Jumat, 18 November 2022

Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer #29/44


Arus Balik. 
Karya : Pramoedya Ananta Toer.

Bagian 29.

Lahirnya Persekutuan Rahasia
Sebelum Aji Usup menghadap Adipati Tuban sebenarnya telah terjadi sesuatu yang penting baik di Jepara maupun Demak. Dan kejadian itu adalah demikian: Memang tiada seorang pernah menduga, Sultan Trenggono sudi bersujud pada kaki Ratu Aisah, bahkan mencium kaki tua itu tiga kali berturut-turut. Ia masih tetap bersujud waktu Ratu Aisah telah pergi meninggalkannya.
Sultan menegakkan badan dan agak lama masih juga diam berlutut. Waktu ia berdiri orang melihat matanya merah. Tanpa bicara dan hanya dengan menuding dengan cambuk kuda ia menuju ke luar rumah diiringkan oleh semua pembesar pasukan kuda.
Sampai di pelataran Sultan masih memerlukan menghadap pada rumah itu dan sekali lagi mengangkat sembah dalam tegak berdiri. Kemudian ia menaiki kudanya.
Dan pasukan kuda itu pulang ke Demak meninggalkan kepulan debu tanah Jepara di belakangnya.
Tak ada yang tahu apa sesungguhnya telah dibisikkan oleh ibu dan anak yang nampaknya begitu mesra itu. Perdamaian, orang menduga. Kalau perdamaian itu tak lain artinya daripada terjadi kompromi antara dua pandangan dan dua pendapat. Bagaimana bentuk kompromi itu" Orang pun tak tahu. Dan orang menduga-duga, armada Demak akan jadi menyerang Malaka sedang pasukan darat yang tertinggal akan mencekam seluruh pulau Jawa, dari Blambangan sampai Pajajaran. Kompromi kira-kira, orang menduga, adalah pedang bermata dua: Demak akan menyerang Malaka sekaligus menguasai Jawa.
Dugaan-dugaan itu terbantah sendiri oleh keraguan bahwa Demak takkan mungkin mengeluarkan biaya sebanyak itu.
Tetapi di luar Demak, kecuali Tuban yang masih dalam keadaan lelah sehabis perang dalam negeri, ada kompromi atau tidak antara Sultan dengan Ratu Aisah. Demak tetap dianggap sebagai kepundan yang setiap waktu akan melanda seluruh Jawa. Mereka menegangkan kesiagaan dan melatih balatentaranya masing-masing. Seluruh Jawa, kecuali Tuban, siap dengan persiapan perang. Beberapa orang bupati -apalagi mereka yang punya ikatan darah atau perkawinan sudah pada membikin persekutuan militer untuk menanggulangi muntahnya kepunday. Dengan adanya persiapan-persiapan itu orang menaksir Tuban sebagai negeri yang paling lemah, akan menjadi mangsa pertama dari Trenggana.
Para bupati pesisir sudah pada mengeluarkan larangan kapalnya untuk menyinggahi Jepara. Akibatnya Jepara terkena boikot dari Jawa sendiri.
Di Malaka, berbulan-bulan lamanya para pembesar Portugis mencoba menemukan apa sesungguhnya diucapkan dalam babak terakhir muan antara Sultan dan Ratu. Mereka berpendapat, berlainan umumnya di Jawa, bila ibu dan anak itu berdamai dalam kesepakatan berarti bersatunya dua pendapat: persekutuan antara raja-raja Nusantara seperti diimpikan oleh Unus ada kemungkinan bisa terlaksana, dan bila demikian halnya nasib belah bumi bagian selatan ini sudah dapat diramalkan.
Portugis akan terusir dari Malaka, Pasai, maluku dan seluruh perairan nya. Perdagangan rempah-rempah sampai Goa seluruhnya akan jatuh ke tangan Pribumi atau saudagar Atas Angin. Perdagangan dan jalanlftra antara Jawa dan Malaka boleh jadi akan jatuh seluruhnya ke tangan Pribumi.
Berdasarkan pendapat itu mereka mengambil tindakan membatasi lagi pelayarannya ke Maluku, tidak lagi memasuki perairan Jawa, dan dipusatkan kekuatannya pada garis Pasai-Malaka, membentuk bentengan laut yang tak bakal kena terjang.
Di Demak sendiri berita-berita tentang pertikaian antara Sultan dan Ratu menjadi padam.
Apakah benar Trenggono akan melaksanakan perang dengan pedang bermata dua" Mengapa Sultan tiba-tiba nampak tak begitu peduli pada pasukan kuda dan pasukan kaki" Sebaliknya, mengapa Jepara sekarang jadi sibuk lagi dan penggalangan kapal-kapal perang digiatkan kembali seakan armada itu sudah akan terangkatkan dalam setengafctujgR mendatang" Bila benar demikian, bukan itu berarti kemenangan mutlak bagi Ratu Aisah" Sebaliknya juga berarti kekalahan bagi Trenggono" sedang bila Ratu yang menang mengapakah belum juga nampak ada usaha kearah persekutuan dengan raja-raja Nusantara.
Maka orang pun dengan cucuknya menunggu-nunggu apakah amanat Sultan Demak.
Dan benar, Sultan mengeluarkan amanat, yang berseru pada para raja dan bupati di Jawa dan Nusantara untuk bersahabat dengan Demak dan untuk bersekutu melawan Peranggi.
Tetapi para penguasa di Jawa tak ada yang menanggapi seruan itu. Mereka pada umumnya menganggap seruan itu sebagai suara khianat dari neraka. Pendapat umum di kalangan prajawan di Jawa adalah: dengan armada gabungan yang akan dibentuk Demak akan dapat mengurangi penggunaan kekuatannya sendiri, memperbanyak kekuatan darat yang ditinggalkannya dan akan menerkam tetangga-tetangganya sendiri dari punggung mereka. Khianat! Khianat! Bukan saja mereka tidak menggubrisnya, bahkan memperuncing kewaspadaannya.
Hanya Adipati Tuban tidak menanggapi semua itu. Ia sibuk dengan persoalan pribadinya sambil menunggu datangnya Sang Maut. Ia sama sekali tidak tahu. Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi telah membikin persiapan-persiapan di perbatasan untuk menggasak membeludaknya pasukan darat Demak. Ia tahu Demak pada suatu kali akan menyerang. Maka ia pasang pasukan kaki dari penduduk sebelah barat Tuban yang dikenakan wajib militer. Ia sama sekali tak gentar terhadap Demak, yang dinilainya tak punya kekuatan gajah. Ia tak tahu, bahwa Demak menganggap enteng pasukan gajah Tuban, yang takkan mungkin menempuh jarak jauh untuk mempertahankan perbatasan. Tapi Kala Cuwil juga yakin dari bukti-bukti dalam sejarah, bahwa pasukan kuda yang sekuat-kuatnya tak pernah bisa menghancurkan pasukan gajah. Demak tak punya dasar untuk menentang Tuban. Hanya raja gila atau nekad berani berbuat demikian. Apalagi pedalaman Tuban sudah mulai pulih kembali dan bandar pun mulai sedikit hidup.
Sang Adipati yang hanya sibuk dengan persoalannya sendiri merasa sangat aman dalam penjagaan Kala Cuwil. Wiranggaleng merasa telah diusirnya tanpa ampun ke desanya kembali. Jauh dari para kepala pasukan ia takkan berdaya sedikit pun. Dia sudah pergi dan para kepala pasukan tak dapat berbuat apa-apa. Dia pun takkan berbuat apa-apa. Dia pun tak bisa berbuat apa-apa di pedalaman sana. Dia akan kembali jadi petani biasa tambah tanpa sesuatu kekuasaan dan pengaruh. Tetapi ia teringat pada Gajah Mada dan Ken Arok kadang timbul pernyataan dalam hatinya: siapa dapat meramalkan apa akan diperbuat, oleh seorang anak desa dungu dan pelancang justru karena dungunya" Dan ia serahkan semua persoalan pada Kala Cuwil juga. Patih yang bijaksana itu akan tahu apa harus diperbuatnya. Biar demikian sesalannya, bahwa anak desa pelancang itu justru dicintai dan dihormati para kawula suka menyesakkan dadanya. Dan ia mengakui tak berani menyingkirkan dari muka bumi.
Maka sekarang ini, sekiranya Demak datang padanya minta tenaga untuk keperluan apa pun, untuk menggempur Malaka, Blambangan ataupun Pajajaran, ia akan serahkan anak desa itu agar tumpas di negeri orang. Barulah duri ini akan hilang dari hari-harinya yang terakhir.
Kala Cuwil mempersembahkan amanat seruan Sultan Trenggono dalam kamar peraduan. Seruan itu adalah laksana lambaian tangan dari sorga. Ia titahkan Sang Patih untuk menunggu datangnya utusan resmi. Tuban tak perlu menjawab. Hanya utusan yang bisa jadi bukti adalah Demak menghormati Tuban atau tidak. Bila dia datang, ia akan mengia kan dengan baik. Tapi sekiranya Demak memukul Tuban secara khianat ia pun sudah sediakan jawabannya: Wiranggaleng akan diangkatnya secara resmi sebagai Senapati Tuban.
Di Demak sendiri, tak lain dari Trenggono yang puas melihat reda nya desas-desus dan pertikaian anak di antara kawulanya. Sekarang yang harus menanggalkan anggapan, bahwa ia seorang anak yiang mursal terhadap ibu. Reda, reda di Demak. Sekarang ia tinggal menunggu kunjungan balasan dari Gusti Ibunda Ratu. Bila itu terjadi, insya Attain semua pendapat akan menyokongnya, di Jawa maupun di luarnya. Kemenangan mutlak akan jatuh ke tangannya.
Di Jepara Ratu Aisah meneruskan kesibukannya dengan masjid Mantingan. Bangunan itu masih juga belum dibuka. Ia akan membukanya nanti sebagai peringatan berangkatnya armada gabungan menyerang Malaka, mungkin juga Pasai, sebagai kenang-kenangan.
Pada salah satu kunjungannya pada mesjid yang belum dibuka itu ia dapatkan Liem Mo Han sudah berdiri menunggunya.
Wanita tua itu menyukai tembikar, apalagi yang tipis seperti kain dengan gambar biru yang nampak bukan berasal dari dunia. Sebalik-nya Babah Liem suka bercerita tentangnya, bagaimana membuatnya, apa bahan-bahannya, dan warna cat tembikar mana yang mengandung racun.
Juga sekali ini: Sahaya sudah banyak menjelajah negeri orang lain Gusti, juga negeri Peranggi sendiri. Belum ada bangsa lain selain leluhur sahaya yang bisa bikin tembikar semacam ini, yang membikin cniipp ini lebih indah dan berharga. Tembikar-tembikar ini, Gusti, dibikin menurut kesukaan Gusti Ratu, bukan hal dibikin dan dipasang. Maka jadilah semua ini lambang, bahwa semua orang Tionghoa di semua Bandar di Jawa menyokong Gusti Ratu, sama seperti kami menyokong Gusti Kanjeng Sultan Al- Fattah dan Gusti Kanjeng Unus almarhum .
Ratu Aisah senang mendengar keterangan itu. Mata tuanya bersinar sinar. Bagaimana pun nama-nama itu begitu dekat dengan hatinya, la mencintai suaminya almarhum dan putranya almarhum.
Kiranya tak ada yang salah dalam kata-kata persembahan sahaya Gusti Ratu. Semua ada terentang dalam khasanah Kelenting Sam Po Khong di Semarang. Tulisan tidak berubah, Gusti, biarpun kata lisan bisa berganti dan berbeda-beda. Juga kami menyokong penghalauan atas Peranggi dari belah bumi bagian selatan ini .
Mereka masuk ke dalam bangunan, meneliti relief itu satu per satu untuk ke sekian kali. Kemudian mereka berhenti pada sebuah relief yang menggambarkan seorang wanita yang sedang menari. Kembali Liem Mo Han mempersembahkan keterangan.
Ini, Gusti Ratu, yang baru dipasang adalah gambar seorang penari dari Mantingan ini juga, yang pertama-tama taubat dan menjadi Islam. Di negeri leluhur sahaya. Gusti, wanita juga suka menari seperti di sini: Kadang-kadang juga tampil sebagai panglima perang .
Mendengar kata-kata terakhir itu Ratu Aisah tak jadi bicara tentang gambar penari itu.
Pernah kami berangsur-angsur, Babah, bisiknya, ah, terengah-engah, sekarang ia tertawa, berangsur-angsur sekiranya jadi pria. Tidak, bukan kami hendak menyalahi ketentuan Allah s.w.t. hanya berangan-angan sekiranya kami pria, ada praja di tangan .
Dengan kewibawaan Gusti Ratu, tanpa Gusti sendiri . Liem Mo Han menggarami, Kanjeng Gusti Unus almarhum sudah melaksanakan .
Kau betul Babah . Kanjeng Gusti Itu sudah mempersiapkan armada besar dulu, sudah menyerang Malaka. Sebelum wafat dipersiapkannya lagi, lebih besar. Bukankah hanya dengan kewibawaan Gusti Ratu armada itu bisa bergerak, berlayar, dan membawa tugas yang megah dan agung" Menyelesaikan yang belum terselesaikan oleh Kanjeng Gusti Unus Bukankah armada itu tidak akan diubah jadi armada nelayan, Gusti" Sampai punya pikiran begitu macam"
Ampun. Gusti, jangan menjadi kegusaran Gusti, karena sayang sekali bila demikian nanti akan jadinya .
Armada itu adalah amanat, wasiat, untuk dikirimkan ke Malaka, Babah .
Seorang calon penunggu mesjid mendengarkan semua pembicaraan itu. Melalui dialah berita tentang percakapan itu tersebar ke seluruh negeri, membangkitkan kegusaran pada pasukan kuda dan pasukan kaki Demak.
Tidak lebih dari lima belas hari kemudian seorang yang tidak dikenal telah menghadap pada Ratu Aisah, mempersembahkan: Demak berada dalam keadaan gelisah. Setiap saat Sultan Trenggono bisa jatuh karena pembangkangan. Bahwa sumber kegelisahan adalah Gusti Ratu Aisah sendiri yang pernah menyatakan Demak akan menyerbu Malaka, menyalahi persetujuan Sultan dan Ratu dalam pertemuan terakhir.

Tak lain dari Ratu Aisah sendiri yang mengetahui. Trenggono seorang berhati keras, tak ragu-ragu membunuh abang sendiri untuk dapat melaksanakan impiannya. Ia bukan seorang yang lincah, tidak bisa berbelit-belit. Maka penghadap itu tidak mungkin utusan Trenggono yang sederhana pikirannya itu. Ia menduga orang itu utusan dari pasukatt kuda Demak. Dan bila demikian halnya Trenggono yang kurang cerdik itu terjebak dalam taman pasukan kuda kebanggaannya sendiri. Sultan berada dalam bahaya. Memang!
Ia memutuskan untuk membuat kungkungan balasan. Liem Mo Han mengambil tempat di dekat rana berukir. Ratu duduk sambil mengunyah sirih. Tak ada biti-biti atau inang di sampingnya.
Atas pertanyaannya Babah Liem menerangkan: Kami semua menyokong Gusti Ratu. Bagaimana bisa lain daripada itu Gusti", peranggi adalah juga musuh kami bersama. Mereka mengganggu pelayaran perdagangan kami se-Maluku dan perairannya. Banyak kapal kami ditenggelamkan dengan atau tanpa pembajakan sebelumnya. Itu belum lagi semua. Sekarang mereka membuka pangkalan di Sulawesi utara. Perairan mulai dari situ terus ke utara juga hendak dirajainya. Perairan Tiongkok Selatan sendiri pun sudah mulai digerayangi. Dua bangtjji celaka, Gusti, Peranggi dan Ispanya, harus dihadapi bersama-sama .
Ya, dihadapi bersama seperti pendapat Unus almarhum . Tetapi bukan itu yang diharapkan oleh Ratu Aisah. Yang dikehendakinya adalah bagaimana ia harus hadapi Sultan dalam kemungkinan pembangkangan pasukan kuda. Dan ia tidak berani terang-terangan mengatakan.
Dalam usaha penghalauan Peranggi, Gusti, tak ada orang lain yang mampu melaksanakan kecuali orang yang bernama Wiranggaileng. Telah dia tumpas perusuh Kiai Benggala di Tuban dalam hanya beberapa minggu. Dia pun telah jalankan berbagai tugas dengan baik. Tapi sekarang dia sedang diusir dari praja Tuban .
Dan beralihlah pembicaraan pada Wiranggaleng. Apakah benar pendengaranku, Babah, dia hanya anak desa" Jangankan memimpin pertempuran laut, berlayar pun tak pernah .
Dan Liem Mo Han jadi berkobar-kobar: Tidak benar, Gusti. Orang yang bernama Wiranggaleng pernah ikut gugusan Tuban, ke Malaka mengikuti armada Jepara, Gusti.
Di bawah Raden Kusnan"
Tidak keliru, Gusti. Kalau sahaya tak salah, orang itu pernah memikul tandu almarhum Gusti Kanjeng Unus waktu mendarat di Jepara dari kapal bendera. Dialah yang memimpin pulang gugusan Tuban dari Jepara. Diangkatnya anak desa itu jadi kepala pasukan laut Tuban. Setelah jadi Patih Senapati Tuban dan mengalahkan Kiai Benggala dia di usir dari praja .
Apa kesalahannya, Babah"
Kesalahannya adalah karena dia hanya anak desa . Ya-ya, aku mengerti. Babah. Kau sangat menghargai anak itu. Mungkinkah dia berani menghadapi Peranggi di laut"
Dia pernah perintahkan pasukan pengawal Tuban mengusir kapal Peranggi. Sahaya sendiri ikut menyaksikan. Gusti, kapal itu dipimpin oleh Peranggi berangsangan bernama Francisco de Sa. Peranggi menembaki Tuban dengan meriam .
Peristiwa itukah yang kau maksudkan"
Ya, Gusti, peristiwa yang menggemparkan semua bandar di Jawa itu. Gusti. Tuban membalas dengan enteng. Bukan karena Tuban dapat menenggelamkan kapal Peranggi itu yang sahaya nilai, tetapi kepandaian Wiranggaleng dalam mengatur dan menggunakan balatentara yang ada padanya bisa menghadapi Peranggi, di laut, di darat, di mana pun .
Jadi dia mungkin berani hadapi Peranggi di laut" Bukankah tak perlu benar Peranggi dihadapi di laut, Gusti" Mereka harus diusir dari darat. Tepat seperti rencana almarhum Gusti Kanjeng Unus, mendarat di utara Malaka, dan dari sana bergerak ke selatan, langsung menyerang sarang Peranggi. Suara Liem Mo Han kehilangan kobarnya dan menjadi rendah berangguh-angguh. Kalau Gusti Ratu menyerahkan tugas pada sahaya untuk membujuk Gusti Adipati Tuban untuk ikut bergabung, sahaya sanggup, Gusti .
Jangan, Babah. Itu bukan urusanmu. Berikan saja padaku Wiranggaleng .
Percakapan itu tidak mencapai maksud sebagaimana diharapkan oleh Ratu Aisah. Ia harus memecahkan sendiri bagaimana sebaiknya menghadapi Sultan. Di bawah tekanan pasukan kuda yang menolak perang laut, ditambah dengan kekerasan hati sultan sendiri sejak kecil bila menginginkan sesuatu pasti Trenggono akan meneruskan niatnya menguasai seluruh Jawa. Ia harus datang berlembut-lembut sebagai seorang ibu kepada anak, bukan sebagai Ratu Aisah terhadap Sultan. Ia akan berusaha membujuknya untuk melaksanakan penyerangan ke Malaka.

Waktu tandunya memasuki perbatasan kota Demak, satu regu pasukan kuda menjemputnya. Mendekati istana, satu rombongan gendang mengelu-elukan bersama dengan sebarisan pembesar. Di alun-alun barisan-barisan berkuda, mungkin terbesar yang pernah di lihat di Jawa selama ini, menyambut kedatangannya. Dan barisan-barisan itu kemudian bergerak mengiringkannya.
Melihat sambutan yang berlebih-lebihan itu Ratu Aisah mengerti, semua telah diatur menurut kehendak pasukan kuda, akan dipaksa untuk bicara secara resmi dalam balairung penghadapan. Sultan Trenggono menyambutnya dari atas singgasana, turun dan membimbingnya duduk di atas singgasana permaisuri.
Wanita tua itu mengelakkan semua basa-basi istana, ia membisu tentang praja. Ia justru menyatakan datang ke Demak hendak menentui cucu-cucunya, dan turunlah ia dari singgasana permaisuri.
Penghadapan bubar dengan kekecewaan.
Trenggono mengikuti Ratu Aisah dari belakang. Dan wanita tua itu langsung menuju ke taman dalam. Juru taman telah menyingkir dan disanalah ia hadapi Sultan sebagai seorang anak.
Trenggono, anakku. katanya lembut. Aku tahu sejak kecil kau kepala batu. Kepala batu memang tidak apa-apa kalau masih kanak kanak. Kau bukan kanak-kanak lagi. Kau seorang Sultan. Majelis sudah tak kau dengarkan lagi. Ibumu sendiri pun tidak. Kau bertanggung jawab atas kematian abangmu. Baiklah kalau itu sudah jadi kehendakmu. Tetapi yang kudengar belakangan ini kau tertekan oleh kehendak pasukan kuda, yang kau sendiri telah perbesar, kau timang-timang dan kau anak emaskan secara menyolok, berlebih-lebihan .
Tidak benar, bunda. Sahaya memang kepala batu. Tapi tidak benar pasukan kuda bisa menekan sahaya, apalagi menelan. Takkan sahaya lupakan ajaran keprajuritan, sekalipun berasal dari jaman jahiliah, bahwa tanpa perang pasukan yang besar akan jadi penyakit praja.
Jadi kau akan segera membuat perang" Trenggono tidak menjawab.
Baiklah kau tak menjawab. Jadi kau akan segera menyerang, itu hak seorang raja. Namun jangan lupa pesanku: Malaka.
Ratu Aisah pulang kembali ke Jepara tanpa penghormatan pasukan kuda. Ia membawa janji Sultan, bahwa ia akan mengirimkan armada ke Malaka dalam jumlah tidak sebagaimana direncanakan oleh Unus.
Ia pun membawa oleh-oleh: seorang cucu perempuan, anak Trenggono .
Tetapi yang terpenting dibawanya adalah kekecewaan: kekuatan yang dijanjikan untuk menyerang Malaka terlalu kecil. Jadi Sultan akan tetap menyerang saudarasaudaranya, tetangganya untuk dapat menguasai Jawa.
Tak ada jalan lain dalam meneruskan cita-cita putranda tercinta Unus daripada sekutu-sekutu perang. Trenggono nyata sudah tak dapat di harapkan. Dengan hendak menguasai Jawa ia justru merusak persekutuan untuk menyerang Malaka. Ia akan tetap mencoba dan berusaha, Bila takkan didapatkannya sekutu Jawa, akan dicobanya di luar Jawa; Sumatra, Sulawesi, Kalimantan. Dan kalau semua toh itu gagal juga, ia masih ada cucu perempuan. Ia akan mendidiknya jadi pelaksana cita-cita Unus.
Demikian ia memasuki Jepara membawa kekecewaan di satu pihak dan harapan di lain pihak. Dan di Jepara yang ditemuinya adalah kesunyian. Persiapan armada telah berhenti, sepi lagi seperti kehabisan angin. Namun ia tetap tidak putus asa, justru makin meluap.
Dengan bantuan Liem Mo Han terjadilah persekutuan rahasia dengan Aji Usup, seorang pengikut Adipati Unus yang setia.
Aji Usup adalah kepercayaan almarhum putranya. Ia mempunyai pengaruh besar di kalangan praja dan golongan agama. Beberapa tahun sebelum penyerbuan Unus ke Jepara ia telah menunaikan rukun Islam ke lima dan telah menjelajah ke negeri Arab. Ia juga penasihat Unus tentang persoalan manca praja.
Liem Mo Han seorang pemuka serikat rahasia Nan Lung, Naga Selatan, yang mengikat para keturunan awak armada Ceng He, juga seorang penghubung Semarang dengan raja-raja di Jawa.
Ratu Aisah adalah seorang tokoh yang sangat dihormati dan didengarkan di seluruh negeri Demak dan Jepara.
Dan persekutuan ini bermaksud hendak meneruskan usaha pembebasan Malaka pada satu pihak dan pada pihak lain hendak menggagalkan rencana Trenggono untuk menindas bupati dan raja-raja merdeka dalam usahanya untuk menguasai Jawa.
Jalan yang ditempuh oleh persekutuan rahasia adalah menyiarkan tentang kejahatan kekuasaan Portugis dan akibat buruknya terhadap Nusantara seluruhnya, jahatnya rencana Trenggono yang hendak memerangi saudarasaudaranya sendiri.
Penyiaran itu dilakukan melalui nakhoda dan awak kapal yang akan berangkat meninggalkan bandar Jepara dan Lao Sam.
Dengan pengaruh yang ada padanya Aji Usup meniupkan semangat baru pada pasukan laut Demak yang berkedudukan di Jepara dan lebih suka disebut pasukan laut Jepara. Ia telah berhasil membikin pasukan laut itu mengambil sikap bila Trenggono tetap menganak-tirikan mereka, mereka akan bikin Jepara memisahkan diri dari Demak, dan membikin Demak jadi segumpal tanah lempung tandus tidak berarti.
Pasukan laut Jepara telah merupakan satu kebulatan. Bila Trenggono mulai menindas bupati-bupati merdeka, mereka pun akan mulai memisahkan diri dari Demak.
Beberapa kali Liem Mo Han memperingatkan Aji Usup agar tidak mengulangi kekandasan armada Dampo Awang yang tidak bisa kembali pulang ke pangkalan. Karena itu pemisahan harus dilakukan tidak pada waktu Trenggono mulai menyerang tetangga-tetangganya, tetapi pada waktu ia menjadi kewalahan. Dalam keadaan demikianlah kemungkinan pemisahan diri dan melepas armada ke Malaka takkan menemui rintangan..
Setelah persekutuan rahasia mendapat kata sepakat dalam semua pokok, Aji Usup meninggalkan Jepara dan menghubungi para bupati merdeka di Jawa, Sumatra dan Sulawesi Selatan.
Dan ia kembali dengan semangat rendah. Pada umumnya para bupati merdeka dan raja-raja, yang dihubunginya, menolak. Mereka tak menyukai kepongahan Trenggono. Dan mereka menilai sultan baru itu kepala batu, dungu, dibandingkan dengan abangnya, dan kegiatan yang terpokok hanya menghancurkan segala yang telah dibangun oleh abangnya. Dan Aji Usup mewakili siapa" Bukankah Jepara pangkalan pasukan laut Demak"
Walau demikian Aji Usup, yang selalu menggunakan nama Trenggono dan Ratu Aisah, telah menerima kesanggupan dari dua orang raja: Bugis dan Aceh. Pada waktu yang akan ditentukan pasukan-pasukan Bugis akan menunggu armada Jepara tiba di Aceh. Sekutu lain Demak, Jambi, dengan menyesal menyatakan takkan dapat ikut serta.
Persekutuan rahasia itu menganggap, kesanggupan Aceh Bugis telah memadai untuk tingkat permulaan. Dan Aji Usup akan menghubungi sekutu lama di Jawa: Tuban.
Persekutuan juga telah sepakat untuk menampilkan Wiranggaleng sebagai pimpinan pasukan-pasukan gabungan dari Jawa.
Mereka tinggal menunggu Trenggono menyerbui tetangganya dan kewalahan.

Trenggono kemudian mengetahui juga sikap pasukan laut di Jepara. Takut pada perpecahan menyebabkan ia menjadi ragu-ragu. Tetapi pasukan kuda terus menerus mendesak untuk segera menyerang, la tahu dirinya mulai tidak berdaya, terjepit di antara dua kekuatan, yang duaduanya sedang bersemangat perang. Tanpa pasukan laut dan tanpa armada, Peranggi sudah lama akan membalaskan dendamnya terhadap Demak. Ia tak boleh melihat Jepara dengan sebelah mata. Sedang pasukan kuda yang terlalu kuat adalah bahaya yang lebih runcing bila semangat perangnya tidak disalurkan.
Dalam keragu-raguannya ia terpaksa mengeluarkan perintah melakukan penyerbuan semua terhadap tetanggatetangganya, yang sebelumnya diawali dengan pemberitahuan, pasukan-pasukan Demak datang bukanlah untuk berperang, hanya mengawasi perbatasan dari kerusuhan para penjahat. Tetapi pertempuran sesungguhnya terjadi juga di sana-sini. Dan ia terpaksa lagi untuk ke dua kalinya menarik kembali pasukanpasukannya. Ia kuatir terjadi pengkhianatan dari pasukan lama.
Dalam keragu-raguan tidak menentu ini datang sepucuk surat dari Mekah padanya, menyatakan bersedia membantu Sultan, baik dalam penyiaran agama Islam maupun dalam usaha perang.
Surat yang tertulis dalam Arab berbahasa Melayu itu berasal dari Fathillah, bekas pemimpin perang di Pasai melawan Portugis. Ia dimasyhurkan di sekitar Selat sebagai cucu Bhre Paramesywara, pendiri Malaka. Dan ia belum lagi tahu, yang disuratinya. Unus, telah wafat.
Dengan sebuah kapal Arab yang kembali melalui sebelah barat Sumatra, balasan Trenggono dibawa. Fathillah datang.
Ia seorang yang bertubuh tinggi, langsing dan berisi, berhidung mancung, berkulit langsat, beralis tebal dan berbulu mata panjang, berkumis bapang. Pandang matanya dalam seakan semua yang dilihatnya hendak dimasukkan ke dalam rongganya. Dan ia berjubah putih dan bersorban putih tanpa perhiasan.
Sekali pandang Trenggono telah berkenan hatinya pada pemimpin perang Pasai itu. Dalam pembicaraan khusus, Trenggono tak segan-segan menyampaikan kesulitankesulitannya menghadapi perpecahan dalam kekuatannya sendiri dan tekanan dari mereka, juga kesulitannya dengan ibunda Ratu Aisah.
Trenggono memang bukan Fathillah. Trenggono menghendaki kekuasaan tak terbatas atas seluruh Jawa. Fathillah mengimpikan penyebaran Islam ke seluruh Jawa dan pembalasan dendam terhadap Portugis. Ia masih tak dapat melupakan kekalahannya di Pasai. Dan di Demak ia melihat ada cukup syarat untuk dapat melaksanakan semua impiannya.
Nampaknya tidak begitu sulit, Baginda Sultan, ia mulai menjelaskan pikirannya, pertentangan dengan pasukan laut ataupun kuda dapat diatasi. Demak akan tetap utuh. Kedua belah akan dan puas dan ibunda Baginda pun akan merestui. Patik berpengalaman perang di darat, dan patik pun pelaut. Apabila Baginda Sultan ada kepercayaan pada patik biarlah semua itu patik urus .
Trenggono menumpahkan kepercayaan padanya. Pada suatu siang yang cerah dengan berkendara kuda dan diiringkan oleh beberapa belas prajurit kuda Fathillah meninggalkan Demak masuk ke Jepara.
Diperiksanya armada dalam persiapan itu, kapal demi kapal. Dan pada malam hari ia menghadap Ratu Aisah, dan menyampaikan dalam Melayu, bahwa Demak telah siap mengirimkan seluruh armada ke Malaka.
Kapan hari besar itu akan terjadi, Panglima" Setiap waktu, Gusti Ratu .
Fathillah memperhatikan segala gerak-gerik dan perubahan airmuka pada wajah wanita tua itu. Ia dapat menangkap kilauan mata Ratu Aisah dan menganggap tugasnya berhasil; pasukan laut akan kembali dapat dikendalikan.
Keesokan harinya ia mengunjungi Aji Usup. Percakapan dilakukan, dalam Arab sehingga para saksi tak ada yang mengerti. Hanya semua orang melihat, bahwa kedua orang itu nampaknya sama-sama puas.
Ketegangan antara Demak dan Jepara nampaknya akan reda.
Tak lebih dari sebulan setelah kunjungan Fathillah, Demak merayakan pesta besar. Oleh Sultan, Fathillah dikawinkan dengan adiknya perempuan.
Juga Ratu Aisah datang menghadiri. Hanya beberapa hari ia di samar kemudian pulang lagi ke Jepara. Demak dirasainya terlalu panas.
Dan apa pun yang terjadi, apakah itu perobahan ataukah janji janji Fathillah yang mewakili Sultan, keputusankeputusan persekutuan rahasia tetap, mereka akan terus menjalankannya. Mereka bertiga menyimpulkan; tidak percaya pada Demak dengan Panglima barunya, yang dengan begitu gampang bisa mendapatkan kepercayaan dari Sultan.
Mereka bertiga menyimpulkan: tidak bisa orang asing pendatang baru itu pandai melayani dan membenarkan semua keinginan pribadi Sultan dan pasti untuk dapat melaksanakan keinginan-keinginan sendiri.
Dan betapa terkejut persekutuan rahasia itu melihat pada suatu hari pasukan kaki Demak yang cukup besar ditempatkan di luar kota Jepara.
Fathillah telah mengetahui rencana kita , Aji Usup berpendapat Mereka datang untuk menghalangi pasukan laut Jepara bertindak.
Dan ia berpendapat pula, hanya karena adanya Ratu Aisah di antara mereka dalam persekutuan, Sultan tidak mengambil sesuatu tindakan. Juga Ratu, juga Liem Mo Han berpendapat demikian pula. Hanya mereka berdua tak sampai hati menyatakan satu kepada yang lain.
Dalam pertemuan terakhir dipusatkan untuk mendapatkan keterangan, kapan Demak akan menggerakkan armada kecil yang dijanjikan oleh Trenggono. Begitu armada akan bergerak mereka sudah harus mendapatkan Wiranggaleng untuk jadi pimpinan dan lansung menuju ke Malaka.
Untuk kepentingan itu Aji Usup harus pergi ke Tuban menghadap Sang Adipati. Dan Liem Mo Han harus kembali ke Lao Sam demi keselamatannya.
Aji Usup berangkat dengan kapal yang sama dengan Liem Mo Han
Dan tinggalah Ratu Aisah seorang diri di Jepara dengan pikiran tuanya, disibuki oleh menantunya Sang Panglima Demak, pendatang baru dari Mekah, putra Pasai, menantu Bhre Paramesywara: Fathillah.

Berlanjut kebagian 30


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar