Jumat, 18 November 2022

Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer #15/44


Arus Balik. 
Karya : Pramoedya Ananta Toer.

Bagian 15.

Tiga ratus tahun setelah menjadi bandar tanpa tuan, mulai abad ke sepuluh Masehi, pelabuhan ini dipergunakan oleh Sri Baginda Teguh Dar-mawangsa menjadi pangkalan angkatan laut kerajaan Daha. Pada pertengahan abad ke sebelas Masehi mendapat prasasti penghargaan dari Sri Baginda Erlangga sebagaimana halnya dengan Tuban dan bukan saja menjadi pangkalan Angkatan laut, juga pelabuhan dagang antara Jawa dan Bali, Nusa Tenggara, Maluku dan Sulawesi. Dari Gresik ini pula sebagian angkatan laut Majapahit muncul untuk mencapai daratan Asia dan Afrika.
Dan seperti halnya dengan Semarang dan Lao Sam, juga Gresik pada mulanya dibangun menjadi bandar oleh pendatang-pendatang dari Tiongkok. Setelah jatuhnya Majapahit pada 1478 Masehi, Gresik berada dalam keadaan tanpa tuan lagi. Tetapi perdagangan berjalan terus seakanakan jatuhnya kekuasaan politik itu tiada mempunyai sesuatu pengaruh terhadap pelayaran dan perdagangan, sebagaimana sebelum dikuasai oleh Sri Baginda Teguh Darmawangsa.
Satu kekuasaan yang kemudian timbul lagi adalah justru karena ingin menguasai bandar dan keuntungannya ini. Beberapa orang yang mengaku keturunan Bre Wijaya Purwa wisesa bertentangan dan berperang satu-sama-lain sampai akhirnya balatentara Giri Dahanapura turun dari Blam-bangan melakukan pameran militer memasuki wilayah inti Majapahit, membungkam kekuatan-kekuatan kecil yang bertarung memperebutkan Gresik. Raja Blambangan Hindu, Ranawijaya Girindra Wardhana sejak tahun 1485 menguasai Gresik sebagai bawahan Giri Dahanapura atau Blambangan.
Gresik yang berpindah-pindah tangan itu tetap berkembang tanpa kerusakan. Usaha Ranawijaya untuk memindahkan Gresik ke bandar-bandarnya sendiri, Panarukan dan Pasuruhan, tidak pernah berhasil. Pameran militer yang terlalu mahal itu akhirnya ditarik kembali dengan Gresik dalam keadaan utuh.
 Keadaan memang agak lengang waktu Wiranggaleng mendarat. Namun jauh lebih sibuk daripada Tuban. Orangorang berambut panjang di sini jauh lebih sedikit, dapat dikatakan tinggal satu-dua. Orang yang mengenakan baju juga jauh lebih banyak, menandakan golongan satria tidak lagi begitu berkuasa, dan kehidupan lebih banyak dikuasai oleh kaum pedagang Islam. Penduduk sudah banyak mengenakan terompah seperti para pendita di pedalaman, terbuat daripada kulit kayu, pelepah atau kulit kambing mentah.
Dan Wiranggaleng terheran-heran melihat betapa sedikit orang yang berkain batik. Orang lebih banyak mengenakan pakaian polos putih, wulung atau genggang, semua tenunan desa. Orang-orang bertombak dan berpedang sama sekali tidak kelihatan di pelabuhan, seakan-akan golongan satria memang sudah tak punya sesuatu kekuasaan.
Setelah mendapat ijin masuk segera ia mencari-cari keterangan. Tapi pandang mata yang tertuju padanya seperti memperhatikan seekor binatang aneh yang terlepas dari kandang. Di suatu tempat yang terlindung ia terpaksa menggelung rambut dan menutupinya sama sekali dengan destar. Dibelinya selembar sarong dan dikalungkannya tergantung di tentang dada seperti kebiasaan orang setempat. Baru ia merasa dapat bergerak agak leluasa.
Ternyata tidak semudah itu ia dapat menguasakan agar tidak menjadi perhatian umum. Rambut sepanjang itu, bagaimana pun ia sembunyikan ternyata tetap menarik orang. Tiga hari lamanya ia berpikir untuk mendapat jalan keluar. Maka ia pun berpuasa memohon ampun dari para dewa dan para leluhur, pada Hyang Widhi, dan dimintanya seorang untuk mencukur rambutnya.
Itu pun ternyata tak semudah dugaannya untuk melaksanakan. Tak ada orang bersedia memotong rambut panjang seorang kafir, karena ada orang dan tempat tertentu untuk itu. Kalau tidak para leluhur akan gusar, katanya, baik yang dipangkas ataupun yang memangkas bisa terkena kutuk. Dan tempat pemangkasan adalah pesantren. Kemudian ia ketahui pesantren adalah tempat para santri, dan santri sendiri tidak lain dari ucapan guru agama dari seberang untuk cantrik. Ki Aji, yang artinya yang terhormat, di sinipun telah mulai berubah bunyinya jadi Kiai oleh guru-guru agama dari seberang itu pula.
Ia pergi ke sebuah pesantren, yang ternyata adalah sebuah asrama pendidikan. Dan untuk keperluan itu ia sudah lakukan satu kekeliruan.
Semestinya ia tidak datang seorang diri sebagai seorang yang berambut panjang. Harus diantarkan oleh sanakkeluarga yang menyatakan kerelaan akan pemotongan rambut itu. Bila sanak-keluarga menolak, baru orang boleh membawa teman-temannya sebagai saksi. Di samping itu masih ada lagi syaratnya: seekor ayam jantan putih, beras tujuh tempurung dan tiga depa bahan pakaian putih.
Justru tanpa syarat dan pengantar pada suatu hari ia datang ke sebuah pesantren terdekat pada bandar Gresik.
Ia diterima oleh seorang bocah yang kontan menolak menghadapkannya pada seorang pemangkas. Anak itu mengawasinya dengan curiga, bahkan menjawab pertanyaan dan permintaannya pun segan.
Ia memaksa diri mendekati salah sebuah dari perumahan yang ada dan menemui orang lain. Lelaki dewasa berkalung sarong itu menegurnya: Hei, rambut panjang, apa keperluanmu"
Sahaya bermaksud mencukurkan rambut, jawabnya merendah.
Manakah saksimu yang memberi kerelaan dan mendengar kau mengucapkan kalimah syahadad" Mana pula syarat untuk hajad"
Ia tidak mengerti kata-kata aneh itu dan minta diterangkan.
Tiada sahaya bersaksi, tiada pula bersyarat. Tentu kau datang dari jauh untuk mendengarkan panggilan ini. Mari aku potong rambutmu.
Dan rambut itu pun dipotong sambil Wiranggaleng menirukan kata-kata aneh yang digumamkan oleh si pemangkas. Pekerjaan itu sendiri tak lama karena memang tidak dilakukan secara sebaik-baiknya, hanya sekedar memendekkan sejari dari kulit kepala.
Apa lagi yang kau kehendaki" tanyanya lagi. Rambut itu boleh kau buang ke kali.
Buru-buru Wiranggaleng mengumpulkan potongan rambut dan disimpannya di dalam sarong. Ia akan menanamnya kelak dengan upacara di sesuatu tempat yang patut untuk itu dengan memohon ampun dari para leluhur, para dewa dan Hyang Widhi.
Kalau tak ada yang kau kehendaki lagi, kau boleh pergi. Aku pun masih banyak pekerjaan. Siapa namamu" Itung.
Nah, Itung, kau sekarang sudah hampir sepenuhnya Islam, pergunakan sekarang nama Islam, Salasa. Bisa menghafalnya" Salasa, karena kau datang kemari pada hari ke tiga.
Salasa. Pulanglah dengan selamat.
Bolehkah kiranya sahaya , ia tak tahu bagaimana menyebut orang itu, diperkenankan belajar agama baru di sini"
Bahasamu baik, tentu kau sudah pernah mengikuti pendidikan.
Tentu saja kau boleh belajar di sini orang itu tertawa ramah, mengangguk dan memandanginya dengan kasihan. Setiap orang yang sudah berambut pendek boleh belajar di sini, tinggal di sini, makan dan kerja di sini, selama dia suka dan berkelakuan baik.
Kalau sudah tidak suka lagi"
Ya, boleh pergi setiap waktu, minta diri secara baik-baik sebagaimana datangnya. Benar-benar kau mau belajar" Jadi santri"
Wiranggaleng mengangguk mengiakan.
Kalau begitu mari aku antarkan kau ke tempatmu. Seperti seekor kambing yang tertuntun Syahbandar-muda itu mengikutinya masuk ke sebuah pondok. Di dalamnya disusun ambin-ambin seperti dalam asrama di pedalaman. Tapi tak ada seorang pun nampak di dalam.
Kau boleh ambil tempat kosong itu, Salasa. Wiranggaleng tidak pergi ke tempat yang ditunjuk. Ia berdiri saja, malah mengeluarkan surat Rangga Iskak dan berkata: Surat inilah sebenarnya yang membawa sahaya kemari. Sahaya percaya ini ajimat luar biasa, tetapi sahaya tak tahu tuah apa terkandung di dalamnya. Tolonglah jawakan tulisan ini pada sahaya. Orang itu menerima surat itu dan mengawasinya dengan terheran-heran.
Ini surat baru, di atas kertas, bukan lontar. Dari mana kau dapat"
Jauh, jauh dari sini. Aku sendiri tak bisa menjawakan. Mari aku antarkan pada Bapa Kiai.
Sekali lagi ia mengikuti orang itu seperti seekor kambing dalam tuntunan. Dan masuklah mereka ke dalam sebuah ruangan yang bergeladak pelupuh. Orang yang disebut Bapa Kiai itu duduk menghadapi meja lipat, sedang di atasnya terbuka sebuah kitab lebar. Tak ada orang lain menyertainya.
Melihat ada orang masuk ia berhenti menyanyikan bacaannya dan menutup kitabnya, menegur dalam Melayu: Allah memberkahimu dengan keselamatan, anakku. Ada keperluan apa maka kau datang menghadap"
Pengantar itu menjawakan, dan dalam Melayu menjawabkan Wiranggaleng sambil mengulurkan surat tulisan Arab.
Juara gulat itu duduk di atas geladak pelupuh memperhatikan wajah Bapa Kiai. Betul juga dugaannya, kira-kira sampai pada baris yang mengejutkan Bapa Kiai nampak tegang, berdiri, mendekatinya dan bertanya terbatabata: Dari mana kau peroleh surat ajimat ini" dan pengantar menjawakan.
Nun di pinggir jalan di desa sahaya. Di mana desamu"
Jauh, jauh dari sini, kira-kira tujuh hari perjalanan, mungkin lebih.
Nama, nama desamu. Kuda, Bapa Kiai, Kuda Kondang. Kabupaten mana itu anakku" Bojanegara, Bapa Kiai. Sedang ada apa di desamu"
Tak ada apa-apa, Bapa, hanya panen. Atau di dekat-dekat desamu" Juga tak ada apa-apa, Bapa.
Tidak mungkin, pasti ada terjadi sesuatu. Apakah kiranya isi ajimat itu, Bapa Kiai"
Bapak Kiai yang nampaknya masih muda itu mengawasi Wiranggaleng, menaksir-naksir badannya yang besar. Suaranya berubah mencurigai: Kau belum patut mengetahui, Nak, jawabnya curiga. Biar aku simpan surat ini, terlalu amat berbahaya disimpan oleh orang seperti kau.
Itu sahaya punya, Bapa Kiai.
Bukankah sudah aku katakan" Ini tidak tepat kau simpan, apalagi kau miliki. Kau bisa terkena tulah.
Melihat Ki Aji kembali pada meja-lipatnya hendak memasukkan surat itu ke dalam kitab, ia melompat. Ditangkapnya tangan itu dan dirampasnya kembali surat itu. Bapa Kiai memekik. Wiranggaleng menguguh mulutnya. Pengantar itu lari ketakutan sambil memekikmekik minta tolong. Dan sekarang giliran Wiranggaleng untuk juga melarikan diri. Tanpa menoleh lagi ia langsung meninggalkan tempat itu. Para santri lainnya sedang bekerja di sawah atau ladang. Dan tak ada di antara mereka yang bertombak atau berpedang. Mereka takkan dapat menghalang-halanginya.
Setelah jauh ia berteduh di bawah sebatang pohon mengenangkan kegagalannya. Ia takkan menempuh jalan yang sama. Ia akan mencari pesantren lain, satu dengan lain tidak selamanya bersahabat. Permusuhan sering timbul di antara mereka, dan kadang berakibat bentrokan, malahan perang kecil.

Ia merasa aman. Ia berjalan pelan-pelan setelah mendapatkan nafasnya kembali. Dirasainya kepalanya begitu ringan seakan ikat kepalanya melekat pada tengkoraknya. Ingat bahwa rambutnya telah terpotong ia merasa menyesal. Dirasainya suatu kesedaran menghentikan seluruh pekerjaan ototnya. Ia mencari tempat berteduh lagi di tepi jalan dan mencoba mengikuti gerak kesedarannya.
Benarkah aku sekarang sudah Islam" Muslim" Bernama Salasa"
Ia tenangkan pikiran dan perasaan. Ia resapkan kembali kesan-kesan yang baru dialaminya. Aku masih tetap seperti kemarin, hanya kepalaku saja terasa ringan tak berambut.
Tapi kau telah ucapkan mantra orang Islam itu, satu pengakuan, satu kesaksian kau sudah Islam, Muslim seperti yang lain.
Tidak, aku masih tetap seperti kemarin.
Tunggu, cobalah rasakan perbedaannya, jangan kesamaannya.
Tidak beda. Beda! Tidak. Beda!
Rambutmu telah pendek dan kau telah geletarkan melalui lidah dan bibirmu sendiri, dengan kemauan sendiri siapa dewa dan pemimpinmu yang baru.
Tidak, aku masih tetap seperti kemarin.
Kau bohong! Tak ada yang memaksa kau memotong rambut dan mengucapkan mantra itu. Semua atas kemauanmu sendiri. Kau, tak lain dari kau sendiri, dengan sepengetahuanmu sendiri, dengan lidah dan suaramu sendiri.
Diam kau! Tidakkah kau tahu, aku sedang mencari terjemahan" Gerak lidah itu telah padam, suara itu telah beku dan rambutku bakal tumbuh lagi, dua minggu dan dia akan mulai panjang.
Diam kau! Tidakkah kau dapat jujur terhadap diri sendiri" Kau sudah Islam. Kau harus akui kebenaran ini.
Pusing karena pertikaian di dalam diri sendiri ia melompat berdiri dan meneruskan perjalanan. Langkahnya makin lama makin cepat. Pikirannya dialihkan pada soalsoal lain. Apakah aku harus lakukan kekerasan di pesantren baru nanti" Apakah aku harus meninggalkan kebencian orang terhadap diriku" Teringat ia pada Liem Mo Han: Wira, Tuan adalah orang berbahagia, karena dicintai dan dihormati orang banyak. Dan di Gresik sini" Tak ada orang mencintai dan menghormati aku. Tidak berbahagiakah aku"
Ia merasa-rasakan. Dan ia tetap masih merasa berbahagia.
Kebahagiaanmu tak lain dari pesangon cinta dan hormat orang di Tuban sana, seakan Liem Mo Han meneruskan kata-katanya.
Kemudian Rama Cluring muncul di depan mata batinnya, mengacukan jari padanya dan berkata: aku tak membutuhkan cinta dan hormat kalian; selama kata-kataku hidup dalam hatimu, itu sudah cukup bagiku.
Dia tidak membutuhkannya, seakan Liem Mo Han berseru, karena dia tidak hidup dalam jamannya sendiri atau jaman orang lain; dia tidak ber-jaman, dia hanya suara.
Ia melangkah cepat. Pandangnya ditebarkannya ke mana-mana untuk mengebaskan segala yang bertingkah dalam dirinya.
Pada hari itu juga ia dapatkan pesantren baru, yang sama saja dengan sebelumnya. Hanya lebih kecil. Ia lalui harihari pertama dengan mengerjakan sawah dipagi dan sore hari dan belajar membaca disore hari.
Dikendalikan lidahnya untuk tidak menanyakan sesuatu. Sebaliknya ia tajamkan pengelihatan dan pendengaran. Ia perhatikan galanya.
Ia dapat mengetahui adanya seorang santri yang dianggap terpandai dan telah lebih sepuluh tahun belajar. Orang itu yang dipilihnya untuk membantunya mendapatkan terjemahan. Dan ia takkan mendekati Kiai. 
Genap seminggu kemudian ia sudah mulai meramahi Danu, santri terpandai itu. Juga Danu yang bercerita padanya, Gresik bisa hidup terus tanpa raja, tanpa bupati. Makin tak ada mereka makin baik. Di jaman Majapahit, tak ada punggawa mencampuri pesantren, ia bercerita. Sri Baginda Bhre Wijaya Purwawisesa malah memberikan tanah pada kiai-kiai yang tidak dikenakan pajak atau kerja negeri sama halnya yang didapat oleh asrama-asrama Buddha.
Dan waktu raja Giri Dahanapura, Sri Ranawijaya Girindra Wardha-na memasuki Gresik, ceritanya lagi, dipanggilnya menghadap semua saudagar dan nakhoda, dan dititahkannya semua memindahkan harta dan perdagangannya ke Panarukan atau Pasuruan.
Lihat, bagaimana hebatnya Gresik, ia meneruskan. Para saudagar dan nakhoda mengetahui, tanpa Giri Dahanapura, Gresik akan tetap hidup. Mereka bersembah, Giri Dahanapura dapat dipindahkan ke Gresik, tetapi Gresik tak bisa dipindahkan ke mana pun!
Danu adalah seorang patriot Gresik.
Wiranggaleng tak sempat membikin perbandingan dengan bandar Tuban. Ia sibuk mencari-cari kesempatan untuk bisa berdua saja dengan Danu.
Hari yang ditunggu-tunggunya tiba juga.
Sore itu mereka telah mandi di saluran air sawah. Enam belas orang jumlahnya, termasuk dirinya. Semua sedang bersiap-siap pulang, pada berdiri di pematang menunggu yang belum selesai berpakaian. Pacul-pacul kayu bermata baja itu pada berdiri berderet di atas lumpuran sawah yang habis digaru. Di atas sana langit sedang bermendung. Sekali-dua terdengar sayup guruh menggerutu seperti dari perut bumi.
Ia hampiri Danu, menawarkan jasanya.
Biar aku cuci paculmu, Kang Danu! dan tanpa menunggu jawaban ia memasukkannya ke dalam saluran dan mencucinya dengan setekam rumput.
Kalau aku sudah tamat nanti, katanya menambahi sambil menyerahkan pacul Danu, aku akan masuk ke daerah kafir Blambangan, mendirikan pesantren sendiri. Kau! Danu tertawa geli, belum lagi dua minggu belajar! Tidak semudah itu, dan dengan gaya keguruguruan meneruskan. Abangku sudah setahun di Dahanapura. Apa hasilnya" Buh! Tak ada. Apa kekurangan dia" Semua sudah habis dipelajarinya. Sekarang dia mau tinggalkan Blambangan hendak berusaha di Nusa Tenggara.
Di sana dia tentu akan berhasil, Insya Allah. Tuhan akan menunjukkan padanya jalan yang terang. Aku ingin memasuki Dahanapura, Kang. Di sana kau akan jadi kafir lagi. Belajar saja baik-baik. Tentu, Kang Danu. Aku akan belajar baik-baik. Bagaimana pun Blambangan sangat menarik. Kerajaan sekecil itu! Sebentar lagi tentu tumbang, Kang, biar pun punya bandar dan angkatan laut.
Buh! Danu melecehkan, penyebaran agama bukanlah perang, ia meneruskan, majunya tidak seperti tentara berbaris, dia tidak menambah jalan darat atau laut, tetapi hati manusia! hati yang harus dirambahnya. Ada kau mengetahui sesuatu tentang Blambangan Dahanapura"
Katanya Peranggi sudah masuk ke sana. Kang, ada yang membuka perguruan, kata orang, menyebarkan agama sendiri. Itu kata orang, Kang.
Ya, semua orang di sini pernah dengar. Kata abangku, beberapa waktu yang lalu, Danu mulai berjalan di atas pematang menuju ke desa dan Wiranggaleng mengikutinya dari belakang.
Di mana abangmu sekarang, Kang Danu" Masuk ke Daahanapura lagi. Kata dia, raja di Blambangan, Sri Rana-wijaya, tidak menyukai orang Islam, dia lebih suka pada Peranggi. Tak pernah dikaruniakan tanah pada pesantren, tapi orang Peranggi dikaru-niainya. Malah patihnya, Patih Udara, sudah mengirimkan utusan pada Kongso Dalbi di Malaka . Tahu siapa Kongso Dalbi" ia menengok dan menyaksikan gelengan Wiranggaleng. Raja Peranggi di Malaka. Utusan itu, kata abangku, telah mempersembahkan pada Kongso Dalbi sebuah giring-giring emas, lambang kejayaan Hindu di Blambangan, beras dua kapal, satu ukiran kayu cendana berbingkai emas. Kebetulan abangku kenal dengan pengukirnya.
Apa yang diukir pada kayu itu, Kang"
Satu adegan dari Ramayana, Lesmana dan Sinta di dalam hutan.
Pengukirnya, Kang" Pengukir asal Tuban, Borisrawa.
Wiranggaleng mengangguk di belakang Danu. Dia sudah di sana, pikirnya. Tetapi yang keluar dari mulutnya: Taklukkah Dahanapura pada Malaka, Kang"
Tidak. Ranawijaya takut kalau-kalau bupati pesisir utara bersekutu menumbangkan kerajaannya yang terpencil semakin terdesak oleh meluasnya Islam. Maka dia surati Kongso Dalbi memohon persahabatannya, dan memohon bantuan sepuluh pucuk meriam untuk menahan arus kekuasaan Islam; dengan peluru dan penembaknya. Apa meriam itu, Kang"
Senjata Peranggi. Yang dilemparkan bukan mercon udara seperti cet-bang, tapi besi sebesar kepalan.
Enam belas santri lainnya mulai mengikuti keduanya dari belakang, memanggul pacul masing-masing.
Apakah Peranggi suka memberikan meriam" Pada lawan Islam" Boleh jadi, jawab Danu ragu-ragu. Karena itu, jangan sepelekan kerajaan kecil. Kekuatannya bisa besar dan ampuh.
Jadi kafir Dahanapura Blambangan sudah bersekutu dengan kafir Peranggi"
Kira-kira. Kan kau sendiri yang memberitakan tadi, Peranggi sudah ada di sana" Persembahan Patih Udara itu nampaknya berbalas juga. Buh! Kapal-kapal Peranggi sudah mulai kelihatan juga di Gresik, menuju ke Pasuruan dan Panarukan.
Mereka semua telah meninggalkan tanggul saluran dan berada di jalanan desa. Garu dan luku ditinggalkan mereka bergeletakan di atas lumpuran sawah. Matari di sebelah barat menyala merah di celah-celah mendung seperti telur angsa ajaib. Dan dengan segala usaha Wiranggaleng mencoba menarik Danu dengan pertanyaan-pertanyaan agar berada di buntut iring-iringan. Ia bertanya terus sambil memperlambat jalan. Dan usahanya berhasil. Santri-santri lain ingin segera pulang. Mereka tak memperhatikan katakata Danu yang menggurui. Dan begitu jarak mereka telah nampak jauh, Wiranggaleng membuka maksudnya: Tolonglah aku, Kang Danu. Ada padaku sebuah ajimat, tapi aku tak tahu tuah di dalamnya, ia keluarkan bungkusan kecil dari tali ikat pinggang kain, setelah meletakkan pacul di tanah, dan berhenti.
Danu pun berhenti dan memperhatikannya membuka bungkusan kecil yang ternyata segulungan kertas itu. Inilah ajimat itu, Kang, jawakanlah padaku, tolonglah. Dengan baik hatinya Danu membuka kertas itu dan mulai membaca.
Ini bukan ajimat, katanya setelah membaca sebarisdua. Ini surat biasa. Masyaallah! Dari mana kau dapat surat ini" Wah, wah. Baru saja kita bicara tentang meriam, di sini sudah disebut-sebut soal meriam. Minta dikirimi paling tidak dua pucuk meriam Peranggi, kalau tidak . Kalau tidak, apa Kang"
Uh-uh, dari mana kau dapat surat ini" tanya Danu mendesak dan bersungguh-sungguh.
Jangan jalan dulu, Kang, berhenti di sini saja, biar aku ceritai kau.
Mereka berdua berdiri di tengah-tengah jalanan desa yang sunyi itu. Wiranggaleng memperhatikan dengan pandang selintas, bahwa santri terpandai itu masih tetap mengawasinya, sedang santri-santri lain telah hilang di tikungan jalan. Lambat-lambat ia mulai bercerita; dan ia mengulangi ceritanya di pesantren pertama, hanya ditambah lebih banyak.
Sekarang kau teruskan membacanya, Kang, kau belum selesai.
Dan Danu sudah melepaskan sikap keguru-guruannya. Ia genggam surat itu seakan takut terlepas dari tangan. Dengan suara rendah ia berkata: Kau tidak berhak memegang surat ini. Akan kuserahkan pada Bapa Kiai. Entah apa akan diperbuatnya nanti dengan ini. Barangkali juga terjemahanku tidak benar.
Jangan, Kang, jangan. Siapa sebenarnya kau ini" Kau datang kemari bukan hendak belajar. Ketahuan dari kata-katamu yang berlagak bodoh. Ayoh, katakan. Kalau tidak, surat ini benar-benar akan kusampaikan pada Bapa Kiai, kemudian pada Gusti Bupati, yang tentu akan memanggil Bapa Kiai lagi. Mengaku saja. Kau mata-mata, telik!
Jangan, Kang, jangan, tegah Wiranggaleng dengan suara ketakutan.
Kalau begitu katakan siapa kau sebenarnya. Tangan Wiranggaleng cepat melayang, menangkap tengkuk Danu dan ditekuknya seperti ia melipat segulungan kain. Terdengar bunyi berdetak dan tulang tengkuk itu patah. Lidah Danu menyelir keluar sedikit meneteskan air liur. Surat di tangan korban itu terlepas dan jatuh ke tanah.
Surat itu segera ia bungkus dalam tali kain pinggang. Ia lemparkan korbannya ke atas lumpuran sawah. Ia lemparkan pula dua buah pacul yang berdiri di jalanan itu lebih jauh lagi.
Ampuni aku, Kang Danu. ampuni aku, ya, Dewa Batara.
Ia tak pulang ke desa pesantren, justru sebaliknya . 
Ia tak menempuh jalan laut.
Setelah dapat menangkap makna isi surat ia langsung mengambil jalan darat pulang ke Tuban. Sepanjang perjalanan ia menyesali kekerasan-kekerasan yang dilakukannya. Dan ia bertanya-tanya dalam hati: siapakah yang harus bertanggungjawab atas kekerasan-kekerasan ini" Aku yang menjalani ataukah dia yang menugaskan aku" Aku tak punya urusan apa-apa dengan mereka. Aku bukan pembunuh, juga bukan penganiaya. Aku hanya seorang bocah desa yang tidak diperkenankan jadi petani.
Untuk pertama kali ia menyedari, dirinya telah jadi bagian dari kekuasaan Sang Adipati Tuban dan kelangsungan hidup praja Tuban.
Inikah cara mengambil kembali kebesaran dan kejayaan masasilam pada guagarba haridepan" Untuk Tuban" Inikah"
Barangkali. Barangkali aku tidak keliru. Barangkali pun aku salah.
Dan ia tanam potongan rambut yang selama ini ia simpan dalam sa-rongnya di bawah sebatang pohon baru di pinggir hutan.
Ia tembusi hutan-belantara itu melalui jalan setapak, jalan desa dan jalan besar negeri. Langkahnya seperti lari. Tubuhnya yang berat itu dirasainya mengganggu gerakan kaki dan tangan. Namun jalannya tetap seperti lari.
Sang Patih menerima kedatangannya dengan girang. Serentak ia mendengar, Ki Aji Benggala minta meriam Peranggi pada Syahbandar Tuban dengan ancaman, lenyap kegirangannya. Airmukanya berkerut, keningnya terangkat naik, mengetahui bahaya yang sedang datang mendekati Tuban.
Ya, katanya setelah agak lama berdiam diri, berikan surat ini pada yang berhak.
Wiranggaleng berjalan cepat menuju ke Syahbandaran. Sekilas ia lihat Idayu berjalan dari dapur menuju ke kamar, dan ia lihat juga istrinya melihat padanya. Ia naik ke gedung utama dan mendapatkan Syahbandar Tuban sedang duduk membaca kitab.
Hasalamu alaikooom! serunya.
Tholib Sungkar Az-Zubaid melompat terkejut. Melihat Wiranggaleng mula-mula ia terdiam. Matanya waspada dan menelan ludah. Awan dengan lambat berarak meninggalkan wajahnya. Ia tersenyum dan membalas: Wa alaikum salaaam. Rupa-rupanya sudah jadi Islam, Wira. Ah, ya, benar sekali! ia bertepuk-tepuk tanpa menegakkan bongkoknya. Siapa menduga kau sudah berambut pendek begini. Kau kelihatan lebih hitam, tapi lebih berseri dan lebih bersih dan lebih berbahagia.
Alhamdulillah, tuan Syahbandar.
Siapa yang mentaubatkan kau" Rangga Iskak" Tidak salah, Tuan Syahbandar.
Tak pernah kau nampak begitu periang seperti sekarang. Berkah taubat, Wira. Berkah taubat. Tak bisa lain. Bukan main. Apa kata Rangga Iskak"
Bukan hanya kata, Tuan Syahbandar, malahan surat balasan.
Surat balasan! Nanti dulu, ceritakan bagaimana perjalananmu.
Dan Wiranggaleng membikin-bikin cerita sendiri, bahwa perjalanan sangat menyenangkan, bahwa tak ada sesuatu aral melintang. Dan Syahbandar Tuban menyambutnya dengan tertawa-tawa senang.
Mana surat balasan itu" tanyanya tak acuh. Mana. mana"
Syahbandar-muda itu memperhatikan dengan saksama tingkah-laku majikannya, untuk dapat membedakan antara kepura-puraan dari kesungguhan.
Sayang sekali sudah agak rusak, Tuan, terlalu sering sahaya genggam, kuatir kalau-kalau hilang.
Syahbandar menerima dengan mata melirik tajam padanya. Tapi pada bibirnya tetap tertarik senyum mencemoohkan. Tiba-tiba senyum itu hilang dan menjadi bersungguh-sungguh.
Ia sudah sampai pada kalimat yang menggugupkan itu, pikir juara gulat itu. Dan wajah orang di hadapannya itu nampak berubah-ubah. Kemudian Syahbandar itu berhenti membaca, menyelidiki ke arah surat, juga menyelidiki wajahnya.
Wira panggilnya dengan menusukkan pandang pada matanya: Apakah dia tidak bicara sesuatu tentang cap" Tidak, tuan Syahbandar.
Memang orang keparat, katanya dan kembali mempelajari keadaan surat itu.
Betul kau sudah bertemu sendiri dengan Rangga Iskak"
Demi Allah, Tuan. Begini, Wira, aku lihat beberapa tangan sudah pernah memegangnya, dan beberapa pasang mata telah melihat dan membacanya. Bagaimana keteranganmu, Wira" Demi Allah, Tuan Syahbandar.
Syahbandar Tuban mengawasinya. Pegulat itu merasa dirinya diragukan.
Kalau begitu lama pergi, Tholib Sungkar Az-Zubaid meneruskan penyelidikannya.
Sahaya memerlukan belajar sebelum pulang. Apalah salahnya, Tuan Syahbandar, sekedar untuk perbekalan pulang.
Siapa saja pernah membaca ini" Tak ada. Hanya Ki Aji Benggala Rangga Iskak yang bisa menulis dan membaca Arab.
Kau bohong! tuduhnya. Demi Allah, kata sahaya. Memang Ki Aji bilang sudah kehabisan kertas, maka ia menulis di atas kertas bekas.
Tholib Sungkar Az-Zubaid berdiri dan berjalan mondarmandir. Bongkoknya nampak semakin menjadi-jadi, kemudian berhenti dan mengambil tongkat yang tergantung pada punggung kursi, berjalan mondar-mandir lagi, dan tiba-tiba berhenti di hadapan Wiranggaleng.
Kau begitu lama pergi. Aku tak yakin tak ada orang membaca surat ini.
Tak apalah kalau tuan Syahbandar tak mempercayai sahaya lagi.
Orang bilang, pernah melihat kau di Tuban antara keberangkatanmu dan kedatanganmu sekarang.
Kalau Tuan lebih mempercayai dia, perintahkan padanya menghadap Ki Aji Benggala, jangan sahaya.
Nampaknya kau sudah mulai hendak berselisih denganku.
Bukankah sahaya tak bisa memaksa Tuan Syahbandar percaya pada sahaya" Terserah saja pada Tuan sendiri hendak percaya atau tidak. Sahaya pun tidak membutuhkan kepercayaan Tuan. Sungguh.
Tholib Sungkar kembali duduk dan menggerak-gerakkan tangkai tongkat dari gading itu. Dan gerakan gading berukir itu selalu membikin orang tertarik pada persambungannya dengan kayu hitam, yang seakan dua kuntum bunga tertangkup jadi satu.
Mengetahui pikiran pembantu-utamanya mulai terlena, dengan nada membujuk ia bertanya: Lamakah sudah surat ini kau simpan"
Segera setelah sahaya menerimanya. Aku percaya padamu, Wira, ia diam lagi. Dan Wiranggaleng tahu, ia tak percaya. Aku senang kau telah masuk Islam, Wira. Salasa nama sahaya, Tuan.
Salasa! Nama yang sangat bagus. Artinya ke tiga, Wira, tepat. Satu artinya baik. Dua berarti lebih baik. Tapi tiga artinya sempurna, ia tertawa dibuat-buat. Baiklah, lain kali kita bicarakan lagi soal surat ini. Kau setuju, bukan, Salasa"
Tentu saja, Tuan Syahbandar.
Sekarang kita bicara soal lain, Wira Salasa. Sekarang kau sudah masuk Islam. Tetapi istrimu masih kafir. Kau harus perhatikan itu, Wira. Tak ada orang kafir yang baik. Kalau seorang kafir itu pembohong, menipu suaminya, itu sudah selayaknya, karena dia kafir, tak tahu ajaran. Kau jauh lebih mulia daripada kafir mana pion, Salasa, apalagi dari istrimu, kau pun lebih mulia dari Sang Adipati ataupun Sang Patih. Mengerti kau"
Belum, Tuan Syahbandar. Di hadapan Allah kau lebih mulia daripada semua mereka.
Di hadapan Allah, Tuan Syahbandar. Di hadapan mereka sendiri bagaimana, Tuan"
Tentu saja tetap seperti biasa.
Wiranggaleng menahan tawanya. Ia menunduk dalam.
Dan tentang istrimu itu, Wira Salasa, karena kau sudah bertaubat, kau harus bisa tertibkan dia sebaik-baiknya. Jangan lagi kau biarkan dia sebagai biasa bila kau sedang pergi .
Ia diam dan menunggu tanggapan pembantu-utamanya. Dia hanya menari di pendopo kadipaten, tuan, itu sahaya tahu.
Tentu pengetahuanmu kurang sempurna, Wira" Bagaimana menyempurnakannya, Tuan Syahbandar" Menari di pendopo, Wira, Sang Adipati. Ah, bagaimana harus aku katakan. Tentu kau mengerti. Wiranggaleng menunduk dalam.
Mengapa kau diam saja" Baik, Tuan Syahbandar. Syukurlah kalau kau mengerti.
Bagaimana biasanya ia perbuat kalau sahaya pergi Tuan"
Ah, Wira Salasa, kasihan kau. Apakah kau tak pernah dengar suara orang" Semua sudah bercerita. Wira, betapa hinanya lelaki seperti kau dipunggungi istri sendiri . Pulanglah, Tuhan memberimu petunjuk dan keselamatan dan semoga kukuh imanmu. Tak ada kafir yang baik di hadapan Allah.
Dengan kepala masih menekur juara gulat itu pulang, melangkah pelan-pelan seakan kepalanya menjadi beban bagi tubuhnya sendiri.
 Idayu tak menyambutnya di serambi. Ia menunggu kedatangannya di dalam kamar. Gelar tidak nampak. Ia nampak prihatin duduk di atas ambin sambil mengunyah sirih. Sebuah bantal terletak di atas pangkuannya. Dan matanya sayu seperti belum lagi tidur selama tiga malam. Di atas bantal itu tergeletak sebilah cundrik panjang. Mengapa kau diam saja, Idayu"
Hanya dengan matanya yang sayu ia pandangi suaminya.
Mengapa kau pangku cundrik itu di atas bantalmu" Idayu menunduk.
Sakitkah kau" Ia menggeleng.
Seperti tidak senang kau menyambut kedatanganku" Siapa tahu, Kang, kau sudah berubah, Dan kau memang nampak sudah berubah dengan rambutmu yang pendek.
Lelaki itu meletakkan kedua belah tangannya pada bahu istrinya.
Berubahkah aku, Dayu"
Kau berubah, Kang. Kau sudah masuk Islam nampaknya. Tentu haruslah aku bersiap-siap dengan perubahanmu, perubahan sikapmu, suara Idayu semakin pelahan dan sayu. Aku masih juga ragu apakah aku boleh mendahului kata atau tidak. Siapa tahu, Kang, kau sudah tak suka mendengarkan aku lagi, suaraku, diriku .
Mengapa kau bicara begitu" dan duduklah ia di samping istrinya. Diambilnya cundrik dari atas bantal.
Inilah aku, Kang, berdirilah kau, tidak baik membawa cundrik sambil duduk begitu.
Selamanya kau jadi kurus kalau aku tinggal, Dayu. Apa yang sudah terjadi"
Aku tetap saja, Kang. Kaulah yang banyak berjalan, banyak melihat dan banyak mendengar. Kata orang tua-tua: berjalan banyak melihat, curiga banyak mendengar. Untuk apa cundrik ini ikut menyambut kedatanganku" Berdirilah di hadapanku, Kang. Atau aku yang berdiri di hadapanmu"
Baru beberapa minggu, Dayu, kau sudah begini kurus. Untuk memohon pada para dewa buat keselamatanmu. Kang.
Kau masih suka dipanggil menari" Masih, Kang.
Dan mimpi lagi seperti dulu" Tidak, Kang.
Apakah Syahbandar masih suka mengintip seperti itu" Idayu mengangkat kepala dan melihat sebagian dari muka Syahbandar terlindung pada tiang jendela. Ia mengangguk.
Apakah kau masih suka dengar bicaranya, Kang" Dia majikanku, Dayu, tapi kau adalah istriku. Galeng mempermain-mainkan cundrik kecil. Mana sarongnya ini, Dayu"
Sarong yang mana" Wiranggaleng mengangkat pandang ke arah jendela gedung utama dan muka Syahbandar Tuban sudah tiada.
Sarong yang lama. Aku akan berusaha tidak akan tinggalkan kau terlalu lama, Idayu.
Jangan pikirkan tentang diriku. Aku sehat, jiwa dan ragaku.
Ceritai aku tentang Gusti Adipati.
Tak ada yang aku bisa ceritakan, kecuali ia suka menonton kalau aku menari. Kemudian wanita kadipaten itu mengantarkan aku pulang dan menemani aku di sini. Ceritai aku tentang Tuan Syahbandar.
Kau sendiri bisa bercerita banyak tentang dirinya. Biar aku ambilkan sarong cundrik itu, Kang, ia berdiri tetapi ragu-ragu. Mendekati suaminya, bertanya, Apakah benar kau membutuhkan sarong yang lama" Tidakkah kau menghendaki yang baru"
Wiranggaleng berdiri. Cundrik itu diletakkannya kembali di atas bantal. Ia peluk istrinya. Ia menciuminya. Idayu memeluknya dan air-mata membasahi mukanya.

Berlanjut ke jilid 16


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar