Jumat, 18 November 2022

Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer #28/44


Arus Balik. 
Karya : Pramoedya Ananta Toer.
Bagian 28.

Tuban dalam Suasana Baru
Seluruh Tuban kembali dalam ketenangan dan kedamaian kota dan pedalaman. Sang Patih Tuban mendiang telah digantikan oleh Kala Cuwil, pemimpin pasukan gajah. Nama barunya: Wirabumi. Panggilannya yang lengkap: Gusti Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi. Dan sebagai patih ia masih tetap memimpin pasukan gajah, maka Kala Cuwil tak juga terhapus dalam sebutan.
Pasar kota dan pasar bandar ramai kembali seperti sediakala. Lalu lintas laut, kecuali dengan Atas Angin, pulih kembali.
Sang Adipati telah menjatuhkan titah: kapal-kapal Tuban mendapat perkenan untuk berlabuh dan berdagang di Malaka ataupun Pasai.
Tapi penghasilan bandar tetap saja tak dapat lagi menutup kemerosotan besar.
Semua pengaturan praja dilalukan oleh Kala Cuwil. Sang Adipati sendiri telah kehilangan perhatiannya terhadap segala-galanya. Ia tak pernah lagi memeriksa bandar atau berburu, bahkan tak pernah lagi keluar dari kadipaten. Bercengkerama di taman kesayangan di tentang kandang gajah pribadi pun tak lagi. Beberapa kali pesta tahunan seni dan olah raga dan pesta laut berlalu tanpa perhatiannya.
Dan di kadipaten sendiri Idayu tak pernah muncul lagi dari tariannya.
Sejak padamnya pemberontakan Rangga Iskak Sang Adipati tak pernah sehat, telah kehilangan semua kegesitan dan kesegarannya. Ia nampak sudah sangat tua. Semangat dan dayanya hilang. Jalannya telah tertatih-tatih dan sudah tidak bisa tegak lagi.
Rangga Iskak telah nyata tewas, kekuatannya telah tumpas. Semestinya sudah tak ada lagi sesuatu yang merusuhi pikirannya. Tapi tidak, pikiran lain selalu datang mengganggunya: penyesalan karena saudara sepupunya yang muda itu Patih Tuban yang terbunuh secara tidak layak tanpa perlawanan oleh seorang anak desa bernama Wiranggaleng. Juga penyesalannya telah membohongi Adipati Unus mendiang tak pernah dapat dibohonginya dengan alasan, bahwa Unus ini juga yang telah merampas Jepara dari tangannya. Penyesalan lain yang juga merusuhi pikirannya: ia tak dapat mengambil sesuatu tindakan sebagaimana ia sendiri kehendaki terhadap Wiranggaleng. Semestinya anak itu tidak dikaruniai dengan sesuatu jabatan, tak perlu ditampilkan hanya untuk menaikkan nama Idayu. Semestinya dia segera ditumpas setelah adanya persembahan tentang persekongkolannya dengan Rama Cluring mendiang. Dan cemburunya masih juga dapat dirasainya karena anak itu ternyata dihormati, dicintai dan didengarkan oleh kawula Tuban. Malah pemimpin-pemimpin pasukan seperti orang kehilangan akal mendengarkan dan mematuhinya. Anak desa yang lancang itu .
Sebagai seorang penguasa mutlak tanpa seorang pun dapat menghalangi kehendaknya, ia sungguh merasa malu tak dapat berbuat sebagaimana ia inginkan terhadap anak desa keparat yang mengangkat diri jadi Patih Senapati Tuban itu. Masih sering terbayang-bayang dalam ingatannya peristiwa yang satu itu. Waktu itu hari penghadapan pertama setelah padamnya kerusuhan Rangga Iskak. Balairung itu pun sudah lama kosong tanpa penghadap. Kadipaten sunyi bahkan mulai terancam bahaya kelaparan. Balatentara Tuban telah ditarik kembali ke Tuban Kota oleh Wiranggaleng. Namun pendopo itu tetap tiada berpenghadap.
Pada hari itu, ya pada hari itu, tiba-tiba semua berubah. Pasukan pengawal mulai menduduki tempat-tempatnya yang semula. Gapura kadipaten telah berdiri kembali dan rupa-rupanya telah ditukangi orang pada malam hari. Bahan makanan masuk lagi ke dalam gudang perbekalan kadipaten. Dan: Punggawa-punggawa praja, para pembesar dan kepala-kepala pasukan, juga Wiranggaleng, datang bersimpuh menghadap.
Seorang punggawa telah datang menghadap padanya, mempersembahkan datangnya para penghadap.
Jantung tuanya berdebar-debar. Pada punggawa itu bertanya adakah anak desa itu datang menghadap juga. Dan punggawa itu mempersembahkan ada. Ia rasai kekuatan baru bergolak di dalam tubuhnya. Ia harus tumpas anak desa yang lancang itu. Harus! Tak boleh ada selembar rumput pun di dalam praja kadipaten Tuban, yang bisa menghalangi keturunannya sendiri untuk menggantikan dirinya sebagai adipati.
Ia perintahkan jururias melakukan pekerjaannya, dan kembalilah ia jadi Sang Adipati yang dulu juga, hanya telah berubah jadi kakek dengan rambut seluruhnya telah putih dan jalan tak tegak lagi.
Seseorang harus membantunya naik ke atas singgasana gading itu. ia sudah tak kuat mengangkat kakinya setinggi itu.
Tanpa melihat pun ia tahu para penghadap terkejut melihat perubahan pada dirinya itu. Bahkan jari-jarinya pun kini terus menggeletar tanpa semaunya sendiri. Matanya redup kehilangan sinar hidup. Pipi cekung kempot dan tergantung.
Begitu duduk di atas singgasana, ia tak menanyai patihnya, karena dia sudah tiada. Juga ia tidak menanyai seorang tertentu. Langsung ia bertanya pada siapa saja. pada siapa saja, pada semua.
Bagaimana kerusakan yang diderita oleh kawula kami di pedalaman"
Dan semua penghadap melihat pada Wiranggaleng, Sang Patih Senapati Tuban.
Dengan hati berat Wiranggaleng, Patih Senapati tanpa pengangkatan itu, mempersembahkan, kerusakan tidaklah sebesar yang diharapkan oleh Sunan Rajeg, kemudian meneruskan dengan sangat hati-hati: Sunan Rajeg telah kedapatan tewas dalam gua Gowong beserta pengikutpengikutnya terakhir. Gusti Adipati Tuban sembahan patik.
Siapa mempersembahkan itu"
Patik, Gusti, Syahbandar-muda, kepala pasukan laut, si Wiranggaleng .
Adakah kau sudah jadi patih maka jadi orang pertama yang mempersembahkan"
Telah hamba bunuh Patih Tuban karena keraguraguannya.
Maka itu kau anggap dirimu Patih Tuban" Ampun. Gusti Adipati Tuban sesembahan patik, Kala Cuwil menengahi. Adapun Sang Patih Senapati Tuban Wiranggaleng telah tumpas kerusuhan besar itu, Gusti. Ampunilah dia karena tiada tahunya tentang adat praja maka telah menyebutkan nama kotor si perusuh itu di hadapan duli Gusti Adipati. Ampun, Gusti, memang besar keragu-raguanlah yang telah menewaskan Gusti Patih almarhum. Dan itulah sesungguhnya bea untuk kemenangan Tuban. Maka itu sudah sepatutnya Sang Patih Senapati Tuban Wiranggaleng dikukuhkan oleh Gusti Adipati akan jabatannya itu .
Ampun. Gusti Adipati Tuban sesembahan patik, tidak lain dari Senapati Wiranggaleng yang merajang-rajang balatentara perusuh yang terlampau kuat itu sampai berkeping-keping, Gusti, tak berdaya dan binasa, musnah . Banteng Wareng menambahkan.
Adakah kalian mengira. Adipati Tuban bersinggasana pada hari ini untuk mendengarkan puji-pujian untuk si pelancang , suaranya lambat dan pelahan. gemetar namun tegap.
Suasana penghadapan untuk ke sekian kalinya menjadi tegang. Seorang yang telah memimpin mereka ke arah kemenangan sedang menghadapi keruntuhan di hadapan penguasa mutlak yang tak pernah dapat ditawar keputusannya itu. Semua mata tertuju pada anak desa, yang masih juga duduk menekur tak tahu apa harus diperbuatnya.
Siapakah orangnya yang menempatkan dia di tempat terhormat itu"
Wiranggaleng menyembah, kemudian beringsut-ingsut duduk dengan para kepala pasukan.
Dan semua menjadi gelisah memperhatikan Sang Senapati tanptt pengangkatan itu duduk menunduk di samping rangkum.
Siapakah orangnya yang mendapatkan dia pada barisan kepala pasukan" Sang Adipati menetak lagi dengan suara lambat, perlahan gemetar namun tegap dan dingin.
Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik , kata Kala Cuwill adapun Wiranggaleng telah menempati tempatnya sendiri sebagai kepala pasukan laut .
Adakah patut seorang pelancang mendapat kehormatan semacam itu"
Sekali lagi anak desa itu mengangkat sembah dan beringsut ke barisan di belakangnya lagi, barisan pembesar praja. Tak ada di antara kepala pasukan berani bersembah.
Suasana yang tegang dan menggelisahkan terasa begitu lama dan tak bakal habis.
Tiba-tiba terdengar seseorang bicara dalam Melayu, dan semua mata terarah kepadanya.
Tiada patut di mana pun dalam kadipaten ini, ya Gusti Adipati Tuban yang bijaksana. Yang berdosa tidak mungkin berjasa, yang berjasa tidak mungkin berdosa, kata pantun nasihat .
Kau benar, Tuan Syahbandar Tuban .
Dan Wiranggaleng mengangkat sembah lagi, beringsut ingsut jauh dan lama meninggalkan pendopo, duduk di pelataran.
Majulah kau. Kala Cuwil, di hadapan kami, karena kaulah Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi. Dan perhatikan semua titah kami lakukan semua urusan Tuban dan prajanya. Jangan sampai ada pelancang mendapat kesempatan bagaikan durjana temukan mangsa. Dengan kau tiada kan ada ancaman terhadap Tuban .
Kala Cuwil beringsut maju sambil menyembah. Sengaja kami biarkan jenasah Sang Patih melekang di alun-alun sebagai hukuman bagi si pembangkang. Beruntunglah dia karena keluarganya tiada ikut tertumpas. Dan apakah hukuman yang patut bagi si pelancang"
Sang Adipati menunggu sokongan dari semua penghadap. Berkali-kali ia tebarkan pandang ke seluruh penghadapan. Dan ia lihat setiap kepala menunduk. Tak ada sembah terangkat, la tahu tak mendapatkan sokongan. Kemudian ia berpaling pada Kala Cuwil Sang Wirabumi dan minta pendapatnya.
Ampun, Gusti, tak ada pelancang di antara kawula Sang Adipati sembah Kala Cuwil.
Tiadakah kau sendiri dengar titah kami: apa hukuman yang patut bagi pelancang" Dengarkan semua: bagaimana pembangkang harus jalani hukumannya"
Ampun, Gusti Adipati Tuban sesembahan patik. Sang Patih Tuban almarhum , Kala Cuwil bersembah dengan gugup, telah menjalani hukumannya sebagai pembangkang, tewas di ujung keris. Patik sebagai Patih Tuban Sang Wirabumi tidak akan sanggup melaksanakan dan menjatuhkan hukuman yang dititahkan terhadap senapatinya, kecuali bila Senapati menentukah sendiri hukumannya dengan sukarela .
Apa hukuman yang patut untuknya" Kala Cuwil berpaling ke belakang dan berseru: Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi bertanya padamu. Senapatiku, Wiranggaleng, apakah hukuman yang patut untukmu"
Dari tempatnya di pelataran pendopo Wiranggaleng menjawab dengan suara lantang: Tidak ada yang patut. Hanya, bila Wiranggaleng ini akan dihukum juga , serunya, perkenankan dia menanam mayat Sang Patih almarhum dengan sebaik-baiknya dulu .
Usir dia dari Tuban! bisik Sang Adipati gemetar. Direjam sampai mati, Gusti Adipati yang bijaksana , Tholib Sungkar Az-Zubaid bersembah, seorang pelancang adalah juga pengkhianat .
Sang Adipati melambaikan tangan pada Kala Cuwil Sang Wirabumi, dan memerintahkan padanya untuk menolong turun dari singgasana. Dan orang pun terheranheran melihat Syahbandar Tuban meninggalkan tempatnya dan ikut masuk ke dalam kadipaten.
Kala Cuwil kembali ke pendopo, menghadapi pada penghadap dan memerintahkan mereka bubar. Mereka membubarkan diri dan mengerumuni Wiranggaleng. Semua menawarkan tenaga untuk membantu merawat sisa-sisa jenasah Sang Patih Tuban.
Ia menolak. Biar aku kerjakan sendiri. Tak lain dari aku yang lebih mengetahui betapa aku menghormatinya sampai ke dasar hatiku. Kata-katanya yang terakhir jadilah perintahnya terakhir untukku: anak desa akan kembali ke desa. Aku akan kembali .
Kami akan antarkan . Apakah yang dapat kami sumbangkan" Senapatiku! Senapatiku!
Terimakasih, semua. Beri aku seekor kuda yang baik dengan abah-abahnya yang baik pula .

Setelah melaksanakan pembakaran sisa-sisa jenasah dengan saksi para pembesar praja, para kepala pasukan dan semua yang mencintainya, ia dekati Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi, yang sedang memegangi kendali kuda.
Sepeninggalku, Kala Cuwil , ia berpesan pada sahabatnya awaslah pada Demak. Guruku, Rama Cluring, sudah lebih dahulu memperingatkan .
Panglimaku! Kala Cuwil tak mampu meneruskan. Wiranggaleng melompat ke atas kudanya. Senapatiku, mari kami antar .
Jangan . Senapatiku tak membawa sesuatu pun, pedang tidak, tombakpun tidak.
Orang mengulurkan cambuk perang. Ia tak menerimanya.
Anak desa pulang ke desa. Dia tak memerlukan senjata .
Kala Cuwil merangkul kaki Senapati, dan berbisik: Tak mungkin Tuban tanpa Senapatiku .
Wiranggaleng mencambuk kudanya dan hilang di balik debu jalanan di kejauhan.

 Peristiwa pengusiran itu selalu merusuhkan hati Sang Adipati. Betapa ingin ia menumpas sama sekali orang itu seorang anak desa yang langsung menghabisi jiwa seorang ningrat keturunan maha Majapahit. Dia berani mengangkat diri jadi Sang Patih Senapati Tuban. Bila dibiarikan semua aturan akan rusak binasa. Dan pengusiran adalah hukuman terkeras yang ia bisa lakukan. Tak bisa lebih. Semua kepala pasukan berontak terhadap dirinya.
Beban lain yang memberati hati Sang Adipati adalah hilangnya pafit putra yang mengabdi pada Demak. Menengok ke Tuban mereka tiadak lagi, apalagi menghadap. Beritanya pun tiada pernah sampai lagi. Dan ia sendiri sudah merasa tua. Siapakah Adipati Tuban setelah dirinya" Siapakah dia, yang berhak mendapatkan gelar Adipati" Ia tak mampu bayangkan. Kemenakankemenakannya ditimbangnya terlalu lemah, bukan pribadi yang bakal mampu jadi penguasa Tuban yang berat dipikul berat pula dijinjing. Dan ia tak rela Tuban jatuh ke tangan salah seorang dari kepala-kepala pasukan yang semua bukan berdarah ningrat. Apalagi Wiranggaleng, si lancang. Dan justru yang akhir ini orang yang paling akhir dapat menggenggam Tuban. Tidak, ia tak rela.
Hari-harinya yang sunyi ia lewatkan di dalam harem. Atau ia rebahkan diri di peraduan dan memanggil Tholib Sungkar Az-Zubaid untuk mendongengkan kisah seribu satu malam atau berita berangkai dari cerita Amir Hamzah, yang langsung dilisankannya ke dalam Melayu. Atau ia minta diceritai tentang negeri-negeri jauh di atas Atas Angin.
Dan Syahbandar Tuban seorang yang pandai bercerita. Gerak tangannya yang mempesonakan dan turun naik bongkoknya memberi hidup pada ceritanya. Pada bagianbagian tegang ia melambai-lambaikan tangan dan bertepuktepuk dan menyebut-nyebut, seakan ia sendirilah saksi hidup atas ceritanya. Dan bila cerita itu sampai pada bagian asyik-masuk, ia berkecap-kecap dan meremas-remas tangan, dan bila sampai pada antiklimaks, seakan-akan ia melolong meratapi.
Ia sendiri memang suka bercerita, dan mungkin terlalu lama hidup di alam troubadour dusun-dusun di Ispanya, Zanggi dan bukan Zanggi.
Sekali ia pernah bercerita tentang negeri kelahirannya, Ispanya, tentang bangsanya yang periang dan penari dan tentang sejarah negeri itu, dan tentang penyerbuan pasukan Arab dan tentang Al Tarik yang menyerbu dengan kudanya, dengan kudanya pula memasuki rumah-rumah dan istana. Dan ia bercerita tentang pembangunan mesjid dan istanaistana di Ispanya, terindah yang pernah dilihatnya dalam hidupnya. Ia takkan melewatkan cerita tentang gadis-gadis Zanggi perbegu yang menari seperti kesetanan, dan tentang peramal-peramal Zanggi, dan tentang jatuhnya kekuasaan Muawiyah di Iberia.
Sekali ia pernah bercerita tentang bangunnya armada Peranggi dan Ispanya. Dan ia tetap tak pernah bercerita tentang dirinya sendiri.
Apabila ia minta diri, ia tiada mendapat sesuatu jawaban dari Sang Adipati, karena pendengar-tunggalnya telah berkeruh dalam tidurnya.
Sekali peristiwa waktu ia minta diri terdengar olehnya Sang Adipati merintih dan mengeluh. Ia mendekat dan menanyakan apa yang dideritanya.
Ah, Tuan Sayid , jawabnya, sekiranya diri masih muda dengan kekuatan utuh dan badan penuh . Gusti Adipati masih muda, belum tua .
Membawa diri sendiri pun sudah tak mampu, Tuan Sayid. Betapa indahnya hidup muda .
Dan dengan demikian Syahbandar Tuban jadi penghadap tetap dalam kadipaten.
Orang menduga, orang Moro itu akan mendapatkan kekuasaan yang lebih besar lagi dari Sang Adipati. Ternyata dugaan itu keliru. Penguasa Tuban itu tetap membatasi wewenang Tholib Sungkar Az-Zubaid. Apalagi setelah Kala Cuwil Wirabumi tampil menjadi patih.
Dari sehari ke sehari, dari tahun ke tahun keadaan Sang Adipati tidak menjadi lebih baik, juga tidak lebih buruk. Ia tak pernah melalaikan ramuan-ramuan yang dipersembahkan kepadanya. Dan Tholib Sungkar Az- Zubaid terus juga menghadap untuk bercerita. Dan setelah cerita yang diketahuinya habis, mulailah ia mendongeng tentang khayal yang tumbuh sendiri dalam kepalanya. Dan waktu daya khayalnya akhirnya kering juga, sebagai air bah mengalirlah segala kebohongannya.
Syahbandar itu sudah tak tahu lagi mana yang benar. Sang Adipati yang membutuhkan ceritanya atau dirinya sendiri yang ta. Ia membutuhkan waktu sampai Portugis celaka yang tak juga muncul dengan armadanya datang ke Tuban, dan barulah ia merasa aman.
Di pembaringan juga Sang Adipati menerima utusan atau duta-duta kabupaten atau kerajaan lain, dengan atau tidak disertai oieh sang Patih. Penghadapan hanya sebentar saja dihadirinya sebagai syarat, kemudian Sang Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi dititahkan meneruskan segala urusan.
Sang waktu dirasainya terlalu lama beredar. Hari-hari menunggu datangnya Sang Maut, dan ia akan menyambutnya dengan senang hati dan perasaan terimakasih. Yang ditunggu tak kunjung tiba. Dan yang datong justru yang lain lagi: seorang utusan dari Jepara.
Orang itu adalah Aji Usup yang dahulu pernah diterimanya di taman kesayangan di tentang kandang gajah pribadi.
Gusti Adipati Tuban yang mulia , ia bersembah. Demak dan Jepara ikut berprihatin dengan gering Gusti. Itulah sebabnya patik datang: menghadap, menyampaikan salam dan hormat dan doa segera sehat kembali dengan karunia Allah dari Gusti Ratu Aisah, serta dibenarkan oleh Gusti Kanjeng sultan Trenggono .
Sang Adipati melambaikan tangan menitahkan semua orang keluar dari bilik peraduan kecuali Sang Duta. Juga Kala Cuwil pergi setelah mengangkat sembah.
Aji Usup mempersembahkan beribu terimakasih dan syukur dengan hati dan bibirnya memperoleh kesempatan untuk menghadap tanpa disertai oleh siapa pun.
Tuan Duta, persembahan apa yang Tuan bawa di dalam hati. Dekat dekatlah sini, agar kami dapat mendengarkan Tuan dengan terang
Aji Usup mendekat sambil membawa tempolong ludah, mempersembahkan dan Sang Adipati membuang ludah sirih ke dalamnya kemudian berbaring lagi.
Dalam keadaan Gusti gering begini, patik merasa tidak patut menyampaikan sesuatu yang penting, Gusti .
Gering begini kami tetap masih Adipati Tuban, Tuan Duta. Kesempitan kesempitan dari hati Tuan .
Ampun, Gusti Adipati, sebagai duta, patik ingin mendapat amanat dari Gusti, adalah kiranya Gusti Adipati Tuban berkenan sudi sekali lagi melayangkan minat pada suatu persekutuan membentuk armada gabungan untuk menggempur Malaka, menghalau Peranggi"
Mendengar itu Adipati Tuban mencoba duduk di pembaringan dan Aji Usup membantunya.
Ulangi lagi persembahan Tuan Duta .
Dan Aji Usup mengulangi kata-katanya: Sang Adipati kini menggantungkan kaki keluar dari pembaringan, mengangguk-angguk dan pada mata tuanya yang memburam itu memancar sinar hidup.
Aji Usup buru-buru menyorongkan bangku kaki dengan bantal kaki di atasnya. Nampaknya Sang Adipati sangat berkenan melihat pada kebaikan duta itu.
Lama Adipati Tuban tidak menjawab. Ia kerahkan pikiran tuanya untuk kembali bekerja mengurus praja. Dengan pandang tertuju ke arah pintu tanpa sesuatu pun dilihatnya, ia kenangkan kembali keberangkatan gugusan Tuban ke Malaka untuk menenggang laksamana Adipati Unus dan sekaligus untuk membalaskan dendamnya dengan kebohongan melanggar janji. Kemudian ia menyesal untuk selama-lamanya. Sesal kemudian memang tak berguna. Sekarang duta ini pula menawarkan persekutuan membentuk armada gabungan lagi. Ia menawarkan jalan untuk dapat membebaskan dari sesalan di haritua. Hari-harinya telah dapat dihitung, dan kesempatan ini mungkin takkan datang lagi sampai matinya. Dan ia tak begitu rela mati dengan banyak sesalan. Kini ia akan mendapat kesempatan bagaimana sesalannya bisa tertebus, boleh jadi ia sempat pula menyaksikan gugusan Tuban pulang ke pangkalan dengan kemenangan. Dan namanya takkan jatuh di mata kawula Tuban. Dengan cepat ia dapat temukan cara memberangkatkan gugusan itu sehingga tidak akan merusakkan namanya di mata Ispanya ataupun Peranggi. Ia mengakui masih mengimpikan datangnya persahabatan dari dua bangsa itu. Hanya sekarang, sekarang ini, dengan kesempatan ini, ia tidak akan menomer-satukan lagi. Ia mulai menomor-duakannya. Ispanya dan Peranggi toh tak juga datang membawa persahabatan.
Ketahuilah, Tuan Duta Aji Usup yang terhormat , katanya lunak, telah lama kami pikirkan kemungkinan itu .
Dan Aji Usup segera mempersembahkan terimakasihnya.
Tuban, Tuan Duta, sudah lama bersedia untuk menggunakan kesempatan itu .
Ya, Gusti Adipati Tuban yang mulia, kesertaan gugusan Tuban insya Allah akan menjamin kemenangan, Gusti, semoga Allah s.w.t. merah-mati Gusti dengan kesehatan, kenikmatan dan panjang usia .
Hanya kami tak mampu menyediakan kapal . Aji Usup menyembunyikan kekecewaannya. Tapi Sang Adipati dapat menangkap perubahan pada airmukanya.
Berdasarkan pengalaman yang lalu, Tuan Duta yang terhormat, kamu merasa malu mengirimkan kapal-kapal kami yang takdapat tiba waktunya, tak mampu mengejar keterlambatan. Dapatkah Tuan memahami kelemahan kami"
Besarlah sudah kemurahan Gusti Adipati Tuban. Berapakah kiranya besarnya pasukan yang Gusti relakan untuk armada gabtungan itu, Gusti"
Lima ratus, tidak kurang seorang pun, Tuan Duta, tepat seperti dahulu. Hanya kami memang merasa malu menggunakan kapal-kapal kami sendiri yang sudah tua, jauh tertinggal dari kapal-kapal bikinan Jepara . Dan Aji Usup masih juga belum dapat bayangkan bagaimana harus mendapatkan kapal untuk mengangkut lima ratus orang dengan persenjataan dan perbekalan. Ia termangu-mangu.
Kapal perang Tuban cukup baik, Gusti Adipati, sebagaimana pernah patik saksikan, malahan patik pernah membawa sendiri guguasan dari Banten sampai di atas Tumasik ,
Tidak, Tuan Duta, kami sudah cukup mendapat malu dengan kapal-kapal itu, sedang yang baru kami belum lagi bikin. Keadaan laut tidak begitu memberanikan kami membikin yang baru. Janganlah berkecil hati karena prajurit laut Tuban adalah sesungguh-sungguh prajurit .
Besarlah kemurahan Gusti Adipati. Tuban akan melimpahi Gusti dengan berkah, yang insya Allah tiada kan putus-putusnya. Ampun Gusti, apabila Gusti berkenan bolehkah patik mengetahui siapa gerangan calon Panglima gugusan Tuban"
Tentu, dengan panglimanya sekali, panglima tanpa tandingan tuan Duta Wi-rang-ga-leng, Senapati Tuban .
Aji Usup mengangkat sembah tiga kali untuk menyatakan terimakasihnya. Hilang semua keraguraguannya. Wiranggaleng jadi lebih berharga daripada lima buah kapal perang Tuban. Dia pun kepala pasukan laut Tuban, Tuan Duta . Hampir-hampir duta itu tak dengar kata-kata Sang Adipati yang terakhir. Ia sedang mengenangkan mendapat Liem Mo Han Wiranggaleng, itulah pimpinan perang tanpa tandingan untuk melaksanakan rencana Persekutuan. Ia pernah menyatakan lebih suka mendapat orang itu dengan atau tanpa pasukan, bahkan tanpa kapal sebuah pun. Duta itu memohon diri dengan bersuka cita! Malam itu Sang Adipati tidur nyenyak tanpa cerita Tholib Sungkar Az-Zubaid, Syahbandar Tuban. 

Berlanjut ke Bagian 29.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar