Jumat, 18 November 2022

Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer #10/44


Arus Balik. 
Karya : Pramoedya Ananta Toer.

Bagian 10.
Idayu, Kamaratih Tuban
Kumbang-kumbang itu berputar-putar mengigal dalam tingkahan gamelan yang ria, seakan tak ada sesuatu pun yang mengancam kehidupan ini. Pakaian mereka gemerlapan mengeijap-ngeijap berkilauan ungu dan me rah dan kuning dan hijau be rma in-main dengan sinar lampulampu yang menyala dari semua penjuru. Warna-warna yang mengikat pandang dan gerak-gerik yang memukau perasaan.
Seakan langsung dari langit melawan serombongan kumbang jantan, dan buyarlah sekelompok betina yang berbahagia mengigal-ngigal dalam kedamaian itu. Mereka kemudian berkitar-kitar, berkelompok dan pecah. Sekelompok lagi dan pecah, berkelompok lagi dan pecah lagi, akhirnya jadi pasangan-pasangan asyik-masyuk yang berkobar-kobar. Sepasang demi sepasang terbang menghilang dibawa oleh impian untuk mereguk hidup sampai ke dasar cawan.
Yang tertinggal hanya sepasang saja, berputar mengigal bercumbuan. dan gamelan mulai menderu, memuntahkan gelora dan gairah mahluk untuk menunggalkan dua menjadi satu, dan satu untuk membanyak dan membiak mengisi seluruh buana dengan titik-titik kasihnya.
Mendadak gamelan jatuh menghiba-hiba dan pasangan kumbang itu kehabisan cumbu, kekeringan rayu.
Seekor kumbang jantan lain datang seakan dari alam lain, lebih besar, lebih gesit, lebih perkasa. Diceraiberaikannya pasangan itu. Gamelan mengendap-endap ragu dan kumbang betina itu merana melihat sang kekasih tercampak. Berdegup-degup gamelan meningkahi si betina yang lari terbang berputar-putar dalam kejaran jantan perkasa.
Betina itu mengendap, hinggap bersembunyi di balik sekuntum bunga. Si jantan perkasa terbang menghilang kehilangan arah. Tinggal si betina sepi sendiri, meratapi sepotong dari sayap kekasih yang sudah compang-camping, tersangsang pada selembar daun bunga.
Dan kumbang betina yang tertinggal sepi sendiri itu adalah Idayu. Kamaratih Tuban.
Di tempat yang ketinggian, di atas kursi kayu cendana berukir, duduk Sang Adipati. Pandangnya gelap menembusi ruang dan waktu. Pemusatan seluruh birahinya membisukan seluruh bunyi dan menghilangkan semua gerak. Yang tertangkap oleh batinnya hanya tubuh yang memancarkan daya tarik tiada terlawankan itu: Idayu! Idayu!
Bila pemusatarinya terputus oleh kenyataan, ia seorang adipati, seorang penguasa di antara para kawula, kendorlah semua ketegangan. la menghela nafas dan menyandarkan punggung pada kursi, diremas-remasnya jari-jarinya sambil menebarkan pandang pada semua orang yang duduk melingkari kalangan di atas lantai di hadapannya sama dan mendesiskan keluh kesakitan.
Sebelum Idayu turun menari di kalangan, satu barisan gadis para pembesar telah menari bersama memperagakan keindahan tubuh dan keluwesan gerak dan kecantikan wajah. Tapi Sang Adipati kehilangan gairah untuk memilih salah seorang di antaranya.
Idayu! Idayu! Hanya Idayu! Mengapa anak desa perbatasan ini mampu menaklukkan aku" Sekali-dua ia menghembuskan nafas keluh dan ratap yang ditenggelamkan oleh bunyi gamelan. Seakan aku bukan seorang tua, tapi seorang perjaka belasan tahun!
Di belakang Sang Adipati, berdiri di pinggiran, adalah Tholib Sungkar Az-Zubaid, berjubah genggang, bertarbus merah. Matanya menyala-nyala penuh nafsu berahi, menjamah dan menelan tubuh yang sedang berlengganglenggok menari itu. Ia tak terbiasa mendengarkan gamelan, tak terbiasa melihat tarian Jawa. Namun semua itu terasa jadi satu kepaduan yang indah pekat, suatu keindahan yang membersit dari pedalaman jiwa manusia, tak pernah ia dapatkan pada tarian Spanyol dan Portugis.
Idayu nampak seakan terbang, menggeleng-gelengkan kepala dan mengipas-ngipaskan sampur pada mukanya, seperti kumbang betina sesungguhnya yang sedang kehilangan akal dan berputus asa.
Ah, tubuh yang langsing berisi dan gerak-gerik yang memanggil-manggil untuk bercumbu itu. Kerjap mata dan geletar jari-jari yang mengundang bercengkerama dan bercinta itu .
Tangan Tholib Sungkar Az-Zubaid mengepal-ngepal, seakan seluruh tubuh yang indah itu telah berada dalam genggamannya. Bahkan kulit penari di hadapannya itu pun utuh bersinar-sinar dalam kemudaannya!
Dalam meratapi sayap kekasihnya yang compangcamping, mata kumbang itu terayunkan ke atas, pada langit, menunggu datangnya kekasih baru. Dan Tholib Sungkar Az-Zubaid merasa dalam harapannya, kekasih baru itu tidak lain dari dirinya.
Di tempat duduknya, di samping Sang Adipati, agak di belakang dan di atas tikar di lantai, Sang Patih hampirhampir tak bergerak, takut kalau-kalau kehilangan mata rantai keindahan yang bertaut-tautan antara bunyi gamelan dan gerak si penari. Serasi yang padu itu membawanya terayun-ayun ke dalam pukauan alam mistik yang tak tertafsirkan. Lenyap terdesak segala kesulitan dan kepayahannya mengurus pemborongan rempah-rempah dari Maluku dan pengaturan kapal-kapal dan awaknya.
Tiba-tiba kumbang yang tertinggal sepi sendiri itu mengepakkan sayap dengan kejang, jatuh di bumi dan menggelepar. Gamelan mendadak berhenti. Idayu menata diri, bersimpuh dan menyembah Sang Adipati, hilang mengundurkan diri dari kalangan.
Dari-sana sini terdengar terbatuk-batuk dan mendeham. Pertunjukan selesai.
Sang Adipati meninggalkan pendopo dan langsung masuk ke peraduan. Dikebaskannya semua gambaran dan bayangan tentang Idayu. Sebuah pintu rahasia telah membawanya ke sebuah ruangan sempit. Dinyalakannya sebuah pelita gantung dan dengan itu membuka sebuah pintu lagi. Ruangan sempit itu menurun dua-tiga depa ke dalam tanah, dan makin lama makin dalam. Ia sedang memasuki ruangan rahasia.
Hanya seorang dalam satu generasi mengetahui adanya ruangan rahasia ini. Pengganti Sang Ranggalawe yang membangunkannya. Jalan yang bersambung dengan rongga bawah tanah ini memanjang hampir dua ribu depa, dan dikerjakan oleh bajak-bajak yang telah tertangkap. Pengganti Sang Ranggalawe tak sudi mengulangi nasib adipati yang digantikannya tertumpas punah oleh ekspedisi hukuman Majapahit. Maka dibikinnya terowongan panjang ini untuk melarikan diri dari kepungan. Setelah bajak-bajak ini menyelesaikan pekerjaannya, mereka di-sekap dalam salah sebuah ruangan dan dibunuh dengan asap belerang. Ruangan itu tak pernah dibuka lagi.
Ujung terakhir dari rongga ini adalah sebuah bukit rendah yang di-rimbuni oleh semak-belukar dalam hutan larangan.
Setiap Adipati Tuban digantikan oleh anaknya, ia mendapat petunjuk memasuki rongga ini dan mendapat kewajiban untuk setiap bulan memeriksa dan memperbaiki dengan tangannya sendiri pada bagian-bagian yang rusak.
Balok dan papan kayu jati tua merupakan dinding yang menolak gugurnya tanah. Tak ada tanda-tanda kayu itu melapuk selama lebih dari dua ratus tahun ini. Udara yang basah pengap pun tak kuasa merusakkannya: Sebentar Sang Adipati berpegangan pada salah sebuah balok. Dengan tangan lain ia menanting pelita gantung.
Gambar Idayu kembali mengunjungi pikirannya, dan dibawanya masuk ke dalam salah sebuah rongga. Ia masih tak rela sebelum mati tidak menyentuh hasil Awis Krambil yang terindah itu. Tetapi Idayu telah jadi milik seseorang, telah disaksikan oleh seluruh penduduk Tuban Kota. Ia tidak boleh meletakkan tangan di tengah-tengahnya. Ia harus mati tanpa menjamahnya. Ya, biar pun ia telah kirimkan Wiranggaleng jauh ke barat. Tidak, ia tak boleh lakukan itu.
Dari sebuah lemari batu berlapis kayu di dalamnya ia keluarkan selembar kulit yang telah bercendawan. Disekanya lapisan putih cendawan dengan pangkal lengan dan muncul sebuah peta laut peninggalan Majapahit, yang telah lebih seabad tak pernah diperbaiki. Peta itu sudah hampir hancur. Bahkan kulit itu sendiri sudah mulai melumut di sana sini.
Tak lama ia mempelajarinya. Dikembalikan barang itu di tempatnya semula dan bersiap-siap hendak melakukan pengawasan terhadap dinding dan penyangga. Udara yang lembab dan mencekik itu membatalkan niatnya. Memang ia tak pernah berjalan sampai ke ujung sana. Dahulu pernah ia tutup dengan papan di dekat ujung, karena ia takut kalaukalau ular memasuki dan menjadikan sarangnya.
Sambil berjalan balik ke bilik peraduan gambar peta dan gambaran Idayu silih-berganti mengisi pikirannya. Setiap kali ia hendak melukiskan tempat-tempat di mana Peranggi berada untuk mendapatkan kesimpulan gerak mana lagi yang akan diambilnya, gambaran Idayu juga yang muncul.
Sesampainya dalam peraduan ia tidak juga mengantuk. Ia keluar dan menuju ke keputrian.
Sepulangnya dari pendopo kadipaten Sang Patih membuat satu garis pada sebilah papan di mana tertulis nama Wiranggaleng dengan huruf Jawa. Pada papan-papan yang lain tercantum nama petugas laut dan darat yang bertugas di luar negeri. Dan coretan pada papan juara gulat itu semakin banyak juga, namun belum juga utusan itu pulang dari Jepara.
Tholib Sungkar Az-Zubaid berjalan cepat-cepat pulang. Langkahnya panjang-panjang dan jubahnya diangkatnya tinggi-tinggi seakan sedang berjalan di atas becekan.
Didapatinya Nyi Gede Kati telah nyenyak dalam tidurnya. Sekilas ia pandangi mulut wanita yang ternganga, melelakan giginya yang mulai kurang hitam. Ia mengangguk-angguk membenarkan. Dalam kotak-sirihnya sekarang tak pernah terdapat jahawe.
Ia nyalakan sebatang lilin baru dan berjalan menuju ke dapur. Di atas sebuah meja kayu kasar di ruangan dapur terdapat sebuah nampan, di atasnya berdiri gendi berisi air dan sesisir pisang susu. Ia keluarkan sebuah bungkusan dari saku di balik jubah. Dituangnya sedikit serbuk ke dalam gendi itu, diusap-usapnya gendi itu sambil tersenyum dan mengangguk.

Suatu suara yang mencurigakan terdengar dari kejauhan. Buru-buru lilin ia padamkan. Ia tinggalkan dapur dengan tangan menggerayang.
Tak lebih dari setengah jam kemudian muncul Idayu membawa pelita gantung ke ruangan dapur. Diambilnya nampan berisi gendi dan sesisir pisang susu dan bersiap-siap hendak pergi lagi. Ia mulai melangkah balik. Terhenti. Sesuatu telah menyentuh kakinya. Ia letakkan kembali nampan dan menyuluhi lantai. Sebatang lilin tergolek di bawah. Ia pungut benda itu, memperhatikannya sebentar dan meletakkannya di atas meja. Kemudian ia meninggalkan ruangan dapur. Betapa keras desau an gin dan deburan laut malam ini.
Ia selalu berusaha untuk tidak mendengar. Justru karenanya terdengar lebih keras dan menggelisahkan pikirannya. Sekiranya suaminya ada di rumah, sekalipun tidak selalu di dekatnya, ia taklcan sesunyi itu, sewas-was ini, dan sekeras itu deburan laut dan desau an gin terdengar.
Sesampainya di dalam kamarnya sendiri ia letakkan nampan di atas meja, juga pelita itu. Kemudian sambil berdiri ia membuat sembah meng-ucapkan syukur pada Hyang Widhi karena tarian telah ia lakukan dengan baik tanpa kesalahan. Ia tak tahu ciptaan siapa tarian itu. Ia tidak suka menarikannya. Isinya tak mempunyai sangkutpaut dengan kebesaran alam dan para dewa. Ia merasa rusuh sekarang ini setelah menarikannya.
Ia lepas cundrik dari sanggul dan jatuhlah rambutnya terurai menutupi seluruh bahunya yang tertutup kain bahu itu.
Ia telah melangkah hendak keluar untuk menggosok gigmya dengan tepung arang. Tak jadi. Ia merasa lapar dan menangguhkan niatnya. Dipilihnya sebuah pisang terbaik.
Seekor kecuak temyata bertengger tanpa curiga pada ujung buah itu, mengatasinya dengan kumis panjangnya berayun-ayun seperti sedang menegur bagaimana tarianmu semalam ini"
Dengan cundriknya Idayu menepak binatang ramah itu sampai jatuh ke lantai dengan kumis dan beberapa di antara kakinya terpenggal.
Dan angin meniup kencang di luar, bersuling-suling di sela-sela genteng. Api pelita itu agak bergoyang. Idayu melihat ke atas. Tak ada sesuatu yang nampak kecuali langit-langit dari jajaran papan.
Dengan diam-diam ia kupas pisang dan memakannya kemudian menaruh kulitnya di atas nampan di atas meja. Setelah itu ia pun minum dari gendi.
Sekarang ia bergerak hendak keluar untuk menggosok gigi. Setelah itu, sebelum tidur, ia akan membacakan mantera untuk keselamatan suaminya. Tiba-tiba dirasainya kepalanya menjadi berat. Kekuatan dengan ccpat seakan tersedot keluar dari tubuhnya. Penglihatannya mulai berayun dan suram. Dengan langkah goyah ia berjalan menuju ke ambin. Ia rasai kepalanya menekan berat pada tubuhnya. Ia limbung. Cepat-cepat diraihnya ambin agar tidak terjatuh. Kakinya dirasainya tak kurang beratnya. Dan lidahnya terasa tebal dan kaku, menolak untuk bergerak atau digerakkan.
Dengan tangan satu ia telah berpegangan pada ambin. Ia masih sempat mendengar cundriknya jatuh di lantai. Ia ingat pada pintu yang belum dipasak, dan ia tahu harus memasaknya dulu. Ia tahu bagaimana pegangannya pada tepi ambin lepas tanpa semaunya sendiri. Ia merasa tubuhnya jatuh di lantai dan perasaannya berayun-ayun di awang-awang. Ia heran dan gugup, tetapi tak dapat berbuat sesuatu. Tubuhnya serasa bukan tubuhnya sendiri. Dan ia terkapar di lantai. Seluruh kesedaran tersedot keluar dari badan. Yang tersisa hanya suatu kesuraman.
Pada waktu itulah masuk Tholib Sungkar Az-Zubaid ke dalam kamar. Ia telah tidak berjubah lagj, tetapi bersarong dan berbaju kalong. Tarbus pun tiada pada kepala dan tongkat tiada di tangan. Ditutupnya pintu dan dipasaknya dari dalam. Diambilnya pelita gantung dari atas meja dan disinarinya wajah Idayu yang terkapar di lantai, tertidur. Diusap-usapnya pipi wanita itu. Pelita kemudian dijatuhkannya. Diangkatnya tubuh wanita itu dengan hatihati dan dengan hati-hati pula digolekkannya di atas ambin .
Keesokannya matari telah tinggi di langit setelah dengan susah-payah menerobosi dasar laut Pintu kamar gandok kiri itu masih juga belum terbuka. Di gandok kanan para nakhoda dan saudagar telah meninggalkan tempatnya masing-masing untuk pergi ke kota atau mancal berpesiar. EM dapur kesyahbandaran Nyi Gede Kati sudah sibuk memasak.
Idayu belum juga muncul. Waktu menara pelabuhan mengirimkan taluan canang ke semua mataangin, Idayu baru membukakan mata. Tubuhnya belum juga bergerak. Ia terbangun dari suatu impian aneh. Dan ia mulai mengingat-ingat impian itu. Ia menggeleng tak mempercayai. Matanya dikocoknya. Menengok ke arah pintu. Ia ragu-ragu, tersentak duduk. Dilihatnya pasak pintu tidak terpasang. Juga tidak berdiri di tempatnya. Siapa gerangan telah memindahkan dari tempatnya yang biasa"
Ia terkejut waktu pikirannya menduga-duga barangkali ada orang masuk ke kamamya ataukah Galeng sudah pulang"
Ia hendak melompat turun. Tapi tubuhnya dirasainya sangat lemah. Pelan-pelan ia turun dari ambin. Kakinya tersentuh pada cundrik yang tergeletak di kolong. Dipungutnya senjata tajam itu dan dimasukkan ke dalam sarongnya yang juga tergeletak di lantai.
Ingatannya dikerahkan untuk meraih waktu semalam sebelum tidur.
Ia yakin semalam belum lagi naik ke atas ambin. Matanya terbeliak mendadak. Di tepian langit-langit dilihatnya serombongan semut berpawai menggotong kaki kecuak. Pelita gantung itu masih menyala tetapi tidak di tempat yang semestinya. Dan ia masih dapat mengingat dalam impian: seseorang mengangkatnya ke atas ambin dan hembusan nafasnya meniup pada mukanya. Sayup-sayup ia dengar suara yang dikenalnya itu merayukan kata-kata cumbu pada kupingnya.
Ia memekik, tetapi tak ada suara keluar dari mulutnya. Kekacauan merangsang pikirannya. Ia melompat ke ambin. Selimutnya masih terlipat rapi di atas bantal. Tapi bantal itu sendiri tidak berada di tempat. Ia termangumangu. Apakah benar impin itu" Tuan Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Almasawa"
Ia terkejut, tersedar sedang dalam keadaan telanjang bulat. Tak mungkin! teriaknya dengan suara menggigil dalam hati. Pastilah mungkin semalam telah kulepas.
Ia periksa tubuhnya, dan dirasainya ada bekas-bekas dari impian semalam.
Ia terduduk lemas. Bersimpuh ia dan menelungkup pada tepian ambin dan terhisak-hisak: Dewa Batara! Impian apakah yang kau berikan padaku ini"
Mendung bergulung berpusing-pusing dalam hatinya. Mengapa kau jadi begini, Nak" Nyi Gede Kati menolongnya berdiri. Kau sakit"
Ia berdiri sambil memungut kainnya yang terkapar di lantai dan mengenakannya. Dengan langkah lunglai ia pergi ke tempat mandi.
Sehari itu ia tak makan. Juga tak bicara. Dan sejak hari itu ia nampak murung. Tetapi impian itu memburunya terus. Ia menggigil, menyebut, menangis, memohon, membaca mantera .
Tiga hari kemudian, tengah malam, ia menghadap pada Hyang Widhi, memohon: Kalau impian itu benar, duh Gusti, apalah gunanya hidup yang kau berikan padaku ini" Ambillah dia kembali, Gusti.
Dan Hyang Widhi tidak mencabut hidup yang diberikan kepadanya.
Pada hari yang ke sembilan ia ulangi menghadap. Juga Hyang Widhi tidak mencabutnya. Dan impian itu bukan sekali saja terjadi. Setiap Sang Adipati memanggilnya untuk menari, hampir selalu impian terkutuk itu datang melengkapi. Dan tak ada seorang pun yang dapat diajaknya bicara tentang itu.
Pernah ia menduga: di dalam kamar tinggal ini barangkali ada juga gandarwa terkutuk. Ia telah taburkan tepung garam pada pojokan-pojokan dan telah ia pasang sesaji, ia pun telah bakar dupa dan setanggi. Tanpa hasil. Tetap juga Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Almasawa datang berkunjung di dalam impiannya, dan membujuk, dan merayu, dan memeluknya, tindakan demi tindakan sampai seluruh percintaan selesai. Ia masih saja dapat rasai sentuhan jenggot, kumis dan cambang-bauknya.
Dalam alam jaga pasti aku akan melawan, pikirnya. Mengapa dalam alam impian tak dapat"
Ia pun ucapkan mantra-mantra penolak gandarwa sebagaimana pernah dipelajari dan dihafalnya. Juga tanpa daya.
Pernah juga ia berpikir: mungkin semua ini pekerjaan Tuan Syahbandar yang mempunyai daya sihir unggul. Dan pikiran itu saja sudah membikin ia bergidik, merasa diri tak ada kemampuan melawannya kecuali bersandar pada perlindungan Hyang Widhi.
Pernah juga ia bertekad untuk meninggalkan kesyahbandaran dan pulang ke desa. Tetapi sang Adipati tidak pernah mengijinkannya dan ia tak berani mempersembahkan alasan.
Rupanya belum lagi cukup tersiksa batinnya selama ini: ia rasai tubuhnya sendiri mulai berubah. Ia mengandung. Sekali lagi diberanikannya hatinya menghadap Sang Adipati. Dan ini terjadi pada suatu sore di beranda belakang. Ia duduk bersimpuh di lantai. Sang Adipati di ambin kayu berukir.
Kau pucat dan kurus, Idayu, Kamaratih Tuban. Ada apa gerangan, pujaan Tuban"
Ampun, Gusti sesembahan patik, justru itulah sebabnya patik datang menghadap. Limpahkan kiranya ampun Gusti Adipati pada patik, karena patik berhalangan untuk menari dalam beberapa bulan ini.
Ah-ya, Idayu, agaknya kami mengerti. Barangkali kau mengandung.
Demikianlah adanya, Gusti sesembahan patik. Berbahagialah kau. Kata orang tua-tua, anak-anak berbahagia akan dilahirkan dari percintaan yang sejati. Berbahagialah anakmu itu kelak, Kamaratih Tuban.
Dalam duduk menekuri lantai ia teringat pada suaminya yang belum juga pulang. Dan ia ingat pada pesannya untuk membela diri. Ia bersedia membela diri dan temyata dalam impian tidak punya kemampuan. Adakah lagi yang hendak kau persembahkan"
Ampun, Gusti, bila diperkenankan, patik memohon diperkenankan pulang ke desa Gusti.
Sang Adipati tertawa ramah dan tulus.
Tidak senangkah kau jadi istri punggawa maka minta pulang ke desa" Ia bangkit mendekati penari kenamaan itu. Waktu tangannya telah sampai pada kepala Idayu dan hendak membelai rambutnya, segera ia menariknya kembali.
Jangan, larangnya setelah duduk kembali di ambin. Suamimu belum juga pulang. Kalau kau perlukan seseorang untuk membantu atau menemanimu di rumah .
Pada waktu itu menteri-dalam Kadipaten datang bersembah, bahwa segala telah dipersiapkan untuk Idayu.
Dengar, Idayu, seluruh Tuban dan kami sendiri sangat menghargai segala yang telah kau pertunjukkan di hadapan kawula Tuban dan kami selama ini. Kau sekarang mengandung. Lama takkan menari. Biar pun begitu kami tak berkenan membiarkan kau pulang ke desa. Inilah hiburan untukmu, majulah Idayu, dan terimalah. Idayu mengesot maju dan menerima bungkusan dari tangan Sang Adipati.
Dan sejak hari ini. Idayu, kami berkenan mengangkat kau dengan gelar Nyi Gede, kemudian pada menteridalam, hendaknya dimasyhurkan anugerah gelar ini pada sore hari ini juga, dan kembali pada Idayu, pulanglah kau, Nyi Gede, sejahtera untukmu!
Seseorang wanita muda mengantarkannya pulang. Dan sejak itu ia menjadi pembantu dan teman sekamamya.
Anugerah gelar itu dibenarkan oleh seluruh Tuban. Dan berita tidak resmi tidak kurang menariknya: Kamaratih Tuban mulai mengandung. Para wanita tua mulai sibuk menunggu kedatangan sang bayi hasil percintaan berpribadi semacam itu yang kelak akan jadi cerlang-cemerlang dengan kasih para dewa, akan menjadi kebanggaan seluruh negeri di kemudian hari.
Orang tua-tua pun pada berbondong-bondong mengerumuni pintu gerbang kesyahbandaran. Dan Paman Marta, tukang kebon itu, meneruskan pesan dan sumbangan kepada Idayu.
Sebaliknya Idayu semakin berkecil hati. Semakin hari ia semakin kurus dan merana. Wajahnya pucat kehijauan sehingga pembuluh darahnya seakan hendak keluar dari balik kulitnya.
Ia jarang keluar rumah, lebih banyak menggeletak di ambin, dengan tempolong menunggu di bawahnya untuk setiap waktu menerima segala apa yang dimuntahkannya dari mulutnya. Dan pembantunya dengan sabar memijiti tengkuk dan punggungnya tanpa mengucapkan sesuatu kata.
Dan bila malam telah larut dan wanita muda dari kadipaten itu telah terlelap di pojokan, mulai teriakanteriakan itu meraung dalam sanubarinya: Anak siapakah kau yang berada di bawah jantungku ini" Anak Kang Galeng. Bukan, dia anak tuan dalam impian itu. Bukan, dia anak Kang Galeng.
Telah beratus, mungkin beribu kali ia mencoba meyakinkan diri sendiri: Kau anak Kang Galeng, Nak, anak Kang Galeng, tidak bisa lain. Sambil membelai perutnya yang semakin besar juga. Tak ada gandarwa atau drubiksa bisa buntingkan manusia. Nak, kau dengar aku" Kau anak Kang Galeng.
Namun tetap ada suara lain melengking dengan nada tinggi memancar dari pedalaman hati. Dan suara itu mengatasi yang lain-lain: Itu anak tuan Sayid, tuan Syahbandar. Jangan coba-coba bohongi diri sendiri. Anak Sayid! Sayid yang sakti mantraguna, Idayu! Tetap tak ada seorang pun dapat diajaknya bicara. Maka ia pun membisu tentangnya.
Nyi Gede Kati pernah menegumya: Banyak wanita tak bosan-bosannya memohon untuk dikaruniai anak. Kau, Idayu, mengapa murung seperti tak rela mendapatkan karunia"
Ia semakin kurus juga dan ketenteraman batinnya tak juga pulih. Kadang-kadang ia rasai tangan-tangan maut menggerayangi kakinya. Dan dikeraskan hatinya dengan mantra buatan sendiri: Tidak, ya Batara, jangan biarkan aku mati sebelum bertemu dengan suamiku. Hidupi aku, ya Batara, dan berikan pada kami impian dulu dan selalu kami pohonkan dulu kepada-Mu.
Tak pernah ia merasa sedekat sekarang dengan Hyang Widhi. Batas antara hidup dan mati itu kini sungguhsungguh telah kehilangan keseraman dan kesungguhan. Dan: Ya, Batara, biarlah Kang Galeng tahu lebih dahulu anak ini anaknya atau bukan. Bila tidak, biarlah dia puaskan kerisnya pada dadaku sebagaimana telah jadi haknya, karena hidup tanpa kasih-sayang tiada kan ada gunanya..
0o-dw-o0 Tengah hari kala itu. Terdengar Paman Marta berseruseru riang: Tuan Syahbandar-muda datang, Nyi Gede!
Idayu merasai adanya kekuatan segar tiba-tiba merasuki seluruh otot dan hatinya. Ia melompat dari ambin, lupa pada kandungannya, berjalan cepat ke belakang, mandi, kembali lagi ke kamar dan bersolek secantik mungkin. Disenyum-senyumkannya bibir yang pasi itu pada cermin perunggu. Disisimya rambutnya cepat-cepat, diminyakinya dan disisirinya lagi. Diambilnya pakaian terbaik tenunan sendiri. Kemudian dengan terburu-buru menggosok gigi dengan tepung arang.
Kang Galeng datang, hatinya ia paksa menyanyi keras untuk menindas lengking yang selalu menuduh pada tiap kesempatan itu.
Duduklah ia kini di bangku serambi kamar, menunggu suaminya memasuki pelataran depan. Taman bunga di depan kesyahbandaran itu kehilangan keindahannya.
Warna-warni bunga-bungaan tiada berarti lagi baginya. Dan yang ditimggunya belum juga kunjung muncul.
Benar, Nyi Gede, jawab Paman Marta. Sahaya sendiri sudah melihatnya. Biar sahaya tengok lagi di bandar.
Lelaki itu bergegas meninggalkan pelataran kesyahbandaran dan turun ke jalan besar. Mukanya berseriseri berbahagia telah mendapat pertanyaan dari Dewi Cinta yang sedang merana itu. Tak lama kemudian ia muncul lagi dan berdiri menekur di hadapan Idayu; Orang bilang, Nyi Gede, Bandara Syahbandar-muda langsung naik ke kota.
Nyi Gede Kati datang dan menegurnya: Kau kelihatan berdarah, Idayu. Mengapa tak kau kenakan perhiasanmu" Kau belum tahu bagaimana rindu suamimu terhadapmu"
Bolehkah sahaya pergi, Nyi Gede" Paman Marta minta diri.
Idayu mengangguk dan tukang kebun itu pergi untuk meneruskan pekerjaannya.
Sejak kecil kami bergaul tanpa perhiasan, Nyi Gede. Sebaiknya kau kenakan, Nak.
Mengapa dia tak langsung pulang" Idayu bertanya dengan nada protes.
Dia pergi bukan untuk berpesiar, Nak. Dia harus menghadap dulu. Itu kewajibannya.
Idayu masuk ke dalam kamar. Memang ada niat untuk mengenakan perhiasan dan berganti dengan pakaian karunia Sang Adipati, salah satu dari sekian banyak karunia yang telah diterimanya setelah kepergian suaminya. Suatu kekuatan mencegahnya. Dan ia tetap dalam pakaian tenunan sendiri.
Sebelum matari tenggelam suami yang dirindukan itu nampak memasuki pelataran depan. Idayu berdiri menyambutnya di beranda. Kedua belah tangannya telah merasa hangat untuk segera dapat meraih seperti dulu sebelum lelaki itu jadi suaminya, dan membisikkan katakata cumbu.
Darahnya mendadak mendidih dan semua kerinduannya buyar.
Tholib Sungkar Az-Zubaid lari-lari kecil menuruni tangga kesyahbandaran dan memanggil suaminya yang sedang berjalan menuju padanya.
Galeng berhenti, balik kanan jalan dan membungkuk pada Syahbandar, majikannya.
Syahbandar Tuban mengangguk sambil tertawa. Ia tegakkan bongkok, melambai kemudian bertepuk-tepuk: Wira, Ah, Wira!
Dan Wiranggaleng mengiringkannya masuk ke gedung utama.
Semua orang memilikinya, kecuali aku, Idayu memprotes.
Mari ke gedung utama, Idayu, Nyi Gede Kati mengajak.
Untuk petama kali ia bicara sengit pada wanita itu: Tempat suamiku ada di sini, Ibu. Kalau dia tak mau pulang, biarlah tak muncul lagi.
Cemburu kau, Idayu" Idayu tersedan-sedan tercekik oleh kekecewaannya, tersedan-sedan untuk ke sekian kalinya selama ini. Sia-sia Nyi Gede Kati menghibumya.
Biar aku suruh pulang dia, katanya, kemudian melangkah cepat-cepat ke gedung utama. Idayu masuk ke dalam kamar, merebahkan diri ke ambin. Ia menyesal telah mengasari Nyi Gede Kati yang selama itu begitu baik terhadapnya. Tak lama kemudian diketahuinya suaminya masuk. Terdengar olehnya suaranya.
Dewiku! Dewiku! Kakangmu datang.
Semua penderitaannya ia rasai luluh cair. Tetapi ia purapura tak dengar. Maka ia rasai tangan-tangan kuat suaminya mengangkat tubuhnya dari ambin, mendekapkan pada dadanya yang bidang. Ia menangis untuk ke sekian kalinya, tapi yang sekarang bukan tangis derita tangis bahagia tanpa ukuran.
Kau kurus, Idayu, Kau terlalu banyak menari. Ah, kau, Kang Galeng, berapa bulan aku harus tunggu kau. Semestinya kau sudah merasa, bukan hanya aku seorang yang merindukan, juga Kang, juga anak yang sudah mengintip di bawah jantung ini.
Mengandung! Kau mengandung, Idayu" ia letakkan kembali istrinya ke atas ambin. Ia buka kain Idayu. Ia ciumi anak yang bersembunyi di balik kulit perut. Dan suaranya mendesis gugup: Aih, anakku! Anakku! Tiada aku sangka! ia kagumi istrinya. Mereka memuji-muji kau belaka, Idayu, mereka semua memohon untuk kesejahteraan dan keselamatanmu. Dan anak ini juga. Mereka bilang, kau sedang mengandung. Dan mereka bilang, kau sudah mendapat karunia gelar .
Dan malam datang dengan cepatnya.
Dunia menjadi tenang. Hanya desau dan deburan ombak meningkahi suasana. Sebentar burung tuwuk melintasi malam, menyebarkan seruannya yang keras dan tunggal itu.
Idayu tergolek di ambin. Matanya terpejam menikmati kedamaian dan kebahagiaan di samping suaminya yang sedang tergolek juga.
Juara gulat itu sedang mengawasi sotoh dengan pandang menembusi masa silam dan masa yang baru saja dilewatinya. Oleh Sang Patih ia dipuji-puji sebagai seorang punggawa berbakat dan pasti akan mendapatkan tugastugas yang lebih berarti. Semua pekerjaannya dianggap berhasil. Ia sendiri tidak tahu di mana dan bagaimana hasil pekerjaannya itu. Sang Patih telah membawanya menghadap Sang Adipati. Penguasa itu menitahkan pada Sang Patih untuk mengundurkan diri, kemudian sendiri berkata padanya: Tidak salah pilihanku, kau, Wiranggaleng, kau, anak desa . cepat atau lambat kaulah orang yang akan memanggil kembali kejayaan dan kebesaran masa silam untuk Tuban. Mungkin kau sendiri belum mengerti di mana pentingnya hasil pekerjaanmu sekali ini. Kelak kau akan mengerti juga. Kau tahu apa yang seharusnya kau ketahui. Itulah rahasia kekuatanmu. Kau ada kemampuan, hanya barangkali belum pernah terlalu rindu padamu. Dan perlu kau ketahui, selama ini ia sering menari di sini.
Ia berbesar hati karena semua pujian itu. Pujian dari Sang Patih dan Sang Adipati sendiri! Orang-orang yang begitu berkuasa! Dan ia berjanji pada diri sendiri untuk menyediakan waktu guna memahami di mana hasil pekerjaannya di Jepara dan Demak selama ini. Kau tak juga bercerita, Kang, tegur istrinya. Terlampau lama kutinggalkan kau, Idayu. Tak bisa lain.
Sekarang kau sudah begini dekat, Kang, dan kau belum juga menceritakan sesuatu.
Aku rindu, Idayu. Kau rindu juga" dan Idayu tak menjawab. Mengapa kau diam saja" Marah" Aku selalu ketakutan, Kang.
Aku tahu apa yang kau takutkan, Wiranggaleng membayangkan Sang Adipati dan Syahbandar Tuban. Tetapi aku tahu juga kau akan membela diri dan pandai melakukan itu.
Idayu merangkulnya. Suaranya gemetar: Di tanganku ada cundrik, Kang, ia menguatkan rangkulannya. Tangan ini tiada kuasa, layu-lesu tanpa daya. Karena, Kang, dia datang dalam impian.
Dan kata orang tua-tua, Wiranggaleng meneruskan, jangan berbuat dosa, sekalipun dalam impian Kau masih ingat itu, Idayu"
Dia justru datang dalam impian, Kang, dan tak ada cundrik di tanganku.
Kau sedang bercericau, Idayu! Bicaramu begini aneh, dan digoyang-goyangkannya tubuh istrinya. Apa maksudmu"
Berceritalah Idayu tentang pengalaman mimpi yang berulang terjadi hampir pada setiap ia pulang dari menari. Dan Wiranggaleng mendengarkan cermat-cermat sebagaimana biasa ia dengarkan setiap kata dari kekasihnya.
Penutup cerita adalah pertanyaan: Bagaimana, Kang, sekiranya impian itu benar"
Impian tinggallah impian.
Dan anak di bawah jantung ini. Kang, kan bukan anakmu"
Husy. Orang bunting memang suka mengada-ada. Maka, Kang, maka akan kau hunus keris, kelak. bila si anak lahir, dan akan kau tikam kekasihmu ini. Kau akan tarik sebilah pedang dan kau cincang si bayi yang tertidur di samping bangkai ibunya. Kemudian kau akan lari, lari, lari entah ke mana, membawa dendam dan kesakitan di dalam hati. Tetapi tak ada tempat di mana kau akan pernah sampai. karena ingatanmu selahi akan kembali pada kekasih yang lelah kauhatra dengan keris sendiri .
Kau semakin aneh, Idayu. Diam, diamlah. Impian tinggal impian, kenyataan tetap kenyataan. Tidurlah. Atau haruskah kunyanyikan lagi kau ini seperti dahulu di ladang"
Idayu terdiam tak bicara lagi. Kembali ia mengukuhkan: rangkulannya pada dada suaminya. Dan dada yang bidang itu melindunginya dari kegelisahan dan ketakutan.
Dan Wiranggaleng membiarkannya. Angan Syahbandarmuda itu kini sibuk menggalang gambaran hari depan yang penuh dengan kebesaran, kejayaan dan kemegahan. Semua dimulai dengan cipta, kata Rama during. Semua itu tak bakal ada tanpa cita. Dan puji-pujian sebentar tadi mungkin pertanda ada dayacipta di dalam jiwanya. Apakah cipta" Guru-gurunya dulu belum pernah ada yang mengajarkan. Ia tak tahu. Ia berusaha meyakinkan diri, ia mengerti apa yang dikehendaki Sang Adipati dan Sang Patih atas dirinya: kepatuhan pada perintah dan menjalankan dengan sebaikbaiknya tanpa mengindahkan soal-soal selebihnya. Dan inilah rupa-rupa jalan untuk memanggil kembali kebesaran dan kejayaan masa silam. Bukankah tidak lain dari Sang Adipati sendiri yang mengatakan: tak ada kebesaran dan kejayaan dapat dipanggil pada guagarba haridepan tanpa restu seorang raja" Benar. Semua benar. Dan terpampang di hadapannya kini haridepan yang gilang-gemilang itu: Tuban yang tiada tara, dengan Angkatan Lautnya yang menjelajahi semua samudra dan menguasai pulau-pulau . Semua akan terjadi karena jasa-nya, jasa Wiranggaleng. Demak dan Jepara tidak bakal bisa menandingi Tuban. Mereka di barat sana tak tahu apa makna memanggil kembali kebesaran dan kejayaan Majapahit pada guagarba haridepan. Mereka tak tahu!
Dalam suasana hati yang naik semangat itu ia mengucapkan terimakasih pada mendiang Rama Cluring dan semua guru-pembicaraan yang pernah didengamya.
Seakan mengerti apa yang sedang menggelegak dalam hati suaminya, Idayu berbisik lembut: Nampaknya desa kita makin lama makin jauh dari langkahmu, Kang. Rasarasanya kita takkan sampai-sampai juga ke sana. Sampai, bisik juara gulat itu.
Gubuk kita tak juga kan berdiri di pinggir hutan itu, Kang. Ayam jantan yang seekor itu terasa bisu tiada kan berkeruyuk untuk selama-lamanya. Dan anjing-anjing kita takkan bisa jadi cerdik, juga untuk selama-lamanya. Bisa.
Atap ilalang itu tak juga kau ganti dengan injuk. Kau tak juga bermaksud ke hutan menyadap enau dan membawa pulang injuknya yang hi tarn kelam pilihan itu.
Wiranggaleng tertawa dan ditariknya kuping is trinya: Makin tua kau makin cerewet.
Dan Idayu tetap memeluk suaminya, menekankan kuping pada dadanya agar tak mendengar desau angin dan deburan laut.
Melihat istrinya telah tidur dalam kedamaian dan kenyenyakan, ia membiarkan angannya lepas bebas tanpa batas.
Apa kata Rama Cluring" Aku bicara tidak tentang kematian, tetapi tentang kehidupan yang bercipta dan mencipta. Aku tak bicara tentang kematian, karena tanpa dibicarakan pun dia akan datang tepat pada waktunya . Mengapa Idayu lebih suka bicara tentang kematian" Tidak betul. Keliru! Yang benar adalah hidup, kehidupan dan geloranya, dipimpin oleh cipta dan dimeriahkan oleh kerya mencipta.
Pagi-pagi benar Idayu sudah memulai dengan katakatanya yang aneh. Ia tudingkan dagunya ke arah jendela rumah utama. Suaminya mengikuti arah tudingannya, dan dilihatnya pada jendela itu sebagian dari muka Syahbandar Tuban.
Kau lihat sendiri sekarang bagaimana dia selalu mengintip kesini disiang hari. Kadang-kadang beberapa kali. Dan dia datang kemari dalam impian di waktu malam.
Diam, Idayu. Kau terganggu karena kandunganmu. Wiranggaleng dapat menangkap kilat pada mata Thotib Sungkai Az-Zubaid. Ia tercenung. Barangkali keluhan dan cerita istrinya bukan tidak punya dasar.
Namun ia tetap tidak menanggapi.

Berlanjut ke bagian 11


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar