Arus Balik.
Karya : Pramoedya Ananta Toer.
Bagian 36
Blambangan Bandar Banten dan Sunda Kelapa tetap sunyi. Bandar Panjang di ujung selatan Sumatra menjadi meriah.
Mengetahui akan kekeliruannya Fathillah bermaksud membuka kembali Sunda Kelapa jadi pelabuhan bebas.
Pada hari ketentuan itu dikeluarkan, Pada dengan terburu-buru membeli sebuah perahu layar kecil dengan dinar pemberian Ratu Aisah. Dipunggahnya perbekalan dalam perahu itu bersama dengan Sabarini. Keesokan harinya pengantin baru itu berlayar menuju Panjang.
Armada Jepara-Demak yang melakukan penjagaan itu tidak terlalu jauh dari pantai. Perahu layar kecil itu hanya sekali ditahan kemudian diperkenankan meneruskan pelayaran.
Dan mereka berlayar tenang meninggalkan pulau Jawa yang sedang kacau-balau. Meninggalkan Sunda Kelapa bagi Pada berarti juga meninggalkan keadaan yang penuh kekacauan pertama-tama yang pernah ada dalam sepanjang sejarah Jawa.
la gembira. Dan Sabarini tak kurang gembiranya, berlayar dengan seorang suami yang adalah untuk dirinya sendiri. Namun ia tetap membisu bila tak ditanyai .
Begitu mendengar balatentara Demak telah sampai di selatan Lao Sam, Tholib Sungkar Az-Zubaid dengan bantuan para pekerja bandar mengangkuti harta-bendanya ke atas sebuah kapal Bali yang kebetulan sedang mencari dagangan lada. Munculnya kapal itu sungguh-sungguh suatu kebetulan Bila tidak ia akan terpaksa menyewa perahu layar.
Tak ia tinggalkan sesuatu pun pada Nyi Gede Kati kecuali kata-kata ini: Nyi Gede Kati, maafkan aku selama ini kita sudah tidak saling menegur. Sang Adipati sudah tidak dapat menyatakan sesuatu. Pendengarannya sudah begitu merosotnya, maka semua kata yang dipersembahkan sia-sia saja Sekarang ini aku harus pergi untuk sementara dari Tuban. Tinggallah kau di sini dalam lindungan Allah Yang Maha Pengasih.
Ke manakah Tuan, biar sahaya tahu di mana tempat Tuan.
Ia tak memberi jawaban, turun ke perahu dan belayar ke jurusan timur. Tujuan: Pasuruan, bandar Blambangan Hindu untuk perdagangannya dengan Maluku.
Nakhoda menasihatinya agar ia langsung saja ke Panarukan, karena bandar itu tidak terlalu sunyi, karena perdagangannya dengan Nusa Tenggara tetap berjalan baik. Pelabuhan Pasuruan sendiri hampir saja nasibnya dengan Gresik atau Tuban. Memang Panarukan lebih kecil daripada Pasuruan, tetapi adanya perdagangan yang terpelihara menyebabkan kehidupan jauh lebih baik.
Barangkali ada baiknya aku ikuti nasihat Tuan, jawabnya.
Dan demikian ia tidak mendarat di Pasuruan Sejak mancai dari Tuban sebenarnya ia bermaksud ke Panarukan Ia hanya hendak menyesatkan nakhoda.
Syahbandar Panarukan ternyata bukan Arab, juga bukan Benggala, bukan Koja dan bukan Keling, tetapi Pribumi sendiri, yang berbahasa Jawa, Bali, Melayu dan sedikit Arab. Ia tetap beragama Hindu, la disambut dengan bahasa Arab. Aturan bandar lebih longgar daripada Tuban; Syahbandar mempunyai wewenang memberikan ijin tinggal di dalam ataupun luar wilayah bandar tanpa menghadap bupati atau raja.
Setelah mendapat ijin tinggal dan membayar bea untuk barang-barangnya, ia kawal gerobak pengangkut hartabendanya menuju ke kantor dagang Portugis yang sedang dalam pembangunan. Untuk menghadapi pertemuan itu ia berpakaian Portugis dengan tetap bertarbus dan bertongkat.
Tubuhnya sudah lebih bongkok daripada tahun-tahun sebelumnya. Kepalanya tak henti-hentinya menengok ke kiri dan kanan, memperhatikan pagar-pagar dari susunan batu karang, dan arca-arca kayu di pojokan perempatan jalan, berdiri megah di dalam bangunan persegi, seakanakan barang-barang dengan mata besar itu sedang mengawasi perempatan. Gapura-gapura juga menarik perhatiannya, terbuat daripada batu merah, dan kadang dihiasi dengan relief. Pada pagar batu itu kadang-kadang terdapat ceruk berisi arca pula. Dan kadang ia menindas tawanya sendiri melihat bentuk matanya yang seperti mata peda.
Berbeda dengan di Tuban atau Malaka, pagar di sini menyebabkan rumah-rumah hanya kelihatan sirap atau ijuknya. Dan tajuk nyiur selamanya menaungi pelataran depan dan belakang setiap rumah.
Gedung kantor dagang itu belum lagi selesai sepenuhnya. Pagarnya terbuat daripada tembok batu tinggi, tetapi gedung itu terbuat dari kayu dengan nampak batu. Hampir semua tukang adalah Portugis. Di tempat mana pun mereka bekerja, penduduk dewasa, pria atau wanita, berkerumun memperhatikan.
Seorang Portugis yang berperawakan tinggi besar mengawasinya sejak grobaknya memasuki pelataran. Dan Tholib dapat melihat orang itu menunjukkan tak senanghatinya akan kedatangan dan kermunculannya.
Oh, Tuan Tholib Sungkar Az-Zubaid, tegurnya dalam Portugis, tahu-tahu Tuan sudah ada di sini. Mengapa tak kabar lebih dahulu"
Rupa-rupanya Tuan kurang senang mendapat kunjungan ini.
Suatu kehormatan, jawabnya dengan muka masam. Kebetulan sekali ada kamar yang baru saja siap. Tuan bisa segera masuk.
Apakah aku perlu memperlihatkan suratku" sambut Tholib menantang.
Tidak, Tuan, bukan maksudku hendak menguji surat dari Malaka itu. Siapa tidak mengenal Tuan" katanya lagi mencoba agak ramah. Mari aku antarkan.
Kamar itu baru saja selesai dibersihkan. Lantainya masih kotor. Seorang pria Pribumi yang masih muda datang membawa sapu lidi dan membersihkannya, kemudian memasukkan barang-barangnya dan menumpuknya di sebuah pojokan. Tholib Sungkar sendiri memberi petunjuk bagaimana harus berbenah.
Sebuah peti berukir dipisahkan dari yang lain-lain dan selalu berada di dekat bantal.
Syahbandar Tuban itu sama sekali tak heran melihat Martinique sengaja memperlihatkan tak senanghatinya. Ia sudah terbiasa melihat pembesar Portugis yang mencemburui kedudukannya, suatu kedudukan tanpa pengawasan, selalu mendapatkan nafkah pokok dari Portugis dan mendapat tambahan pula dari sangkutpautnya. Lagi pula di dalam kawasan Portugis ia harus diperlakukan dengan baik, sekalipun di luar itu ia berada di bawah setiap orang Portugis. Sekarang ia menggunakan haknya untuk dilayani sebaik-baiknya. Tidak mau bisa mendatangkan kesulitan.
Dari dalam kamarnya yang masih berbau kapur itu ia sudah dapat melihat roda kesibukan mulai berputar. Dan semua disebabkan karena kedatangannya. Ia sengaja berlama-lama di kamar untuk memberikan kesempatan pada Martinique menyiapkan ruang-tamu yang patut. Dari jendela ia dapat melihat kesibukan di dapur. Dan taman yang belum lagi siap itu sekarang dikerjakan dengan tenaga Pribumi tambahan.
Ia tersenyum-senyum puas.
Ia lepas sepatu dan mulai bertiduran, kemudian merancang-rancang apa yang harus ia kerjakan. Tetaplah sudah niatnya hendak kembali ke Malaka dan mengakui kegagalan Portugis di Tuban: bukan karena kesalahannya pribadi tapi karena kelengahan Portugis sendiri, tak juga datang pada waktu terbaik sebagaimana ia pernah sarankan. Sekarang jatuhnya Tuban ke tangan Demak telah melenyapkan arti bandar itu untuk mengukuhkan kekuasaan jalan laut di bagian selatan Nusantara. Tak ada yang dapat menyalahkan bila ia tinggalkan Tuban. Dengan berkuasanya Demak di sana tempat itu kehilangan artinya bagi Portugis. Pada pihak lain gerakan penguasaan atas seluruh Jawa oleh Trenggono telah membantu Portugis dalam menguasai jalan laut di sebelah utara Jawa: hubungan antar Jawa dengan Maluku akan putus sama sekali dan rempah-rempah Maluku akan lebih sedikit datang ke Jawa.
Bukan salah dirinya kalau tak berhasil. Perkembangan telah bergerak ke jurusan yang lebih menguntungkan bagi Portugis tanpa bantuannya. Pada akhirnya ia akan bisa pulang ke Ispanya dan menghabiskan hari-tuanya di Andalusia sebagai orang berada tanpa kekurangan suatu apa, kecuali, bila antara Portugis dan Ispanya terjadi pertikaian berdarah lagi. Dan di Andalusia, sebagai seorang Moro, ia takkan dan tak pernah mengalami kesulitan selama ia mengikuti segala yang berlaku di lingkungan hidupnya. Memang ia harus membayar pajak lebih tinggi, memang banyak, terlalu banyak yang menghinakannya hanya karena ia seorang Moro, tapi apa salahnya kalau ia bisa bertenang-tenang pada hari tuanya"
Sebagai orang muda ia telah tinggalkan semenanjung lberia. Ia telah tinggalkan anak dan istrinya. Dan ia akan kembali sebagai orang tua yang telah menyelesaikan tugas membantu kebesaran yang sedang berkembang dan membantu menenggelamkan kekerdilan yang sedang menghilang. Itulah yang dinamainya tindakan peneracaan sejarah pada masanya.
Waktu pelayan orang Portugis datang ke kamarnya dengan muka memberengut, memberitakan tuan Martinique sudah menunggu di ruang duduk, ia pun kenakan pakaian Portugis terbaik. Terompah ia ganti dengan sepatu. Celananya putih dan bajunya pun putih, dengan kemeja berenda-renda kecil pada lehernya, namun ia tetap bertarbus dan bertongkat.
Ia pandangi tubuhnya sendiri pada cermin sambil memberengut juga, memprotes ketuaannya, menegakkan bongkok, kemudian tersenyum senang, bahwa tanpa bongkok ia kelihatan lebih muda. dan berjanji takkan membiarkan dirinya membengkok lagi Ah, berapa tahun sudah diri tak bertemu cermin! Maka dengan badan tegak ia kunci kamar dari luar dan berjalan menuju ke ruang duduk
Martinique telah menunggunya sambil menghisap segelintir kecil tembakau yang segera dimasukkan ke dalam kantong lagi.
Nampaknya Tuan ada keperluan penting, Martinique memulai, dan memperlihatkan wajah cerah.
Bukan hanya penting, bahkan tak dapat ditangguhkan. Tentu saja. Barangkali ada yang dapat kuperbantukan " Pasti Tuan akan dapat membantu aku dengan sebuah tempat yang sebaik-baiknya, di kapal yang pertama-tama menuju ke Malaka.
Tentu itu suatu hal yang mudah, asal Tuan sudi mengatakan dengan kapal Portugis atau bukan. ia kelihatan lega mendengar itu, Hanya soal tempat di kapal itu saja, Tuan"
Untuk sementara. Kalau begitu Tuan punya tugas lain. Syahbandar Tuban itu tertawa mengancam.
Kalau begitu bersenang-senanglah Tuan di Panarukan ini. Dalam beberapa hari ini mungkin akan tiba kapal dari Timor untuk terus ke Malaka, ia menajamkan kewaspadaan. Bertanya lagi, Kata orang Demak terus mendesak ke timur. Benarkah itu. Tuan"
Kira-kira berita itu ada benarnya. Mungkin Tuban akan jatuh"
Terlalu sulit untuk bisa menjatuhkan Tuban. Kalau Tuban mau. Demak bisa dipukul dalam beberapa minggu. Oh.
Jadi Tuan menduga aku datang ke mari karena melarikan diri" Suatu dugaan yang jahat.
Tak ada aku punya dugaan seperti itu. Mata tua Tholib menembusi mata bening tuan rumah dan mencoba menyusupi otaknya.
Seperti matari yang tenggelam sekarang ini, demikian juga Demak akan tenggelam di sebelah barat sana. Tuan Martinique. Boleh jadi Tuban dalam pertempuran akan bisa terdesak sementara belum dapat menemukan bentuk pertahanan yang tepat, tapi sesudah itu kekuatannya akan jadi berlipat ganda dan tak dapat dibendung lagi. Sekiranya yang sebaliknya yang terjadi" Maksud Tuan kalau ramalanku meleset"
Bukan meleset, Tuan Tholib. Tentu ramalan Tuan pasti tepat. Tapi sekiranya, kataku, sekiranya kejadian justru tidak mengindahkan ramalan Tuan" Kalau Tuban yang jatuh"
Lihat, Tuan. Itu bisa saja terjadi. Jatuhnya Tuban berani jatuhnya seluruh bagian tempur Jawa ini. Dan kantor Tuan yang bagus bergeladak tebal ini, belum juga selesai, akan segera kena landa juga. Laut dan darat Jawa akan tertutup bagi Portugis, Tholib tertawa menggigit. Lagi pula. Tuan Martinique, siapa sebenarnya punya pikiran membuka kantor di sini"
Tentu ada, jawab tuanrumah gelisah, aku hanya menjalankan perintah.
Kira-kira tidak begitu, Tuan. Aku pun punya tenaga di kerajaan Blambangan ini. Berdasarkan keterangan dia telah aku sarankan ke Malaka, agar pekerjaan di sini tidak diteruskan. Panarukan hanya baik untuk menguasai jalan laut Nusa Tenggara, sedang untuk itu cukup di Timor. Tuan sebagai bekas nakhoda bukankah dapat membenkan saran pada Malaka"
Apakah artinya aku ini" Jawablah Tuan, itu menunjukkan Tuan ada kepentingan pribadi dengan Panarukan.
Itu tidak benar. Boleh jadi, tetapi aku akan bikin penyelidikan yang teliti. Tuan Martinique. Siapa pun melihat betapa bagusnya istana Tuan ini, rasa-rasanya Tuan sendiri yang mengusulkan, agar Tuan dapat hidup bersenang dan bertenang di sini di luar segala pengawasan.
Dan Tuan tidak memperhatikan kerajaan-kerajaan Bali di sebelah sini.
Bali tidak akan menyerang Jawa. Dia kasa menyerang hanya ke seabelah lebih timur, dengan penduduk lebih sedikit. Maka itu untuk ke sekian kalinya Timor juga yang lebih penting dari Panarukan. Jadi bagaimana Tuan usulkan pada Malaka"
Tiada sesuatu. Mungkin Tuan lupa, aku bukan hanya menuju ke Malaka, juga ke Luboa!
Itu terserahlah pada Tuan Tholib sendiri. Jangan Tuan marah.
Pastilah setiap orang Portugis akan marah bila merasa disinggung kebesaran negerinya.
Apalah gunanya marah karena merasa kebesaran negerinya tersinggung, sementara itu membiarkan din dungu dalam mengurus kebesaran itu" Untuk apa marah kalau hanya hendak mencari jalan membalas dendam"
Apalah gunanya kita bertengkaran begini" Aku akan berusaha keras menghindari usaha-usaha Tuan mencari dalih untuk bertengkar. Biar pun, ya, biar pun Tuan hanya seorang Moro.
Dan Martinique tahu benar, sebagaimana halnya dengan pejabat-pe-jabat Portugis di perairan selatan, bahwa Moro yang seorang ini adalah pelapor ulung yang jarang bandingan. Banyak di antara laporannya mencelakakan pejabat, tak ada yang menguntungkan. Sedang Malaka juga membutuhkan dia untuk menjaga agar pejabat-pejabatnya di darat tidak lengah karena kemakmuran dan kesenangan karena dimanjakan oleh raja-raja Pribumi.
Justru hanya seorang Moro, Tuan Martinique, dia lebih mengetahui kebutuhan Portugis. Dia dapat melihat dan mengerti lebih baik. Lihat, apakah perlunya membikin kantor di sudut dunia tanpa lalulintas besar ini" Tentu Tuan pernah mengusulkan, Tuan sendiri, dari Panarukan Jawa bisa dikendalikan dan timur, dari Sunda Kelapa dari Barat!
Jangan Tuan berlarut-larut menyinggung perasaanku. Tuan tidak punya wewenang untuk memeriksa pribadiku. Ada kekuasaan lain. Setidak-tidaknya bukan seorang Moro. Terlalu banyak orang Portugis yang pandai, seratus kali daripada Tuan.
Tentu saja. Tapi apa yang Tuan katakan padaku juga penting untuk Malaka.
Kapal Tuan akan datang dan katakan semua itu di Malaka sana nanti apa yang jadi kemasgulan Tuan. Aku tak suka Tuan campuri dalam soal Panarukan ini.
Tuan jangan salah mengerti, Tuan Martinique, bagiku tak ada guna mencari kesulitan dengan Tuan. Aku bicara hanya tentang kepentingan Portugis. Sebagai orang Portugis tentunya Tuan berterimakasih ada orang bukan Portugis, malah orang Moro begini, punya pikiran dan usaha untuk kebaikan Portugis.
Martinique tak dapat lagi menenggang kata-kata yang penuh hukuman terhadap dirinya itu. Dan ia memang tak dapat berbuat sesuatu apa terhadap Moro kepercayaan Malaka ini. Justru karena dia bukan Portugis, kata-katanya didengarkan oleh Malaka, keselamatannya dijaga dan permintaannya dikabulkan, biar pun hanya berupa lima atau sepuluh ons kopi.
Orang bisa melakukan sesuatu kekerasan terhadapnya. Mudah untuk melakukannya. Tetapi orang bisa takkan melihat tanah-air kembali dan salah-salah bisa tak melihat pepohonan lagi. Ia tak dapat melakukan sesuatu kekasaran. Kedatangannya berarti ancaman terhadap kedudukannya di Panarukan.
Martinique sendiri memang punya banyak kelemahan di hadapan Tholib Sungkar Az-Zubaid. Di pojok pulau Jawa yang tenang dan damai ini ia tak perlu menghadapi perang laut ataupun darat. Ia lebih suka bersahabat dengan raja Blambangan Giri Dahanapura. Bahkan dengan Patih Udara ia mempunyai hubungan baik. Di sini, dapat sedikit menyenangkan raja, ia akan memperoleh yang ia inginkan. Tak ada orang Portugis lain yang lebih tinggi kedudukannya. Dari Sri Baginda Girindra Wardhana yang telah tua itu, ia mendapat bantuan dua ratus orang untuk pekerjaan membakar kapur dan batu bata dan membantu pembangunan kantornya. Dan semua dapat ia perhitungkan dalam nilai uang, dan Malaka harus membayarnya. Keluarganya di negeri Portugis sana terjamin. Dan benar sekali kata Tholib Sungkar tak ada pengawasan terhadap dirinya di sini. Dan justru karena semua itu ia tersinggung.
Tholib ini pasti akan bersuara di Malaka sana. Ia pasti akan ditarik dan Panarukan dan kembali memasuki dinas lama. Mungkin seorang baru akan datang menggantikannya. Mungkin kantor ini akan dibatalkan sama sekali dan ditinggalkan. Dalam hati ia membenarkan cerita banyak teman-temannya: orang akan jadi jengkel, gelisah, marah dan ingin membunuh si hidung bengkung ini, tapi tak berani. Sebaliknya si Moro yang seorang itu terus juga bawel, cerewet, sikapnya tenang-tenang dan tak malu-malu memperlihatkan diri sebagai seorang penjual jasa terbaik bagi Peranggi. Dan Malaka dan Goa memang mengakui jasa-jasanya dalam membangunkan kekuasaan atas jalan laut dan dalam membangunkan monopoli perdagangan rempah-rempah, baik dengan jalan kekerasan, persahabatan, perang, melihat ataupun diplomasi, la termasuk salah seorang perancangnya.
Martinique telah mempersiapkan jalan untuk melakukan pembalasan dendam atas nama sejawat-sejawatnya, dan ia akan kaget! tamunya ini dengan dendamnya. Tholib takkan mungkin akan bisa membalas.
Maka dalam beberapa hari itu ia jamu tamunya dengan baik. Menghalangi si Moro irri berlayar ke Malaka adalah suatu perbuatan yang tidak mungkin. Dia mengetahui lalulintas kapal-kapal Portugis, dan Tholib pun terkenal punya kebiasaan menempuh banyak jalan untuk menghubungi Malaka, surat-surat, utusan atau kunjungan pribadi. Dan bila ia ke Malaka bukan tidak berarti jalanjalan lain tidak ditempuh. Orang harus berpikir beberapa kali bila toh hendak membinasakannya di laut, karena suaranya toh akan datang juga ke Malaka.
Tidakkah Tuan ada keinginan untuk mengunjungi Saudara Cortez" pada suatu hari Martinique membuka perangkapnya. Ia telah berhasil membuka rumah perawatan di peluaran Panarukan, suatu jarak yang patut ditempuh untuk berjalan-jalan.
Syahbandar Tuban itu sama sekali tidak mempunyai kepentingan dengan segala macam rumah perawatan di atas dunia ini. Perhatian pun ia tak punya, la tak menanggapi.
Barangkali ada juga baiknya, Martinique menyarani. Tuan mengenal baik Rodriguez, bukan"
Mata Tholib Sungkar Az-Zubaid yang besar itu memancarkan pandang curiga pada tuanrumah.
Tentu ada baiknya, Martinique menemukan, bukan saja karena Rodriguez, rumah perawatan itu patut juga dilihat, lagi pula Saudara Cortez adalah paman Rodriguez. Rodriguez yang mana"
Siapa lagi kalau bukan si pelarian itu" Tuan justru yang lebih mengenalnya.
Tidak, aku tak kenal. Aa, nampaknya Tuan sudah agak lupa. Bukankah Tuan sendiri yang menyuruh Yakub membawanya ke kapal dalam keadaan terbius dan terikat" Ia pura-pura tak melihat tamunya nampak agak gugup dan membetulkan letak tarbusnya. Mungkin Tuan bisa memberinya sedikit keterangan tentang Rodriguez. Ia dipesan oleh adiknya, ibu si pelarian itu.
Tamu yang terbend itu tidak mengerti mengapa ia menuruti saran tuanrumah, dan pada suatu pagi ia tinggalkan kantor pergi ke luar kota. Martinique mengantarkannya sampai ke pintu gerbang. Melihat tamunya agak ragu-ragu, ia memberanikan: Tak ada yang perlu dikuatirkan di sini. Tuan. Seluruh Blambangan ini sama aman, mungkin lebih aman daripada Lisboa atau Madrid. Tidak seperti di daerah-daerah Islam sana. Malahan di sini tak pernah ada pasukan peronda, tak ada hermandad yang nyinyir dan lancang tangan. Tuan bisa berjalan senang dan aman sampai ke luar kota sana
Syahbandar Tuban itu berjalan, tertindih oleh bongkoknya sendiri, bertelekan pada tongkat. Sepanjang jalan, pagar dari susunan batu karang itu juga yang kelihatan, rapi menarik dilepa dengan tanah liat.
Arca-arca yang mengawasi perempatan jalan itu ia tetap tak tahu namanya. Martinique pun tidak tahu. Sekali ia memerlukan memperhatikan. Arca itu berdiri di bawah atap ijuk dan semua bangunan di bawahnya merupakan umpak tempatnya berdiri, setinggi barang lima meter. Sesajian bunga-bungaan dan beras berserakan pada ke empat pojok umpak.
Para gadis berjalan bebas bertelanjang dada seperti di pedalaman Tuban sana. Anak-anak kecil berlarian di jalanjalan telanjang bulat seperti monyet. Dan hampir semua lelaki bertelanjang dada dengan keris tersandang pada pinggang.
Nampaknya semua lalulalang mengagumi tarbusnya yang berjumbai lentur ke bawah, hidungnya yang bengkung, bongkoknya yang tidak indah dan terompahnya yang berat.
Apa saja yang pernah dilihat orang Blambangan ini dalam hidupnya, pikirnya.
Beberapa kali ia melihat wanita tua ditandu atau seorang pemuda bangsawan memperagakan diri di atas kudanya. Dan ia tertawa dalam hatinya melihat kuda mereka yang kecil lagi kurus dan tidak jarang berpenyakit kulit.
Dengan pandang sekilas ia dapat membedakan mana ningrat mana bukan sekalipun sama-sama bertelanjang dada. Antara satria dengan petani terdapat perbedaan sikap dan tingkah-laku terlalu besar. Dan sering ia mengherani betapa perbedaan bisa terjadi hanya karena kelainan tempat dilahirkan dan dikandungkan. Perbedaan yang menggelikan.
Sangat sedikit orang bisa Melayu di sini dibandingkan dengan di Tuban. Dan pada umumnya orang tertawa mendengarkan ia berbahasa Jawa Tuban. Tetapi ia tidak peduli dan meneruskan jalannya.
Rumah perawatan yang dimaksudkan telah nampak dari jauh. Pelataran depannya terbuka tanpa pagar. Pada pintu depan dipasangi dengan salib besar dari kuningan, mengkilat dengan paku-paku kuningan pula dengan kepalanya yang setengah bulat. Dan pintu itu nampaknya selalu tertutup. Orang luar tak dapat melihat ke dalamnya.
Ia berpaling ke belakang waktu mendengar langkah orang yang sedang lari. Tak jauh di belakangnya dilihatnya seorang wanita lari sambil menggendong anak yang kotor dan telanjang. Kainnya diangkatnya naik sampai ke paha. Wajahnya kemerah-merahan oleh kelelahan. Ia mundur beberapa langkah. Dan wanita itu tak mempedulikannya, lari terus dengan kencang. Di belakangnya lagi serombongan kecil orang memburunya sambil berseru-seru dalam bahasa Jawa setempat Pogoh! Balik! Pulang1 Serahkan dirimu pada para dewa. Pogoh! Jangan ke situ!
Ia dengar nafas wanita itu terengah-engah dan melewatinya. Rambutnya terurai jatuh dari sanggul. Para pengejarnya semakin dekat juga. Dan nampaknya mereka sudah lari menempuh jarak yang tidak pendek. Beberapa orang di antaranya sudah mulai tak mampu lari lagi. Semua lebih tua daripada perempuan menggendong yang dipanggil Pogoh, laki dan perempuan.
la lihat Pogoh masuk ke pelataran rumah perawatan, langsung menuju ke pintu bersalib kuningan, berteriakteriak dan menggedor-gedor dengan kedua tangannya.
Pada salah seorang pengejar Syahbandar itu bertanya dalam Jawa: Ada apa ini"
Seorang lelaki menghampiri dan meludahi mukanya: Kalian orang Peranggi busuk, di mana-mana mengganggu kami! tuduhnya.
la berhenti menghadapi Tholib. Dan Tholib menyeka mukanya dengan selembar setangan putih.
Jangan keliru! raung Tholib, dan mengangkat tongkat. Aku pendatang baru.
Baru atau lama semua Peranggi sama saja! ia meludah lagi dan lari meneruskan pengejaran, menggabungkan diri pada yang lain-lain.
Keparat! Syahbandar memekik, mengamangkan tongkat dan menyeka mukanya.
Di sana pintu bersalib itu terbuka. Seorang lelaki Portugis berpakaian pelaut memunculkan kepala dari kiraian pintu, melihat pada Pogoh, kemudian melihat pada para pengejarnya. Ia keluar dari pintu, mengembangkan kedua belah tangan seakan sedang menghalangi serbuan para pengejar. Dan Pogoh berlindung di balik punggung orang Portugis.
Para pengejar tak berani menangkap perempuan itu. Tholib Sungkar mempercepat jalan, dan tak lama kemudian juga sampai di depan pintu bersalib itu.
Jangan sentuh dia, Pogoh, pinta para pengejar itu di hadapan orang Portugis itu.
Jangan masuki rumahnya. Jangan. Jangaaaaan! pekik seorang wanita setengah baya.
Syahbandar berdiri di belakang para pengejar itu, terengah-engah.
Lindungi sahaya, Bapa, pinta Pogoh dari belakang punggung Portugis berpakaian pelaut itu.
Masuk cepat ke dalam, perintah Portugis itu sambil sedikit menengok padanya.
Tetapi Pogoh tak berani masuk. Portugis itu mendorongnya dengan kakinya dan hilang di balik pintu. Ugh
Kembalikan Pogoh kami. Bapa, wanita setengah baya itu meratap.
Tak ada di antara para pengejar berani memasuki pintu bersalib itu. Bahkan melalui Portugis yang seorang itu pun tak berani.
Sahaya bapaknya, Bapa, sahaya berwenang menyelamatkan dia, lelaki yang meludahi Tholib itu membela haknya.
Kau takkan selamatkan dia, bantah Portugis itu dalam Jawa setempat. Kau dan kalian hanya akan aniaya dan bunuh dia. Sudah kuterima Pogoh dalam perlindunganku. Pergi kalian dengan damai. Jangan lewati pintu tanpa ijin dan tanpa wewenang seperti diajarkan oleh leluhur kalian sendiri. Jangan ganggu ini rumah orang lain, yang bernyawa atau tidak, seperti ajaran leluhur kalian sendiri juga. Pulang! Pulanglah dengan damai.
Pogoh, Bapa, wanita itu mengulangi ratapannya. Pada suatu kali Pogoh akan kembali pada kalian, dalam keadaan lebih baik dan lebih berbahagia.
Anak sahaya. Bapa, wanita itu merengek, juga cucu sahaya. Bapa.
Pulang! Semua pulang! Jangan-jangan Sri Baginda mengetahui ini dan menghukum kalian, ancam Portugis itu.
Dengan ragu-ragu para pengejar meninggalkan pelataran, menyumpah-nyumpah. Melihat Tholib berdiri di situ orang lelaki setengah baya itu meludahi lagi ditambah dengan sumpahan.
Syahbandar mengayunkan tongkat dan si peludah tidak menggubrisnya, malahan meludahinya lagi. Sekali ini ke tanah. Dan sekali lagi Tholib terpaksa mengeluarkan setangan dan menyeka muka.
Portugis berpakaian pelaut itu masih berdiri di depan pintu di bawah salib kuningan waktu Syahbandar itu datang padanya dan mengulurkan tangan.
Selamat pagi, saudara Cortez, katanya dalam Portugis. Cortez mengawasi Portugis kehitaman itu sejenak, mengamatinya dari kaki sampai ke tarbus, tersenyum terpaksa berkata: Selamat pagi. Siapakah yang aku hadapi"
Syahbandar Tuban, Saudara Cortez.
O-ya, Tuan Syahbandar Tuban. Sudah beberapa hari ini aku ingin menemui Tuan sebelum berangkat ke Malaka. Mari masuk.
Mereka masuk. Cortez menutup pintu dan terhenti berdiri. Kakinya dipeluk oleh Pogoh yang bertelut di lantai, sedang anaknya sedang merangkak-rangkak.
Lindungi sahaya, Bapa. Apakah semua ini, Saudara" tanya Syahbandar dalam Portugis.
Hanya kejadian sehari-hari, kemudian dalam Jawa pada Pogoh: Kau sudah dalam keadaan dilindungi di sini. Pogoh namamu, bukan"
Syahbandar menebarkan pandang selintas. Ruangan besar itu dapat dikatakan kosong dari perkakas. Beberapa orang wanita sedang bekerja membersihkan lantai dan dinding, semua dari kayu. Melalui pintu dalam ia lihat wanita dan hanya wanita atau bayi.
Semua perempuan, katanya kemudian.
Bangunlah kau, Pogoh, kata Cortez dalam Portugis. Pogoh yang menengadahkan muka itu nampak bermandi airmata.
Bangun, kau! Tholib Sungkar Az-Zubaid menjawakan. Makhluk celaka di negerimu sendiri ini, kata Cortez dalam Jawa pada Tholib Sungkar. Seperti Pogoh ini, Ia menuding pada wanita itu. Lari dari bangsanya sendiri. Yesus Maria! Celaka bertubi celaka, suami meninggal dan sebagai janda ia harus dibakar untuk mengikuti roh suami.
Bukan sahaya menolak mengikuti suami sahaya, Pogoh memprotes.
Bangsa kafir, jahil celaka, kata Syahbandar dalam Portugis.
Ada yang lari ke mari dalam keadaan bunting tua, kata Cortez dalam Jawa. Allah Bapa, melindungi. Sahaya tidak bunting, Bapa, protes Pogoh. Bangkit kau berdiri. perintah Cortez pada Pogoh dalam Portugis.
Bayi yang merangkak-rangkak itu kembali pada ibunya dan menangis minta dada.
Dan Pogoh mengambil anaknya dan menyusuinya. Ia berdiri membungkuk, mengawasi lantai dan memprotes dengan suara sangat lemah sehingga baik Cortez maupun Syahbandar mencangkung untuk dapat menangkap: Bukan sahaya kurang atau tidak berbakti pada suami. Bukannya suami kurang kasih dan sayang pada sahaya. Cuma sahaya tak ada keberanian melompat ke dalam api, meliuk-liuk dan menyeringai, kemudian jadi arang dan debu kelabu tiada bentuk. Sahaya selalu ingat pada anak sahaya yang seorang ini Siapa nanti akan menyusui dan merawatnya.
Takkan ada orang akan mengambil kau dari sini tanpa semaumu sendiri, Cortez meyakinkan. Kau berada di tengah-tengah saudara-saudarimu sendiri. Hidup dan bekerja dengan mereka.
Anak sahaya, Bapa. Anakmu juga selamat di sini. Sahaya lari dari api karena anak ini.
Beristirahat kau barang dua-tiga hari. Tenangtenangkan hatimu.
Kau masih akan punya anak lagi, kata Syahbandar. Cortez memandangi Syahbandar untuk mencegahnya ikut campur. Yang dipandangi merasa diberanikan, dan meneruskan: Dan seorang lagi, dan seorang lagi .
Sahaya orang baik-baik. Bapa. Bukan untuk beranak dan beranak sahaya larikan diri dari suami-dewa sahaya.
Diamlah Tuan, kata Cortez dalam Jawa pada Syahbandar.
Diamlah kau, kata Tholib dalam Jawa pada Pogoh. Cortez nampak tak bersenang hati melihat campurtangan tamu tak diundang itu dan menyorong Pogoh menyuruhnya masuk ke dalam. Kemudian pintu dalam itu ia tutup.
Banyak yang dapat dituai di negeri jahiliah begini, Syahbandar memulai.
Bukan, Tuan Syahbandar, kami baru membuka ladang. Menyebar benih pun belum.
Bagaimana rencana Tuan dengan mereka" Ummat Nasrani makin lama makin banyak datang dari segala pojok dunia untuk menjenguk Panarukan. Kapalkapal Portugis mengarungi semua samudra. Pada suatu kali barangkali mereka akan kunjungi juga tempat ini dan berangkat dengan mereka sebagai domba Kristus. Anakanak yang dibesarkan di sini akan mengembarai bumi tumpah darahnya membawa terang pada bangsanya .
Tak ada sebuah kursi pun di dalam ruangan itu. Dan wanita-wanita pekerja itu telah masuk semua ke dalam.
Syahbandar membelokkan percakapan pada maksud kedatangannya.
Adapun tentang Rodriguez, kemenakan Saudara Cortez, tentara Tuban telah membunuhnya. Mayatnya dihancurkan dan dibuang ke laut. Itulah yang dapat aku beritakan dengan dukacita kepada Saudara.
Yesus Maria! sebut Cortez dan membuat salib dengan jarinya. Benarkah Tuan ini"
Tidak ada yang lebih benar daripada itu, Saudara. Tuan mengetahui betul"
Telah aku bikin penyelidikan yang teliti.
Tentu Tuan mengetahui betul. Manakah yang benar. Tuan. Di Pasai sana orang mengabarkan bukan tentara Tuban yang membunuhnya, walau pun dia dan temannya memang dijatuhi hukuman mati. Jelas tentara Tuban memang akan membunuhnya, ia pandangi Syahbandar itu seakan baru saja dilihatnya. Tuan Syahbandar Tuban, bukan"
Tidak keliru, Saudara. Sayid Habibullah Al-Masawa, bukan"
Benar, Saudara Cortez, Sayid Habibullah Al-Masawa. Alias Sayid Mahmud Al-Badaiwi, bukan"
Syahbandar Tuban ragu-ragu. Matanya mengerjapngerjap dan pegangannya pada hulu tongkatnya diperkukuh. Ia tak menjawab. Pertanyaan itu dirasainya mengandung maksud buruk.
Alias Tholib Sungkar Az-Zubaid, bukan" Cortez meneruskan. Ya, itulah kata orang di Pasai sana, orangorang Portugis, maksudku. Mengapa Tuan diam saja" Melihat tamunya menjadi curiga dan waspada dan bersiapsiap hendak melakukan sesuatu, ia meramahkan wajah dan tersenyum ikhlas meneruskan: Melalui nakhoda kapal Lisboa tentu Tuan masih ingat kapal itu, bukan" melalui nakhodanya, Malaka telah menebus pada Tuan untuk harga kemenakanku dan temannya bernama Esteban. Benar begitu, bukan"
Nafas Tholib Sungkar terengah-engah seperti habis mendaki gunung, sedang bongkoknya naik-turun kembangkempis seperti insang ikan di darat.
Mengapa Tuan diam saja" Yesus Maria! Beginilah macamnya seorang pembunuh" Keluar! Mengotori tempat ini dengan kehadiranmu" Penjahat paling hina yang pernah ada di atas bumi. Orang tak kenal azas!
Dan Syahbandar itu masih kehilangan kepribadiannya. Matanya kelap-kelip memandangi penuduhnya yang kehabisan kata-kata, menge-bas-ngebaskan jari-jarinya dan masuk ke dalam melalui pintu dalam.
Astagafirullah! sebut Tholib kemudian. Dengan perasaan kacau-balau ia keluar dari rumah pemeliharaan dan langsung pulang ke kantor dagang Portugis.
Sampai di dalam bilik hatinya masih juga penasaran. Perkara itu nampaknya telah diketahui oleh orang-orang Peranggi di Pasai, dan barang tentu di Malaka juga, di Goa dan Malabar, di Madrid dan Lisboa juga, menjalar juga kira-kira di Maluku: Tholib Sungkar Az-Zubaid telah menerima uang tebusan buat dua orang Portugis pelarian, kemudian ia sendiri yang membunuhnya. Memang benar ada saksi yang menyerahkan pelarian-pelarian itu, ada saksi juga yang melihat ia menerima uang tebusan. Itu saja mungkin belum begitu. Tapi berita ia telah membunuh mereka" Membunuh orang Portugis Moro membunuh orang Portugis" sekaligus dua"
Dan sekarang ia merasa menyesal tidak membantah Saudara Cortez berdepan-depan.
Kalau begitu Martinique barangkali juga mengetahui. Tidak, Martinique berada dalam kekuasaanku karena sekandal Panarukan ini. Sekali kubuat laporan dia akan jatuh merangkak-rangkak seperti kepiting laut di debuan bekas kebakaran.
Ia dengar-dengar suara ramai di depan kamarnya. Tak salah: suara Martinique. Dan ia merasa kecut untuk keluar. Kalau semua orang Portugis tahu siapa pembunuh mereka, negeri Portugis dan Ispanya takkan mungkin lagi dapat diinjaknya. Dengan senang hati baik pedang Peranggi maupun Ispanya akan berjatuhan pada tubuh seorang Moro terbenci.
Akan runtuhlah sisa hidup di hari tua"
Ia merasa Martinique memang sengaja mondar-mandir di depan kamarnya. Maka ia sambar tongkat dan pergi ke luar. Ia akan bertahan, Bertahan!
Aa, Tuan Tholib Sungkar! seru Martinique dengan suara bernada kemenangan. Mari duduk-duduk. Hari ini ada borongan, Tuan, lain dari yang lain. Satu partai kulit macan dari raja Klungkung di Bali sana, ia menuding ke arah pulau Bali. Aku ada rencana untuk Malaka, Tuan. Biar mereka persembahkan kulit-kulit ini sebagai permadani bawah peraduan, persembahan ke bawah duli Sri Baginda dan Sri Ratu. Tak bakal ada raja di seluruh Eropa berpermadani kulit macan. Bayangkan, Tuan.
Rupa-rupanya Tuan tak pernah dengar tentang istana Ispanya. Sudah sejak jaman khalifah kulit singa Afrika dengan kepala utuh sudah dipergunakan untuk lapik bercengkerama, berdeklamasi, berbicara tentang obatobatan baru
Setidak-tidaknya bisa dijual ke Paris atau Wina. Tholib Sungkar tertawa meremehkan. Martinique menutupi kekalahannya dengan menetakkan persoalan baru: Tentu Tuan disambut dengan gembira oleh Saudara Cortez. Orang menganggap, bahwa Tuanlah yang tahu betul tentang nasib Rodriguez dan temannya itu. Siapa pula namanya" O, ya, Esteban. Aneh, orang-orang Portugis dengan nama Spanyol. Ah-ya, mungkin saja.
Aku tak tahu tentang itu.
Mengapa Tuan terburu-buru ke rumah Saudara Cortez seperti mendapat panggilan dari seorang kekasih" Dan mengapa Tuan begitu buru-buru pulang seperti diburu macan"
Syahbandar Tuban megap-megap sebentar. Ia raba dadanya. Rupanya aku sudah tua, pikirnya. Syarafku mulai begini lemahnya.
Baiklah kalau Tuan tak suka membicarakan soal pembunuhan itu. Tentang menerima tebusan itu mungkin mau. Rupa-rupanya Tuan kurang periksa, tidak lain dari aku yang mengurus pelarian-pelarian itu waktu diserahkan oleh Yakub ke kapal. Tiba-tiba ia mengalihkan pembicaraan. Kapal Tuan akan datang lusa, dan akan berangkat pada hari itu juga. Malaka akan bersorak-sorai menyambut Tuan. Bukan sebagai penerima tebusan yang hina itu, lebih dari itu, sebagai pembunuh dua orang Portugis!
Seorang pengabdi Portugis takkan membunuh Portugis, bantah Tholib.
Sia-sia, Tuan. Tuan kira waktu itu Tuan seorang diri di dermaga Tuban" Ada seorang saksi ketika kilat memancar dan Tuan tikamkan isi tongkat Tuan itu, ia menuding pada hulu gading tongkat tamunya, pada salah seorang di dalam krangkeng besi itu. Perlukah saksi itu dipanggil"
Tidak, tidak ada saksi seorang pun. Dermaga sunyi! bantah Tholib.
Martinique tertawa terbahak. Dan Tholib menjadi pucat setelah ucap-annya sendiri yang terakhir. Ia ketahui tangannya gemetar dan dalam hati ia mengutuki syarafnya yang telah jadi begitu lemah.
jadi betul Tuan ada di dermaga waktu itu. Dan Tuan mengira tak ada saksi. Mengapa Tuan jadi pucat" Karena Malaka telah menunggu Tuan" Dengan tiang gantungan" Coba Tuan terangkan Syahbandar itu berlunak-lunak, bagaimana Tuan sampai pada pikiran aku membunuh mereka"
Begini saja, Tuan, mintalah keterangan itu di Malaka sana. Pasti Tuan akan merasa puas.
Baik! jawabnya untuk memutuskan persoalan yang tak menyenangkan itu. Bersama dengan kulit macan dari Bali itu.
Tetapi Martinique belum lagi puas dalam membalaskan dendamnya. Ia masih harus melepaskan anak panahnya: Ingatkah Tuan pada seorang pewarung di bandar Tuban yang bernama ah, siapa pula namanya itu, oh, ya, Yakub, bukanlah dia juga yang mengantarkan pelarianpelarian itu di kapalku dulu" Ya-ya, Yakub namanya. Dengarkan Tuan, pada suatu kali dia ingin juga kembali melihat warungnya. Dia berdayung memantai dari timur, sampai di dermaga naik, kilat menyambar, dan melihat Tuan, tidak lain dari Tuan Syahbandar Tuban bermain pisau tongkat . Itulah dia si Yakub pelarian. Dan tongkat di tangan Tuan itulah yang Tuan mainkan. Berani bertaruh, dalam tongkat Tuan itu ada pisaunya,
Semua orang tahu, pewarung arak selalu menipu. Dan Tuan selalu bersedia membayar tipuannya, bukan" Aku juga membeli dari dia seperti Tuan.
Baiklah, kita sama-sama korban penipu yang seorang itu, ia berdiri dari tempat duduk pura-pura tidak menderita cedera pada pedalaman dirinya. Siapkan kulit-kulit macan Tuan, biar aku kawal ke Malaka.
Ia melangkah ke arah biliknya kembali.
Betapa hebat orang itu menakut-nakuti! Perintah penangkapan tak pernah dia keluarkan. Uh, mudah benar aku ditakut-takuti. Kalau dia merasa benar, dia tak perlu menakut-nakuti, dia akan biarkan aku berlayar ke Malaka. Dan sesungguhnya ia takut juga.
Pada hari yang telah ditentukan Martinique mengantarkan tamunya ke pelabuhan. Kulit-kulit macan telah dimasukkan ke dalam kapal. Barang-barang Tholib Sungkar masih menumpuk di dermaga.
Syahbandar itu nampak kurus dan gelisah. Pipinya cekung tergantung dan matanya suram. Jalannya lambatlambat seakan bongkoknya, menjadi dua puluh kali lebih berat.
Keributan kecil tiba-tiba terjadi di dermaga. Lambatlambat ia berjalan mendekati bersama Martinique.
Dalam sebuah lingkaran berdiri seorang pelaut Pribumi yang bicara lantang pada para pendengarnya: Pada hari ke dua, teman-teman. Banteng Wareng dari pasukan kuda Tuban menghalau Demak dari Tuban. Ia tidak rela pasukannya jadi tertawaan umum. Bukan main Banteng Wareng. Demak mundur dan maju lagi lusa harinya, seperti air banjir membongkar tanggul Banteng Wareng terdesak ke timur. Tetapi sebelum sampai ke kota. Kala Cuwil Patih Tuban Sang Wirabumi dengan pasukan gajahnya memotong dari selatan. Air banjir Demak patah di tengah seperti saluran kejatuhan sekaten. Pasukan pengawal Tuban menceburkan diri di dalam kancah. Kemudian pasukan kaki Tuban memukul dari luar Tuban. Hampir-hampir Trenggono tertangkap hidup-hidup oleh pasukan kaki. Dengan kakinya sendiri ia lari tunggang-langgang menerjang-nerjang, hilang di dalam semak-semak. Hebat benar Tuban! Banteng Wareng! Kala Cuwil! Rangkum! dan Braja! Tanpa raja! Kami akan balik ke Tuban hari ini. Hari ini juga. Siapa ikut boleh turut!
Aku ikut! seru Syahbandar Tuban. Pindahkan barang-barang ke dalam perahumu! perintahnya. Tuan tidak jadi ke Malaka" tanya Martinique. Tholib Sungkar Az-Zubaid tak menjawab, dan orang mulai memindahkan barang-barangnya ke sebuah perahu layar Tuban.
Bedebah! maki Martinique.
Syahbandar Tuban buru-buru turun ke perahu Tuban.
Berlanjut kebagian 37
Tidak ada komentar:
Posting Komentar