Sabtu, 19 November 2022

BUMI MANUSIA KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER #16/27


Sudah sejak tadi gadis itu menutup matanya. Bertanya: "Kalau orangtuanya melarang, Ma, bagaimana ?"
"Jangan kau pikirkan apa-apa, kataku. Mama akan pengatur semua. Tidur. Diamdiam di situ. Biar aku ambilkan susu. Ingat, kau harus sehat. Apa kata Minke nanti kalau kau jadi kuyu tidak menarik " Gadis secantik apa pun takkan menarik kalau sakit."
Nyai berseru dari kantor memanggil orang dapur. Tak lama kemudian yang dipanggil masuk membawa susu panas.
"Nah, minum sekarang.. Mama akan mandi dulu. Kemudian cobalah tidur, Ann." Nyai pergi mandi. Waktu kembali ia membawa air hangat dan anduk dan mengurus anaknya.
Annelies sudah tak bicara sepatah pun.
Dokter Martinet batang, memeriksa sebentar, kemudian merawatnya. Ia berumur empatpuluhan, sopan, tenang dan ramah. Ia berpakaian serba putih kecuali topinya yang dari laken kelabu. Matanya yang sebelah kanan menggunakan kaca monokel, yang terikat pada rantai mas pada lubang kancing baju sebelah atas. Darsam gopoh-gapah menyediakan sarapan untuk Tuan Dokter di kantor. Dan bersarapan tamu itu dengan Nyai.
"Nanti sore aku akan datang lagi, Nyai. Beri dia sarapan lunak sebelum tidur. Jangan sampai ada banyak bising. Pertahankan ketenangan. Hanya tidur saja obat dia. Pindahkan dia ke kamarnya sendiri. Jangan di kantor begini. Atau mari angkat sofa ini ke ruangtengah. Jendela dan pintu tutup saja."
Dan bagaimana dengan Robert Mellema " Menurut cerita orang-orang Boerderij, juga menurut saksi-saksi serta terdakwa di depan sidang pengadilan di kemudianhari kejadiannya adalah seperti yang kususun di bawah ini:
Setelah meninggalkan kandang ia memacu kudanya ke jalan besar. Kemudian berbelok kanan, ke arah Surabaya. Sesampai di jalan besar ia hentikan kendaraannya, menengok ke kiri dan ke kanan, dan dipelankannya kudanya sambil menikmati pemandangan pagihari. Boleh jadi ia merasa sebal. Buat kepentingan seorang petualang Minke ia harus bangun sepagi itu! ke Kantor Polisi pula. Buat apa " Biar saja Minke lenyap buat selamanya. Dunia tanpa dia pun takkan lebih miskin, takkan lebih sengsara, sebutir debu yang datang dibawa angin entah dari mana, dan mau bercokol dalam rumahnya entah untuk berapa lama.
Kuda itu melangkah tak senang hati karena memang belum makanpagi, belum lagi minum manis. Robert juga belum sarapan, dan sekarang sudah harus berangkat kerja.
Pagi itu lebih dari hanya sejuk. Grobak-grobak yang mengangkuti tong minyakbumi dari Wonokromo belum juga muncul seperti biasanya dalam iringan panjang seakan tiada kan putus-putusnya. Hanya para pedagang dari desa sudah mulai berbaris memikul hasilbuminya ke pasar-pasar Surabaya.
Dan kuda itu sudah dalam langkahnya yang lambat barang lima puluh meter. Pikirannya melayang ke mana-mana. Dari balik pagar hidup sebelah kanannya terdengar seseorang menyapa:
"Tabik, Sinyo Lobel."
Ia hentikan kuda, meninjau melalui puncak-puncak pagar ke sebaliknya. Dilihatnya seorang Tionghoa dalam piyama serba lorek sedang tersenyum manis padanya. Rambutnya begitu jarang sehingga kuncirnya pun begitu tipis. Waktu tersenyum pipinya terangkat naik. matanya semakin sipit. Kumisnya pun tipis, panjang, jatuh tak berdaya di samping-menyamping mulut. Jenggotnya sangat tipis pula, dan pada setotol tahilalat bagian jenggot itu merimbun dan agak lebih hitam. "Tabik, Nyo," ulangnya waktu melihat Robert nampak ragu untuk menjawab. "Tabik. Babah Ah Tjong!" jawab Robert sopan, mengangguk disertai senyum. "Tabik, tabik, Nyo. Bagaimana kabal Nyai ?"
"Baik, Babah. Baru kali ini kulihat Babah. Di mana saja selama ini ?" "Biasa, Nyo. banyak ulusan. Bagaimana kabal Tuan ?" "Baik, Babah."
"Sudah lama tak kelihatan."
"Biasa. Bah, banyak urusan. Kelihatan pintu rumah Babah terbuka hari ini. Juga jendela. Ada apa hari ini. Bah '" Luarbia-sa barangkali T'
"Hali bagus, Nyo, hali plesil sekalang.  Ayoh, Nyo. mam-pil," senyum Ah Tjong pagi ini membikin tawar kesebalan Robert. juga kebenciannya pada yang serba Tionghoa. Tak pernah ia ingin berkenalan dengan orang Tionghoa. Ditegur pun ia takkan sudi menjawab pada kesempatan lain. Apalagi memasuki pekarangan dan rumahnya. Tapi sekarang ia sungguh-sungguh tertarik untuk mengetahui sesuatu. "Baik, Bah, aku mampir sebentar," dan Robert membelokkan kudanya masuk ke pelataran tetangganya.
Ia belum pernah mengenal Babah Ah Tjong, hanya mengira saja itulah orangnya. Belum lagi turun tetangganya telah berlarian menyambutnya. Ia lihat orang berkuncir itu bertepuk tangan. Seorang Sinkeh tukangkebun datang dan mengambil kuda dari tangannya, kemudian menuntun binatang itu ke belakang. Robert dan Ah Tjong berjalan sejajar, pelan, melalui jalanan batu cadas menuju ke gedung yang biasa terbuka pintu dan jendelanya itu. Mereka masuk. Semua jenjang tangga depan sekarang tertutup anyaman tali sabut kelapa. Dan ruang depan rumah tak berserambi itu sangat luas, diperaboti beberapa sitje jati berukir. Di sebuah pojokan terdapat sitje bambu betung be-lang-bonteng coklat. Dinding dihiasi cermin dari berbagai ukuran berisikan kalligrafi Tionghoa berwarna merah. Sebuah rana kayu berukir-tembus menutup mulut korridor yang terdapat di tengah-tengah gedung. Beberapa jambang besar dari tembikar menghiasi ruangan itu tanpa isi, berdiri di atas kaki dengan naga melingkar. Tak ada hiasan lantai. Juga tak ada potret Sri Ratu Wilhel-mina. Bunga-bungaan juga tak terdapat di mana pun di ruang-depan ini.
Ah Tjong membawanya ke sitje bambu yang terdiri atas tiga kursi dan sebuah bangku panjang yang menghadap ke pelataran depan. Tuanrumah duduk di situ dan Robert di tentangnya.
"A, Nyo, sudah lama beltetangga begini tidak pelnah datang belkunjung." "Bagaimana mungkin kalau pintu dan jendela terus-menerus tertutup T "Ah, Nyo, yang benal saja. Mana bisa lumah ini telus tel-tutup ?" "Baru hari ini kulihat terbuka."
"Kalau buka sepelti ini, Nyo Lobellll, tentu 'aku ada di lumah." "Kalau tidak, di rumah mana ?"
"Di lumah mana ?" ia tertawa senang. "Minum apa, Nyo " Biasanya apa " Wiski, blandy, cognag, bolsh, ciu atau alak biasa " Sausing balangkali " Yang putih, Kuning, hangat, dingin saja. Atau malaga " Atau keling. ?"
"Wah, Bah, sepagi ini."
"Apa salah " Dengan kacanggoleng bagaimana ?" "Setuju, Bah, sangat setuju."
"Bagus, Nyo. Senang dapat tamu sepelti Sinyo: ganteng, gagah, tidak pemalu, muda....... semua ada pada Sinyo. Kaya....... wah," ia bertepuk tangan dengan gaya anggun, tanpa meneleng tanpa menoleh, seperti maharaja.
Dari belakang rana muncul seorang gadis Tionghoa bergaun panjang tanpa lengan. Samping bagian bawah gaun berbelah tinggi menampakkan sebagian dari tungkainya. Rambutnya dike-labang dua.
. Robert membelalak melihat gadis berkulit pualam itu. Matanya seperti tak dapat dipindahkan dari belahan gaun sampai gadis itu begitu dekat dengannya dan menaruh botol wiski, gelasgelas sloki dan kacanggoreng sangan di atas meja.
Ah Tjong bicara cepat dalam Tionghoa pada perempuan itu, yang kemudian segera berdiri tegak di hadapan Robert.
"Nah, Nyo, coba taksil sendili pelempuan ini."
Dan Robert malu tersipu. Ia tak dapat bicara. Mata dan muk"uya jatuh ke tempat lain seperti direnggutkan setan.
"Ini si Min Hwa. Tak suka Sinyo padanya ?" ia mendeham. "Balu datang dali Hongkong."
Min Hwa membungkuk, meletakkan talam ke atas maja dan duduk di kursi dekat Robert.
"Sayang sekali, Nyo, Min Hwa tak bisa Melayu, Belanda tidak, Jawa juga tidak. Hanya Tionghoa saja. Apa boleh buat. Sinyo diam saja " Mengapa " Dia sudah ada di samping Sinyo. Ai-ai, Sinyo jangan pula-pula tidak belpengalaman begitu. Ayoh, Nyo, masa mesti malu sama Babah ?"
Min Hwa menyodorkan gelas wiski pada bibir Robert yang menerimanya tanpa kemantapan.
Dan Ah Tjong sengaja tersenum manis memberanikan. Min Hwa tertawa genit melengking dengan kepala didongakkan, otot muka pada tertarik, mulut terbuka dan gigi mutiaranya dengan satu gingsul berparade dalam mulutnya. Kemudian perempuan itu bicara keras dan cepat memberi komentar, tanpa koma tanpa titik. Dan Robert tidak mengerti, malah semakin kehilangan kemantapan waktu perempuan itu mendekatkan kursi padanya.
Melihat Robert menjadi pucat dan gelas di tangannya hampir jatuh, Min Hwa mendorong sloki itu pada bibir pemuda jangkung itu. Dan Robert meneguknya tanpa ragu. Tiba-tiba ia terbatuk-batuk ia tak pernah minum minuman keras. Wiski menyemburi Ah Tjong dan Min Hwa. Mereka tak marah, tertawa-tawa senang. "Satu sloki lagi, Nyo," tuanrumah menyarankan.
Min Hwa menuangkan wiski lagi dan sekali lagi menyuruh tamu muda itu minum. Pemuda itu menolak dan menyeka mulut dengan setangan. Ia semakin malu. "Masa ya Sinyo pula-pula belum pelnah minum wiski T Dan mel6d6knya, "Tidak suka wiski tidak suka Min Hwa ?" ia lambaikan tangan dan perempuan itu pergi, menghilang ke balik rana berukir-tembus. Ia bertepuk tangan lagi. Sekarang muncul gadis Tionghoa lain, berbaju dan bercelana panjang sutra bersulam aneka gambar dan warna. Ia berjalan bergeol-geol mendekati sitje bambu membawa talam bambu berisi penganan dan meletakkan di atas meja, di atas talam yang ditinggalkan Min Hwa.
Ia membungkuk pada Robert dan tersenyum memikat. Sebagaimana halnya dengan perempuan pertama ia juga bergincu. Belum lagi selesai menata penganan Min Hwa sudah datang lagi membawa air bening dalam gelas di atas talam kaca, meletakkannya di hadapan Robert. Kemudian duduk di tempatnya yang tadi. "Wah, Nyo, sekalang dua. Mana lebih menalik " Ayoh, jangan malu-malu. Yang ini Sie-sie."
Di depan rumah beberapa kereta mulai berdatangan. Tamu-tamu pada langsung masuk ke dalam. Sebagian berpakaian Tionghoa, sebagian lagi piyama. Semua lelaki dan berkuncir. Tanpa mengindahkan tuanrumah ada atau tidak mereka langsung duduk dan mulai ramai bercericau, berdahak; dan membuka permainan judi. "Tak ada yang disukai lupanya Sinyo ini," desau Ah Tjong dan menggerakkan tangan menyuruh mereka pergi untuk melayani para tamu. "Juga Sie-sie Sinyo tak suka," ia berdiri dan memanggil Sie-sie.
Begitu wanita itu datang lagi Ah Tjong menariknya dan mendudukkannya di samping Robert.
"Siapa tahu Sinyo lebih suka ini."
Dan Robert nampak masih sangat malu, kacau antara mau dan takut. Babah meneruskan tawanya, asyik melihat pemuda  yang kebingungan itu. Dan tamu-tamu lain sama sekali tak mengindahkan mereka yang di pojokan.
Sekarang Sie-sie ribut bercericau dengan suara keras, cepat, kemudian mulai merayunya, memperbaiki letak kemeja dan sabuk, menjentik-jentik gombak kemeja. Babah mengawasi dan terus juga tertawa. Robert makin meriut. Kemudian dua orang Tionghoa itu bicara ribut. Dan Robert tetap tak mengerti barang sepatah. "Baik, Nyo, memang Sinyo tak suka dua-duanya."
Sie-sie bangkit dan menghilang di balik rana dan Ah Tjong bertepuk empat kali. Robert menyesal setengah mati barangkali. Ia menunduk.
Dari balik rana muncul seorang wanita Jepang dalam kimono berbunga-bunga besar. Wajahnya kemerahan. Ia melangkah pendek-pendek dan cepat. Mukanya bundar dan bibirnya tergin-cu dan selalu tersenyum. Rambutnya terkondai. Ia langsung duduk di samping tuanrumah. Waktu tertawa nampak salah sebuah gigi serinya dari mas.
"Lihat sini, Nyo, ini pelempuan lagi."
Barangkali karena tak mau menyesal untuk ke sekian kali Robert memberanikan diri memandangi wanita Jepang itu. "Nah, Nyo, ini Maiko. Baru dua bulan datang dali Jepang." Belum sampai habis bicara Maiko telah bicara cepat bernada tinggi dalam Jepang. Juga Robert tidak mengerti. Namun ia telah memberanikan diri menatapnya. Ah Tjong menutupkan tangannya pada mulut wanita itu dan berkata: "Ini kepunyaanku sendili. Boleh juga kalau Sinyo suka. Duduk saja sini, dekatnya." Seperti anjing diamangi tongkat majikan Robert berdiri, lambat-lambat bergerak pindah duduk di kursi panjang, mengapit Maiko.
"Jadi Sinyo setuju yang ini " Maiko " Baik," ia tertawa mengerti. "Kalau begitu aku pelgi saja. Telselah pada Sinyo."
Tamu itu mengikuti tuanrumah pergi dengan matanya.
Dan Ah Tjong mencampurkan diri dengan para tamu yang makin banyak juga, bermain kartu, karambol atau mahyong. Ia berjalan lambat meneliti meja demi meja, kemudian datang lagi ke sitje bambu, berdiri di hadapan dua sejoli yang tak dapat berhubungan kata satu dengan yang lain itu.
"Ya, memang susah, Nyo. Maiko tak mengelti Melayu. Apa lagi Belanda. Bagaimana bisa Sinyo tak pelnah belgaul dengan noni-noni Jepang " Tak pelnah ke Kembang Jepun baiangkali ?"
"Lihat pun baru sekali ini. Bah," baru Robert memperdengarkan suaranya. "Lugi, Nyo. lugi jadi anak muda beduit. Di setiap lumah-plesilan Tionghoa sepelti ini hampil selalu ada noni Jepang. Lugi, Nyo, lugi. Tidak pelnah masuk lumah lampu melah di kota " Di Kembang Jepun " Di Betawi " Memang benal-benal lugi, Nyo Lobellll.,......... Noni Jepang melulu. Kasihan. Mali........" ia menyilakan dengan gaya kaisar.
Mereka bertiga berjalan. Babah di depan. Robert Mellema di belakang. Maiko terakhir. Kuncir Ah Tjong bergoyang sedikit pada setiap langkah karena tipisnya dan menyapui baju piyamanya. Mereka melewati rana berukir-tembus. Maiko terusmenerus bicara dengan suara memikat dan melangkah pendek-pendek cepat. Bau minyakwangi memenuhi udara.
Mereka memasuki korridor, yang diapit oleh kamar-kamar pada kiri dan kanannya, tanpa perabot kecuali hiasan dinding. Beberapa perempuan Tionghoa muda sedang bicara satu sama lain di sana-sini. Semua berdandan dan berhias rapi dan menyambut Ah Tjong dengari sangat hormat, kemudian juga pada Robert, dan tidak pada Maiko.
Robert memperhatikan setiap orang. Yang jangkung-pendek, kurus-gemuk, montokkrempeng semua berbibir merah, tersenyum atau tertawa.
"Pelempuan-pelempuan cantik begini hibulan hidup, Nyo. Sayang Sinyo tidak suka yang Tionghoa," ia tertawa menusuk. "Nah, semua kamal belhadap-hadapan. Sinyo boleh pakai yang mana saja, selama tidak telkunci."
Ia buka sebuah pintu dan menunjukkan pedalamannya. Baik perabot mau pun kebersihannya sebanding dengan kamarnya sendiri, hanya kurang luas, dengan peralatan lebih indah.
"Buat Sinyo ada kamal laja, kamal keholmatan, kalau Sinyo suka," ia berjalan lagi dan membuka pintu kamar lain. "Nah, ini kamal laja yang kumaksud. Hanya Tuan Majool boleh pakai ini. Kebetulan dia sedang pigi ke Hongkong." Perabot di dalamnya semua baru dan dengan gaya yang Robert tak tahu namanya, juga tak mengurusi. Di pintu Babah bertanya pada tamunya tentang pendapatnya. Dan Robert tak punya sesuatu pendapat kecuali merigiakan kebagusannya. Ah Tjong masuk. Robert dan Maiko mengikuti.
"Pelabot telbaik, Nyo. Balu selesai dibuat, gaya Plancis sejati. Memang Tuan Majool suka segala yang Plancis. Ini buatan tukang-tukang Plancis kenamaan. Pelabot paling mahal, Nyo, dalam gedung ini. Di pojokan sana ada lemali kecil, di atas kenap itu. Ada wiski dan sak", apa saja Sinyo suka. Sitje, lemali gantung, sofa, kulsi panjang," katanya sambil menunjuk perabot itu satu demi satu. "Lanjang belukil begini bikin tidul lebih tenang dan senang. Bukan, Maiko ?"
Dan Maiko menjawab dengan bungkukan dan suara pela-han, cepat, genit, seperti murai.
"Nah, Nyo, senang belplesil!"
Robert dengan mata mengikuti Ah Tjong melangkah keluar, memperhatikan kuncirnya sampai ia hilang dari balik daun pintu.
10. JUGA KARENA MENGUTAMAKAN URUTAN WAKTU aku susun bagian ini dari bahan yang kudapat dari pengadilan di kemudianhari. Sebagian terbesar didasarkan pada jawaban-jawaban Maiko melalui penterjemah tersumpah dan kutulis dengan kata-kataku sendiri:
Aku datang dan berasal dari Nagoya, Jepang, ke Hongkong sebagai pelacur. Majikanku seorang Jepang, yang kemudian menjual diriku pada seorang majikan Tionghoa di Hongkong. Aku sudah tidak ingat siapa nama majikan kedua itu. Beberapa minggu di tangannya terlalu pendek untuk dapat mengingat namanya yang sulit diucapkan. Ia menjual diriku pada majikan lain, juga orang Tionghoa, dan dengan begitu aku dibawa bela-yar ke Singapura. Majikan ketiga ini kukenal hanya pada namanya Ming. Selebihnya aku tak tahu. Ia sangat puas dan senang padaku karena tubuhku dan layananku mendatangkan banyak keuntungan baginya. Majikanku yang ke empat seorang Jepang Singapura. Ia sangat bernafsu untuk memiliki diriku. Tawar-menawar yang cukup lama. Akhirnya " dibelinya aku seharga tujuh puluh lima dollar Singapura, harga tertinggi untuk wanita-umum Jepang di Singapura. Memang aku bangga tubuhku lebih mahal dari wanita-umum dari Sunda, yang biasanya menduduki tempat tertinggi dan termahal dalam dunia plesiran di Asia Tenggara.
Tetapi kebanggaanku tidak terlalu lama umurnya. Hanya lima bulan. Majikanku, orang Jepang itu, kemudian terlalu benci padaku. Aku sering dipukulinya. Malah pernah aku disiksanya dengan sundutan api rokok. Soalnya karena langgananku semakin berkurang juga. Memang demikian risiko yang dapat menimpa seorang pelacur paling tersohor pun: sipilis. Yang menimpa diriku bukan sekedar sipilis biasa. Dalam dunia pelacuran yang terkutuk ini dinamai: sipilis "Birma". Aku tak tahu mengapa dinamai demikian. Dia mashur tak terobati, dan lelaki diru-sak dan dihancurkan lebih cepat dan lebih sakit. Perempuan bisa tak merasa sesuatu untuk waktu agak lama.
Maka majikanku menjual aku dengan harga dua puluh dol-lar pada majikan Tionghoa, majikan ke lima. Dibawanya aku ke Betawi. Sebelum jual-beli terjadi majikanku yang lama membawa aku masuk ke dalam kamar. Dipukulinya dadaku dan pinggangku sampai pingsan. Setelah siuman aku ditelanjanginya dan ditotoknya bagian-bagian: tubuh untuk mematikan syahwat. Ia bernama Nakagawa. Pada keesokannya baru aku diserahkan pada majikan lain itu.
Pada hari pertama majikan-baruku hendak mencoba aku. Aku menolak. Kalau dia tahu aku beipenyakit terkutuk itu tentu aku akan. kena aniaya lagi. Mungkin sampai mati. Bukan sesuatu yang iuarbiasa seorang pelacur dibunuh oleh majikannya dan disembunyikan atau dihancurkan entah di mana mayatnya. Pelacur mahluk lemah tanpa pelindung. Lagipula aku tahu gejala kelemahan sudah mulai menyerang syahwatku. Padanya aku minta disewakan sinsei penotok. Tiga kali sinsei memperbaiki tubuhku dan syahwatku mulai pulih. Namun aku tetap menolak dicoba oleh majikanku. Beruntunglah dia mengalah.
Baru saja tiga bulan dan majikanku tahu juga aku punya penyakit. Ia marah. Itu kuketahui hanya dari airmukanya dan nada suaranya karena aku tak mengerti Tionghoa. Langganan semakin berkurang. Orang menghindari tubuhku dan ia menjadi jengkel. Siang-malam aku berdoa jangan kiranya ia menganiaya diriku. Tidak. Boleh juga ia menganiaya diriku asal jangan sim-pananku dirampasnya. Tahun mendatang aku harap akan bisa pulang kembali ke Jepang dan kawin dengan Nakatani, yang menunggu aku pulang membawa modal.
Majikanku tak menganiaya aku, juga tidak merampas tabu-nganku. Waktu aku pindah tangan pada Babah Ah Tjong dengan harga senilai dengan sepuluh dollar Singapura, ia beri aku persen setengah gulden dan kata-kata ini, diucapkan dalam Jepang yang patah-patah:
"Sebenarnya aku suka mengambil kau jadi gundik."
Aku sangat menyesal mendengar ucapannya itu. Jadi gundik lebih ringan daripada jadi pelacur dan dapat hidup agak wajar, lebih bebas daripada jadi istri seorang pemuda Jepang yang mengharapakan modal dari calon bininya. Apa boleh buat, penyakit terkutuk ini telah mendekam dalam diriku.
Babah.Ah Tjong sangat bernafsu padaku. Aku sudah berusaha menyangkalnya, takut pada datangnya bencana baru. Kalau sekali ini terbongkar lagi, harga badanku mungkin akan hanya tinggal senilai lima dollar, dan jadilah aku sampah jalanan di negeri orang. Jadi aku minta disewakan seorang sinsei ahli penotok. Sinsei itu menjamin aku bisa sembuh dengan totok selama sebulan dengan sepuluh totokan pada menjelang malam. Babah berkeberatan dengan waktu yang selama itu dan upahnya yang mahal pula. Aku hanya mendapat totokan sekali, totokan percobaan.
Sebelum berangkat ke Surabaya tak ada alasan lain padaku untuk menyangkal majikanku. Aku dipergunakannya untuk dirinya sendiri semata sampai aku ditempatkan di rumahplesirannya di Wonokromo dan mendapat kamar terbaik. Bila berada di rumahplesirannya hampir selalu ia tinggal di kamarku, tidak di kamar lain, yang empat belas banyaknya.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar