Arus Balik.
Karya : Pramoedya Ananta Toer.
Bagian 24.
Demak Tahun 1518 Masehi Sesuatu telah terjadi di Demak Demak yang dicemburui oleh Kiai Benggala Sunan Rajeg. Ribuan orang berduyun-duyun di depan istana, kemudian bergerak ke mesjid agung Bintoro. Mereka sedang berkabung dengan wafatnya Sultan Demak: Sultan Syah Sri Alam Akbar al- Fattah atau Raden Patah, Khalifah pertama-tama di Jawa.
Tak ada orang bersuara dalam kerumunan besar itu. Semua berpakaian serba putih. Sebagian dari mereka memasuki mesjid agung, sebagian besar tiada bisa masuk dan berdiri di pelataran depan.
Dengung Allahu Akbar berkali-kali membuntingi udara, membubung berat baik dari dalam mau pun di luar mesjid. Gerak dan suara mereka berirama dalam bertakbir bersembahyang mayat. Tidak lama. Dan kerumunan orang di depan mesjid mulai bergerak berdiri jalan pada jenasah yang akan diantarkan ke tempatnya yang terakhir.
Kerumunan besar orang itu berubah, membentuk diri jadi barisan panjang dan teratur. Paling depan adalah barisan pengawal kerajaan Demak. Dan seperti prajurit kerajaan Jawa pada umumnya mereka bertelanjang dada. Hanya pada kesempatan ini pada dada mereka terhiasi pita putih yang tergantung pada leher. Juga ujung paksi dari tombak mereka terhiasi dengan pita putih pula.
Di samping-menyamping jenasah berjalan beberapa orang anggota Majelis Kerajaan, para wali yang bergelar Sunan, tak lebih dari empat orang. Dan Sunan Kalijaga, yang selalu berdestar, berkain dan berkerodong kain batik, tiada nampak.
Di belakangnya lagi adalah para ulama yang kebetulan sedang berada di Demak.
Menyusul kemudian para punggawa dan rakyat biasa. Di tengah-tengah barisan para punggawa terdapat sebuah tandu bertanda putih. Di atasnya sebuah bola kayu kuning keemasan. Di dalamnya terdapat putra mahkota Demak: Adipati Unus Jepara.
Di samping-menyamping tandu adalah para keluarga Sultan, kecualiwanita, karena tak ada seorang pun wanita di dalam seluruh iring-iringan panjang ini.
Barisan itu berjalan lambat-lambat meninggalkan pelataran mesjid. Waktu buntut barisan telah hilang dari pemandangan alun-alun yang luas itu tertinggal sunyi dan sepi.
Seluruh Demak berada dalam suasana berkabung.
Delapan minggu kemudian sekitar alun-alun menjadi ramai kembali. Tidak tampak adanya suasana berkabung. Gong dan canang bertalu-talu riuh-rendah menyerukan kegembiraan. Sepasukan prajurit pengawal bertombak berbaris keluar dari istana. Rakyat yang berada di alun-alun bersorak-sorai menyambut. Mereka mengangkat tangan dan selendang dan kerudung.
Di belakang pasukan pengawal nampak lagi tandu bertenda putih dengan bola kayu keemasan di atasnya, diapit oleh prajurit-prajurit pengawal berpedang terhunus. Di belakangnya pasukan pengawal lagi. Kemudian barisan dan barisan dan barisan. Semua menuju ke mesjid agung Bintoro.
Alun-alun semakin lama semakin ramai. Orang berdatangan tiada henti-hentinya. Dan di mana-mana dipasang umbul-umbul berwarna-warni dan berwarna ganda.
Begitu akhir barisan memadat di halaman mesjid, peluru cetbang berledakan di udara. Kemudian tenang, dan tiada antara lama kemudian membubung ucapan syukur di udara: Alhamdulillah berkali-kali. Gong dan canang semakin riuh.
Adipati Unus Jepara telah dinobatkan jadi Sultan Demak.
Tandu meninggalkan mesjid dan memasuki istana. Dengan bantuan dua orang Sultan Demak kedua didudukkan di atas singgasana ia tak mampu lagi tegakkan badan tanpa bantuan. Serpihan-serpihan laras cetbang yang belum dapat dicabut dari tubuhnya telah membuatnya jadi cacad untuk selamanya.
Pada hari ia naik tahta dijatuhkannya titah memanggil kembali semua musafir Demak. Mereka yang kebetulan sedang berada di ibukota harus dipersiapkan untuk menerima amanat sebelum mereka menuju ke daerah pekerjaan masing-masing, dengan membawa cerita tentang Demak yang lama dengan sultannya yang baru, dan kebijaksanaan baru.
Amanat itu kemudian ternyata diadakan di balairung penghadapan. Isinya: Sultan Demak kedua berseru pada seluruh penduduk di lawa untuk melawan Peranggi sebagai musuh yang takkan dapat diajak Iyr baik. Sultan Demak berseru pada raja-raja di Jawa dan di seluruh Nusantara untuk bersekutu dalam pembiayaan dan usaha guna membangunkan armada gabungan yang perkasa.
Sultan Demak kedua berseru agar para raja menentang setiap kekuasaan yang mencoba bersahabat dengan Peranggi dan agar mereka pun dianggap sebagai sekutu musuh dan harus dihancurkan juga .
Tiada terkira terkejut orang mengetahui, sampai Sultan baru itu dinaikkan lagi ke atas tandu, tak juga keluar titah yang bersangkut-pautan dengan agama. Orang masih tetap menunggu tanpa memberikan ulasan.
Maka para musafir mulailah bersebaran menuju ke seluruh pelosok Jawa. Beberapa belas orang mancal dari Jepara menuju ke seberang: Jambi, Aceh, Semenanjung, sepanjang pesisir Kalimantan, Nusa Tenggara dan Maluku.
Di Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara dan Sumatera, seruan itu membangkitkan harapan baru akan terjadinya perbaikan pelayaran dan perdagangan sehingga kembali seperti sebelum jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Dan seruan itu terdengar begitu jantan, sehingga orang tak pernah mengingat lagi, bahwa Sultan Demak baru adalah seorang yang telah cacad, bahkan untuk tegak berdiri harus dengan bantuan, dan tidak mungkin lagi tampil jadi laksamana.
Bupati-bupati pesisir pulau Jawa yang lola tanpa kekuasaan pusat pada memerlukan datang menghadap menyatakan kesediaannya. Di antara mereka ada yang menyanggupi balatentara. Beberapa yang lain menyatakan berada di bawah perlindungan Demak tanpa dipukul dengan perang.
Satu-satunya penantang Portugis telah marak jadi raja! Kekuasaan mutlak telah ada di tangannya. Tak bisa lain, orang harus mendengarkan setiap katanya. Ia memang pernah dikalahkan Portugis, dan ia pun mengakui kekalahannya, namun takluk ia tak pernah.
Titah yang kemudian menyusul lebih menggoncangkan: segala dana dan daya di dalam kerajaan Demak, tanpa kecuali, harus dikerahkan untuk membangun armada. Pelabuhan Jepara dititahkan jadi pusat galangan kapal yang paling sibuk dan paling besar di seluruh belahan bumi selatan.
Akhir dari titah itu adalah pernyataan, bahwa ia telah mendapat firasat takkan memerangi segala apa yang akan dipersiapkannya, namun sisa kekuatannya sepenuhnya akan dibaktikannya untuk kepentingan ini. Dan bahwa tak ada orang akan merasa aman di belahan bumi selatan ini, selama Peranggi masih bercokol di sini.
Kerajaan Hindu Giri Dahanapura Blambangan dan Pajajaran membaui datangnya bahaya ini. Dengan serta merta mereka berusaha lebih giat untuk mendapatkan persahabatan dari Portugis di Malaka. Sebaliknya titah ke dua itu juga menimbulkan perasaan kurang puas pada Majelis Kerajaan. Mengapa di dalamnya tidak disinggungsinggung tentang kepentingan agama dan pengluasannya"
Dalam suatu penghadapan khusus mereka mendapatkan jawaban yang tidak kurang kerasnya: Bagaimana bisa hal ini dipersembahkan" Bukankah sudah jelas Peranggi mengancam apa yang telah Bapa-bapa Sunan yang terhormat sebarkan di pulau Jawa ini" Dapatkah hasil penyebaran dipertahankan, dapatkah pertumbuhannya disuburkan, selama Peranggi masih mengancam" Jawaban itu menyebabkan Majelis Kerajaan ragu-ragu terhadap kekhalifahan Sultan baru. Pertikaian baru terjadi dalam tubuh Majelis yang mengancam terjadinya perpecahan baru. Dan pertikaian itu memang tak pernah terselesaikan. Seorang anggota, sebagai protes, telah meninggalkan Majelis Demak untuk selama-lamanya, mengutamakan perguruannya, dan menolak membicarakan kebijaksanaan Sultan Demak baru sampai meninggalkan.
Titah Sultan yang ke dua itu bergema juga di Aceh, melalui bandar Pasai. Dari Pasai sampai pada Portugis di Malaka.
Pengalaman telah mengajarkan pada Portugis, belum lagi Adipati Unus punya kerajaan telah berani jadi penantangnya yang cukup berbahaya, bahkan nyaris mengusir mereka dari Malaka. Sekiranya dahulu Malaka jatuh, mereka sudah akan menjadi lemah dalam pelayaran antara Goa dengan Maluku. Maka Demak terlalu berbahaya. Ia tidak menggubris pendekatan Pajajaran dan Blambangan. Diperintahkannya kapal-kapalnya menjauh dari pesisir Jawa. Pelayaran ke Maluku dan Nusa Tenggara harus lebih mendekati Kalimantan dan Sulawesi. Sedang Blambangan dan Pajajaran dipergunakannya sebagai sumber keterangan tentang kegiatan Demak.
Akibat titah ke dua. Laut Jawa terbebas dari kapal-kapal Portugis. Pelayaran Pribumi mulai ramai kembali, sekalipun masih ragu-ragu memasuki perairan Maluku dan Nusa Tenggara. Beberapa orang pedagang telah melakukan percobaan pelayaran ke Maluku dalam bentuk armada dagang gabungan dengan mengibarkan bendera kuputarung Jepara. Mereka berhasil mendapatkan rempahrempah. Armada dagang gabungan lain-lainnya pada meniru. Perdagangan dengan Maluku dan Nusa Tenggara mulai hidup kembali. Arusnya memantai pulau Jawa, dan tergabung dengan lada dari Sumatra Selatan arus itu makin membesar, memantai Sumatra sebelah barat dan menuju ke Teluk Bayur.
Seperti ditiup dari langit Teluk Bayur menjadi bandar ramai, menghubungkan Atas Angin dengan Nusantara. Arus yang menuju ke Pasai mulai mengendor.
Bandar-bandar di Jawa Utara mulai hidup kembali, bernafas legapenuh pengharapan. Dan para pelaut seperti digerakkan oleh persetujuan gaib mengakui. Unus berlidah api. Baru kata-katanya, dan keadaan laut sudah mulai berubah, apa pula nanti tindakannya!
Jepara tiba-tiba berubah jadi kota industri yang giat. Tenaga ahli dari seluruh Jawa terhisap ke sini. Kotanya melambung menjadi besar dalam hanya beberapa tahun. Pasar-pasar diperbesar dan ditambah jumlahnya. Dan para musafir semakin giat mengagungkan Demak dan rajanya. Tetapi Demak sendiri juga terhisap oleh Jepara. Sejak Sultan Demak baru ini, hubungan mesra antara Demak dengan Semarang mulai retak. Demak berdiri sebagai kerajaan bebas.
Hanya Tuban belum juga bangun dari kemuramannya. Kerusuhan di dalam negeri menyebabkan para saudagar enggan menyinggahi. Tak ada sesuatu bisa diperoleh dengan mudah dan murah di Tuban.
Bahkan para insinyur dan tukang kapal meninggalkan negerinya mencari penghidupan di Jepara.
Armada dagang Tuban sendiri enggan kembali ke pangkalan asal. Hanya benderanya, merah putih panjang, masih dapat dilihat, di semua bandar, kecuali di Tuban sendiri.
Berlanjut ke bagian 25
Tidak ada komentar:
Posting Komentar