Arus Balik.
Karya : Pramoedya Ananta Toer.
Bagian 27.
Orang melihat wajah Trenggono pucat. Ia balikkan kudanya dan tanpa bicara lagi langsung pulang menuju ke ibukota. Dan orang menganggap kejadian itu sebagai perlambang kekuasaan Trenggono yang akan datang, dan nasib Demak yang takkan dapat diingkari: kandas di tengah jalan, takkan menyelesaikan garapan.
Setelah perburuan itu agak lama Sultan tak bicara. Dan karena Ratu Aisah sudah lama pun tidak bicara lagi, seakan sudah membisu untuk selama-lamanya, orang menganggap pertikaian sudah selesai.
Ternyata tidak demikian. Pada suatu penutupan lomba sodor, seorang pembesar telah menyebabkan Trenggono bicara lagi.
Sembah pembesar itu: Sudahkah Gusti Kanjeng Sultan pertimbangkan nasib Sunan Rajeg yang ditumpas hanya oleh seorang anak desa bernama Wiranggaleng"
Sejenak Trenggono termangu-mangu untuk menjawab. Ia tarik-tarik dagunya, kemudian menjawab lantang: Bukankah itu sama halnya dengan Kuti ditumpas oleh Gajah Mada di jaman jahiliah dulu" Ingat-ingat kesalahan Kiai Benggala itu: dia tidak berbuat sesuatu pun untuk kejayaannya sendiri. Semua orang lain yang harus bekerja dan mati untuk dia. Ajaran dipergunakannya sebagai modal, dan ia hanya memungut bunga dari modal yang diberikan oleh Allah kepadanya. Tuban mengutuknya. Ilmu dan pengaruhnya sangat, sangat tinggi di tengah-tengah padang semak belukar. Maka bila bukan petir yang menyambarnya, hanya seekor oret mematahkan batangnya. Walhasil dia roboh juga. Itulah nasib semua penguasa yang dalam segala hal, kecuali cebok dan berak tergantung pada jasa orang lain. Ingat-ingat semua itu, karena Sultan Trenggono tidak akan pernah demikian .
Ratu Aisah tetap membisu.
Wanita tua itu mempunyai kesibukan sendiri. Setelah wafatnya putra tercinta orang sering melihatnya ditandu ke Mantingan dari Jepara.
Pembangunan itu sendiri dilakukan oleh tukang bukan Tionghoa berkuncir yang didatangkan dari Semarang, bahkan juga tatabangun diserahkan pada mereka. Tukangtukang Pribumi oleh Unus diperintahkan belajar bagaimana membikin batu dan membangun rumah dari batu. Maka mesjid itu akan jadi bangunan batu yang ke tiga di seluruh Jepara. Dan ke tiga-tiganya dibangun oleh tukang-tukang dari Semarang. Bangunan ke dua adalah gedung batu berlantai rendah di Welahan. Pada mulanya masyarakat Tionghoa akan mempersembahkannya pada Sultan Unus untuk dijadikan pesanggrahan. Dengan wafatnya mereka membatalkan niat itu.
Mesjid Mantingan didirikan dengan lantai tinggi ditutup dengan ubin bikinan Tiongkok, dan demikian juga undakundakannya. Semua didatangkan dari Makao. Bangun atap termasuk hubungan adalah gaya Tiongkok. Dinding luar dan dalam dihiasi dengan piring tembikar bergambar biru sedang dinding sebelah tempat iman dan khatib dihiasi dengan relief-relief persegi bergambar margasatwa dan penari-penari yang dipahat pada batu cadas kuning tua.
Pengawas pekerjaan baik di Welahan maupun Mantingan tak lain daripada Babah Liem Mo Han.
Pada suatu hari dalam pertemuan antara Ratu Aisah dengan Liem Mo Han, di dalam mesjid yang hampir selesai itu, terjadi suatu percakapan yang kembali membangunkan pada lain orang pada pertikaian antara ibu dan anak.
Seorang raja di Jawa yang kuat dalam pendirian dan terhormat dalam tindakan adalah yang seperti almarhum Unus. Sayang Allah belum mengijinkan, cedera badan menghalangi rencananya. Siapa lagi sekarang penantang Peranggi" Babah mengenal sendiri putraku almarhum. Sendiri naik ke Malaka dan memimpin pertempuran. Dia gagal, tapi pendengarnya tidak pernah gagal, tapi pandangannya tidak pernah kalah, tidak pernah gagal. Barangsiapa raja tidak pernah kalah, tidak pernah gagal. Barangsiapa raja tidak berpandangan seperti dia, dia sudah kalah sebelum menghadapi Peranggi itu sendiri. Peranggi bisa dihalau dan dikalahkan, kata putraku almarhum, dengan persekutuan semua raja di Jawa, Sumatra, Melayu, Sulawesi dan Kalimantan dan Nusa Tenggara dan Maluku sendiri, dan Tionghoa. Tindakan yang sebaliknya akan berakibat panen yang sebaliknya .
Liem Mo Han tidak menyela, hanya mendengarkan dengan menunduk. Dan ia tahu tak boleh mencampuri pikiran Gusti Ratu. Lagi pula ia menganggap wanita tua itu sedang melepaskan pikirannya sendiri tak menghendaki tanggapan. Kata-katanya sampai juga ke Demak.
Kembali orang tergugah oleh pertikaian lama antara ibu dan anak. Dan berita itu sampai juga ke Pasai dan Malaka.
Portugis menarik kesimpulan: Trenggono terang bukan Unus. Armada Unus dalam persiapan mereka anggap memang sudah tenggelam sebelum diturunkan ke laut. Dan Portugis memutuskan untuk memadamkan pengaruh Ratu Aisah.
Maka terjadilah apa yang mereka kehendaki.
Pagi itu matari belum lagi setinggi pohon pisang. Bangku kayu jati terukir dalam itu tidak lagi kosong seperti biasanya. Ratu Aisah duduk di atasnya. Telunjuknya yang tua menutas surat bertulisan Arab dan berbahasa Jawa. Di bawahnya duduk seorang perempuan Melayu.
Dengan suara tuanya yang masih juga lantang ia berkata dalam Melayu: Bagaimanakah, perempuan Melayu, istri seorang Peranggi Malaka, Sibarani itu seberangi laut jauh, datang pada kami, hanya untuk menyampaikan surat Peranggi yang sehina ini isinya" Tidak, perempuan Melayu, tak patut kami balas surat ini. Pulanglah kau kembali. Sampaikan pada Peranggimu, entah di Malaka, entahlah di Pasai, entah di mana lagi tak ada perselisihan antara kami dengan Gusti Kanjeng Sultan dapat menguasai seluruh Jawa. Gusti Kanjeng Sultan tak membutuhkan meriam Peranggi. Bahkan sekiranya Aisah ini pula, kami sendiri akan datang menggambar Malaka .
Tidak tercentakan lagi bagaimana kisah perempuan Melayu itu. Apakah ia balik ke negerinya atau tidak, pun tiada yang tahu. Ada berita tentang penghadapan itu pecah sejadi-jadinya ke seluruh dan semua bandar di Nusantara.
Di Jawa sendiri para bupati merasa lega dari ketegangan melawan Trenggono. Walau demikian mereka tetap bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Perbedaan antara Unus dan Trenggono terlalu besar. Dan berapa bedanya dua orang dari satu orang tua dan satu pendidikan itu. Sekiranya Unus masih hidup dan berseru para bupati untuk melakukan serangan gabungan ke Malaka, mereka akan bergabung tanpa ragu-ragu. Tetapi Trenggono mengancam mereka dengan perang perluasan kekuasaan yang takkan menyatu akibatnya.
Walaupun utusannya pada Ratu Aisah tak membuahkan sesuatu hasil, Portugis di Malaka untuk sementara waktu berpegangan pada kata-kata wanita tua itu tak ada pertikaian mendalam antara Trenggono dengan ibunya; wanita itu bukan telah berani bicara atas nama Sultan menolak tawaran meriam.
Tolakan sedang bermuslihat dengan gembar-gembornya, pura-pura hendak menguasai Jawa dan menutup terhadap Peranggi. Pada dasarnya ia sama dengan abangnya: Malakalah justru yang akan dibikinnya jadi bulan-bulanan.
Maka diputuskanlah: belum masanya untuk melaksanakan pembukaan kantor dagang di Jawa, di Sunda Kelapa pun belum walau tempatnya jauh dari Demak. Pengaruh Unus masih tetap kuat.
Rencana Sunda Kelapa harus ditangguhkan. Kedatangan wanita Melayu mengadap Ratu Aisah dan berita tentang penolakan tawaran meriam itu benar-benar mengejutkan Trenggono. Ia sama sekali tidak menduga wanita tua itu bisa berkata yang begitu indah, menyelamatkan namanya dari kecaman umum. Tetapi ia pun menjadi murka karena perempuan itu berani begitu lancang bicara atas namanya.
Para pembesar telah mencoba-coba mengetahui tanggapannya atas ucapan Ratu Aisah. Dan ia merasa harus mengendalikan diri. Bagaimanapun suara itu berasal dari seorang ibu, dan bagaimanapun kedudukannya sendiri adalah seorang anak.
Ucapan, bahwa tak ada pertikaian antara ibu dan anak, akan dipergunakannya sebaik-baiknya. Ia harus belajar mengambil manfaat dan setiap hal yang menguntungkan.
Maka pada suatu hari yang tak terduga-duga, dalam iringan pasukan kuda. Sultan Trenggono berangkat ke Jepara untuk bersujud pada Gusti Ratu Aisah. Orang harus mengerti, tak ada apa-apa antara ibu dan anak, tak ada pertikaian, tak ada perselisihan, hanya ada kedamaian dan perdamaian.
Pasukan kuda itu berbaris dengan segala kebesaran dan kemewahan. Mereka semua bersenjata tombak tunggal dengan umbai-umbai berwarna-warni pada persambungan antara paksi dengan tangkai. Dada mereka yang tertutup baju kutang putih. Dan pedang pendek menghiasi setiap pinggang. Juga kepala kuda dihiasi dengan warna-warni bunga-bungaan sedang abah-abah dengan kuningan dan perunggu. Umbul-umbul kecil berkibar-kibar di tengahtengah, di depan Sultan.
Tak pernah Demak, apalagi Jepara, menyaksikan pasukan kuda berbaris sepanjang dan seindah itu. Dan mereka berangkat tanpa sepengetahuan Majelis Kerajaan.
Di Jepara sebagian besar pasukan berpawai ke sekeliling kota suatu pameran kekuatan darat yang tak pernah sebelumnya dalam sejarah Jepara.
Sebagian kecil pasukan mengiringkan Sultan untuk mendapat Gusti Ratu Aisah.
Trenggono disambut oleh ibunya di pendopo. Pasukan kuda yang mengiringkan berbaris mengelilingi rumah itu seakan sedang mengepungnya.
Ratu Aisah duduk di atas bangku kayu berukir. Di lantai duduk para inang, sedang Trenggono duduk di atas kursi di hadapannya lebih tinggi, karena dialah Sultan.
Ratu Aisah mengenakan kain batik, kemben wulung dan selendang batik. Pada kepalanya seperti biasa, menghias kerudung batik pula. Sultan mengenakan jubah sutra kuning dan bersorjan kuning pula. Sorban itu berhiasan rantai mas dengan intan bertaburan pada jumbai balik di atas kening juga bernama kuning. Ratu Aisah bertelanjang kaki. Sultan mengenakan terompah kulit.
Pertemuan ini adalah suatu kejadian yang akan menentukan nasib Jawa dan Nusantara di waktu dekat mendatang dan jauh di kemudian hari pertemuan antara ibu dan anak, perbenturan antara dua pandangan dan pendapat.
Ratu Aisah memutar-mutarkan tangkai bunga kuning dengan jari-jari tuanya. Bunga itu bermain-main di atas pangkuannya, bolak-balik seperti roda kereta Dengan senyum pada bibir yang dihiasi merah sirih dan dengan suara lemah ia berkata: Sembah dan sujud putranda Baginda Sultan adalah laksana siraman air sejuk di hati bunda dalam terik berapa tahun. Alhamdulillah Baginda Sultan tiada malu menengok si tua-renta ini. Maklum Baginda Sultan adalah putra Sultan dan Khalifah, sedang si tua-renta ini hanya anak seorang guru agama di pesisir.
Ah. ibunda Ratu. seakan kata-kata itu telah ibunda pilih agar tak terulang lagi yang telah ibunda Ratu ucapkan pada kakanda Unus almarhum. Apakah kasih ibunda Ratu pada almarhum harus mengurangi kasih pada sahaya"
Jangan menjadikan kecil hati Baginda Sultan. Seorang ibu mengasihi semua putranya , jawab Ratu Aisah, dan tangannya masih terus juga memutar-mutar tangkai bunga itu.
Ada terasa di hati besarnya kasih tiada sama, ibunda Ratu.
Apa hendak dikata. Kadang ada seorang putra yang lebih memesrai seorang ibu, kadang seorang ibu lebih dimesrai, kadang seorang putra lebih dimesrai karena apa yang telah dipersembahkannya pada ibunya.
Berilah sahaya waktu dan kesempatan, Ibunda Ratu, untuk mendapatkan kemesraan yang merestui itu, kata Trenggono dan ditudingnya pasukan kuda yang berbaris di luar. Pasukan kuda, Ibunda Ratu, kebanggaan Trenggono dan Demak .
Syukurlah ada pasukan kuda peninggalan ayahanda almarhum dan dikembangkan oleh kakanda Baginda Sultan Unus almarhum: Sungguh patut jadi kebanggaan . Baru di tangan Trenggono mendapatkan bentuknya . Syukurlah. Allah telah mengabulkan .
Ibunda Ratu, Kakanda Unus almarhum telah mempersembahkan pertempuran Malaka ke bawah kaki Ibunda Ratu. Trenggono akan persembahkan seluruh Jawa ke bawah duli kaki Ibunda. Tidak akan lama lagi, ibunda Ratu, dan seluruh Jawa akan sujud padamu. Insya Allah. Kalau tangan seorang raja Demak mulai menggenggam tanah, tak sebutir pun pasir akan lolos dari jari-jarinya.
Butir-butir pasir pesisir itu bukanlah gumpalan tanah lempung pegunungan, Putranda Baginda Sultan. Putranda Sultan tidak dilahirkan di pantai seperti ibunda ini, tapi di atas gumpalan tanah lempung pegunungan. Ibunda dilahirkan di pesisir Gresik maka tahu tentang pasir.
Trenggono tak mengindahkan dan meneruskan: Tak sebutir pasir pun akan lolos. Sebutir pun Peranggi takkan memperolehnya.
Pasir telah tergenggam di tangan Peranggi di sebelah utara sana.
Yang di utara takkan berarti tanpa selatan. Mungkinkah Putranda Baginda Sultan" Mungkinkah tangan itu dapat mengepal menggenggam kalau darah kehidupan tak ada di dalamnya"
Tangan Trenggono bukan tangan bangkai! Trenggono memotong gusar.
karena nadi darah kehidupan mengalir adalah selat Semenanjung di utara sana"
Sultan Trenggono tak pernah mengatakan nadi darah kehidupan ada di selat, karena Demaklah jantung kehidupan .
Apalah artinya jantung tanpa darah kehidupan" Dan dapatkah jari-jari menggenggam mengepal tanpa darah" Karena tanah dapat digenggam, dan air tidak . Kalau orang menolak air, pasir takkan didapatnya, darah pun hanya sekedar untuk bertumpu agar tak tenggelam. Bukankah laut lebih luas dan lepas dari pada darat"
Sekali lagi Trenggono tak mengindahkan. Ia kepalkan tangan jadi tinju dan diusap-usapnya di hadapan ibunya. Betapa indah tangan yang sudah terkepal jadi tinju . Putranda Baginda Sultan, bayi lahir dengan mengepalkan tinju, o-rang mati meregangkan jari-jari. Dia takkan mengepal lagi. Tapi bayi itu tidak mengepal tanah. Dia mengepal hari depan. Apakah juga indah kalau kepalan itu dihadapkan pada seorang wanita, dan wanita itu ibundanya sendiri, dan tak ada hari depan di dalamnya"
Ampun, Ibunda. Dijauhkan putranda ini hendaknya dari menghadapkan pada Ibundanya sendiri. Tapi tinju ini memang dihadapkan, insya Allah, dikodratkan, insya Allah, ditakdirkan, insya Allah, untuk mengepal pulau Jawa, Ibunda Ratu, dan tidak lain dari restu Ibunda Ratu jua sahaya pohon.
Dengarkan kata-kata seorang ibu, biarpun putranya telah raja, kata Ratu Aisah terburu-buru, kuatir Sultan akan segera pergi karena marah, tak ada indahnya sebuah kepalan, sebuah tinju, kalau mata tidak melihat. Mata yang jeli lebih indah, putranda Baginda Sultan, karena tiada mata, jangankan satu, satu laksa tinju pun takkan dapat merebahkan batang jarak, mereka tak tahu tempatnya, tak tahu sasarannya. Dia pun takkan mengepal, apalagi meninju. Dia hanya akan gerayangan.
Orang melihat Trenggono menjadi gugup. Sudah beberapa bentar ibunya berhenti bicara. Ia masih juga belum menemukan kata. Sunyi-senyap di seluruh pendopo. Dan Ratu Aisah tetap memutar-mutar tangkai bunga.
Ibunda Ratu , terdengar Trenggono bicara dengan nada rendah, biarlah mata yang jeli itu melihat sebaik-baiknya, dan biarlah tangan itu mengepal dan meninju sebaikbaiknya, pula.
Trenggono berpaling ke belakang pada para pembesarnya. Seorang pun tak membantunya bicara. Dan Ratu Aisah mengawasi putranya dari tempat duduknya.
Ibunda Ratu, katanya lagi. Jari-jari putranda akan mencengkam ke arah matari terbit dan ke arah matari tenggelam, agar surya tetap memancar di atas kepala, di atas bumi Demak. Kakanda Unus almarhum Peranggi tidak dikalahkan, tangannya kosong, jari-jarinya terburu merenggang. Tak ada air dan tak ada tanah pernah digenggamnya.
Dan pada waktu itu Kakandamu Unus almarhum pulang membawa kekalahan. Peranggi belum lagi sekuat sekarang. Maka dibangunkannya armada perkasa, dan kekalahan dan cedera dibawanya pulang ke Jepara. Sekarang Peranggi lebih kuat, kata Ratu Aisah tanpa bahasa kias lagi, selat mutlak di tangan dia, menutup hari depan Jawa dan Nusantara. Kecuali bagi dia yang berani, tabah, dan bermata jeli, dapat jadi penantangnya. Jawa dan Nusantara tanpa selat, apalah artinya" Mata jeli pun tidak berguna bila tinju memukul saudara-saudaranya sendiri bukan musuhnya .
Ibunda Ratu . Dengarkan Kakandamu almarhum: Barangsiapa berpendapat menguasai Jawa lebih penting daripada menghancurkan Peranggi dia akan dikutuk oleh anak-cucu, karena sudah tahu sebelumnya, pendapatnya itu telah menyerahkan si anak-cucu untuk jadi terkaman Peranggi sudah sejak dalam kandungan ibunya.
Peranggi akan dihadapi di darat. Hampir setiap bocah mengatakan begitu .
Maka darat harus dikuasai , sekali lagi Trenggono menengok ke belakang. Kalian! Persembahkan sampai di mana kesanggupan kalian .
Kepala dan hati patik sekalian sudah patik pertaruhkan untuk mempersembahkan seluruh Jawa ke bawah duli Kanjeng Gusti Sultan , seseorang mempersembahkan.
Begitu Unus wafat . Ratu Aisah meneruskan tanpa mempedulikan kata persembahan pembesar pasukan kuda Demak. Pasai segera direbutnya. Sekarang Peranggi sudah mencoba-coba di Sunda Kelapa dan Blambangan. Apa bakal terjadi lusa"
Lusa Sunda Kelapa dalam genggaman Trenggono, Ibunda Ratu. Jangan kuatir. Sultan Demak menjanjikan: Peranggi takkan mengusik pulau Jawa selama dia masih hidup .
Ratu Aisah bangkit dari bangkunya, mendekati Trenggono menyerahkan tangannya untuk dicium.
Suasana hening tanpa perbenturan itu, menampilkan mereka seperti seorang ibu muda dengan seorang anak bayinya. Wanita tua itu memegangi kedua belah pipi Sultan dan menatap wajah Sultan dengan mata sayu, dan mata itu berkaca-kaca.
Trenggono tak berani menentang mata itu dan menunduk. Rasa-rasanya pertikaian telah punah, tak ada lagi jarak antara ibu dan anak.
Percakapan terbuka dan terdengar setiap orang yang hadir kini berubah jadi bisikan, dimulai oleh Ratu Aisah: Putranda Baginda Sultan, waspadalah terhadap racun. Biar setitik raksasa pun bisa binasa, jari tak dapat bergerak lagi apa pula tangan. Dan setiap pikiran yang keliru adalah racun, bisa membunuh setiap raja. Barang siapa tak waspada, dia bisa tewas sepuluh kali sebelum mati. Dan racun itu selamanya bersumber pada pikiran sendiri.
Trenggono melepas kedua belah tangan ibunya dari mukanya Mukanya masih tetap menunduk.
Ibunda Ratu, bisiknya kembali, mata yang jeli dikodratkan untuk melihat, dan apa guna jari-jari dan tangan kuat kalau bukan untuk menggenggam" Mata yang jeli dan tangan yang kuat diketahui hanya pikiran yang jernih.
Tak taulah aku kapan Allah akan memanggil diri. Rasarasanya tidak akan lama. Sebelum panggilan datang, Trenggono, anakku, hapuskan darah abangmu yang kau kucurkan di bumi Allah ini. Tanpa ampun-Nya takkan ada sesuatu dari pekerjaanmu mendapat berkah. Persembahkan suatu kebahagiaan semua orang dan para almarhum dan pada Tuhanmu sendiri: satu perang pengusiran atas Peranggi dari Malaka, Pasai dan Nusantara. Armada raksasa Unus janganlah dibiarkan tenggelam sebelum menempuh perang. Masuki semenanjung, jangan kecewakan setiap dan semua orang.
Waktu Aisah menolakkan bahu Sultan supaya pergi, orang melihat mata wanita tua itu semakin berkaca-kaca. Bunga di tangannya jatuh di lantai tanpa disadarinya.
Berlanjut ke bagian 28.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar