Sabtu, 19 November 2022

BUMI MANUSIA KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER #15/27


Dara itu berlarian ke gerbongku, berhenti di bawahnya dan mengulurkan tangan: "Tak ada apa-apa, Mas ?" tanyanya.
Si Gendut melewati aku dengan menjinjing kopor kecilnya. Ia turun lebih dahulu, sejenak memperhatikan Annelies, kemudian berjalan pelahan menuju ke pintu keluar. Aku ikuti dia dengan mataku. Dan ia tak jadi keluar, berhenti dan menoleh ke belakang, pada kami.
"Ayoh, turun. Menunggu apa lagi ?" desak Annelies. Aku turun. Kuli itu mengikuti dengan membawa barang. "Mari, Darsam sudah lama menunggu."
Ternyata si Gendut belum juga keluar dari pintu perron sampai kami melewatinya. Kulitnya langsat cerah, mukanya kemerahan. Dalam gerbong mau pun sekarang antara sebentar ia menyeka leher dengan setangan biru. Begitu kami lewati ia bergerak, seakan sengaja hendak membuntuti.
"Tabik, Tuanmuda!" seru Darsam dari samping andong. (Oleh Mama ia dilarang memanggil aku Sinyo).
Si Gendut memperhatikan kami naik andong. Sekarang
ia seorang jurubayar pada Borsumij atau Geowegrij " Atau mungkin sendiri Mayoor der Chineezen " Tapi seorang mayoor biasanya angkuh dan merasa setara dengan orang Eropa, tak perlu memperhatikan diriku, bahkan takkan peduli pada Pribumi siapa pun. Atau Annelies yang diperhatikannya " Tidak. Ia sudah berlaku seperti itu sejak dari B.
"Non, tunggu sebentar di sini. Darsam ada sedikit urusan di warung itu," kata Darsam dengan mata ditujukan padaku, meneruskan, "Tuanmuda, silakan turun sebentar."
Aku turun. Dengan sikap waspada tentu. Kami memasuki warung kecil, sebuah gubuk bambu beratap genteng.
"Ada apa ke situ, Darsam ?" tanya Annelies curiga dari atas andong. Darsam menoleh, menjawab: "Mulai kapan Non tidak percaya sama Darsam ?" Aku sendiri juga menjadi curiga. Si Gendut dan dokarnya berhenti di kejauhan sana. Sekarang Darsam pula bikin tingkah.
"Tinggal duduk di situ, Ann," kataku mententeramkan. Namun mataku terus juga mengawasi tangan dan parang pendekar Madura ituDalam warung terdapat hanya seorang langganan yang sedang duduk minum kopi. Ia tak menoleh waktu kami masuk. Nampaknya sedang melamun. Atau pura-pura tak tahu " Atau sekutu si Gendut juga seperti Darsam ini "
Dengan sikap perintah ia silakan aku mengambil tempat di bangku panjang di seberang langganan itu. Ia duduk begitu dekat padaku sampai dapat kudengar nafasnya dan tercium bau keringatnya.  
"Antarkan teh dan kue ke andong di luar sana," perintah Darsam pada wanita pewarung. Matanya tajam mengawasi perempuan itu sampai ia pergi membawa pesanan itu di atas nampan kayu.
Dengan mata liar ia dekatkan kumis-bapangnya padaku, berbisik dalam Jawa yang kaku dan berat:
"Tuanmuda, sesuatu telah terjadi dirumah. Hanya aku yang tahu. Noni dan Nyai tidak. Begini, Tuanmuda, jangan terkejut. Sementara ini jangan Tuanmuda tinggal di Wonokromo. Berbahaya."
"Ada apa, Darsam ?"
Suaranya kini agak tenang:
"Darsam ini, Tuanmuda, hanya setia pada Nyai. Apa yang disayangi Nyai, disayangi Darsam. Apa yang diperintahkan, Darsam lakukan. Tak peduli macam apa perintah itu. Nyai sudah perintahkan Darsam menjaga keselamatan Tuanmuda. Aku kerjakan, Tuanmuda. Keselamatan Tuanmuda jadi pekerjaanku. Tidak perlu percaya, Tuanmuda, hanya ikuti saja nasihatku."
"Aku mengerti tugasmu. Terimakasih atas kesungguhanmu. Hanya, apa sesungguhnya telah terjadi ?"
"Nyai majikanku. Noni majikanku juga, hanya yang kedua. Sekarang Noni berkasihkasihan sama Tuanmuda. Darsam juga harus menjaga jangan sampai terjadi sesuatu. Jadi nasihat ini aku sampaikan. Bukan karena parang Darsam ini sudah tak bisa menjamin. Tidak, Tuanmuda. Ada sesuatu yang belum lagi jelas benar bagi Darsam." "Aku mengerti. Tapi apa yang sedang terjadi ?"
"Pendeknya Tuanmuda akan kuantarkan pulang ke pemondokan di Kranggan, tidak ke Wonokromo."
"Aku harus tahu sebabnya."
Ia terdiam dan mengawasi pewarung itu datang. "Sudah selesai-belum, Darsam ?"
"Sabar, Non," jawab Darsam tanpa menengok keluar. Melihat pewarung lewat ia meneruskan bisikannya. "Sinyo Robert, Tuanmuda. Dengan banyak janji dia perintahkan si Darsam ini membunuh Tuanmuda."
Aku sama sekali tidak heran. Tanda-tanda niat jahat pemuda itu telah'kukenal. Hanya:
"Apa dosaku terhadapnya ?"
"Hanya cemburu kiraku. Nyai lebih sayang, pada Tuanmuda. Dia merasa tak senang ada lelaki lain di dalam rumah."
"Dia bisa bilang terang-terangan padaku. Mengapa menempuh jalan seperti itu ?" "Anak kurang pikir, Tuanmuda. Justru karena itu berbahaya. Sekarang Tuanmuda sudah tahu, mengerti nasihatku. Jangan bilang pada Noni atau Nyai. Sungguh, jangan. Nah, mari berangkat." Ia bayar belanja tanpa menanyakan pendapatku. Dokar si Gendut sudah tak nampak. Andong kqmi berangkat. Dan di Woribkromo - kalau Darsam benar spfeorang menghendaki nyawaku yang cuma satu ini. Sepotong nari ini
si Gendut telah memata-matai aku sejak dari B. Barangkali memang tidak begitu salah marah Ayahanda padaku. Juga tidak percuma peringatan Bunda agar berani menerima segala akibat perbuatan sendiri. Ya-ya, Robert Mellema' memang berhak menganggap aku menyerbu ke dalam kerajaannya. Paling tidak aku menjadi tambahan beban bagi pikirannya. Dia sepenuhnya berhak.
Annelies tak hendak melepaskan pegangannya pada tanganku, seakan aku ikan licin yang tiap saat bisa melompat keluar dari andong. Ia tak bicara. Matanya merenung jauh.
"Ann, aku dapatkan uangmu dalam koporku," kataku.
"Ya, memang aku taruh di situ. Kau akan memerlukannya. Kau dalam kepergian tidak menentu, dan kau harus segera kembali padaku."
"Terimakasih, Ann. Aku tidak menggunakannya."
Untuk pertama kali ia tertawa. Dan tawanya tak menarik perhatianku. Lampu andong tak memantulkan sinarnya ke dalam andong. Gelap. Kecantikan Annelies ditelan oleh kehitaman. Sekali pun tidak pun takkan menarik. Pikiranku sedang dipenuhi hal-hal seram, merampas segala yang dikatakan nikmat. Bumiku, bumi manusia ini, kehilangan segala kepastiannya. Semua ilmu dan pengetahuan, yang telah menjadi diriku sendiri, meruap hilang. Tak ada sesuatu yang bisa diandalkan. Robert " memang aku mengenalnya. Si Gendut " Aku telah mengenal bentuknya, juga sekiranya dalam kegelapan. Dalam melakukan kejahatan oarang lain yang tak kukenal, tak kuduga, bisa jadi pelaksananya. Surabaya terkenal dengan banyaknya pembunuh bayaran dengan upah setengah sampai dua rupiah. Dalam setiap minggu ada saja bangkai menggeletak di pantai, di hutan, di pinggir jalan, di pasar, dan pada tubuhnya tertinggal bekas senjata tajam.
Andong menuju ke Kranggan.
"Mengapa sekarang ke sini ?" Annelies memprotes lagi. "Masih ada urusan lain, Non. Sabar."
Apa sekarang harus kukatakan pada Annelies " Belum lagi mendapatkan alasan andong telah berhenti di depan rumah keluarga Telinga. Tanpa bicara Darsam telah menurunkan barang-barangku.
"Mengapa diturunkan ?" Annelies memprotes lagi.
"Ann," kataku lunak. "Dalam seminggu ini aku harus menyiapkan pelajaran. Sementara itu, sayang sekali, aku tak bisa temani kau pulang. Terimakasih atas jemputanmu,.Ann. Mintakan maaf pada Mama, ya " Benar-benar aku belum bisa ke Wonokromo. Harus tinggal di sini agar lebih dekat pada guru-guruku. Salam dan terimakasih pada Mama. Kalau sudah senggang aku pasti datang." "Kan selama ini Mas juga bisa belajar di sana " Tak ada yang mengganggu kau.
Maafkan sekiranya aku jadi pengganggu," suaranya setengah menangis. "Tidak, tentu saja tidak."
"Katakan kalau aku telah jadi pengganggu, biar aku tahu kesalahanku," suaranya semakin mendekati tangis.
"Tidak, Ann, sungguh, tidak."
Benar-benar tak bisa dihindari. Ia menangis. Menangis seperti anak kecil. "Mengapa menangis " Hanya seminggu, Ann, seminggu saja. Setelah itu aku pasti datang. Kan begitu, Darsam ?"
"Benar, Non. Jangan menangis di tempat orang begini."
Pada waktu itu hilang perasaanku sebagai seorang satria Jawa, satria tanpa tandingan dalam angan sendiri, tinggal hanya seorang pengecut ~ telah menjadi takut hanya karena berita, berita saja, bahwa sang nyawa sedang terancam. "Jangan turun, Ann, duduk saja kau dalam andong," dan kucium dia pada pipinya dalam kegelapan kendaraan. Aku rasai kebasahan pada mukanya. "Mas harus segera pulang ke Wonokromo," pesannya dalam tangisnya, mengalah. "Jadi kau mengerti, bukan ?" Ia mengangguk. "Kalau semua sudah selesai tentu aku akan segera datang. Sekarang aku harap kau mau dengarkan aku dan memahami keadaanku."
"Ya, Mas, aku tidak membantah," jawabnya sayup. "Sampai bprjumpa lagi, dewiku."
"Mas." Aku turun. Darsam masih menunggu di depan pintu.
Hari telah malam dan lampu berpancaran 'di mana-mana. Hanya pikiran diri juga yang tanpa terang.
"Mengapa tak kau sampaikan pada Mama ?" bisikku pada Darsam. "Tidak. Sudah begitu banyak kesulitan Nyai karena anak dan tuannya. Darsam harus urus sendiri pekerjaan ini. Tuanmuda sabar saja."
Suami-istri Telinga duduk di sitje menunggu aku keluar dari kamar untuk bercerita. Pasangan yang rukun dan baik itu! Tak tahu aku bagaimana perasaannya terhadapku. Aku tak keluar,
pintu kamar kukunci dari dalam, ganti pakaian dan naik ke ranjang tanpa makanmalam. Waktu hendak memadamkan lampu minyak masih kuperlukan memandangi potret Ratu Wilhelmina. Bumi manusia! Betapa seorang bisa menjadi kekasih para dewa begini. Aman dalam istananya. Tak ada sesuatu kesulitan, kecuali mungkin, dengan hati dan pikiran, sendiri. Sedang aku " Kawulanya " yang dijanjikan oleh perbintangan akan bernasib sama, bahkan di sudut-sudut bilik mungkin mengintip maut bikinan Robert Mellema.
Kamar diliputi kegelapan. Percakapan di ruangtengah sayup memasuki kupingku. Tanpa makna. Uh, diri semuda ini, dan nyawanya sudah ada yang menghendaki. Janji jaman modern, gemilang dan menyenangkan seperti dikatakan guru itu, tak sesuatu pun tanda dan alamat yang diperlihatkannya. Robert, mengapa kau segila itu " Pembunuhan karena cemburu soal asmara memang terjadi di seluruh dunia sisa kehidupan hewani pada manusia. Khas. Pembunuhan karena kemakmuran juga warisan hewani yang khas pula. Kan " Kan begitu " Tapi kau lebih majemuk. Kau benci ibumu, asalmu, dan tidak mendapatkan kasih-sayang daripadanya. Kau melata mengemis kasih-sayang ayahmu, dan kau tidak digubris. Kau cemburu, Robert, karena kasih-sayang ibumu melimpah padaku. Karena kau takut hak-hakmu sebagai ahliwaris jangan-jangan juga melimpah padaku orang yang tidak berhak seperti banyak disebutkan dalam cerita-cerita Eropa. Kiranya di matamu aku hanya seorang kriminil.
Kan aku sudah cukup jujur pada diri sendiri " Dan terhadap dunia " Lihat: aku hanya menghendaki nikmat dari jerih-payahku sendiri. Yang lain tidak kuperlukan. Kehidupan senang bagiku bukan asal pemberian, tapi pergulatan sendiri. Keretakan dengan keluargaku sendiri yang selama ini mengajar aku demikian. Uh, masalah yang lebih pelik dari semua pelajaran sekolah.
Dan kau pula, Darsam! Semoga mulutmu tak dapat dipercaya. Semoga Robert tidak sejahat itu. Tapi kau sendiri yang menyembunyikan maksud tertentu, dan jahat pula. Dan kau, si Gendut berkulit langsat cerah bermata agak sipit sambar geledek! apa pula urusanmu denganku " Orang senecis kau, mungkinkah hanya pembunuh bayaran semata " Karena menghendaki harta dan anak Mellema " Dan Sarah, dan Miriam de la Croix, dan Tuan Assisten Residen..... dan assosiasi...... Hatiku meriut kecil. Mengapa aku sepengecut ini "
9. AGAR CERITAKU INI AGAK URUT, BIAR Kuutarakan dulu yang terjadi atas diri Robert sepeninggalku dari Wonokromo dibawa agen polisi kias satu itu ke B.
Cerita di bawah ini aku susun berdasarkan kisah dari Annelies, Nyai, Darsam, dan yang lain-lain, dan begini jadinya:
Waktu dokar yang kutumpangi telah hilang ditelan kegelapan subuh Annelies menangis memeluk Mama. (Tak tahulah aku mengapa ia begitu penangis dan manja seperti bocah).
"Diam, Ann, dia akan selamat," kata Nyai.
"Mengapa Mama biarkan dia dibawa ?" protes Annelies.
"Hamba hukum itu, Ann, dia tak bisa dilawan." "Mari ikuti dia, Ma."
"Tidak perlu. Masih terlalu pagi. Lagipula jelas ia akan dibawa ke B." "Mama, ah Mama."
"Sayang betul kau padanya ?"
"Jangan kau siksa aku begini macam, Ma."
"Lantas apa harus kuperbuat " Tak sesuatu, Ann. Kita hanya harus menunggu. Jangan turutkan kemauan sendiri."
"Usahakan, Ma, usahakan."
"Kau anggap Minke bonekamu saja, Ann. Dia bukan boneka. Usahakan, usahakan! Tentu akan kiiusahakan. Sabarlah. Masih terlalu pagi."
"Kau biarkan aku begini, Ma " Kau hendak bunuh aku ?"
Nyai menjadi bingung. Ratapan seperti itu tak pernah ia dengar dari anaknya yang tak pernah mengeluh itu. Ia mengerti Annelies sedang dalam keadaan genting. Annelies: kompanyon kerja terpercaya. Ia tahu: ia harus lakukan segala yang dikehendakinya, yang dianggapnya sebagai haknya. Ia bawa anaknya masuk untuk diistirahatkan di kamar. -'
Dan Annelies menolak. Ia hendak tunggu Minke sampai kembali. "Tidak mungkin begitu, Ann. Tidak mungkin. Mungkin lusa atau lusanya lagi dia baru kembali."
Dan Annelies mulai membisu.
Mama semakin bingung. Ia tahu: sejak kecil anaknya tak pernah meminta. Baru dalam minggu-minggu belakangan ia meminta bukan hanya meminta, mendesak, memaksa semua tentang Minke. Selamanya ia seorang penurut, berlaku manis, jadi buahhati. Sekarang ia mulai jadi pemabangkang.
Annelies menuntut kembalinya bonekanya. Dan ia hanya tahu ibunya. Nyai kuatir kalau-kalau anaknya akan jatuh sakit. Ia semakin melihat munculnya gejala ketidakberesan pada anaknya. Mungkinkah anak penurut ini juga tak tahan guncangan seperti ayahnya "
Dan dengan lambatnya matari mulai terbit.
Darsam datang untuk membukai pintu dan jendela. Ia terkejut melihat tingkah-laku noninya. Menghadapi masalah yang tak membutuhkan otot dan parang ia tidak berdaya.
"Ya, ini urusan Gubermen," desah Mama. Urusan yang tak bisa diraba atau dilihat, urusan para jin negeri jabalkat.
Sekilas Mama teringat pada sulungnya, pada kilasan lain ia juga mencurigainya telah mengirimkan surat kaleng pada polisi. Ia mencurigainya! Kilasan berikutnya: ia hendak menyelidikinya.
"Panggil Robert kemari," perintah Mama pada Darsam.
Dan Robert datang sambil mengocok mata. Ia berdiri diam-diam. Sekiranya tak ada Darsam ia takkan datang menghadap. Itu semua orang tahu. Dan ia berdiri tanpa bicara sepatah pun. Matanya memancarkan ketidakpedulian.
"Sudah berapa kali dan kepada siapa saja kau pernah kirimkan surat kaleng ?" Ia tak menjawab. Darsam menghampirinya.
"Jawab , Nyo," desak pendekar itu.
Annelies masih juga berpegangan pada Nyai seakan mencari sandaran. "Tak ada urusanku dengan surat kaleng," jawabnya sengit, mukanya dihadapkan pada Darsam. "Apa aku nampak seperti pembikin surat kaleng ?" "Jawab pada Nyai, bukan padaku," dengus Darsam.
"Tak pernah membikin, apalagi mengirimkan," sekarang mukanya ditujukan pada Mama.
"Baik. Aku selalu berusaha mempercayai mulutmu. Apa sebab kau membenci Minke " karena ia lebih baik dan lebih terpelajar daripadamu ?"
"Tak ada urusan dengan Minke. Dia hanya Pribumi." "Justru Pribumi kau membencinya."
"Lantas, apa guna darah Eropa ?" tantang Robert.
"Baik. Jadi kau membenci Minke hanya karena dia Pribumi dan kau berdarah Eropa. Baik. Memang aku tak mampu mengajar dan mendidik kau. Hanya orang Eropa yang bisa lakukan itu untukmu. Baik, Rob. Sekarang, aku, ibumu, orang Pribumi ini, tahu, orang yang berdarah Eropa tentu lebih bijaksana, lebih terpelajar daripada Pribumi. Tentu kau mengerti aku. Sekarang, aku minta darah Pribumi dalam tubuhmu - bukan Eropa dalam dirimu ~ pergi ke Kantor Polisi Surabaya. Carikan keterangan tentang Minke. Darsam takkan mungkin melakukannya. Aku tidak. Pekerjaan di sini tidak memungkinkan. Kau pandai Belanda dan bisa baca-tulis. Darsam tidak. Aku ingin tahu apa yang kau bisa kerjakan. Naik kuda, biar cepat."
Robert tak menjawab. "Berangkat, Nyo!" perintah Darsam.
Tanpa menjawab Robert Mellema berbalik dan berjalan menyeret sandal masuk ke dalam kamar dan tak keluar lagi."Peringatkan, Darsam!" perintah Mama. Darsam menyusul Robert masuk ke dalam kamar.
Diluar dunia sudah mulai terang. Robert meninggalkan kamar dalam iringart pendekar Madura itu. Ia pergi ke belakang, ke kandang kuda. Ia telah mengenakan celana kuda, bersepatu larsa tinggi dan pada tangannya cambuk kulit.

"Kau tidur saja, Ann," hibur Nyai. "Tidak."
Nyai rasai suhu Annelies mulai naik. Anak itu memang jatuh sakit. Dan ibunya sangat cemas.
"Taruh sofa di kantor, Darsam. Biar aku tunggui sambil bekerja. Jangan lupa selimut. Kemudian kau panggil Dokter Mar-tinet." Ia dudukkan anaknya .di kursi. "Sabar, Ann, sabar. Cinta benar kau padanya ?"
"Mama, Mamaku seorang!" bisik Annelies.
"Kau jadi sakit begini, Ann. Tidak, Mama tidak melarang kau mencintai dia. Tidak, sayang. Kau boleh kawin dengannya, kapan pun kau suka dan dia mau. Sekarang ini, sabarlah."
"Mama," panggil Annelies dengan mata tertutup. "Mana pipimu, Ma, sini, Ma, biar aku cium," dan diciumnya pipi ibunya.
"Tapi kau jangan sakit. Siapa akan bantu aku " Tega kau melihat Mama bekerja sendirian seperti kuda ?" "Mama, aku akan selalu bantu kau."
"Karena itu jangan kau sakit begini, sayang."  'Aku tidak mau sakit, Ma."
"Badanmu bertambah panas begini, Ann. Belajar bijaksana, Nak, dalam soal begini orang hanya bisa berusaha, dan hanya bisa bersabar menunggu hasilnya." Seorang diri Darsam memindahkan sofa ke dalam kantor.
Annelies menolak dipindahkan sebelum melihat Robert pergi dengan kudanya. Dan abangnya belum juga kelihatan.
"Susul Robert, Darsam!" pekik Mama.
Darsam lari ke belakang. Sepuluh menit kemudian nampak pemuda jangkung ganteng itu memacu kudanya tanpa menengok lagi, langsung menuju ke jalan besar. Dan seperempat jam kemudian Darsam pergi pula mengusiri bendi menjemput Dokter Martinet.
Baru Annelies mau dituntun masuk ke dalam kantor. Dan Nyai mengompresnya dengan cuka-bawangmerah.
"Maafkan, Ann, aku tak kuat menggendong kau. Tidurlah. Sebentar lagi Dokter datang, dan Robert akan pulang membawa keterangan."
Nyai pergi ke pojokan kantor, membuka kran, mencuci muka dan bersisir. Dari bawah selimutnya Annelies bertanya berbisik:
"Suka kau padanya, Ma ?"
"Tentu, Ann, anak baik," jawab Nyai sambil masih bersisir. "Bagaimana Mama takkan suka kalau kau sendiri sudah suka " Orangtua tentu bangga punya anak seperti dia. Dan wanita siapa takkan bangga jadi istrinya nanti " istri syah " Mama pun bangga punya menantu dia."
"Mama, Mamaku sendiri!"
"Karena itu tak perlu kau kuatirkan sesuatu." "Suka dia padaku, Ma ?"
"Pemuda siapa takkan tergila padamu " Totok, Indo, Pribumi. Semua. Mama mengerti, Ann. Takkan ada gadis secantik kau. Sudah, tidur. Jangan pikirkan apa- ^pa. Tutup matamu."


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar