Sabtu, 19 November 2022

BUMI MANUSIA KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER #21/27


Ada sesuatu yang rasanya patut kau ketahui. Papa telah merasani kau: Anak seperti dia patutnya meneruskan di Nederland melanjutkan ke universitas. Barangkali, Papa merasani kau, dia baik kuliah pada fakultas hukum. Kalau toh gagal kuliahnya kelak paling tidak dia akan mengerti hukum menurut makna Eropa.
Bagaimana pendapatmu sendiri " Mungkin kiranya Pribumi bisa jadi sarjana dalam keilmuan Eropa " Terus-terang, Papa sebenarnya meragukan. Kata Papa dan kau jangan gusar seperti dulu kejiwaan Pribumi belum berkembang setinggi Eropa; terlalu mudah hilang pertimbangannya yang baik terdesak oleh rangsang berahi. Aku sendiri tak tahu benar demikian atau tidak. Kenyataan memang demikian, terutama yang terlihat pada kalangan atas bangsamu. Kau sendiri sepatutnya ikut memikirkan. Bagaimana pendapatmu "
Selain itu ada satu hal yang juga patut kusampaikan: salah seorang anak percobaan Dokter Snouck Hurgronje itu, bernama Achmad, anak Banten. Aku sampaikan ini -- siapa tahu kelak dapat berjumpa, berkenalan dan berkorespondensi....... "Mengapa mengeluh  tiba-tiba Annelies bertanya.
"Terbakar." "Apa yang terbakar  
"Kepala. Kepalaku sendiri. Ada saja yang datang. Tak dibiarkan diri agak tenang barang sebentar dengan pekerjaan yang sudah banyak. Bacalah!" dan kusodorkan surat-surat itu.
"Bukan untukku. Mas." "Kau perlu tahu."
Annelies membacainya, lambat dan hati-hati.
"Nampaknya banyak yang sayang padamu. Sayang aku tak banyak mengerti." "Bukan sayang. Ann. Nampaknya semua ingin jadi guruku." "Kan baik mendapatkan guru ?"
Kau pula, Ann! mendapatkan guru baik saja.Tak ada pengetahuan percuma. Hanya rasanya mereka nampak bernafsu melihat aku jadi orang penting karena jasa mereka. Apa sendiri mereka tak mampu lakukan untuk diri sendiri " "Guru membosankan cukup menganiaya," kataku.
"Kalau begitu tak perlu kau jawab."
"Itu pun tidak benar, Ann. Telah kubaca surat mereka. Mereka menulis untuk mendapatkan jawaban."
Dan Sarah sudah begitu keterlaluan. Tanpa malu dia mulai bicara tentang soal berahi. Minta jawaban pula. Apa dia juga menghendaki aku menelanjangi diri sendiri " Di Eropa pun hal itu bukan soal umum. Pribadi, tertutup rapat. Betapa keterlaluan gadis-gadis de la Croix ini.
Annelies meneruskan bacaannya. Nampak ia mulai tak tenang setelah mengetahui surat-surat itu dari dua orang gadis bersaudari. Ia letakkan kertas-kertas itu di meja, melipatnya baik-baik dan memasukkan ke dalam sampul semula. Ia tak memberi komentar lagi.
Agak lama kami tak bicara.
"Ann," tegurku, "Aku lihat kau sudah mulai sehat." "Terimakasih atas rawatanmu, Mas Dokter."
"Kalau begitu mulai besok, Ann, kau tak perlu teman lagi dalam kamarmu." Ia tatap aku dengan pandang curiga. "Kan kau tidak balik ke Kranggan ?"
"Kalau kau masih menghendaki aku tinggal tentu saja tidak, Ann." Ia memberengut. Matanya sebentar tertuju pada surat-surat sarah dan Miriam. "Sudah keberatan menemani aku begini ?" suaranya bernada tangis. "Tentu saja tidak, Ann, tidak sewaktu kau sakit."
"Haruskah aku sakit lagi ?"
"Ann, apa katamu itu ?" sekilas aku teringat pada keterangan Dokter Martinet. Dan aku yakin tidak mengasarinya. Segera kususulkan: "Kau harus sembuh betul, kau sangat dibutuhkan Mama."
"Apa keberatan Mas menemani begini kalau aku tidak sakit ?" tanyanya gugup. "Apa kata orang nanti ?"
"Apa kata orang, Mas ?"
"Begini, Ann, biar aku bilangi kau: kau sudah baik sekarang. Kalau kau tak kehendaki aku pergi tentu aku takkan balik ke Kranggan. Percayalah. Aku akan tinggal di sini selama kau kehendaki. Hanya tidak di kamarmu ini tentu. Jadi mulai besok, ya Ann, aku akan tinggal dan bekerja di kamarku sendiri, di persada sana. Kalau kau merasa kesepian, kaulah yang datang || sana. Sama saja kan ?"
"Kalau toh sama saja, seperti ini sajalah untuk seterusnya. Kau tinggal di sini saja." "Tapi daerah loteng ini tempat larangan kecuali untuk Mama dan kau. Kan ketentuan itu harus dihormati ?" dan masih barang duapuluh kalimat lagi kuucapkan. Ia tak menengahi. Hanya matanya nampak semakin lebih menjangkau kejauhan. Annelies cemburu.
Keesokan harinya aku kunjungi Jean Marais. Dari rumah telah kusiapkan persoalan tentang Afrika Selatan. Ia dengarkan dengan diam-diam. Kemudian: "Tahu kau, Minke, sebagai orang Eropa aku sudah sangat malu telah ikut campur dalam soal kolonial. Kira-kira sama dengan orang yang kau ceritakan itu, orang yang kita sama-sama
tidak kenal. Aku telah ikut berperang di Aceh, hanya karena unitnya menduga Pribumi takkan mampu melawan, maka mereka takkan melawan. Ternyata mereka melawan, dan melawan benar tidak kepalang tanggung. Gagah-berani pula, seperti dalam banyak perang besar di Eropa. Pengalaman Aceh yang memalukan itu. Minke: alat-alat perang terbaru Eropa melawan daging manusia Aceh. Karena kau menanyakan pendapatku, aku akan menjawab, setelah itu jangan lagi ajukan soal yang menyiksa nuraniku."
Tanpa kami sadari Tuan Telinga telah ikut mendengarkan dari suatu jarak, kemudian mendekat, duduk pada meja. Nampaknya ia bersemangat untuk mencampuri. ' "Perang kolonial dalam dua puluh lima tahun belakangan ini tak lain"daripada kehendak modal, kepentingan pasaran buat kelangsungan hidup modal di Eropa sana. Modal telah menjadi begitu kuasanya, maha kuasa. Dia menentukan apa harus dilakukan ummat manusia dewasa ini."
"Perang selamanya adu kekuatan dan muslihat untuk keluar sebagai pemenang," Telinga menengahi.
"Tidak. Tuan Telinga." Marais membantah, "tak pernah ada perang untuk perang. Ada banyak bangsa yang berperang bukan hendak keluar sebagai pemenang. Mereka turun ke medan perang dan berguguran berkeping-keping seperti bangsa Aceh sekarang ini........ ada sesuatu yang dibela, sesuatu yang lebih berharga daripada hanya mati. hidup, atau kalah-menang."
"Akhirnya sama saja. Jean. adu kekuatan dan muslihat untuk keluar sebagai pemenang."
"Itu hanya akibat. Tuan Telinga. Tapi baiklah kalau memang sudah jadi pandangan Tuan. Sekarang. Tuan, sekiranya bangsa Aceh yang menang. Belanda. kalah, adakah Nederland lantas jadi milik Aceh ?"
"Justru karena itu. Tuan. Aceh sendiri tahu pasti akan kalah. Belanda juga tahu pasti akan menang. Namun. Tuan,; Aceh tetap juga turun ke medan-perang. Mereka berperang bukan untuk menang. Berbeda dari Belanda. Sekiranya dia tahu Aceh sama kuat dengan dirinya, dia takkan berani menyerang, apalagi membuka medanperang. Soalnya tak lain dari pertimbangan un-tung-rugi modal. Kalau soalnya hanya menang, mengapa pula Belanda tidak menyerang Luxemburg, atau Belgia, lebih dekat dan lebih kaya ?"
"Kau orang Prancis, Jean, tak punya kepentingan dengan Hindia." bumi manusia 205
"Barangkali. Setidak-tidaknya aku menyesal telah ikut serta berperang di sini." Tapi kau. seperti aku, mau menerima pensiun sekali tarik!'1
"Ya, seperti Tuan juga. Tapi pensiun itu hakku dari dia yang membawa aku ke medan-perang. Seperti Tuan juga. Aku kehilangan kakiku. Tuan kehilangan kesehatan Tuan. Itu sajalah hasil Perang Aceh untuk kita berdua. Kita kan bukan hendak bersengketa. Tuan Tdlinga ?"
"Dalam pasukan dulu aku bawahan Tuan. Sekarang tidak."
"Jadi apa guna pertengkaran ini ?" aku menengahi. "Aku bertanya tentang Afrika Selatan. Selamat tinggal."
Dan aku kunjungi Magda Peters. IA menggeleng-geleng:
"Tentang Afrika Selatan " Apa kau mau jadi politikus ?" tanyanya kembali. "Apa arti sesungguhnya dari politikus, Juffrouw ?"
Sekali lagi ia menggeleng-geleng memandangi aku seperti seorang yang sedang menanggung duka. Kami berdua terpaksa terdiam.
"Nantilah kalau kau sudah lulus. Tentang itu kita bisa bicarakan dengan tenang. Sekarang belum perlu. Usahakan kau bisa lulus. Memang angkamu tidak buruk. Lebih baik bisa tulus. Ja-ng,n pikirkan yang lain-lain. Eh, Minke, apa benar dongengan entah dari mana asalnya, kau sekarang hidup dengan seorang nyai-nyai ?"
"Betul, Juffrouw."
"Kan tahu pendapat umum tentang itu ?" "Tahu, Juffrouw."
"Mengapa kau lakukan juga ?"
"Karena tempat tinggal tidak berarti sesuatu. Lagipula apa yang disebut nyai-nyai pada luarnya, Juffrouw, tak lain dari orang terpelajar, malahan termasuk guruku." "Guru " Guru apa ?"
"Bagaimana seseorang dari tiada apa-apa menjadi otodidak mengagumkan." "Otodidak dalam hal apa ?"
"Pertama memimpin diri sendiri, kemudian memimpin perusahaan besar..........." Jangan membela diri dengan kebohongan."
"Rasanya Juffrouw belum pernah kubohongi."
"Tidak, kecuali sekarang ini," ia tatap aku dengan mata berkedip cepat, pertanda ia sedang berpikir keras (menurut dugaanku), "jangan kecewakan aku, Minke. Kau terpelajar. Tak Patut kembali seperti tak pernah bersekolah."
"Itulah jawabanku sebagai terpelajar, Juffrouw."
tidak kenal. Aku telah ikut berperang di Aceh, hanya karena unitnya menduga Pribumi takkan mampu melawan, maka mereka takkan melawan. Ternyata mereka melawan, dan melawan benar tidak kepalang tanggung. Gagah-berani pula, seperti dalam banyak perang besar di Eropa. Pengalaman Aceh yang memalukan itu. Minke: alat-alat perang terbaru Eropa melawan daging manusia Aceh. Karena kau menanyakan pendapatku, aku akan menjawab, setelah itu jangan lagi ajukan soal yang menyiksa nuraniku."
Tanpa kami sadari Tuan Telinga telah ikut mendengarkan dari suatu jarak, kemudian mendekat, duduk pada meja. Nampaknya ia bersemangat untuk mencampuri. ' "Perang kolonial dalam dua puluh lima tahun belakangan ini tak lain"daripada kehendak modal, kepentingan pasaran buat kelangsungan hidup modal di Eropa sana. Modal telah menjadi begitu kuasanya, maha kuasa. Dia menentukan apa harus dilakukan ummat manusia dewasa ini."
"Perang selamanya adu kekuatan dan muslihat untuk keluar sebagai pemenang," Telinga menengahi.
"Tidak. Tuan Telinga." Marais membantah, "tak pernah ada perang untuk perang. Ada banyak bangsa yang berperang bukan hendak keluar sebagai pemenang. Mereka turun ke medan perang dan berguguran berkeping-keping seperti bangsa Aceh sekarang ini........ ada sesuatu yang dibela, sesuatu yang lebih berharga daripada hanya mati. hidup, atau kalah-menang."
"Akhirnya sama saja. Jean. adu kekuatan dan muslihat untuk keluar sebagai pemenang."
"Itu hanya akibat. Tuan Telinga. Tapi baiklah kalau memang sudah jadi pandangan Tuan. Sekarang. Tuan, sekiranya bangsa Aceh yang menang. Belanda. kalah, adakah Nederland lantas jadi milik Aceh ?"
"Justru karena itu. Tuan. Aceh sendiri tahu pasti akan kalah. Belanda juga tahu pasti akan menang. Namun. Tuan,; Aceh tetap juga turun ke medan-perang. Mereka berperang bukan untuk menang. Berbeda dari Belanda. Sekiranya dia tahu Aceh sama kuat dengan dirinya, dia takkan berani menyerang, apalagi membuka medanperang. Soalnya tak lain dari pertimbangan un-tung-rugi modal. Kalau soalnya hanya menang, mengapa pula Belanda tidak menyerang Luxemburg, atau Belgia, lebih dekat dan lebih kaya ?"
"Kau orang Prancis, Jean, tak punya kepentingan dengan Hindia." bumi manusia 205
"Barangkali. Setidak-tidaknya aku menyesal telah ikut serta berperang di sini." Tapi kau. seperti aku, mau menerima pensiun sekali tarik!'1
"Ya, seperti Tuan juga. Tapi pensiun itu hakku dari dia yang membawa aku ke medan-perang. Seperti Tuan juga. Aku kehilangan kakiku. Tuan kehilangan kesehatan Tuan. Itu sajalah hasil Perang Aceh untuk kita berdua. Kita kan bukan hendak bersengketa. Tuan Tdlinga ?"
"Dalam pasukan dulu aku bawahan Tuan. Sekarang tidak."
"Jadi apa guna pertengkaran ini ?" aku menengahi. "Aku bertanya tentang Afrika Selatan. Selamat tinggal."
Dan aku kunjungi Magda Peters. IA menggeleng-geleng:
"Tentang Afrika Selatan " Apa kau mau jadi politikus ?" tanyanya kembali. "Apa arti sesungguhnya dari politikus, Juffrouw ?"
Sekali lagi ia menggeleng-geleng memandangi aku seperti seorang yang sedang menanggung duka. Kami berdua terpaksa terdiam.
"Nantilah kalau kau sudah lulus. Tentang itu kita bisa bicarakan dengan tenang. Sekarang belum perlu. Usahakan kau bisa lulus. Memang angkamu tidak buruk. Lebih baik bisa tulus. Ja-ng,n pikirkan yang lain-lain. Eh, Minke, apa benar dongengan entah dari mana asalnya, kau sekarang hidup dengan seorang nyai-nyai ?"
"Betul, Juffrouw."
"Kan tahu pendapat umum tentang itu ?" "Tahu, Juffrouw."
"Mengapa kau lakukan juga ?"
"Karena tempat tinggal tidak berarti sesuatu. Lagipula apa yang disebut nyai-nyai pada luarnya, Juffrouw, tak lain dari orang terpelajar, malahan termasuk guruku." "Guru " Guru apa ?"
"Bagaimana seseorang dari tiada apa-apa menjadi otodidak mengagumkan." "Otodidak dalam hal apa ?"
"Pertama memimpin diri sendiri, kemudian memimpin perusahaan besar..........." Jangan membela diri dengan kebohongan."
"Rasanya Juffrouw belum pernah kubohongi."
"Tidak, kecuali sekarang ini," ia tatap aku dengan mata berkedip cepat, pertanda ia sedang berpikir keras (menurut dugaanku), "jangan kecewakan aku, Minke. Kau terpelajar. Tak Patut kembali seperti tak pernah bersekolah."
"Itulah jawabanku sebagai terpelajar, Juffrouw." kan. haik bagi yang mendengar mau pun yang mengucapkan.
Tapi perbudakan telah dihapus barang tiga puluh tahun yang lalu di Hindia, Nyai," Magda Peters melayani.
"Betul. Juffrouw, selama tak ada laporan tentang adanya perbudakan. Pernah terbaca olehku masih adanya perbudakan di mana-mana di Hindia." "Dari Missie dan Zending ?"
"Kira-kira keadaanku sama dengan mereka."
Agak lama Magda Peters terdiam. Ia berkedip cepat. Kemudian: "Mevrouw bukan budak, juga tidak seperti budak."
"Nyai, Juffrouw." Mama membetulkan. "Bisa saja seorang budak hidup di istana kaisar, hanya dia tinggal budak."
"Bagaimana keterangannya maka Nyai merasa diri budak ?" Persoalan pribadi yang sekian lama terpendam, di hadapan wanita Eropa ini sekarang mencari jalan keluarnya, memprotes, mengadu, mengutuk, meminta perhatian, menuduh, mendakwa, mengadili sekaligus. Aku semakin gelisah mendengar. Pikiranku sekarang sibuk mencari dalih untuk cepat-cepat menghindar. Sedang Nyai justru membuka kran masalalunya.
"Seorang Eropa, Eropa Totok, telah membeli diriku dari orangtuaku," suaranya pahit mengandung dendam yang tak bakal tertebus dengan lima istana. "Aku dibeli untuk dijadikan induk bagi anak-anaknya."
Magda Peters terdiam. Aku buru-buru minta diri. Biar mereka berdiri di atas kesedaran masing-masing. Di loteng kudapati Annelies sedang membaca di belakang jendela.
"Mengapa tak turun, Ann ?" "Habiskan buku ini."
"Buat apa buru-buru dihabiskan ?"
"Sebenarnya aku lebih suka mendengar ceritamu sendiri. Kan Mas belum banyak bercerita padaku " Orang-orang lain saja buku-buku ini yang kau suruh. Kan kau mau menceritai aku ?"
"Tentu saja." Ia meneruskan bacaannya. Mendadak berhenti, menoleh: ^ "Mengapa Mas datang kemari " Kan ini daerah terlarang T "Memanggil kau turun, Ann. Juffrouw ingin bicara."
Ia tak menjawab dan terus membaca. Kudekati. Kubelai rambutnya. Ia tak memberikan sesuatu reaksi. Waktu buku kutarik dari tangannya ternyata matanya ftidak mengikuti tarikan-Annelies tidak membaca. Ia menyembunyikan muka. "Mengapa kau, Ann " Marah ?" tiada berjawab. "Tentunya bagus cerita yang kau baca."
Ia membungkuk dan pada bahunya aku rasai gigilan menahan sedan. Kuhadapkan badannya padaku. Mendadak ia merangkul dan meledak dalam tangis yang ditekan. "Mengapa kau, Ann " Kan aku tak lukai hatimu ?"
Dan entah berpuluh atau beratus kalimat telah kuhamburkan untuk menghiburnya. Dan ia tak juga bicara. Ia rangkul aku erat-erat seperti takut diri ini lepas dan terbang ke langit hijau......... Annelies cemburu.
Percakapan dua orang terdengar memasuki pintu yang tak tertutup rapat itu. Makin lama makin jelas berasal dari korridor loteng. Terdengar Mama memanggil-manggil. Annelies dengan sendirinya melepaskan pelukannya. Aku keluar menjenguk. Juffrouw dan Nyai sedang menanti aku di depan pintu sebuah kamar loteng. "Juffrouw ingin melihat perpustakaan kita, Minke. Mari kau antarkan," ia membuka pintu kamar yang belum pernah aku masuki.
Kamar itu perpustakaan Tuan Herman Mellema. Luasnya sama dengan kamar Annelies. Tiga buah lemari dengan jajaran buku berjilid mewah berderet di dalamnya. Terdapat juga sebuah kotak kaca dalam lemari itu yang ternyata koleksi cangklong Tuan Mellema. Perabot semua bersih tanpa ada kotoran. Lantai tak ditutup dengan permadani, dan menampakkan geladak kayu biasa, bukan parket, juga tidak disemir. Meja hanya sebuah dengan sebuah kursi dan sebuah fauteuil. Di atas meja berdiri kaki lampu dari logam putih dengan empat belas lilin. Sebuah buku, yang ternyata bundel majalah, terbuka di atas meja.
"Bagus sekali ruangan ini, bersih dan tenang," Magda menebarkan pandang pada jendela-jendela kaca yang membabar-kan pemandangan pedalaman. "Indah sekali!" Kemudian ia langsung pergi ke meja dan mengambil bundel majalah tsb. Bertanya tanpa melihat pada siapa pun, "Siapa yang membaca Indis-ene Gids ini ?" "Bacaan pengantar tidur, Juffrouw."
"Pengantar tidur!" ia membelalak pada Nyai. "Dokter menganjurkan banyak membaca sebelum tidur." "Nyai sulit tidur ?"
"Ya." "Sudah lama itu Nyai tanggungkan ?" "Lebih lima tahun, Juffrouw." "Dan Nyai tidak sakit karenanya ?" Mama menggeleng, tersenyum.
"Lantas apa hendak Nyai cari dalam majalah ini ?" "Hanya supaya bisa tidur."
"Bacaan apa lagi pengantar tidur Nyai ?" tanyanya seperti jaksa. "Apa saja yang terpegang, Juffrouw. Tak ada pilihan." Magda Peters mengedip cepat lagi.
"Apa yang Nyai lebih sukai di antara semuanya ?" "Yang aku dapat mengerti, Juffrouw."
"Apa Nyai tahu.tentang assosiasi Snouck Hurgronje ?"
"Maaf," Nyai mengambil majalah itu dari tangan guruku, mencari-cari halaman tertentu, kemudian menunjukkan pada Magda Peters.
Guruku menyapukan pandang dengan cepat, mengangguk, menatap aku, dan: "Mengapa kau bawa assosiasi itu ke diskusi-sekolah " Kan lebih baik kau bertanya pada Nyai ?"
"Hanya ingin tahu lebih banyak dari itu,"' jawabku sekali pun tak pernah tahu betul dalam rumah ini ada perpustakaan dan ada majalah yang pernah memuatnya. Magda Peters sekarang memeriksa buku-buku dalam lemari. Sebagian besar bundel majalah yang dijilid indah. Seakan ia hendak memeriksa isi kepala Nyai. Ternyata ia tidak begitu tertarik: peternakan, pertanian, perdagangan, kehutanan dan kayukayuan. Kemudian: bundel berbagai majalah wanita dan majalah umum dari Hindia, Nederland dan Jerman. Sebagian terbesar pustaka itu disapu saja dengan pandangnya. Kemudian balik lagi pada deretan bundel majalah kolonial, dan berhenti lama pada deretan sastra dunia dalam terjemahan Belanda.
"Tak ada dari sastra Belanda di sini  Nyai."
"Tuanku kurang tertarik, kecuali tulisan orang-orang Vlaam."  "Kalau begitu Nyai juga membaca buku-buku Vlaam ?" "Ada juga."
"Apa sebab Tuan Mellema tak suka pada karya-karya Belanda, kalau boleh bertanya ?"
"Tak tahulah, Juffrouw. Hanya dia pernah bilang, terlalu kecil-mengecil, tidak ada semangat, tidak ada api."

Magda Peters mendeham dan menelannya. Ia tak mencoba bertanya lebih lanjut. Kembali dilepaskannya perhatian pada seluruh perpustakaan, seakan mencoba mengesani, ia telah mendapat gambaran sekedarnya tentang tingkat kebudayaan keluarga Mama, keluarga yang banyak dipergunjingkan di sekolahku belakangan ini.
"Boleh aku bicara dengan Annelies Mellema ?" "Ann, Annelies!" panggil Mama.
Aku pergi ke kumurnya. Kudapati ia sedang duduk di belakang jendela. Pandangnya tertebar di kejauhan sana, pada gunung-gemunung dan hulan.
"Kau tak suka datang, Ann ?"
Ia masih incmbcrcngut. Menjawab pun tidak.
"Biliklah. Tinggal saja di kamar, Ann," clan aku pergi meninggalkannya. "Ann!" panggil Nyai sekali lagi, lunak.
"Sedang tak enak badan lagi. Maafkan, Juffrouw, dia baru bangun sakit." Dua orang perempuan itu turun dari loteng ke persada sambil ramai berbincang. Aku tak tahu tentang apa saja. Sejam kemudian dengan bendi yang sama aku antarkan guruku pulang ke Surabaya.
Ia persilahkan aku duduk sebentar. Tetapi dalam perjalanan ia tak bicara. "Pertama, Minke, setelah melihat keadaan keluarga itu ingin rasanya aku sering datang ke sana. Mamamu memang luar biasa. Pakaiannya, permunculannya, sikapnya. Hanya jiwanya terlalu majemuk. Dan kecuali renda kebaya dan bahasanya, ia seluruhnya Pribumi. Jiwanya yang majemuk sudah  mendekati Eropa dari bagian yang maju dan cerah. Memang banyak, terlalu banyak yang diketahuinya sebagai Pribumi, malah wanita Pribumi. Memang betul dia patut jadi gurumu. Hanya gaung dendam dalam nada dan inti kata-katanya .... aku tak tahan mendengar. Sekiranya tak ada sifat pendendam itu, ah, sungguh gemilang, Minke. Baru aku bertemu seorang, dan perempuan pula, yang tidak mau berdamai dengan nasibnya sendiri." Ia menghembuskan nafas panjang. "Dan heran, betapa ia punya kesedaran hukum begitu tinggi."
Aku diam saja. Ada beberapa yang benar-benar aku tidak mengerti. Akan kutanyakan pada Jean kalau sempat.
"Seperti dongengan Seribu Satu Malam. Coba, ia merasa lebih tepat dipanggil Nyai. Aku kira hanya untuk membenarkan dendamnya. Memang Nyai sebutan Pribumi paling tepatuntuk gundik seorang bukan Pribumi. Dia tidak suka diperlakukan bermanis-manis. Dia tetap mengukuhi keadaan dirinya dengan kebesaran ditaburi dendam."
Aku masih juga tak menengahi. Nampaknya Mama ditampilkannya sebagai tokoh dalam buku sastra dan ia sedang menguraikan perwatakan di depan kias. "drang yang biasa memerintah, Minke, dengan bertimbang. Perusahaan lebih besar pun dia akan mampu pimpin. Tak pernah aku temui perempuan pengusaha seperti itu. Lulusan Sekolah Tinggi Dagang pun belum tentu bisa. Benar kau, seorang otodidak, sukses. Aku sudah bicara tentang segi perusahaan. God!" ia berkecapkecap. "Itu yang dikatakan lompatan historis, Minke, untuk seorang Pribumi. God, God! Mestinya dia hidup dalam abad mendatang. God!"
Aku tetap cuma mendengarkan.
"Dalam hal sastra dan bahasa tentu dia masih patut belajar padamu sekait pun belum tentu benar. Dia tak takut pada keke-> tiruan. Tabah, berani belajar dari kesalahan sendiri. God!"
Aku tetap ikuti terus kata-katanya tanpa menyela.
"Ingin aku menulis tentang keluarbiasaan ini. Sayang sekali " aku tak bisa menulis seperti kau, Minke. Benar juga katanya ta-f di: tanpa semangat, tak ada api. Keinginan aku punya, hanya keinginan. Tak lebih. Berbahagia, kau, bisa menulis. Lantas as-sosiusi itu, Minke, dia runtuh berantukan tanpa harga hanya oleh satu perempuan Pribumi, Mama-mu itu. Kalau ada barang seribu Pribumi seperti dia di Hindia ini, Hindia Belanda ini, Minke, Hindia Belanda ini, boleh jadi gulung tikar. Mungkin aku berlebih-lebihan, tapi itu hanya kesan pertama. Ingat, kesan pertama, betapa pun penting, belum tentu benar."
Ia diam sebentar, menghela nafas panjang lagi. Kedipan matanya tidak gugup. "Dia masih bisa lebih maju lagi. Sayang, orang semacam itu takkan mungkin dapat, hidup di tengah bangsanya sendiri. Dia seperti batu meteor yang melesit sendirian, melintasi keluasuan tanpa batas, entah di mana kelak bakal mendarat, di planit lain atau kembali ke bumi, atau hilang dalam ketakterbatasan alam."
"Betapa Juffrouw memuji dia."
"Karena dia Pribumi, dan wanita, dan memang mengagumkan "Silakan Juffrouw sekali-kali datang lagi."
"Sayang. Tidak mungkin."
"Kalau begitu sebagai tamuku." bumi manusia
"Tidak mungkin, Minke." "Mama memang selalu sibuk."
"Bukan itu. Nampaknya primadonna-mu itu tak suka pada ku, Minke. Maaf. Dan terimakasih atas undangan itu. Dia sa ngat mencintai kau, Minke, primadonna itu. Berbahagialah kau Mengerti aku sekarang apa arti semua pergunjingan itu."
14. AKU SUDAH MERASA TENANG DAN AMAN DI Wonokromo. Robert tak pernah kelihatan. Mama dan Annelies tak mengindahkannya. Walau begitu bukan berarti aku harus merasa telah menggantikan kedudukannya. Segala daya kukerahkan untuk mengesani orang luar rumah, aku bukan bandit, juga bukan bermaksud membandit. Dan bahwa aku hanya seorang tamu yang setiap waktu harus pergi.
Dan malam sehabis belajar ini sengaja aku tidak menulis. Ada keinginan meneruskan belajar setelah istirahat. Tak tahu aku mengapa sekarang aku rajin belajar. Ingin maju di sekolahan. Yang pasti bukan karena dorongan keluarga atau Annelies. Dorongan itu juga bukan karena surat-surat Bunda yang selai] bertanya kalau-kalau diri ini dihembalang kesulitan. Suratnya yang keempat kubalas. untuk menyatakan kelonggaranku, agar uang-bulananku sebaiknya untuk membiayai adik-adik. Surat-menyurat merupakan pekerjaan terberat. Dan semua masih tetap menggunakan alamat Telinga. Hanya untuk dan dari Miriam serta Sarah menggunakan alamat Wonokromo. Mereka yang memulai. Dan tak pernah kutanyakan dari mana mereka dapat.
Tiga soal aljabar telah kuselesaikan malam ini. Jam pendule menabuh sembilan kali. Begitu gaungnya padam pintu kamarku diketuk. Sebelum menjawab Annelies telah masuk.
"Kan menurut peraturan jam sembilan tepat kau sudah harus berbaring ?" tegurku. "Tidak!" ia memberengut. "Tak mau aku tidur kalau Mas tidak lagi belajar di kamarku seperti yang sudah."
. "Kau semakin manja, Ann," dan, puh! Dokter Martinet takkan mungkin dapat mengurus pasien seorang yang sulit ini.
Aku tahu betul: dia benar tidak akan tidur sebelum kehendaknya terpenuhi seratus prosen.
"Mari naik. Ceritai aku sampai tertidur seperti biasanya." "Ceritaku sudah habis."
"Jangan bikin aku tak bisa tidur, Mas." "Mama punya banyak cerita, Ann."
"Ceritamu selalu lebih bagus," dan ia tutup semua buku dan ditariknya aku berdiri. Dokter yang patuh pada pasien ini mengikuti tarikannya, meninggalkan persada, naik ke loteng, melewati kamar Mama dan perpustakaan dan sekali lagi memasuki kamarnya. Beberapa hari belakangan ini sudah tak lagi ia kuselimuti dan klambunya tidak kuturunkan. Bagitu ia nampak semakin sehat ia harus lakukan sendiri. Ia langsung naik ke ranjang, membaringkan badan, berkata: "Selimuti aku. Mas."
"Masa kau akan terus jadi manja begini ?" protesku.
"Pada siapa lagi dapat bermanja kalau bukan padamu " Nah. bercerita sekarang. Jangan berdiri saja begitu. Duduk sini seperti biasa."
Dan duduklah aku di tepi kasur, tak tahu apa harus kuper-buat di dekat dewi kecantikan yang mulai sehat ini.
"Ayoh, mulai saja cerita yang indah. Lebih bagus dari Pulau Emas dan Terculik-nya Stevenson itu, lebih indah dari Sahabat Karib Dickens. Cerita-cerita itu tidak bersuara, Mas."
Betapa aku harus selalu mengalah untuk kesehatannya. "Cerita apa, Ann " Jawa atau Eropa ?"
"Maumu sajalah. Aku rindukan suaramu, kata-katamu yang diucapkan dekat kuping, sampai terdengar bunyi nafasmu."
"Bahasa apa " Jawa atau Belanda ?"
"Sekarang kau sudah jadi bawel. Mas. Ceritai sudah."
Dan aku mulai mencari-cari cerita. Tak ada persiapan. Tak bisa datang begitu saja dalam pikiran. Pada mulanya teringat olehku kisah percintaan antara permaisuri Susuhan Amangkurat IV dengan Raden Sukra. Sayang terlalu mengerikan dan pasti tidak baik untuk kesehatannya. Dokter Martinet berpesan: Kau harus ceritai dia yang bagus, yang tak ada kengerian di dalamnya. Anak ini memang mengherankan, katanya lagi, biar pun tumbuh wajar, juga kecerdasannya, tapi mentalnya masih tetap bocah dari sepuluh tahun. Jadilah kau dokternya yang baik. Hanya kau bisa menyembuhkannya. Usahakan sampai dia percaya sepenuhnya padamu. Dia mengimpikan keindahan yang tak ada di dunia ini. Barangkali karena tadinya terlalu cepat dipaksa
bertanggungjawab. Dambaannya adalah suatu kelonggaran tanpa tanggungjawab. Minke, kecantikan tiada tara seperti itu tak boleh padam. Usahakan. Kalau Tuan berhasil jadi curahan kepercayaan, baru Tuan bisa dapat bangunkan kepercayaannya pada diri sendiri. Usahakanlah.
Mulailah aku bercerita sekena-kenanya. Bagaimana dongeng ini akan berakhir aku pun tak tahu. Pelaku-pelakunya akan kujambret serampangan. Biar mereka masingmasing merampungkan kisahnya sendiri.
"Di suatu negeri yang jauh, jauh sekali," aku memulai. "Kau tak diganggu nyamuk ?" "Tidak. Mengapa nyamuk dimasukkan di negeri yang jauh itu ?" ia tertawa dan giginya gemerlapan kena sinar lilin, sedang suaranya mendering lepas. "Di negeri yang jauh, jauh sekali itu tak ada nyamuk seperti di sini. Juga tak ada cicak merangkak pada dinding untuk menyambarnya. Bersih. Negeri itu sangat, sangat bersih."
Seperti biasa pandangnya tumpah padaku. Matanya gemilang, mengimpi, seperti kala ia sakit.
"...... Negeri itu subur dan selalu hijau. Segala apa di tanam jadi. Hama juga tak pernah ada. Tak ada penyakit dan tak ada kemiskinan. Semua orang hidup senang dan berbahagia. Setiap orang pandai dan suka menyanyi, gemar menari. Setiap orang punya kudanya sendiri: putih, merah, hitam, coklat, kuning, biru, jambu, kelabu. Seekor pun tak ada yang belang."
"Kik-kik-kik," Annelies menahan tawa kikiknya. "Ada kuda biru dan hitam," katanya pada diri sendiri, pelan.
"Di negeri itu ada putri cantik tiada bandingan. Kulitnya halus laksana beledu putihgading. Matanya gemilang seperti sepasang kejora. Tak bakal kuat orang memandangnya terlalu lama. Sepasang alis melindungi sepasang kejora itu, lebat seperti punggung bukit sana . Bentuk badannya idaman setiap pria. Maka seluruh negeri sayang"padanya. Suaranya lunak, memikat hati barangsiapa mendengarnya. Kalau dia tersenyum, tergoncang i-man setiap dan semua pria. Dan kalau tertawa gigi-putihnya nampak gemerlapan memberi pengharapan pada semua pemuja. Kalau dia marah, pandang terpusat, dan darah tersirat pada mukanya........heran, dia semakin cantik menawan......
"Pada suatu hari ia berkeliling di taman, naik seekor kuda putih......| "Siapa namanya, Mas, putri itu ?"
Aku belum dapatkan nama yang tepat, karena memang belum lagi jelas cerita itu terjadi di Eropa, Hindia, Tiongkok atau Parsi. Jadi:
"..... semua bunga menunduk, meliukkan tangkai, malu karena kalah cantik. Mereka jadi pucat kehilangan seri dan warna. Kalau sang putri telah lewat baru mereka tegak kembali, menengadah pada sang surya dan mengadukan halnya, 'Ya, Dewa Bhatara Surya, mengapa kami diperlakukan begini memalukan " Bukankah dulu pernah Kau titahkan kami turun ke bumi sebagai makhlukMu yang tercantik di seluruh alam ini " dan Kau tugaskan kami memperindah kehidupan manusia " Mengapa sekarang ada yang lebih cantik daripada kami "


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar