriam Peranggi, Gusti. Laut dan darat mengancam.
Betul. Laut dan darat mengancam, Sang Adipati mengulangi. Tuban bukan Malaka. Tuban tetap jaya! ia berteriak: Tuban tetap jaya. Gusti Adipati tetap jaya! semua penghadap bersorak menyambut.
Sebutir peluru besi jatuh berdebug antara gapura rebah dan pohon beringin kurung yang somplak. Sebutir lagi jatuh antara gapura roboh dengan pendopo.
Para penghadap mulai gelisah di tempat duduknya. Terasa seakan satu butir lagi akan jatuh pada punggung mereka masing-masing. Dan orang mulai membayangbayangkan dalam ingat bagian-bagian dari sebentar tubuh para penghadap jadi penyok kejatuhan. Persembahkan sesuatu, Kakang Patih, kata Sang Adipati dengan masih tetap berdiri dan matanya tertuju ke luar pendopo.
Sang Patih mengulangi sembahnya yang tiga kali kemudian membisu lagi.
Kau Wiranggaleng, pelantang dan pelancang, persembahkan sesuatu.
Menurut dugaan patik, Gusti, para perusuh sudah sangat dekat dengan kota Tuban. Perkenankanlah, ya Gusti sesembahan, perkenankan patik memohon agar Gusti menitahkan balatentara Tuban bergerak tiada kan lama, dan perusuh itu
Diam, kau, pelancang! Perhatian para penghadap berubah-ubah dari Sang Adipati pada peluru yang mungkin akan segera jatuh lagi.
Kembali penghadapan itu sunyi-senyap. Dan dalam kesenyapan itu terdengar keruyuk seekor jago, disambut oleh jago lain dari tempat yang lain pula. Walaupun tubuh para penghadap sudah gelisah, tapi kepala mereka tetap pada lehernya, tak ada yang bergerak. Kemudian terdengar derap kuda berpacu di jalan depan kadipaten, melompati gapura balok yang roboh, melalui pengawal-pengawal pendopo. Penunggangnya berpakaian serba putih, dan bertopi putih yang kekecilan di atas kepalanya yang tak berambut. Pada tangannya ia membawa tombak teramang.
Para penghadap tak berani menengok. Hanya Sang Adipati yang melihat penunggang itu mendekati.
Pada waktu itu juga muncul rombongan penunggang kuda dari pasukan Tuban yang memburunya.
Terima ini! pekik penunggang kuda serba putih itu dan melemparkan tombaknya ke arah pendopo.
Tombak itu melayang dan berhenti menancap pada salah sebuah tiang pendopo.
Prajurit-prajurit pengawal mulai pada berhamburan memburu penunggang kuda itu tak menggubris mereka yang tercecer jauh di belakangnya. Dengan kudanya ia melompati pagar samping kadipaten, masuk ke alun-alun, membelok ke sebelah timur dan hilang dari pemandangan.
Rombongan pasukan kuda tak jadi masuk ke kadipaten dan pemburu penunggang kuda itu di alun-alun, kemudian pun hilang ke arah timur.
Seorang perwira berlarian datang, mempersembahkan, bahwa ada serangan meriam dari arah selatan. Sebelum ia menyembah untuk mengundurkan diri masuk ke dalam kadipaten seorang dari pasukan pengawal datang bersembah: Seorang perusuh, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik, dengan berkuda telah memasuki Tuban Kota, memasuki kadipaten dan melemparkan tombak ke pendopo. Satu regu pasukan kuda sedang memburunya. Dia akan tertangkap dalam beberapa bentar ini, ia menyembah dan mengundurkan diri.
Kakang Patih! Bawa prajurit yang lima ratus itu. Kau sendiri yang kami angkat jadi senapati. Dengarkan semua: hari ini Kakang Patih kami angkat jadi Senapati Tuban.
Selamatlah kau, sejahteralah kalian. Kepala-kepala pasukan, ikuti senapatimu. Pergi!
Ampun, Gusti Adipati , Sang Patih mencoba menyela.
Penguasa Tuban itu tak dapat lagi mengendalikan amarah yang telah dicobanya ditindasnya selama ini. Dalam keadaan masih berdiri dan siap untuk menyemburkannya ia berkomat-kamit. Seorang prajurit pengawal datang menghadap, bersimpuh dan menyembah, kemudian dengan terburu-buru mempersembahkan: Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan, telah patik cabut tombak perusuh dari tiang pendopo. Padanya disertakan lontar ini, Gusti, dan dipersembahkannya surat tertulis dalam basa dan huruf Jawa.
Baca, biar semua dengar, titah Sang Adipati. Prajurit itu membawa lontar itu di depan matanya, dan mulai membacanya dengan suara lantang sehingga terdengar ke seluruh pendopo: Adipati Tuban kafir-kufur Rangga Demang Tumenggung Wilwatikta,
Telah kau dengar sendiri gelegar meriamku yang menggetarkan Tuban Kota dan hatimu,
Kalau kau belum tuli dan belum buta, mengertilah kau, itulah suara Sunan Rajeg, aku, yang menguasai negeri Tuban selatan.
Menyingkir kau sebelum aku datang mengambil setiap jengkal tanah dari tangan dan hati munafik, karena tak akan ada ampun bagimu, dunia mau pun akhirat.
Sekiranya kau tak suka pada surat ini, saksikan bagaimana pasukan gajah kebanggaanmu akan musnah di medan perang.
Sunan Rajeg tak membutuhkan jawaban dari mulut atau hati si kafir-kufur tanpa harga.
Prajurit itu menyembah dan mempersembahkan lontarlontar yang habis dibacanya. Sang Adipati menentang lontar itu sehingga jatuh ter-tabur di lantai. Dan prajurit itu pun mengundurkan diri tanpa mengambilnya.
Berangkat kau, Senapati Tuban, dengan restu kami. Dengan jumlah yang telah kami tentukan untukmu.
Melihat Sang Patih masih juga akan mempersembahkan keberatannya Sang Adipati menyambar tempolong kuningan tempat ludah sirih dari nampan yang dibayang oleh seorang biti perwara. Benda itu dilemparkannya dan melayang mengenai muka Sang Patih. Tanpa melihat pada siapa pun, dengan dagu tertarik ke depan ia tinggalkan pendopo dan hilang dari pemandangan.
Semua penghadap menurunkan sembah, kemudian bubar meninggalkan kepala pasukan yang membantunya membersihkan ludah sirih dari muka, dada dan pakaiannya. Balatentara Tuban mulai bergerak.
Berlanjut ke bagian 18
Tidak ada komentar:
Posting Komentar