"Sesuatu telah terjadi," kata tamu itu, "bagaimana pun kau harus datang!' Sebelum itu terimalah ucapan selamat untukmu. Tulisanmu yang terakhir betul-betul seruan pada kemanusiaan, menggerakkan nurani orang untuk menanggapi masalah ini secara lebih bijaksana. Dan kau yang semuda itu.....
Jadi aku berangkat juga. Sepanjang perjalanan Magda Peters berkicau tentang kebanggaannya punya seorang murid seperti aku. Dan aku sendiri merasa terhelai setelah pengalaman menggebu belakangan ini.
Tuan Direktur menerima aku dengan senyum ramah. Semua murid diperintahkan pulang. Semua guru dipanggil berkumpul. Pengadilan liar " Mengapa semua ini dilakukan hanya untukku seorang " Apa pentingnya seorang aku " Tuan Direktur membuka pertemuan, dan:
"Sudah menjadi tradisi Eropa menghargai prestasi budaya dan manusianya. Juga di atas sekeping tanah bernama Surabaya ini tradisi Eropa harus tetap dapat dipertahankan. Kita tidak akan bertanya: bagaimana manusia budaya itu " Tidak, karena itu -urusan pribadi. Dia dinilai dari prestasinya, dari apa yang dipersembahkannya, pada sesamanya."
Dan awalan itu mengantarkan pada tulisanku yang terakhir. "Mengharukan. Menyentuh nurani waras. Lebih dari itu: benar. Ternyata humanisme Eropa yang tidak dikenal dalam sejatah Pribumi Hindia sudah mulai tumbuh dalam diri Max Tol-lenaar murid para hadirin sendiri..... Minke." Aku tak tahu makna humanisme Eropa itu secara jelas."
"Sudah ada tujuh pucuk surat, dua sarjana, yang telah ada protes atas tindakan kita yang memecat Minke dari sekolah kita.
Sebelum menbatakan: orang ini harus dibantu, bukan dipecat, Bahkan harus ditempuh jalan khusus. Tuan Assisten Residen telah memerlukan datang menghadap Residen Surabaya Untuk membicarakan soal ini. Tuan Residen sendiri tak perlu menerima sualu pendapat, tetapi Tuan Assisten Residen bersedia menjadi perwalian atas Minke di H.BT.S. ini menghadap Tuan Direkktur Onderwijs, Nijverheid en Eeredierist bila usahanya tidak berhasil.
"Jadi untuk pertama kali kebijaksanaan kita mendapat ujian dan tantangan. Walau demikian bukan karena ujian dan tanta-ngan itu kita harus mengambil langkah peninjauan, tetapi karena nurani Eropa kita yang bernama humanisme, nenekmoyang dan sekaligus peradaban Eropa dewasa ini.
"Sekarang, inilah Minke, Max Tollenaar, di hadapan Sidang Dewan Guru yang terhormat. Sidang yang melakukan peninjauan kembali dan kebijaksaan baru yang harus diambil."
Seperti singa betina kehilangan anak Magda Peters mengaum, mencakar dan menerkam untuk kepentingan anaknya yang hilang. Totol kulitnya nampak semakin nyata. Matanya mengerdip lebih cepat. Akhirnya dengan suara rendah, lambat dan se-patah-patah ia menutup dengan:
"Pekerjaan pendidikan dan pengajaran tak lain dari usaha kemanusiaan. Kalau seorang murid di luar sekolah telah menjadi pribadi berkemanusiaan seperti Minke, sebagaimana dibuktikan dalam tulisan-tulisannya terakhir, kemanusiaan sebagai faham, sebagai sikap, semestinya kita berterimakasih dan bersyukur, sekali pun saham kita terlalu amat kecil dalam pembentukan itu. Pribadi luarbiasa memang dilahirkan oleh keadaan dan syarat-syarat luarbiasa seperti halnya pada Minke.
Maka usulku: hendaknya dia diterima kembali sebagai siswa untuk dapat memberikan) padanya dasar yang lebih kuat bagi perkembangannya di masa-masa mendatang."
Sidang itu, dengan aku sebagai terdakwa bisu yang tidak mengerti mengapa diharuskan menyaksikan semua ini, akhirnya menerima aku jadi siswanya kembali. Dengan ketentuan tentu, khusus: harus duduk di bangku terpisah dari yang lain-lain, dan selama di dalam dan di luar kias tidak boleh bicara dengan sesama siswa, baik karena menjawab atau bertanya.
"Bagaimana pendapatmu, Minke, setelah mendengar sendiri semua ini tanya Tuan Direktur yang nampak hendak bercuci tangan.
"Selama ada kemungkinan aku akan terus belajar sebagai; mana kukehendaki sejak semula. Kalau pintu dibuka kembali untukku, tentu akan kumasuki! Kalau ditutup bagiku, aku pun tiada berkeberatan tidak memasuki. Terimakasih atas semua susahpayah ini."
Pertemuan ini selesai. Dengan wajah angker, kecuali Magda Peters, semua guru mengulurkan tangan ucapan selamat. Guru sastra dan bahasa Belanda itu bukan main puasnya dan menganggap semua yang telah terjadi sebagai kemenangannya pribadi.
Sebagai upacara perpisahan Tuan Direktur menyerahkan padaku surat-surat dari Miriam dan Sarah de la Croix tanpa pranko.
Sekolahan sunyi. Gedung, pelataran, batu-batu kerikil H.B.S. itu telah menjadi sedemikian asing seakan baru pertama kali kulihat. Pandang para guru terasa olehku menggelitik pada punggungku. Aku berjalan langsung menuju ke bendi tanpa berpaling lagi.
"Jalan lambat-lambat," perintahku pada kusir Marjuki dalam Jawa. "Langsung ke kantor koran."
Di tengah jalan kusir itu berkata rikuh: "Sahaya lihat Ndoro begitu pucat dan kurus." "Ya."
"Mengapa tidak tetirah, Ndoro ?"
"Ya, nanti, beberapa bulan lagi' kalau sudah tammat sekolah." "Tiga bulan lagi, Ndoro ?"
"Ya. Masih harus bertahan tiga bulan lagi."
"Apa guna sekolah lagi, Ndoro, kalau semua sudah cukup r
"Ya, apa gunanya " Tapi kalau sekolah ini tak aku tammat-kan, Juki, rasanya aku takkan lulus dalam soal-soal lain."
"Ndoro sudah lulus dalam semua-mua." "Lulus bagaimana ?"
Oh, itu kata orang, hanya kata orang. Noni..... kekayaan, kepandaian, kenalan orang-orang besar, orang Belanda, bukan sembarangan........." "Begitu kata orang ?"
"Ya, Ndoro, dan begitu muda, ganteng, sebentar lagi jadi bupati...." "Lupakan, Juki, lupakan."
Di kantor 3.7V. v/d 'D. Maarten Nijman menawar aku bekerja sepenuhnya di sana kalau toh sekolah telah memecat. Pekerjaan itu akan sangat menarik, katanya, walau pun gajinya tidak banyak, hanya dua belas setengah gulden. Sebagai jawaban aku ceritakan keputusan sidang Dewan Guru sebentar tadi.
"Jadi Juffrouw Magda Peters membela Tuan dengan berkobar " Ah-ya, Magda Peters. Tuan dekat padanya ?"
"Guru paling bijaksana, Tuan."
"Hmm. Aku kira ada baiknya Tuan agak menjauh sedikit." "Dia begitu baik."
"Baik " Itu memang senjata baginya untuk menjerumuskan orang, kiraku." "Menjerumuskan ?"
"Tentu Tuan tak pernah dengar: menjerumuskan orang bisa juga dengan jalan kebaikan."
"Menjerumuskan bagaimana ?" tanyaku heran.
"Dia orang liberal fanatik, berlebih-lebihan. Dia termasuk golongan yang sibuk' dengan Hindia untuk Hindia. Pernah dengar ?" Aku menggeleng. "Dia menganggap Hindia sama dengan Nederland. Itu ciri orang liberal fanatik di Hindia ini. Dia dan golongannya tidak mau tahu tentang banyaknya pembatasan di Hindia. Celaka orang yang berani menentang apalagi melanggar pembatasan. Dan di antara begitu banyak pembatasan itu lebih banyak lagi yang tidak pernah ditulis. Memang di Nederland ada kebebasan yang utuh. Di sini sama sekali tak ada. Liberal saja tidak buruk selama orang menghormati pembatasan-pembatasan dan tidak bikin onar. Itu sesuatu yang patut Tuan i ketahui. Untung tak ada Pribumi yang jadi pengikutnya. Coba, sekiranya Tuan terlanjur jadi pengikut. Sekali orang liberal dikutuk Pemerintah tak peduli apa salahnya ~ kalau dia Totok, dia paling-paling diperintahkan meninggalkan Hindia. Kalau dia Indo, akibatnya lebih pahit, dia akan kehilangan pekerjaan. Kalau Pribumi, kiraku, dia akan kehilangan kebebasannya, disekap tanpa melalui pengadilan karena memang tak ada hukum khusus tentang itu. Nah, Tuan, hatihatilah, jangan sampai Tuan hanya kena getahnya. Negeri Tuan bukan Nederland, bukan Eropa, Hindia ini. Kalau Tuan mendapat getah itu, takkan ada seorang pun dari kelompok liberal itu dapat atau mau menolong Tuan."
"Dia guruku, Tuan Nijman, guruku sendiri."
"Lihat, Tuan Minke. Hindia Belanda ini berpedoman pada sassus. Dan sassus di kalangan atasan di Hindia ini selamanya dapat dipercaya kebenarannya. Memang sudah ada sassus tentang Juffrouw Magda Peters. Tuan sudah begitu banyak mendapat kesulitan belakangan ini. Jangan ditambah, Tuan." Ia bercerita panjang dan sopan tentang kegiatan kaum M " ia dengan nada menolak, menyalahkan. Pada suatu bagian malah menuduh: mereka hendak mengubah keadaan Hindia yang sudah mantap, sudah tertib, aman, sentausa, dengan rakyatnya mendapatkan perlindungan cukup dalam mencari makan seharihari.
"Dan, Tuan, di bawah kekuasaan raja-raja Pribumi, rakyat Tuan tidak pernah mendapat keamanan dan kesentausaan, tidak mendapat perlindungan hukum, karena memang tidak ada hukum. Kurang baik apa Pemerintah Hindia Belanda " Orang-orang liberal itu memang mempunyai impian aneh tentang Hindia....." "Tapi mereka itu orang-orang Eropa juga," kataku.
Dalam perjalanan di atas bendi terbayang olehku betapa ruwetnya keadaan oleh banyaknya pertentangan. Sekarang tambah dengan Totok kontra Totok. Belum lagi dengan bangsa-bangsa Timur Asing lain. Sedang Maarten Nijman juga menghendaki kemanusiaan, tetapi ia menolak liberalisme. Ternyata semakin banyak bergaul semakin banyak pola persoalan, yang sebelumnya tak pernah kubayangkan ada, kini bermunculan seperti cendawan.
Nijman telah memperingatkan agar aku bersiap-siap di ma-sakini demi masadatang. Dan di masadatang itu, katanya, bisa jadi Magda Peters sudah harus meninggalkan Hindia. Kemungkinan bukan saja ada bahkan terlalu besar. Sassus yang telah san-tar yang jadi petunjuk. Sebelum peristiwa itu terjadi sebaiknya aku menjauhkan diri, katanya. "Magda Peters hanya diharuskan meninggalkan Hindia, tapi Tuan bisa mendapat tempat yang harus Tuan diami."
Nijman memang tidak mau menerangkan apa saja pembatasan itu. Baik. Akan kucoba bertanya pada siapa saja yang sanggup menjawab. Setidak-tidaknya semua ucapannya bisa mengandung kebenaran bila pembatasan-pembatasan itu memang ada dan nyata.
Di rumah keluarga T&linga telah menunggu surat Bunda, dan sebagaimana galibnya tertulis dalam bahasa dan huruf Jawa.
"Gus, semua orang menjadi prihatin mengikuti halmu dari koran. Kau anakku yang jantan. Hanya itu yang membesarkan hatiku. Tentang halmu sendiri kaulah sendiri yang harus selesaikan. Jangan lupa pesan Bunda ini: jangan lari! selesaikan persoalanmu secara baik. Kan kau masih ingat " Kalau kau sampai mensia-sia sekolah dan pendidikanmu, karena hanya seorang kriminil saja anakku. Kau menyukai anak Nyai Ontosoroh. Teriah. Kataku: Jangan lari dari persoalanmu sendiri, karena itu adalah hakmu sebagai jantan. Rebut bunga kecantikan, karena telah disediakan untuk dia yang jantan. Juga jangan jadi kri-m,n" dalam percintaan - yang menaklukkan wanita dengan gemerincing ringgit, kilau harta dan pangkat. Lelaki belakangan ini adalah juga kriminil, sedang perempuan yang tertaklukkan hanya pelacur.
"Aku dengar dari omongan orang yang membaca koran Belanda: kau sekarang sudah jadi pujangga. Aduh, Gus, mengapa kau menggubah dalam bahasa yang Bunda tak mengerti " Tulis-lah, Gus, kisah percintaanmu, dalam tembang nenek-moyangmu, pangkur, kinanti, durma, gambuh, megatruh, biar Bunda dan seluruh negeri menyanyikannya.
"Jangan risaukan Ayahandamu, beliau punya tembangnya sendiri...." Ah, Bunda tersayang. Betapa diri harus sayangi kau! Kau tak pernah menghukum aku, tak pernah mengadili putramu ini. Sejak kecil kau tak pernah sekali pun mencubit aku. Sekarang kau tak salahkan hubunganku dengan Annelies. Kau pinta aku menulis Jawa, bahasa yang bisa kau ucapkan dengan lidahmu. Betapa aku telah kecewakan kau, Bunda, karena aku tak punya kemampuan menulis dalam tembang Jawa. Irama hidupku membeludak begini, Bunda, tak tertampung dalam tembang nenek-moyang.
Hubunganku dengan Bunda dirusak oleh Mevrouw Telinga dengan rengekannya yang biasa:
"Bagaimana ini, Tuanmuda, bisa besok tak berbelanja..... dan itu berarti paling tidak harus dikeluarkan setalen dari kantong.
Di rumah Jean Marais kudapatkan May sedang tidur di kamarnya, di atas sebuah ambin yang kini sudah berkasur baru, hanya tidak bertilam. Jean sendiri sedang termenung. Bengkel di belakang rumah agak sunyi.
"Jean, mulai besok kau bisa melukis Mama. Sebaiknya dilakukan sewaktu ia mengerjakan surat-menyurat di kantor. Besok aku mulai masuk sekolah lagi. Sementara ini May bisa tinggal di sana selama kau melukis."
"Aku akan datang, Minke." suaranya masih terdengar sunyi-"Sebenarnya sekarang ini aku segan melukis."
"Kau sendiri yang dulu menghendaki."
"Dia begitu kuat, Minke. Pribadinya sangat kuat. Memang aku mengagumi dia juga, lebih-lebih dalam sidang Pengadilan itu. Seorang yang tabah dia itu, punya konsepsi. Aku bisa tenggelam di hadapannya."
Aku pandangi dia tenang-tenang. Apa dia bermaksud mengatakan: telah jatuh cinta pada Mama " hanya tidak ada sarana padanya untuk menyampaikan " Lelaki Prancis itu tak meneruskan kata-katanya.
"Kau pernah menderita karena cinta, Jean ?"
Ia mengangkat kepala dan tersenyum. Membalas bertanya:
"Pernah kau dengar riwayat pelukis besar Prancis Toulouse-Lautrec " Lukisanlukisannya abadi menghiasi istana Louvre ?"
"Tentu saja tidak."
"Sebenarnya dia telah mencapai segala dalam hidupnya." "Mengapa, Jean ?"
Ia tersenyum ajaib dan tak mau meneruskan.
Dalam keadaan masih menguap-nguap May menggel"ndot di pangkuanku. "Mandi, May. Mari ke Wonokromo. Besok pagi berangkat ke sekolah denganku lagi." "Naik bendi dari Wonokromo ?" tanyanya dengan mata menatap ayahnya. Jean Marais mengangguk membenarkan.
"Kau juga, Jean. Tak usah besok. Mari sekarang saja."
Kami bertiga berangkat. Bendi itu terlalu sesak. Marjuki sudah sejak semula menyatakan keberatannya. Hanya sekali ini saja, kataku menghibur. Dan di malam hari, di bawah kesaksian Jean Marais, diputuskan: Aku dan Annelies akan segera menikah setelah aku lulus ujian H.B.S.
Dunia dan hati damai bersalaman.
18. PESTA LULUSAN ITU ADALAH JUGA PESTA DALAM PESTA Tiga bulan lamanya aku hanya belajar dan belajar Tidak menulis Tidak bekerja" Belajar dan belajar, Sementara itu aku nilai kehidupanku telah pulih seperti sediakala
Pesta lulusan akan membikin aku tak lagi di kucilkan dan teman-teman. Diri akan kembali jadi bagian dan mereka sekali pun hanya untuk waktu pendek. Pendek ya, namun penting sebelum kami berpisahan memasuki kehidupan tanpa batas. Para orangtua dan wali murid telah duduk berbanjar, semua: Totok, Indo, beberapa orang Tionghoa, dan tak Pribumi barang seorang pun.
Mama menolak hadir, maka aku datang bersama Annelies.
Dan inilah untuk pertama kali dalam hidupnya ia keluar ruman untuk menghadiri pesta. .Ia bergaun beledu hitam kesayangan, berkalung mutiara tiga lingkar dengan medalion gemerlapan dengan berlian. Juga gelangnya. Aku tahu benar: ia telah menandingi Sri Ratu dalam kecantikandan permunculannya.
Aku sendiri, seperti para siswa lain yang akan menerima ijasah, berpakaian serba putih seperti pegawai negeri, hanya, tidak berbuahbaju kuningan bergambar huruf W.
Kami berdua memasuki aula pesta disambut oleh Magda Peters yang berpakaian resmi. Dan ia begitu bersemangat menyambut Annelies, dan:
"Primadonna! Kaulah ratu pesta ini." Di bawah kesaksian orang banyak Annelies tak menolak dibawanya menuju 'ke tempat duduk para hadirin. Para siswa laki dan perempuan memerlukan menoleh mengikut" sri ratuku. Tahulah mereka sekarang: dunia ini telah menjadi kerajaanku, kurebut bukan tanpa perang-tanding. Aku caricari Robert Suurhof untuk tak memberinya kesempatan menyembunyikan muka. Yang nampak justru Jan Dapperste yang melambaikan tangan. Aku balas dengan anggukan.
Duduk di kursi begini aku teringat pada Bunda. Betapa indah sekiranya semua ini ia saksikan: putra kebanggaan akan menerima ijasah lulus H.B.S. Wanita mulia itu tidak hadir. Dan aku rasai adanya kekosongan dalam kebesaran dan keriangan ini. Dengung seluruh ruangan padam. Wilhelmus menggema dalam kesertaan manusia dan kesaksian Triwarna, pita dan bendera. Kemudian Tuan Direktur bicara pendek mengucapkan selamat pada para pelulus, dan selamat jalan menempuh hidup gemilang di dalam masyarakat, mendoakan sukses yang sebesar-besarnya dalam pergaulan hidup mendatang. Kepada yang hendak meneruskan di Nederland untuk kelak mengikuti kuliah ia menyampaikan selamat belayar, berdoa agar menjadi sarjana yang baik dan berguna untuk Nederland dan Hindia dan Dunia. Tuan Inspektur Pengajaran Eropa tidak ikut bicara.
Sekarang acara memasuki pemanggilan para pelulus yang telah lolos dari ujian negara 1899. Para guru telah berbaris di belakang Tuan Direktur. Sunyi-senyap dan tegang.
"Pada penutup tahun pengajaran ini, mendekati tutup abad sembilan belas pula, di antara empat puluh lima orang siswa yang maju dalam ujian negara untuk seluruh Hindia, pelulus nomor satu jatuh pada H.B.S. Batavia. Di antara mereka sebelas orang dinyatakan tidak lulus dan diharapkan mengulang pada tahun depan. Pelulus kedua jatuh di Surabaya, yang berarti pelulus nomor satu untuk Surabaya." Hadirin bersorak menyambut.
Aku menduga setiap siswa berdebaran membayangkan diri sebagai yang nomor dua untuk seluruh Hindia dan nomor satu untuk Surabaya. Aku senciiri sudah lama mengimpikannya.
"Pelulus nomor dua untuk seluruh Hindia, nomor satu untuk Surabaya, siswa bernama ...... Minke."
Aku gemetar. Tak pernah aku duga. Dan memang tidak terpikirkan oleh seorang siswa Pribumi boleh berada di atas anak Eropa. Yang demikian tabu di Hindia Belanda mi.
"Minke!" panggil" Tuan Direktur. , .
Aku masih juga belum kuat berdiri. Dua orang siswa cn samping-menyampingku memaksakan diri menolong aku bangun.
"Minke!" panggil Magda Peters sambil melambai.
Berdiri juga aku den|an kaki goyah. Sudah pasti semua melihat keadaanku yang mengibakan itu. Tak ada kudengar orang bertepuk lagi sebagai pernyataan suka. Hanya karena vang terpanggil anak Pribumi. Para guru pun tidak. Ada tepukan tangan lemah. Mudah menebak: Juffrouw Magda Peters. Mungkin juga Annelies tidak bertepuk, karena memang tak pernah memasuki pergaulan semacam ini. Malah mungkin ia diam terlongok-longok di kursinya anak tak punya pergaulan itu seperti anak gunung. . .. , , .'.
Aku naik ke panggung dan menerima ijasah dan ucapan selamat. Tangan yang menerima masih gemetar kentara.
"Tenang, Minke," Tuan Direktur berbisik.
Lambat-lambat aku berjalan kembali ke tempat duduk semula, diiringi tepuk tangan lemah para guru, kemudian diikuti juga oleh beberapa siswa, kemudian juga oleh sebagian hadirin.
Lima nomor setelah aku adalah Robert Suurhof. Terakhir Jan Dapperste. Waktu yang belakangan ini kembali di tempatnya dari tempat duduk para hadirin Pendeta Dapperste, seorang Totok, menyambutnya dengan pelukan mesra. Juga istri pendeta itu. Kalau Annelies mengerti ia pun akan berbuat demikian. Ia tak melakukannya. Pesta lulusan dimulai. Siswa kias satu dan dua akan memainkan sandiwara yang diambil dari cerita Alkitab, berjudul Daud dan Bathseba, konon susunan seorang guru.
Hadirin dan lulusan kini duduk berbaur jadi satu. Annelies di sampingku. Sebelum sandiwara dimulai Tuan Direktur memerlukan menghampiri kami berdua untuk menyampaikan tilgram dari B.: ucapan selamat lulus ujian Negara sebagai nomor dua dari Miri-am, Sarah dan Herbert de la Croix. Ternyata mereka tahu lebih dahulu daripada aku sendiri, yang berkepentingan. Tuan Direktur dengan ramah menyalami Annelies. Biar begitu hatiku waswas jangan-jangan ia akan melancarkan penghinaan terang-terangan atau pun tersembunyi. Tapi tidak, ia tidak menghina. Nampaknya ia menyalami dengan tulus.
"Tuan Direktur, sudikah Tuan meluluskan bila kami berdua mengundang Tuan, para guru dan para siswa menghadiri pesta perkawinan kami pada Rebo mendatang " Pada jam tujuh sore
Begitu cepat ?" sekali lagi ia menyalami kami. Annelies menyambut salam itu dengan sikap dingin. Dan dapat difahami sepenuhnya mengingat keterangan Dokter Martinet.
Jabatannya padaku diguncang-guncangkan karena sukacita, kemudian bertepuk riang, sehingga orang-orang menengok pada kami.
"Boleh sebentar nanti diumumkan ?"
"Terimakasih, Tuan, tentu saja, sebagai undangan resmi se-cara lisan. "Mengapa tidak ada undangan tercetak ?"
"Kuatir, Tuan, pengalaman yang sudah-sudah.....
Magda Peters yang duduk mendengarkan juga menyalami tanpa komentar. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Setidak-tidaknya kedipan matanya tidak cepat. Tuan Direktur pergi lagi. Dari panggung diumumkan akan dimulai babak pertama. Lambat-lambat layar dibuka. Terkirai pemandangan alam berbatu-batu tempat nanti (barangkali) Bathseba mandi dan nampak tubuhnya oleh Nabi Daud. Tapi Bathseba tak juga muncul sekali pun layar telah terbuka seluruhnya. Apalagi Nabi Daud. Orang mulai memanjangkan leher mencari-cari si cantik Bathseba. Yang muncul justru Tuan Direktur di tengah-tengah batu-batuan, tersenyum sambil melepas lorgnet. Seluruh ruangan pecah dalam tawa gelak. Tak bisa lain, Tuan Direktur juga ikut tertawa meringis. Maka 'Daud tanpa jubah tanpa destar tapi berlorgnet itu terpaksa minta" maaf pada para hadirin, karena ia harus melakukan sesuatu sekarang ini. Bila dilakukan pada akhir pertunjukan, tentu akan mengurangi nilainya. Kemudian ia meneruskan undangan kami.
Sorak sambutan ragu menyusul.
"Ada pun undangan yang bukan guru dan bukan siswa dan bukan lulusan, ternyata tidak ada."
Terdengar derai tawa. "Bagi mereka yang takkan sempat hadir, mungkin karena akan segera pulang ke negeri masing-masing, atau karena sudah punya acara, atas nama mereka semua sebagai direktur H.B.S. Surabaya aku ucapkan selamat pada mempelai mendatang dan mendoakan hidup berbahagia untuk selamanya. Terimakasih." Dan ia turun dari panggung, berpapasan dengan Bathseba yang sedang mengintip dari balik sebleng.....
Pesta perkawinan yang direncanakan akan sederhana diubah menjadi besar karena undangan mendadak dalam pesta lulusan. Nyai setuju. Ia gembira mendengarkan lapuran Annelies bagaimana undangan itu disampaikan.
"Pesta ini juga untuk merayakan kemenanganmu dalam an Nak. Dengan cobaan sebanyak itu, namun kau lulus dengan gemilang. Semua cobaan kau atasi." , Beberapa hari sebelum upacara pernikahan Bunda datang sebagai satu-satunya wakil keluargaku. Nyai menyambutnya dengan gembira seakan mereka berdua sudah lama kenal dan bersahabat. Segera ia jatuh sayang pada Annelies, calon menantunya Seakan ia tak dapat jauh lagi dari tempat calon pengantin itu dan tak bosan-bosan terlongok mengagumi kecantikannya.
"Ya, Dik," katanya pada Nyai, calon besan, "bocah koq begini ayu'seperti Nawangwulan. Barangkali lebih cantik dari Ba-nowati. Ya Allah, Dik, tidak kusangka tidak kunyana Adik mau mengambil anakku jadi menantu. Dunia-akhirat takkan kulupakan, Dik....,...."
"Ya, Mbakyu, mereka sudah sama-sama suka. Hanya ampuni sahaya, karena anak ini tidak berbangsa, berasal dari....."
"Ah, Dik, kalau gadis sudah begini cantik, segala sudah ada padanya." Di malam hari Bunda berbisik padaku:
"Gus, baik benar peruntunganmu, dapatkan istri secantik itu. Di jaman leluhurmu, perempuan seindah itu bisa terbitkan perang bharatayuddha."
"Apa Bunda kira sahaya tidak berperang untuk bisa mendapatkannya ?" "Ya-ya-ya, kau benar, Gus, dan memang dengan kemenangan gemilang." .. Kami dinikahkan secara Islam. Darsam bertindak sebagai saksi dan Annelies diwali oleh seorang wali hakim. Itu terjadi pada jam sembilan pagi tepat. Sesuai dengan kebiasaan, dan seiring dengan perasaan terimakasih, kami berdua melakukan sembah dan sujud pada Bunda dan Mama.
Mereka berdua menangis bercucuran menerima sembah dan sujud kami dan merestui kami berdua dengan ucapan terputus-putus. Juga Annelies menangis. Mungkin dirasainya kekurangan karena tiadanya seorang ayah yang semestinya ikut berbahagia pada hari kebesaran itu. Mungkin.
Bunda dan Mama saling meletakkan tangan di atas bahu, berpandangan dengan mata basah, berpelukan. Haruan, perasaan manusia yang murni, airmata. Juga haruan adalah kesakitan, nyeri pada pedalaman, karena orang bertemu dengan kelahirannya sendiri sebagai manusia, telanjang bulat dari segala kesea-kanan dan peradaban.
Kenduri kecil menyusul. Setelah itu pesta sesungguhnya.
Bagi penduduk kampung-kampung perusahaan perkawinan kami menjadi hari pesta besar Lapangan penjemuran padi dan palawija berubah jadi bedeng-bedeng besar. Semua mendapat liburan dengan upah penuh. Para pekerja ternak yang tidak boleh meninggalkan pekerjaannya mendapat upah tiga kali lipat. Lima ekor sapi jantan muda dipotong Tiga ratus ayam menemui ajalnya. Dua ribu dua puluh lima telur semua produksi sendiri ditumpahkan ke dapur. Seluruh kereta perusahaankah pun tak dipergunakan, dihias dengan aneka kertas berwarna
Belum pernah penduduk Wonokromo menyaksikan pesta perkawinan sebesar ini. Annelies pernah bercerita padaku: Mama akan keluarkan apa saja yang dipintanya untuk keperluan pesta ini. Dan katanya juga: ia ingin melihat sebanyak-banyak orang ada di sekeliling anaknya, dan ikut bergembira dengannya. Maka ia takkan menyesal seumur hidup.
Baik Annelies mau pun Mama tidak menghendaki sesuatu maskawin. Apa yang kami harapkan " kata Mama, Annelies telah mendapatkan segala dari calon suaminya. Kalau toh diharuskan ada maskawin, kata Annelies, ialah sesuatu yang belum kudapatkan dari dia : janji setia selama hidupku. Dan aku telah memberikannya pada akad nikah.
Pada jam lima sore pintu kamarku diketuk dari luar. Jan Dapperste masuk. Ia berpakaian bagus dan bersih sekali pun dengan potongan lama.
"Minke, maafkan, aku datang terlalu pagi. Sengaja lebih dulu untuk ikut membantubantu," ia terus duduk seakan tak pernah mengenal kursi selama lima belas tahun belakangan ini. Uengan nada keluh ia meneruskan, "Kau memang anak Mei, kau dapatkan segala yang kau kehendaki. Sukses kau dapatkan dan segala usahamu. Beberapa tahun lagi tentu kau akan iadi bupati."
"Bicaramu seperti anak sial meratapi peruntungan."
"Kau tidak keliru. Aku telah lari dari Papa dan Mama. Waktu kapal berangkat menuju ke Eropa, aku melompat, berenang ke darat."
"Bohong. Pakaianmu begitu bagus."
"Pinjaman dari teman luar sekolah." "Orang pada ingin ke Eropa. Hanya kau tidak."
"Ke Eropa hanya singgah, seterusnya ke Suriname. Minke, memang kelakuanku tidak patut. Anak pungut tak tahu di untung ini..,...."
"Barangkali sudah lebih tiga kali kudengar umpatan diri sepertl itu, "Maafkan terutama pada hari kebahagiaanmu ini. Sebenarnya tidak patut. Maafkan" Bantulah aku, Minke. Aku tak ingin keluar dari Jawa. Aku bukan Belanda, bukan Indo. "Sudah sering kudengar."
"Ya. Dan lebih dari itu tak pernah merasa senang bernama Dapperste ." Keluarga Pendeta Dapperste tak punya anak. Ia dipungut mereka sejak kecil, dibaptiskan dan ditambahkan nama kelua ga mereka Dapperste, pada namanya. Sejak itu ia bernama Jan Sanperste Nama sebelum itu ia tak tahu. Tuan Pendeta telah berusaha mengambilnya sebagai anak adopsi melalui Pengadilan. Usahanya"! akpernah berhasil, karena hukum perdata Belanda tidak mengenal adopsi. Maka namanya tinggal hanya nama yang diakui hanya oleh masyarkat, tidak oleh Hukum. "Sejak kecil aku anak penakut. Kau sendiri tahu. Nama Dapperste itu sungguh jadi siksaan terus-menerus."
Ya semua teman sekolah tahu itu. Bahkan orang mengubah Dapperste jadi Lafste" - Jan de Lafste. Dan kalau ceritanya benar hanya untuk membebaskan diri dari nama yang menyiksa ia telah berubah jadi pemberani: menceburkan diri ke laut dan melarikan diri dari orangtua pungut. Aku masih tetap kurang percaya. . "Jadi tinggal pada siapa kau sekarang g tanyaku. "Menginap di sana-sini. Dengan ijasah H.B.S. aku ingin bekerja di sini, di Surabaya. Hanya sialnya, Minke, pada ijasahku ada nama Dapperste^ Apa untuk seumur hidup harus kujunjung-junjung nama ini ?"
"Kau bisa rubah namamu."
"Ya, aku tahu. Sudah setahun ini aku mencari-cari keterangan bagaimana caranya." "Bagaimana caranya ?"
"Mengajukan surat, Minke, pada Residen. Dia akan meneruskan pada Gubernur Jendral." "Mengapa tak kau lakukan ?"
Ia pandangi aku dengan mata bodoh, seperti bukan lulusan H.B.S. Ia berkecap dan berpaling muka.
"Tak bisa " Kan ada contoh-contoh surat resmi
"Meterainya Minke terlalu mahal, untuk bisa bebas dari nama ini. Surat Permohonan saja bermeterai satu setengah gulden. Untuk surat ketetapan yang aku butuhkan harus bermeterai satu setengah gulden lagi. Aku sudah pikir dan pikir timbang dan timbang.........
"Mengapa tak kau lakukan juga ?"
"Masa kau tak mengerti, Minke " Dari mana uane tiga gulden " Belum lagi pranko ?" "Mengapa tak bilang saja kau bingung tak ada biaya " Kan itu lebih mudah" "Maaf, sungguh memalukan bicara seperti ini pada hari kebahagiaanmu."- "Kan kau tak menyesali kebahagiaanku ?" "Sama sekali tidak. Aku ikut bersyukur dengan setulus dan sejujur hatiku."
"Kalau begitu mari berbahagia bersama aku." "Itu sebabnya aku memperlukan datang."
"Dengar, Jan, setelah pesta ini Mama akan memperluas perusahaan, hendak mencoba di bidang rempah-rempah. Kau bisa belajar kerja di situ. Suka, kan " sambil menunggu datangnya surat ketetapan ?"
"Terimakasih, Minke. Kau selamanya baik dan pemurah. Sayang surat ketetapan harus diawali dengan surat permohonan dulu itu pun belum lagi dibuat." "Perusahaan baru itu akan dipimpin oleh seorang Indo, van Doornenbosch. Nanti kuperkenalkan kau padanya. Nantilah semua aku urus sendiri." Ia pegang tanganku. Kepalanya menunduk dalam. Ia tak bicara.
"Jangan diam saja. Bicaralah selama aku masih ada waktu," "Terimakasih, Minke. Itu belum lagi semua Kau sendiri dapat mengikuti ceritaku. Penginapanku. Mmke, barang seminggu dan biaya mondar-mandir ke Surabaya selama itu. Bunda masuk untuk mempersiapkan riasku Wanita mulia itu telah berjuang untuk merebut tugas mi. Tak boleh orang lain merias putra kebanggaannya pada waktu marak jadi, pengantin .Pada tangan kanan ia membawa kopor kertas dan pada tangan kiri kranjang berisi bunga-bungaan, lepas dan untaian. Ia ragu melihat Jan Dapperste yang menatapnya dengan pandang melecehkan. , "Bundaku, Jan, kataku.
Baru teman itu tersenyum terpaksa dan membungkuk menghormat. "Bunda tak berbahasa Belanda," kataku memperingatkan.
Dan Jan Dapperste mulai bicara Jawa kromo dengan fasih. Aku tercengang juga melihat itu. Dan kuterangkan pada Bunda, ia teman selulusan, anak seorang pendeta. "Bekas anak pungut seorang pendeta," ia membetulkan. "Nak, ibu hendak merias anakku ini. Maafkan." "Mari, sahaya bantu, Ibu."
"Beribu terimakasih, Nak, jangan. Ini pekerjaan Ibu yang terakhir untuk anaknya. Harus sahaya lakukan sendiri. Sudi kiranya anak pindah ke tempat lain. Jan menatap aku dengan mata berteriak-teriak minta tolong.
Aku tahu ia mengantuk. Lebih dari itu: lapar. Aku sudah hafal kelakuannya. Kuambil secarik kertas dan kutulis surat perintah untuk Darsam supaya mengurusnya. "Carilah Darsam," ia terima surat itu dan pergi.
Lampu gas kamarku sudah bisa kunyalakan, pertanda jam enam tepat. Sentral gas, yang diurus sendiri oleh Darsam, terletak di sebuah rumah batu kecil di belakang gedung, sudah dipompa. Kamar menjadi lebih terang.
Bunda menggosok muka, leher, dada, dan tanganku dengan cairan yang aku tak tahu namanya.
"Di jaman dulu," Bunda memulai seperti semasa aku kecil dulu, "negeri-negeri akan berperang habis-habisan untuk mendapatkan putri seperti menantuku, mbedah praja mboyong putri. Sekarang keadaan sudah begini aman, tidak seperti aku masih kecil dulu, apalagi semasa kecil nenekndamu. Orang bilang; semua takut pada Belanda maka keadaan jadi lebih aman. Memang Belanda ini tidak sama, berbeda dari nenek-moyangmu. Biar Belanda ini sangat, sangat berkuasa, mereka tidak pernah merampas istri atau putri orang seperti raja-raja nenek-moyangmu dulu. Ah, Nak, kalau kau hidup di jaman itu kau harus terus-menerus turun ke medan-perang untuk dapat tetap memiliki istrimu, bidadari itu. Boleh jadi lebih cantik, Gus. Pipinya, bibirnya, keningnya, hidungnya, malahan kupingnya, semua seperti lilin tuangan, dibentuk sesuai dengan impian manusia. Betapa bangga aku dapatkan menantu dia, Gus. Kau telah bikin aku berbahagia begini rupa." "Dia, Bunda, menantu Bunda itu, terlalu kurang jawanya." "Kan kau sudah senang padanya " Senang pada mulanya, Gus, setelah itu kau akan terus waspada, anak secantik itu, secantik itu..... para dewa pun takkan berdiam diri. Bunda masih terus mengurus badanku juga terus bicara dan bicara "Beruntung kau tak perlu berperang terus menerus seperti nenek-moyangmu." "Bunda."
"Aduh, kalau bisa aku boyong menantuku ke B, Gus, seluruh negeri akan keluar dari rumah untuk mengelu-elu, Bagaimana " Kalian ke B tidak nanti.
"Tidak, Bunda."
"Ya-ya, aku mengerti, Gus. Jadi Bunda selain mengalah berkunjung kemari untuk melihat kau, menantu dan cucu.
"Ayahanda yang akan berkeberatan, Bunda"
Stt, diam kau, Jadi kau larang istrimu dipangur " Kau tak jijik nanti melihat giginya ada yang runcing "
"Biar gigi istri sahaya tetap yang asli, Bunda." Seperti gigi Belanda, seperti gigi raksasi tidak dipangur
Mengapa Bunda gosok sahaya begini seperti sahaya tak pernah mandi ?" "Husy. Pada hari perkawinanmu aku ingin lihat kau seperti anak dewa. Biar tak ada sesalan lagi untuk hidupmu dan hidupku selanjutnya."
"Apa guna seperti anak dewa ?"
"Husy. Bukan untuk kau sendiri maka kau harus seperti anak dewa. Pada hari perkawinan seperti ini semua leluhurmu akan datang menyaksikan dan merestui. Juga Bunda ini kelak kalau anakmu kawin. Tak mungkin kulewatkan kesempatan melihat keturunanku. Coba. bagaimana akan rasa hatiku, bila nanti melihat cucuku naik ke atas puadai pengantin bukan seperti satria Jawa " Apa akan kataku nanti kalau sudah mati, melihat cucuku ternyata bukan Jawa, hanya karena kurang urus dari orangtuanya ?"
"Apa leluhur orang Belanda juga datang menghadiri perkawinan keturunannya, Bunda ?"
"Husy. Mengapa kau urusi orang Belanda " Kau belum lagi cukup Jawa, belum cukup patuhi leluhurmu sendiri. Coba, kata orang kau sudah jadi pujangga. Mana tembangtembangmu yang dapat kunyanyikan di malam-malam aku rindukan kau " "Sahaya tidak dapat menulis Jawa, Bunda."
"Nah kalau kau masih Jawa, kau akan selalu bisa menulis Jawa Kau menulis Belanda, Gus, karena kau sudah tak mau adi Jawa laS Kau menulis untuk orang Belanda Mengapa kau ndahkTn benar mereka " Mereka juga mmum dan makan dan bumi Jawa Kau sendiri tidak makan dan dan bumi Belanda. Coba, mengapa kau indahkan benar mereka "
"Sahaya, Bunda "Apa yang kau sahayakan " Nenek-moyangmu dulu raja-raja Jawa itu, semua menulis Jawa. Malu kiranya kau jadi orang Jawa " Malu kau tidak jadi Belanda " Dungulah aku bila menjawabi kata-kata Bunda yang diucapkan denian lemah-lembut namun
terimbangi itu. Ya-ya, semua menuntut dan diriku. Juga Bunda sekarang ini. Bunda tahu dan aku pun tahu, aku takkan menjawab. Ia lebih banyak bicara pada nenekmoyangnya unUikjsudi mengampuni aku, anak kesayangannya. Nenek-moyang tak boleh murka padaku. Ah, Bunda, Bundaku tercinta, ibu yang tak pernah memaksa aku, tak pernah menyiksa, biar satu cubitan kecil pun, tidak dengan kata, tidak pula dengan jari.
"Nah, kenakan kain batik ini. Sekarang. Telah Bunda batik-kan sendiri untukmu buat kesempatan ini. Bertahun lamanya aku simpan dalam peti khusus, setiap minggu ditaburi kembang melati, Gus. Setelah aku dengar cerita orang dari suratkabar tentang jalannya sidang itu, segera aku sucikan kain ini, Gus. Satu untuk kau, satu untuk menantuku. Coba periksa batikan Bunda ini, dan cium, harum melati bertahun itu." Jadi aku periksa kain batik itu dan kucium: "Indah, Bunda, luarbiasa. Harum. Dan wanginya meresap sampai ke dalam benang."
"Uah, tahu apa kau tentang batik," dan sengaja ia tidak melihat padaku, tahu aku sedang meringis kesakitan. "Aku nila dan aku soga dengan tangan sendiri, Gus. Juga nila dan soga buatan sendiri. Ciumlah lagi harumnya, wangi soga itu masih ada," dan kain itu Bunda sorong pada hidungku. "Sedap, Bunda "
"Uah, macammu! Aku juga sudah senang, Gus, dapat melihat kau sudah pandai berpura-pura untuk menyenangkan hati peremupuan tua ini," dan sekali lagi ia tak memandangi aku yang meringis kesakitan. "Aku sudah merasa, calon menantu dan besanku tidak bisa membatik. Jadi aku mesti kerjakan ini. Waktu aku masih kanakkanak. Gus, buruk benar perempuan tak bisa membatik."
"Batikan Bunda begini halus Satu bulan" ,
"Dua bulan, Gus, dua batikan khusus untuk ini. . Kalau setelah itu kalian buang, terserahlah"
"Akan sahaya simpan seumur hidup Bunda" "Betapa kau pandai menyenangkan hatiku. Itu ucapan anak yang berbakti..... Juga untaian-untaian bunga ini buatanku sendiri. Kens ini peninggalan Nenendamu, sudah berumur ratusan tahun sebelum ada Mataram, sebelum ada Pajang. Jaman Majapahit, Gus."
"Dari mana Bunda tahu ?"
"Husy. Keterlaluan kau, Gus. Kan ada silsilah di rumah Nenendamu dulu " Kau tak pernah dengarkan beliau. Itu salahmu. Mungkin hanya Belanda saja kau anggap berharga bicaranya. Keris ini pernah dipergunakan oleh semua nenek-moyangmu kecuali ayahandamu. Keris ini disediakan Nenekdamu untuk kau, Gus. Ah, bagaimana harus bicara denganmu " Sungguh,
Bunda sudah tak tahu, Gus. Maafkan perempuan tua tak tahu apa-apa ini, Gus." "Bunda!"
"Tak ada orang Belanda bisa bikin keris, Gus. Tak mampu dan takkan mampu. Coba buka, akan kau lihat tapak-tapak ibu-jari empu linuhung yang membikinnya." Waktu itu aku sedang mengenakan kain batik, kataku: "Ampun, Bunda, coba Bunda tarikkan keris itu untuk sahaya, biar sahaya lihat."
"Husy. Kau memang sudah bukan Jawa. Apa kau samakan ini dengan pisau dapur ?" Waktu aku lihat butir airmata pada wajahnya buru-buru aku ikat kain batik itu dan menyembahnya:
"Ampun, Bunda, bukan maksud sahaya hendak sakiti Bunda. Ampun, beribu ampun, ya, Bunda."
Bunda membuang muka dan menghapus airmata dengan pundaknya. "Jangan keterlaluan, Gus, juga jangan keterlaluan bukan-Ja-wa-mu. Mulai kapan perempuan boleh menarik keris dan sarungnya " Keris hanya untuk lelaki. Yang untuk perempuan bukan keris namanya. Jangan sembarangan. Kau pun takkan bisa bikin ini. Hormati orang yang lebih bisa daripada kau. Lihat N Pada cermin nanti. Kalau keris sudah kau selitkan pada pinggangmu, kau akan berubah. Kau akan lebih mirip dengan leluhurmu, lebih dekat pada asalmu." . .
Dan Bunda terus juga bicara dan bicara. Dan riasan itu akhirnya selesai juga. Nah sekarang kau duduklah dilantai. Tundukkan kepala-mu. Pada kesempatan seperti itu tahulah aku apa yang akan menyusul; wejangan sebelum pesta perkawinan. Tak bisa lain.
Nah wejangan itu akan dimulai. Kau keturunan darah para satria Jawa ... pendiri dan pemunah kerajaan-kerajaan ... Kau sendiri berdarah satria. Kau satria..... Apa syarat-syarat satria Jawa "
"Sahava tidak tahu. Bunda. .
"Husy Kau yang terlalu percaya pada segala yang serba Belanda. Lima syarat yang ada pada satria Jawa: wisma, wanitaa, turangga, kukiia dan curiga. Bisa mengingat "Tentu saja, Bunda, bisa." "Kau tahu artinya ?" "Tahu, Bunda."
"Dan kau tahu lambang-lambang apa itu "Tidak, Bunda." . . ..
"Anak tak tahu di asal, kau. Dengarkan, dan sampaikan kelak pada anak-anakmu....." "Sahaya, Bunda." .
"Pertama wisma, Gus, rumah. Tanpa rumah orang tak mungkin satria. Orang hanya gelandangan. Rumah, gus, tempat seorang satria bertolak, tempat dia kembali. Rumah bukan sekedar alamat. Gus, dia tempat kepercayaan sesama pada yang meninggali. Kau sudah bosan' "Sahaya mendengarkan." Ia tarik kupingku: "Kau yang tak pernah dengarkan orangtua........"
"Sahaya dengarkan. Bunda, sungguh." "Kedua, wanita. Gus, tanpa wanita satria menyalahi kodrat sebagai lelaki. Wanita adalah lambang kehidupan dan penghidupan, kesuburan, kemakmuran, kesejahteraan. Dia bukan sekedar istri untuk, suami. Wanitasumbu pada mana semua, penghidupan dan kfehidupan berputar dan berasal. Seperti itu juga kau harus pandang ibumu yang sudah tua ini, dan berdasarkan itu pula anak-anakmu yang perempuan nanti kau harus persiapka."
"Sahaya, Bunda."
"Orang Belanda tak tahu semua ini, Gus. Tapi kau harus tahu, karena kau Jawa." "Ketiga turangga, Gus, kuda itu, dia alat yang dapat membawa kau ke mana-mana: ilmu, pengetahuan l trampilan, kebiasaan, keahlian, dan akhirnya kemajuan. Tanpa turangga takkan jauh langkahmu, pendek penglihatanmu"
Aku mengangguk-angguk menyetujui, mengerti itu juga kebijaksanaan yang lahir dari pengalaman berabad Hanya aku tak tahu siapa punya kebijaksanaan itu" Nenekmoyang atau Bunda pribadi.
"Keempat kukiia, burung itu, lambang keindahan kela ngenan , segala yang tak punya hubungan dengan penghidupan hanya kepuasan batin pribadi. Tanpa itu orang hanya sebongkah batu tanpa semangat. Dan kelima curiga, keris itu Gus lam bang kewaspadaan, kesiagaan, keperwiraan, alat untuk mempertahankan yang empat sebelumnya. Tanpa keris yang empat akan bubar binasa bila mendapat gangguan..... Nah, kau anak lulusan H.B.S., kan yang begitu tak pernah diajarkan gurumu " orang-orang Belanda itu " Nah sekarang kau sudah tahu semua itu sebagai satria. Kalau belum ada salah satu dari yang lima itu adakanlah. Jangan pungkiri yang lima itu. Setiap daripadanya adalah tanda-tandamu sendiri. Kau harus dengarkan leluhurmu. Kalau yang lain-lain tak dapat kau patuhi, yang lima itu sajalah genapi dengan baik. Kau dengar, Gus ?"
"Sahaya, Bunda." ..
"Sekarang bersamadilah, memohon restu dan ampun pada leluhurmu, biar dijaga kau dari aniaya, fitnah dan dengki." Aku masih tetap duduk di lantai, menunduk.
"Bukan begitu. Bersila yang baik. Tangan tergantung lemas terletak di atas pangkuan. Jadilah Jawa yang baik, biar pun hanya untuk sebentar dan sekali ini saja. Menunduk lebih dalam, Gus."
Telah aku lakukan semua perintah dan keinginannya. Dan memang aku memohon ampun dari leluhur tak kukenal itu dan tak dapat kubayangkan. Sekali malah wajah si Gendut melintas.
Bunda duduk berlutut di hadapanku, mengalungkan untaian melati pada leherku,IA tersedan-sedan. Kemudian ditaruhnya rangkaian kecil bunga-bungaan dalam genggaman dua belah tanganku. Dengan tangannya, tanpa bicara, ia gerakkan janjanKu untuk menggenggam Ia cium keningku di bawah lengkung blangkon, dan ia makin tersedan-sedan. Aku rasai airmatanya menjatuhi pipiku. Dan tiba-tiba aku pun menangis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar