Jumat, 18 November 2022

Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer #32/44


Arus Balik. 
Karya : Pramoedya Ananta Toer.

Bagian 32.

Gelar Jadi Sandera Kemarin dulu Idayu masih berseru dari beranda gubuk panggung itu: Gelar! jangan begitu. Belajar yang baik!
Tapi Gelar tak peduli. Dengan melepas kendali ia menggantungkan diri di samping kuda, tangan memeluk leher binatangnya. Kuda itu lari terus, dan ia melompat melalui punggung kuda, berbuat semacam itu di samping lain. Kemudian ia berpacu di jalanan desa dengan memunggungi arah. Tak lama kemudian ia berpegangan sanggurdi dan menggantung di bawah badan kuda.
Ia tak mau dengar emaknya memekik-mekik ketakutan. Tubuhnya dan tubuh kuda itu seakan telah jadi satu. Dan berlatih menguasai kudalah kesibukannya sehari-hari sehabis kerja.
Dan sekarang ia menggeletak di atas ambin kayu. Matanya terbuka tanpa melihat. Antara sebentar seseorang memasuki bangsal dan menengoknya, mentertawakannya.
Ada juga yang sengaja mengejek, tajam dan mengirim: Apa kau renungkan, Buyung! Anak Senapati Tuban bukan seperti itu mestinya. Kalau tidak suka, menangislah keraskeras, biar kami gendangi, biar semua orang tahu, anak Senapati punya sejambang airmata.
Untuk menghindari semua gangguan ia tutup mukanya dengan bantal.
Sekali terjadi seseorang menarik bantal itu dan menjelirkan lidah padanya. Ia rebut kembali bantalnya dan ditekankan erat-erat pada mukanya lagi. Seorang lain masuk dan menyeret kakinya sampai ia terjatuh dari ambin dan segera merangkak naik ke atas, di bawah sorak dan sorai tawa.
Pada mulanya ia meraung-raung minta dikasihani terhadap perlakuan kasar yang tak pernah dikenalnya sebelumnya itu. Tak seorang pun akan berbuat demikian di desanya. Ayah dan ibunya tidak, kepala desa pun tidak. Apakah salahku sampai diperlakukan demikian" Sekarang ia tidak meraung lagi, walau ia tidak berani melawan atau membela diri. Ia akan deritakan semua dengan sabar. Bahkan ia pun tidak tahu sedang berada di rumah siapa. Semua lelaki, prajurit, tak ada seorang wanita pun!
Di malam hari waktu keadaan agak tenang, terdengar olehnya seseorang bicara pada yang lain: Jangan ganggu dia. Aku yang melarang. Ayahnya sangat terhormat dan dihormati. Juga ibunya. Dia bukan sejenis kalian. Yang tak tahu batas.
Gelar mencoba mengintip dari balik bantal. Terlihat olehnya seorang prajurit pengawal bergelang baja bicara pada bawahannya. Ia merasa mendapat perlindungan. Dadanya tak begitu sesak lagi. Seorang demi seorang di antara mereka mulai merebahkan diri di sampingmenyampingnya dan segera kemudian tertidur dengan menyemburkan bau tuak dari mulut.
Malam semakin tenang dan ia sendiri pun menjadi tenang. Baru ia berani turun untuk buang air. Kemudian merangkak lagi ke tempatnya.
Ia kenangkan kembali percakapan antara Prajurit Tuban itu dengan ibunya: Nyi Gede Idayu, jangan kaget. Gusti Adipati Tuban telah menitahkan agar Gelar, putra Nyi Gede yang pertama, dibawa ke Tuban.
Apakah salahnya anakku" Bukankah suamiku sudah juga dibawa ke Tuban"
Tak ada yang dapat mencegah titah Gusti Adipati, Nyi Gede. Panggillah anak itu.
Dan dihadapkan pada orang-orang yang berperawakan kukuh tertutup dengan gumpalan otot.
Gelar, kau akan kami bawa ke Tuban.
Bapak berpesan untuk menjaga dan membantu emak dan adik. Ia membantah, dan menerangkan tugasnya sebagai lelaki tertua dalam keluarga.
Dan prajurit-prajurit itu mentertawakannya.
Seluruh desa akan menjaga dan membantu Nyi Gede. Itulah yang jadi titah Gusti Patih.
Aku telah berjanji pada bapak .
Mereka berhenti tertawa melihat pancaran kebencian dan amarah pada mata Idayu. Dan wajah Idayu itu tetap cantik seperti semasa masih berada di Tuban dulu, dan tubuhnya tetap semampai berisi karena latihan-latihan. Cuping hidung wanita itu menggetar seperti cuping macan betina yang mencium bahaya yang mendatangi.
Dulu begini juga yang diperbuat oleh Kiai Benggala, bentak Nyi Gede.
Kami datang membawa titah Gusti Patih. Kita tak bisa berbuat apa-apa, Nak. Biar aku siapkan pakaianmu. wanita itu masuk ke dalam dan keluar lagi membawa bungkusan kecil dan selembar kain batik dikalungkannya pada lehernya sambil berkata. Dan ini, Gelar, kain mak, pergunakan kalau kau kedinginan. Kau harus ingat, bapakmu tidak bisa berbuat apa-apa. Makmu pun tak bisa. Jangan kau menangis. Nak sudah besar, hampir lima belas. Berangkatlah kau dengan doaku. Jadilah kau seorang lelaki.
Melihat ibu yang dihormati dan dicintai itu tak dapat mempertahankan dirinya, juga tak dapat mempertahankan pesan ayahnya atau janjinya pada ayahnya, ia pun meraung, menjatuhkan diri dan memeluk kaki ibunya. Dengan prihatin ibunya mengusap-usap kepalanya. Belum lagi kepala ini sempat berdestar gumam ibunya. Kumbang pun memekik, merangkul leher abangnya tercinta, meraung: Tidak boleh. Kang Gelar jangan pergi!
Prajurit-prajurit itu dengan hati-hati melepaskan Gelar dari rangkulan pada kaki ibunya dan dari pelukan adiknya. Ia angkat Gelar dalam bopongan. Dan yang dibopong meronta dan melawan. Dengan demikian bermulalah perjalanannya ke Tuban. Dalam hidupnya yang semuda itu ia mulai dapat merasakan adanya kekuasaan dan pengaruh ayah dan ibunya terhadap kehidupan di Awis Krambil. Wiranggaleng Senapati, semua orang senang padanya, bahkan Sang Patih Tuban tidak tanpa hormat menghadapinya. Ibunya seorang penari tanpa tandingan. Semua orang datang padanya bila bertanya sesuatu tentang tari. Ayah dan ibunya yang sejuk dari panas dan kering dari hujan. Kehidupan seperti itu berjalan tanpa gugatan. Tapi apa sekarang" Ternyata kekuasaan ayah dan ibunya takluk pada yang lebih tinggi lagi. Dan ayahnya dan ibunya tak dapat berbuat sesuatu pun. Bahkan membantah pun tidak bisa. Dua macam kekuasaan itu ia rasai berlainan, bertentangan, bermusuhan, tapi tak pernah terucapkan.
Dan tanpa diketahuinya kini ia telah dijadikan sandera oleh Sang Adipati. Penguasa tua itu telah menitahkan agar ia dikurung di dalam perumahan pasukan pengawal kadipaten, dipersiapkan untuk jadi prajurit pengawal.
Di dalam bangsal itulah ia sekarang. Pikirannya terusmenerus diganggu oleh pertanyaan bagaimanakah ibunya sekarang harus selesaikan semua pekerjaan sehari-hari tanpa dirinya" Siapa yang mengambil rusa, atau celeng dari ranjau perangkap" Siapa yang menguliti" Siapa pula yang mengerjakan sawah dan ladang" Dan siapa yang diajak adiknya bermain" Siapa pula yang menjaganya" Betapa akan sunyinya rumah terpencil di pinggir hutan itu, dan betapa sangat sibuknya emaknya. Ia harus belajar menahan kekuatiran terhadap yang ditinggalkan dan kesedihan terhadap nasib sendiri. Yang ditinggalkan adalah alam kasih-sayang, tenteram dan damai, yang dimasukinya sekarang adalah alam kekerasan tanpa belas kasihan.
Sampai sejauh itu para prajurit pengawal menduga, si bocah itu disanderakan karena Wiranggaleng pernah menyatakan sumpah takkan kembali ke Tuban sebelum Sang Adipati mati. Dugaan yang kurang berdasar, karena Sang Adipati tak pernah mendengar sumpah itu. Yang didengarkan justru lain: Trenggono telah menuduh Sang Adipati Tuban bersekongkol dengan Wiranggaleng untuk menantang kekuasaan Demak, dan Sultan mengancam akan menangkap Sang Adipati hidup-hidup di waktu dekat mendatang dan akan membelahnya hidup-hidup jadi empat bagian besar. Ancaman itu disambut dengan tertawa, namun ia tetap tidak rela Tuban terinjak oleh balatentara lain. Maka ia menyesal telah memberangkatkan Wiranggaleng dan lima ratus prajurit laut, ia telah batalkan harapannya akan kematian Senapati. Ia membutuhkannya untuk mempertahankan Tuban. Dengan Gelar sebagai sandera ia mengharap anak desa itu sewaktu-waktu akan dapat dipanggilnya kembali.
Gelar menggeragap bangun. Tarikan kasar pada kakinya menyebabkan untuk kedua kalinya ia terjatuh di lantai. Matari ternyata telah tinggi.
Sepantun suara keras menggertaknya: Pemalas! Aturan mana orang bangun tertinggal matari"
Sekarang Gelar mengerti, tak ada seorang pun akan melindunginya. Tak percuma emaknya mengharapkan akan jadi lelaki. Ia tak sudi diperlakukan lebih lama sekasar itu. Di hadapannya berdiri seorang prajurit bertubuh kekar. Kasih-sayang yang disampaikan keluarganya menukik membalik menjadi dendam yang membuncah dalam dadanya. Dengan segala yang pernah diajarkan dan dilatihkan oleh bapaknya ia melompat dan menerkam prajurit pengawal yang tak siaga itu. Seperti seekor biawak ia melengket pada tubuh penganiayanya, dan giginya masuk ke dalam otot dada yang telanjang berbulu itu.
Dengan dua belah tangan prajurit itu menolaknya keraskeras. Gelar terjatuh di lantai setelah menubruk dinding. Dan dada prajurit itu berlumuran darah.
Kucing keparat! sumpahnya sambil menyeka dada dengan lengan. Sekali lagi, kucekik sampai mampus.
Dan kutikam kau sampai mampus! balas Gelar, berdiri dan bersiap membela diri terhadap segala penganiayaan yang mungkin menyusul.
Lancang, seperti bapaknya! Kau tahu apa tentang dirimu" Sandera!
Ayoh, cobalah sekali lagi.
Tak ada yang lebih hina daripada sandera. Kalau aku jadi sandera, lebih baik kukuliti mukaku, katanya sembari terus membersihkan dadanya.
Cobalah sekali lagi, tentang Gelar. Tak bisa kutikam waktu jaga. waktu tidur pun kena.
Kuatir akan terjadi geger, prajurit itu mengalah dan pergi sambil mengurus dadanya yang berdarah dengan pijitan dan cengkaman.
Seorang diri didalam bangsal ia mulai merenungi katakata prajurit itu sandera, jadi sandera! Dan ia mengerti hidupnya berada di ujung pedang. Setiap waktu, tanpa pemberitahuan, seorang sandera dapat dihabisi jiwanya tanpa tahu apa perkaranya. Baik, aku jadi sandera.
Seseorang memanggilnya keluar dan keluarlah ia dengan siaga. Dilihatnya pemanggilnya seorang prajurit yang sedang duduk di atas kuda sambil menuntun kendali kuda lainnya. Ia memberi isyarat dengan tangan.
Naik! perintahnya. Dan Gelar naik dari sanggurdi ke atas kuda yang tinggi lagi besar itu. Kakinya tak dapat mencapai sanggurdi yang lain. Dan sebelum ia dapat meletakkan diri dengan enak, seseorang telah mencambuk binatangnya. Kuda itu terkejut, melompat. Gelar terbalik di atas punggung kendaraannya dan jatuh ke samping. Secepat kilat ia berpegangan pada sanggurdi dan terseret oleh sang kuda. Ia tak dengar lagi orang bersorak-sorai senang: Pegangannya lepas. Ia jatuh menggeletak dengan kaki tersobek-sobek batu jalanan.
Prajurit yang memerintahkan tadi mendekati dan dari atas kuda membentak.
Siapa perintahkan kau turun" Dengar perintah baikbaik. Kejar aku, dan pukul aku sampai kena, ia menggerakkan kudanya dan memacunya mengelilingi alunalun.
Gelar bangun berdiri, memeriksai kakinya yang sobeksobek dan berdarah, kemudian membasahinya dengan ludahnya sendiri. Binatangnya berhenti di suatu tempat tak jauh dari padanya. Kuda itu jinak dan larinya kencang, memang disediakan untuk bisa mengejar. Ia tak tahu namanya. Maka dipanggilnya dengan kata yang banyak disebut-sebut belakangan ini: Sultan! Sultan! ia menghampirinya sambil berpincang.
Kuda itu tak mau menghampirinya, ia sendiri yang harus datang padanya. Angkuh kau, Sultan! Dipegangnya kendali dan ditepuk-tepuk bahu binatang itu, dipegang kepala dan diusap-usapnya. Kepala binatang itu ditariknya ke bawah pada kakinya, disuruhnya menjilati darahnya sampai bersih. Kemudian ia rangkul leher Sultan dan melompat ke atasnya.
Lari, Sultan, lari, kejar dia, bikin aku jadi lelaki. Susul dia, biar aku gebuk kepalanya.
Gelar tak duduk di atas pelana. Ia memeluk leher kuda yang tinggi besar itu dan mulai memburu.
Yang diburu lari, mengelak, meliuk-liuk.
Ayoh, Sultan, jangan kau beri aku malu, bisiknya pada kuping Sultan.
Melihat prajurit itu mengelak-elak juga, ia menjadi bersemangat. Tubruk, Sultan, tubruk, biar dia menjempalit!
Perkejaran itu berubah dari suatu latihan menjadi suatu pertarungan. Prajurit-prajurit mulai turun ke alun-alun untuk menonton. Kemudian orang lalulalang pun memerlukan melihat. Tanpa undangan dan tanpa pengumuman penonton semakin lama semakin banyak. Orang berjingkrak melompat-lompat, orang menahan nafas ketegangan.
Pada suatu tubrukan yang telah direncanakan kudanya, tinju bocah itu menggedabir mengenai angin. Dan demikian beberapa kali lagi terjadi.
Gelar naik pitam. Tak dirasainya lagi perutnya telah lapar, dan peluh kuda telah bercampur dengan peluhnya sendiri. Tidak, tidak mungkin dia dapat kupukul dengan tangan. Lengan ini terlampau pendek. Ia berpacu membungkuk dengan dua belah tangan erat-erat memeluk leher Sultan dan ia persiapkan diri untuk melakukan tubrukan yang menentukan.
Prajurit pengawal itu bukanlah anak kemarin. Dengan suatu elakan indah tubrukan dapat dihindari untuk ke sekian kalinya. Tetapi ia salah perhitungan. Tangan Gelar tidak melayang. Ia ayunkan badan dan menggaet leher prajurit itu dua belah kaki dan membikin jepitan sila.
Dua ekor kuda itu berpacu berjajar. Leher prajurit itu tetap dalam jepitan Gelar. Sorak-sorai menjadi riuh. Orang mulai mengagumi ke-tangkasaan pengendara muda belia itu. Dan tangan Gelar tetap memeluk Sultan.
Jatuhkan, orangmuda! jatuhkan!
Ia tak dengar sorak-sorai dan seruan. Kedua belah tangan dan bahunya telah terasa kelu dan ia sendiri bakal jatuh. Secepat kilat ia mengambil keputusan untuk menjatuhkan prajurit itu. Ia lepaskan jepitan sila dan secepat itu pula melayangkan tumit pada muka prajurit itu. Tak diketahuinya tumit telah masuk ke dalam rongga mata. Ia pun berayun kembali ke atas punggung kudanya. Penonton terdiam terkejut.
Ia sendiri masih siapkan kudanya untuk tubrukan yang terakhir setelah dapat melihat prajurit itu duduk goyah di atas kendaraannya.
Sudah! Sudah! Cukup! orang berseru-seru. Waktu tubrukan hampir berlangsung, mendadak Gelar menghentikan Sultan. Prajurit itu mulai miring. Tangannya yang sebelah memegangi matanya dan kepalanya menunduk miring ditarik oleh daya berat. Kudanya berjalan pelan-pelan, kemudian berhenti.
Gelar turun dan lari menyongsong. Dan orang-orang pun lari mendapatkannya.
Bodoh! bentak prajurit bergelang baja yang semalam. Tidak ada aturan menggunakan kaki.
Orang itu diturunkan dari kuda dengan muka berlumuran darah.
Gelar tak mendengarkan bentakan. Ia ikut menolong sambil memanggil-manggil Sultan yang telah ia lepas.
Binatang itu mengikutinya, berjalan pelan-pelan di belakangnya.
Bola mata prajurit itu telah keluar dari rongganya. Dan Gelar tak sampai hati melihatnya. Ia berdiri terpakukan pada tanah. Ia menyesal. Seluruh dendamnya menungging, dan belas-kasihannya muncul ke permukaan. Dan ia tak dapat berbuat sesuatu.
Hari itu kota Tuban digemparkan oleh berita tentang Gelar si muda belia, si penunggang kuda tanpa tandingan, Gelar anak Senapati Tuban, calon prajurit pengawal, calon Senapati, Gelar anak Nyi Gede Idayu. Temui dia dalam hidupmu: Dan penduduk kota Tuban, terdidik memuliakan kepahlawanan, datang berbondong-bondong mengunjungi bangsal pasukan pengawal kadipaten untuk mengelu-elukan sang perjaka pahlawan, anak kemarin yang bisa menjatuhkan seorang prajurit pengawal pada hari pertama jadi calon prajurit.
Sepanjang hari tiada berkeputusan orang datang untuk mengaguminya.
Kepala-kepala regu menjadi sibuk mengurusi para pengunjung. Mereka tahu, datangnya bondongan pengagum tak dapat dan tak mungkin dicegah karena memang sudah jadi adat yang mendarah-daging. Gadisgadis datang membawa bunga-bungaan untuk dijamah oleh si gagah-berani dan wanita-wanita bunting untuk menjamah tangannya agar anaknya kelak pun seperti itu juga gagahberaninya.
Tiga hari lamanya bangsal pasukan pengawal ramai dikunjungi orang. Buah-buahan, penganan, ikan laut dan daging perburuan, tuak, madu, telor datang bertumpuk di dalam dapur tanpa diketahui siapa pengirimnya. Dan tempat tidur Gelar tak pernah sunyi dari daun bunga yang ditebarkan.
Kemudian keadaan pulih kembali seperti biasa. Gelar tak mengerti mengapa sebesar itu penghargaan ditumpahkan kepadanya. Yang dirasainya hanyalah pemberontakan di dalam hati terhadap semua perlakuan kasar terhadap dirinya. Ia menolak semua kekasaran, dan ia bertekad untuk membalas dengan setimpal. Maka ia terus-menerus bersikap waspada, menyedari tak ada lagi kasih-sayang di lingkungannya yang baru. Tidak ada seorang ayah, seorang ibu dan adik, tidak ada seorang guru, tiada pula pembimbing. Yang ada hanya kekasaran, nafsu penganiaya dan penindasan.
Dan pengagungan orang sebanyak itu terhadapnya" Ia tidak mengerti. Ia bingung.Seorang prajurit lain yang ditugaskan untuk melatihnya memainkan tombak, sebelumnya telah memamerkan keunggulannya, baik dalam melempar mau pun menyerang dan bertahan jarak dekat, untuk mematahkan keberaniannya.
Dan anak muda desa manakah di Tuban tak tahu memainkan tombak" Juga Gelar tahu. Hanya lengannya belum cukup berotot Lemparannya kurang jauh dan permainannya kurang cepat
Juga pelatihnya mempunyai kecenderungan untuk menindas dan mengejeknya, mentertawakan dan menghinanya. Dan ia dapat raba semua itu dari sikap pelatihnya yang angkuh terhadapnya.
Prajurit pelatih itu tak mampu mengubah cara-cara Gelar yang dianggap salah menurut dasar ajaran. Ia tunjukkan kelemahan-kelemahan yang memberikan peluang bagi lawan untuk memasukkan serangan. Gelar tetap menolak tak mau mengikuti. Bukan ajaran itu yang ditolaknya, tetapi keadaannya sebagai sandera dan perlakuan terhadap dirinya.
Pelatih yang jadi jengkel tapi segan mengambil tindakan itu menghentikan latihannya, mendengus: Kepala kerbau! Apa"
Lepaskan cara lama. Salah semua.
Senapatiku lebih tahu daripada kau. Dia guruku. Senapati tak pernah dididik jadi prajurit
Dia sudah pimpin kau dalam kemenangan, bantahnya.
Kalau terus membantah, kau takkan jadi prajurit yang baik.
Dan siapa bilang aku harus jadi prajurit" Ada, yang jauh lebih berkuasa dari prajurit" Peduli apa"
Dan siapa kau kira bapakmu" pelatih itu jadi jengkel. Siapa lagi"
Senapati Wiranggaleng" Bukan! prajurit pelatih itu menggeleng-geleng dan berkecap. Siapa bilang Senapati itu bapakmu"
Semua orang. Pembohong! Tak ada orang pernah bilang begitu. Dan Gelar merasa kehormatan keluarganya telah dihinakan. Ia pun merasa dirinya sendiri dihinakan. Orangtuanya tak pernah bicara semacam itu, apalagi penduduk Awis Krambil selebihnya.
Prajurit itu tertawa dan Gelar semakin tersinggung. Memang Nyi Gede pernah melahirkan kau. Nyi Gede yang terhormat itu. Tapi Senapati bukan bapakmu. Tidak pernah! Coba katakan, apakah Wiranggaleng pernah mengatakan kau anaknya" Kau, pembohong!
Melihat Gelar mulai mengukuhkan pegangan pada tombaknya segera ia berjaga-jaga sambil tersenyum. Dan ia pun tahu telah menghinakankeluarga dan pribadi yang sedang dilatihnya. Juga ia tahu yang dihina itu takkan melupakan hinaan itu untuk seumur hidupnya.
Jangan mencoba-coba gurumu, pelatihmu, kata prajurit itu. Kalau bukan karena menghormati Sang Senapati dan Nyi Gede, kepalamu sudah pecah. Lepaskan tombak itu!
Cuping hidung bengkung Gelar sudah kembang-kempis sebagai halnya Idayu bila marah.
Kau marah. Pada waktunya yang tepat kau akan tahu Sang Senapati sungguh bukan bapakmu.
Tetapi Gelar sudah tak mendengar lagi. Darah yang telah menyesaki kepalanya membikin ia menjadi kalap dan menyerang dengan tombaknya.
Pelatih yang sudah sejak semula waspada itu mengelakkan semua serangan. Ia tahu, Gelar bersungguhsungguh hendak membinasakannya. Ia bersungguhsungguh bertahan.
Perkelahian dengan tombak adalah perebutan kesempatan untuk dapat melemparkan senjata pada tubuh lawan. Mata tombak hampir-hampir tidak dimainkan, tapi justru tangkai dua ujung yang silih ganti menyasar pada lengan untuk tidak dapat melemparkan mata senjata. Duaduanya tidak menggunakan tombak lempar, tapi tombak pengawal. Dengan tangkainya yang kuat dan panjang perkelahiannya menyerupai permainan sodor.
Gelar terus menyerang dan pelatih terus bertahan. Dalam suatu serangan yang keras pelatih itu melakukan tangkisan silang. Tombak Gelar terlepas dari tangan tanpa ia ketahui sebabnya. Ambil lagi tombakmu! perintah pelatih.
Gelar melompat memungut senjatanya dengan mata tak lepas dari tangan pelatihnya. Ia takkan biarkan dirinya terkena tipu. Bocah itu berkisar dan dengan cepat melemparkan tombaknya. Prajurit itu mengelak lebih cepat dan menangkap tangkainya, kemudian melemparkannya kembali pada Gelar dan jatuh menancap di antara dua kaki. Ambil tombakmu, perintahnya lagi.
Tanpa diketahui oleh Gelar, orang sudah datang merubung. Dan Gelar mulai melakukan serangan jarak pendek. Nafasnya telah terengah-engah dan gerak-geriknya seperti kutilang menyambali belalang, cepat, sulit untuk dapat diduga. Dan pelatih itu tetap tidak berkisar dari tempatnya. Si penyerang berputar-putar mengitari, melompat dan mengendap, berkelit dan menjuju.
Seorang kepala regu bergumam: Bukan orang, iblis kelaparan itu, kemudian memerintahkan: Selesai! Bubar!
Bersamaan dengan itu satu pukulan telah membikin jarijari Gelar tak dapat mencekam. Tombaknya terlepas jatuh ke tanah. Cepat ia mengambilnya kembali.Tombak itu jatuh lagi. Jari-jarinya seperti terbuat dari kayu.
Ia dengar tawa di sekelilingnya. Dan dendamnya serasa akan memecahkan dadanya.
Pulang! perintah kepala regu.
Semua bubar. Gelar berjalan paling belakang. Begitu ia memasuki bangsal ia disambut oleh wajah-wajah yang berseri bersuka-cita atas kegagalannya. Dan dendamnya bergumul bergulung-gulung dengan kemurungan.
Cepat-cepat ia naik ke atas ambin, menutup mukanya dengan bantal dan menahan tangisnya. Ia rasai airmatanya mengalir hangat pada mukanya. Ia marah pada diri sendiri karena tak bisa membinasakan pelatih itu. Dan ia ingin dekat lagi dengan emaknya, dengan bapaknya.
Dan ia dengar gelak-tawa berderai seperti takkan habisnya mengejek kegagalannya. Setiap kata yang mereka lepaskan ia rasai gatal, panas dan menggigit. Ia makin tidak mengerti mengapa semua orang memusuhinya, hanya karena tidak mampu mencapai apa yang telah dicapai oleh bapaknya. Tak ada sesuatu senjata di tangannya. Bila ada ia akan melompat dan mengamuk. Ia menangis. Ia kerutkan gigi karena amarah. Ia panggil-panggil emaknya dalam hatinya. Dan semua dewa yang pernah dikenalnya ia tuntut perlindungan dan kekuatannya. Ia tak dapat menenggang kekalahannya yang begitu mudah.
Hari ini takkan datang pengagum dan penyanjung! seseorang melengking ria.
Kalau bantal sudah tertutup mata . Itulah tanda hujan deras membasahi bumi . Dan ingin sekali ia membuang bantal dan berteriak ia tak takut pada siapa pun. Ingin ingin tapi seluruh tubuhnya menolak melakukan keinginannya.
Siapa bilang habis pengagum habis pula penyanjung" Lihat, seorang wanita datang membawa keranjang .
Mana Gelar, anakku" Gelar mendengar suara wanita suara lembut memanggil-manggil.
Itu, Bu, di ambin, sedang patah hati, tak mau makan. Ia rasai tangan halus seorang wanita merabai kakinya. Kemudian terdengar lagi suaranya: Gelar, anakku, bangun.
Gelar! Bangun, kau! kepala regu memerintah. Gelar menghela nafas panjang untuk mendamaikan perasaannya, bangun dan menemui wanita itu. Aduh, kau sudah besar begini, Gelar, sudah perjaka. Dan Gelar berhadapan dengan seorang wanita bermata agak sipit.
Perjaka! orang bersorak-sorak senang. Gelar duduk pada tepi ambin. Juga wanita itu. Aku baru dengar kau ada di sini. Nak. Lupakah kau padaku" Orang yang menyambut kedatanganmu yang paling mula, waktu kau dilahirkan"
Nyi Gede, bisik Gelar, lupa pada perasaannya yang kacau sebentar tadi. Ia turun dari ambin, bersujud dan menyembah.
Dan wanita itu merestuinya dengan usapan tangan pada kepalanya.
Kau sudah berdestar begini, katanya. Aku ikut mengantarkan Senapatiku berangkat. Tapi tak ada aku lihat dia. Kau pun tak kelihatan. Gelar. Mengapa pakaianmu begini buruk" Tak dibekali secukupnya dari rumah" Keterlaluan Idayu. Datanglah ke kesyahbandaran, Gelar.
Tidak boleh, Ibu, seseorang mencampuri. Anak yang luar biasa nakalnya ini tak diperkenankan meninggalkan asrama tanpa titah Gusti Adipati, kecuali kalau sedang latihan.
Tapi prajurit pengawal lainnya boleh, bantah Nyi Gede.
Ya, yang ini tidak. Baiklah, sambungnya. Ini kubawakan penganan sekedarnya. Kalau begitu akulah yang harus sering datang ke mari. Kau sudah punya kelengkapan prajurit. Gelar"
Tak ada satu pun padaku kecuali itu, ia menuding pada bungkusan pakaian.
Emakmu memang keterlaluan.
Apalah gunanya" Itu pun sudah cukup, Nyi Gede. Di rumah masih ada peninggalan Sang Senapati, pakaian, pedang dan empat bilah tombak. Nanti aku bawakan.
Jangan. Ibu. seseorang mencegah, ia hanya sandera, tak boleh punya senjata sendiri.
Sandera! pekik Nyi Gede Kati. Siapa bilang dia sandera" Tidak mungkin!
Aku yang bilang. Ibu. Kebenarannya tak dapat diragukan.
Apa kesalahan Wiranggaleng Sang Senapati" Pertanyaan itu tak terjawab. Setiap orang tahu artinya sandera: orang yang setiap waktu dapat dihabisi bila yang dilepas tak menepati tugas.
Gelar! Gelar! ratapnya tiba-tiba. Siapa yang menyebabkan semua ini"
Mendadak ia terdiam dan pandangnya terpusat pada sesuatu yang jauh. Berbisik meneruskan: Biar, Gelar. Sabarlah dulu. Biar aku urus, Nak, semoga berhasil ia mendehem. Tinggallah tenang-tenang di sini. Ia bersiap-siap, kemudian pergi bercepat-cepat. Tepat sebulan selama di dalam asrama datanglah beberapa orang dari Awis Krambil mengantarkan upeti. Mereka mampir untuk menemuinya: kepala desa dan para pemikul. Mereka membawakan untuknya pakaian dan perlengkapan prajurit: tiga bilah tombak lempar, sebilah pedang, sebuah perisai dari kayu sawo yang berukiran kala makara. Tetapi semua kelengkapan itu harus dibawa pulang kembali karena tidak diperkenankan. Beberapa lembar lontar yang terikat pada benang pilinan dan berujung jumbai adalah suara dari ibunya: Gelar, anakku. Kau harus mengerti keadaanmu. Kau dibuat jadi sandera untuk menjamin kesetiaan Senapati pada Sang Adipati. Maka jangan kau pikirkan emak dan adikmu. Jagalah dirimu sendiri baik-baik, Gelar, jagalah keselamatanmu. Kau sekarang sudah dewasa. Jangan titikkan airmata untuk dukacitamu, jangan kau permalukan Senapati dan emakmu. Belajar kau baik-baik, apa saja yang harus patut kau pelajari. Sebagai sandera tak ada seorang pun yang dapat melindungimu kecuali dirimu sendiri. Begitu kau memasuki asrama, kau sudah menjadi prajurit dan sudah dewasa. Maka itu aku meminta padamu, Gelar untuk mengerti satu hal. Satu hal saja, ialah, bahwa emakmu masih mengharapkan dapat bertemu denganmu, pada suatu kali, di mana saja. Emak tidak menengokmu di Tuban, dan jangan kau harapkan yang demikian akan terjadi. Demi sumpahku, Gelar.
Dan Gelar mengerti benar apa yang tersirat di dalam lontar itu. Ia rasai selembar sembilu menyayat dalam hatinya. Ia teguhkan batinnya. Aku akan bertemu dengan emak! Pada suatu tempat. Ia tak punya persediaan lontar. Ia berusaha mendapatkannya dari tamu-tamunya.
Kau tak ada hak untuk menulis surat! tegah kepala regunya. Jangan menulis.
Sampaikan sembah sujudku pada emakku yang mulia, katanya dengan suara keras menantang seluruh bangsal, telah kubaca lontarnya dan mengerti isinya, dan ia persilahkan tamu-tamunya pergi sambil beberapa kali mengucapkan terimakasih.
Orang-orang sedesanya melingkunginya dengan pandang belas kasih. Ia bercepat memunggungi mereka, dan waktu mereka telah pergi semua ternyata para prajurit sedang ramai-ramai membaca lontarnya.
Malam itu isi surat menjadi tertawaan seluruh bangsal, bahkan dari bangsal-bangsal lain orang ikut memeriahkannya.
Gelar diam saja, tak dapat berbuat sesuatu apa. Orangorang ini memperlakukan aku seperti itu hanya karena aku sandera, setiap waktu dapat mereka bunuh.
Surat itu sudah tak mungkin jadi miliknya lagi. Dan ia tak ingat semua yang tertulis di dalamnya, kecuali suara ibunya yang memanggil mendayu-dayu: pada suatu kali, di mana saja . Ia tahu, si ibunya mengharapkan pada suatu kali nentukan suatu kali itu dan di mana saja itu" Jelas bukan emaknya.
Aku sendiri, ia menentukan, tak lain diriku sendiri. Pada bulan berikutnya datang lagi penjenguk dari desa. Sekali ini kepala desa tidak ikut serta. Juga beberapa lembar lontar datang dan: Aku dengar banyak ejekan ditimpakan pada dirimu. Gelar, Aku sangat berprihatin. Kau dipanggilpanggil si betet. Mereka meringkus kau dan mempermainmainkan hidungmu, seakan-akan anakku tidak lagi mempunyai kehormatan dan harga diri, seakan-akan Senapatiku Wiranggaleng belum berbuat apa-apa dalam hidupnya, seakan-akan Idayu tak pernah mencapai sesuatu pun. Aku tahu kau merasa terhina, dan kau tahu tidak lain dari aku sendirilah yang merasa lebih terhina lagi. Orang tua-tua kita mengajarkan tentang kehormatanjdan harga diri. Itu di desa-desa, Gelar, di kota rupanya orang sudah tidak mengenal lagi ajaran itu. Sudah sering kau kuceritai tentang Rama Cluring dan guru-guru lainnya. Cerita-cerita itu tidak akan sia-sia. Lihatlah bapakmu! Tak ada orang lain yang perlu kau lihat kecuali bapakmu. Senapati Wiranggaleng adalah bapak yang terbaik untukmu. Tidak ada yang lebih baik. Tetaplah hormati dan cintai dia sebagaimana emakmu menghormati dan mencintainya, maka semua ejekan dan hinaan akan kalis. Kau lebih berharga untuk emakmu daripada seribu pengejekdan penghinamu. Si pengejek akan tinggal jadi pengejek Si penghina semakin menjadi hina sendiri untuk seumur hidupnya. Tapi kau, Gelar, anakku, akan tumbuh lebih berharga daripada mereka dikumpulkan jadi satu. Kau tak perlu membalas surat emak ini, karena aku tahu kau tak diperkenankan. Walau demikian Idayu tidak bicara pada si gagu-bisu, tanpa surat pun Gelar mengerti perasaan emaknya. Banyak-banyaklah berprihatin. Pada suatu kali di sesuatu tempat entah di mana. Yakinilah itu, dan jangan malas berdoa untuk bapakmu, jangan malas belajar untuk dirimu sendiri.
Gelar tak membalas surat itu. Ia sengaja tak meramahi para penengok, yang tak berpesan sesuatu pun sampai mereka pulang. Satu hal yang diketahuinya, ada seorang di dalam asrama yang suka membuang-buang waktu melaporkan segala sesuatu tentang dirinya melalui orang lain ataupun langsung pada emaknya. Dan ia kadang merasa berterima kasih kadang pun merasa malu karena perbuatan orang tak dikenal itu. Dan ia bermaksud mencari orang itu.
Ia kibar-kibarkan lontarnya dan berseru-seru menantang: Ayoh, barangsiapa mau merampas surat ini, ayoh sini!
Ia seperti seekor jago yang sedang berkokok. Dan ia tersenyum senang, senyum pertama selama dua bulan ini.
Tak ada yang tampil untuk merebutnya. Maka ia membacanya keras-keras, mengetahui surat itu tidak sepenuhnya tertuju pada dirinya, teta-pi juga pada pasukan pengawal pada umumnya. Dan orang-orang yang mendengar itu duduk menekur seakan sedang menghadapi taufan amarah dari Idayu sendiri. Juga kepala regu itu menunduk dalam.

Sesampainya di rumah Nyi Gede Kati dengan tak sabarnya menunggu-nunggu kedatangan suaminya. Dan begitu Tholib Sungkar Az-Zubaid datang segera saja ia menyerang: Tak ada orang lain yang dapat berbuat begitu kejam sejak semula daripada Tuan. Keji! Bahkan pada anaknya sendiri! Tuan malu punya anak seperti dia maka kau mau binasakan dia sebagai sandera,
Ada apa kau ini, Kati" Tholib Sungkar terheran-heran tak tahu sesuatu apa.
Hanya Tuan seorang yang sering menghadap Sang Adipati hanya kau!
Tholib Sungkar berubah airmukanya dipanggil kau dan bukan tuan. Apa kau ini" ulangnya tersinggung.
Kau telah menghasut. Kau! Kau bikin Gelar, anakmu sendiri, jadi sandera, tuduh Nyi Gede.
Dari rumah utama ini, ke rumah Idayu sana, dan lahirlah Gelar. Idayu sendiri yang berkata. Seluruh Tuban tahu ceritanya, semua tahu, siapa Gelar, kecuali Gelar sendiri barangkali, dan kau yang pura-pura tak tahu. Apa kau ini, Kati"
Tiga kali kau sudah ulangi pertanyaanmu, menunda sampai datang kebohongan baru kau buat dalam hatimu.
Tholib Sungkar Az-Zubaid mengambil tongkat dan berusaha menghindar. Wanita itu mencegahnya dengan ancaman hendak menyerangnya.
Betapa kau hinakan Idayu. Kau paksa dia mengandungkan anakmu selama sembilan bulan . Bohong! Tak ada cara begitu pada Sayid Habibullah Almasawa. Kau kira siapa Idayu dibandingkan dengan bidadari-bidadari lainnya"
Dan mengapa mereka kau tinggalkan, dan menghambakan diri pada raja dan negeri kecil yang selalu kau hinakan" Mengapa kau diam saja" Biar aku panggil tukangkebun untuk dengarkan pertengkaran ini. Stt. Mengapa orang luar harus ikut dengar" Dengarkan kata Idayu" Kaulah pula yang mengirimkan Wiranggaleng ke sarang Kiai Benggala biar terbunuh. Kati!
Kaulah yang mengada-ada mengirimkannya ke Malaka dengan hanya uang! Kaulah pula yang merampas Gelar dari ibunya yang sendirian di desa, untuk disanderakan dan dihabisi, biar kau terbebas dari tuduhan umum dan terbebas dari malu sendiri. Kau, buaya darat! Pembunuh dengan menggunakan kekuasaan orang lain! Katakan kalau semua itu tidak benar!
Tak satu pun benar, Tholib Sungkar menjawab tegas. Baik. Mari aku seret kau ke pelabuhan, biar aku tuduh kau di depan umum, Nyi Gede Kati menangkap tangan suaminya dan mulai menyeretnya.
Jangan begini. Kati. Jangan bikin malu. Wanita itu menyeretnya terus.
Aku pukul kau, Tholib Sungkar Az-Zubaid, Syahbandar Tuban itu melawan tarikan dan mengamangkan tongkat.
Nyi Gede Kati mendadak melepaskan seretannya dan Syahbandar itu jatuh terjengkang di lantai. Ia melompat mengangkang" dan menginjak kedua telapak tangan suaminya Syahbandar itu terkaing-kaing kesakitan. Jari-jari tangannya dirasai hampir remuk dan tak bisa melepaskan diri.
Hancur jari-jari ini, pekik Syahbandar, Biar remuk!
Aku tak bisa menulis lagi nanti, pekiknya. Tukangkebun berlari-lari masuk. Melihat tuannya sedang dikangkangi istrinya sendiri ia tak meneruskan niatnya, tapi segera menyurutkan langkah kakinya dan meruncingkan pendengaran di luar rumah sambil pura-pura bekerja mencabuti rumput.
Peduli apa" Aku sendiri nanti menghadap Gusti Adipati.
Jangan, jangan, lepaskan jari-jariku, Nyi Gede. Jadi kau mengaku menghasut, memfitnah, mencemarkan keluarga sebaik itu" Kau takut pada Wiranggaleng, maka kau carikan kuburan baginya di dalam jung. Kau kalah perbawa dari Idayu, maka kau rampas anak dan suaminya. Supaya dia menderita. Kau bagus, bagus sekali. Orang pandai dan tahu segala uang tak tahu tatasusila!
Nyi Gede Kati melepaskan akan injakannya dan menyepak kepala suaminya.
Syahbandar Tuban duduk dan memijit-mijit tangan. Dilihatnya tarbus merahnya terpelanting jauh. Ia jangkau tongkat dan mencoba mengaitnya.
Pelindung kepala mulia! Nyi Gede menyepak topi itu dan jatuh ke atas pangkuan suaminya.
Dua kali kau aniaya aku. Nyi Gede. Kaulah yang menganiaya mereka. Aku mau menghadap sekarang juga.
Tholib Sungkar melompat berdiri dan menubruk istrinya. Jangan, jangan, Gusti Adipati sedang gering. Menghadap Patih Tuban Sang Wirabumi. Jangan, Gusti Patih sedang ke Malaka.
Aku mau ke pasar dan sampaikan semua ini pada semua orang, ancam Nyi Gede.
Jangan Kati, jangan. Katakan saja apa maumu. Aku akan penuhi, Nyi Gede.
Mulut tak pernah bisa dipercaya begini!
Baik. Usahakan dalam dua bulan ini agar Gelar bebas dari sandera. Biar dia kemudian kembali ke desa dan berkumpul dengan emak dan adiknya.
Baik, baik, akan kuusahakan. Tapi bukan aku yang berkuasa. Kau sendiri tahu.
Usahakan, kataku. Aku tunggu hasilnya. Kalau dia sampai dihabisi dalam dua bulan ini, kaulah awas, kau tahu apa bakal terjadi atas dirimu.
Sejak hari pertengkaran itu kedua orang suami-istri itu tidur dan hidup berpisahan. Tholib Sungkar As-Zubaid terpaksa makan di warung dan menghabiskan hari-harinya yang menjemukan dengan minum arak. Ia pulang hanya di malam hari, apa pula kapal-kapal Atas Angin tak juga kunjung berlabuh.
Dan Nyi Gede Kati tak lagi menegurnya. Dipasangnya selembar papan di ruangkerja suaminya, dan diguratkannya satu coretan setiap hari.
Dan sudah beberapa kali Syahbandar menghadap untuk mendongeng. Ia tak juga persembahkan sesuatu tentang nasib Gelar.
Nyi Gede tak pernah menanyakan. Ia hanya menunggu coretan yang ke enam puluh, dan ia akan bertindak.
Dan Tholib Sungkar Az-Zubaid memang tak ada maksud untuk mempersembahkan sesuatu kecuali membuai Sang Adipati dalam dongengan .

Memasuki bulan ke tiga Gelar dianggap lulus dalam naik kuda dan mempergunakan tombak di atas tanah.ua pelajaran yang harus ditempuhnya dalam dua bulan mendatang adalah memainkan tombak di atas punggung kuda dan mempergunakan cambuk perang.
Dalam dua bulan itu ia belum juga memperoleh seorang sahabat. Seorang sandera menduduki tempat terhina dan terendah dalam tata hidup Tuban. Sahabat seorang sandera dianggap pula orang hina dan dijauhi. Dan kini ia berdiam diri bila diejek. Dan siapa pula tidak mengejek dan menghinanya" Tampangnya adalah lain dari pada yang lain. Bila kulitnya agak cerah, tua, dan tidak lima jari lebih rendah, orang akan bertemu dengannya sebagai Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Almasawa. Bila ia teringat pada sesuatu yang lucu di rumah dulu dan tersenyum, bahkan senyumnya pun sama dengan tuan Syahbandar sewaktu dia masih bayi.
Apakah bedanya dibunuh sebagai bayi dengan sebagai sandera"
Darah Gelar tersirat Ia tak ragu-ragu lagi sekarang akan sindiran orang, bahwa ia dianggap sebagai anak tuan Syahbandar, bahwa emaknya tidak mempunyai kesetiaan pada Sang Adipati, bahwa setiap waktu ia dapat dibunuh.
Suara ibunya terdengar semakin keras mendayu-dayu: Emaknya masih mengharap dapat bertemu denganmu. ada suatu kali, di mana saja. Hanya ibunya dan hanya adiknya yang sekarang ini mencintainya. Ia ragu-ragu pada cinta Sang Adipati. Mak, aku dengar suaramu, Mak! Aku dengar! Anakmu tidaklah tuli. Tunggulah aku, Mak.
Gelar mengaduh, meliuk-liuk pinggang,, merintih, purapura sakit perut, la keluar untuk pergi ke belakang. Hari terang bulan. Beberapa orang dipapasinya. Ia berlari-lari kecil sambil mengaduh. Makin jauh berjalan, makin sunyi
Di tempat pembuangan air ia dapati masih ada seorang di sana. Ia menunggu sampai orang itu pergi. Kemudian sebagai pencuri ia mengendap-endap mendekati kandang kuda.

Sultan! Sultan! bisiknya memanggil-manggil. Binatang yang dipanggilnya bangun berdiri dan meringkik pelahan.
Gelar masuk ke dalam kandang, menariki palang-palang pintu, memeluk kuda itu pada lehernya, dan membawanya keluar. Palang-palang ia pasang lagi. Sekali lagi ia peluk leher kuda itu, berbisik: Bawa aku pulang. Sultan, jangan gusar, perjalanan jauh, malam pula. Jangan tidur malam ini. ia melompat ke atas, tanpa abah-abah, tanpa sanggurdi.
Bocah dengan kudanya yang tinggi besar itu mulai berjalan lambat-lambat meninggalkan daerah kandang, memasuki padang alang-alang. Setelah jauh dari daerah perumahan Gelar memacunya ke jurusan jalanan negeri Malam terang bulan itu tiada angin meniup. Pepohonan berdiri tenang seperti tak tumbuh di atas bumi. Langit tiada berawan. Dan bintang-bintang redup bertebaran enggan di angkasa bening. Bulan itu seakan tidak akan pernah berkisar dari tempatnya. Semua seperti batu. Yang bergerak hanya kaki kuda yang menderap cepat dan debu yang mengepul di belakang.
Dari suatu jarak terdengar gonggongan anjing hutan. Gelar tak mendengar. Yang terdengar hanya suara emaknya dan nafas Sultan. Ia tak perlu menengok ke belakang. Yang di depan adalah hidup dan kebebasan, yang di belakang adalah maut dan penindasan.
Dan Sultan akan jauh lebih cepat dari para pengejarnya, biarpun ditambah dengan tiga lemparan tombak.

Berlanjut kebagian 33. 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar