Jumat, 18 November 2022

Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer #9/44


Arus Balik. 
Karya : Pramoedya Ananta Toer.


Bagian 9.
Esteban dan Rodriguez Dua orang sepupu itu sudah bersepakat untuk melarikan diri.
Mereka sudah bosan pada dinasnya. Mereka bermaksud hendak mewujudkan impian lama: mengembarai Nusantara sebagai orang bebas, melihat negeri-negeri kafir dan penduduknya yang masih perbegu.
Dua orang itu adalah pemuda-pemuda Portugis keturunan Spanyol, Esteban del Mar dan Rodriguez Dez. Dua-duanya kanonir, penembak meriam pada kapal Peranggi.
Berita kemenangan-kemenangan Portugis di seluruh permukaan bumi, penemuan negeri-negeri baru jauh-jauh di seberang lautan yang tak terduga, kekayaan yang datang berlimpahan, telah memanggil pemuda-pemuda Portugis, meninggalkan desanya masing-masing untuk menggabungkan diri dengan armada-armada yang akan berangkat belayar meneruskan Perang Salib di seberang lautan.
Juga Esteban del Mar dan Rodriguez Dez. Mereka tak mampu menolak godaan kebesaran dan kemenangan dan harta-henda dan kemasyhuran ini. Mereka tinggalkan juga ladang mereka diperiuaran kota Lisboa dan mendaftarkan diri. Dan mereka tak perlu kembali ke ladang seperti yang lain-lain. Mereka diterima setelah menyodorkan uang sogokan.
Mulailah keduanya bekerja sebagai awak kapal kemudian meningkat jadi kanonir, menga rungi samudra, menaklukkan negeri-negeri, meneggelamkan kapal saudagar-saudagar asing beserta isinya ke dasar laut. Tak ada di antara kapal-kapal dari berbagai negeri itu mampu melawan. Dengan meriam segala yang nampak di laut dan di pesisir bisa dihembusnya dari permukaan bumi.
Mereka pun ikut serta dalam perang laut di Teluk Parsi melawan armada gabungan negeri-negeri Islam yang dipimpin oleh laksamana Mesir itu, dan menang dengan mudah. Sejak itu tak ada perlawanan lagi terhadap Portugis.
Portugis penguasa dunia! Dan mereka berdua bangga menjadi putra bangsa yang besar, ditakuti seluruh dunia itu.
Ia senang melihat kapal-kapal asing yang buyar berlarian bila melihat salib raksasa yang tergambar pada layar. Mereka itu laksana tikus melihat kucing. Tangan mereka sendiri yang menenggelamkan. Mereka dapat rasai setiap peluru yang lepas, kena atau tidak. Setiap peluru yang menemui sasaran memberikan ketukan pada hati mereka, seakan memberitahukan: pelurumu kena.
Tetapi kebesaran dan kebanggaan, kepahlawanan dan pengembaraan semacam itu, kehidupan tanpa perubahan, lama kelamaan membosankan mereka juga. Kejemuan setiap hari di tengah laut merindukan mereka pada sesuatu yang Iain. Selingan yang menyenangkan hanya sebentar saja terjadi: sementara kapal mendarat. Mereka dapat melihat-lihat negeri yang ditaklukkan, menampilkan diri sebagai pemenang tanpa lawan, mendapatkan segala yang mereka kehendaki. Selebihnya hanya laut dan laut saja di keliling mereka, dan kapal-kapal musuh yang melarikan diri, dan langit, dan bintang-bintang di malam hari, dan badai di hari-hari sial. Mereka tak dapatkan apa yang mereka rindukan belakangan ini: kebebasan dan kesenangan yang tak terbatas.
Akhir-akhir hidup yang sesungguhnya adalah di daratan, mereka memutuskan. Di laut tak ada yang mereka dapat kutip kecuali bila diadakan pencegatan dan perampasan kapal. Tapi di darat! Segala-galanya ada di sana. Dada selalu dapat menggelembung dengan kebanggaan sebagai putra Portugis yang jaya, bangsa pemenang, kawula raja pemenang, awak kapal pemenang, di atas daratan taklukkan! Pribumi pada menyingkir bila pemenang lewat. Orang mengangguk mengiakan dan menyilakan bila pemenang menudingkan telunjuk pada sesuatu dan setiap barang. Dan setiap kali menginjak bumi kafir, bergemalakan nama Jesus dalam hati: daratan ini akan segera diterangi oleh ajaran Isa Almasih.
Kebanggaan seperti itu akhirnya tak memuaskan juga. Dada pun jenuh dengan kebesaran. Mereka menghendaki lebih dari itu: kebebasan, kesenangan tanpa batas. Di darat pun kebebasan seperti itu tak pernah mereka kenyam sebagai awak kapal. Mereka ingin menyaksikan seluruh Nusantara, yang begitu disanjung dalam cerita, kadang juga dalam nyanyian. Mereka tak puas hanya melihat dan menjamah pantai-pantainya yang digermangi nyiur. Mereka ingin juga mendengarkan musiknya, yang kata orang tegap dan menjamah dan meluncuri laut dan gendang dan gongnya yang berbunyi tandas sampai mengaduk dasar hati.
Tertarik oleh cerita yang menyebar ke mana-mana sejak orang tua-tua dulu, yang mungkin mendengamya dari orang-orang Moro atau Sephari, mereka berdua membuat persepakatan untuk mengelanai Nusantara. Untuk itu jalannya hanya satu: melarikan diri dan punya perahu sendiri.
Imam kapal, Mario Fasetti, orang Italia itu, tak bosanbosan mengulangi pesan dalam khotbah-khotbahnya, Jangan masuki daerah kafir tanpa perintah, karena kalian akan membawakan kabar duka, bukan suka. Tak ada terang Allah di setiap jengkal tanah kafir. Pesan itu malah diulangi beberapa kali dalam sekali khotbah, setelah ketahuan ada awak kapal yang melarikan diri, dan tak kembali pada kesatuan, atau kembali sebagai tangkapan.
Tetapi awak kapal yang lari itu dan tak tertangkap lagi, mereka tak bakal muncul, bertahun-tahun, dan kembali ke tanahair, berpindah ke kota lain, membawa harta-benda dan cerita-cerita indah, benar dan bohong juga nyanyian baru, yang menyebabkan mereka jadi tersohor.
Memang benar sebagian terbesar pelarian itu hilang untuk selama-lamanya dan dilupakan orang. Itu semua orang tahu. Dan itu pun sudah jadi bea kebebasan. Maka Esteban del Mar dan Rogriguez Dez tak ambil peduli.
Semua memang ada risikonya. Mereka ingin juga jadi kaya dan tersohor sekaligus.
Setelah Portugis di bawah Alfonso d Albuquerque menguasai Malaka dan tinggal beberapa bulan di sana untuk melakukan penataan kembali kehidupan baru di bawah sang salib, mereka berdua giat mempelajari bahasa Melayu dari penduduk Tanpa bahasa itu mereka takkan mungkin dapat berdiri sendiri.
Pada seorang Pribumi mereka memesan agar dibuatkan sebuah perahu layar yang ramping menurut petunjuk mereka sendiri. Setelah jadi, perahu layar kecil itu mereka sembunyikan di sebuah ceruk beberapa belas kilometer di selatan bandar, di bawah penjagaan si pembikinnya.
Sedikit demi sedikit ditimbunnya barang keperluannya di dalam perahu itu: terigu, keju, mentega, arak semua diperolehnya dari gudang perbekalan di bandar Malaka.
Menjelang Desember 1512, waktu Portugis menyiapkan armada untuk menuju ke Maluku, mereka berdua melarikan diri. Mereka berhasil menggondol musket dengan mesiu, teropong, peta dan alat tuhs-menulis.
Tak sulit mereka mendapatkannya. Dan itu pun secara kebetulan pula. Waktu itu beberapa orang serdadu yang sedang berdinas jaga sedang berpesta-pora menghabiskan arak curian. Mereka berdua menyertainya berdasarkan undangan gelap dengan hanya lambaian tangan. Dan mereka pergunakan kesempatan ini.
Melihat yang lain-lain sudah pada menggeloyor tanpa daya dalam kemabokan, Esteban dan Rodriguez masuk ke dalam kantor dan menggodol apa saja yang dapat diambil.
Mereka lari ke selatan, turun ke atas perahu layarnya, mengembangkan layar dan berangkat. Belum pernah mereka merasa begitu riang seperti kali ini. Matari pagi mulai menyinari pesisir pulau Sumatra yang kelam oleh hijau tua rimba belantara. Perahu-perahu nelayan dan kapal-kapal dagang belayar damai.
Dari pengetahuan sejak di negeri sendiri mereka sudah tahu: di dunia ini tak ada bangsa kafir yang memiliki senjata ampuh kecuali Portugis, musket dan meriam dengan gaya ledak tinggi. Musket ada pada mereka. Dan mereka tak perlu merasa kuatir terhadap bajak laut. Pedang dan tombak para pembajak pasti akan temyata melengkung berhadapan dengan musket. Mereka berhati besar. Tak akan ada yang menghalangi pelayaran mereka.
Mereka tahu juga: kapal dagang Pribumi tak pernah berubah jadi kapal bajak. Dan kapal-kapal perang Pribumi, yang segera nampak dari kejauhan karena lubang-lubang pendayung pada sepanjang lambung kapal, juga tidak berbahaya selama tidak diganggu terlebih dahulu. Mereka berbahaya karena cetbangnya, tapi tak pernah menembak tanpa alasan. Pendeknya tak bakal ada sesuatu yang menghalangi pelayaran mereka.
Mereka bergantian tidur, mengemudi dan masak. Mereka menyinggahi bandar-bandar kecil, sepanjang pantai Sumatra untuk mendapatkan kelapa dan daging dan air minum dan sayur-mayur dan buah-buahan. Di mana pun tak ada yang mengganggu. Walau sekecil-kecilnya bandar kebebasan berniaga terjamin. Setiap orang boleh mendarat dan berjual beli dengan bebas. Dan bandarbandar itu selalu bersaing satu dengan yang lain untuk menjadi persinggahan rempah-rempah.
Di setiap bandar segera dua orang petualang itu menjadi kerumunan orang banyak. Kulit mereka, wajah mereka dan bahasa mereka yang aneh, segera menarik perhatian. Dan mereka senang menjadi tontonan. Dan setiap bandar yang disinggahinya selalu tidak sama dengan yang di Spanyol atau Portugis atau Italia. Tak pernah mereka mengalami penganiayaan. Sebaliknya kekasaran justru akan datang dari sebangsanya sendiri. Teman-teman mereka pada suatu kali bisa berubah jadi pemburu-pemburu yang akan menangkapnya untuk mendapatkan uang tebusan. Atau bisa juga datang dari pihak orang-orang Spanyol yang mungkin akan menjualnya pada bajak-bajak laut Maroko atau Tunisia.
Mereka telah menyinggahi bandar Ban ten, Sunda Kelapa, Cimanuk Tegal, Pekalongan, Semarang dan akhimya berlabuh di bandar Jepara.
Bandar ini tidak begitu besar, buruk, tapi lain daripada yang lain, pikir mereka. Di sini bukan saja ada keistimewaan dan kekhususan, malah keluarbiasaan. Galangan-galangan besar berdiri megah membikin kapalkapal, sama besarnya dengan kapal negerinya sendiri, Portugis. Bahkan sebuah di antaranya lebih besar. Kapal perang! Jelas nampak dari lubang-lubang lambung tempat mengayuh. Layar-layar kuning dari sutra terbeber di tanah dan sedang dijahit. Agak lama mereka awasi kapal terbesar yang sedang dilepa dengan adonan dengan minyak kelapa itu. Ingin mereka naik ke atas dan melihat-iihat susunannya. Isyarat dari banyak tangan menyebabkan mereka menyingkir menghindar.
Dan yang mereka herani, hampir-hampir tak ada perdagangan di sini. Yang ada hanya pekerja-pekerja yang sibuk dan bergegas-gegas seakan besok takkan ada hari baru lagi.
Juga di bandar Jepara tak ada yang mengganggu mereka.
Bunyi logam yang di tempat menyebabkan mereka tergoda untuk menyaksikan bagaimana Pribumi membikin perabot. Mereka memasuki bengkel pembuatan cetbang. Mereka mencoba bertanya apa saja yang sedang mereka buat. Pandai-pandai Biambangan temyata tak mengerti Melayu. Mereka membisu, bahkan melambaikan tangan menyuruh pergi
Esteban dan Rodriguez pergi, tetapi datang lagi untuk mengherani benda yang sedang dibuat itu. Rodriguez menebak, itulah meriam Pribumi. Dan Esteban tertawa terbahak melihat pada larasnya yang tipis bergelang-gelang dan kamar-ledaknya yang segede buah kelapa.
Meriam boneka yang baik hanya untuk melontarkan gombal! seru Rodriguez.
Tertawa mereka tak dapat ditahan. Dan itulah yang menyebabkan beberapa orang Pribumi merasa tersinggung. Tetapi karena bandar Jepara juga bandar bebas, di mana setiap orang dapat bebas bergerak, asing atau Pribumi, tak ada orang dapat dipeisalahkan hanya karena tertawa.
Tetapi orang-orang Pribumi, yang temyata pejabatpqabat penting itu. mempersembahkan datangnya dua orang kulit putih itu pada seorang punggawa. Kebetulan Adipati Unus Jepara sedang menghadap ayahandanya. Hanya punggawa itu saja pejabat tertinggi di Jepara. Maka terjadilah sebagaimana dilihat oleh Wiranggaleng. Esteban dan Rodriguez Deez melarikan diri dalam kejaran para prajurit. Hanya karena tingginya kewaspadaan menyebabkan mereka bisa selamat mencapai perahunya dan meneruskan pelayaran ke tunur.
Malam itu mereka berada di tengah laut. Sebelum salah seorang tidur bersama-sama mereka mengucapkan puji syukur atas keselamatannya. Mereka bersembahyang dan berdoa dan berdoa.
Dengan sinar lilin mereka melihat pada peta, yang disalin dan sebuah kapal Parsi yang mereka rampas kemudian mereka tenggelamkan. Dan awak kapal itu kemudian mereka jual di Mesir.
Dan pada suatu pagi bermendung masuklah perahu layar langsung itu ke bandar Lao Sam. Pelabuhan itu kecil dan mungil dilindungi oleh bukit-bukit terselaputi mendung, namun kelihatan ramah dan membentangi bandar dari badai.
Dan betapa terkejut mereka mengetahui penduduk bandar itu bukan Pribumi. Semua orang Tionghoa, bermata sipit dan berkuncir. Satu-dua Pribumi nampak berjalan mondar-mandir tiada bekerja.
Aturan di bandar ini lain, keras, dan memang bukan bandar bebas. Setiap perahu pendatang diperiksa sebelum orangnya mendarat. Pengalaman baru ini tak menyenangkan mereka. Selama belayar menyusuri sepanjang Sumatra dan Jawa tak pernah orang memperlakukan demikian. Begitu perahu mereka terpancang pada patok dermaga atau cerocok takkan ada orang datang menjenguk untuk mengintip muatan. Orang membiarkan mereka mendarat, pedagang-pedagang berebutan untuk menjual atau membeli barang. Orang pun takkan menghalanginya bila mereka langsung pergi ke pasar pelabuhan. Di Lao Sam lain yang terjadi.
Tiga orang Tionghoa, bercelana dan berbaju serba putih, dengan topi di atas kuncimya, juga berwarna putih. Mereka semua bersenjata penggada kayu berbentuk blimbingan.
Esteban tak mengerti bahasa mereka. Rodriguez juga tidak. Pada mulanya mereka berdua disuruh mendarat.
Salah seorang di antara mereka berdua menolak untuk disuruh mendarat. Salah seorang di antara yang tiga memanggil teman-temannya. Dalam waktu pendek dermaga itu telah penuh dengan orang. Semua memperlihatkan sikap yang mengancam.
Untuk menyelamatkan perahu dan muatan agar tidak ditenggelamkan mereka naik ke dermaga, mengikuti tiga orang itu.
Mereka dibawa masuk ke dalam sebuah rumah besar berlantai batu gunung dan diperintahkan menunggu. Tiga orang itu masih tetap menjaganya, seakan mereka orang tangkapan.
Esteban dan Rodriguez mendapat tempat duduk pada sebuah bangku panjang. Penjaga-penjaga itu berdiri.
Dua jam kemudian mereka diperintahkan masuk lebih ke dalam lagi, di sebuah ruangan dengan perabot kayu. Tidak kurang dari tujuh orang telah duduk atau berdiri menunggu mereka dengan sikap seram, lebih seram lagi karena mata mereka berubah, seperti terbuat daripada kayu. Mereka berpakaian wama-warni, dan semua membawa kipas pada tangannya, sekalipun tidak dipergunakan. Mereka mengenakan pakaian seperti jubah, semua dari sutra, dengan lengan tangan lebar.
Seorang yang gemuk, berkumis dan berjenggot panjang tipis tergantung, menanyainya dalam Melayu.
Esteban tak dapat menangkap bahasanya. Rodriguez juga tak mengerti. Kata itu diucapkan begitu aneh pada perasaan mereka. Rodriguez Dez menatap Esteban dengan pandang bertanya. Esteban menggeleng. Bersama-sama mereka memandangi orang gemuk di hadapan itu, dan orang itu mengangkat alis. Esteban tidak dapat menahan tawanya mendengar orang gemuk itu bicara lagi. Dan orang gemuk itu tersenyum sambil mengangguk-angguk. Para pengapitnya mulai bicara. Dua orang Portugis itu semakin tidak mengerti.
Orang gemuk itu sekarang bicara pada para pengapitnya. Suara mereka ramai, tetapi badan mereka seakan-akan terbuat dan kayu seluruhnya, nampak sangat sulit untuk digerakkan.
Esteban merasa seperti sedang menonton suatu pertunjukan aneh, Tawanya meledak tak terkendalikan. Rodriguez juga merasa diundang untuk tertawa. Percakapan terpaksa dihentikan.
Dari dalam rumah muncul seorang Tionghoa lain, wajahnya tanpa kumis dan tanpa jenggot. Ia tidak mengenakan jubah tetapi bercelana dan berbaju longgar, tanpa topi, kakinya berkasut. Pakaiannya dari sutra dan nampak terawat baik. Ia berjalan langsung mendapatkan yang gemuk dan memberi hormat. Suatu pembicaraan telah terjadi. Orang baru itu bicara tenang. Si gemuk mengangguk-angguk
Orang baru yang langsing itu berpaling pada Esteban dan Rodriguez, mengawasi mereka tajam-tajam, dan terjadilah yang sama sekali mereka tak duga: Kalian orang Portugis memang pongah! tuduhnya dalam bahasa Portugis. Esteban dan Rodriguez tak dapat menyembunyikan kejutnya.
Kau bisa Portugis" Rodriguez Dez bertanya. Demi keselamatan kalian sendiri, lepaskan kepongahan itu, katanya tanpa perubahan nada, datar, tanpa tekanan. jangan kalian lupa, tak ada seorang pun suka pada Portugis di sini.
Matanya yang sipit menusuk mereka seakan hendak merabai pikiran yang tersembunyi dalam kepala mereka.
Esteban mencoba memperlihatkan keunggulan bangsanya dengan tawa kecil meremehkan.
Baik. Terserah pada kalian bagaimana hendak bersikap. Aku hanya memperingatkan. Itu pun kalau orang Portugis mengerti artinya nasihat.
Kau penterjemah" Esteban bertanya. Pemeriksa kalian.
Pemeriksa! Rodriguez tertawa mengejek. Apa yang hendak kau periksa" Kami bukan tangkapan kalian.
Aku yang memeriksai kalian, bukannya kau yang memeriksa aku Itu pun kalau kalian mengerti bahasa Portugis yang benar.
Kaulah yang pongah, bukan kami, bantah Esteban Kami orang bebas! gumam Rodriguez. Tak ada alasan memeriksa kami Kami menolak. Tak ada orang Portugis diperiksa di bandar asing.
Diam! bentak pemeriksa itu. Aku dengar kalian tidak mengerti Melayu.
Siapa bilang kami tak mengerti Melayu" Orang itu, Rodriguez menuding pada si gemuk, yang tak keruan Melayunya.
Seseorang memukul tangannya yang menuding dengan kasar. Rodriguez merah-padam karena merasa terhina. Tak pernah ada orang dari bangsa lain berani berbuat seperti itu terhadap orang Portugis. la berjalan menghampiri meja si gendut hendak memprotes.
Pemeriksa itu menangkap tangannya dan menyeretnya ke lempatnya kembali. Rodriguez meronta. Tetapi sikutnya terasa hendak patah dalam kempitan pemeriksa itu. Makin meronta makin dekat perbukuan sikutnya pada keremukan. Ia meringis tanpa bisa mengerti.
Orang Portugis juga perlu belajar sopan di negeri orang, kata pemeriksa itu, dan menyorong Rodriguez. Ingat-ingat, namaku Liem Mo Han.
Esteban mengawasi Liem Mo Han dengan pandang mempelajari cara orang itu dapat mengempit sahabatnya sehingga tak berdaya. Ia tak mencoba membelanya.
Baiklah kuterangkan pada kalian, orang-orang Portugis. Kalau kalian bersikap begini terus, aku, Liem Mo Han, akan lakukan segala sesuatu yang telah kalian lakukan terhadap diriku selama tiga tahun.
Esteban diam-diam mendengarkan dan memperhatikan tingkah laku dan bahasa Portugis Liem Mo Han yang cukup baik.
Rodriguez sudah berdiri lagi di tempat sambil meringis kesakitan, kemudian bertanya mencoba ramah: Bagaimana kau bisa berbahasa Portugis sebaik itu"
Itu bisa diceritakan nanti. Jadi nama kalian Esteban del Mar dan Rodriguez Dez. Siapa yang Rodriguez"
Kepala Rodriguez yang berambut pirang itu mengangguk.
Baik. Pekerjaanmu" Tentu bukan saudagar bukan nakhoda.
Dua orang Portugis itu berpandang-pandangan. Baiklah kalian tak perlu mengaku. Di perahu kalian telah didapatkan musket. Jadi kalian ini pelarian dari kapal Portugis. Jangan pura-pura bodoh, aku tahu peraturan dalam kapal Portugis. Hati-hatilah, kalian, jangan sampai membuat onar di sini. Kepala kami yang terhormat, Tuan Gong Eng Cu, masih berhati luas, masih dapat menenggang kelakuan kalian. Maka dengarkan: musket kalian dan mesiunya kami tahan untuk disimpan.
Liem Mo Han bicara seperti tiada kan habis-habisnya, tidak memberikan kesempatan pada Esteban ataupun Rodriguez untuk menyela.
Jadi kalian berdua tidak mempunyai sesuatu pekerjaan, kemudian ia memutuskan. Hanya punya musket, dan dengan senjata itu membajak perahu-perahu kecil di tengah laut.
Tidak benar! bantah Esteban.
Tidak ada bukti kami berdua pernah membajak, banlnh Rodriguez.
Memang tidak ada bukti dalam perahu kalian. Boleh jadi yang tak kalian butuhkan telah kalian buang ke laut, yang kalian butuhkan telah kalian telan.
Bukan kebiasaan dan bukan watak Portugis untuk membajak, susul Esteban dengan nada tersinggung.
Memang dengan satu-dua orang Portugis tidak pernah membajak. Tetapi dengan satu kapal, apalagi satu armada, setiap Portugis adalah bajak.
Itu soal tafsiran! bantah Esteban. Kami tidak membajak, kami berperang.
Itu soal tafsiran! tuduh Liem Mo Han. Setiap kapal dan armada Portugis tidak berperang, tapi membajak. Dan setiap orang Portugis yang jatuh ke tangan kami adalah juga bajak. Bukankah di negeri kalian juga ada hukuman terhadap bajak"
Berperang dan membajak tidak sama, bantah Rodriguez.
Ya, tidak sama, Esteban membenarkan, berperang punya tujuan lebih jauh, lebih mulia, membajak untuk dirinya sendiri.
Tujuan itu urusan kalian sendiri. Bagi mereka yang terkena aniaya perbuatan kalian tetap menganggap kalian bajak belaka. Kalian harus lakukan hukuman sebagai bajak. Lao Sam berada dalam wilayah kekuasaan Tuban. Hukuman atas bajak menurut ketentuan Tuban adalah kerjapaksa, entah sampai berapa tahun sesuai dengan ketentuan, untuk kemudian menjalani hukuman mati. Kami bisa serahkan kalian pada Gusti Adipati Tuban.
Dua orang petualangan itu menjadi lemas. Mereka terdiam.
Gong Eng Cu bicara dalam Tionghoa pada Liem Mo Han. Yang belakangan mengangguk-angguk dan nampaknya hanya mengiakan.
Kepala kami, Liem Mo Han meneruskan, mengatakan, kelihatannya kalian masih muda dan segar. Kekasaran nampaknya sudah jadi watak bangsa kalian. Kami bisa juga jual kalian pada Malaka. pada bangsa kalian sendiri. Dan karena kalian kelihatan kuat dan segar, bisa juga kami jual pada orang-orang Arab. Atau bisa kami pakai sendiri untuk membajak sawah.
Liem Mo Han diam. Gong Eng Cu dan pengapit juga diam. Semua mengawasi dua orang Portugis yang nampaknya kehilangan diri itu.
Kalau kami jual kalian pada Malaka, kalian akan segera naik ke tiang gantungan, dan kami mendapat uang tebusan. Kalau kami serahkan kalian pada Gusti Adipati Tuban, kalian akan lakukan kerjapaksa sebelum naik ke tiang gantungan. Tapi kami tak mendapat sesuatu keuntungan. Kalau kami jual kalian pada orang-orang Arab, kami akan mendapatkan keuntungan lebih banyak, dan kalian harus bekerjapaksa sampai mati tua. Ia diam lagi untuk dapat melihat hancurnya kebanggaan kebangsaan dua orang itu. Nah, pilihlah salah satu di antaranya.
Esteban del Mar dan Rodriguez Dez sejenak berpandang-pandangan dan berunding dengan matanya.
Tidak ada jalan untuk melarikan diri, Liem Mo Han memperingatkan.
Jadi mana yang dipilih, kalian, bajak laut celaka" Kami bukan bajak laut, Rodriguez membela diri. Kelakuan semua pelaut tak lain dari bajak. Esteban berpikir keras.
Kau, Esteban, yang lebih tua, bicara, kau! melihat orang itu masih juga berpikir keras ia meneruskan, barangkali Liem Mo Han ini kau anggap kurang berharga. Baik, silakan bicara sendiri pada kepalaku, Tuan Gong Eng Cu. Hanya, pakailah sedikit kesopanan. Kami tidak hargai kepongahan dan kebanggaan kalian. Bagi kami kalian tak lebih hanya bajak laut.
Esteban melangkah maju mendekati Gong Eng Cu, membungkuk memberi hormat dan membela diri: Tuan Gong Eng Cu, benar kami bukan bajak laut. Kami memang pelarian dari kapal Portugis di Malaka. Dalam perjalanan sampai kemari tak pernah sekalipun kami melakukan kejahatan di laut. Kami hanya ingin pesiar melihat negerinegeri Nusantara.
Setelah Liem Mo Han terjemahkan, Gong Eng Cu berkata melalui terjemahan: Kalian tidak sekedar hanya melihat negeri-negeri. Ada didapatkan senjata, mesiu, peta, kompas, teropong dan buku-buku dalam perahu kalian.
Tak pernah ada larangan membawa barang-barang itu, bahkan semua kapal Portugis dilengkapi dengan semua itu.
Kalian jangan permain-mainkan kami. Pelarian biasa tidak akan membawa semua itu, kalau tidak karena tidak sempat tentu sulit untuk bisa mendapatkannya. Kalian mempunyai cukup persediaan bahan makanan. Nampaknya kalian ini mata-mata Portugis.
Mata-mata" Esteban berseru kaget. Rodriguez terbeliak.
Apakah kalian ingin mencoba jadi mata-mata Sang Adipati Jepara" Nah, kau, Rodriguez, mengapa tak ikuti jejak temanmu menghadap Tuan Gong Eng Cu dengan baik-baik"
Rodriguez maju dan memberi hormat. Ia berdiri di samping temannya. Berkata: Sesungguhnya kami memang melarikan diri dari Malaka.
Aku percaya, jawab Gong Eng Cu. Kalau kalian mengaku bukan bajak laut, bukan mata-mata, mengapa tak juga menyampaikan kami apa rencana Portugis setelah merebut Malaka" Apakah kalian yang sudah bodoh, ataukah memang mau membodohi"
Tuan Gong Eng Cu, Portugis sedang menunggu datangnya tambahan kekuatan di Malaka. Mereka akan terus berlayar ke Maluku.
Ke Maluku" Begitu cepat" Gong Eng Cu terpekik dengan mata membeliak menatap Liem Mo Han. Kemudian ia bicara dengan penterjemah itu dan Liem Mo Han tidak memportugiskan.
Esteban dan Rodriguez berpandang-pandangan dan berunding dengan matanya.
Liem Mo Han menghampiri mereka, menusuk mereka dengan pandangnya, menetak: Pembohong!
Semua awak kapal tahu, sekarang Esteban mengambilalih.
Tadinya dimaksudkan akan memberangkatkan empat buah kapal. Tambahan kekuatan yang ditunggu belum juga datang Kalau dalam bulan Desember Tuan Liem Mo Han mengerti artinya Desember"
Liem Mo Han mengangguk. Kalau dalam bulan Desember tambahan kekuatan itu tak juga datang, Portugis akan berangkat dengan jumlah kapal dan kekuatan orang yang ada saja.
Pembohong! bentak Liem Mo Han.
Kami tentu akan jadi pembohong kalau Malaka membatallcan niatnya, sambung Esteban.
Kalau kau bukan pembohong, jalan laut mana yang akan ditempuh"
Menyusuri Sumatra dan Jawa. Mengapa"
Karena hanya peluat-pelaut Jawa yang tahu jalan ke Maluku. Kami semua tahu, kapal-kapal Jawa selalu menenggelamkan kapal bukan-Jawa di perairan Maluku. Tak ada yang berani memasuki, bangsa apa pun, juga bangsa Tionghoa tidak.
Gong Eng Cu mengangguk-angguk mendengarkan terjemahan Liem Mo Han.
Jadi Portugis tahu dia akan berhadapan dengan kapalkapal Jawa di Maluku"
Portugis berangkat untuk berperang, kembali Esteban mendapatkan kebanggaan nasionalnya. Dan kami tak pernah kalah.
Apa yang kau bisa perbuat dengan keangkuhanmu" Aku bicara soal kenyataannya. Belum pernah kami dikalahkan baik di laut maupun di darat.
Dengarkan kalian, orang-orang Portugis. Kalau kalian temyata pembohong, bukan kami yang salah. Kalian pernah tangkap aku, kalian bikin aku jadi budak di dapur kapal kalian. Kalian telah bawa aku ke negeri kalian, mengarak aku keliling Lisboa jadi tontonan. Orang menariki kuncirku. Rasa-rasanya mau copot kulit kepalaku. Tiga tahun kalian telah siksa aku. Kalian jual aku pada orang Italia. Mereka menjual aku pada orang Moro. Kapal Moro membawa aku ke Benggala. Kalian hadapilah aku sebagai orang yang pernah kalian aniaya. Tiga tahun! Kalian jangan berlagak pemenang di sini.
Kami tak pernah tahu tentang itu.
Sekarang kalian tahu, dan kalian hanya bagian dari mereka selebihnya. Kalian memang selamat di bandarbandar Sumatra dan Jawa. Di Lao Sam ini tidak. Kalian tahanan kami.
Mereka berdua tak berani membantah. Mengapa diam saja" Gong Eng Cu mendesak. Kami bermaksud hanya hendak melihat-lihat negeri. Kalian mata-mata! tuduh Gong Eng Cu. Portugis sudah melakukan kejahatan di mana-mana, dan bersumbar hendak membawa bangsabangsa selebihnya pada peradaban. Kalian pelarian atau mata-mata sama saja. Sejak saat ini kalian tidak diperkenankan mendekati pantai. Begitu orang melihat kalian melanggar ketentuan, jiwa kalian jadi tebusan. Dan kalau temyata Peranggi datang ke Jawa membikin keonaran seperti di Malaka .
Gong Eng Cu yang gendut itu tak meneruskan katakatanya. Ia mengangguk sambil memejamkan mata.
Biar pun begitu kami punya peraturan, tidak hanya Portugis, dan kami pun bisa jalankan aturan kami. Kami lihat kalian punya perahu sendiri. Dari siapa kalian merampasnya"
Kami pesan dari Pribumi Malaka. sambar Rodriguez. Membeli, memesan ataupun merampas sama saja. Kalau Portugis suka merampas atau memesan" Juga kami tidak mencurinya, tambah Roodriguez. Memang Portugis tidak pernah mencuri, hanya merampas dan menggagahi, kebiadaban yang tiada tara. Baik, tak ada gunanya bicara soal perahu dan isinya. Dengarkan, kepala kami, Tuan Gong Eng Cu, ingin melihat apakah kalian mata-mata atau bukan. Kami akan membutuhkan waktu untuk dapat kalian yakinkan. Nah, apa keahlian kalian"
Esteban dan Rodriguez berpandang-pandangan dan berunding dengan matanya.
Membuat arak, Rodriguez menjawab. Kalau ada buah anggur. Arak terbaik yang pernah dikenal orang.
Kalau kau pandai membuat arak terbaik, kau takkan gentayangan kemari, Liem Mo Han melecehkan.
Tidak bohong. Kami bisa bikin sendiri, arak merah dan putih dan kuning, mungkin lebih baik dari bikinan negerinegeri lain, Esteban memperkuat.
Takkan ada yang lebih pandai dari bangsa kami, jawab Liem Mo Han.
Boleh jadi, sambung Esteban. Kami juga bisa menukang.
Liem Mo Han tersenyum. Pengapit-pengapit Gong Eng Cu tertawa waktu mendengar terjemahan Liem.
Menukang adalah keahlian bagus, kata Liem Mo Han, dan aku kira takkan ada tukang lebih baik daripada bangsaku. Coba, perlihatkan tangan kalian padaku" dan penterjemah itu memperhatikan otot-otot lengan dan telapak tangan dua orang Portugis itu kemudian menggeleng-geleng melecehkan.
Memang kami tak pernah menukang dalam beberapa tahun belakangan ini, Esteban membela diri.
Pernahkah kalian menukang membikin kapal" Perahu kami itu aku sendiri yang merencanakan, laju seperti hiu, Rodriguez menerangkan dengan bersemangat
Betul, orang-orang bilang memang perahu luarbiasa. Pernah kalian membikin kapal"
Sekali lagi Esteban dan Rodriguez berpandang-pandang berunding dengan mata.
Pernah, Esteban mengangguk mengiakan..
Tentu saja. Membuat kapal" Uh, sudah selusin! Kapal apa" Kapal samudra" Kapal Portugis" Tentu kapal samudra, kapal Portugis. Rodriguez meyakinkan Liem Mo Han.
Aku tak percaya kalian bisa membikin kapal, Liem Mo Han mencoba mematahkan semangat mereka. Kalian terlalu muda untuk bisa bikin kapal, terlalu tidak tekun, terlalu pembual. Orang yang bisa bikin kapal tidak begitu tingkahnya. Juga tidak akan bertualang. Dia akan tetap tinggal di galangan negerinya sendiri. Kalian hanya pembual
Betul, kami berpengalaman, Rodriguez meyakinkan lagi.
Takkan ada yang bisa percaya kecuali kalian sendiri, Liem Mo Han terbatuk-batuk. Barangkali kalian pernah hanya menonton orang membikin kapal besar.
Di sepanjang pantai negeri Portugis orang membikin kapal samudra. Setiap bocah pernah melihat, kata Esteban.
Gong Eng Cu melambaikan tangan menyuruh dua orang itu menjauh daripadanya. Kemudian ia berundingan dengan para pengapitnya. Semua mereka ikut bicara. Orang gendut itu kemudian memberi perintah pada Liem Mo Han.
Kalian hanya penipu. Kalian masih beruntung kepala kami tidak sekejam dan tidak biadab seperti bangsa Portugis. Kepala kami. Tuang Gong Eng Cu. memerintahkan pada kalian untuk tinggal di Lao Sam sampai kalian dinilai. Kalau pada suatu kali ada kapal Portugis datang kemari untuk mencari kalian kalian sendiri yang lebih tahu apa bakal terjadi.
Kami akan meneruskan pelayaran kami melihat-lihat Nusantara, bantah Esteban.
Tetapi Liem Mo Han tak peduli dan meneruskan: Kalian akan ditempatkan di sebuah rumah. Hanya dengan pengawalan boleh keluar dan situ.
Kami belum lagi mendarat di Lao Sam sini. Kalian yang memaksa kami mendarat, bantah Esteban. Dan kami hanya hendak belanja, sambut Rodriguez. Walau pun kalian tidak bisa dipercaya seperti halnya dengan orang Portugis selebihnya. kepala kami telah memberikan kemurahan pada kalian untuk bekerja di galangan kami. Kalian hanya melihat-lihat bagaimana kapal kami dibikin dan memberikan pendapat dan nasihat sekedamya.
Kembali dua orang itu berunding dengan matanya. Ya, berundinglah kalian. Sebelum kepala kami mengambil sesuatu keputusan, Liem Mo Han memberanikan mereka.
Di luar hujan jatuh berderai, lebat dan berangin. Ya, kau bisa lakukan itu, kata Rodriguez pada temannya, dan aku bisa membantumu. Terimalah. Tapi Esteban masih juga menimbang-nimbang. Asal kalian mengerti, tak ada di antara kami bisa memperrayai kalian.
Apa gunanya nasihat orang yang tidak dipercaya" tanya Esteban.
Kami yang menentukan. Bukan kau, Liem Mo Han melecehkan dengan bibimya. Hanya karena sikap pemurah kepalaku. Mestinya kalian cukup dibinasakan saja. Ia menunggu jawaban. Dan yang ditunggunya belum juga datang. Tidak percuma aku tiga tahun jadi budak kapal, kapalmu, kapal Portugis. Setiap hari mendengar ajaran yang muluk-muluk dengan perbuatan yang rendah. Itulah kalian orang Portugis. Ayo, jawablah kalau kalian sanggup!
Ya, kami sanggup, jawab Esteban.
Betapa cepat keputusan itu, Gong Eng Cu memberikan komentar.
Makin kelihatan petualangan kalian, kata Liem Mo Han. Tapi awas. Tujuh orang yang tersisa dari kapal kami telah kalian perbudak selama tiga tahun. Lima di antara kami akhimya kalian bunuh, kalian buang ke laut. Sekarang kalian hanya berdua. Kalian masih berhutang jiwa pada kami. Begitu kalian .
Kami tak tahu begitu menyedihkan pengalamanmu. Esteban menanggapi.
Menyedihkan. memang. Semua yang datang dari Portugis selalu menyedihkan, dan itulah kabar gembira untuk kalian.
Esteban yang merasa tersinggung membalas Kelak. kalau kapal samudra kalian jadi, kalian bisa membalas dendam, membajak salah sebuah kapal Portugis yang pertama-tama kalian temui, menangkap semua awak kapalnya dan menjualnya pada siapa saja.
Kami bukan bajak, juga bukan keturunan bajak. Kami keturunan awak armada Ceng He yang besar .
Apa yang dikatakan Liem Mo Han tidak keliru. Setelah armada Ceng He tak bisa balik ke Tiongkok. Armada ini kemudian berdiri sendiri, melakukan perdagangan sendiri dengan Malaka dan membuka pangkalan-pangkalan di Jawa. Dalam kekuasaan Tuban mereka mendapat perlindungan dan ijin berpangkalan di Lao Sam. Pangkalan pokok mereka dirikan di Sam Toa-lang.
Dari dua pangkalan itu juga mereka lakukan perdagangan dengan Atas Angin sampai-sampai memasuki Laut Merah.
Untuk membikin awak armada ini tidak lenyap ditelan oleh Pribumi, baik karena perkawinan mau pun karena kecilnya jumlah mereka. mereka mendirikan sebuah organisasi pengawal yang harus mempertahankan lembaga peradaban dan kebudayaan negeri leluhumya, bemama Nan Lung atau Naga Selatan.
Liem Mo Han adalah seorang pemuka Nan Lung, yang dihormati oleh masyarakat Tionghoa sepanjang pantai utara pulau Jawa. Di samping Portugis ia pun menguasai Jawa. Oleh Nan Lung dan masyarakat Tionghoa ia diangkat jadi penghubung antara Lao Sam dengan Toalang, juga diangkat jadi duta masyarakat Tionghoa dengan kerajaan Demak
Melihat Liem Mo Han tetap tak menghargai mereka. Esteban dan Rodriguez kembali mengambil sikap berhatihati.
Membajak adalah penghinaan untuk awak armada Ceng He yang besar, juga untuk keturunannya, Liem Mo Han memperingatkan. Kalau bukan karena kehendak kepala kami lain lagi yang akan terjadi dengan kepala kalian. Hati-hati.
Gong Eng Cu tiba-tiba bicara lagi sambil melambaikan tangan dan Liem Mo Han menterjemahkan: Tempat kalian telah ditentukan. Semua keperluan sehari-hari kalian akan dipenuhi.
Kami akan berikan nasihat-nasihat kami pada kalian, jawab Esteban, tapi kembalikan barang-barang kami.
Kalau kapal kami jadi dengan baik, jangankan barangbarangmu seratus kali benda-benda berharga akan kalian dapatkan dari kami kata Gong Eng Cu. Jangan banyak bicara. Kalian sebagai orang Portugis telah mendapat kemurahan terlalu banyak.
Orang-orang yang menggiringnya dari pantai sekarang menghampiri mereka. Dengan isyarat mereka memerintahkannya berjalan keluar dari rumah besar itu. Mereka digiring di jalanan sempit, berpasir dan berdebu kuning, ke jurusan selatan, ditempatkan di sebuah kamar rumah batu dan terus-menerus dikawal.
Waktu pintu terpalang dari luar kamar mereka masih berdiri berpandang-pandangan. Tak ada sepatah kata keluar dari mulut mereka. Kemudian dengan serentak mereka berlutut dan membikin salib dengan jarinya.
Gong Eng Cu mempunyai rencana khusus terhadap mereka berdua. Pelaut-pelaut keturunan awak armada Ceng He sudah banyak yang ditangkap dan dibinasakan oleh armada Portugis. Dan mereka tak pernah dapat membalas. Armada mereka yang pada mulanya armada militer, kini hanya armada dagang belaka. Dengan Esteban del Mar dan Rodriguez Dez boieh jadi ia dapat memberikan sedikit tekanan pada Portugis.
Ia hendak pamerkan dua orang tangkapan itu pada umum. Setiap hari mereka dipekerjakan di galangan kapal di Dasun. Berita tentang mereka harus sampai ke Malaka.
Gong Eng Cu sendiri bukan keturunan awak armada Ceng He. Ia adalah keturunan ke enam seorang pendatang di Tuban. Ia adalah kepala masyarakat Tionghoa di Lao Sam. Tetapi ia bukan anggota Nan Lung. Ia tidak mempunyai sesuatu urusan dengan kekuasaan raja-raja setempat.
Setelah menyelesaikan urusannya di Lao Sam, dengan sebuah perahu layar milik Esteban dan Rodreiguez ia kembali ke Tuban.

Berlanjut ke bagian 10


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar