Arus Balik.
Karya : Pramoedya Ananta Toer.
Bagian 12.
Timbulnya Keriuhan Wiranggaleng mengangkat bocah yang sedang bermainmain seorang diri itu dari tanah. Anak itu telanjang bulat dan kotor seperti bocah-bocah di desa.
Anak itu tertawa dan mulai bicara dengan kata-kata kurang jelas. Hidungnya yang bengkung penuh dengan ingus. Juga matanya yang bulat dilindungi alis tebal ikut tertawa.
Ia ayunkan Gelar ke atas kepalanya, dan anak itu menjerit riang. Ia sendiri pun jadi gembira karenanya.
Mana emakmu" tanyanya walaupun tahu Idayu sedang di dapur.
Anak itu sementara ini melupakannya pada hancurnya armada gabungan. Armada sebesar itu! seindah itu! sekuat itu! Sekiranya Peranggi sampai memburu pasti ia tidak akan bermain-main dengan Gelar, anak istrinya ini. Peranggi tidak memburu. Mereka membelok ke kiri, menghujani daratan dengan sukun besi. Di bawah lindungan tembakan meriam mereka menghalau dua belas ribu prajurit gabungan Aceh-Demak-Jepara untuk dapat melakukan pendaratan di bandar Malaka. Dari kenyataan itu ia menjadi mengerti: selamatnya pangkalan bagi Peranggi lebih penting daripada menghancurkan sisa kekuatan musuhnya. Pangkalan! Pangkalan! Peranggi membutuhkan pangkalan!
Ia turunkan Gelar ke tanah, mengetahui Paman Marta datang padanya, langsung bersimpuh dan menyembah.
Dengan masih menggandeng tangan Gelar ia mendengus: Husy. Bangun kau! Tidakkah kau lihat aku hanya seorang anak desa"
Sahaya, paduka Wira. Husy. tapi Paman Marta tetap bersimpuh. Bertanya: Sahaya dengar Jepara kalah, paduka Wira.
Bangun kau! Jangan aku kau bikin malu.
Tukang kebun itu bangun, berdiri dan badannya dibongkokkan, kedua belah tangannya mengapurancang.
Jangan perlakukan aku sebagai ningrat, kau, bodoh. Ya, Jepara kalah. Mau apa lagi"
Hebat benarkah Peranggi, paduka Wira" Apa itu paduka"
Hebat benarkah Peranggi, bendara Wira" Apa itu bendara" Ya, Peranggi memang hebat. Baru saja sahaya dengar, paduka Wira . Husy. Apa yang kau dengar"
Setelah Peranggi mengalahkan Adipati Unus, rnereka tidak memburunya. Benarkah begitu, Wira" juru gulat itu mengangguk. Tadi, baru saja tadi, sahaya dengar Peranggi setelah itu mengamuk, Wira. Sekarang katanya Pasai mereka serbu dan rnereka rampas. Benarkah demikian, Wira"
Kening Wiranggaleng mengernyit. Tanpa bicara ia serahkan Gelar pada Paman Marta. Ia langsung memasuki gedung utama untuk mencari Syahbandar Tuban. Yang dicarinya tiada. Ia bergegas turun ke jalan raya, menuju ke bandar. Juga di sana Syahbandar tak didapatkannya. Justru pada waktu itu Tholib Sungkar Az-Zubaid baru pulang dan masuk ke dalam gedungnya.
Ia datang Iagi ke Syahbandaran dan menemui Paman Marta sedang menggendong Gelar yang sedang menangis.
Tuan Syahbandar sudah ada di dalam, Wira, katanya sambil menunjuk dengan ibu jarinya ke arah gedung. Wiranggaleng melompat masuk ke dalam.
Alhamdulillah, akhirnya kau datang juga, Wira, sambut Syahbandar Tuban. Ia tetap berdiri di tempat, di belakang meja tulis.
Sejahteralah, Tuan. Benarkah Pasai telah jatuh ke tangan Peranggi setelah Jepara kalah"
Tholib Sungkar Az-Zubaid menggeleng-geleng dan berkecap-kecap tanpa menegakkan bongkoknya: Rangmuda! Rangmuda! sebutnya. Berapa kali sudah kukatakan, Peranggi juga akhirnya menaklukkan seluruh dunia. Lupa kau sudah" Pasai jatuh, Wira. Benar. Selat sama sekali sudah dikuasai mereka sekarang ini. Kau mendatangi mereka dan kalah. Aku ikut-ikut berduka-cita, rangmuda! Apa boleh buat, akal diberikan oleh Allah kepada kita untuk dipergunakan. Terserah bagaimana manusia menggunakannya dan dapat atau tidak mereka menggunakannya. Kata-katanya membanjir seakan tak bakal berhenti. Sekali orang mengenal karunia ini dan dapat menggunakannya dengan baik, dia akan menciptakan hukumnya sendiri. Hanya yang dapat menggunakan dengan baik itu saja tahu hukumnya. Kasihan kau, Wira.
Wiranggaleng pergi tanpa minta diri. Kekalahan itu masih memberati dirinya, kini pandangan rendah dari Syahbandar membakar hatinya. Pada suatu ketika kelak, tantangnya dalam hati. Jawa dan dunia akan mendengar Peranggi akan dapat dipatahkan, dan Wiranggaleng akan ikut serta melakukannya!
Syahbandar Tuban mengikutinya dengan pandangnya sambil menggeleng dan berkecap-kecap kasihan.
Begitu Syahbandar muda turun ke tanah dan didapatinya Paman Marta telah menunggunya membawa Gelar yang meronta-ronta dalam gendongan.
Dengan diam-diam ia ambil bocah itu dan digendongnya sendiri.
Gelar terdiam. Anak itu telah lelah menangis dan meronta. Matanya sayu, kemudian jatuh tertidur dengan kadang masih terisak. Ia masuk ke dalam kamar dan diletakkan si bocah di atas ambin.
Hatinya masih terbakar oleh berita tentang jatuhnya Pasai, tentang sambutan melecehkan dan cara Syahbandar Tuban itu menyampaikannya! Ia duduk tepekur. Kemudian ia pandangi Gelar. Makin lama wajah itu makin menyerupai Sayid Habibullah Almasawa: bentuk kepala yang tipis, rambut yang mulai mengeriting, mata yang bulat, dan terutama hidung yang bengkung. Hidung bengkung! Sayid Ulasawa kecil! Untuk kesekian kalinya ia mendakwa bocah yang tiada tahu sesuatu itu.
Dan kesamaan itu memang tak mungkin ia dapat lupakan. Juga peristiwa kala si bocah itu untuk pertama kali memasuki kamar ini
Nyi Gede Kati mengira Idayu telah mati di ujung cundrik. Ia tidak tahu penari itu tertidur cepat tak terduga karena kelelahan dari ketegangan lama, tak ingat sesuatu apa lagi, seperti tak sedarkan diri.
Bekas pengurus harem itu masuk sambil melindungi si bayi dengan tangan, bersiap-siap menangkis setiap serangan dari Wiranggaleng.
Biar anak ini melihat ibunya untuk penghabisan kali, Wira, katanya.
Dan bayi itu mulai menangis. Dan Nyi Gede Kati mendiamkannya dengan mendesiskan bibirnya.
Mengapa untuk penghabisan kali, Ibu" Idayu sedang tidur nyenyak. Lebih baik jerangkan air untuk membasuhnya. Dia lelah dan tak begitu sehat. Mari, biar aku gendong bayi itu.
Jangan! Nyi Gede menolak kontak dan dari matanya nampak ia berjaga-jasa. Jangan bunuh dia, Wira. Idayu berpesan, Jangan biarkan dia dibunuh oleh Kang Galeng . Dia tak tahu apa-apa, Wira. Dia anakku sekarang.
Ia biarkan wanita itu berjalan mengendap-endap waspada mendekati Idayu, yang tergolek di ambin. Terdengar ratapannya, pelahan dan menghiba-hiba: Idayu, pujaan seluruh Tuban, Kamaratih Tuban, betapa celaka hidupmu, Nak.
Dia tidak celaka, dia berbahagia, juara gulat membetulkan.
Telah kau kumpulkan seluruh keberanianmu untuk menghadapi hari ini, ratapan itu diteruskannya, untuk menerima ujung cundrik dari suami yang dikasihi dan dicintai.
Tak pernah ada cundrik pernah mengenainya, bantah Galeng.
Pergilah sudah seorang istri setia, penari tanpa duanya, seorang wanita utama, dikagumi semua orang. Idayu, ah, Idayu!
Jangan ganggu dia, Ibu, dia sedang tidur, tegahnya. Kau bukan wanita pertama menderita semacam ini, Idayu. Manakah darahmu, biar kucium sebagai penghormatan dari semua yang mencintaimu"
Tak ada darah keluar dari tubuhnya, sekali lagi ia membantah, namun tak dapat mencegah Nyi Gede meneruskan ratapannya.
Dengan satu tangan Nyi Gede meraba-raba tubuh Idayu, dan ia tak mendapatkan setetes darah pun. Ia membeliak padanya, menuduhnya dengan suara keras: Keji kau, Wira! Keji! Tak kau beri sedikit pun kehormatan pada Kamaratih Tuban! Tak kau antarkan dia dengan ujung cundriknya sendiri. Kau cekik dia seperti anak babi. Dia tidur. Mengapa mesti kucekik dia"
Wanita itu melanjutkan rabaannya dengan satu tangan pada leher Idayu. Ia dekatkan matanya pada leher itu dan baru diketahuinya wanita tergolek itu masih bernafas dan leher itu pun tidak cedera.
Dia masih hidup. Kau takbunuh dia, Wira" Mengapa aku mesti bunuh dia" Sediakan air hangat buat pembasahnya. Sini! Biar kulihat anakku.
Nyi Gede Kati lari keluar kamar menyelamatkan si bayi dalam gendongan. Dan ia tidak menghalanginya.
Duduklah ia menunggui istrinya, merenungkan betapa banyak aniaya dalam kehidupan ibukota. Ia renungkan pula cerita Idayu tentang impiannya yang temyata kejadian sesungguhnya. Bayi itu bukan anakku. Orang-orang telah membicarakannya: Idayu terkena bius setiap habis pulang dari menari di kadipaten. Mereka tahu, mereka membicarakannya. Mengapa hanya aku yang tidak mau percaya" Dan lelaki manakah yang bisa membuktikan seorang bayi itu anaknya atau tidak"
Untuk kesekian kalinya kebakaran terjadi dalam hatinya. Ia pandangi Idayu yang lelap-nyenyak mendekati pingsan. Dia tak bersalah. Dia telah bersedia menerima ujung cundriknya sendiri. Dia telah tubrukkan diri pada senjata itu asalkan tangkai sudah tergenggam oleh tanganku. Kalau senjata itu tak kulemparkan, mungkin dia telah tewas. Mengapa yang menderita harus menerima hukuman" Mengapa bukan si penyebab penderitaan"
Ia melangkah tetap ke arah jagang senjata: tombaktombak dan pedang. Ia telah rasai ujung senjata itu menyintuh jantung Syahbandar Tuban. Sampai di pintu terdengar olehnya titah Sang Adipati untuk menjaga keselamatan Syahbandar, untuk melindungi jiwanya.
Terkutuk! sumpahnya. Bedebah itu tak boleh aku punahkan.
Ia sandarkan tombak pada dinding. Ia memprotes Hyang Widhi, mengapa janji kesetiaan pada Sang Adipati harus membatalkan pelepasan dendam terhadap musuhpribadinyua" Otot-ototnya menjadi tegang untuk dapat menampung titah para dewa. Dan titah itu tak datang dan tak bakal datang padanya. Ia rasakan tangannya telah mematah-matahkan anggota badan Syahbandar Tuban. Tetapi kemudian melengking suara Rama Cluring yang mengharapkan dirinya dapat memanggil kebesaran dan kejayaan pada guagarba haridepan. Dan suara Sang Adipati yang memperingatkan: tak dapat kebesaran dan kejayaan itu terpanggil tanpa restu seorang raja.
Tapi apakah aku bukan anak Tuban mendiamkan saja Sayid Habibullah Almasawa" Siapakah yang bisa salahkan aku kalau aku patahkan batang lehernya" Atau aku keluarkan hati dari dadanya dan aku remas di depan orang banyak, seperti dilakukan oleh orang-orang sebelum aku mengumandangkan suara dendam purba: takkan kubiarkan langkahku terhenti di tengah jalan; lihat, telah kuremas hati penghalang jalanan ini!
Kedua belah tangannya menggigil dan keringat kebakaran membasahi tubuhnya. Ia bangkit dan dengan tangan telanjang menuju ke gedung utama.
Belum lagi ia memiliki jenjang, seorang penunggang kuda dari kepatihan telah memanggilnya. Tugas penting telah memerlukan tenaganya .
Tidak lebih dari sebulan setelah kedatangannya dan Malaka baru diketahuinya: tidak benar Peranggi telah menaklukkan Pasai. Benar ada beberapa buah di antara kapal-kapalnya datang ke sana, tetapi hanya mencari lada dan kapur barus dengan paksa. Suatu keributan telah terjadi diikuti dengan perkelahian kecil di darat. Kemudian kapalkapal itu balik kembali ke Malaka tanpa hasil.
Bukan itu saja. Juga pulau Sabang didarati. Sekelompok bajak, yang pada waktu itu sedang terpergoki, telah melakukan perlawanan dan disapu dari muka bumi. Dua minggu Portugis menduduki Sabang, kemudian pergi lagi ke Malaka.
Orang memberitahukan juga, kapal-kapal Portugis mulai kelihatan di perairan Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan, kemudian juga di perairan Jawa sendiri.
Seruan Sultan Mahmud Syah dalam pembuangan untuk memboikot bandar Malaka nampak seakan masuk dalam hati para raja Nusantara. Tetapi pemboikotan sesungguhnya bukan karena seruan itu. Para raja Nusantara memang gentar pada Portugis dan takut berlabuh di Malaka.
Sultan Mahmud Syah sendiri tidak pernah jadi raja yang populer.
Selama kejayaan Malaka sikapnya terhadap para raja selebihnya angkuh dan tak sudi menggubris kepentingan bersama antar-mereka. la menganggap semua mereka membutuhkan Malaka, dan Malaka tak membutuhkkan mereka.
Pemboikotan semu yang berjalan dengan sendirinya telah membikin Pasai jadi bandar pengganti Malaka. Maka bandar yang telah kehilangan serinya dalam waktu satu abad belakangan kembali jadi bersinar-sinar. Maka orang pun mulai menduga-duga, jangan-jangan Portugis kelak akan merampas juga bandar ini untuk menyelamatkan Malaka, dan terutama untuk menggagahi Selat, urat nadi kemakmuran dunia. Malahan ada yang telah berani meramalkan: Kalau Peranggi belum juga melakukannya adalah karena masih disibuki oleh perkara-perkara lain.
Pada waktu itu Portugis memang sedang sibuk memasuki perairan Maluku dan Nusa Tenggara, menceraiberaikan armada-armada dagang Tuban dan Blambangan, membunuhi dan membinasakan pedagang-pedagang pemborong rempah-rempah dari Jawa, yang selama ini memegang monopoli atas Maluku.
Pelayaran dan perdagangan antara Maluku dan Tuban merosot. Bandar Tuban menjadi lengang. Pasar pelabuhan sunyi. Bangsal-bangsal pelabuhan kosong. Hanya ombak laut dan angin juga yang tetap sibuk dan riuh sendiri.
Dan di seluruh negeri Tuban, tak lain dari Sang Adipati Tuban Arya Teja Tumenggung Wilwatikta seorang yang tak habis-habis menyesali perbuatannya sendiri. Sekiranya Tuban membantu Jepara dengan sejujur hati, mungkin Malaka telah jatuh dan Maluku tetap dalam monopoli pemborong dan pedagang Tuban dan Gresik atau Blambangan. Maka bandar Tuban takkan selengang sekarang ini.
Sesal tiada guna: jatuhnya Malaka melambangkan jatuhnya pelayaran dan perdagangan bebas seluruh Nusantara. Nasi telah menjadi bubur.
Kapal-kapal Tuban hampir-hampir tak berani lagi berlayar ke Maluku. Seperti digebah oleh badai mereka bertaburan ke jurusan barat mencari lada di Banten, Sumatra Selatan, dan mengangkutnya ke Pasai.
Kapal-kapal Atas Angin seperti ditolak oleh taufan hampir-hampir tak berani muncul lagi di Tuban.
Dan hanya pedagang-pedagang Tionghoa tetap tenang di pangkalan dengan kapal-kapal masing-masing. Mereka tak perlu menyinggahi Malaka. Tanpa rempah-rempah perdagangannya dengan Tiongkok berjalan terus: kayukayuan, getah-getahan, dedaunan, dari laut dan darat . Kesulitannya tetap bajak yang berpangkalan di Tumasik dan bertebaran di Laut Tiongkok Selatan. Namun tak ada yang memperhatikan mereka dalam ketenangannya.
Keprihatinan Sang Adipati tak habis sampai di situ saja. Kejahatan mulai bermunculan di sana-sini: perampokan, penganiayaan, pencurian dan pembunuhan. Kerusuhan merambat dari bandar ke kota, dari kota ke pedalaman.
Galangan-galangan berhenti bekerja. Pekerja-pekerja galangan tak dapat lagi mengharapkan upah.
Golongan pedagang besar yang semua terdiri dari Pribumi Muslim dengan cepat memindahkan kapalkapalnya ke bandar-bandar di sebelah barat. Bila mereka toh menetap di Tuban Kota, mereka berpindah kegiatan dari eksportir menjadi pedagang kebutuhan pedalaman: ikan asin, trasi, garam. Mereka tidak ikut tenggelam dalam kemerosotan besar ini. Dan dengan gagalnya penyerangan atas Malaka mereka mulai mengambil sikap membenci, memusuhi, dan menentang Sang Adipati Tuban.
Penduduk yang masih mengukuhi kepercayaan lama mengagumi kepintaran mereka dan dengan diam-diam menghormati dewa mereka. Tetapi ada juga segolongan kecil yang merasa jengkel terhadap kejayaan mereka. Penggolongan-penggolongan mulai terjadi di antara penduduk Tuban: yang membenci Sang Adipati dan yang membenci kejayaan golongan Islam. Pertentanganpertentangan lunak kadang terjadi. Lama-kelamaan yang lunak menjadi keras, yang kadang menjadi sering, dan mulut jadi gontok, dari gontok jadi bentrokan antargolongan.
Sang Adipati Tuban dapat melihat, keuletan para pedagang Islam akhir-kelaknya yang akan menjamin, Islam juga yang bakal menggantikan agama lama. Pemelukpemeluknya punya kegesitan, punya kepercayaan pada usahanya sendiri, terlepas dari karunianya, punya prakarsa dalam banyak hal. Mereka tetap dapat hidup jaya tanpa perdagangan antar-pulau dan tanpa menggarap tanah, tanpa memikul. Ia semakin mengerti mengapa banyak di antara putra-putranya dari selir, setelah sekian lama mengabdi pada Demak terus bersetia pada raja Islam di barat itu. Ia melihat kenyataan yang menggelisahkan itu: hanya kekuatan yang dijiwai oleh agama baru itu saja mampu jadi penantang dan penggempur Peranggi, sekalipun kalah. Tapi kelak"
Dewa-dewa lama akan digantikan oleh dewa-dewa baru. Seluruhnya! Tak pernah nenek-moyangnya bercerita tentang kejadian ini. Pergantian dewa-dewa! Dan dewadewa itu tak pernah beranjak dari tempatnya, tapi si manusia sendiri yang bertubrukan untuk jadi penyembahnya yang terbaik, dewa pilihan. Ia benarkan putra-putranya, dan siapa saja yang menyembah dewa baru ini.
Tetapi kesimpulan itu tidak mengurangi kekuatirannya akan marabahaya yang lebih keras: Portugis. Belum lagi raja lautan itu menginjakkan kaki di bumi Tuban, wajah Tuban sudah berubah, dari ramai menjadi lengang, kesejahteraan mulai runyam, laut pun sudah mulai jadi sepi.
Mereka yang paling terjepit dalam suasana sempit itu tak lain dari prajurit-prajurit dari gugusan Banten, para pelarian dari Malaka. Mereka ditampung dalam asrama di luar kota. Kapal-kapalnya dikerahkan oleh Sang Patih untuk melakukan pengangkutan besar-besaran rempah-rempah dari Maluku dan tiga-tiganya telah dirampas oleh Portugis di Selat Banda. Mereka tak bisa hidup hanya dengan makan dan minum.
Dan pada suatu hari, seluruh asrama itu kosong. isinya hilang-lenyap tanpa bekas.
Perwira-perwira pengawal yang dikerahkan untuk melakukan penyelidikan hanya bisa menduga, bahasa mereka telah terhasut oleh Rangga Iskak, bekas Syahbandar Tuban.
Dari persembahan-persembahan Sang Patih, Sang Adipati mengetahui dengan pasti, bekas Syahbandar itu telah menggunakan kegelisahan umum untuk mencapai maksudnya sendiri. Orang Melayu keturunan Benggala itu ia nilai sebagai banyak tingkah dan keterlaluan: ia memohon, mengeluh, memprotes, menuntut ganti kerugian. Telah ia perintahkan agar bekas Syahbandar itu meninggalkan Tuban Kota dan ditempatkannya di pedalaman, mendapat kekuasaan atas lima desa. Nampaknya ia belum juga puas. Rangga Iskak masih juga mengajukan banyak permohonan. Telah diijinkannya untuk mendirikan perguruan untuk mengembangkan agama baru itu. Masih juga ia memohon tambahan desa.
Dalam dua tahun memegang lima desa itu telah menyebabkan desa-desa tersebut mendapat kemajuan luarbiasa. Ia mengeluarkan aturan-aturan yang tak pernah dikenal selama itu, yang menyebabkan penduduk desa bekerja dua kali lipat daripada biasanya. Perumahan didirikan lebih banyak. Saluran-saluran dibangun sehingga memungkinkan perluasan sawah. Huma dibuka tanpa batas. Panen yang berlimpahan menyebabkan desa-desa yang miskin itu menjadi kaya dan sejahtera. Penduduknya menjadi patuh padanya.
Dengan kepatuhan penduduk padanya bekas Syahbandar itu mulai memperlihatkan sikap yang memusuhi Tuban.
Dengan hati prihatin ia melihat, bahwa bekas punggawa itu mengibarkan panji-panji Islam untuk memusuhinya. Ia tidak bisa menerima ini. Ialah yang membenarkan orangorang Islam itu mendapat perlindungan dari Sri Baginda Bhre Wijaya Purwawisesa. Ialah pula yang mempelopori persekutuan kerjasama dengan pedagang-pedagang Islam dari Atas Angin, mengakibatkan pembangkangan bupatibupati pesisir terhadap Majapahit dan mengakibatkan keruntuhan kerajaan Buddha Tantrayana itu. Ialah pula yang membenarkan putra-putranya masuk Islam dan berpihak pada Islam. Sekarang dengan panji-panji Islam pula seorang bekas punggawa, bekas Syahbandamya, telah mengambil sikap memusuhinya.
Agama baru, pikirnya, kepercayaan baru, dewa baru, kekuasaan baru, pengaruh baru, meriam, Peranggi semua itu dirasainya sedang mengacuhkan ujung tombak tertuju pada dirinya.
Persembahan terakhir membenarkan dugaannya: seluruh prajurit pelarian Malaka itu menggabungkan diri dengan Rangga Iskak di desa Rajeg.
Sudah berkali-kali ia memanggil putra-putranya di Demak untuk dimintainya nasihat, dan untuk jadi juru pendamai terhadap pembangkang baru ini. Tak seorang pun di antara mereka datang menghadap. Pembangkang Islam hanya bisa diredakan oleh orang Islam pula, pikirnya. Dan sekarang ia menghadapi pembangkangan dari putraputranya sendiri. Menjawab pun mereka tidak. Ia sudah sediakan alasan secukupnya, mengapa gugusan Tuban terlambat datang. Dan mereka tetap tidak muncul.
Beberapa kali ia tergoda untuk mengirimkan Wiranggaleng ke Demak karena bagaimana pun putra-putra itu harus diyakinkan. Setiap ia ingat, kepentingan Idayu juga harus diperhatikan, ia selalu membatalkannya. Ia harus memberikan kesempatan lebih banyak pada penari tanpa tandingan itu untuk menikmati hidup. Ah. Dia adalah permata Tuban yang harus dimuliakan. Desas-desus kegusarannya. Ia harus menelan kegusarannya: Sayid Habibullah Almasawa adalah satu-satu kunci baginya untuk mendapatkan perdamaian dari Peranggi dan Espanya. Maka beberapa ia ulangi peringatannya pada Wiranggaleng untuk tidak meletakkan tangan pada Syahbandar Tuban itu, biar apa pun kata orang tentang dirinya.
Dan satu hal yang selamanya ia menjadi ragu-ragu: perang. Juga terhadap Rangga Iskak tak akan dikirimkan balatentara. Setiap terjadi perang dalam negeri di Tuban akan memanggil Demak untuk menyerang. Boleh jadi Demak tidak akan dapat dikendalikan lagi oleh Semarang. Kalau dia tumbuh menjadi kuat, mungkin Semarang akan dipunggunginya, dan perjanjian dengan Ceng He dulu, bahwa orang-orang Tionghoa yang mendapat perlindungan di Lao Sam, tentu harus ia binasakan bila Semarang tak bisa mengendalikan Demak. Tapi tanda-tanda itu belum memunculkan diri lebih jelas. Memang perampasan Jepara suatu permulaan, tetapi kekalahannya di Malaka juga menyurutkan kepercayaan orang pada Demak. Hukuman itu sudah setimpal dengan kejahatannya.
Tapi Sang Adipati tak pernah berani mengakui dirinya sebagai penakut. Ia rumuskan penakutnya sebagai kebencian terhadap perang dan perang merugikan.
Dan dalam menjalankan tugas untuk mengawasi Syahbandar Tuban, pada suatu kali teg adi ini: Bulan sedang menerangi alam. Tengah malam.
Syahbandar, yang diikutinya dari kejauhan, berjalan seorang diri di bandar yang sepi itu. Ia berjubah genggang. Tongkatnya terobat-abit sebagaimana biasa bila sedang berjalan seorang diri dalam kesepian.
Hanya desau angin dan deburan ombak yang terdengar. Bahkan wanita-wanita pelacur pun tiada. Mereka telah meninggalkan daerah pelabuhan yang tak lagi menghidupi ini.
Tholib Sungkar Az-Zubaid langsung menuju ke dermaga. Antara sebentar ia menengok ke segala jurusan. Kemudian ia berhenti.
Dan Wiranggaleng yang berjalan agak jauh di belakangnya melompat ke tepi jalan, berlindung di balik sebatang pohon asam.
Dari laut sebuah biduk gemuk dikayuh orang empat. Hilang-timbul di balik puncak ombak, kemudian terayun naik di puncak air dalam kegemilangan bulan. Biduk itu menuju ke bandar. Dan orang kulit putih mendarat. Dua orang yang di biduk mengacukan senjata api ke darat. Beberapa kali Syahbandar-muda menggosok matanya, takut salah pengelihatan. Tapi pemandangan itu tidak menipu matanya. Ia dapat membedakan pakaian dua orang pendarat itu daripada kulitnya, juga membedakannya dari kulit Syahbandar. Dan jauh, jauh di tengah laut sana, sayup-sayup nampak olehnya bayangan sebuah kapal Portugis dengan layar-layar tergulung.
Ia lihat dua orang pendarat itu bicara dengan Sayid Habibullah Almasawa. Sebentar saja. Pendarat-pendarat itu kemudian turun lagi ke biduk dan mengayuh ke tengah laut lagi, menuju ke kapal.
Wiranggaleng mengingat-ingat, barangkali ia tak dengar taluan canang dari menara pelabuhan. Seingatnya canang itu tidak pernah dipukul pada waktu-waktu belakangan ini Mengapa penjaga menara itu lalai" Dan mengapa pendaratpendarat itu segera balik lagi" Ada apakah semua ini" Apakah hubungan Syahbandar dengan mereka" Dan adakah Sayid nanti mempersembahkan peristiwa ini pada Sang Patih"
Sambil menduga-duga ia tunggu Syahbandar melewati tempat persembunyiannya. Dan ia dapat menangkap gumamnya, tapi tak mengerti maksudnya, terlalu pelahan, mungkin dalam bahasa asing pula, dan desau dan seru laut itu terlalu keras.
Setelah orang itu lewat dan menuju ke Syahbandaran ia berjalan cepat-cepat menuju ke menara pelabuhan dan naik ke atas.
Didapatinya dua orang penunggu menara telah tidur nyenyak. Suatu gelombang kemarahan menyebabkan ia memandangi mereka. Dan mereka tak juga bangun.
Boleh jadi terkena bius juga, pikirnya. Dan diperiksanya persediaan makan dan minum mereka. Ia baui, ia perhatikan di bawah cahaya bulan yang kurang terang itu. Tak ada bau yang mencurigakan. Ia gagapi pundi-pundi dan saku mereka. Juga tak ada sesuatu yang mencurigakan.
Ia turun lagi. Dengan mengendap-endap ia masuk ke dalam gedung utama dan mengintip kamar kerja Syahbandar.
Orang itu sedang duduk pada meja menulis surat. Di hadapannya terbuka selembar surat yang sebentar-sebentar dibacanya sebelum meneruskan tulisannya. Tarbusnya tergeletak di atas meja, dan warnanya belum juga berubah, masih tetap bagus seperti pada hari pertama ia menginjakkan kaki di bumi Tuban.
Biar pun aku ambil surat itu, pikirnya, tak bakal ada yang bisa membacanya. Biarlah. Dan ia pun pergi pulang.
Begitu ia terbangun dari tidurnya, segera ia pergi kembali ke pelabuhan dan naik ke atas menara. Dua orang penjaga itu masih juga tergeletak dalam tidurnya. Ia tunggu sampai mereka terjaga. Matari sudah lama terbit. Perahu-perahu nelayan nampak tiada berangkat semalam. Bayang-bayang kapal Portugis sudah tiada. Matari makin meninggi juga. Dan kala sinamya mulai jatuh pada kepala mereka, mereka mulai bergerak-gerak, menggeliat, dan membukakan mata dengan malas.
Ia perhatikan mereka. Dan ia lihat tapuk mata mereka masih tergantung berat. Mereka duduk malas di geladak dengan mata belum sepenuhnya terbuka.
Ia mendeham. Mereka menggeragap dan baru menyedari adanya sepasang kaki di hadapan mereka. Diangkat pandang mereka ke atas dan tertumbuk pada mata Wiranggaleng yang tajam mengancam dan wajahnya terbuka.
Berbareng mereka menjatuhkan diri di geladak dan memohon ampun.
Keparat kalian! sumpah Wiranggaleng berang dan menyorong kepala mereka dengan kakinya. Apakah kalian kira karena tak ada kapal datang kalian boleh tidur sampai begini siang"
Ampun, Wira. Tiada sahaya berdua sengaja tertidur sampai begini siang. Wira selamanya dapati salah seorang di antara kami sedang berjaga. Ampun, Wira, ampun, ampun.
Tak ada ampun lagi bagi kalian.
Mereka mencoba mencium kaki Wiranggaleng, tetapi Syahbandarmuda itu menendangnya dengan gerakan kaki lemah.
Bukankah Wira sendiri tak pernah dapati kami tertidur berbareng seperti ini"
Justru karena keteledoran kalian, tuan Syahbandar telah hilang entah ke mana. Mungkin diculik perampok .
Ampun, Wira. Kewajiban kami bukanlah menjaga keselamatan tuan Syahbandar. Hanya di sini
Ke dua orang itu masih bersujud di atas geladak untuk mendapat pengampunan. Dan Syahbandar-muda tak juga memberikan.
Ya, tugas kalian memang meninjau kapal. Dan kalian lalai. Di mana kalian lihat tuan Syahbandar untuk penghabisan kali"
Kemarin sore masih ada di atas menara ini, Wira . Kemarin sore, desak Syahbandar-muda. Betul. Masih ada di sini, Wira. Apa diperbuatnya di sini"
Hanya bercerita tentang Ispanya, Wira. Bangun kalian! Itu saja ceritanya"
Betul, Wira. Tentang perawan-perawan Ispanya, Wira. Katanya hidungnya mancung dan kulitnya putih seperti bawang, seperti pualam. Apa pualam itu, Wira"
Siapa yang tahu apa pualam itu" Mengapa tak kalian tanyakan padanya sendiri"
Katanya lebih cantik dari bidadari orang Jawa. Alisnya hitam tebal dan matanya tenggali. Giginya putih laksana mutiara. Tidak ada yang hitam seperti gigi perempuan Jawa dan Benggala perbegu. Tak ada bidadari bergigi hitam, katanya. Hanya iblis perempuan berhitam-hitam. Buh, hitam! katanya. Ia tertawa, mentertawakan orang yang senang bergigi-hitam.
Senang benar kalian dengarkan cerita tentang perawan Ispanya.
Diperintahkannya pada kami untuk membayangbayangkan, Wira. Dan pinggulnya! katanya tuan Syahbandar, jangan sampai salah membayangkan. Rambut mereka, katanya lagi, hitam-kelam kebiru-biruan bila tertimpa sinar matari. Dan kegenitannya, Wira, katanya, kalau diputamya pinggulnya, dan gaunnya mengembang seperti cendawan, ditadahkan mukanya pada langit bila dipuji kecantikannya tak dapat orang melupakannya seumur hidup, katanya. Benarkah itu, Wira"
Tidakkah tuan Syahbandar menyuruh kalian melakukan sesuatu. Coba ingat-ingat.
Hanya membayang-bayangkan, Wira. Begini katanya, Wira: Lihat ke laut lepas sana, kalian penjaga menara celaka, pada suatu kali akan datang kapal-kapal Ispanya ke Tuban membawa perawan-perawan tiada tandingan itu, lebih cantik dari bidadari Jawa. Ayoh, lihat ke laut lepas sana! . Kami meninjau ke kejauhan dan tak ada kapal nampak. Tuan Syahbandar tertawa di belakang kami. Mengapa tertawa"
Mana kami tahu, Wira. Memang tak ada kapal. Dia perintahkan juga kami membayang-bayangkan kapal-kapal itu. Lebih megah dari kapal Peranggi, katanya, penuh dengan perawan-perawan Ispanya yang cantik. Apakah kalian tak menghendaki barang seorang" tanyanya sambil terus tertawa di belakang kami.
Apa kemudian" Kami kira dia sedang mabok tuak. Setelah itu dia turun dan pergi entah ke mana.
Kemudian kalian makan, Wiranggaleng mendakwa. Tidak, Wira. Kami asyik membicarakan bidadari Ispanya. Kemudian kalian minum.
Tidak, Wira. Kami bertikaian pendapat. Jadi kalian tak makan semalam-malaman itu" Tidak, Wira. Hanya minum.
Terlalu banyak tuak, Wiranggaleng mendakwa lagi. Tidak, Wira, tak pernah kami langgar larangan itu di sini. Kami hanya minum dari gendi, kemudian, entah bagaimana
Makanlah kalian. Tentunya kalian lapar. Melihat dua orang itu ragu-ragu, ia mendesak lagi, ayoh, makan dulu sebelum aku bawa kalian menghadap Sang Patih.
Ampun, Wira, mereka mencoba lagi untuk mencium kakinya.
Makan, kataku! perintahnya Dan setelah mereka makan makanan yang setengah basi itu, ia memerintah lagi, minum segera sebelum kita berangkat, karena Sang Patih sedang di luar kota.
Mereka minum dalam kegelisahan dan ketakutan. Tiada antara lama kelihatan tapuk mereka tergantung lagi, berat seperti hendak bengkak.
Wira, ampun, Wira, ampun, mereka bergumam berat, kemudian menggelesot tidur di geladak.
Ia mencoba membangunkan mereka. Tak berhasil. Ia tuangkan sisa air pada kepala mereka. Pun sia-sia.
Bisik-desus itu ternyata tidak keliru, pikirnya. Dan obat bius itu sungguh-sungguh cepat dan kuat bekerjanya. Ia menghela nafas dan mengucap syukur pada Hyang Widhi.
Betapa jadinya kalau Idayu dulu kubunuh" Dia telah teraniaya oleh orang lain, dan aku pun menambahi penganiayaan itu, dan menganiaya yang tak bersalah. Idayu! Idayu! Memang Syahbandar itu patut aku binasakan. Kesempatan itu akan tiba jua, Sayid. Hati-hati, kau!
Ia bergegas menuruni tangga menara. Di tengah-tengah ia berhenti. Jauh nun di tengah laut sana muncul layar salib dari sebuah kapal Portugis. Ia naik lagi ke atas. Dikocoknya matanya. Benarkah itu Peranggi dan bukan kapal Ispanya, yang Syahbandar menyuruh penjaga menara itu membayang-bayangkan"
Layar bersalib itu mengembang pada beberapa bagian dan sedang menuju ke bandar. Pasti kapal semalam. Dan sepagi ini sudah siap berlabuh. Canang menara ia pukul bertalu-talu. Penjaga-penjaga itu tetap nyenyak dalam tidurnya. Ia memukul terus sambil melihat-lihat ke bawah. Dan benar sebagaimana ia harapkan: Syahbandar turun dari gedung utama, berjalan tenang-tenang dalam pakaian kebesaran dan dengan tongkat tergantung pada lengan menuju ke dermaga.
Ia berhenti memukul melihat Syahbandar meninjau ke atas menara sambil menggantungkan tongkat pada bahu, tapi kemudian berjalan terus.
Bandar yang senyap tiba-tiba menjadi ramai. Wanitawanita berlari-larian membawa barang dagangannya menyerbu ke pasar pelabuhan, berebutan untuk mendapatkan tempat terbaik. Menyusul kemudian pedagang-pedagang pria memikul buah kelapa, ayam atau menuntun kambing atau babi, barang-barang ukiran, buah dan sayur-mayur.
Waktu canang kadipaten telah menyambut, ia turun dan segera mengiringkan Syahbandar. Matanya terpancang pada tengkuk atasannya. Kalau tengkuk itu kucengkeram, dan jari-jariku menusuk ke dalam dagingnya, dia akan meronta untuk kemudian mati terkapar sekarang juga. Dia akan mati dan tarbusnya akan terguling-guling, dan: hukuman mati akan dijatuhkan pada diriku. Pada siapa Idayu kemudian pergi" Dia akan tetap jadi anak ibunya. Syahbandar dan aku mendapat maut yang sama, sedang noda itu tetap tiada kan terhapus.
Ia belum punya kesanggupan menyelesaikan persoalannya.
0o-dw-o0 Untuk pertama kali Wiranggaleng ikut dalam iringiringan orang asing menghadap Sang Adipati. Untuk pertama kali ini pula ia melihat orang kulit putih dari dekat. Muka mereka kemerah-merahan seperti jambu bol, langkahnya panjang-panjang dan tegap, bebas bicara seorang dengan yang lain, sehingga ia tak tahu pasti mana kepala dan mana bawahan. Mereka tak melakukan sembahmenyembah. Seluruh badan dari leher sampai muka dari pergelangan tangan sampai jari-jari terbuka. Semua tertutup dan keringat nampak membasahi punggung mereka. Sebentar-sebentar mereka menyeka keringat leher dengan sepotong kain, kemudian memasukkannya ke dalam saku baju. Dan bila mereka bicara satu pada yang lain nampaknya tak mengindahkan orang selebihnya.
Berjalan paling depan adalah Martinique Lamaya. Di belakangnya lagi enam orang perwira kapal. Di belakangnya lagi Syahbandar Tuban. Paling belakang adalah dirinya.
Biasanya Syahbandar berjalan di kepala iring-iringan. Mungkin peraturan sudah berubah tanpa diberitahukan padanya. Biasanya pula Syahbandar bertindak sebagai tuan rumah. Mengapa sekarang sebagai pengiring" Dan apakah yang mereka percakapkan semalam dengan Syahbandar" Apa pula isi surat itu"
Dengan ragu-ragu ia mulai menyimpulkan: memang ada hubungan rahasia antara Syahbandar dengan Peranggi. Kalau tidak mengapa kapal berlabuh setelah semalam mengirimkan penghubung dan tidak semalam itu juga" Dan siapa yang begitu hina menyediakan diri jadi perintis hubungan ini"
Waktu iring-iringan melalui gapura, ia menyedari, kala makara gapura telah tiada. Gerbang itu sendiri seluruhnya telah berganti dengan balok-balok kayu tiada berukir. Sekilas ia teringat pada Borisrawa, pemahat dan pengukir tersohor itu. Memang sudah tak ada pekerjaan lagi baginya. Dia harus pergi meninggalkan Tuban Kota. Tak bisa lain. Mungkinkah karena kebenciannya pada Sang Adipati ia menyediakan diri jadi perintis hubungan mereka" Pikiran itu pun ia tak dapat selesaikan.
Di penghadapan hanya Wiranggaleng duduk di kejauhan.
Orang-orang asing itu semua berdiri dan bertolak pinggang dengan sepatu tetap dikenakan. Syahbandar Tuban melepas terompahnya di atas anak tangga pendopo. Dan sekarang ia berdiri di pinggiran, di tempat yang biasa ditempati Rangga Iskak. Ia kelihatan lebih bongkok dan sekali ini nampak kehilangan wibawa.
Syahbandar-muda merasa tersinggung oleh sikap tamutamu kulit putih itu. Dan mereka malah tidak membawa sesuatu persembahan.
Tholib Sungkar Az-Zubaid mempersembahkan pada Sang Adipati dalam Melayu, bahwa ini adalah untuk pertama kali Peranggi mendarat di Tuban, maka mereka belum mengenal adat-kebiasaan bandamya dan adatkebiasaan menghadap. Dengan lancar dan hampir-hampir menunduk ia memohon ampun dari Sang Adipati untuk pendatang-pendatang baru itu.
Tertutup pemandangannya oleh kaki para tamu Wiranggaleng tak dapat melihat perubahan-perubahan pada wajah gustinya. Terdengar olehnya orang-orang Portugis mulai bicara, keras, berat, dalam seakan suaranya langsung keluar dari dada. Mereka bicara pendek-pendek. Dan Tholib Sungkar Az-Zubaid menterjemahkan: Bukan maksud kami untuk berlabuh di Tuban. Kami sedang menuju ke Pasuruan atau Panarukan, tetapi sesat di jalan. Nampaknya tujuan kami masih jauh. Maka kami mengucapkan banyak-banyak terimakasih mendapat perlindungan di bandar Gusti Adipati. Berhubung salah jalan ini, Gusti, menyebabkan perhitungan kami juga salah. Tentang ini akan kami persembahkan nanti
Gusti Adipati Tuban, kami datang ke mana, ke Pasuruan atau Panarukan, atau bandar-bandar lain di Jawa, bukanlah untuk urusan kekuasaan. Siapa pun di dunia ini telah mengenal Peranggi, karena dunia ada di tangan kami. Hanya pojokan-pojokan gelap berada dalam kekuasaan lain .
Terjemahkan yang betul! tegur Sang Adipati gusar. Memang tidak sedap untuk didengar, Gusti, tambah Sang Patih juga berlebih-lebihan panjangnya. Patik telah terjemahkan dengan betul, Gusti. Martinique Lamaya bicara lagi dan Syahbandar meneruskan: Kami datang dan membutuhkan beras, sayur-mayur, gula, sapi, babi dan air. Satu real mas yang akan kami bayarkan. Mas Peranggi.
Tuan Syahbandar, tegur Sang Patih, bukankah untuk urusan kapal maka Tuan diangkat jadi Syahbandar" Bagaimana soal begini dipersembahkan pada Gusti Adipati Tuban"
Sekilas Wiranggaleng dapat melihat wajah Sang Adipati dari sela-sela kaki para tamu. Mukanya merah-padam karena tersinggung. Sebentar saja:
Syahbandar tak meneruskan terjemahannya. Juga Martinique Lamaya diam. Pendopo sejenak sunyi-senyap.
Ia merasai ada sesuatu yang tidak beres. Dalam kesenyapan itu terdengar pengiring Lamaya bicara pelan pada atasannya. Sebuah percakapan terjadi antara mereka. Dan Sang Adipati berkata dalam Jawa pada Sang Patih: Bagaimana pendapatmu, Kakang Patih"
Biarlah mereka meneruskan bicaranya, Gusti. Memang mereka belum atau memang tidak tahu adat. Rupa-rupanya mereka belum pernah belajar menghormati sesamanya, sembah Sang Patih.
Ampun, Gusti Adipati Tuban, Syahbandar meneruskan. Adapun pekerjaan patik memang mengurusi semua yang berhubungan dengan kapal dan bandar.
Maka layani tamu-tamu itu dengan baik dan penuhi kebutuhannya.
Adipati Tuban meninggalkan tempat. Dan orang-orang Portugis kembali ke pelabuhan.
Hari itu Martinique Lamaya dan semua pengiringnya menginap di gandok kanan kesyahbandaran. Wiranggaleng ditugaskan oleh Syahbandar untuk melayani.
Belum lagi selesai ia dengan pekerjaannya di jalanan orang-orang perempuan berlarian meninggalkan pasar bandar sambil berseru-seru dan memekik-mekik ketakutan. Ia tinggalkan pekerjaannya dan lari mendapatkan mereka.
Mereka mengamuk, Wira! mereka, orang-orang Peranggi itu!
Ia lari ke bandar. Dilihatnya suatu perkelahian telah terjadi antara serombongan pedagang pelabuhan dengan awak kapal Portugis. Beberapa orang Portugis lagi sedang memandangi barang dagangan penduduk. Ayam-ayam pada beterbangan dan kambing pada berlarian lepas.
Wira! Syahbandar-muda! dua orang berlarian menghampiri. Mereka merampas, mengamuk dan melukai.
Dalam Melayu Wiranggaleng berseru-seru: Peranggi, hentikan!
Begitu selesai berseru-seru ia telah berada dalam kepungan beberapa belas orang Portugis.
Syahbandar-muda bicara di bandarnya ia berseru dengan nada memperingatkan. Hentikan perbuatan kalian. Kembalikan barang-barang yang kalian rampas!
Orang-orang Portugis itu mengejek dan mentertawakannya. Kepungan makin merapat dan mereka memperlihatkan sikap hendak menyerang.
Kembali kalian ke kapal kalian. Syahbandar-muda, Wiranggaleng, sudah bicara. Kembali! Kembali! Seorang Portugis telah melayangkan tangan pada mukanya. Ia tangkap tangan ito dan dipatahkannya perbukuan lengannya. Satu pekik kesakitan melengking. Berbareng dengan itu penyerangan umum dimulai. Seorang lagi tertangkap oleh tangan besinya, ia pelintir, meraung seperti macan terkena tombak. Ia melompat sambil memukul dan menendang, mengebas dan menarik. Orangorang Portugis pun tiada kalah gesitnya. Pengeroyokan itu berjalan hanya beberapa detik. Kemudian ia sempat menangkap seseorang pada tengkuknya dan ia tukikkan, kemudian ia angkat tinggi, dibantingkannya di atas temantemannya sendiri.
Tubuhnya yang bergumpal dengan otot-otot terlatih itu nampak mengembang seperti sebuah pesawat dari baja. Ia rasai pukulan dan tendangan menghujani punggungnya. Beberapa kali kepalanya menggeleng karena terkena tetakan dari samping kiri dan kanan. Ia biarkan pukulan dan tendangan. Ia hanya hendak meremukkan seorang lagi yang dapat ditangkapnya.
Satu sambaran telah mencengkam lengan seseorang dan orang itu ditariknya dan dihantamkan lututnya pada kemaluannya. Sekaligus orang yang pingsan itu ia pegangi kedua belah kakinya dan ia putarkan jadi baling-baling untuk membubarkan kepungan.
Melihat para pengepung mundur ia lepaskan korbannya, jauh melayang dan bergedebug jatuh di pasiran bandar. Kawan-kawannya merubungnya.
Kembali! Kembali ke kapal! raung Wiranggaleng. Tangannya menuding pada kapal Portugis yang sedang berlabuh.
Mereka mengangkat temannya yang tak bangun lagi itu. Dua orang yang patah lengan berjalan meringis-ringis mengikuti dari belakang. Mereka naik ke atas kapalnya. Dan keadaan aman kembali. Lebu yang berkepulan lambatlambat mulai lenyap dibawa angin lalu.
Malam belum lagi turun dan Tuban telah mendengar segala peristiwa yang telah terjadi di pelabuhan. Bahkan lebih dari itu. Di mana-mana orang menyatakan perasaan tidak puas terhadap Sang Adipati dan Sang Patih yang telah begitu sabar menenggang Martinique Lamaya dan temantemannya. Mengapa mereka tak diusir saja" Bukankah bumi ini bumi Tuban dan bukan bumi Peranggi" Belum lagi mereka menaklukkan Tuban dan tingkahnya sudah tidak tertahankan. Betapa akan jadinya kalau kalau . Kebencian orang pada Syahbandar Sayid Habibullah Almasawa memuncak tidaklah seperti pada hari ini. Dan orang pun semakin heran mengapa saja" Dan mengapa Sang Adipati tidak juga mengijinkan dia menyarongkan kerisnya pada tubuh orang terbenci itu"
Dan suara-suara itu ditutup oleh kesimpulan: Syahbandar-mudalah orang pertama-tama yang telah mencederai orang-orang Peranggi. Wiranggaleng! Tidak lain dari Wiranggaleng! Dan di Tubanlah mereka dicederai! Di Tuban!
Lain lagi yang terjadi di kesyahbandaran. Pembesarpembesar kapal Portugis itu nampaknya tak tahu-menahu atau memang tidak ingin tahu tentang peristiwa di bandar. Salah seorang di antaranya ingin mencoba tuak.
Dan pergilah Syahbandar-muda ke warung Yakub, yang sudah penuh dikerumuni langganan, hendak minum dan hendak mendengarkan berita yang lebih baru.
Ia disambut dengan bersemangat oleh mereka. Pertanyaan jatuh bertubi-tubi. Dan ia menerangkan segala sesuatu yang ia ketahui. Mereka menyenggaki dengan: Kau benar, Wira, kau benar.
Seorang nakhoda Pribumi, yang duduk di pojokan, berdiri dan menghampiri. Berkata: Kalau orang berpikir semua akan jadi baik lagi seperti dulu karena berbaik dengan Peranggi, kita keliru, Wira, kita keliru. Keterlambatan Tuban ke Malaka tak dapat diampuni. Orang-orang Islam benar: tak dapat diampuni. Mereka mengutuk! Kalau semua tergantung pada kau, Wira, ruparupanya semua akan jadi beres.
Seorang nakhoda Pribumi lainnya menambahi: Bukan adat Peranggi menjadi baik kalau dibaiki. Dibiarkan dia merajalela, dibaiki dia jadi kurang-ajar. Dihantamlah dia baru manda, bukan Wira"
Tak biasanya dua orang nakhoda bertemu di satu warung, tegur Wiranggaleng.
Kapal kami pada berkandang di Lao Sam, Wira. Tak ada pekerjaan.
Memang Gusti Kanjeng Adipati Unus Jepara benar. Malaka harus direbut. Tanpa pangkalan di Malaka Peranggi akan sudah lemah sampai kemari, nakhoda pertama itu meneruskan. Suaranya berkobar-kobar.
Ya-ya, dan pelayaran dan perdagangan harus kembali bebas seperti dulu, Wira. Sayang Gusti Kanjeng Adipati Unus kalah walau pun benar. Dan kau juga ikut kalah, Wira. Kita semua ikut kalah, kecuali Gusti Adipati Tuban, barangkali. Itu pun tidak. Buktinya tak ada sesuatu tindakan terhadap kekurangajaran tamu-tamu itu. Berani bertaruh, pembikin kerusuhan di bandar tak bakal ditindak oleh Gusti Adipati.
Tapi hari ini kau yang menang, Wira. Kalau tidak dicegah oleh aturan, kita semua sudah binasakan mereka, Wira, nakhoda itu berkata lagi. Lihat, mereka sudah melanggar adat bandar bebas, sampai sekarang Sang Adipati tetap belum bertindak. Takut, Wira. Anak, Wira, di negeri mana pun takut menjadi bapa dari kezaliman, ibu dari kesewenang-wenangan.
Belajar dari saudagar-saudagar Islam, Wira, belajar dari orang-orang Islam, seseorang menambahi dengan gemas. Kalau tidak, celakalah kita semua.
Kalau kita mengalah dan terus-menerus kalah begini, kapal-kapal kita akan terus nongkrong tanpa muatan, tenggelam dalam kebosanan, nakhoda itu meneruskan.
Aku kira orang-orang Islam juga sudah berlaku tidak baik terhadap kita, seorang nakhoda Pribumi bukan Islam menengahi. Apakah bukan orang Islam yang merampas Jepara" Apakah bukan orang Islam yang sekarang membikin gaduh di pedalaman"
Wiranggaleng tahu, kalau percakapan ini diteruskan, orang akan bertengkar soal agama. Dan sekarang Peranggi datang membawa agama lain pula dan dengan perangainya sendiri pula. Apakah Adipati Tuban lebih baik dari semua orang dengan agamanya masing-masing" Dia pun tidak lebih baik. Patragading dan Pada telah dijatuhi hukuman mati tanpa jelas perkaranya.
Hancurkan kapal Peranggi itu, tiba-tiba seseorang membakar-bakar gemas.
Husy, cegah Syahbandar-muda. Itu melanggar amanagappa. Bagaimana jadinya kalau kapalmu sendiri dihancurkan di bandar asing" Dihancurkan tanpa sebab perang seperti tingkah Peranggi" Kalian sendiri tak suka. Dan di Tuban tidak ada perang.
Pembesar-pembesar kapal di kesyahbandaran itu patut digulung.
Lebih dari patut. Mereka sendiri yang mulai melancarkan perang. Harus dijawab, Wira. Lihat, pembesar-pembesamya purapura tidak tahu.
Pembicaraan. Matanya kelap-kelip seperti lampu menara bandar di waktu hujan, ditujukan pada setiap orang yang angkat bicara.
Husy, husy. Mana tuaknya, Yakub"
Ia menerima enam lodong bambu tuak dan memikulnya sendiri ke jurusan kesyahbandaran.
Belum lagi sampai di tempat, terdengar lagi olehnya hiruk-pikuk di jurusan bandar. Ia berhenti, menyandarkan lodong-lodong pada pintu gerbang kesyahbandaran. Dicabutnya pikulannya dan lari ke arah keributan. Juga para pelaut berlarian meninggalkan warung Yakub menuju ke sana.
Di bandar nampak hanya beberapa orang. Tiga orang Portugis sedang memukuli dua orang yang terbelenggu tangannya sambil berteriak-teriak minta tolong. Teriakan lain adalah dari salah seorang Portugis dalam Melayu: Ayoh, tambahi dengan lima babi!
Dari pakaiannya nampak, dua orang yang sedang dianiaya itu orang-orang Muslimin.
Malam itu bulan sudah bercahaya. Dan nampak orangorang yang dipukuli itu sudah berlumuran darah.
Darah Wiranggaleng tersirap. Ia tegah mereka. Dan justru karenanya pentung mereka berpindah sasaran padanya.
Lima babi! Portugis yang lain ikut berteriak menuntut. Sebentar terdengar pikulan Syahbandar-muda menangkisi pukulan. Kemudian menggeletar pekikannya: Ini yang kau pinta! pikulannya berputar menghantam tengkuk salah seorang Portugis yang paling jangkung. Ditariknya pikulan itu dan ditojohkan pada yang lain. Ia melompat dan menyerampang kaki yang ketiga. Mereka tergeletak berkaparan.
Biar kami habisi! teriak pelaut-pelaut yang pada berdatangan.
Jangan, cegahnya dan kepada dua orang teraniaya, mengapa kalian dipukuli"
Kami telah antarkan sapi ke kapal mereka. Lima ekor. Mereka tidak mau terima. Katanya sapi-sapi itu terlalu kurus. Mereka minta tambah babi lima. Bukan sedikit. Lima. Kami orang Islam, tidak berdagang babi. Kalian berdua pedagangnya"
Benar, Wira. Dan memang kurus sapi-sapi kalian"
Bukan kurus, Wira, hanya kurus-kering dan ceking, cacingan hampir mati.
Dasar rakus! Syahbandar-muda meludah ke tanah. Tiga orang Portugis itu digotong oleh pelaut-pelaut itu ke dermaga, sedang dua orang pedagang sapi yang rakus dirawat di warung Yakub.
Wiranggaleng kembali ke syahbandaran.
Pada tengah malam baru ia dapat meninggalkan tugasnya.
Dahulu pekerjaan demikian selalu dilakukan oleh upahan: Yakub dan anak-buahnya. Sekarang ia ambil-alih sendiri untuk dapat memperhatikan Tholib Sungkar Az- Zubaid dengan kegiatannya. Dan pada kesempatan ini baru ia melihat Syahbandar itu terlalu begitu merendahkan diri, hilang sikap besar yang selama ini selalu dipertunjukkannya. Ia tak banyak bicara dan lebih banyak mengangguk-angguk. Hanya bila ditanyai ia membuka mulut.
Hampir-hampir Syahbandar-muda menarik kesimpulan: ada hubungan antara atasan dan bawahan di antara mereka dengan Syahbandar. Tetapi ia belum berani meneruskan.
Baru saja ia masuk ke dalam kamar, datang pula Idayu dari dapur. Dan Gelar telah tertidur di punggungnya.
Betapa rewelnya tamu-tamu yang sekarang ini, juara gulat itu mengadu pada istrinya. Orang Peranggi pertamatama, biasa dimanjakan di mana-mana. Di sini pun mereka menganggap kita sudah taklukannya. Kurang-ajar!
Idayu tak menanggapi. Ia pindahkan Gelar dari punggung ke atas ambin. Sambil menguap ia berkata: Sudah malam, Kang.
Sudah malam" Hampir pagi. Sebentar lagi ayam akan berkeruyuk, ia duduk dan mencoba berpikir tanpa bantuan pendapat orang lain tentang kedatangan Portugis yang mencurigakan itu.
Idayu telah tertidur di samping Gelar.
Tak mungkin kapal ini singgah karena tersasar. Sebelum berlabuh mereka telah mengadakan hubungan dengan Sayid Habibullah. Juga tak mungkin datang untuk menyerang, karena hanya dengan satu kapal. Lagi pula Jawa tidak terletak pada jalan Malaka-Maluku. Benarkah tujuan mereka Pasuruan dan Panarukan" dua-duanya pelabuhan kerajaan Blambangan yang bukan Islam itu" Tetapi dari perbekalan yang dibutuhkannya, jelas bukan jarak terlalu jauh yang akan ditempuh. Mungkin benar mereka akan ke Blambangan. Tapi untuk apa" Dan untuk apa pula singgah di Tuban" Ada apa di Panarukan dan Pasuruan sana"
Ia berpikir dan berpikir.
Kokok ayam pertama mulai terdengar. Ia minum dari gendi dan duduk lagi pada tepian ambin.
Boleh jadi mereka sedang melakukan pelayaran penjajagan. Mereka sedang mengintip-intip Jepara dari kejauhan. Mereka mencari-cari berita tentang kegiatan Adipati Unus dari bandar-bandar terdekat. Dan bila mereka sudah melakukan penjajagan, pasti mereka akan menyerbu pada suatu kali orang tak memperkirakan. Kalau Jawa kalah, Peranggi akan berkuasa mutlak atas rempah-rempah Maluku tanpa saingan. Semua jalan ke Maluku dan Malaka telah jadi miliknya.
Tapi Tuban akan bertahan. Boleh jadi bukan mereka yang akan da tang ke Tuban, Tubanlah yang akan datang pada mereka di Malaka. San Adipati harus mengerti. Kesalahan yang lewat harus dibetulkan. Adipati Unus temyata benar, walaupun gagal. Sang Adipati yang salah. Orang-orang Islam semakin memperlihatkan permusuhan terhadap Sang Adipati. Dan kalau Sang Adipati tak cepatcepat mengubah sikapnya, boleh jadi Tuban akan semakin merana, mungkin sampai mati.
Gelar terbangun menangis minta minum.
Berlanjut ke bagian 13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar