Arus Balik.
Karya : Pramoedya Ananta Toer.
Bagian 21.
Keributan di Bandar Tuban
Hari ini warung Yakub nampak terbuka. Langganannya hanya seorang: Tholib Sungkar Az-Zubaid Syahbandar Tuban. Ia duduk di pojokan mencangkungi cawan arak. Yakub sendiri di seberang meja dengan mata tak tenang, berdiri dengan diam-diam, bukan karena menunggu langganan yang tak kunjung datang.
Yakinkah tuan kita masih selamat dan tetap akan selamat" tanyanya dengan nada keluh tanpa kepercayaan diri.
Pertanyaan bodoh. Bukankah semua orang tahu, Syahbandar Tuban ini selalu berada di kadipaten"
Syukurlah, Tuan. Jadi sepulang sahaya keadaan masih tetap aman buat si Yakub ini"
Lebih aman daripada di pangkuan ibumu sendiri. Sahaya lebih suka berlayar lagi, Tuan. Bagaimanapun sahaya tak merasa aman lagi. Sekiranya sudah, tuan siapkan surat balasan itu
Tak ada surat balasan Yakub .
Yakub duduk sambil menghembuskan nafas keluh. Dan Tholib Sungkar tak mempedulikannya. Mereka duduk diam-diam mengikuti pikiran masing-masing.
Ya, memang terlalu sepi, Syahbandar membenarkan keluhannya. Tapi kau hidup dari air dan dari darat, dari tuak, arak dan penipuan.
Ah, Tuan Syahbandar Tuban, hanya untuk jasa-jasa tuan si Yakub celaka ini beberapa kali harus meloloskan diri dari maut dengan pertolongan Allah saja.
Cukup baik. Tuban takkan melupakan jasa-jasamu. Bagaimana jadinya bandar ini. Tuan"
Seperti kau tak tahu saja. Sebentar lagi akan ramai kembali.
Seperti kuburan begini sepinya, Tuan. Tak mungkin hanya Tuan dengan Yakub menghabiskan arak ini. Kau belum lagi bercerita, Yakub.
Hanya satu yang sahaya dengar di Blambangan sana. Katanya Peranggi sudah menaklukkan sebuah pulau di Nusa Tenggara sana .
Dia bisa lakukan apa saja yang dia kehendaki. Kira-kira karena kapal-kapal Gresik terlalu berani menerobos ke Maluku pedagang-pedagang rakus yang bodoh itu. Kalau Peranggi membuka pangkalan baru di Nusa Tenggara, tentu untuk menghadapi mereka yang gegabah itu. Dan aku kira bukan hanya satu, tapi sudah banyak pulau yang didudukinya .
O, itu mulai kelihatan orang berdatangan, seru Yakub pelahan, tapi dari nada suaranya tetap terdengar kegelisahan hatinya.
Tholib Sungkar menengok ke arah jalan raya. Dilihatnya orang-orang itu berjalan menuju ke bandar tanpa menengok ke arah warung.
Tak ada yang singgah ke mari nampaknya. Kelihatan makin banyak saja yang datang, Tuan. Ada apa gerangan"
Tetapi Tholib Sungkar Az-Zubaid sudah mencangkungi cawannya lagi, berkata: Ada apa" Takkan ada apa-apa. Orang-orang bodoh itu. Tak tahu apa bakal terjadi. Hampir sama dengan hewan, Yakub membenarkan. Perbedaannya sudah nampak sebagai cetbang dengan meriam. Kau sudah lihat sendiri meriam itu, kan" Ya begitulah cetbang, dan begitulah meriam, Syahbandar Tuban menggeserkan tongkat dari tangan untuk bertepuk senang. Rajanya dungu rakyatnya pandir. Satu kitab pun tak pernah ditulis. Kerajaan kecil dungu begini tidak berhak hidup di jaman meriam ini, Yakub.
Memang meriam saja yang menentukan dunia sekarang ini, Tuan. Dan bangsa-bangsa dari utara sana akan selalu berada di atas mereka kelak, Tuan. Minum, Tuan araknya.
Syahbandar Tuban meneguk. Yakub kembali memperhatikan orang-orang yang makin banyak juga menuju ke bandar.
Dan biadab! Syahbandar menambahi. Arakmu cocok sekali hari ini .
Untuk Syahbandar Tuban terbaik, arak terbaik. Memang biadab. Tuan 1 Sang Patih, Tuan, orang ke dua, dibunuh begitu saja. Mayatnya dibiarkan menggeletak busuk di alun-alun, dirubung lalat, burung, dan dirobekrobek anjing. Dan tiada seorang Islam pun memeliharanya. Dan mereka mengaku Islam pula, Tuan.
Sudah selayaknya orang-orang jahil, bodoh itu. Tahukah Tuan, cetbang-cetbang dipasang di sekeliling bandar, di balik semak-semak" tiba-tiba Yakub mengalihkan percakapan.
Siapa yang tidak tahu" Uh, apa artinya cetbang" Sahaya kuatir, Tuan. Keadaan begini sunyi. Sahaya lihat sendiri kapal-kapal perang Tuban pada berlabuh di Gresik. Orang-orang Gresik pada bernafsu untuk menyewanya ke Maluku.
Tentu tak ada yang menyewakan. Memang tak ada, Tuan.
Tuban hanya menunggu giliran saja. Yakub. Apa lagi yang kau kua-tirkan"
Boleh jadi Demak sana membantu.
Mula-mula Yakub hendak menuntut upah untuk keterangannya. Tak jadi. Kegelisahan sendiri dan keamanan yang tergantung pada jaminan Tholib Sungkar Az-Zubaid menyebabkan ia mengendalikan diri. Kemudian memulai dengan ragu-ragu.
Di Jepara sedang terjadi sesuatu, tuan.
Syahbandar Tuban itu pura-pura tidak berminat, tetapi matanya yang bulat itu melirik sekejab di bawah keningnya.
Tentu saja, sambutnya tak peduli untuk mencegah keluarnya upah. Masa seorang Syahbandar bisa tidak tahu" Lagi pula kau sudah terlalu banyak mendapat uang dari pundi-pundiku, katanya lagi pura-pura tidak tertarik.
Biar pun sahaya sudah banyak menerima dari Tuan. Biar pun Tuan sudah tahu, rasa-rasanya , akhirnya Yakub tak dapat menahan nafsu untuk mendapat upah juga, rasa-rasanya Tuan perlu juga mengeluarkan barang sereal. Tidak. Tidak rugi Tuan. Yakub tak pernah merugikan orang.
Jangan terlalu rakus, Yakub, Syahbandar menasihati, katakan saja apa yang kau ketahui. Barangkali tidak cocok dengan yang kuketahui dengan sebenar-benarnya.
Suatu keributan menghentikan pembicaraan. Yakub berdiri dan gugup. Tholib Sungkar meneguk arak.
Apa itu. Tuan Syahbandar" mata Yakub menjadi liar. Lihat, Tuan, ia menuding ke jalanan. Berdua mereka keluar dari warung dan melihat kuncir Liem Mo Han di balik punggung, juga berjalan ke arah bandar.
Masyaallaaaaah! teriak Syahbandar waktu dilihatnya sebuah kapal Peranggi telah berlabuh dan mengikatkan tali pada patok dermaga. Sudah gila penunggu menara itu! teriaknya dan lari tertatih-tatih seperti orang gila menuju ke pelabuhan.
Berpuluh-puluh orang tak dikenal telah padat memenuhi dermaga. Dan Syahbandar Tuban tak dapat melihat apa yang sedang terjadi di antara padatan orang itu dengan kapal. Ia hanya dapat berteriak-teriak di belakang padatan untuk minta jalan. Di depannya orang berteriak-teriak lebih keras lagi. Ia mencoba menguak dan menerobos. Sia-sia. Dan ia sudah dapat bayangkan nakhoda dan anakbuah kapal itu sedang turun tapi dihalang-halangi oleh mereka.
Padatan orang itu kemudian diketahuinya bersenjatakan tongkat kayu.
Ia melihat Liem Mo Han menelisip di antara mereka dan menjadi bagian dari mereka. Kemudian bukan hanya punggung dan kuncirnya, juga seluruh badannya hilang di dalam kepadatan manusia itu.
Minggir! Minggir! sayup-sayup ia dengar teriak seorang Portugis dalam Melayu. Panggilkan Syahbandar. Francisco de Sa perlu dilayani.
Syahbandar tak ada! teriak yang lain menjawab. Syahbandar sudah mampus! teriak yang lain. Mendengar itu Tholib Sungkar Az-Zubaid naik pitam. Dengan tenaga lemahnya ia menguak-nguak lagi di sana dan di sini, juga tanpa hasil. Ia angkat tinggi-tinggi tongkatnya dan menegakkan bongkok berjalan kian ke mari penasaran, berteriak: Ada di sini Tuan Syahbandar! Ada di sini!
Seruan-seruan dari padatan manusia itu seperti disengaja menenggelamkan teriakannya. Ia mulai menarik dan mendorong, menyerudug dan menerobos. Kekuatannya tak mencukupi.
Sini Syahbandar, Tuan Syahbandar! pekiknya. Sekarang ia melonjak-lonjak seperti burung gereja. Dan tangannya melambai-lambai. Tongkatnya pun berkibarkibar. Dan tetap sia-sia.
Beri jalan! pekik Francisco de Sa. Portugis akan temui Sang Adipati.
Gusti Adipati tak menerima siapa pun! orang berteriak berbareng dengan berbagai cara dan nada.
Kembali kalian, Peranggi!
Ayoh, kembali! Bukan cara Portugis diperlakukan begini! pekik de Sa. Tuan Syahbandar ada di siniiiiiiii! Tholib Sungkar meraung. Ia kembali menguak dan menyibak, menyerudug dan mendorong. Tetap tanpa hasil. Buka jalan untuk Tuan Syahbandar!
Pagar manusia di depannya tidak menggubris, bahkan menengok ke belakang dan menertawakannya beramairamai.
Sekarang Syahbandar itu berseru-seru dalam Portugis: Tuan-tuan, Tuan Syahbandar ada di sini, sambil mengangkat tongkat dan melonjak-lonjak lagi seperti burung gereja.
Francisco de Sa di depan sana naik pitam. Kulitnya yang kemerahan nampak jadi coklat. Cuping hidungnya kembang-kempis.
Yesus! Bunyikan meriam! perintahnya dalam Melayu. Beri jalan! raung Jesus Laslo, pengiringnya. Kalau tidak kami akan buka dengan cara kami sendiri, dalam Melayu.
Orang bersorak-sorai menertawakan dan mengejek. Jangan ragu-ragu, perintah de Sa dalam Portugis, kembali dan bu nyikan.
Kalian Peranggi! tuding Liem Mo Han dalam Portugis, yang letak kan kekuatan pada meriam semata. Lepaskan semua pelurumu. Habiskan semua obatmu!
Siapa bicara Portugis itu" tanya Francisco de Sa melotot. Katakan pada anjing-anjing ini, Portugis akan menembak!
Kami bisa menembak kalian lebih dulu. Pergi! Tinggalkan Tuban! jawab Liem Mo Han.
Kembali orang bersorak-sorai malahan berjingkrak. Melihat pembesarnya berada dalam bahaya, awak kapal Portugis mulai mengalir turun dari kapal membawa segala macam alat yang dapat diambil. Mereka tak membawa musket.
Melihat awak kapal turun hendak menyerang padatan manusia itu mulai memainkan tongkat mereka dan mengusir, memaksa dan menyorong mereka kembali ke kapal.
Orang pun meraung-raung senang sambil memainkan tongkat.
Awak kapal yang belum mendapatkan daratan di bawah kaki bercepat masuk ke dalam kapal di bawah hujan tongkat. Juga Francisco de Sa dan Jesus Laslo tidak urung terpaksa masuk ke kapal juga.
Seseorang di antara padatan manusia itu melepaskan tali kapal. Orang makin ramai bersorak berjingkrak melambailambaikan tongkat dan tangan, berteriak-teriak.
Pergi! Ayoh pergi! Kembali ke Malaka! Kembali ke Peranggi! Tinggalkan Tuban!
Kapal celaka! Pergi! Kapal Portugis itu memasang layar. Tak ada seorang pun di antara mereka mencoba menyerbu masuk ke dalam. Dan kapal itu mulai bergerak menjauhi dermaga. Di dermaga sendiri orang terus juga meledak dan mengejek.
Francisco de Sa akan datang lagi! teriak Portugis itu. Awas!
Setelah kapal bergerak ke tengah, seperti diperintahkan oleh tenaga gaib orang-orang di dermaga itu mulai berlarian meninggalkan pelabuhan, menubruki para pedagang yang juga berlarian hendak datang berjualan. Barang-barang mereka berpelantingan kocar-kacir, ayam-ayam bebas berterbangan dan kambing dan babi mendapat kesempatan untuk ikut berjingkrak dengan majikannya.
Waktu orang-orang bertongkat sudah lenyap dari pelabuhan, para pedagang mengumpulkan barang dagangannya yang berantakan. Tak banyak jumlah mereka. Dan selain menemukan semua barang sendiri mereka menemukan juga tuan Syahbandar Sayid Habibullah Almasa-wa tertelungkup di lebuan sehabis terinjak-injak oleh orang banyak.
Seseorang menolongnya berdiri dan membersihkan lebu yang melekat pada kulit dan pakaiannya.
Tongkatku! perintahnya. Orang menemukan tongkat itu tanpa kerusakan dan menyerahkan ke padanya. Ia menerimanya dengan memberengut.
Tarbusku! perintahnya lagi.
Orang tak mengerti maksudnya, dan Syahbandar naik pitam.
Tarbus! Goblok, waktu dilihatnya tarbus itu menggeletak penyok di pinggir jalan, hilang warna merahnya berganti dengan coklat muda lebu, ia berjalan terseok-seok mendekatinya, berjongkok sambil memijit! punggung dan mengambilnya, membersihkannya dari lebu, kemudian menciumnya.
Pedagang-pedagang pada mengutuk dan memaki meninggalkan daerah bandar.
Tinggallah dia: Syahbandar Tuban Tholib Sungkar Az- Zubaid alias Sayid Mahmud Al-Badaiwi alias Sayid Habibuliah Almasawa. Ia berdiri mengenakan tarbusnya kembali berjalan terpincang-pincang bertun-jangan pada tongkatnya.
Dibalik semak-semak di luar pelabuhan cetbang-cetbang bikinan pandai besi Trantang yang bergelang-gelang itu telah ditujukan pada kapal Portugis. Dan lambat-lambat tapi pasti kapal itu mulai semakin jauh meninggalkan jarak tembak. Dari kejauhan nampak tinggi, besar, dengan ornamen haluan yang indah lagi gagah.
Dan kalau orang mengalihkan pandang dari kapal itu pada pelabuhan akan nampak olehnya seorang jangkung agak bongkok, setengah baya, bertarbus merah, berdiri seorang diri di dermaga menghadap ke laut, dan kapal Peranggi yang sedang menjauh. Dengan tangan kanan ia melambai-lambaikan tangan memanggil kembali kapal tersebut dan dengan tangan kiri bertelekan pada tongkatnya.
Kapal itu tak memperhatikannya. Dan ia menyumpahnyumpah dalam semua bahasa yang dikenalnya, dari yang paling enteng sampai yang paling mesum. Kapal itu tetap tak peduli dan semakin menjauh.
Di sini Syahbandar! Di sini Tuan Syahbandar! suaranya parau menghiba-hiba.
Sekarang imbauan Syahbandar dijawab oleh kapal. Meriam melemparkan peluru-pelurunya ke bandar. Bondongan tembakan pertama menyebabkan Tholib Sungkar Az-Zubaid terjerembab ke labuhan. Peluru-peluru mendesis ke atas kepalanya dan suara gemerasak menghancurkan atap-atap bangunan pasar. Bondongan tembakan kedua memaksa Syahbandar merangkak-rangkak sambil menyeret tongkat. Peluru-peluru itu memporakporandakan gudang-gudang pelabuhan. Ia rebahkan kembali kepalanya ke tanah, menengok ke kiri dan memanggil-manggil Tuban. Mukanya yang tipis berhidung panjang bengkung itu menghadap ke warung Yakub. Pewarung itu tidak kelihatan.
Bondongan peluru yang ke tiga membikin Tholib terpelosok pada tangannya dan terguling ia dari rangkakannya.
Sebuah di antara peluru-peluru itu masuk ke dalam warung tidak melalui pintu, melalui dinding, gemerasak menerjang papan dan gemerincing menerjang cawan-cawan arak dan barang-barang dagangan.
Bondongan tembakan ke empat membikin Syahbandar itu berhenti dari rangkakannya. Sebuah peluru jatuh di depan kamar kerja kesyahbandaran.
Kemudian Portugis menghentikan tembakannya. Dari daerah pinggiran pelabuhan cetbang-cetbang mulai menyambut kedentaman. Peluru-peluru beterbangan seperti bintang-bintang beralih berbuntut api dan berkepala ledakan, berletusan di udara atau jatuh ke laut. Tak sebutir pun mencapai sasaran.
Syahbandar Tuban nampak tak bergerak lagi. Ia diam tertelungkup di atas lebuan. Ia mengucapkan syukur Alhamdulillah, karena yakin tak ada sepasang dan sebelah mata pun jadi saksi atas kemudaratannya. Bibirnya tak henti-hentinya berkomat-kamit.
Di daerah pinggiran pelabuhan, Braja bertolak pinggang mengawasi peluru-pelurunya yang berterbangan sia-sia. Dengan sekali gerak ia mengungguli pemandangan itu. Ia kepalkan tangan jadi tinju, membalik lagi dan mengacukan tinjunya pada kapal Portugis yang makin menjauh.
Dari belakangnya ia dengar beberapa orang mulai menyumpahi pandai-pandai Trantang. Kemudian ia dengar juga yang lain mengutuki pandai-pandai peluru.
Waktu ia menengok ke belakang dilihatnya dua orang sedang tenggelam dalam bisik-bisik. Dan mereka nampak kaget terpandangi oleh pemimpinnya.
Jangan punya pikiran buruk terhadap Senapatiku, tegurnya. Memang dia orang desa namun dia lebih daripada hanya kalian. Tutup mulut kalian.
Walau demikian ia sendiri merasa berkecil hati melihat cetbang tak mampu menandingi meriam. Dan dengan perasaan itu pula ia berjalan ke bawah sebatang pohon. Dituliskannya sepucuk surat di atas lontar, menghapuskannya dengan jelaga yang tersimpan dalam daun pisang kering dalam ikat pinggangnya.
Cari Senapati sampai dapat, perintahnya pada dua orang yang tadi berbisik-bisik. Sampaikan lontar ini. Braja menunggu di tempat. Pergi.
Setelah menerima lontar, dua orang melompat ke atas kudanya, memasuki kota, kemudian ke pedalaman.
Berlanjut ke bagian 22
Tidak ada komentar:
Posting Komentar