Selain kami berdua hanya tiga orang lelaki Eropa dan seorang Tionghoa. Nampaknya semua dalam suasana kebosanan. Pada perhentian pertama penumpang sudah berkurang dengan dua, termasuk orang Tionghoa itu. Penumpang baru tak ada.
Sudah berpuluh kali aku menempuh jarak ini. Maka pemandangan sepanjang perjalanan tak ada yang menarik. Di B. biasanya aku menginap di losmen untuk keesokanharinya meneruskan perjalanan ke T. Sekarang bukan menuju ke losmen langganan. Paling tidak di Kantor Polisi.
Pemandangan tambah lama tambah membosankan: tanah kersang, kadang kelabu, kadang kuning keputihan Aku tertidur dengan perut lapar. Apa pun bakal terjadi, terjadilah.
Uh bumi manusia! Kadang muncul kebun tembakau, kecil dan hilang tersapu kelajuan. Muncul lagi, kecil lagi, hilang lagi. Dan sawah dan sawah dan sawah, tanpa air, ditanami palawija menjelang panen Dan kereta merangkak lambat, menyemburkan asap tebal hitam dan lebu, dan lelatu. Mengapa bukan Inggris yang menguasai semua ini " Mengapa Belanda " Dan Jepang " Bagaimana Jepang " Sentuhan tangan agen itu menyebabkan aku terbangun. Di sampingku telah Tergelar bawaannya: Di atasnya: nasi goreng berminyak mengkilat, dengan sendok dan garpu, dihias matasapi dan sempalan goreng ayam di dalam wadah takir daun pisang. Mungkin sengaja disediakan untukku. Seorang agen akan berpikir dua kali untuk menjamu makan demikian; terlalu mewah. Botol putih berisi susu coklat berdiri langsing di samping takir - minuman yang belum banyak dikenal Pribumi.
Dan kota B. yang suram itu akhirnya muncul juga di depan mata menjelang jam 5 sore. Ia tetap tak bicara. Tapi tetap membawa barang-barangku. Dan aku tak mencegahnya. Apa arti seorang agen polisi kias satu dibanding dengan siswa H.B.S. Paling-paling dia hanya bisa sedikit baca dan tulis Jawa dan Melayu. Dokar membawa kami meninggalkan stasiun. Ke mana ", Aku kenal jalan-jalan putih batu cadas yang menyakitkan mata ini. Tidak ke hotel, tidak ke losmen langganan. Juga tidak ke Kantor Polisi B.
Alun-alun itu nampak lengang dengan permadani rumputnya yang kecoklatan dan botak dan bocel di sana-sini. Ke mana hendak di bawa " Dokar sewaan menuju ke gedung bupati dan berhenti agak jauh di tentang pintu gerbang batu. Apa hubungan perkara ini dengan Bupati B. " Pikiranku mulai gila bergerayangan. Dan agen itu turun dahulu, mengurus barang-barangku seperti sebelumnya. "Silakan," katanya tiba-tiba dalam Jawa kromo. Kuiringkan dia memasuki Kantor Kabupaten, terletak di depan sebelah samping gedung bupati. Kantor yang lengang dari hiasan dinding, sunyi dari perabot yang patut, tanpa seorang pun di dalam. Semua perabot kasar, terbuat dari jati dan tidak dipolitur, nampak tanpa ukuran kebutuhan dan tanpa perencana-naan guna, asal jadi. Dari rumah mewah Wonokromo memasuki ruangan ini seperti sedang meninjau gudang palawija. Boleh jadi lebih mewah sedikit saja dari kandang ayam Anneiies. Ini a-gaknya ruang pemeriksaan. Hanya ada beberapa meja, sedikit kursi dan beberapa bangku panjang. Di sana ada rak-rak dengan beberapa tumpuk kertas dan beberapa buah buku. Tak ada alat penyiksaan. Hanya botol-botol tinta di atas semua meja.
Agen itu meninggalkan aku seorang diri lagi. Dan untuk kedua kalinya aku menunggu dan menunggu. Matari telah tenggelam. Dia belum juga muncul. Bedug masjid agung telah bertalu, menyusul suara azan yang murung. Lentera jalanan sudah dinyalakan oleh tukang lampu. Kantor ini semakin gelap juga. Dan nyamuk yang keranjingan ini, mereka mengembut, menyerang satu-satunya orang di dalamnya. Kurangajar! sumpahku. Begini orang mengurus seorang Raden Mas dan siswa H.B.S. pula " seorang terpelajar dan darah raja-raja Jawa " _ Dan pakaian ini sudah terasa lengket pada tubuh. Badan sudah mulai diganggu bau keringat. Tak pernah aku mengalami aniaya semacam ini. "Beribu ampun, Ndoro Raden Mas," agen itu menyilakan aku keluar dari kantor gelap penuh nyamuk itu. "Mari 'sahaya antarkan ke pendopo." Sekali lagi ia angkati barang-barangku.
Jadi aku akan dihadapkan pada Bupati B. God! urusan apa pula " Dan aku ini, siswa H.B.S., haruskan merangkak di hadapannya dan mengangkat sembah pada setiap titik kalimatku sendiri untuk orang yang sama sekali tidak kukenal " Dalam berjalan ke pendppo yang sudah diterangi dengan empat buah lampu itu aku merasa seperti hendak menangis. Apa guna belajar ilmu dan pengetahuan Eropa, bergaul dengan orang-orang Eropa, kalau akhirnya toh harus merangkak, beringsut seperti keong dan menyembah seorang raja kecil yang barangkali butahuruf pula " God, God! Menghadap seorang bupati sama dengan bersiap menampung penghinaan tanpa boleh membela diri. Tak pernah aku memaksa orang lain berbuat semacam itu terhadapku. Mengapa harus aku lakukan untuk orang lain " Sambar geledek! Nah, kan benar " Agen itu sudah mulai kurangajar menyilakan aku mencopot sepatu melepas kauskaki. Permulaan aniaya yang lebih hebat. Suatu kekuatan gaib telah memaksa aku mengikuti perintahnya. Lantai itu terasa dingin pada telapak kaki. Ia memberi isyarat, dan aku menaiki jenjang demi jenjang, melangkah ke atas. Ia tunjukkan padaku tempat aku harus duduk menekur: di depan sebuah kursi goyang. Kata salah seorang guruku: kursi goyang adalah peninggalan terindah dan Kompeni sebelum mengalami kebangkrutannya. Aduhai, kursi goyang, kau akan jadi saksi bagaimana aku harus menghinakan diri sendiri untuk memuliakan seorang bupati yang tak kukenal. Terkutuk! Apa teman-teman akan bilang bila melihat aku jalan berlutut begini sekarang ini, seperti orang tak punya paha merangkak mendekati peninggalan V.O.C. menjelang bangkrutnya " kursi yang tak bergerak dekat pada dinding dalam pendopo itu "
"Ya, jalan berlutut, Ndoro Raden Mas," agen itu seperti mengusir kerbau ke kubangan.
Dan jarak yang hampir sepuluh meter itu aku tempuh dengan menyumpah dalam lebih tiga bahasa.
Dan di kiri-kananku bersebaran hiasan lantai berupa kerang-kerangan. Dan lantai itu mengkilat terkena sinar empat lampu minyak. Sungguh, teman-teman sekolah akan mentertawakan aku sekenyangnya melihat sandiwara bagaimana manusia, biasa berjalan sepenuh kaki, di atas telapak kaki sendiri, sekarang harus berjalan setengah kaki, dengan bantuan dua belah tangan. Ya Allah, kau nenek-moyang, kau, apa sebab kau ciptakan adat yang menghina martabat turunanmu sendiri begini macam " Tak pernah terpikir olehmu, nenek-moyang yang keterlaluan! Keturunanmu bisa lebih mulia tanpa menghinakan kau! Sial dangkal! Mengapa kau sampaihati mewariskan adat semacam ini "
Di depan kursi goyang aku berhenti. Duduk bersimpuh dan menekuri lantai sebagaimana diadatkan. Terus juga menyumpah dalam lebih tiga bahasa. Yang dapat kulihat di depanku adalah bangku rendah berukir dan di atasnya bantal alas kaki daripada beledu hitam. Sama dengan gaun Annelies sepagi tadi.
Baik, sekarang aku sudah menekuri lantai di hadapan kursi goyang keparat ini. Apa urusanku dengan Bupati B. " Tak ada. Sanak tidak, keluarga tidak, kenalan bukan, apalagi sahabat. Dan sampai berapa lama lagi aniaya dan hinaan ini masih harus berlangsung " Menunggu dan menunggu sambil dianiaya dan dihina begini " Terdengar pintu-angin mengerait terbuka. Langkah selop kulit terdengar semakin lama semakin jelas. Dan teringat aku pada langkah sepatu menyeret Tuan Mellema pada malam menyeramkan dulu. Dari tempatku, selop yang melangkah-langkah itu nuilai kelihatan, lambat-lambat. Di atasnya sepasang kaki bersih. Kaki lelaki. Di atasnya lagi kain batik berwiru lebar.
Aku mengangkat sembah sebagaimana biasa aku lihat dilakukan punggawa terhadap kakekku, dan nenekku, dan orangtua-ku, waktu lebaran. Dan yang sekarang tak juga kuturunkan sebelum Bupati itu duduk enak di tempatnya. Dalam mengangkat sembah serasa hilang seluruh ilmu dan pengetahuan yang kupelajan tahun demi tahum belakangan ini. Hilang indahnya dunia sebagaimana dijanjikan oleh kemajuan ilmu. Hilang anthusiasme para guruku dalam menyambut hari esok yang cerah bagi ummat manusia. Dan entah berapa kali lagi aku harus mengangkat sembah nanti. Sembah pengagungan pada leluhur dan pembesar melalui perendahan dan penghinaan diri! sampai sedatar tanah kalau mungkin! Uh, anakcucuku tak kurelakan menjalani kehinaan ini.
Orang itu, Bupati B., mendeham. Kemudian lambat-lambat duduk di kursi goyang, melepas selop di belakang bangku kaki dan meletakkan kakinya yang mulia di atas bantal beledu. Kursi mulai bergoyang-goyang sedikit. Keparat! Betapa lambat waktu berjalan. Sebuah benda yang kuperkirakan agak panjang telah dipukul-pukulkan lembut pada kepalaku yang tak bertopi. Betapa kurangajarnya makhluk yang harus kumuliakan ini. Setiap pukulan lembut harus kusambut dengan sembah terimakasih pula. Keparat! .. Setelah lima kali memukul, benda itu ditariknya, kini tergantung di samping kursi: cambuk kuda tunggangan dari kemaluan sapi jantan dengan tangkai tertutup "kulit pilihan, tipis. "Kau!" tegurnya lemah, parau.
"Sahaya Tuanku Gusti Kanjeng Bupati," kata mulutku, dan seperti mesin tanganku mengangkat sembah yang kesekian kali, dan hatiku menyumpah entah untuk ke berapa kali.
"Kau! Mengapa baru datang ?" suaranya makin jelas keluar dari tenggorokan yang sedang pada akhir selesma.
Rasanya aku pernah dengar suara itu. Pileknya juga yang menghalangi untuk dapat mengingat dengan baik. Tidak, tidak mungkin dia! Tak mungkin! Tidak! Dan aku tetap masih tidak mengerti duduk-perkara. Maka aku diam saja.
"Kanjeng Gubermen tak percuma punya dinas pos mampu menyampaikan suratku dengan tepat pada alamat yang tepat dan selamat padamu...."
Benar, suara dia. Tidak mungkin! Tak ada syarat untuk itu. Tidak mungkin: aku hanya mengandai.
"Mengapa diam saja" Karena sudah tinggi sekolahmu sekarang merasa hina membaca suratku ?"
Benar, suara dia! Aku angkat sembah sekali lagi, sengaja sedikit mendongak dan melepas mata. Ya Allah, memang benar dia.
"Ayahanda!" pekikku, "ampuni sahaya." "Jawab! Kau merasa hina membalas suratku ?"
"Beribu ampun, Ayahanda, tidak." "Surat Bundamu, mehgapa tak juga kau balas . "Ayahanda, beribu ampun."
"Dan surat abangmu....."
"Ampun, Ayahanda, beribu ampun, sahaya kebetulan tidak di tempat, tidak di alamat, ampun, beribu ampun.
"Jadi untuk dapat menipu kau disekolahkan sampai setinggi pohon kelapa itu ?" "Beribu ampun, Ayahanda."
"Kau kira semua orang ini buta, tak tahu sesuatu pada tanggal berapa kau pindah ke Wonokromo " Dan kau bawa serta surat-surat itu tanpa kau baca " ...
Cambuk kuda tunggangan dari kemaluan sapi itu berayun-ayun. Bulu ronaku mulai merinding menunggu jatuhnya pada tubuhku. sebagai kuda binal. "Apa masih perlu dihinakan kau di depan umum dengan cambuk ini "Hinalah' sahaya ini terkena cambuk kuda di depan umum," jawabku nekad, tak tahan pada aniaya semacam mi. Tapi kehormatan juga bila perintah itu datang dan .feorang ayah te-rusku lebih nekad lagi. Dan aku akan bersikap seperu Mama terhadap Robert, Herman Mellema, Sastrotomo dan istrinya.
"Buaya!" desisnya geram. "Kukeluarkan kau dan E.L.S. di T dulu juga karena perkara yang sama. Semuda itu! Makin tinggi sekolah makin jadi buaya bangkong! Bosan main-main dengan gadis-gadis sebaya sekarang mengeram di sarang nyai. Mau jadi apa kau ini ?" _
Aku terdiam. Hanya hati meraung: jadi kau sudah menghina aku, darah raja! suami ibuku! Baik, aku takkan menjawab. Teruskan, ayoh, teruskan, darah raja-raja Jawa! Kemarin kau masih mantri pengairan. Sekarang mendadak jadi bupati, raja kecil. Lecutkan cambukmu, raja, kau yang tak tahu bagaimana ilmu dan pengetahuan telah membuka babak baru di bumi manusia ini!
"Ditimang Nenendamu jadi bupati, ditimang dihormati semua orang..... anak terpandai dalam keluarga..... terpandai di seluruh kota..... ya Tuhan, bakal apa jadinya anak ini!"
Baik, ayo teruskan, raja kecil!
"Satu-satunya pengampunan hanya karena kau naik kias." Sampai ke kias sebelas pun aku bisa naik! raungku pesakitan. Ayoh, lepaskan semua kebodohanmu, raja kecil.
"Apa tidak kau pikirkan bahaya mengerami nyai " Kalau tuahnya jadi matagelap dan kau ditembak mati, mungkin dihajar dengan parang, atau pedang, atau pisau dapur, atau dice-k,k..... bagaimana akan jadinya " Koran-koran itu akan mengumumkan siapa kau, siapa orangtuamu. Malu apa bakal kau timpakan pada orangtuamu " Kalau kau tak pernah berpikir sampai ke situ...."
Seperti Mama aku siap meninggalkan semua keluarga ini, raungku lebih keras, keluarga yang hanya membebani dengan tali pengikat yang memperbudak! Ayoh, teruskan, teruskan, darah raja-raja Jawa! Teruskan! Aku pun bisa meledak. "Apa tidak kau baca di koran-koran, besok malam ini ayahmu akan mengadakan pesta pengangkatan jadi bupati " Bupati B. " Tuan Assisten Residen B., Tuan Residen Surabaya, Tuan Kontrolir dan semua bupati tetangga akan hadir. Apa mungkin seorang siswa H.B.S. tidak membaca koran " Kalau tidak, apa mungkin tak ada orang lain memberitakan " Nyaimu itu, apa dia tidak bisa membacakan untukmu ?" Memang berita mutasi tidak pernah menarik perhatianku: pengangkatan, pemecatan, perpindahan, pensiun. Tak ada urusan! Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan " Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.
"Dengar, kau, anak mursal!" perintahnya sebagai pembesar baru yang lagi naik semangat. "Kau sudah jadi linglung mengurusi nyai orang lain. Lupa pada orangtua, lupa pada kewajiban sebagai anak. Barangkali kau memang sudah ingin beristri. Baik, lain kali dibicarakan. Sekarang ada soal lain. Perhatikan. Besok malam kau bertindak sebagai penterjemah. Jangan bikin malu aku dan keluarga di depan umum, di depan Residen, Assisten Residen, Kontrolir dan para bupati tetangga." "Sahaya, Ayahanda."
"Kau sanggup jadi penterjemah ?" "Sanggup, Ayahanda."
"Nah, begitu, sekali-sekali melegakan hati orangtua. Aku sudah kuatir Tuan Kontrolir yang akan melakukan tugas ini. Coba, bagaimana kalau dalam resepsi pengangkatan ada anak lelaki tidak hadir dalam kesaksian para pembesar " Kapan kau harus mulai dikenal oleh para beliau " Ini kesempatan terbaik bagimu. Sayang kau begitu mursal. Barangkali tidak mengerti bagaimana orangtua merintis jalan pangkat untukmu. Kau, anak lelaki, di-mashurkan terpandai dalam keluarga. Atau barangkali kau sudah lebih berat pada nyai daripada pangkat ?"
"Sahaya, Ayahanda."
"Biar terang jalanmu ke arah jabatan tinggi." "Sahaya, Ayahanda."
"Sana, pergi menghadap Bundamu. Kau memang sudah tidak bermaksud pulang. Memalukan, sampai-sampai harus minta tolong Tuan Assisten Residen. Senang, kan, ditangkap seperti maling kesiangan " Tak ada perasaan malu barang sedikit. Bersujud pada Bundamu sendiri pun sudah bertekad melupakan. Putuskan hubungan dengan nyai tak tahu di untung itu!"
Tentu aku tak menjawab. Hanya menyembah. Selanjutnya: jalan setengah kaki dengan bantuan tangan merangkak membawa beban kedongkolan di punggung seperti kerang. Tujuan: tempat di mana sepatu dan kauskaki kulepas, tempat di mana pengalaman terkutuk ini kumulai. Tak ada Pribumi bersepatu di lingkungan gedung bupati. Dengan sepatu di tangan aku berjalan di samping pendopo, masuk ke pelataran dalam. Lentera-lentera suram menunjukkan jalan ke arah dapur. Kurebahkan badan di kursi malas bobrok, tak mengindahkan barang bawaan. Seseorang datang menjenguk. Aku pura-pura tak tahu. Secangkir kopi hitam disugukan. Kuteguk habis.
Kalau bukan karena kedatangan abang, mungkin aku sudah tertidur di tempat. Dengan menarik airmuka sengit ia bicara Belanda padaku:
"Rupanya kesopanan pun sudah kau lupakan maka tak segera sujud pada Bunda " Aku bangun dan mengiringkannya, seorang siswa S.I.B.A. , seorang calon ambtenar Hindia Belanda. Ia terus juga menggerutu seakan sedang jadi pengawal langit jangan sampai merobohi bumi. Karena Belandanya terbatas ia lanjutkan mengatai aku dalam Jawa sebagai anak tak tahu adat. Tentu aku tak menanggapi. Kami memasuki gedung bupati, melewati beberapa pintu kamar. Akhirnya di depan sebuah pintu ia berkata:
"Masuk situ kau!"
Pintu kuketuk pelan. Aku tak tahu kamar siapa, membukanya dan masuk. Bunda sedang duduk bersisir di depan cermin.
Sebuah lampu minyak berkaki tinggi berdiri di atas sebuah kenap di sampingnya. "Bunda, ampuni sahaya," kataku mengembik, bersujud di hadapannya dan mencium lututnya. Tak tahulah aku mengapa tiba-tiba hati diserang rindu begini pada Bunda. "Jadi kau pulang juga akhirnya, Gus. Syukur kau selamat begini," diangkatnya daguku, dipandanginya aku seperti seorang bocah empat tahun. Dan suaranya yane lunak W nyayang, membikin aku jadi terharu. Mataku sebak berkaca kaca. Inilah Bundaku yang dulu juga, Bundaku sendiri.
"Inilah putra Bunda yang nakal," sembahku parau.
"Kau sudah jantan. Kumismu sudah mulai melembayane Kata orang kau sedang menyenangi seorang nyai kaya dan cantik," dan sebelum sempat membantah ia telah meneruskan "Terserah padamu kalau memang kau suka dan dia suka. Kau sudah besar. Tentu kau berani memikul akibat dan tanggungia-wabnya, tidak lari seperti kriminil." Ia menghela nafas dan membelai pipiku seperti bayi. "Gus, kabarnya sekolahmu maju. Syukur. Kadang heran juga aku bagaimana mungkin sekolahmu maju kalau kau sedang kalap dengan nyai itu. Atau mungkin kau ini memang sangat pandai " Ya-ya, begitulah lelaki," suaranya terdengar murung, "semua lelaki memang kucing berlagak kelinci. Sebagai kelinci dimakannya semua daun, sebagai kucing dimakannya semua daging. Baiklah, Gus, sekolahmu maju, tetaplah maju." Lihat. Bunda tak menyalahkan aku. Tak ada yang perlu ku-bantah memang. "Lelaki, Gus, soalnya makan, entah daun entah daging. Asal kau mengerti, Gus, semakin tinggi sekolah bukan berarti semakin menghabiskan makanan orang lain. Harus semakin mengenal batas. Kan itu tidak terlalu sulit difahami " Kalau orang tak tahu batas, Tuhan akan memaksanya tahu dengan caraNya sendiri." "' Ah, Bunda, betapa banyak kata-kata mutiara telah dipatenkan dalam diriku. "Kau masih diam saja, Gus. Apa akan kau beritakan pada Bunda " Kan tidak sia-sia penungguanku ?"
"Tahun depan sahaya akan tammat, Bunda."
"Syukur, Gus. Orangtua hanya bisa mendoakan. Mengapa kau baru datang " Ayahandamu sudah begitu kuatir, Gus, marah-marah setiap hari karena kau. Mendadak saja Ayahandamu diangkat jadi bupati. Tak ada yang menduga, secepat itu. Kau pun kelak akan sampai setinggi itu. Kau pasti dapat. Ayahanda hanya tahu Jawa, kau tahu Belanda, kau siswa H.B.S. Ayahandamu hanya dari Sekolah Rakyat. Kau punya pergaulan luas dengan Belanda. Ayahandamu tidak. Kau pasti jadi bupati kelak.
"Tidak, Bunda, sahaya tidak ingin." .
"Tidak " Aneh. Ya, sesuka hatimulah. Jadi kau mau jadi apa " Kalau tamat kau bisa jadi apa saja, tentu.
"Sahaya hanya ingin jadi manusia bebas, tidak diperintah, "Ha " Ada jaman seperti itu, Gus " Aku baru dengar.
Seperti semasa bocah dulu dengan semangat kuceritakan padanya keterangan para guru dari sekolah. Juga sekarang Tentang Juffrouw Magda Peters yang bisa begitu menarik ceritanya:
Revolusi Prancis, maknanya, azasnya.
Bunda hanya tertawa, tak membantah. Juga seperti semasa aku bocah dulu. "Uh, kau begini .kotor, bau keringat. Mandi, jangan lupa dengan air hangat. Hari sudah begini malam. Mengasoh. Besok kau bekerja berat. Sudah tahu kewajibanmu besok ?"
Gedung itu belum kukenal. Kumasuki -kamar yang disediakan untukku. Lampu minyak telah menyala di dalam. Nampaknya abang juga di' kamar itu. Ia sedang duduk membaca dibawah lampu duduk.' Aku melintas untuk membenahkan barangbarangku. Dan abang, yang selalu menggunakan haknya sebagai anak yang lahir terdahulu, sama sekali tak mengangkat kepala, seakan aku tak ada di atas duia ini. Apa dia hendak mengesani sebagai siswa yang rajin "
Aku mendeham. Ia tetap tak memberikan sesuatu reaksi.
Aku lirik bacaannya. Bukan huruf cetak: tulisan tangan! Dan aku curiga melihat sampul buku itu. Hanya aku punya buku bersampul indah buatan tangan Jean Marais. Pelan aku berdiri di belakangnya. Tidak salah: buku catatan harianku. Kurebut dia dan meradang:
"Jangan sentuh ini! Siapa kasih kau hak membukanya " Kau! Begini sekolahmu mengajar kau Ia berdiri, mendelik padaku.
"Memang sudah bukan Jawa lagi." "Apa guna jadi Jawa kalau hanya untuk dilanggar hak-haknya " Tak mengerti kau kiranya, catatan begini sangat pribadi sifatnya " Tak pernah gurumu mengajarkan ethika dan hak-hak perseorangan ?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar