Jumat, 18 November 2022

Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer #22/44


Arus Balik. 
Karya : Pramoedya Ananta Toer.

Bagian 22.
Pertempuran Penentuan.
Pasukan gajah itu terjebak masuk ke dalam perangkap. Parit di depannya lebur, curam dan berair. Tanah di bawah kaki terlalu berlumpur dan licin. Dari semak-semak di seberang parit anak panah api berlepasan seperti bintang beralih. Dan api yang dilemparkan itu jauh lebih besar daripada sebelumnya. Kini diketahui tentara Rajeg menggunakan alat pelempar api.
Binatang-binatang raksasa itu berlarian gugup tak terkendali.
Seperti bunyi gunung rubuh dari seberang parit beratusratus kentongan bambu dipukul berbareng.
Binatang-binatang raksasa itu bingung.
Dari kubu kayu di atas gajahnya Kala Cuwil memberi isyarat dengan tombak pimpinan, memerintahkan agar segera meninggalkan tempat itu.
Tak terdengar sorak-sorai balatentara Tuban. Sebaliknya tentara Rajeg di balik semak-semak di seberang parit bersorak dan bergalau dengan ratusan kentongan suaranya riuh rendah membelah langit. Dengan bingungnya gajah-gajah pasukan yang ditakuti itu akan membunuh pasukan kaki pengiringnya, menolak pasang dan berlari-larian liar merusak tubuh balatentara sendiri.
Mundur! Cepat mundur! pekik Kala Cuwil sambil menaik-turunkan tombak dengan kedua belah tangan.
Di sampingnya berdiri Wiranggaleng yang mencoba menembusi balik semak-semak di seberang parit dengan pandangnya.
Tak pernah pasukan gajah Tuban terusir seperti ini. Senapatiku. Dalam cerita mana pun tak pernah ada. Memalukan, gumam Kala Cuwil. Dan hanya melawan orang desa!
Husy. Bukan soal mau atau tidak, orang desa atau orang kota. Sebentar lagi meriam mereka akan menyerang. Sungguh bagus gajah-gajah ini pada berlarian.
Pasukan kaki pengiring gajah dengan ragu-ragu menjauhkan diri dari binatang-binatang yang gugup takut itu. Tanah yang licin berlumpur di bawah kaki sebentarbentar menyebabkan orang jatuh tergelincir. Gajah-gajah itu dapat menginjak mereka.
Beberapa ekor yang agak dapat dikendalikan bergerak menuju ke ujung-ujung parit untuk sampai pada musuh. Tapi Kala Cuwil dengan tombak pimpinan mencegah mereka meneruskan niatnya dan memerintah mundur sama sekali.
Waktu akhirnya binatang-binatang itu dapat diundurkan dengan susah-payah, peluru-peluru meriam berjatuhan di ujung-ujung parit yang telah dikosongkan. Peluru-peluru itu kemudian juga berjatuhan tepat di tengah-tengah medan jebakan.
Seekor gajah yang terkena pada pinggulnya tersuling sambil jatuh ke samping. Seperti dituangkan prajuritprajurit yang berada di dalam kotak kubu terlontar ke bumi dan tak bangun lagi. Binatang yang terkena itu mencoba berdiri, la jatuh lagi.
Dari seberang parit orang bersorak-sorai semakin meningkat. Sorak kemenangan.
Sebuah peluru telah menyambar kotak benteng seekor gajah. Kotak itu pecah. Talinya putus dan isinya bertumpah ke tanah sebelum kotak itu sendiri jatuh. Binatang yang kaget dan tanpa pawang itu lari, lari gila ke mana dia suka tanpa bisa dihalang-halangi.
Kala Cuwil dengan tombak pimpinan terus sibuk memberikan perintah mundur.
Gajah yang terkena peluru itu sambil bersuling-suling marah dan kesakitan mencoba lagi berdiri. Sia-sia. Sulingnya makin lama makin pelahan, kemudian terhenti dan berganti dengan suara terhisak-hisak. Dari matanya menetes airmata. Dan makin lama ia makin jauh ditinggalkan oleh yang lain-lain. Meriam berhenti menembaki.
Di luar dugaan, dengan alat-alat yang telah dipersiapkan, tentara Rajeg keluar dari semak-semak, menyeberangi parit dengan jajaran bambu, memasuki perangkap dan mulai mengejar. Anak panahnya berhamburan seperti hujan.
Banteng Wareng menghampiri gajah Senapati sebagaimana telah diperintahkan kepadanya.
Kudamu takut pada api" tanya Senapati Tuban. Takut, Senapatiku. Tapi nampaknya mereka telah berhenti bermain api. Mereka menggunakan anak panah biasa.
Keluarkan pasukanmu dari persembunyian. Gajah mundur, kau maju. Tunggu sampai sebagian terbesar mereka turun mengejar. Serang mereka dari belakang. Mereka membutuhkan waktu untuk melemparkan apinya. Gajah akan berbalik lagi.
Seperti angin Banteng Wareng lari tanpa kesulitan di atas tanah basah berlumpur untuk menjemput pasukannya yang bersembunyi di dalam hutan.
Waktu seluruh pasukan gajah telah meninggalkan medan jebakan, kecuali yang telah terkapar, dan telah keluar dari jarak tembak meriam, muncullah pasukan kuda Banteng Wareng, langsung berpacu dalam bentuk supit udang, membiarkan pasukan gajah berlalu di tengah-tengah. Mereka memasuki medan melalui pinggiran jebakan, di atas tanah basah, berlumpur dan licin. Tapi untuk kaki kuda sama sekali tiada halangan. Cambuk perang bergeletaran.
Tentara Rajeg yang sedang menyeberangi parit di atas titian bambu, segera berbalik kembali lari ke tempat asal sambil memperingatkan teman-temannya.
Di dalam jebakan tentara Rajeg tak dapat melarikan diri di atas tanah berlumpur itu. Mereka bergerak lambat seperti kepiting. Lumpur yang menghilangkan kesetimbangan. Orang berjatuhan terpeleset dalam jebakan sendiri dan jadi mangsa pedang dan cambuk perang. Pekik-jerit yang memilukan menggantikan sorak-sorai.
Dengan kembalinya pasukan gajah memasuki medan jebakan, gerakan penumpasan dimulai. Meriam tak lagi bersembunyi. Dan hujan lebat jatuh kembali.
Apa boleh buat, Wiranggaleng bergumam, penumpasan ini akan mematahkan kekuatan mereka.
Tentara Tuban pelarian belum lagi mereka turunkan, Senapatiku, Kala Cuwil memperingatkan.
Mahmud Barjah takkan sebodoh itu melepaskan anakbuah terbaik dalam pertempuran murahan begini. Dia membutuhkan untuk kemenangan dan keamanannya sendiri. Lihat Kala Cuwil, aku tak suka pada penumpasan ini tapi apa boleh buat, yang sekali tak bisa dihindari lagi. Kekalahan mereka selama ini, dan kegagalan bertubi, dengan penumpasan ini moga-moga akan mematahkan mereka sama sekali.
Tidak patut Senapati berbelas kasihan.
Mereka ini hanya petani-petani seperti aku, Kala Cuwil, yang berubah jadi pesuruh di tangan Rangga Iskak, ia menarik napas panjang. Boleh jadi ada di antara mereka itu sanak dan kenalanku sendiri.
Apa boleh buat. Ya, apa boleh buat. Dan setelah ini tinggal prajuritprajurit sejati saja masih akan berlawan.
Tergubal pada lumpur dan hujan tentara Rajeg ini terjebak dalam jebakan sendiri. Mereka tak dapat berbuat sesuatu pun sebagai prajurit dalam perang. Membawa diri sendiri pun sudah sulit.
Menjelang jatuhnya malam tentara Rajeg di dalam jebakan itu ditumpas oleh pasukan kuda Banteng Wareng dan pasukan gajah Kala Cuwil tanpa dapat melawan. Dan malam itu hujan berhenti.
Langit merah dan bulan pun mengambang dengan manisnya. Balatentara Tuban telah mesanggrah jauh dari bekas medan perang.
Pada malam seperti itu utusan Braja datang menghadap Wiranggaleng, menyampaikan beberapa lembar lontar. Mereka berdiri di luar gubuk menunggu dipanggil masuk.
Duduk di antara kepala-kepala pasukan Senapati membacanya dalam hati. Sebentar saja. Dipanggilnya dan orang utusan itu masuk, dan di hadapan para kepala pasukan ia berkata: Ketahuilah, dalam soal meriam memang belum ada yang dapat menandingi Peranggi. Kita akui kenyataan itu tanpa harus berkecil hati, Kita memang hanya punya cetbang, dan hanya itu yang kita miliki. Jangan kalian punya pikiran Senapati hendak memerintahkan kalian berperang melawan meriam Peranggi. Kita akan melawan meriam Peranggi dengan cara-cara yang nanti akan kita cari. Pasukan pengawal pasukan Braja, aku tugaskan untuk menjauhkan Peranggi dari pantai sebelum Rangga Iskak kalah, bukan untuk melawan meriam mereka. Kalau cara-cara menghadapi mereka tak juga dapat ditemukan, kelak kita akan hadapi mereka di darat. Balik kau pada Braja, sampaikan katakataku ini dan jangan ada seorang pun yang berkecil hati, hanya karena cetbang tak dapat kalahkan meriam. Setelah mereka pergi baru ia tanyai Rangkum: Bagaimana menurut perhitunganmu" Apakah tentara Rajeg sudah banyak kehilangan kekuatannya" Terlalu banyak, Senapatiku.
Tinggal berapa kiranya kekuatannya" Kira-kira masih cukup untuk bertempur dua kali. Dua kali! Senapati Tuban mengulangi. Bagaimana pendapatmu Banteng Wareng"
Melihat kuatnya tekanan yang ditindaskannya pada kita, kira-kira aku menyetujui pendapat Rangkum.
Apa pun kekuatannya, Kala Cuwil menambahi, yang tersisa sudah tidak akan lebih kuat.
Dua kali pertempuran lagi , Senapati mengulangi katakata Rangkum. Itu tidak banyak. Menurut perhitunganku mereka masih mencadangkan satu induk dengan tentara Tuban pelarian sebagai inti. Setidak-tidaknya kita menyetujui, di hadapan kita masih ada pertempuran penentuan.
Pasukan kaki mengalami banyak kerusakan hari ini, Senapatiku.
Ya, aku sudah melihat. Biar pun demikian, Rangkum, sebagian pasukan yang hari ini tidak bergerak, aku perintahkan menyisiri daerah seberang parit sampai menjelang fajar dengan menggunakan pertolongan bulan. Bila besok matahari terbit aku harap kalian sudah dapat temukan meriam-meriam itu. Pasukan-pasukan tidak beristirahat di tengah jalan sebelum fajar.
Dan pasukan kaki itu bergerak dengan pelan dan diamdiam di atas tanah yang licin berlumpur, di bawah terang bulan dan langit yang cerah.
Untuk pertama kali kekuasaannya Rangga Iskak mulai merasa hidup di bawah bayang-bayang orang lain: Mahmud Barjah. Selama jadi Syahbandar, sang Adipati pun tak pernah dirasainya sebagai atasannya, lebih banyak sebagai sekutu dan sahabat dalam mengeduk keuntungan dari laut dan bandar. Mahmud Barjah lain. Ia jelas jawabannya tetapi dengan pasukan yang ada di tangannya, ia tumbuh jadi kekuatan yang mengancam kekuasaannya. Dan ia tak berbuat sesuatu apa terhadapnya. Pasukan lebih mendengarkan dia daripada dirinya.
Sekarang Panglima Rajeg itu semakin membikin hatinya cemburu. Beberapa kali Mahmud telah menolak panggilannya. Sudah lama tak muncul di Rajeg. Ia selalu berada di tengah-tengah anakbuahnya yang berasal dari Tuban.
Rangga Iskak alias Iskak Indrajid, Kiai Benggala Sunan Rajeg merasa kewibawaannya mulai surut. Pengaruhnya terhadap penduduk, yang telah dibangunkannya siangmalam kini dengan sangat mudah tanpa kerja, diambil begitu saja oleh Mahmud Barjah.
Pernah terpikir olehnya, untuk memulihkan kewibawaannya hanya ada satu jalan terbuka baginya: menyingkirkan anak muda itu. Tetapi bagaimana jalannya" Panglima itu selalu berada di tengah-tengah anakbuahnya. Anakbuahnya dengan dia mempunyai satu ikatan nasib di hadapan Tuban, tetapi tidak punya ikatan mesra dengannya sebagai seorang Sunan. Mereka lebih dekat pada Panglimanya.
Dan dengan gemas ia menyadari, kini ia menjadi tergantung padanya tanpa semau hatinya sendiri. Balatentara Rajeg pun telah menjadi jarijari pada lengan Sunan.
Manan dan Rois, andal-andalannya selama ini, juga lebih mendengarkan Mahmud.
Dan batuk yang suka menyambar-nyambar dadanya itu pun tidak kurang memusingkan.
Bila ia renungkan segala sesuatu yang terjadi, ternyata kurang sesuai, kadang banyak pertentangan dengan segala yang diimpikannya selama ini. Dan bila ia renungkan segala yang diimpikannya, kadang ia dikejutkan oleh kenyataan, bahwa sesungguhnya maksud untuk menghalau Adipati Tuban sebagai pelepasan dendam terhadapnyalah sesungguhnya yang mendorong mengangkat diri jadi Sunan ini. Persoalan Peranggi, Hindu Blambangan, Hindu Pajajaran, Islam Demak, yang hendak ditiadakannya, hanyalah pembenaran belaka atau maksudnya yang pertama-tama.
Dan semua bangunan impian ini bisa runtuh berantakan sekali Mahmud Barjah menyentuhnya dengan sebuah saja di antara jari-jarinya. Bukan hanya kedudukan Sunan, juga tahta dan mahkota Tuban lebih dekat pada tangan Mahmud daripada Sunan.
Sekarang ia sudah mulai memastikan kalau Panglima Rajeg berhasil menaklukkan Tuban, dia tak mungkin menyerahkan tahta dan mahkota itu pada Sunan. Dia akan marak sendiri, dan pasti akan lebih busuk daripada Adipati Tuban sendiri. Dia hanya orang kecil yang tak pernah menikmati kekuasaan besar. Sekali kekuasaan besar itu tergenggam olehnya, segala nafsu-nafsu hewannya akan membuncah tanpa kendali.
Dan Rangga Iskak menilai dirinya jauh lebih baik dan jauh lebih berpengalaman, lebih berilmu daripada sepuluh atau lima puluh orang semacam Mahmud Barjah. Tahta dan mahkota Tuban lebih layak jadi miliknya. Ia tak dapat melupakan tingkahlaku Panglima waktu menghukum Manan dan Rois, hanya karena mereka berdua telah menembakkan meriam atas perintahnya. Ia masih dapat mengingat airmuka orang muda itu yang melecehkan perintahnya.
Keadaan memang berkembang tidak sebagaimana ia kehendaki.
Kalau yang itu juga yang terjadi, ke manakah dan di manakah mukaku akan kusembunyikan" Tempat yang masih terbuka untuk dapat menaungkan diri adalah Demak satu-satunya kekuasaan Islam yang nyata. Tapi musafirmusafir Demak itu tentu sudah melaporkan pada atasannya bagaimana sikap Sunan Rajeg terhadap Al-Fattah dan Semarang. Majelis Kerajaan Demak kira-kira sudah mempunyai sikap pasti akan dirinya.
Untuk menghibur diri sendiri ia harus mempunyai patokan baru, titik tolak baru, untuk menyusun kembali sikap dan perbuatan yang akan datang. Dan patokan itu ialah Rangga Iskak Kiai Benggala Sunan Rajeg adalah seorang pribadi yang lebih baik, lebih berpengetahuan dan lebih berilmu daripada siapapun di Jawa ini, maka jatuhnya tahta dan mahkota Tuban pada dirinya berarti berkah bagi seluruh kawula Tuban, untuk kemenangan Tuban dan agama. Maka semua yang menghalangi sikap dan perbuatannya adalah juga musuh yang dikalahkan dan untuk dibasmi.
Dan musuh pertama yang muncul dalam pikirannya justru Mahmud Barjah.
Dari titik tolak itu ia telah bertekad hendak meracun Panglima dengan racun Benggala yang terkenal ditakuti di banyak negeri. Ia akan meracunnya dengan hati-hati agar anakbuahnya tidak punya syak terhadap dirinya. Kalau dia sudah tersingkirkan, Manan dan Rois akan menjadi tangan kanan dan kirinya, dan semua akan beres.
Tekadnya itu terguncang, ia menjadi bimbang. Pada suatu malam tak terduga-duga Panglima Mahmud Barjah datang menghadap.
Sunan mengambil sikap yang sangat hati-hati terhadap orang muda itu. Dan ia berjanji tidak akan memberinya sesuatu bantuan bila dia membutuhkan. Ia pun berjanji takkan bertanya sesuatu tentang jalannya perang. Ia harus menegakkan kewibawaannya. Dengan mengangkat suaranya yang dianggapnya mengandung kepemimpinan ia bertanya lunak: Anakku, bukankah semestinya Tuban sudah jatuh ke tangan kita sekarang ini"
Betul, Paman Sunan, sekiranya laskar depan kita tidak terpancing oleh Banteng Wareng dalam pertempuran pertama, jawab Mahmud tenang.
Bukankah tentara Tuban yang sebenarnya terpancing" Betul, Paman, mula-mula mereka, kemudian kita. Tak bisa tidak pembicaraan akhirnya berkisar soal jalannya perang juga.
Bukankah kau belum lupa, kita harus memasuki Tuban sebelum Peranggi masuk" Itu kau sendiri yang telah tentukan. Peranggilah musuh sesungguhnya.
Tidak keliru, Paman Sunan.
Jadi kapan Tuban dapat dimasuki" , Kekuatan inti kita belum lagi bergerak.
Betul anakku, tetapi sekarang ini kita yang kena serang terus-menerus, belum pernah menyerang. Kapan kau menyerang"
Mahmud Baijah tak segera menjawab, dan Sunan Rajeg pun tak mendesaknya. Mereka berhadap-hadapan sebagai orang lain, bahkan satu sama lain seakan baru saja mengenal.
Sunan Rajeg mengawasi wajah orang muda itu, yang pada suatu kesempatan tertentu mau tak mau harus ia singkirkan, dengan jalan apapun, sehalus dan selicin mungkin. Orang ini tak akan nikmati hidup mudanya demi kemenangan ajaran. Dia akan jadi korban syahid.
Belum lagi tahu, Paman Sunan, jawab Mahmud. Tentara Tuban terus bergerak tidak menentu. Siang dan malam. Sunan diperkirakan tujuannya.
Kalau begitu tinggalkan mereka gentayangan mencari kita di perdalaman. Kita mencari jalan lain masuk ke Tuban tanpa sepengetahuan mereka. Semua tak ada yang tinggal.
Mahmud Barjah mengangkat muka dan dengan terheranheran menatap Sunan Rajeg. Ia lihat uban pamannya itu telah semakin banyak juga. Ia menguji mata orang yang lebih tua dari ayahnya sendiri itu adalah yang dikatakannya bermain-main atau bersungguh-sungguh. Tetapi ia tidak mengiakan.
Sebaliknya Sunan Rajeg melihat juga orang muda itu sudah nampak kurus, jenggot dan kumisnya kering, kotor dan mesum. Pada bibirnya tak ada lagi senyum yang melecehkan seperti dulu. Bibir itu kini selalu tertarik tegang.
Mahmud Barjah tak bicara lagi kecuali minta diri, tanpa mengatakan sesuatu apa yang hendak diperbuatnya.
Sunan Rajeg mempunyai dugaan terhadap sikapnya, pertama, orang muda itu karena pengalaman perangnya dalam waktu pendek sekali telah menjadi masak dan sedang menyiapkan dirinya menjadi gunung berapi yang tak dapat diduga kapan akan meletus dan menyemburkan lahar. Ke dua, ada kemungkinan ia sudah merasai akan datangnya ajal.
Tentang Mahmud Barjah ini ia harus menyediakan waktu khusus untuk memikirkannya dengan mendalam .
Dengan menyampaikan gagasan mendadak di bidang ketentaraan pada Mahmud, ia merasa keunggulannya menjadi pulih. Mahmud sendiri tak pernah punya gagasan semacam itu. Dan dengan perasaan unggul yang pulih ini dengan agak senang ia menduduki tempatnya di atas permadani pendopo.
Di pelataran sana orang sudah pada duduk berjajar-jajar di atas tikar bawaan masing-masing. Suaranya kembali jadi lantang penuh kepercayaan diri dan itu berarti juga pada pertimbangan-pertimbangan semula. la telah mulai dengan gaya dan caranya yang lama. Kemudian: Mana Mohammad Firman, itu bekas musyafir Demak" Takkan bosan-bosan aku memperingatkan padamu: jangan lagi kau ikut-ikut menyebarkan kebohongan Demak. Adalah takabur menganggap semua orang bodoh tidak tahu sesuatu. Setiap orang yang takabur tidak menggunakan akal yang diberikan oleh Allah kepadanya. Ia tidak menggunakan akal karena ia tak menggunakan pancainderanya sendiri dengan baik. Lihatlah, dengarlah dengan baik segala apa di dunia ini, maka orang akan mendapat pengertian. Dari pengertian itu orang mendapat pertimbangan. Kalau tidak, seperti Demak dan musafir-musafirnya yang takabur, sebenarnya tak mau tentang mula dan tentang kemudian. Itu menyalahi nikmat yang dikaruniakan Allah kepada kita.
Kalian masih ingat waktu armada Dampo Awang benar-benar tak dapat pulang ke negerinya karena pergantian kaisar, bukan" Allah Maha Besar! Maka kapalkapal Islamlah yang kemudian berdatangan dengan damai, juga untuk berdagang rempah-rempah. Kalau armada Dampo Awang tidak kehilangan kekuatan, mungkin sekali kapal-kapal Islam tak ada kesempatan untuk datang ke mari, dan tahu akibatnya" Ialah semua penduduk Jawa ini akan masih tetap kafir jahiliah.
Alhamdulillah, yang itu tidak terjadi. Kapal-kapal Islam datang tidak untuk menaklukkan, tidak untuk menggagahi perdagangan rempah-rempah, tidak merampas dan tidak membajak. Hanya karena di jalan Aliahlah maka kapalkapal ini lebih berhasil daripada armada Dampo Awang dengan kesempatan yang sama. Kemudian Peranggi datang. Dia lakukan segala-galanya yang busuk, termasuk memenuhi apa saja dan siapa saja kecuali keuntungan. Semua dia tembaki kapal Islam, Tionghoa dan Pribumi Nusantara. Kalau semua kendaraan laut binasa hanya Peranggi yang merajai lautnya semua hamba Allah ini. Itu tidak boleh, itu menentang ketentuan Allah, maka kita tidak akan membiarkan Peranggi merajalela. Dia musuh semua bangsa dan semua negeri. Semua saudagar dan nakhoda tahu belaka itu. Dia harus dihalau. Bumi ini diciptakan Allah untuk semua bangsa, bukan untuk Peranggi saja. Kunci untuk mengalahkan Peranggi ini sederhana saja: lawan dia. Lawan kapalnya, lawan orangnya, lawan ajarannya.
Satu negeri yang tidak melawannya, tidak punya niat untuk itu, seperti Tuban, adalah sama dengan membenarkan Peranggi. Membenarkan dia berarti tidak berada di jalan Allah. Hukumnya adalah musuh. Dan negeri yang mengemis-ngemis persahabatannya, sekalipun hanya dalam hati saja, seperti Adipati Tuban, adalah musuh Allah itu sendiri, karena dia sudah bersekutu dengan iblis.
Memang kekuatan Peranggi ada pada meriamnya. Kuping kita dengar, mata kita melihat, pertimbangan kita mengakui. Maka kita memang harus bisa bikin meriam sendiri. Sebelum bikin, kita harus berusaha mendapatkannya. Dan kita telah mendapatkan dua pucuk dengan jalan yang dibenarkan oleh Allah.
Peranggi juga punya kelemahannya. Selama dia bergerak dengan kapal, maka dia pun tergantung pada bandar. Bagaimana sikap kerajaan bandar itu terhadapnya seperti Tuban" Dan bukankah setiap negeri di Nusantara ini kerajaan bandar" Kecuali Demak, dan karenanya menyerbu Jepara untuk jadi kerajaan bandar seperti yang lain-lain" Karena kerajaan yang bukan kerajaan bandar tidak pernah masuk hitungan" Kalau semua kerajaan bersikap seperti Tuban, seluruh Nusantara pasti jatuh dalam kekuasaan Peranggi. Kalian mengerti"
Dan semua pendengar menjawab mengerti. Syukur Alhamdulillah. .
Syukur Alhamdulillah, semua menggemakan. Maka semua kerajaan bandar yang tidak melawan Peranggi adalah musuh kita, ia terbatuk-batuk. Badannya melengkung, kepalanya diletakkan di atas meja rendah di hadapannya. Dan para tetua tak berani memijitinya. Hanya Mahmud Barjah yang berani lakukan itu, tetapi ia tak ada.
Tetapi ingat-ingat, tidak semua yang memusuhi Peranggi adalah sahabat kita. Orang-orang Tionghoa juga tidak suka pada mereka. Orang-orang Benggala perbegu juga tidak suka. Demak yang katanya Islam itu juga tidak suka itu. Dan mereka semua bukan sahabat kita, ia angkat tangannya untuk meyakinkan. Semua itu memang bisa bersatu melawan Peranggi, termasuk kita Perbegu, Tionghoa dan Islam. Tapi ingat-ingat hanya Rajeg kerajaan Islam pertama-tama bila Tuban jatuh. Ia terengah-engah kehabisan nafas.
Maka itu kalian lantas jadi mengerti mengapa Semarang dan Demak itu satu. Maka itu juga kalian lantas jadi mengerti mengapa kita tidak menyukai Demak. Kita lebih maju daripada Demak . karena apa yang kita kerjakan selama ini ada di jalan Tuban, bukan di jalan Dampo Awang.
Kanjeng Sunan , seseorang menyela, putra mahkota Demak, Pangeran Sabrang Lor, sekarang Adipati Unus Jepara, telah menyerang Peranggi di Malaka. Kita sendiri belum pernah berbukti menghadapinya. Bukankah itu pertanda mereka jauh lebih maju daripada kita" Sunan Rajeg tertawa melecehkan.
Mari aku ceritai kau, hai bekas musafir Demak. Bukankah kau sudah tahu Sultan Demak Syah Sri Alam Akbar Al-Fattah alias Raden Patah itu bukan orang Jawa" Bukankah kau juga tahu, permaisurinya bukan orang Jawa sesungguhnya" anak perempuan Kiai Ampel. Apakah belum pernah aku ceritai kalian siapa Kiai Ampel" Belum, Kanjeng Sunan .
Baik. Kiai Ampel juga tak tahu bahasa Jawa seperti Sultan Demak. Sunan Rajeg ini lebih tahu, telah bicara dalam Jawa pada kalian selama ini. Dia tak tahu. Kiai Ampel itu. Sampai matinya dia mengajar dalam Melayu Gresik. Dia orang seberang, orang Campa mengakunya, orang Campa yang sudah lama tinggal di Malaka. Anak perempuannya si Aisah, sekarang permaisuri Patah, juga bukan orang Jawa. Nah, mengapa Unus itu menggunakan gelar Jawa Adipati dan disebut Kanjeng Gusti" Karena, walaupun Demak mengaku kerajaan Islam pertama-tama di Jawa, belum lagi satu turunan, kerajaan itu lebih merosot lagi jadi kerajaan Jawa biasa dengan segala gelar dan keprajaannya.
Biar begitu Peranggi telah dihadapinya, dilawannya. Nanti dulu, kau, Mohammad Firman yang berpengetahuan, ceritaku belum lagi selesai. Dengarkan baik-baik. Patah ini menamakan diri Khalifah pertama di Jawa. Gelar yang dia pergunakan gelar Parsi, dan nama ibukotanya sama sekali tak berbau Islam: Glagah Wangi, Bintoro Demak. Bagaimana bisa begitu" Karena memang tak ada sesuatu pun yang bisa diperbuatnya di luar tugas utamanya. Kalian tentu masih ingat tugas utama Demak: melindungi Semarang dari serbuan dari timur. Jadi di luar tugas utamanya semua terserah pada Majelis kerajaan, para wali, para sunan yang itupun sekarang sudah bertentangan satu sama lain. Salah seorang di antara mereka telah mereka bunuh beramai-ramai karena perselisihan berebut pengikut. Dan Sunan Kalijaga cucu Babah Bantong itu, putra Adipati Tuban, kabarnya sudah menghilang entah ke mana. Tak ada yang tahu dia bersembunyi lantaran apa. Boleh jadi ia tak mampu mengatasi perpecahan.
Tidak, anak-anakku, kita jauh, jauh lebih maju daripada Demak. Bila kita telah berhasil mendapatkan Tuban, segera akan kita ubah dengan nama tercinta dalam tarikh Nabi: Yathrib. Dan Demak akan kita majukan jangan sampai terjatuh lagi jadi kerajaan lama yang kafir. Kemudian, anakanakku, Malaka pun insya Allah akan dijadikan oleh Allah akan jatuh ke tangan kita. Jadi
Belum lagi selesai wejangan itu, seseorang datang padanya dan berbisik pada kupingnya. Sunan Rajeg mendengarkan dengan penuh perhatian, kemudian tertawa dan bangkit berdiri sambil melambaikan tangan menyuruh semuanya bubar.
Pendopo itu sendiri tertinggal sepi sekarang. Tinggal Sunan Rajeg dan pembisiknya. Kemudian tertawa meninggalkan pendopo juga, melalui samping rumah, menuju ke sesuatu tempat. Dan mulut Sunan berkomatkamit aneh: Idayu, Idayu! Kau juga, kau!
 Mahmud Barjah telah memutuskan mengerahkan seluruh tentara Rajeg untuk memasuki Tuban dengan menempuh jalan-jalan yang belum dikuasai balatentara Tuban.
Saran Kiai Benggala Sunan Rajeg telah ia pelajari, dan kini ia laksanakan. Semua kesatuan yang terbesar ia tarik, dan ia pusatkan, dan dengan demikian meninggalkan musuhnya gentayangan mencari-cari di pedalaman tanpa perlawanan.
Dengan menembusi rimba balatentara Rajeg, termasuk meriamnya, diungsikan siang dan malam. Juga mereka yang bukan kekuatan perang mengikuti garis berat dan jauh itu untuk melakukan berbagai dinas. Setiap orang membawa perbekalan dan alat-alat sendiri.
Hujan dan dingin tak mereka hiraukan.
Allah bersama kita, Sunan Rajeg merestui. Hanya Allah yang menentukan. Nasib kita semua berada di tangan-Nya .
Maksud Barjah tahu benar, belum seluruh kekuatan balatentara Tuban telah dikerahkan oleh Wiranggaleng. Walau demikian, dari laporan-laporan para telik ia tahu, Tuban dalam keadaan kosong. Orang akan dapat berlenggang-kangkung memasukinya, langsung masuk ke dalam kadipaten dan tak perlu keluar lagi.
Ia pun mengetahui pasukan musuh yang bersenjatakan cetbang dipusatkan di balik semak-semak di pinggiran pelabuhan. Cetbang tak dapat dipergunakan untuk setiap keperluan, pikirnya juga tidak bisa dipergunakan bertahan terhadap setiap macam serangan. Ia telah temukan cara untuk menumpasnya.
Ia tahu pula dari perkiraan, masih ada kekuatan yang dicadangkan oleh Tuban. Hanya di mana cadangan itu ditempatkan itulah yang ia tidak tahu. Juga telik-teliknya tak tahu. Dari perkiraan itu pula ia menduga, cadangan itu ikut bergerak di belakang setiap gerakan. Ia hanya mengirangira kan.
Ia pun tahu perkiraan yang tidak tepat dalam perang bisa menjadi sumber bencana. Tetapi menunggu lebih lama adalah kebinasaan .

Pagi-pagi benar waktu itu. Matahari belum juga mampu menerobosi mendung putih itu.
Dua orang sedang mendaki tangga dari selembar batang bambu utuh yang disambung-sambung sampai ke puncak pohon tertinggi di pinggir rimba. Tiga batang bambu panjangnya seluruh tangga itu. Batang pohon itu sendiri lebih dari tiga rangkulan manusia.
Sesampainya di puncak mereka segera dapat melihat pemandangan luas di bawahnya: padang rumput, hutan, sawah dan ladang sayup-sayup di kejauhan, garis-garis putih kehijauan yang tak lain dari pada jalan negeri dan jalan desa.
Ha! itu mereka! pengintai pertama berseru terangsang.
Berhari-hari ditunggu , yang kedua menambahi. Berminggu! yang pertama membetulkan.
Berminggu. Ya. Sekarang baru kelihatan. Apa" Lihat! Lihat semua perbekalan itu. Mereka mau langsung masuk ke Tuban. Bahaya! Sedang kita masih sibuk mencari-cari . Turun! Cukup! Jangan sampai ketinggalan waktu . Nampaknya mereka berangkat malam, kata pengintai kedua. Ia bercepat-cepat menuruni tangga batang bambu.
Bagaimana pun kita akan lebih dulu sampai, jawabnya sambil juga menuruni tangga.
Jangan meremehkan, pengintai kedua memperingatkan, biarpun kita berkuda .
Sesampainya di tanah mereka mengambil kuda masingmasing yang selama itu gelisah diserang nyamuk. Mereka berpacu. Di sebuah padang rumput pengintai pertama berpesan: Sampaikan laporan ini pada pasukan kuda Maesa Wulung. Terus menghadap Senapati dan sekalian hormatku .
Mereka berpisahan. Pengintai pertama berpacu langsung ke kota. Pengintai ke dua mencambuk kuda, membelok ke kiri, melalui jalan setapak di tengah-tengah padang ilalang. Setelah padang itu dilaluinya ia menerobosi hutan kecil, kemudian sampai ke sebuah desa, yang dijaga oleh seorang prajurit. Seseorang telah mengganti kudanya dengan yang baru. Selama memasang abah-abah pengintai kedua itu berkata pada seorang prajurit yang datang menghampiri. Sampaikan pada pasukan kuda Maesa Wulung: Mereka bergerak untuk langsung memasuki Tuban dari jalan negeri. Setiap orang membawa perbekalan kutaksir untuk tiga hari. Teruskan, aku akan menghadap Senapati .
Berapa kekuatan mereka"
Membeludag. Bila tidak dihalangi, mereka akan memasuki kota pada waktu matahari tenggelam .
Ia melompat ke atas kudanya dan hilang di antara rimbunan pepohonan buah.
Prajurit yang ditinggalkan itu menyampaikannya pada dua orang prajurit lainnya, kemudian berpacu mengikuti pengintai kedua. Dan kedua orang prajurit itu berpacu pula ke jurusan lain.
Prajurit pengintai pertama yang menuju ke kota itu disambut oleh dua orang prajurit yang sudah siap dengan kudanya. Ia menyampaikan perintah pada mereka, kemudian ketiganya berangkat, menempuh jalan berlainlainan, semua dengan satu tujuan menghadap kepala pasukan pengawal, Braja.
Kembali pengintai pertama itu berpacu seorang diri. Setiap berpapasan di jalanan ia berseru-seru agar meminggir. Beberapa desa telah dilewatinya tanpa menengok. Desa-desa hilang berganti dengan hutan tipis yang rimbun dengan semak-semak petai cina.
Brenti! sayup-sayup ia dengar pekikan dari hadapan. Ia tak dapat menembusi semak-semak petai cina itu dengan matanya. Ia depis lengkipkan tubuhnya pada punggung kuda. Tangan kirinya memeluk batang leher kuda dan tangan kanan mencambuki binatang itu. agar berpacu terus, lebih cepat.
Tombak! ia dengar lagi pekikan lain.
Bersamaan dengan itu beterbangan tombak dari hadapan menyambar dari kiri jalan. Ia miringkan badan ke sebelah kanan. Juga dari sebelah kanan jalan berlayangan tombak.
Sebilah telah mengenai pinggang binatang itu, tembus sampai ke dada. Binatang itu terhenti pada suatu jarak. Dengan kedua belah kaki ia berdiri, meringkik keras. Kepalanya menengok ke kiri kemudian ke kanan, mencoba melihat tombak yang bersarang pada badannya. Ia melonjak sambil menjerit.
Tangan pengintai itu jatuh terkulai dari pelukan, jatuh ke tanah dan tak bergerak lagi. Kuda itu melihat pada tuannya yang tak bangun lagi, mendekat dan mericium-cium mukanya. Sebatang tombak lain melayang dan menyerompat iganya. Binatang itu memekik dan melarikan diri, dengan sebelah masih tertancap pada pinggul.
Orang-orang yang bersembunyi di kiri dan di kanan jalan mulai bermunculan. Tak kurang dari dua puluh. Mereka kumpulkan kembali tombak-tombak yang luput.
Berpacu secepat itu pasti membawa berita, seorang di antaranya memberikan pendapat sambil menembuskan tombak dalam tubuh pengintai dan memalui tembusan itu mencabutnya. Dalam lodong pelupuknya ada lontar, katanya lagi sembari membersihkan tombak berdarah itu dengan daun-daunan.
Lebih baik lagi, sambung yang lain. Lisan maupun tulisan tidak akan sampai. Ayuh, balik ke tempat!
Mayat pengintai pertama dilemparkan ke pinggir jalan, kemudian mereka menghilang lagi di balik-balik petai cina di kanan dan kiri jalan.

Kedai minuman Yakub pagi itu kedatangan banyak langganan seperti kemarin atau kemarin dulu. Pertamatama karena peluru-peluru Portugis yang telah dikumpulkannya ia pajang di warungnya jadi tontonan. Kedua orang ingin mendengar cerita dari mulut pertama bagaimana warungnya dirusak oleh peluru Portugis itu. Ketiga, berita-berita yang disiarkan olehnya bersama Tholib Sungkar Az-Zubaid tentang bakal datangnya banyak, terlalu banyak kapal Peranggi, bukan untuk berperang, tapi berdagang.
Sambil melayani Yakub berkicau terus-menerus. Penutup dari semua tetap sama: betapa hebatnya meriam Portugis itu. Juga pada pagi ini.
Dan pagi itu Tholib Sungkar juga sudah menduduki bangkunya, sebuah tempat penghormatan untuknya di pojokan. Tongkatnya berdiri tersandar pada meja. Ia bertindak sebagai juru gong terhadap semua kicauan Yakub.
Warung rusak itu diperbaiki dan selesai dalam sehari. Sejak itu seorang langganan baru, selalu berpakaian seberang, berkumis bapang tanpa jenggot, selalu mengambil tempat duduk di mana ia dapat memandangi jalan raya. Ia tak pernah bicara seakan tidak mengerti Jawa atau Melayu. Pakaiannya mendekati gaya Kotabatu, berbaju dan bersarung tenunan desa yang dinila. Langganan baru itu tak lain daripada Braja.
Sungguh berbahaya bermain-main dengan Peranggi, Tholib Sungkar mengegongi. Kerajaan-kerajaan besar ditaklukkannya. Yang kecil dilindasnya. Tak boleh dia dibikin marah .
Memang begitu. Yakub meneruskan. Tak ada yang dapat menahan mereka, Tuan Syahbandar. Lihat saja pelurunya. Seratus meriam bisa gugurkan gunung yang setinggi-tingginya. Jangankan gajah yang hanya dari daging dan tulang. Sungguh menakutkan .
Setidak-tidaknya, Gusti Tuan Syahbandar, seorang langganan lain di dekat Braja menyela, di Tuban dia pernah dihina dan dihalau .
Apa" Dihina dan dihalau" seru Yakub, dihina dan dihalau katanya, Tuan Syahbandar. Janganlah itu disebut lagi. Sebutan itu saja sudah gegabah. Siapa tahu! Dan Peranggi tak akan lupakan itu. Sungguh mati .
Peranggi takkan pernah melupakan sesuatu, Tholib Sungkar mengegongi lagi.
Dihina dan dihalau! langganan itu berkukuh. Dihina dan dihalau katanya Yakub , Syahbandar itu berdiri. Diperbaikinya letak tarbus dan dipegangi tangkai tongkatnya. Taruhlah dihina dan dihalau, taruhlah itu betul. Itu yang sudah berlaku. Yang akan datang" ia mendelik pada langganan di samping Braja.
Yang akan datang" Braja ikut campur, dalam Melayu bicara untuk pertama kali, dibinasakan sama sekali .
Puh! Berapa lama Malaka jatuh" Berapa bentar Maluku dikuasai" Berapa bentar itu pulau yang terbesar di Nusa Tenggara" Dan terlalu banyak takluk sebelum dikelahi: Banda, Ambon, Temate, Halmahera, Kei, Tanimbar .
Semua mata tertuju pada Braja. Dan orang mengawasinya baik-baik, dan tahulah orang, pedagang serba wulung nila itu tak lain daripada Braja, kepala pasukan pengawal. Ia nampak mengangguk-angguk tak acuh. Yakub dan Syahbandar terperanjat.
Suasana yang tegang itu disusutkan dan dibelokkan oleh datangnya seorang penunggang kuda. Dengan masih menuntun kudanya ia masuk ke dalam warung, mendapatkan Braja.
Semua mata mengikuti kepala pasukan pengawal yang sedang mendengarkan bisikan si penunggang kuda. Kemudian kedua-duanya meninggalkan warung. Bukankah itu Braja" seorang langganan berbisik. Bukan! seorang langganan lain yang juga belum dikenal namanya membantah. Bukan Braja. Braja aku kenal, dulu pernah aku jadi pelayannya, lima tahun .
Kata-kata itu menenangkan Yakub dan Tholib Sungkar. Tuh! Orang tak tahu persoalan, langganan yang duduk di dekat Braja tadi mengulas, pedagang biasanya lebih tahu dari petani, ini lebih dungu, ia tatap Tholib Sungkar untuk memberi simpati. Tak pernah ada memang Peranggi dibinasakan. Apalagi dengan sama sekali .
Begitulah orangnya, begitu pula nasibnya, Tholib Sungkar mulai hidup kembali.
Dan pengagungan terhadap Portugis mulai lagi. Orang di dekat Braja tadi juga ikut meramaikan, tak lagi membantah. Semua ikut serta membenarkan, menggarami, membubui. Syahbandar dan Yakub semakin bersemangat. Langganan itu pun minum lebih banyak walaupun hanya tuak murah bukan arak.
Dan Yakub dan Syahbandar nampaknya kurang cermat memperhatikan mereka. Mereka adalah prajurit-prajurit pengawal.
Percakapan itu tiba-tiba terhenti waktu seseorang berdiri terbengong mengawasi jalan raya. Orang-orang itu melihat ke jurusan jalan raya. Dan mereka melihat pemandangan ajaib.
Seekor kuda yang berlumuran darah pada iga-iganya, dengan sebatang tombak tertancap pada pinggul dan darah meleleh dari bawah mata tombak, sedang berjalan payah terpincang-pincang kesakitan entah ke tujuan mana. Tombak itu jelas bukan milik tentara Tuban. Sunan Rajeg sudah mendekati kota, seseorang memastikan. Semua langganan keluar dari warung untuk dapat memperhatikan tombak dan binatang itu.
Itu kuda tentara Tuban. Lihat tanda pada kupingnya! Ya, memang kuda tentara Tuban, orang membenarkan. Percakapan terhenti lagi waktu di jalanan mulai kelihatan rombongan petani tanpa barisan membawa pedang dan tombak tentara Tuban, juga busur dan perisai.
Itulah tentara Rajeg , bisik Tholib Sungkar megapmegap. Tak ada yang menanggapi.
Sebentar kemudian menyusul pemikul-pemikul cetbang di belakang rombongan kacau itu.
Bukan balatentara Tuban , Tholib Sungkar meyakinkan, jelas tentara Sunan Rajeg. Mereka sedang memasuki kota.
Masyaallah, Tuan Syahbandar! sebut Yakub, kita tutup kedai dengan lupa membayar minuman .
Segera setelah menerima laporan, Braja mengerahkan pasukan pengawal. Daerah pelabuhan dikosongkannya, dan diarahkannya kekuatan-nya ke luar kota, melalui jalan-jalan yang bakal ditempuh oleh tentara Rajeg.
Pasukan pengawal itu tidak benar terdiri dari prajuritprajurit pilihan yang diambil dari pasukan-pasukan lain karena keberanian dan ketangkasan serta kecerdasannya. Setiap di antara mereka dapat mempergunakan semua macam senjata dan penunggang kuda yang mahir.
Setelah pulih dari kekecilan hati mereka menerima balasan dari Wiranggaleng, dengan pasukannya yang kecil ia bertekad untuk menghancurkan tentara Rajeg dengan berondongan cetbang sambil menunggu sampai pasukanpasukan Tuban lainnya datang membantu.

Tuban yang keramat tidak boleh dijamah oleh tangan pemusuh ia bersumpah.
Setelah sampai di luar kota cetbang-cetbang dipasang, dihadapkan ke arah musuh akan datang. Prajurit-prajurit selebihnya diperintahkannya membiak ke kiri dan ke kanan jalan. Beberapa orang pengintai naik ke pohon tertinggi dan meninjau ke seluruh medan.

Mahmud Barjah telah memerintahkan agar tentaranya tidak bersorak sama sekali, tidak membunyikan gendang dan gong, tidak menggunakan umbul-umbul ataupun panjipanji, sebelum berhasil memasuki Tuban.
Ia pun telah memberikan perintah, begitu memasuki kota semua prajuritnya harus menyebar ke sana-sana.
Pasukan inti yang langsung di bawah pimpinannya akan melalui jalan belok dan akan memasuki Tuban melalui pesisir sebelah timur kota, dan akan menyelesaikan segala kesulitan dengan cetbang.
Maesa Wulung pada mulanya tidak percaya, musuh sudah mendatangi begitu cepat. Ia perkirakan bakal tak ada pekerjaan untuknya maka ia berlalai-lalai di daerah aman selama ini. Juga prajurit-prajuritnya mengikuti sikap pemimpinnya.
Waktu ia bangkit mengerahkan pasukannya, ternyata separonya tidak kelihatan batang hidungnya. Tak tahu ia ke mana mereka pergi. Dan dengan hanya separah kekuatan ia berangkat ke medan pertempuran.
Waktu keluar dari hutan terakhir, pasukan kuda di bawahnya melihat di seberang padang ilalang di sana, di depannya, barisan musuh yang terlalu besar jumlahnya. Semua berpakaian serba putih. Mereka bergerak diam-diam seperti barisan pengantar mayat. Seumur hidup ia tak pernah melihat barisan demikian. Dan ia merasa ngeri. Dihentikannya pasukan itu dan diperintahkannya berlindung di balik pepohonan. Tak tahu ia apa yang harus diperbuat.
Padang ilalang itu akan membikin pasukannya terbuka dari serangan panah dan tombak, dan musuh telah mendapat posisi lebih dahulu. Untuk membentuk formasi apa pun pasukannya terlalu kecil. Menerjangi ilalang ini pun akan membikin kuda-kuda cepat lelah, dan dalam melakukan serangan nyamuk menggigit kuping binatang itu.
Ia ragu-ragu. Seorang prajurit keluar dari balik pepohonan dan melewatinya. Ia tak menegurnya. Dan prajurit itu langsung berpacu ke jurusan musuh, dengan membawa tombak. Seorang lain menyusul, seorang lagi, seorang lagi.
Maesa Wulung merasa menghalangi jalanan, dan ia pun berangkat maju.
Pasukan kuda yang kecil itu mulai bersorak-sorak maju dan menyerang. Dan tombak-tombak berlayangan jatuh di tengah-tengah laskar musuh yang membalas dengan anak panah. Pasukan kuda itu tak berani mendekat-dekat. Medan tak memungkinkan. Setiap habis melempar mereka menjauh, mendekat lagi dan melempar lagi. Setelah lemparan yang ke empat mereka telah kehabisan tombak dan mengundurkan diri untuk mendapatkan yang baru.
Tombak-tombak itu mengenai sasaran, namun tentara musuhnya tak mengejar. Mereka berjalan terus ke arah kota dengan meninggalkan korban di jalanan.
Waktu pasukan kaki cadangan datang dalam jumlah yang cukup besar, barulah Maesa Wulung mendapatkan kepribadiannya kembali. Dengan Danang, pemimpin pasukan kaki cadangan, didapatkan kesepakatan untuk menggunting putus tentara Rajeg dengan menggunakan baris lebar.
Maka gabungan pasukan kuda dan kaki mulai menyerbu dengan formasi lebar, formasi ombak laut. Tetapi itu pun tak semudah itu dikerjakan. Pasukan kaki Tuban yang lari menyerbu dengan telapak kaki berdarah-darah tercucuki dengan tunas alang-alang dan teriris-iris kakinya oleh daun rumput-rumput tajam. Banyak di antara mereka berhenti untuk mengurus tunas alang-alang yang patah dalam telapak kaki itu, kemudian lari lagi. Dan tak kurangkurangnya yang tak dapat, berjalan lambat berpincangpincang. Namun mereka bersorak gegap gempita.
Tentara Rajeg tetap tak bersuara. Anak panah dan tombaknya berterbangan mengusir para penyerang. Dan para penyerangnya menyerbu terus. Perkelahian seorang lawan seorang sudah mulai terjadi. Barisan tentara Rajeg terputus. Yang terlibat dalam perkelahian meninggalkan barisan untuk mencari medan yang lebih luas, berkejarkejaran, bertarung. Dan barisan yang putus itu bersambung dengan laskar di belakangnya, meninggalkan mereka yang sedang berkelahi, meneruskan jalan ke arah Tuban. Demikian seterusnya, terputus bila terpmm serangan yang melanda, bersambung lagi bila serangan membuyar ke keluasan padang rumput dengan meninggalkan korban pada ke dua belah pihak.
Antara sebentar Danang memaki-maki karena Maesa Wulung tak dapat mengatur pasukannya sehingga tak menjadi bantuan bagi pasukan kaki. Yang dimaki menjadi gusar, karena dalam balatentara, kedudukan pasukan kuda berada di atas pasukan kaki, demikian pula dengan perwiraperwiranya yang setingkat. Pasukan kudalah yang lebih berhak mengatur jalannya pertempuran dalam serangan gabungan.
Ketidakserasian itu sementara menguntungkan tentara Rajeg. Walaupun mereka hanya bertahan agar barisannya dapat terus berjalan masuk ke kota, namun banyak juga antara musuhnya yang dapat dirobohkan.

Wiranggaleng menerima berita tentang gerakan tentara Rajeg yang menuju ke kota di tempat lain pada siang hari. Banteng Wareng yang nampak sudah kurus itu diperintahkannya mengejar dan menyerang dari belakang setelah dapat menjejak jalan mereka.
Ia sendiri menggabungkan diri dengan pasukan kuda. Pasukan kaki di bawah Rangkum diperintahkan terus menyisiri daerah lama, dan sebagian diperintahkan kembali memasuki Tuban bersama dengan seluruh pasukan gajah.
Duduk di atas panggung kuda ia berpesan pada Kala Cuwil: Langsung masuk ke kota. Kerjakan yang dapat dikerjakan. Jangan ada yang menghadap Gusti Adipati .
Dan ia pacukan kudanya menggabungkan diri dengan Banteng Wareng yang telah memasuki hutan.
Jalan yang habis ditempuh oleh tentara Rajeg itu tak lama kemudian dapat ditemukan. Jalanan baru yang habis dibikin nampak terbuka, dan lebih lebar setelah kena terjangan tentara Rajeg. Di kiri dan di kanannya berkaparan bekas tebangan. Dibawa lumpur telah bercampur dengan dedaunan dan kayu-kayuan busuk, ranting, batang kayu melintang, yang hanya bisa dilalui dari bawah atau atasnya. Di mana-mana bagian air menggenang sampai ke paha berwarna kelabu. Hutan itu mengembangkan bau daun kayu busuk. Potongan berduri tak jarang ikut terpendam dalam lumpur jalanan. Batang-batang raksasa yang terguling melintangi jalanan tak dapat dilompati oleh kuda, dan hanya dapat dihindari dengan membuat jalan belok.
Dan pasukan kuda itu dengan sabarnya meneruskan perjalanan. Tak ada seorang pun sempat bicara karena sulitnya medan.
Pada sore hari pasukan kuda itu sampai di jalanan negeri yang terbuka dan terpelihara. Dan kuda-kuda itu pun terbang seperti anak panah ke arah tujuan. Mereka harus mesanggrah di udara terbuka.
Jalanan negeri itu kini telah rusak permukaannya karena telah jadi bubur. Tetapi untuk pasukan kuda tak ada suatu rintangan untuk melaluinya. Menjelang sore, waktu matahari mulai condong, buntut pasukan Rajeg telah nampak olehnya, berkelok-kelok mengalimantang, putih di atas padang rumput hijau.
Mereka bersorak dan berpacu menggeletarkan cambuk perang ke udara. Kuda-kuda itu lari seakan tak menginjak bumi lagi. Mereka mulai menyusul dan melewati barisan musuhnya, sambil mencambuki pinggiran barisan.
Bila pinggiran mulai kacau dalam usaha untuk dapat mempertahankan diri. prajurit-prajurit kuda lainnya menubruk masuk ke tengah-tengah dengan sambaran pedang. Maka laskar terakhir tentara Rajeg adalah laksana buntut seekor ulat putih yang diserang oleh serombongan semut. Ia meliuk-liuk tapi perasaannya tidak menjalar ke seluruh tubuhnya. Dan waktu laskar buntut itu menjadi bubar torobrak-abrik terjadilah perkelahian dengan medan lebar.
Banteng Wareng dan Wiranggaleng berpacu terus untuk dapat mencapai kepala barisan musuh. Sampai pada pertengahan barisan mereka melihat pasukan kuda Tuban di bawah Maesa Wulung dan pasukan kaki di bawah Danang sedang kewalahan dan nampaknya sedang digiling untuk ditumpas.
Mereka berhenti untuk melihat jalannya pertempuran. Senapati melihat Maesa Wulung keluar dari medan pertempuran dan menghadap padanya.
Hubungan antara pasukan kaki dan kuda tidak cocok! tegur Banteng Wareng, tanpa memperhatikan bawahannya dan terus mengawasi jalannya pertempuran.
Tiba-tiba perhatiannya teralih pada suatu titik. Di seberang daerah pertempuran sana serombongan prajurit Rajeg tampak sedang mengangkuti sesuatu.
Ya, itulah meriamnya! seru Wiranggaleng. Maesa Wulung, tinggalkan gelanggang. Kerahkan seluruh pasukanmu, sergap rombongan sana itu!
Maesa Wulung berbalik, langsung turun ke medan pertempuran, dengan cambuk perang menggeletar di udara, memekik: Seluruh pasukan kuda! Seluruh! Ikuti aku!
Tinggallah pasukan kaki mengamuk di tengah-tengah barisan musuh. Justru pada waktu itu sisa pasukan Maesa Wulung datang dan langsung masuk ke tengah medan menggantikan yang pergi.

Regu pengangkut dan pengawal meriam itu sedang menuju ke arah setumpuk tanah kubah ketinggian untuk tempat memasang meriamnya guna menembaki Tuban. Melihat datangnya limabelas prajurit kuda musuh mereka meletakkan beban masing-masing dan melindungkan diri dalam lingkaran pasukan pengawal.
Manan dan Rois berada di tengah-tengah lingkaran itu. Ganggu mereka! perintah Maesa Wulung. Jangan beri kesempatan!
Panah dan tombak mulai beterbangan. Pasukan kuda itu meledek menjauh dan mendekat sambil memaki dan menghina dan menggeletarkan cambuk perang. Ujung cambuk itu menyambar dan menyobeki daging dan kulit dan pakaian dan merenggutkan senjata dari tangan lawannya. Mereka berputar-putar dan menari-nari mengelilingi musuhnya.
Bantuan! pekik Esteban alias Manan dari tengahtengah lingkaran.
Tetapi suaranya tenggelam dalam keriuhan orang berperang tanding.
Lingkar! Kepung! perintah Maesa Wulung. Lingkar! Kepung! Hore! sambut anakbuahnya. Babat begundal Rangga Iskak!
Musafir asing bernafsu jadi raja di Jawa. Robohkan! Lingkar! Kepung! Hore! Hore!
Kaki kuda menari-nari di atas tanah basah. Lingkaran kepungan makin lama makin menyempit.
Tombak! perintah Maesa Wulung.
Tombak! Tombak! Tombak! seru anakbuahnya mengulangi.
Pecut perang berhenti menggeletar, bersarang dalam selipan pinggang, dan tombak pun mulai dimain-mainkan di udara.
Lepas! dan tombak pun belepasan dari atas kuda. Prajurit-prajurit dari regu pengawal dan pelayan meriam mulai bergelimpangan.
Dan lingkaran pengepungan itu menjadi semakin sempit jua.
Esteban dan Rodriguez tak pernah berperang tanpa senjata api. Kini berhadapan dengan senjata tajam dan cambuk ia menjadi kecil hati Dan bantuan yang dibutuhkannya tak juga datang. Dua orang itu bersiap-siap dengan pedang dan berlindung di balik peti-peti obat.
Regu pengangkut dan pengawal meriam itu semakin tipis. Tombak dan cambuk Tuban telah menyarangkan mereka.
Pedang! perintah Maesa Wulung. Pedang! Pedang! anakbuahnya menyambut. Pedang pun keluar dari sarung, teracu ke udara dan berkilat-kilat dalam sore bermendung itu. Dan senjata itu mulai membabat dan menyambar, digerakkan oleh tangantangan ahli dan terlatih.
Dan regu pengawal dan pengangkut meriam yang telah digetarkan oleh terjang kuda dan cambuk dan tombak dan sekarang pedang itu menjadi semakin tipis, mulai berlarian mencoba meloloskan diri dari kepungan.
Melihat bahaya yang semakin mendesak, Esteban dan Rodriguez melompat ke atas peti untuk mendapatkan tempat ketinggian. Pedang mereka berputar-putar di udara menunggu serangan.
Lari, ayoh, lari! Maesa Wulung berseru pada musuhnya.
Lari, ayoh, lari! sorak anakbuahnya. Mereka lari dan tidak dikejar.
Pertahanan meriam itu semakin tipis juga. Semua tinggal bersenjatakan pedang.
Pedang di tangan kiri! perintah Maesa Wulung. Kiri! Kiri! sorak sambutan anakbuah dari atas kuda. Cambuk di tangan kanan!
Kanan! Kanan! Kecuali cambuk bergeletar memerahi kulit yang terkena dengan kucuran darah, dan darah pun hancur bila saluran darah terputus.
Terjang! Terjang! Terjang! sorak-sorai.
Esteban dan Rodriguez kehilangan akal berhadapan dengan cambuk yang menyambar-nyambar bergelataran yang memekakkan telinga. Selama pengalaman perangnya di Asia dan Afrika tak pernah mereka menghadapi semacam ini. Ia tak tahu bagaimana harus menghadapi cambuk.
Tombak! Rodriguez menyarani Esteban. Ia menyambar sebatang tombak dari tangan seorang pengawalnya yang telah rebah.
Terpengaruh oleh saran itu Esteban pun membungkuk mengambil sebatang. Tapi ujung cambuk bergerigi baja itu telah menyambar mukanya, bahu dan punggungnya. Darah menutupi pemandangannya. Tombak dan pedang di tangan tiada berguna.
Sebuah cambuk yang menggeletar telah merenggutkan tombak dari tangan Rodriguez, mengelupas pergelangannya. Ia terpekik dan cambuk lain telah hujan pula pada mukanya.
Panglima! Panglima! Esteban memekik. Keparat! sumpah Rodriguez.
Kepungan semakin rapat. Tinggal dua orang itu saja kini berdiri di atas peti, sibuk menyeka muka dari darah. Tangkap hidup-hidup! teriak Maesa Wulung. Tubrukan kuda membikin Esteban dan Rodriguez yang setengah buta tertutup darah itu jatuh terbalik dari atas peti ke tanah basah. Sebelum sempat berdiri tangan mereka telah terikat ke belakang.
Mereka diseret ke tepi hutan dan diikat pada sebatang pohon punggung-memunggung, di bawah pengawalan seorang prajurit kuda
Sisa regu pengawal dan pengangkut meriam telah lenyap dari peredaran. Peti-peti obat dan peluru bertaburan, dan meriam yang gagu dan bangkai-bangkai pengawal berserakan di antara mereka yang tergeletak dan terkulai dalam keadaan setengah mati
Dan pasukan kuda kecil yang telah berkurang jumlahnya itu balik dan turun lagi ke medan pertempuran.
Tentara Rajeg tak berkesempatan lagi untuk menyelamatkan meriam mereka dan penembakpenembaknya. Medan pertempuran makin lama makin meluas, karena pasukan kuda Tuban di bawah Banteng Wareng setelah mengobrak-abrik buntut barisan musuhnya kemudian berpacu ke depan dan membikin medan pertempuran jadi semakin lebar. Matahari mulai tenggelam.
Dari kejauhan mulai terdengar dentuman-dentuman cetbang. Pertempuran di pinggiran kota juga telah dimulai. Sorak-sorai terdengar dari kejauhan. Hujan tak juga turun. Bahkan bulan muda sudah mulai nampak di langit cerah.

Berlanjut ke bagian 23


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar