Apa yang maksudkan dengan latarbelakang psikologi dan sosial ?" Sarah dan Miriam mulai cekikikan lagi.
Sekarang aku sudah mulai jengkel dengan ape gieren, cekikikan mereka. Aku pindah duduk di kursi bekas Tuan Assisten Residen untuk menghindari lirikan mereka. Sekarang aku hadapi mereka. Dan nampaknya mereka gadis Totok mg hncah bukan tidak menarik. Namun seorang junior tak bisa tidak harus selalu waspada terhadap seniornya.
"Sekiranya diperlukan keterangan tentang itu," jawabku sambil menarik tampang penting, "tentu diperlukan literatur dibawah mata." ..
Melihat aku mulai memasuki pojokan mereka semakin cekikikan dan saling melirik. "Masa ya, ada guru bahasa dan sastra Belanda bicara tentang latarbelakang psikologi dan sosial " Kedengaran kembung! Mau jadi apa dia, itu Juffrow Magda Peters " Paling-paling dia mampu mengedepankan pujangga-pujangga Angkatan Delapanpuluh yang menggonggong-gonggong meratapi langitnya yang di-rusak asap pabrik, ladang-ladangnya yang dibisingi lalulintas, kena terjang jalanan dan rel keretapi," Miriam yang lebih agresif itu mulai menyerang. "Kalau mau bicara tentang latarbelakang sosial semestinya dia tak bicara tentang Angkatan cengeng itu. Dia akan bicara tentang Multatuli........ dan Hindia!"
Ya, itu baru "bicara tentang sastra gagan di mana lumpur dapat menumbuhkan teratai."
"Dia bicara juga tentang Multatuli," jawabku tabah. "Mana bisa Multatuli diajarkan di sekolah " yang benar saja. Dalam buku pelajaran tak pernah disebut," Miriam meneruskan serangan.
"Miriam betul," Sarah memperkuat. "Kalau bicara tentang latarbelakang sosial memang Multatuli contoh typikal," kemudian melirik pada adiknya. "Juffrow Magda peters bukan hanya sekedar mengedepan-kannya sebagai contoh typikal. Sampai-sampai ia menyoroti."
"Menyoroti!" seru Sarah tak percaya. "Guru H.B.S. Hindia menyoroti Multatuli! Bisa itu terjadi dalam sepuluh tahun mendatang, Miriam ?" dan Miriam menggeleng tak percaya. "Atau mungkin kalian sudah berganti buku pelajaran ?" "Tidak."
"Gurumu itu memang kembung. Kau hanya muridnya," Sarah menindas aku. "Tidak."
"Gurumu itu sungguh nekad. Kalau benar, dia bisa celaka/' Miriam mulai bersungguh-sungguh.
"Mengapa ?"
"Betapa sederhananya kau ini. Jadi kau tidak tahu. Dan kau perlu dan harus tahu," Miriam .meneruskan. "Karena gurumu itu, kalau benar ceritamu, boleh jadi dia dari golongan liberal."
"Kan golongan liberal baik " Dia membawa kemajuan pada Hindia ?" Pada waktu itu aku merasa diri benar-benar pandir.
"Kan baik belum tentu benar, juga belum tentu tepat " Malah bisa salah pada waktu dan tempat yang tidak cocok ?" desak Miriam. '
Sarah mendeham. Ia tak bicara.
"Coba, tulisan siapa saja yang dikedepankannya dengan lebih bersemangat ?" Mereka semakin menjengkelkan. Dan seorang junior, entah siapa yang mula pertama mengatur, selalu harus tetap hormat.
Jadi: "Karyatamanya tentu," jawabku, "Max Havelaar atau De Koffieveilingen der Nederlandsche Handelmaatschappij
"Dan siapa Multatuli itu kiramu ?" Sekarang Sarah yang menerjang aku. ' "Siapa " Eduard Douwes Dekker."
"Bagus. Juga kau harus tahu Douwes Dekker lain. Itu wajib," Sarah meneruskan terjangannya.
Senior gila ini semakin menjadi. Dan mengapa menerjang aku sambil melirik pada adiknya pula sedang bibir kejang menahan tawa " Mereka sedang bersandiwara mempermainkan budak Pribumi Sungguh kurangajar. Hanya ada seorang Douwes Dekker yang dikenal sejarah.
"Jadi kau tak tahu," Sarah mengejek. Atau ragu ".
Miriam meledak dalam tawa cekikikan, tak terkendali. Baik, persekongkolan setan ini akan aku hadapi. Dan begini kiranya harga undangan terhormat dan menggemparkan dari Tuan Assisten Residen. Baik, karena tidak tahu aku jawab sewajar mungkin.
Hanyak Eduard Douwes Dekker dengan nama-pena Multa-tuli yang kukenal. Kalau ada Douwes Dekker lain sungguh aku tidak tahu."
"Memang ada," Sarah lagi yang meneruskan. Miriam menenggelamkan muka dalam setangan sutra. Lebih penting Siapa dia " Jangan bingung, jangan pucat," ia meledek. Sebenarnya kau tahu, hanya pura-pura tidak tahu. "Benar tidak tahu," jawabku resah.
"Kalau begitu gurumu Juffrouw Magda Peters, yang kau agungkan itu, kurang beres pengetahuan umumnya. Dengarkan, dan ingat-ingat jangan sampai memalukan senior. Jangan sampai lupa. Douwes Dekker yang lain itu, yang lebih penting dan Multatuli, adalah seorang pemuda......"
"Sekarang ini masih pemuda ?"
"Tentu saja masih pemuda. Dia sedang belayar. Mungkin juga sudah berada di Afrika Selatan, ikut berperang melawan Inggris di pihak Belanda. Pernah dengar ?" "Tidak. Apa saja karyanya ?" tanyaku nendahhati. "Dia masih pemuda. Tentu dapat dimaafkan kalau belum punya karya," jawab Sarah, kemudian juga cekikikan. "Jadi apanya yang harus dikenal ?" protesku. "Kan orang dikenal karena karyanya ?" sekarang aku mulai sempat membela diri. "Ratusan juta orang di atas bumi ini tidak berkarya yang membikin mereka dikenal, maka tidak dikenal."
"Sebetulnya dia punya banyak karya juga. Hanya saja yang membacanya cuma seorang. Inilah dia pembacanya yang paling setia: Miriam de la Croix. Dia pacarnya, mengerti ?"
Kurangajar! sumpahku dalam hati. Apa urusanku dengan dia " kalau hanya pacar Miriam " Dua orang noni ini pun takkan tahu siapa Annelies Helema. Berani bertaruh!
"Ayoh, Mir, bercerita kau tentang pacarmu," desak Sarah berkobar-kobar. "Tidak. Tak ada urusan dengan tamu kita. Baik kita bicara soal lain," tolak Miriam. "Kau Pribumi tulen, kan Minke , Aku diam tak menjawab, merasa pintu penghinaan mulai dibuka tanpa ketukan. "Seorang Pribumi yang mendapat didikan Eropa Bagus. Dan sudah begitu banyak kau ketahui tentang Eropa Mungkin kau tak tahu banyak tentang negerimu sendiri Barangkali. Bukan " Aku tak salah, kan ?" Penghinaan itu sekarang sedang berlangsung, pikirku.
"Nenek-moyangmu," Miriam de la Croix meneruskan, "Maaf, bukan maksudku hendak menghina, turunan demi turunan percaya, petir adalah ledakan dari sang malaikat yang berusaha menangkap iblis. Begitu, kan " Mengapa diam saja " Malu kau pada kepercayaan nenek-moyang sendiri ?"
Sarah de la Crofx berhenti tertawa. Ia menarik wajah serius, mengamati aku seperti pada binatang ajaib.
"Tidak perlu nenek-moyangku," tolakku, "nenek-moyang Eropa dan Belanda jaman purba tidak akan kurang dungu daripada nenek-moyangku."
"Nah," Sarah menengahi. "Sudah kuperkirakan juga. Kalian akan bertengkar juga tentang nenek-moyang itu."
"Ya, kita ini seperti sapi, Minke," Miriam meneruskan. "Berkelahi pada pertemuan pertama, bersahabat kemudian, barangkali untuk selamanya. Begitu, kan ?" Gadis lincah! Kecurigaanku mereda.
"Nenek-moyangku mungkin lebih dungu daripada nen^k-moyangmu, Minke. Waktu nenek-moyangmu sudah bisa bikin sawah dan irigasi, leluhurku masih tinggal dalam gua. Tapi bukan itu yang hendak kita bicarakan. Begini, di sekolah kau diajar: petir hanya perbenturan awan positif dengan negatif. Malah Benjamin Franklin bisa membikin penangkal petir. Begitu, kan " Sedang leluhurmu punya dongengan indah sejauh yang pernah kudengar ceritanya tentang Ki Ageng Sela yang dapat menangkap sang petir, kemudian menyekapnya dalam kurungan ayam." Sarah meledak dalam tawa bebas. Miriam semakin jadi ber-sungguh, mengawasi wajahku dalam rembang senja itu untuk dapat melontarkan teka-tekinya: "Aku percaya pikiranmu dapat menerima pelajaran tentang awan positif dan negatif itu. Soalnya, kau membutuhkan angka untuk dapat lulus. Terusrterang saja, percaya kau pada kebenaran pelajaran itu ?"
Tahulah aku sekarang: ia sedang menguji pedalamanku. Ya, betul-betul ujian. Terusterang saja, aku tak pernah bertanya tentang ini pada diri sendiri. Rasanya semua sudah berjalan baik dan dengan sendirinya.
Sekarang Sarah ikut menimbrung:
"Tentu saja aku yakin kau mengetahui dan menguasai pelajaran ilmu alam itu. Soalnya sekarang: kau percaya-tidak "Aku harus percaya/' jawabku. "Harus percaya hanya agar lulus ujian. Harus! Jadi kau belum percaya." "Guruku, Juffrow Magda Peters ........'
"Lagi-lagi Magda Peters," potong Sarah. "Dia guruku. Menurut dia: semua datang dan pelajaran, jawabku, "dan latihan. Juga kepercayaan datang dari situ. Kan kau tidak mungkin percaya Jesus Kristus tanpa pelajaran dan latihan percaya ?" "Ya-ya, barangkah benar juga gurumu itu, Sarah bimbang.
Miriam sebaliknya mertgawasi aku seperti sedang menonton potret kekasih. . Aku merasa agak lega setelah mulai menangkis serangan.
"Tahun ini kita mulai mengenal kata baru: modern. Tahu kau apa artinya ?" Miriam yang agresif memulai lagi, meninggalkan soal petir. "Tahu. Hanya dari keterangan Juffrow Magda Peters.
"Rupanya kau tak punya guru lain," sela Sarah.
"Apa boleh buat. Dia yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian." . "Jadi apa arti modern menurut gurumu yang jagoan itu !
Miriam menetak. "Tak ada kata itu dalam kamus. Hanya menurut guruku yang jagoan itu adalah nama untuk semangat, sikap, pandangan, yang mengutamakan syarat keilmuan, estetika dan effisiensi. Keterangan lain aku tak tahu. Dia berasal dari kelompok skisma dalam Gereja Katholiek yang dikucilkan oleh Sri Paus. Barangkali ada keterangan lain ?" tanyaku akhirnya.
Sarah dan Miriam berpandang-pandangan. Aku tak dapat melihat jelas muka mereka. Senja sudah datang sekali pun sangat lambat rasanya. Dan mereka sekarang hanya diam-diam berpandang-pandangan, malah mulai sibuk membinasakan nyamuk yang meramahi kulit.
"Nyamuk ini," Sarah menggerutu, "diri ini dianggapnya restoran saja." Sekarang aku yang meledak dalam tawa.
"Ah, kita sampai lupa minum," kata Sarah. "Silahkan."
Ketegangan semakin kendor juga. Nafas panjang mulai dapat kuhela. Dan teringat aku pada jongos berbaju dan bercelana putih tadi menyusun gelas dan kue di atas meja kebun kami,
Untuk pertama kali aku menyenyumi diri sendiri. Bukan hanya karena kendornya ketegangan, juga karena aku tahu mereka tik lebih tahu dan diriku sendiri. "Tahu kau siapa Doktor Snouck Hurgronje sekali lagi Miriam menerjang. Kalau sekarang ini Tuan Assisten Residen datang berakhirlah aniaya ini. Di mana kau juruselamatku " Mengapa kau tak kunjung muncul " Dan anak-anakmu ini tak kurang galak dari nyamuk senja " Apa memang kau sengaja mengundang aku untuk digulung oleh anak-anakmu, seniorku " Pikiran itu mendadak membikin aku mengerti: Tuan Assisten Residen memang serahkan kepada dua orang putrinya untuk diuji. Kira-kira dia mempunyai maksud tertentu.
"Bagaimana sekarang sekiranya aku yang ganti bertanya ?" Sarah dan Miriam tertawa tak terkendali.
"Nanti dulu," tegah Miriam. "Jawab dulu. Juffrow kesayanganmu memang hebat. Kau sendiri murid yang tidak kurang hebat. Pantas kau sayang padanya. Mungkin aku pun akan sayang padanya. Sekarang, barangkali pertanyaan terakhir, juga barangkali guru kesayangan itu sudah banyak omong."
"Sayang tidak," jawabku pendek. "Cobalah terangkan."
Rupanya sudah lama ia menunggu kesempatan untuk tampil jadi guru. Dengan tangkasnya ia bercerita:
Dia seorang sarjana yang berlian: berani berpikir, berani bertindak, berani mempertaruhkan diri sendiri untuk kemajuan pengetahuan, termasuk penyaran penting dalam menentukan Perang Aceh untuk kemenangan Belanda. Sayang sekarang dia terlibat dalam pertengkaran dengan Van Heutsz. Pertikaian tentang Aceh. Apa arti pertikaian itu " Tak ada, kata Miriam. Yang terpenting, ia telah membikin satu percobaan mahal dengan tiga orang pemuda Pribumi. Maksud: hanya untuk mengetahui, apa benar Pribumi bisa menghayati dan dihayati ilmupengetahuan Eropa. Setiap minggu ia memerlukan menginterpiu mereka untuk dapat mengetahui perubahan pedalamannya sebagai siswa sekolah Eropa, dan kemampuan mereka menyerapnya. Apa ilmu pengetahuan dari sekolahhanya selaput upis Kering yang mudah tanggal atau benar-benar berakar. Sarjana itu belum dapat mengambil kesimpulan.
Kembali aku yang sekarang tertawa. Dua noni di depanku mi sedang memonyetkan sang sarjana. Dan aku sebagai kelinci yang dapat ditangkapnya dari pinggir jalan. Eilok! Haibat! Tapi karena ini mungkin perintah ayahnya, yang belum tentu bermaksud jahat, kukfndalikan keinginanku untuk membikin serangan pembalasan. Aku dengarkan terus cerita junior, bukan juga sebagai murid sebagai seorang pengamat. Suasana hening tenang. Sarah tak ikut bicara. Kemudian: "Pernah kau dengar tentang teori assosiasi ?" "Juffrouw Miriam, kaulah sekarang guruku, jawabku mengelak, Bukaan, bukan guru," tiba-tiba ia jadi rendahhati."Sudah pada galibnya ada pertukaran pikiran antara kaum terpelajar. Begitu, kan " Jadi belum pernah dengar tentangnya "
"Belum." "Baik. Teori itu berasal dari sarjana itu. Teori baru. Dia punya pikiran, kalau percobaannya berhasil, Pemerintah Hindia Belanda bisa mulai mempraktekkannya. Begitu, kan, Sarah " "Teruskan sendiri," Sarah mengelak.
"Yang dimaksudkan dengan assosiasi adalah kerjasama berdasarkan serba Eropa antara para pembesar Eropa dengan kaum terpelajar Pribumi. Kalian yang sudah maju diajak memerintah negeri ini bersama-sama. Jadi tanggung-jawab tidak dibebankan pada bangsa kulit putih saja. Dengan demikian tak perlu lagi ada jabatan kontrolir, penghubung antara pemerintahan Eropa dengan pemerintahan Pribumi. Bupati bisa langsung berhubungan dengan pemerintahan putih. Kau mengerti ?" "Teruskan," kataku.
"Bagaimana pendapatmu"
"Sederhana saja," jawabku. "Orang Pribumi seperti aku ini membaca apa yang kalian tidak baca: kitab Babad Tanah Jawi. Memang membaca dan menulis Jawa mata pelajaran tambahan dalam keluarga kami. Lihat, dalam mata pelajaran E.L.S. sampai H.B.S. kita diajar mengagumi kehebatan balatentara Kompeni dalam menundukkan kami, Pribumi."
"Balatentara Kompeni memang hebat. Itu kenyataan," Miriam membela bangsanya. "Ya, kenyataan memang. Tahu, kau, dalam banyak babad tulisan Pribumi, Pribumi telah bertahan selama berabad terhadap kalian?"
"Dan kalah terus ?" terjang Miriam. "Ya, kalah terus memang, tiba-tiba hilang keberanianku untuk meneruskan kata-kataku. Yang keluar justru pertanyaan: "Mengapa teori itu tidak lahir dan dilaksanakan tiga ratus tahun yang lalu " Pada waktu Pribumi tidak ada yang akan berkeberatan kalau bangsa Eropa ikut memikul tanggung-jawab bersama Pribumi ".
"Aku kurangi memahami maksudmu," sela Sarah "Maksudku, itu sarjana hebat Doktor..... siapa pula namanya " sudah ketinggalan tiga ratus tahun daripada Pribumi pada jamannya," jawabku melagak.
Dan dengan itu aku minta diri, meninggalkan dua orang noni senior yang menjengkelkan itu.
8. AYAH DAN BUNDA SANGAT BANGGA AKU mendapat undangan dari Tuan Assisten Residen Herbert de la Croix.
Di rumah masih berdatangan undangan dari para pembesar Pribumi setempat. Kedua orangtuaku lebih baik tak tahu bagaimana putra kebanggaan ini diplonco. Setengah mati kutolak desakan mereka untuk menceritakan. Malah aku nyatakan akan segera balik ke Surabaya.
Undangan-undangan membikin aku sibuk membalas.
Ayahanda tak lagi gusar padaku. Undangan dari Tuan Assisten Residen membikin semua dosaku dengan sendirinya terampuni.
Telah kukirimkan tilgram lagi ke Wonokromo, mengabarican hari dan jam kembaliku ke Surabaya mendatang, dan agar dijemput dengan kereta.
Ayahanda dan Bunda tak dapat dan mungkin juga merasa tak layak menahan keberangkatanku. Persoalan Nyai Ontosoroh tak pernah digugat lagi. Seorang yang telah mendapat undangan dari Tuan Assisten Residen dengan sendirinya memiliki kekebalan, tak mungkin bersalah, bahkan jabatan tinggi dan penting yang sudah terpampang di ambang pintu kehidupannya. Mereka hanya berpesan agar aku minta diri dari pembesar Eropa itu.
Aku segan tapi berangkat juga. Sekali lagi aku mesti bertemu dengan Sarah dan Miriam de la Croix. Ternyata di dekat ayahnya mereka tidak agresif malah tertib dan sopan.
"Direktur sekolahmu dulu teman sekolahku," kata pembesar itu. "Kalau sudah masuk sekolah lagi sampaikan salam dan hormatku."
Kemudian ia bercerita: anak-anaknya ingin pulang ke Ne-derland. Mereka tak punya ibu barang sepuluh tahun yang lalu.
Kalau mereka pergi, tentu ia akan sangat kesepian. Karena itu:
"Sering-sering kirimi aku surat tentang kemajuanmu. Aku akan senang membacanya. Juga berkorespondensilah dengan Sarah dan Miriam," pesannya. "Kan sudah sepatutnya ada pertukaran pikiran antara muda-mudi terpelajar " Siapa tahu, kelak bisa jadi dasar kehidupan yang lebih baik " Apalagi kalau kalian semua kelak jadi orang penting ?"
Aku berjanji akan melaksanakan.
"Minke, kalau kau bersikap begitu terus, artinya mengambil sikap Eropa, tidak kebudak-budakan seperti orang Jawa seumumnya, mungkin kelak kau bisa jadi orang penting. Kau bisa jadi pemuka, perintis, contoh bangsamu. Mestinya kau sebagai terpelajar, sudah tahu: bangsamu sudah begitu rendah dan hina. Orang Eropa tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantunya. Pribumi sendiri yang harus memulai sendiri."
Kata-katanya menyakitkan. Ya, setiap kali ujud Jawa disakiti orang luar, perasaanku ikut tersakiti. Aku merasa sepenuhnya Jawa. Pada waktu ketidaktahuan dan kebodohan Jawa disinggung, aku merasa sebagai orang Eropa. Begitulah pesanpesan yang menimbulkan banyak pikiran itu aku bawa serta dalam hati, aku bawa serta dalam kereta cepat, yang membawa aku kembali ke Surabaya. Sekiranya Tuan de la Croix seorang Jawa, mudah bagiku untuk menduga maksudnya: hendak mengambil diri jadi menantu. Tapi dia orang Eropa, maka tidak mungkin. Apalagi baik Sarah mau pun Miriam lebih tua beberapa tahun daripadaku. Pembesar itu mengharapkan aku jadi contoh, pemuka, perintis bangsaku sendiri. Seperti dongengan! Tak pernah yang demikian tersebut dalam cerita-cerita nenekmoyangku. Apa mungkin ada orang Eropa benar-benar menghendaki " Dalam sejarah Hindia pun tak pernah terjumpai. Kompeni Belanda tak pernah mengistirahatkan senapan dan meriamnya, selama tiga ratus tahun di Hindia. Tibatiba ada seorang Eropa yang mengharapkan diri jadi perintis, pemuka, contoh bangsa. Dongengan tidak menarik. Lelucon tidak lucu. Rupanya dia hendak membikin diri jadi kelinci percobaan dalam rangka teori assosiasi Doktor Snouck Hur-gronje. Prek persetan! Bukan urusanku. Beruntung aku suka mencatat, ,mempunyai perbendaharaan yang setiap waktu bisa memberi petunjuk dan peringatan.
Kugagapi tas untuk membacai surat-surat yang belulm juga kubaca itu. Benar saja, isinya pemberitahuan tentang akan adanya resepsi pengangkatan Ayahanda, juga perintah dan permintaan agar aku segera pulang. Pada surat abang malah dilampirkan permohonan cuti untuk Direktur sekolah. Uh, semua sudah berlalu dengan kemenangan pada pihakku.
Hei-hei, mengapa si Gendut agak sipit itu mengawasi aku saja " Ia berpakaian drill coklat, baik kemeja mau pun celana panjangnya. Juga bersepatu coklat sepatu sebagaimana layaknya di gerbong kias satu. Topinya, dari laken dengan pita sutra, tak juga lepas dari kepala, kadang diturunkan sampai menutup kening untuk mendapatkan kebebasan menebarkan pandang ke mana saja ia suka. Bawaannya sebuah kopor kulit kecil yang terletak di atas kepalanya. Dan ia duduk di bangku di samping sana. Waktu kondektur memeriksa karcis ia menyerahkan karcis-putihnya, tetapi matanya melirik padaku.
Dari B. ke Surabaya hanya ada beberapa stasiun singgahan dengan kereta cepat ini. Dan si Gendut tidak turun, tak ada . persiapan. Jelas ia pun menuju stasiun terakhir. Stop! tak mau aku memperhatikan dia. Perjalanan sekali ini hendak kunikmati sebagai liburan. Tidur nyenyak. Aku membutuhkan kekuatan dan kesehatanku sendiri.
Kereta mendesau laju menuju ke Surabaya. Pada jam lima sore Surabaya telah ada di bawah roda kereta. Kuburan panjang itu mulai diterjang, dan kereta berhenti. Perron nampak lengang. Hanya beberapa orang sedang berdiri atau duduk menunggu atau berjalan mondar-mandir.
"Ann! Annelies!" seruku dari jendela. Ia menjemput.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar