Jumat, 18 November 2022

Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer #40/44


Arus Balik. 
Karya : Pramoedya Ananta Toer.

Bagian 40. 

Dan Portugis pun Memasuki Tuban
Kehidupan di Tuban agak pulih. Kala Cuwil telah memerintahkan para pagardesa untuk pulang ke tempatnya ma-sing-masing dan kembali melakukan pekerjaan seharihari.
Bandar Tuban Kota mulai berisi lagi dengan manusia. Selama pertempuran di barat kota Nyi Gede Kati tetap mengirimkan makanan ke krangkeng, sekali dalam sehari. Dan sampai sebegitu jauh suaminya tak pernah bertanya bagaimana ia mendapatkan makannya.
Dan terjadilah hari itu. Nyi Gede Kati datang pada waktu sore dengan membawa bungkusan dan lodong air. Dan bungkusan itu bukan lagi daun pisang, tapi kain batik yang telah usang. Ia menyorongkannya dari sela-sela jeruji besi, berkata: Kain buruk itu, Tuan, barangkali berguna untuk selimut di waktu malam dan berteduh di waktu siang.
Tepat pada waktu Tholib Sungkar menerimanya canang pelabuhan bertalu-talu.
Ada kapal asing datang! gumam Syahbandar sambil meninjau ke menara pelabuhan. Dan Syahbandar masih di sini, gumamnya lagi, sekarang meninjau ke ufuk. Kau lihat kapalnya, Kati"
Lihat, Tuan. Demi Allah, aku bebas, Kati, karena hanya akulah Syahbandar. Kapal manakah gerangan" Aku tak lihat. Nampaknya kapal Peranggi, Tuan.
Peranggi" Masyaallah, matanya bersinar-sinar penuh harapan.
Lihat baik-baik, Kati. Peranggi, Tuan, tiga kapal.
Tiga kapal! Dia datang bukan untuk berdagang, Kati, Ia mencoba melihat, tapi tak dapat. Kelemahan badan selama ini membikin matanya menjadi rabun. Dan mata itu berhenti pada tonggak-tonggak yang selama ini ditakutinya. Di sana Yakub dan teman-temannya telah menjalani hukuman mati, seorang demi seorang, diperas darahnya, tetes demi tetes. Ia tak berani melihat lebih lama. Kuping batinnya masih dapat mendengar raungan mereka dan hatinya menggeletar ciut oleh seribu satu macam gambaran dan perasaan. Sekarang: Portugis! Portugis datang! Mereka takkan lebih berbahaya dari Kala Cuwil si pongah Tuban itu!
Alhamdulillah, sebutnya berkali-kali. Peranggiiiiiii! Pekik penjaga menara.
Baik Nyi Gede Kati maupun Tholib melihat penjaga menara itu lari menuruni tangga. Lari lagi ke kesyahbandaran.
Beberapa bentar kemudian tiga orang penunggang kuda berpacu hilang di tikungan. Canang alun-alun sekarang bertahi tiada henti-hentinya, titir tanda bahaya. Canangcanang desa kemudian pun bertalu-talu, memberitakan akan datangnya bahaya dari laut.
Dan balatentara Tuban masih mesanggrah di perbatasan barat. Canang kemudian berubah irama, memberikan isyarat agar semua perempuan dan anak-anak meninggalkan kota dan pergi ke pedalaman.
Mereka datang! bisik Syahbandar, tak salah lagi. Nyi Gede Kati memandangi suaminya, mencibirkan bibir. Tangan suaminya yang memegangi lengannya ia lepaskan. Aku akan selamat. Tumpaslah kau Kala Cuwil! Dari kejauhan mulai terdengar ledakan meriam melepaskan peluru. Tak lama kemudian pelurunya beterbangan di atas krangkeng. Riuh-rendah atap dan rumah yang bongkarbangkir kena terjang.
Sebutir peluru meriam yang jatuh di jalanan pasir membikin segitiga debu yang menyemprot ke atas, melebar. Ditiup angin debu itu pun mengembang dan buyar bersama dengan angin sore.
Nyi Gede Kati meludah. Kemudian lari melintasi daerah tembak meriam ke sebelah timur.
Tholib Sungkar Az-Zubaid mendekam sambil berdoa tiada berkepu-tusan. ia tahu peluru-peluru itu tidak mengenal Syahbandar Tuban. Ia hanya mengenal sasaran. Dan ia tahu, ia tidak semestinya jadi sasaran. Ia adalah Tholib Sungkar Az-Zubaid, tidak lebih dan tidak kurang. Dan Portugis belum lagi membayar penuh untuk segala jasanya. Kalau ada peluru mengenai dirinya ia akan rugi, dan Portugis tak perlu melunasi hutangnya. Tak patut ia tewas meninggalkan piutang. Tapi peluru-peluru itu buta, tak mengenal hutang ataupun piutang. Orang lari berserabutan dari bandar. Merekalah yang lebih berhak mendapat peluru, bukan Syahbandar Tuban. Perempuan yang menggendong anak sambil menarik anak yang lebih besar. Lelaki yang memanggul bungkusan. Kakek atau nenek bertongkat, berjalan lambat-lambat. Seorang nenek bongkok berjalan tak menentu dengan dua kaki dan dua tangannya. Anjing-anjing yang berputar-putar sekitar majikannya yang sedang mengungsi. Dari kejauhan terdengar cetbang dan meriam Tuban memberikan tembakan balasan. Nampaknya kapal-kapal Tuban sedang dalam perjalanan kembali ke pangkalan.
Tholib Sungkar mengintip dari sela-sela jari untuk menyaksikan pertempuran laut itu. Ia tak melihat kapalkapal Tuban, hanya silang-siur dari peluru di udara, dan hanya tiga kapal Portugis itu juga yang semakin mendekat ke bandar.
Riuh-rendah peluru menerjang bangunan. Membenarmkan suara manusia dan hewan. Nampaknya kapal-kapal Tuban dianggap tidak penting oleh Peranggi. Peluru makin mendesak ke arah Kota. Dan tak ada seorang pun dapat menangkis. Gedung kesyahbandaran telah roboh atapnya. Dalam hanya seperempat jam telah banyak bangunan kota berubah bentuk, berlutut, berjongkok, sujud, atau atapnya compang-camping. Kebakaran mulai muncul di sana-sini. Dan asap hitam mengepul ke langit senja yang biru itu.
Bandar telah mulai kosong.
Sisa armada Francisco de Sa setelah lari dari Sunda Kelapa terus berlayar ke timur. Di luar perintah Malaka ia bermaksud melaksanakan rencana kedua, menduduki bandar Tuban. Sunda Kelapa lepas, Tuban harus kena. Ia harus tinggalkan Sunda Kelapa karena tak mengetahui benar perobahan yang telah terjadi. Dan kini, di luar pengetahuan Malaka sisa armadanya telah siap untuk berlabuh.
Tetapi gangguan kepal-kapal Tuban, di antaranya ada yang melepaskan tembakan meriam telah menyendatkan rencananya dengan beberapa puluh bentar. Cetbangcetbang itu memang tidak digubrisnya, tetapi meriamnya harus mendapat pelayanan yang layak. Dengan salvo meriam selama lima bentar, empat buah kapal Tuban telah menyerosok ke dasar laut. Awak kapal yang berapungan menjadi isarat salvonya harus di arahkan ke sasaran semula. Ia perintahkan berlabuh dan membuang sauh di luar jarak tembak cetbang. Dan sekod-sckoci mulai diturunkan Menyusul kemudian serdadu-serdadunya bersenjata lengkap. Meriam terus memuntahkan peluru untuk melindungi pendaratan.
Dendamnya akan dilampiaskannya pada Tuban. Ia tak dapat memaafkan diri dengan kegagalannya di Sunda Kelapa. Dari nelayan dan kapal-kapal yang dibajaknya baru ia mengetahui, Sunda Kelapa telah jatuh ke tangan Demak. Ia takkan kembali ke sana. Dari tangkapan-tangkapan di laut itu pula ia mengetahui, Tuban sedang kosong dari balatentara yang sedang berperang melawan Demak. Dengan jatuhnya Tuban ke tangannya Demak akan putus hubungannya dengan Maluku. Pucuk dicinta ulam tiba. Dengan menduduki bandar Tuban ia harus dapat selamatkan muka dan namanya.
Adalah memalukan bagi seorang pembesar Portugis dikalahkan oleh Pribumi, karena kalahnya juga kekalahan ras, kekalahan agama, kekalahan keyakinan. Dan itu tidak boleh terjadi atas diri Francisco de Sa.
Ia lihat dari geladaknya sekod-sekoci sudah harus mendarat. Dayung ke arah bandar. Tak ada sebuah pun tertinggal. Dalam lima belas bentar prajurit-prajuritnya sudah harus mendarat. Dan dari teropongnya ia melihat regu pertama telah mulai naik ke dermaga tanpa perlawanan.
Ia perintahkan menurunkan sekoci pimpinan, dan ia sendiri tunin bersama dengan ajudan dan beberapa orang pengawal.
Pagar desa Tuban telah dikerahkan dengan kilat. Bersenjatakan tombak, panah dan perisai mereka menyerbu ke bandar. Hanya ada beberapa orang prajurit beserta mereka untuk memimpin perlawanan.
Seperti semut mereka menyerbu ke bandar, bersebaran di setiap tempat dan bersorak-sorak untuk memberanikan diri sendiri. Meriam dari kapal telah berhenti menembak. Mereka diterima oleh semprotan peluru musket, mundur. Pertempuran tidak sempat terjadi. Sorak-sorai padam dengan sendirinya. Tombak peluru musket itu tak dapat ditembus, sebaliknya membinasakan, menyusupi daging dan menumpahkan darah. Pasukan pagardesa mundur dan mundur terus.
Didermaga Portugis tak henti-hentinya mendaratkan balatentara.
Pagar desa segera berlarian meninggalkan bandar dan menarik diri ke kota yang juga telah kacau-balau dengan rumah-rumah yang binasa dan terbakar. Musket Portugis terus mengusir dan membinasakan siapa saja yang ada di depannya, manusia dan hewan.
Begitu serdadu Portugis mendarat, mereka terus lari maju dan menduduki tempat di depan pasukan sebelumnya. Dan demikian terus menerus.
Suara ledakan riuh-rendah seperti sedang berpesta. Yang terakhir mendarat adalah Francisco de Sa.
Tholib Sungkar tidur menelungkup di atas ruji-ruji krangkengnya. Waktu tembakan meriam telah berhenti dan tembakan musket makin lama makin meninggalkan bandar memasuki kota, ia angkat kepalanya dan berhenti berdoa.
Ia lihat sudah tak ada pendaratan baru. Sekoci-sekoci telah berangkat lagi ke kapal dan mengangkuti peralatan. Di dermaga ia lihat beberapa orang Portugis. Dan ia dapat melihat mereka adalah para pembesar.
Ia mengucapkan syukur untuk keselamatannya, dilupakan oleh peluru meriam dan musket.
Pembesar-pembesar itu masih juga berdiri di dermaga menunggu pengangkutan peralatan. Sekarang peti-peti dan meriam dan rodanya
Bekas Syahbandar Malaka"
Tepat. Alias Sayid Habibullah Al-Masawa. Cukup!
Bertiga mereka lari menggabungkan diri dengan rombongan Francisco de Sa yang sudah hampir meninggalkan wilayah bandar.
Francisco berhenti, menengok ke arah krangkeng, kemudian berjalan menghampiri, dan mengawasi Tholib yang berdiri seperti burung kutilang di dalam sangkar.
Syahbandar itu membungkuk dan melambaikan tangan, menghormat: Selamat datang. Tuan, Tholib Sungkar Az- Zubaid, Tuan.
Francisco de Sa tidak menanggapi. Matanya tajam mengawasinya.
Sekaligus Tholib melihat pada mata itu perasaan dendam atas terbunuhnya Esteban dan Rodriguez. Mata itu mengancam dan jijik melihatnya. Buru-buru keluar dari mulutnya: Telah lama kutunggu kedatangan armada Portugis yang jaya. Betapa berbahagia sekarang tiba.
Di mana kau, waktu aku mendarat di sini beberapa tahun yang lalu dan orang-orang Tuban menghina aku"
Syahbandar Tuban sedang mereka injak-injak. Di tempat ini juga. Tak bisa berbuat apa-apa. Tuan. Di mana orang-orang itu sekarang"
Lari semua. Tuan. Jangan kuatir, akulah yang akan menunjukkan di mana mereka bersembunyi.
Francisco de Sa mendeham. la perhatikan konstruksi krangkeng besi itu.
Pembesar siapakah yang dihadapi oleh Syahbandar Tuban sekarang ini" tanyanya dengan kata Syahbandar ditekankan.
Francisco de Sa tak menjawab. Kemudian ia berpaling dan berjalan menuju ke gedung kesyahbandaran dalam pengawalan.
Ya Allah, ya Allah! sebut Tholib Akhirnya tanganmu juga yang terulur.
Ia menangis tersedu-sedu dalam ucapan bersyukur. Dicakupnya pasir dari bawah jeruji besi dan ditaburkannya pada tarbusnya. Belum juga puas, dilepasnya topi itu dan dituangkan pasir pada rambutnya dan dikacaunya. Ingusnya meleleh dan ditiupnya dengan sumbatan sebelah jari. Ia tahu, pembebasan telah tiba. Mungkin hanya untuk beberapa bulan saja ia bakal dibebaskan. Itupun tiada mengapa. Dalam sementara itu kemungkinan baru akan terpampang lagi di depan mata. Tinggal memilih yang terbaik di antaranya.
Allah Maha Besar. Allah Maha Besar. Francisco de Sa berjalan terus dan masuk ke kesyahbandaran yang atapnya telah kempes. Dan matari sudah tenggelam.
Seorang pengiring nampak lari ke dermaga, kemudian datang bersama temannya ke krangkeng membawa martil besi besar dan linggis. Tanpa bicara mereka mengayunkan palunya pada lidah-lidah pasak sampai bengkok, melipatlipatnya dengan pukulan, kemudian patah. Linggis tak terpakai Pintu besi itu pun terbuka.
Tholib Sungkar Az-Zubaid keluar dari krangkeng, menghirup udara sepenuh paru-parunya menjatuhkan diri di pasiran dan bersujud. Ia teruskan tangisnya.
Pasukan pagardesa berhamburan melarikan diri dari bandar. Di Tuban Kota pun mereka tidak aman. Di antara kebakaran yang menjadi-jadi mereka tetap diburu oleh serdadu-serdadu Portugis yang terus maju. Mereka menginsafi tak dapat menahan tembok semprotan peluru musuhnya, memasuki kampung-kampung pinggiran kota, terlepas dari ikatan apa pun kecuali dengan hidup masingmasing.
Para pengungsi memenuhi jalanan, grobak dan pemikul, penggendong dan penuntun.
Dan peristiwa penyerbuan Portugis segera disusul oleh berita tentang terjadinya perselisihan di antara kepalakepala pasukan.
Kala Cuwil menyalahkan Banteng Waieng yang sebagai Senapati atas seluruh pasukan Tuban telah membiarkan bandar tidak terjaga. Banteng Wareng menyalahkan Kala Cuwil karena sebagai Patih kurang betul dalam memberikan keterangan tentang keadaan bandar. Perselisihan semakin hari semakin meruncing. Kepalakepala pasukan yang lain ikut mencampuri bukan tanpa pemihakan. Balatentara Tuban terancam bubar karena pertikaian dari atas.
Serangan pembalasan terhadap Peranggi di Tuban Kota tak juga dilancarkan. Pengungsi yang menumpangkan hidup dan keselamatan di luar kota ternyata tak dapat hidup dengan tenteram. Para petani yang telah bosan pada perang dan selalu menjadi korban tak menanggapi kegentingan negerinya. Mereka sudah masa bodoh. Siapa pun yang menang nasib mereka akan tinggal jadi pembayar upeti dan jasa semata. Mereka tak suka lagi membantu seperti dulu. Toh kalau paceklik menyerang mereka pun tak bakal mendapat bantuan dari siapa pun.
Di Tuban Kota keadaan lebih tidak tertahankan bagi mereka yang tidak mengungsi. Syahbandar Tuban dengan giatnya menjadi petunjuk jalan serdadu-serdadu Portugis mengepungi kampung-kampung dan menakut-nakuti dengan tembakan. Semua lelaki ditangkap dan digiring masuk ke bandar, diperintahkan mendirikan bedeng-bedeng baru.
Pasukan-pasukan kecil pagardesa yang mencoba menyusup dan melawan selalu terhalau kembali oleh musket.
Lama kelamaan patroli Portugis juga berani memasuki daerah luar kota dan menangkapi lelaki siapa saja yang dapat ditangkapnya.
Bedeng-bedeng di bandar dalam waktu cepat telah bangun kembali, biarpun tidak sebaik dan sekuat dahulu. Dan semua tangkapan yang dipekerjakan kemudian di sekap di dalamnya. Penjagaan yang ketat tidak memungkinkan mereka menjenguk ke luar. Beberapa orang yang mencoba melarikan din telah rebah mencium tanah, baik karena peluru ataupun karena pisau tongkat Tholib. Ia sendiri menjadi begitu terkenal di dalam dan di luar kota dengan tongkatnya yang beracun dan mendapatkan kenikmatan dalam merampas jiwa orang.
Berita tentang perselisihan antar kepala pasukan sama hebatnya dengan tongkat samber nyawa Syahbandar Ulasawa.
Orang berani mengancam kepala-kapala pasukan yang pada naik pitam. Tetapi Syahbandar dengan tongkatnya mendapat banyak julukan karena setiap hari paling tidak ia mencabut satu nyawa. Dan apa pun julukan yang diberikan kepadanya, Moro yang seorang ini adalah sumber bencana yang tak lagi bisa diampuni. Ia tak segan-segan menikamkan senjatanya pada kanak-kanak ataupun kakekkakek, perempuan ataupun bayi. Ia juga memasuki kampung-kampung merampasi segala apa yang berupa mas dan perak. Untuk itu ia selalu membawa serdadu.
Dalam menikamkan senjatanya ia selalu tersenyum sambil memekik senang: Kafir!
Ia pun menjadi petunjuk ke arah pemerkosaan, di mana ia sendiri tak jarang juga ikut melakukannya sendiri.
Kampung nelayan telah menjadi senyap tanpa penduduk. Dengan perahu dan keluarganya mereka beramai-ramai pindah ke tempat lain di malam hari. Semuanya menuju ke sebelah timur. Pasar Tuban tiada didatangi orang lagi. Jalan-jalan lengang. Yang mondarmandir hanya serdadu Portugis. Mereka tak bertekad tidak mengungsi terjepit antara berbagai macam ancaman maut. Yang mati sakit atau tua tertinggal menggeletak tanpa perawat. Dan bila Portugis mengetahui ini segera mereka membakar rumahnya sekaligus.
Setelah seminggu menduduki Tuban dan balatentara Pribumi tak juga melakukan serangan pembalasan, Portugis mulai memberikan perintah pada Tholib Sungkar Az- Zubaid untuk membikin benteng bawah tanah di sebelah kiri kesyahbandaran.
Orang-orang yang dikurung dalam bedeng-bedeng bandar dikerahkan di bawah pengawasan dan perintahnya langsung. Mulailah mereka yang lesu kelaparan dan ketakutan itu bekerja keras sejak matari terbit sampai tenggelam. Harga manusia Tuban dalam pendudukan sudah tak ada, merosot jadi serumpunan hewan yang tak boleh punya kemauan sendiri atau bersama, tak boleh punya harga diri dan kehormatan, sebagai pribadi ataupun sebagai manusia. Kegentaran dan ketakutan setiap hari ditanamkan pada hati mereka melalui ancaman dan pengaiayaan untuk membikin mereka jadi kecil di hadapan Tholib Sungkar dan Portugis.
Seperti penduduk Sunda Kelapa mereka harus bekerja menggotongi balok-balok dari luar kota. Mereka menggali tanah dan menimbunnya tinggi berdepa-depa di atas permukaan. Mereka menimbun, menukang, mencangkul, memadatkan tanah. Alat-alat pertukangan baru mulai mereka kenal, alat-alat Eropa mulai mereka pegang: gergaji lempang, serut dan paku.
Hanya dalam dua minggu dan benteng bawah-tanah berdiri. Lantai terlapisi batu karang. Pada dinding bagian atas tanah bagian luar dilapisi batu dan kembali ditutup dengan tanah. Di situ juga dibikin lubang-lubang angin dan sekaligus lubang penembak. Di atas benteng berdiri sebuah menara kayu, diperlengkapi dengan lonceng kuningan. Seorang peninjau selalu nampak menyandang musket Meriam-meriam dipasang di bandar dan di sekitar benteng. Semua menghadap ke pedalaman.
Gedung kadipaten telah dijadikan tangsi pula setelah bongkar-bangkir dan ditemukan jalan dan rongga semasa bawah tanah serta simpanan barang-barang berharga semasa Majapahit.
Pecinan, tak terlindungi oleh hukum Pribumi, kosong menjadi rayahan Portugis. Penduduknya mengungsi lewat laut dan darat ke Lao Sam.
Kehidupan Pribumi di laut ataupun darat serasa telah berhenti.
Setelah benteng jadi orang-orang yang ditahan dan melakukan kerja-paksa diusir, dilarang memasuki wilayah pelabuhan. Sebaliknya perempuan gelandangan mulai berkampung lagi dalam gubuk-gubuk daun kelapa dan menampung penyakit baru yang mulai dikenal waktu itu rajasinga.
Di daerah bandar sendiri orang pun mulai berkenalan dengan binatang baru: tikus.
Setelah meninggalkan suaminya dengan membawa kemuakan terhadap lelaki yang diurusnya dalam kesulitan selama ini, ia lari ke gubuknya. Tak tahu lagi ia apa harus diperbuatnya. Di gubuk itu pun ia merasa tidak senang. Peluru itu bisa jatuh mengenainya. Ia lari terus ke timur memasuki semak-semak yang dipayungi barisan nyiur pantai.
Tembakan-tembakan cetbang menyebabkan ia menerobos semak-se-mak untuk meninjau pantai. Di sana ia melihat bagaimana empat buah kapal Tuban tenggelam dihajar oleh meriam Portugis. Ia jatuh berlutut, mencium tanah, tahu bahwa bangsanya tak mampu melawan di darat kalah, dilaut pun kalah.
Bakal jadi apakah semua ini nantinya" Dan badan seorang diri di dunia ini" Sang Adipati mengusir. Suami dikrangkeng karena perbuatannya yang hina dan memuakkan. Sekarang Peranggi datang dan mengalahkan semua-muanya. Apakah harus hidup dalam semak-semak begini dan menjadi hewan liar"
Tiga hari ia berputar-putar tak menentu di daerah semaksemak di timur bandar itu. Ia tak betah lagi dan kembali ia ke pondoknya. Seorang perempuan lain telah menempatinya, dan dengan kekerasan ia mengusirnya. Dengan ketangkasan berkelahi ia usir orang lain lagi yang hendak memasuki.
Dan makin lama makin banyak perempuan berkampung. Gubuk-gubuk penuh, dan sepanjang malam ramai dengan tawa kikik dan kekak. Perempuan dan hanya perempuan.
Di depan gubuknya itu juga pada suatu pagi ia bertemu dengan suaminya yang diiringkan oleh beberapa orang serdadu Portugis. Ia lihat suaminya bicara dengan serdaduserdadu itu yang kemudian menyebar memasuki gubukgubuk yang lain.
Tholib Sungkar Az-Zubaid masuk ke dalam: Begini tempatmu sekarang, Kati. Tidak patut untuk sembarang perempuan semulia kau. Bawalah semua barangmu. Aku telah mendapat tempat di bekas warung Yakub. Terimakasih, Tuan, tempat sahaya ada di sini. Mereka duduk di ambin bambu dan lelaki itu membujuk dan membujuk. Akhirnya: Tahukah kau, Kati, aku telah bersumpah hendak memeliharamu baik-baik, menempatkan kau di tempat yang mulia .
Itulah sumpah Tuan sendiri, bukan sahaya. Jangan celakakan aku. Kati, beri aku kesempatan memenuhi sumpahku.
Sahaya tak perlu dipelihara. Tuan, dapat memelihara diri sahaya sendiri.
Tapi sini begini hina, Kati. Ada tempat yang lebih mulia, lebih patut untukmu.
Terimakasih, Tuan terimakasih atas kebaikan Tuan. Sahaya akan tinggal di sini.
Tapi kau istriku. Kati. Kalau Tuan memerlukan sahaya, datanglah Tuan ke sini. Sahaya akan tinggal di sini.
Kau tak ada sanak-keluarga, Kati"
Tidak, Tuan. Mengapalah Tuan baru tanyakan sekarang"
Maafkan aku. Kati. Bukankah kau kelahiran Tuban" Tidak, Tuan, Gresik. Waktu perawan sahaya diculik oleh seorang perompak dan dijual ke Tuban pada seorang Tionghoa.
Apakah kau tak ingin pulang lagi ke Gresik" Begini sudah baik, Tuan, sahaya telah mati untuk keluarga sahaya. Pada hari tua sahaya begini, sahaya ingin seorang diri, melupakan semua dan dilupakan oleh semua. Juga olehku. Kati"
Kesudian Tuan datang ke mari sudah kebaikan untuk sahaya, begini sudah baik. Tuan.
Makanmu bagaimana. Kati"
Mengapalah Tuan tanyakan itu" Burung-burung pun bisa mencan makannya sendiri, masakan sahaya tiada bisa"
Serdadu-serdadu itu menjemput Syahbandar, dan mereka pun pergi meninggalkan daerah pondok daun nyiur.
Tak lama kemudian datang gelombang demi gelombang orang-orang Portugis. Bila memasuki pondok Nyi Gede Kati mereka segera pergi lagi, karena perempuan yang seorang ini sudah cukup tua untuk dihindari. Dan waktu matari tenggelam, gelombang yang pergi dan datang tak kunjung berhenti.
Sekali terjadi seorang Portugis setengah mabok memasuki gubuknya dan tiga hari kemudian ia rasai saluran seninya hangat dan tegang. Ia tahu, seperti beberapa orang wanita lainnya ia telah terkena penyakit Peranggi...
Berita tentang masuknya Portugis di Tuban telah tersiar luas di pedalaman, melewati perbatasan, sampai ke tempat pengungsian Idayu sekeluarga di daerah Bojonegara. Berita tentang mengganasnya Syahbandar Ulasawa menerbitkan sesalan orang pada mendiang Adipati Tuban, yang terlalu mempercayainya. Juga di tempat-tempat yang jauh orang menjadi gemas karena kelakuannya.
Waktu itu tengah malam di pondok pengungsian Idayu. Gelar baru saja pulang dari desa tetangga dan mendengar berita itu. Setelah memasukkan kuda ke kandang ia sorong pintu gubuk. Dalam rembang sinar pelita ia lihat ibu dan adiknya, Kumbang, telah tidur. Ia raba kaki ibunya, dan Idayu terperanjat bangun.
Ada apa Gelar" Dan Gelar memandanginya seperti orang bingung. Tak pernah kau bangunkan aku seperti ini, Idayu duduk dan ia lihat sinar kegelisahan pada mata anaknya. Adakah kau habis berkelahi"
Gelar menggeleng lemah-lemah, dan dengan kasihnya ia pimpin ibunya menjauh dari Kumbang yang tidur nyenyak. Ada apa kau ini" Kau begini aneh"
Dan Gelar bercerita tentang masuknya Peranggi di Tuban dan mendirikan benteng, dan membunuhi banyak orang, dan membakari rumah, dan memang punya banyak meriam. Kemudian matanya meredup waktu sampai pada titik ia harus bercerita tentang tingkah-laku Syahbandar Tuban. Keberaniannya hilang.
Semua ejekan, sindiran, cemooh terhadap dirinya memberinya dugaan, bahwa maksud mereka hanya hendak memberitahukan dengan cara dan jalannya sendiri, ia memang bukan anak Wiranggaleng, tapi Syahbandar celaka itu. Ia sendiri sudah lama berpikir: kesamaan rupa antara dirinya dengan orang terbenci itu bukanlah suatu kebetulan. Dan kekecewaan bukan anak Senapati malahan hanya anak orang terkutuk itu makin lama makin jadi bisul dalam jiwanya. Kalau benar Syahbandar Tuban bapakku, seorang bapak yang tak kukenal dan tak mengenal aku, sia-siakah sembah dan sujud dan ketakzimanku pada Senapati" Dan betapa tak ada harganya diri ini jadinya. Tidakkah aku jadi semacam kotoran bagi Senapatiku"
Berita itu juga yang datang, orang yang disindirkan sebagai bapaknya, tampil sebagai orang hina, kejam terhadap orang-orang tak berdaya, menjadi buah mulut yang mengganggu pendengaran dan mengotori hati. Jangan, ya dewa, jangan bikin diriku jadi anaknya. Dewa! Bahkan sampai-sampai tongkatnya pun diberitakan orang, dan tarbusnya, dan bongkoknya, dan hidung bengkungnya yang seperti hidungku, dan gerak bibirnya bila ia sedang menanamkan mata pisau-tongkatnya pada tubuh seseorang. Kalau benar Syahbandar itu bapakku, mengapa emak tak pernah sampaikan padaku" Malukah emakku pada perbuatannya sendiri" Pada ketidaksetiaannya pada Senapatiku" Dan adakah aku hanya anak yang tidak diharapkan"
Jantungnya meriut kecil. Tapi justru sekaranglah waktu itu datang untuk menanyakan. Ia menjadi ragu-ragu melihat pancaran mata ibunya yang menduga dan merabaraba hatinya. Dan rangsang ingin-tahu-nya sudah memuncak sampai pada titik letus. Ia masih juga tak berani bertanya. Haruskah emak melengos dan menyembunyikan muka seperti beberapa kali pernah terjadi" Ah, emak, emakku, betapa kau menderita, hanya karena pertanyaan. Pertanyaan belaka, mak!
Ya, Nak, aku sudah dengar Peranggi memasuki Tuban. Kalau hanya itu, bukankah bisa kau cerita besok" Mengapa pula pandang matamu begitu aneh dan menakutkan" Sakitkah kau"
Mak, Gelar terhenti lagi. Lama sudah aku ingin tahu. dan ia terhenti.
Dan betul saja sebagaimana ia duga, Idayu sudah mulai melengos membuang muka.
Mak, apakah Emak berkeberatan punya Gelar ini sebagai anakmu, Mak"
Cepat-cepat Idayu menarik muka dan menatapnya. Menyesalkah Emak punya anak aku"
Gelar! Ia cengkam bahu anaknya. Kurang baikkah aku mengurus kau, mengasihi, mengasuh dan membesarkan"
Hyang Widhi lebih tahu, Mak, engkaulah ibu yang terbaik yang pernah aku temui di antara semua perempuan.
Mengapa kau sampai hati menganiaya aku dengan pertanyaan semacam itu"
Ampunilah aku, Mak ampuni aku.
Di luar dugaan Gelar emaknya tiba-tiba merangkulnya, suaranya mendesis seperti angin menerobosi lobang dinding: Apa saja kata orang tentang emakmu. Nak, sampai kau mentala bicara semacam itu" Apakah kau tidak suka punya emak semacam ini"
Gelar merasai airmata emaknya jatuh ke lengannya. Ia beranikan diri: Jangan menangis begini, Mak, ia terhenti, lama sudah aku ingin tahu sebenarnya dari Emak sendiri, ia diam untuk mendapat keberanian. Kau selalu tak mau menjawab. Entah sudah berapa kali.
Idayu melepaskan rangkulan dan melengos memunggungi anaknya: Ya, Nak. Aku mengerti maksudmu. Karena itu aku ulangi lagi pertanyaan lama itu: apakah seorang lelaki yang bernama Galeng itu kurang baik sebagai bapakmu"
Demi para dewa, Mak, tak ada yang lebih baik, apalagi lebih berharga.
Ia pandangi anaknya dan bertanya: Apakah itu tidak cukup, anakku"
Tidak cukup, Mak, ampuni aku, ia berbisik pelan dan hati-hati. Benarkah sindiran dan ejekan dan cemooh tak tertanggungkan itu, Mak, aku bukan anak Wiranggaleng" dan tiba-tiba keberaniannya menjadi utuh.
Idayu mendekatkan bibir pada kupingnya suaranya sendat-sendat: Kau sedang menggugat aku, Gelar.
Emak! ia memerosotkan diri dari duduknya dan menyembah dan mencium pangkuan ibunya. Para dewa mengutuki anakmu ini bila berani menggugatmu, Mak. Ampuni aku. Tak ada yang lebih baik dari Emak dan Senapatiku.
Mengapa kau ulangi juga pertanyaan semacam itu" Gelar berdiri, kemudian duduk di samping Idayu, tak berani menatap wajah ibunya. Dalam hatinya ia mengetahui emaknya sudah basah karena airmata kesedihan.
Kau sudah dewasa. Nak. Kau sudah jadi tulangpunggungku selama ini. Kau sudah jadi anak yang baik untuk emakmu, bapakmu dan abang yang sangat baik untuk adikmu. Apa lagikah yang masih kurang"
Mak, pada suatu kali bukankah aku juga akan turun ke medan perang" Dan kalau aku tewas, Mak, tegakah kau melihat aku mati tanpa mengetahui sesungguhnya siapa bapakku" Siapa akan aku cari di alam sana nanti" Kau masih merasa kurang, anakku.
Benar, Mak, masih ada yang kurang. Kebenaran itu, Mak, beri aku kebenaran itu.
Apa gunanya kebenaran itu kalau semua sudah cukup padamu"
Hanya kebenaran itu yang kurang, Mak. Apalah arti harga diri dan kehormatan yang selalu Emak ajarkan dan tunjukkan contoh-contohnya kalau kebenaran itu kurang mencukupi"
Aku mengerti kau. Perlu benarkah diungkap kebenaran itu kalau dia akan melenyapkan semua kebahagiaanmu, dan apalah gunanya bila demikian" ia menghela nafas dalam, kemudian menghembuskan ke luar seperti puputan. Jadi benar bapak bukan bapakku, Gelar mendahului.
Idayu melengos lagi. Ia hendak bicara tapi tak jadi. Kalau begitu siapa sesungguhnya dia, bapakku itu, Mak" melihat ibunya tak juga menjawab ia mendesak lembut, orang bilang, emak sendiri yang harus menjawab, bukan orang lain, dan tak ada orang lain yang akan menjawabkan untukku.
Setelah untuk ke sekian kali menghembuskan nafas besar Idayu berkata sepatah-sepatah, hati-hati, dan pelahan: Benar, Gelar. Kau sudah dewasa. Aku tahu, pada suatu kali aku harus juga sampaikan. Memang aku takut menyampaikan. Bukan karena takut pada kebenaran. Aku takut pandanganmu terhadap emakmu akan berubah. Keantaanmu pada bapakmu akan menjadi rusak, tak utuh lag" seperti sediakala. Apalah gunanya kalau semua itu yang terjadi" Kau memang berhak, dan kau menuntut hakmu. Aku takkan ingkari hakmu. Besoklah, Nak, bila matari telah terbit, jangan dalam malam suram semacam ini. Tidurlah kau.

Mak! Tidurlah. Tidaklah semudah kau duga untuk dapat memberikan hakmu dengan sebaik-baiknya. Aku masih membutuhkan keberanian untuk mengatakan. Kalau keliru bisa rusak semua-muanya. Soalnya memang tidak sederhana. Tidurlah. Besok masih ada hari lagi.
Tanpa memandang anaknya Idayu kembali ke ambin dan membetulkan letak selimut Kumbang, kemudian ia, tidur miring menghadap ke dinding.
Gelar masih tetap berdiri mengawasi adik dan ibunya. Ia sedang mengatasi perasaan iba. Ibunya nampak begitu menderita dan bersusah-payah. Hanya untuk dapat memberikan kebenaran yang jadi haknya.
Keruyuk pertama ayam jantan sudah mulai terdengar. Baru ia bangkit dan duduknya. Ia tak ingin tidur dan tidak dapat tidur. Pikiran, bahwa ia anak Syahbandar Tuban, membikin semua yang dipandangnya berobah nilai dan isi, dan semua serba tidak menyenangkan, menggelisahkan. Seluruh pengabdian, kasih-sayang dan kebanggaan pada orangtuanya tergoncang keagungannya hanya oleh yang seorang itu, satu nama yang membusukkan segalanya.
Keruyuk ke dua telah berhenti. Ia keluar dari gubuk, menghisap udara pagi segar, kemudian pergi ke dapur. Ia bawa pelita, dan mulai ia menyalakan api. Inilah untuk pertama kali ia melakukannya. Biasanya Idayu sendiri yang mengerjakan sekalipun sedang dalam keadaan sakit atau tak enak badan.
Ia tunggui air sampai mendidih. Emaknya belum juga turun. Jagung muda yang ditebusnya telah masak. Idayu belum juga muncul.
Ia pergi ke anak sungai dan mandi. Matari sudah memancarkan lembayung merah di ufuk timur. Waktu hendak masuk ke gubuk ditemuinya ibunya di pintu. Ia lihat mata wanita tercinta itu bengkak.
Gelar menggeletar. Hatinya terasa disayat-sayat. Betapa tersayat-sayat dada ibu yang sebaik itu olehnya. Tapi hanya hati yang kuat saja akan dapatkan kebenaran. Maka ia singkirkan perasaannya.
Mak! ia menegur lebih dahulu. Ya, Gelar, mari pergi ke ladang.
Dan di ladanglah Idayu mulai bercerita tentang impianimpiannya setiap habis menari di kadipaten waktu Wiranggaleng tak ada di Tuban. Siapakah dapat mengatakan impian mengandung kebenaran"
Dan kau membutuhkan kebenaran itu, dan kebenaran itu belum pasti. Hanya bukti-bukti yang tertinggal menjadi petunjuk arah ke kebenaran itu, anakku.
Idayu menerangkan pada Gelar tentang kehidupan seksuil. Kemudian: Dan bukti yang paling menentukan adalah kau sendiri. Sejak kau kulahirkan, sejak itu pula aku tahu kau bukan anak Wiranggaleng. Telah aku serahkan diriku pada bapakmu, Nak, aku serahkan diriku dengan sebilah cundrik, tapi bapakmu tidak menancapkan senjata itu pada tubuhku. Ia biarkan aku hidup, la mengampuni emakmu ini.
Ah, Emakku, betapa kau menderita karena kelahiranku.
Hanya Hyang Widhi juga mengetahui, Nak, betapa perasaanku waktu itu. Nyi Gede Kati telah siap melihat aku bermandi darah. Bapakmu tak juga membunuh aku. Betapa menderita dia, barangkali dia pun telah lama jadi olokolokan orang sebagai lelaki Tuban yang tak ada harganya sebagai lelaki .
Cukuplah itu, Mak, jadi siapa dia, bapakku itu, Mak" Setelah kau lahir, dia masih mencoba lagi. Tidak dalam impian, dalam kenyataan. Hanya cundrik yang dapat membela diriku. Bila suamiku bukan Wiranggaleng, sudah lama emakmu ini tumpas dibunuhnya, juga kau, juga orang itu. Dan justru karena percobaannya dalam keadaan aku sadar dan dapat membela diri, Gelar, aku dapat memastikan, apa yang dahulu itu hanya impian belaka bagiku, ternyata sesungguh-sungguh kejadian. Kemudian orang ramai membicarakan dia suka membius orang untuk mencapai maksudnya, antaranya istrinya sendiri: Nyi Gede Kati.
Mak, jadi benar Syahbandar Tuban Sayid Ulasawa! pekik Gelar.
Kemudian dibiusnya juga penjaga-penjaga menara pelabuhan. Kabarnya kemudian juga dua orang pelarian Peranggi. Jadi aku tidak bermimpi. Kau bukan anak impian, anakku, aku telah kena bius. Obat biuslah senjatanya untuk melaksanakan kejahatan. Aku tak tahu bagaimana caranya aku terkena biusnya.
Cukup, Mak cukup, terimakasih, Mak.
Itulah ceritanya. Gelar. Aku takkan menuntut padamu untuk percaya. Terserahlah bagaimana kau menimbang dan menilai, emakmu pembohong atau bukan, emakmu tak punya arti atau tidak. Setidak-tidaknya kau sudah dengar dari emakmu sendiri, bukan dari orang lain. Kalau kau anggap emakmu tidak setia pada Wiranggaleng, sudahlah jadi nasibku, terserah padamu. Kalau kau menjadi murka padaku, terserahlah pula padamu .
Terimakasih, Mak, anakmu yang bernama Gelar ini lebih percaya pada emaknya daripada siapa pun. Sekarang, Mak apakah orang itu, yang suka membius itu
Apalah gunanya kau tanyakan lagi" Aku tak sudi kau menyebutkan namanya.
Baiklah, Mak, kau tak sudi mendengar namanya, dan ia lihat duka-cita telah membenam wajah ibunya. Buruburu ia bersujud dan kata-ka-tanya keluar dengan gugup, hanya kaulah, Mak, yang aku percaya.
Kemudian ia berdiri. Keningnya berkerut dan matanya menyala-nyala pada satu titik. Ia berjalan cepat-cepat menuju ke suatu tempat, meninggalkan ibunya seorang diri.
Gelar! pekik ibunya. Gelar! Gelaaaar! ia lari memburunya. Di dekatnya ia berkata menghiba-hiba, Aku telah kecewakan kau. Maafkan aku. Gelar.
Gelar berjalan menuju ke kandang kuda, membuka palang-palang dan menuntun Sultan keluar.
Kau mau ke mana, anakku" pagi-pagi begini" tanya ibunya kuatir.
Mari ke gubuk dulu, Mak. Mereka berjalan bertiga, ibu, anak dan seekor kuda, menuju ke gubuk. Gelar masuk ke dalam dan memanggil adiknya.
Kau, Kumbang, tinggal di rumah bersama emak. Jangan pergi meninggalkan gubuk ini sebelum aku pulang. Gantikanlah pekerjaanku selama aku tak ada. Kau mau ke mana. Gelar" Idayu bertanya. Mak, ambilkan pedangku.
Tanpa membantah Idayu pergi mengambilkan apa yang dipinta oleh anaknya. Dan waktu ia datang Gelar segera berkata: Tanganmu, Mak, pasangkan itu dengan tanganmu sendiri.
Kau mau ke mana. Gelar" Aku tak mau kehilangan kau. Bapakmu tak ada. Adikmu masih kecil, pohonnya selama memasangkan ikat pinggang pedang pada tubuh Gelar.
Kumbang, ambilkan tombak dan cambuk-perang. Apa kataku kalau bapakmu datang"
Mak, pasangkan destarku. Idayu pergi lagi dan datang membawa destar terbaik. Gelar berlutut di hadapan ibunya untuk dibenahi rambutnya sebelum didestari.
Aneh benar tingkahmu. Nak" Keris bapak, Mak.
Kau seperti hendak berangkat perang, kata ibunya sambil menyelitkan keris yang telah membunuh Sang Patih Tuban.
Gelar berdiri tegak di depan ibunya, tersenyum, bertanya: Lihatlah anakmu sebelum berangkat, Mak, gagahkah dia"
Tak ada yang lebih gagah.
Gagah manakah dengan orang itu sewaktu muda, Mak"
Jangan sakiti hati emakmu. Gelar.
Ampun, Mak, ampun. Pandangi anakmu baik-baik, Mak. Bila dia tak mampu pulang dengan kaki sendiri, biar kau bisa kenangkan dia dengan baik.
Gelar! Mau ke mana kau" untuk ke sekian kalinya Idayu memohon. Kau takkan tinggalkan kami berdua, bukan"
Sekarang Gelar berlutut lagi dan menyembah ibunya. Restui aku, Mak, anakmu akan berangkat, dan Idayu terpaksa merestuinya. Kemudian ia berjalan keluar dan memanggil kudanya: Sultan! Sultan! Kuda itu datang menghampiri. Ia melompat ke atasnya.
Kumbang! Mana tombak dan cambuk-perang" Ia selitkan cambuk-perang yang selama ini dipergunakannya berlatih pada pinggang dan ia tancapkan gagang-gagang tombak pada jangang kulit sehingga berdiri tegak di belakangnya. Ia berdiri di atas sanggurdi dan meninjau langit. Kuda itu bergerak, berpacu.
Ia lambaikan tangan pada yang ditinggalkan, kemudian hilang di dalam hutan .

Berlanjut kebagian 41


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar