Jumat, 18 November 2022

Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer #41/44


Arus Balik. 
Karya : Pramoedya Ananta Toer.

Bagian 41

Setitik Busa di Samudera Kehidupan
Kuda itu berpacu keluar dari hutan, memasuki padang alang-alang, memasuki hutan lagi, berpacu dan berpacu. Pada suatu padang rumput barulah berhenti. Gelar turun dan membiarkan Sultan merumput Ia sendiri duduk di tepian padang, makan rebus jagung muda.
Selama enam belas tahun benih jagung yang dibawa Syahbandar Tuban ke Jawa telah menyebar ke seluruh pulau Jawa tanpa diceritakan lagi siapa pembawanya. Juga Gelar tidak tahu. Tak ada yang pernah bercerita.
Setelah kuda dianggapnya cukup kenyang ia berangkat pelahan-la-han mencari sungai yang biasa dilewatinya. Dibiarkan kuda itu minum secukupnya. Kemudian ia melanjutkan perjalanan kembali.
Puh, puh, puh! lari, cepat Sultan, cepat. Lebih cepat! Awas, jangan kau lemparkan aku dari punggungmu.
Padang rumput itu telah terlalui dan kini ia memasuki jalanan desa.
Stt. Kau lari ini hendak ke mana" Tahu kau ke mana kau harus bawa aku"
Sawah dan beberapa rumah mulai dilewati dan dipapasinya wanita-wanita yang sedang pergi mengirimkan makan suaminya di sawah atau ladang. Ia pelankan kudanya. Anak-anak kecil bersorak melihatnya sambil melambai-lambaikan cambuk. Anak-anak babi pada berlarian seakan jiwanya sendiri yang terpenting di dunia ini.
Ah-ah, kau memang cerdik, Sultan, tahu ke mana aku hendak pergi.
Kuda telah meninggalkan desa dan kembali memasuki persawahan.
Awas, jangan sampai kau pergokkan aku pada Peranggi, ia memperingatkan. Sekiranya, Sultan, sekiranya aku tak bisa kembali, kau harus bisa pulang sendiri. Cari Emak, dan, katakan padanya, aku tak bisa kembali. Mengerti" Apa" Kau sudah lelah lagi" Matari pun belum lagi bergeser sejengkal. Jangan manja.
Kuda itu berlari tenang tidak terburu-buru melalui jalanan desa dengan hutan muda di kiri-kanannya. Derap kuda dan desau angin pada kuping menyebabkan ia tak banyak mendengar sesuatu di seling-kungannya. Hanya matanya tajam melihat ke segala jurusan di depan. Dan ia pun tak mendengar seseorang berseru-seru dari atas pohon tinggi, menyuruhnya berhenti.
Sayup-sayup mulai terdengar olehnya suara kentongan bambu dari atas pohon. Ia anggap itu suara burung.
Sampai di tikungan kudanya berhenti, meringkik. Gelar menebarkan pandang ke keliling. Macan: Kuda itu tetap menolak maju dan terus juga meringkik.
Turun! terdengar suara dari balik semak hutan. Gelar menolak turun dan kuda menolak jalan. Ia mencabut tombak.
Orang siapa" Demak" Bukan. .
Peranggi" Tidak. Tuban" Tiga-tiganya tidak! Turun! Kalau tidak, kau akan berbulu anak panah. Siapa kau"
Keluar kau dari semak, lelaki, inilah Gelar. Tiba-tiba terdengar orang tertawa-tawa dan beberapa belas orang keluar melingkarinya. Gelar sendiri duduk di atas kuda menyiap tombak dan meruncingkan kewaspadaan.
Kau, Gelar! mereka berseru senang.
Ayoh, turun. Gelar curiga. Tapi suara tawa mereka ramah. Pandangnya berpendaran pada wajah-wajah yang melingkarinya, dan ada salah seorang ia kenal: seorang prajurit pengawal Tuban.
Ayoh, Gelar, turun! Tak ada orang punya gaya berkuda seperti kau.
Siapa kalian, Gelar bertanya curiga. Demak atau Tuban" ia bertanya kembali.
Tuban. Sudah butakah matamu" Ayoh, minum tuak dulu! Semua ini teman-temanmu sendiri sepasukan. Tidak, tak ada yang bakal tangkap kau. Turun! Kau toh akan menggabung dengan kami dengan perlengkapan perang seperti itu"
Gelar mengembalikan tombak pada tempatnya, tertawa waspada dan turun.
Awas kalau kalian coba-coba bikin pertengkaran ia awasi prajurit-prajurit pengawal itu.
Pertengkaran apa" Terlalu banyak musuh untuk boleh bertengkar Demak, Peranggi. Kau toh akan bergabung dengan kami"
Dengan tetap memegangi hulu pedang ia hamp iri bekas tetangga tidurnya dan berkata bersungguh-sungguh: Aku mau bergabung hanya kalau ditugaskan masuk ke Tuban. Dengar"
Beres. Bergabung dulu. Minum, ambil tuak itu. Tuaaaak. Mereka masuk ke dalam hutan, merubung ladang tuak.dan minum dari cangkir bambu. Dan sebentar kemudian mereka telah riuh-rendah dalam kegembiraan.
Kau sudah perjaka gagah berani. Gelar! seorang memulai. Tahukah, kau. Gelar, seseorang menyambung, Syahbandar itu ternyata terlepas dari tangan Sang Patih"
Gelar tak jadi meneguk tuaknya. Matanya tajam menembusi mata si penanya, kemudian meletakkan cangkir di tanah.
Jangan kau gusar, segera orang meredakan. Peranggi telah membebaskannya. Sekarang dia jadi biangkeladi segala macam kecelakaan.
Gelar menahan diri. Ia mencoba memahami adakah ucapan itu dimaksudkan untuk mengejek dan menghina ataukah sekedar memberitahukan, Belum lagi ia dapat memutuskan terdengar derap kuda datang mendekati. Siapa itu" Gelar bertanya curiga.
Orang sendiri. Jangan kuatir. Hei, Gelar, kau mau ke mana dengan kelengkapan perang selengkap ini"
Gelar tak bermaksud menjawab. Orang lain telah bicara: Ingin kami lihat tampangmu kalau sudah berhadapan dengan Peranggi. Terhadap teman-temanmu sendiri kami sudah cukup tahu. Gelar
Ya-ya, betul. Kami ingin lihat bangaimana kau mendengar musket dan meriam. Pucat, kau. Gelar, mungkin pingsan sewindu .
Dari jalanan terdengar penunggang kuda itu berseru-seru dan derap kudanya padam: Kembali kalian! Semua! Senapatiku telah datang, Senapatiku yang lama. Ayoh kembali!
Orang pun berlarian keluar dari balik semak-semak ke jalanan. Seorang pengawal yang masih duduk di atas kuda menyampaikan perintah: Tanpa kecuali, semua kembali. Senapatiku telah datang.
Banteng Wareng" Bodoh. Wiranggaleng! Bersoraklah untuk Senapatiku. Orang pun bersorak-sorai. Gelar menyembunyikan muka pada bulu suri kudanya. Ia menangis. Ia tahu orang itu bukan bapaknya lagi. Semua orang berbangga pada Sang Senapati Tuban. Ia merasa seumur hidupnya telah jadi duri dalam dagingnya. Apakah lagi arti dirinya bagi Sang Senapati"
Sultan! sebutnya pada kudanya meminta simpati. Kuda itu menengok padanya. Sorak-sorai itu telah berhenti. Kau tidak ikut bersorak. Gelar! seseorang menegur. Seumur hidupku aku telah bersorak untuknya, jawabnya cepat-cepat dan menyekakan muka pada punggung Sultan.
Ayoh, semua berangkat sekarang juga. Orang pun mengemasi bawaannya masing-masing dan naik ke atas kuda. Juga Gelar bergabung dengan sendirinya dan ikut berangkat
Ia berkendara pelan-pelan dibuntut barisan. Ujung depan telah hilang di balik tabir debu. la membutuhkan waktu untuk memantapkan kembali hatinya. Senapatiku! Senapatiku, masihkah diri ini anakmu" Akan kau terima diri ini bila ikut datang menjemputmu" Mengabdi padamu" Aku bangga berbapak kau. Ah, Senapatiku. Ia pacu kudanya. Semoga kau tak merasa hina beranakkan aku. Bapak! Bapak, aku, Gelar datang.
Gelar diterima kembali oleh pasukannya.
Dan Senapati Tuban, Wiranggaleng, ternyata tak pernah dapat ditemuinya. Belum ada orang yang dapat bercerita bertemu, apalagi bicara dengannya. Namun demikian kewibawaannya dapat dirasakan oleh setiap prajurit. Perselisihan antara pemimpin-pemimpin pasukan lenyap seperti dihembus angin. Setiap saat orang menunggu dengan taat akan datangnya perintahnya. Dan dalam waktu pendek ketidak-acuhan para petani di pedalaman dapat dilawannya.
Prajurit-prajurit yang selama ini dibiayai oleh praja Tuban, dan praja dari upeti, dan upeti dari keringat petani, telah menjadi pengetahuan umum setiap orang. Tanpa praja prajurit yang sepangkat-pangkatnya hanya akan hidup dari perampokan langsung atas petani. Senapati telah tindas kecenderungan jahat ini, dan memerintahkan setiap prajurit menjadi petani dan setiap petani menjadi prajurit. Dan ternyata setiap prajurit bisa menjadi petani dan setiap petani bisa menjadi prajurit.
Dan Senapati Tuban masih juga tidak dilihat oleh orang.
Gelar harus tahan kerinduannya untuk bertemu, untuk mendapat restu, untuk mendapat ijin istimewa memasuki Tuban, menemui Syahbandar Sayid Habibullah AlMasawa. Idayu telah mengatakan melalui jalan kelok, Syahbandar itulah bapaknya yang sebenarnya, la harus menemuinya dan menyembahnya sebagai seorang ayah. Biar semua orang membenci dan mengejeknya, dia adalah bapaknya, orang yang suka membius itu. Ia ingin tahu dengan mata dan kuping sendin bagaimana macamnya.
Dan keinginan itu tak juga terpenuhi.
Kembali menjadi anggota pasukan pengawal ia menjadi pendiam lagi seperti dahulu. Setiap hari ia berlatih memainkan senjata. Dan betapa ia berlatih diri begitu fanatik. Ia akan melewatkan masa perang ini dengan selamat. Dan semua berita tentang bapaknya yang sejati ia dengarkan dengan hati-hati, tanpa perasaan pribadi. Dan betapa ia mulai mengerti dengan sikap semua orang yang membenci orang Moro itu. Mereka berhak membencinya dan ia merasa ia pun berhak menjadi pemenang dalam perang terakhir nanti.
Kadang ia berpikir, mengapakah kelakuan satu orang saja bisa membikin diri dan emak dan Senapati menelan kegetiran begitu panjang. Mengapa tidak Syahbandar itu sendiri yang harus menanggungkannya" Tidak adil! ia meraung sunyi.
Dan bukanlah suatu kebetulan, waktu diadakan pengiriman seorang telik untuk memasuki kota, ialah yang terpilih. Ia telah mendapat nilai sebagai pemuda yang berani dan cakap. Ia terima tugas itu dengan perasaan syukur pada Hyang Widhi. Dengan menyandang semua senjatanya ia naik ke atas punggung Sultan dan berpacu ke utara.
Sampai di sebuah kampung nelayan ia berhenti. Ia nikmati pemandangan laut yang nampak tanpa batas, bersambung langsung dengan langit, sama-sama biru. Tak ada kapal, besar ataupun kecil kelihatan. Perahu nelayan pun tidak. Semua yang biasanya dicancang di pantai, kini diangkat naik ke darat, di bawah lindungan pohon bakaubakau.
Rumah-rumah itu nampak sangat miskin, suram, tak ada kegembiraan, beda daripada pondoknya dalam pengungsian. Semua atap terbuat dari ilalang yang telah lusuh dan hancur-hancur lekang dan dipatahkan oleh angin.
Ia masuki sebuah rumah, telah doyong, dan dua orang anak kecil sedang bermain-main di dalam. Ternyata orangtuanya pergi ke daerah selatan, mencari tanah pertanian. Juga di rumah-rumah lain, yang ada hanya bocah-bocah. Semua nelayan telah meninggalkan laut untuk bertani.
Di malam hari waktu mereka pulang ia mendapat cerita, penangkapan ikan tidak lagi menghidupi. Tak ada lagi orang datang untuk bertukar dengan beras dari pedalaman. Mereka pun telah berhenti membikin ikan asin dan trasi. Hanya garam masih terus dibikin bila hari tidak hujan. Tetapi Gelar melihat, sawah-sawah garam mereka sudah tidak terpelihara. Mereka dalam kesulitan penghidupan yang amat sangat.
Walau begitu ia tak ragu-ragu memerintahkan seorang laki-laki dewasa agar tinggal di kampung untuk memelihara kuda dan barang-barang titipannya.
Dengan berlindung kegelapan malam ia mendayung ke jurusan timur pengalaman pertama dalam hidupnya sebagai orang pedalaman.
Ia telah mendapat tugas untuk menemukan pemusatanpemusatan kekuatan Peranggi, mencatat adat-kebiasaannya di siang atau malam hari, dan sampai di mana saja daerah geraknya.
Dalam mendayung di kegelapan ia mengandalkan diri pada ketajaman matanya. Dan ia bangga hidup di tubir maut begini suatu kehormatan untuknya. Ia akan tunjukkan pada emaknya, pada Senapati, pada semua yang mengenal dan tidak mengenalnya, ia mampu lakukan tugas berbahaya tanpa teman, bahwa ia layak jadi anak Senapati Tuban. Dan Senapati akan bangga punya anak seperti dirinya. Ia takkan memalukan orangtuanya.
Dengan modal kebanggaan dan hati besar ia tak menemukan sesuatu kesulitan. Ia dapat mendarat dengan selamat di barat bandar kota, dan bandar itupun terbentang di hadapannya seperti sebuah cobek tua yang tinggal pecahnya. Dengan melumuri badan yang hampir-hampir telanjang itu dengan kotoran, rambut kacau dirubung lalat, berjalan dengan kaki X, berpura-pura gila, ia menyanyi dan tertawa tiada berkeputusan, bicara seorang diri, dengan mata menatap hanya pada satu titik. Rambut kacaunya jatuh pada mukanya dan menutup sebagian dari wajahnya, terutama hidung-bengkungnya.
Tanpa ragu-ragu ia mendekati prajurit-prajurit Portugis dan mengajak bicara. Dan mereka menghalaunya dengan cacian, dengan lemparan batu. Ia merasa puas dengan permunculannya. la tak takut pada kesialan. Sudah sejak kecil diajarkan padanya, tak ada kesialan dalam hidup manusia, yang ada hanya akibat kekeliruan dan kesalahan.
Kepalanya terlindungi oleh sisa destar yang merupakan tali sempit. Dengan demikian ia dapat kukuhkan letak rambut yang harus dapat menutup hidungnya. Kesulitan satu-satunya adalah pangan, tapi justru itu yang menyebabkan ia mengurus dan nampak pucat. Dan itu lebih baik baginya.
Untuk mendapatkan pemusatan-pemusatan kekuatan baginya tak merupakan kesulitan. Meriam-meriam ia dapat mengetahui ditujukan ke arah selatan sedang yang di sekitar benteng terarah ke barat. Semua berdiri di atas roda kayu. Benteng dan kadipaten merupakan pusat kehidupan Peranggi. Sedang bandar sendiri nampaknya tak begitu terjaga. Menara pelabuhan dan menara benteng memang merupakan bahaya awal bagi belatentara Tuban, tetapi di malam gulita menara-menara itu tidak akan berdaya. Juga mata tentara Peranggi itu tidur di malam hari.
Ia lihat serdadu-serdadu berkeliaran di kampungkampung dan menggauli wanita yang tak mampu meninggalkan kota. Tapi lebih banyak lagi adalah yang berkeliaran di gubuk-gubuk bandar. Dan di sini pula ia sekali melihat Syahbandar Tuban keluar dari sebuah gubuk, tua, berjalan terbongkok-bongkok, bertongkat dan bertarbus tua. Kemudian ia lihat juga gubuk itu ditinggali oleh Nyi Gede Kati, yang juga sudah tua, dan badannya tak terpelihara lagi seperti dulu.
Beberapa hari lamanya ia memata-matai Syahbandar, la selalu melihat orang itu berada dalam kawalan serdadu dan setiap sore berkunjung ke gubuk Nyi Gede Kati, seorang diri, dan pulang di waktu malam. Bila ta memasuki gubuk itu pengawal-pengawalnya kemudian pergi dan masuk ke tempat-tempat lain.
Sekali waktu ia tidur bergolak-golak di pasiran pinggir jalan ia lihat Syahbandar lewat dalam pengawalan. Ia berhenti, mengawasinya sejenak kemudian bicara sesuatu dalam bahasa yang ia tak mengerti. Sebelum berangkat Syahbandar itu memerlukan untuk meludahinya, dan Gelar tertawa berbahagia mendapat ludah itu dan menyekanya dengan rambutnya. Ia ikuti orang terbongkok-bongkok itu dengan pandangnya.
Itulah bapakmu yang sesungguhnya. Gelar, buruk sebagaimana hatinya, busuk sebagaimana hatinya dan jahat sebagaimana hatinya. Mengapalah kau berbapakkan dia" Orang yang tak pernah terdengar berbuat sesuatu kebajikan" Tak pernah terdengar sesuatu yang mulia tentangnya" Tapi itulah bapakmu. Semua orang tahu. Emakmu sendiri mengatakan dengan jalan dan cara lain.
Betapa emakku menderita karena kau, menanggung malu seumur hidup. Sekali waktu kau akan jatuh ke tanganku iblis tua! Inilah Gelar, anakmu, dia akan datang padamu. Hati-hatilah. Dua puluh hari kemudian, pada suatu sore ia melihat Nyi Gede Kati menggendong bakul entah dari mana pulang ke gubuknya di daerah pelacuran, la nampak kurus. Matanya cekung dan jalannya telah goyah, tiada mantap seperti biasanya.
Ia kumpulkan ketabahannya melihat wanita itu memasuki gubuk dan sebentar kemudian juga Syahbandar dalam iringan tiga orang pengawal, la perhatikan pengawalpengawal itu menjauh dan memasuki gubuk lain.
Ia dekati gubuk itu dengan tongkat kayu di tangan dan debaran deras di dalam jantung. Langkah masih menyeret dengan kaki X. Ia makin mendekat sampai terdengar suara tawa Syahbandar dan Nyi Gede.
Kau semakin kelihatan kurus, Kati. Tidak, Tuan, sahaya hanya lelah.
Seorang pelacur yang lewat telah mengganggunya dengan ludah dan mentertawakannya. Ia pun ikut tertawa, mendekatinya, dan orang itu lari. Pelacur-pelacur lain muncul, dan ia dekati mereka, dan mereka pun lari bercekikikan. Ia belok kanan jalan memburu mereka, kemudian kembali ke gubuk Nyi Gede.
Pintu daun kelapa itu terbuka. Ia melompat masuk sambil tertawa bahak seperti gandarwa di atas panggung. Tongkatnya tergenggam, matanya melotot dan mulurnya ternganga.
Sekilas ia dapat melihat dua orang itu terperanjat. Nyi Gede berdiri di samping tungku, bersiaga terhadap setiap serangan. Tholib Sungkar Az-Zubaid naik ke atas ambin kedudukannya, bersiaga dengan tongkatnya.
Perempuan itu segera mengenalnya dan berseru dari tempatnya: Gelar!
Nyi Gede! tiba-tiba saja Gelar lupa pada kegilaannya. Gelar! anakku, mengapa kau jadi begini" ia melangkah mendekat.
Dan Gelar merasa agak berkecilhati karena wanita itu segera mengenalnya. Ia melengos memandangi Syahbandar.
Beginilah nasib anakmu, Nyi Gede.
Gelar" Syahbandar bengong dan turun dari ambin. Ya, inilah Gelar.
Sudah kucari Nyi Gede ke mana-mana. Beri aku makan, perintah Gelar. Kasar.
Gelar" Kau sudah bisa sekasar itu" Ya, tunggulah aku masakkan. Nampaknya kau sudah lapar.
Makan" Gelar tertawa sinting. Siapa yang cukup makan sekarang" Siapa cukup pakaian" ia melotot pada Tholib.
Compang-camping begitu, gumam Syahbandar, mungkin memang sudah gila. Ia mengendurkan kesiagaannya. Kulihat memang Gelar seperti celeng keluar dari jaring ikan. Hampir telanjang bulat. Tunggu di luar, biar Nyi Gede selesaikan masaknya.
Di mana emakmu" tanya Nyi Gede. Lari. Tak tahu aku ke mana.
Seperti gila, tapi bisa menjawab, Syahbandar meneruskan bicara pada diri sendiri. Busuk benar baunya, dan lalat mengikuti begitu rupa. Dan sekarang ditujukan pada Gelar, Baumu busuk, tak pernah mandi. Kau kan prajurit Tuban"
Minum, Nyi Gede! Gelar meminta kasar, membelalak. Dan wanita itu mengeluarkan gendi, berkata meminta maaf dan menghampiri: Tuak aku tak punya, Gelar.
Air tawar" gumam Gelar, kemudian meneguk dan meletakkan gendi di atas lantai tanah. Aku kotor, lapar, tapi masih tetap Gelar, Nyi Gede, ia tersenyum di buatbuat. Tiba-tiba dengan suara meledek menuding pada Syahbandar, Siapa orang ini, Nyi Gede"
Perempuan itu mengambil gendi dari tanah dan menaruhnya kembali di dalam gantungan: Masa kau lupa siapa dia"
Apa guna kau mengenal aku" Syahbandar menolak untuk disebut namanya. Ia bergerak hendak keluar dari pintu.
Gelar mencegahnya melangkah lebih jauh. Siapa! tanyanya pendek dengan suara menggeram.
Tingkahmu menakut-nakuti orang Gelar. Dulu kau tidak begitu, tertib dan sopan. Jangan dekati dia, Gelar. Kau begitu kotor dan busuk.
Dan kembali Syahbandar bersiaga dan mundur menjauh beberapa langkah.
Jangan mundur! tegah Gelar. Biar kuingat-ingat siapa kau; ia raba-raba hidungnya sendiri. Hidungku seperti hidungmu. gumamnya. Aku lupa seakan pernah kulihat kau dalam hidupku.
Kau pura-pura tak tahu siapa dia. Jangan dekat-dekat, tegah Nyi Gede sambil meneruskan masak.
Bukankah itu Tuan Syahbandar Tuban"
Dia sudah begini tua sekarang, kau. Tuan Syahbandar, Gelar meneruskan gumamnya. Kalau aku sudah menjadi tua, semestinya akan seperti dia juga. Siapa kau"
Tholib Sungkar berusaha hendak keluar dan gubuk, dan kembali gelar menghalangi.
Kupukul kau kalau merintangi jalanku, ancam Syahbandar.
Syahbandar, Tuan Syahbandar, bisik Gelar. Tuan Syahbandar Tuban. Tapi siapakah namanya" Sudah lama kurindukan waktu untuk bertemu dengannya. Tapi siapakah namanya"
Gelar! Kau mengganggu aku memasak. Jangan ganggu pula Tuan Sayid Habibullah Al-Masawa itu.
Benar, Sayid Habibullah Al-Masawa! Gelar mendengus. Benar, ingat aku sekarang.
Mengapa kau nampak begitu menakutkan" tegur Nyi Gede yang kembali mendekatinya. Hormati dia sebagaimana kau menghormati orangtua.
Gelar mencibir. Dan Syahbandar tetap siaga dengan tongkatnya.
Gelar! Kau atau aku yang pergi dan situ! bentak Syahbandar. Kau ini orang Demak atau Tuban, atau hanya main pura-pura gila"
Kau menghadapi Tuan Syahbandar sebagai menghadapi , Nyi Gede memperingatkan.
Nyi Gede, ingatkah Nyi Gede semasa aku masih kecil" tiba-tiba Gelar bertanya kekanak-kanakan. Ini dia Tuan Syahbandar Sayid Habibullah Al-Masawa. Kata orang. Nyi Gede, dia bapakku.
Penipu! Tak ada aku beranakkan kau! bentak Tholib Sungkar Az-Zubaid, tak jadi pergi.
Benarkah itu, Nyi Gede"
Wanita itu meneliti wajah Gelar, memarahi: Kau datang seperti petir di siang cerah, membawa pertanyaan tidak pada waktunya.
Gelar tertawa pendek. Tongkat dikepitnya pada ketiak: Mengapa begitu pucat. Tuan Syahbandar" Jangan, jangan pergi. Anakmu ingin bicara,
Tak ada aku punya anak seperti kau.
Jadi kau bukan bapakku" Kaukah yang menipu ataukah emakku Idayu"
Jelas Idayu penipu! Syahbandar memutuskan. Nyi Gede memegangi bahu anak muda itu, bertanya lunak: Pernahkah Idayu bilang begitu"
Tak pernah Idayu mengasuh anaknya jadi penipu, Nyi Gede, kau yang pernah membidani emak waktu aku lahir. Apa katamu"
Nyi Gede menarik Gelar agar duduk di ambin, tapi ia menolak. Ia sendiri sekarang yang duduk, mentelantarkan masakannya.
Jangan menakut-nakuti begitu, kau, Gelar, ia memperingatkan, kalau kulihat kau berdiri di depan Tuan Syahbandar, nampaknya memang seperti dua orang kembar. Hanya kau tegak, muda belia, tinggi semampai. Tuan Syahbandar .
Apa saja semua ini , protes Syahbandar.
 Jangkung, tapi tua dan bongkok. Memang sepantasnya anak dan bapak. Kulitnya, hidung, mata, rambut .
Diam, kau, Kati, bentak Tholib Sungkar. Gila kalian berdua ini. Aku pergi.
Dan Gelar menghadang. Apa salahnya Tuan dengarkan sedikit kata dari kami" Nyi Gede, ceritakan penderitaan emakku setelah melahirkan.
Betul. Dia sangat menderita. Dia merasa pasti akan dituduh oleh suaminya, Wiranggaleng. Si periang itu, jadi pendiam untuk selama-lamanya setelah itu, jadi pemenung. Dia tak tahan terhadap perasaannya dan duga-dugaan sendiri. Dia telah serahkan diri pada suaminya untuk dicundrik mati.
Kau dengar itu, Tuan Sayid, bapakku"
Jangan berani pergi sebelum kau dengar penderitaan emakku karena tingkahmu. Kau! Teruskan, Nyi Gede.
Wiranggaleng tidak mencundrik emakmu. Dia tetap mencintainya. Betapa agung cinta lelaki itu. Tetapi wanita itu, perasaannya telah rusak binasa sejak itu, takkan dapat pulih kembali.
Dan semua dimulai dengan obat bius, Gelar menambahi.
Kemudian, baru kemudian itu diketahui, Nyi Gede Kati membetulkan.
Tak perlu aku membius seorang pun! bantah Syahbandar.
Aku pun pernah kau bius, Tuan, Nyi Gede menuduh. Kau, Kati, kau juga menuduh aku"
Dan penjaga-penjaga menara, dan dua orang Peranggi pelarian, Gelar meneruskan, korban obat bius.
Apalah artinya korban-korban itu dibandingkan dengan penderitaan Idayu"
Syahbandar seperti kehilangan kepribadiannya. Ia menoleh-noleh pada setiap pembicara, la tak dapat memutuskan sesuatu untuk diperbuatnya. Ia ingat pada sumpahnya untuk mengakui Gelar sebagai anaknya. Dan anak itu kini begitu menjijikkan, setengah gila dan tak tahu aturan.
Setiap dia melihat kau. Gelar, Kati meneruskan, dia akan ingat pada kelahiranmu, pada gangguan perasaan yang mengguncangkan itu, karena dia sangat, sangat mencintai bapakmu. Dia rela mati untuk bapakmu, rela apa saja. Karena besarnya cintanya itu sebelumnya dia telah hadapi maut, menolak jadi selir Sang Adipati, menolak segala bujukan. Tiba-tiba Tuan, Tuan Syahbandar membiusnya. Tangan Tuan yang kotor dan berlumuran dosa telah meraba tubuhnya, dan kau, Gelar, kau pun lahirlah. Kau anak Tuan Syahbandar ini. Tak salah lagi. Jangan pergi. Tuan, dengarkan juga istrimu ini bicara.
Tholib Sungkar berdiri tersiksa tak dapat meninggalkan tempatnya. Ia meringis-ringis berusaha tak mendengarkan, tapi justru mendengarkan.
Marilah duduk sini di sampingku. Tuan, tapi Syahbandar tak menggubris seolah tak dengar. Gelar! Akulah yang pertama-tama menyambut kedatanganmu di dunia ini. Aku juga yang pertama-tama melihat: kau tak lain dari anak Tuan Sayid ini Akulah juga orang yang pertama-tama kaget. Setelah kau kumandikan dan kutidurkan di samping emakmu, emakmu dengan diamdiam menangis. Ia tak bicara apa-apa. Nah, Tuan Sayid, Tuanlah sekarang yang bicara.
Dia tak pernah mengatakan aku anaknya, Gelar menuduh.
Mengapa diam saja, Tuan. Malukah Tuan punya anak dia"
Tak ada guna dengarkan cericau dua orang gila. Gelar makin menghadang dengan tongkat pada ketiak. Syahbandar berusaha mencabut pisau-tongkatnya dengan suatu gerakan semu. Gelar meliriki tangannya, tertawa, kemudian: Sia-sia Tuan keluarkan pisau-tongkat itu. Kalau aku mau, sudah sejak tadi kuremukkan kepalamu. Uh, siapa belum pernah dengar tentang tongkat ajaib itu" Orang-orang tak berdaya telah kau bunuhi, seakan hanya babi hutan. Sekali pisau itu nampak terhunus di hadapanku, tangan yang menghunusnya akan kuremukkan. Kalau tidak percaya, ayoh coba.
Tholib Sungkar tak meneruskan usahanya.
Telah kau aniaya perasaan emakku sejak kelahiranku. Telah kau hinakan Senapatiku. Diam! Jangan bicara. Telah kau aniaya dan kau khianati penduduk Tuban. Dengarkan kalau Gelar bicara. Jangan gerakkan bibirmu itu. Telah kau bikin aku jadi ejekan dan tertawaan di mana-mana dan kapan saja. Tebus semua airmata dan kesakitan emakku! Tebus semua kesakitanku. Bicara kau sekarang!
Untuk sekian kali Tholib Sungkar berusaha menguasai diri. Tapi syarafnya sudah tak bisa dikendalikannya. Kefasihan dan kecerdasannya pun sudah tak sanggup membantunya melawan anak kemarin yang tak berpengetahuan ini. Terdengar Kau sudah bikin bahaya untuk dirimu sendiri.
Urusanku. Aku tahu kau sangat berkuasa. Tak relakah Tuan mengakuinya sebagai anak" Setiap saat serdadu Peranggi bisa datang dan bunuh kau, anak gila.
Biarlah bapak dan anak mati bersama. Apalah bedanya"
Tidakkah pernah kau dengar" Sedikit saja tanganku melambai, dan serdadu Peranggi akan tergopoh berdatangan"
Tangan itu akan remuk sebelum melambai. Bila jariku menuding, tewaslah dia yang tertuding, dengan atau tanpa nama.
Jari itu akan patah sebelum menuding. Itu benar, Gelar, Nyi Gede menggarami.
Aku telah datang padamu untuk dijawab. Sekali lagi: adakah kau bapakku"
Tak pernah aku punya anak seperti kau.
Bagus. Maha Buddha takkan mengutuk aku. Lebih mudah rasanya berhadapan denganmu sebagai bukan bapak, ia menuding. Kau sumber sengsara. Kau bukan bapakku, aku bukan anakmu.
Kau memang terlalu. Tuan, Gelar sudah marah begitu. Dia kira mudah membunuh Sayid Habbibullah Al- Masawa, ejek Syahbandar. Kau hadapi seribu Peranggi. Kau takkan lepas!
Apakah hinanya mengakui anak itu sebagai anak sendiri" Dia darah dan daging Tuan sendiri!
Diam! bentak Syahbandar pada istrinya. Dan pada Gelar, Setan mana yang membawa kau padaku"
Syahbandar tak dapat mengendalikan diri lagi. Cepat tongkatnya naik di tentang dada, pisaunya yang panjang hitam telah terhunus dan dengan cepat maju-mundur membikin gerak penikaman yang mematikan.
Gelar berkelit ke samping dan memutar tongkat kayunya sambil mendesis cepat: Nyi Gede, jangan sesali aku kalau kuperlakukan suamimu seperti ini.
Nyi Gede menghindarkan diri dari dua lelaki, ayah dan anak, yang sedang bertarung. Ia berteriak mencoba melerai: Tuan, jangan bunuh anak itu, anakmu sendiri. Terkutuk kau! tapi suara yang berseru-seru itu tak keluar dari mulut.
Tongkat Gelar berputar-putar. Dan tusukan-tusukan pisau panjang itu bertubi-tubi cepat seperti serangan seribu kobra. Baru pada waktu itu orang menyaksikan Syahbandar dengan pisau-tongkatnya adalah laksana seekor ular berbisa. Ia dapat menyerang cepat dan mengelak dan berkelit, maju dan mundur dalam kesatuan dengan senjatanya.
Ruangan yang sempit itu terasa sesak dengan dua manusia.
Nyi Gede melompat ke atas ambin. Sekarang suaranya dapat keluar nyaring.
Tuan, jangan bunuh anakmu sendiri!
Kau membela dan memberanikan dia! jawab Syahbandar sambil terus menyerang.
Terkutuk si pembunuh anak!
Pisau-tongkat Syahbandar terlontar dari tangan, melesit ke atas, menemui atap daun kelapa, tersangsang dan tak turun lagi.
Menjijikkan, dengus Nyi Gede melihat Syahbandar berdiri tanpa bongkok di hadapan Gelar tanpa bergerak, mencoba membunuh anak sendiri. Memang patut mendapat ganjaran setimpal. Orang tua tak tahu diri. Kau tidak membela aku. Kati.
Gelar berdiri diam-diam dengan tongkat di tangan di hadapan Syahbandar. Nyi Gede Kati turun dari ambin dan mendekati suaminya, menudingnya: Dalam penderitaan kau kubela. Dalam kebinatangan kau kulawan, terkutuk kau!
Gelar membiarkan dua-duanya sebagai suami-istri. Sebagai istri kau tak patut memusuhi aku. Tutup mulutmu. Makin banyak bicara kau makin menjijikkan. Panggil semua serdadumu. Tak ada seorang pun di antara mereka bisa dan mau menolongnya. Kau pun akan binasa, Kati.
Aku tahu, tapi tidak tanpa kehormatan seperti kau, bentak Gelar dan melayangkan tongkatnya pada kepala Syahbandar.
Nyi Gede menutup mata dengan tangan, memekik: Terkutuk, kau Gelar, pembunuh ayah sendiri!
Kepala Syahbandar tua itu pecah, tongkat itu patah, dan tubuh tua itu terguling jatuh. Dari mata dan hidungnya dan mulutnya dan kupingnya keluar darah.
Gelar menarik tangan Nyi Gede ke arah pintu. Jangan sentuh aku, terkutuk, pembunuh ayah sendiri! Peranggi akan aniaya kau!
Binatang! Pergi! Gelar keluar dari gubuk, dan matahari telah tenggelam. Ia lari entah ke mana.
Nyi Gede Kati mendekati pintu, menengok ke kiri dan ke kanan, kemudian pun lari entah ke mana .

Berlanjut kebagian 42


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar