Jumat, 18 November 2022

Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer #13/44


Arus Balik. 
Karya : Pramoedya Ananta Toer.

Bagian 13.

Meningkatnya Kericuhan
Kuda itu berjalan pelan-pelan memasuki Pecinan. Bulunya putih berbelang hitam di sana-sini. Langkahnya berirama. Kaki-nya yang pancal hitam berjatuhan seperti menari di atas jalanan batu, dari kejauhan nampak seperti serangkaian tongkat putih berdasar hitam sedang menderamkan genderang. Dan di atasnya duduk Wiranggaleng mengenakan seluar panjang dari kaliko. Bagian atas seluar tertutup dengan kain batik yang dipasang miring dan bersibak pada belahan tengahnya.
Pada pinggangnya terbelit sabuk kulit bersulam benang perak di mana terselit sebilah keris bersarong perak berhulu kayu hitam. Hulu itu sendiri berukir kepala katak, dilibati tali sutra yang berujungkan serangkaian pendek batu mirah.
Dadanya tertutup oleh kutang berlengan pendek seperti baju antakesuma, dan pada dadanya tergantung kalung berbandul perhiasan perak ukiran bergambar pohon kehidupan diapit oleh lima buah roda, seperti bandul yang biasa dikenakan oleh pangeran-pangeran Majapahit. Seluruh Tuban mengetahui, biarpun perhiasan itu hanya terbuat dari perak namun pertanda karunia tertinggi dari Sang Adipati untuk seorang pejabat dari desa. Dan bentuk bandul itu menyerupai ikan, sebagai lambang punggawa yang punya hubungan pekerjaan dengan laut. Perhiasan itu berukir timbul, sedang batu mirah sebesar kemiri dikelilingi kalimaya kecil-kecil putih keruh mengkilat merupakan mata dari ikan perak itu.
Pada lengannya terhias dua lembar gelang baja bersalut kulit di dalamnya sebagai tanda punggawa menengah.
Dua orang berkuda mengikuti di belakang, bersenjatakan tombak dan perisai. Pedang tergantung pada pinggang masing-masing.
Di sepanjang jalan tak henti-hentinya Syahbandar-muda membalas hormat orang lalulalang dengan sembah dada.
Tuan Syahbandar-muda! seseorang memanggilnya dalam Melayu. Berhenti dulu, Wira.
Ia menghentikan kudanya menengok ke arah datangnya suara. Dilihatnya seorang Tionghoa berkuncir tanpa topi sedang siap hendak menghampirinya sambil menutup pintu gerbang rumah. Ia bercelana dan berbaju kain katun dan berbuah baju kain pula.
Wiranggaleng turun dari kudanya. Sudah beberapa kali ia melihat orang ini, tetapi tak pernah tahu nama dan tak tahu rumahnya. Ia berdiri tegak di samping kudanya menunggu orang ilu meneruskan kata-katanya.
Dan orang itu memberikan hormat dengan caranya sendiri, tersenyum ramah. Juga matanya yang sipit ikut tersenyum.
Ada pada sahaya sepucuk surat untuk Tuan Syahbandar-muda, katanya sambil menyerahkan. Kalau Wira berkenan barang sebentar di warung Yakub .
Wiranggaleng memperhatikan orang yang fasih Melayu itu dan sekaligus menduga, orang itu seorang pedagang yang sudah lama tinggal di Malaka dan sudah berpengalaman di bandar-bandar Nusantara.
Ada sesuatu yang sahaya hendak sampaikan. Rupa-rupanya orang itu merasa sedang dikaji oleh mata punggawa itu. Ia pertahankan senyum pada bibir dan matanya. Dengan tangannya ia memberi isyarat mengajaknya sebagaimana ia kehendaki, asal tidak di rumahnya sendiri. Maka senyumnya tetap terumbar minta perhatian khusus.
Syahbandar-muda menyapukan pandang pada kuncirnya, hitam agak kemerahan. Dan ia terima surat itu dengan diam-diam dengan mata tetap memperhatikannya. Tuan akan tahu tentunya dari siapa surat itu. Dari siapa" tanya Wiranggaleng.
Dari Mohammad Firman. Tak ada aku kenal orang Islam bernama begitu. Sahaya hanya sekedar menyampaikan. Islam baru atau lama"
Tak ada Islam lama, Wira, semua baru. Di mana tinggalnya"
Tidak menentu, Tuan Syahbandar-muda. Dia seorang musyafir Demak, mengembara ke mana-mana. Apa itu musyafir Demak"
Semacam pekerjaan, Wira. Dan teringat olehnya akan Anggoro alias Hayatullah di Jepara dulu. Ia mengangguk. Surat itu belum juga dibacanya. Ia lebih tertarik pada pengirimnya seorang Islam baru dan musafir Demak. Bertanya: Di mana kau bertemu dengannya"
Dulu, Wira, di Lao Sam. Dia pernah tinggal bersama sahaya. Sudah sahaya anggap sebagai anak sendiri. Artinya, sebelum dia masuk Islam, dan ia tetap tak memperlihatkan tanda-tanda menyilakan masuk ke rumahnya. Malah ia mencari tempat teduh di bawah sebatang pohon asam.
Apakah balasan diharapkan dengan segera" Tidak, Wira, tidak. Kemudian ia berkata dengan nada lain, Maafkan, tidak sahaya antarkan surat ini ke kesyahbandaran. Susah bisa masuk ke sana.
Ya, dan Wiranggaleng mulai membacanya. Dua orang pengiringnya masih tetap duduk di atas kuda, memperhatikan. Tombak mereka terpanggul pada bahu masing-masing. Tiba-tiba mereka melihat perubahan pada wajah Wiranggaleng dan memajukan binatang mereka beberapa langkah serta menyiapkan tombak.
Juara-gulat itu memang sedang tertegun melihat lengkung-lengkung huruf pada tulisan Jawa itu serta pasangan yang selalu kebesaran. Ia mengenal tulisan itu sama dengan yang pernah diperlihatkan padanya oleh Sang Adipati. Surat itu telah diambil oleh penguasa Tuban itu dari cepuk subang Nyi Ayu Sekar Pinjung, dahulu selir kesayangan.
Ia angkat pandangnya pada dua orang pengiringnya, melambaikan tangan dengan surat kertas pada tangannya, dan pergilah mereka mendahului ke pelabuhan. Pengirim ini bernama Mohammad Firman" Benar, Wira.
Sebelum masuk Islam apakah namanya" Bukankah Pada"
Benar, Tuan Syahbandar-muda.
Berdua mereka berjalan ke warung Yakub. Wiranggaleng sambil menuntun kuda. Mereka diam-diam tak bicara. Warung itu menghadap ke suatu ceruk di mana berlabuh perahu-perahu nelayan. Dan bila pandang mata orang telah melewati deretan perahu-perahu kecil itu, laut pun terbentang luas tanpa batas sampai ke kakilangit
Sambil duduk di atas bangku menghadapi cawan-cawan arak juara gulat itu mulai membaca lagi:
Dari Mohammad Firman kepada Syahbandar-muda Tuban, Wiranggaleng. Ketahuilah, Kang Galeng, kakangku sendiri, dalam keadaan sehat telah aku tinggalkan Lao Sam. Ingin hati datang menyembahmu, ingin hati menengok Mbokayu Idayu. Bagaimana mungkin" Tuban telah membunuh aku dan melemparkan aku ke laut. Tuban itu juga yang tetap menginginkan nyawaku, sekiranya diketahui aku masih hidup. Pasti engkau mengerti, Kang Galeng, kakangku sendiri, betapa besar harapanku diperkenankan menggendong dan memomong kemenakanku. Betapa akan menarik kemenakan itu. Ayahnya seorang pegulat gagah-berani tanpa tandingan. Ibunya seorang penari rupawan, impian dan pujaan setiap pria .
Wiranggaleng berhenti membaca. Ia merasa seakan disengat lebah. Sindirankah ini terhadap kemalangannya, kemalangan suami-istri" Atau dia tidak tahu" Ia pandangi orang Tionghoa yang duduk di sampingya dan masih juga tersenyum dengan bibir dan matanya.
Melihat sedang ditatap ia mengangguk seakan membenarkan bacaannya. Dan perbuatan itu menghilangkan kecurigaan Galeng. Ia meneruskan bacaannya:
Adikmu yang nakal ini tiada kan melupakan kakangnya, kakangnya sendiri, yang telah berikan hidupnya kembali. Biarpun adik ini senakal setannya Tuhan Allah, Kang, dan biarpun kakangnya bukan atau belum seagama dengannya, dia tetap kakangnya yang harus dibalas budinya.
Mungkin juga suatu balas budi padamu, Kang, kalau dalam surat ini aku dapat manawarkan padamu seorang yang dapat membantumu dalam pekerjaan yang engkau tak bisa lakukan. Semua orang pesisir tahu apa yang dibutuhkan Tuban. Bicaralah sendiri dengan ayah-pungutku ini, orang yang bukan seagama denganku, dan tiadalah kau bakal menyesali aku lagi.
Sementara itu orang Tionghoa itu telah mengatur cawancawan arak di atas meja di depan mereka. Ia menyodorkan sebuah cawan sambil berbisik: Sahaya bersedia membantu Tuan Syahbandar-muda, ia masih juga tersenyum. Liem Mo Han nama sahaya, suaranya jelas walaupun warung itu ramai dengan gelak-tawa dan obrolan para peminum. Yakub memperhatikan keduanya dengan selintas. Menyedari akan pandang mata pewarung itu Liem Mo Han mengajaknya minum, untuk kemudian keluar dengannya berjalan-jalan disepanjang dermaga. Senyumnya yang menarik dan mencurigakan sekaligus, untuk ke sekian kalinya memaksa ia menerima ajakannya.
Dan mereka berjalan beriringan diikuti oleh pandang mata semua yang tertinggal.
Beberapa buah jung Tiongkok sedang berlabuh di sana. Kedua orang itu tidak menaruh perhatian dan terus juga berjalan.
Memang sahaya sedia membantu, Liem Mo Han mengulangi katakatanya dalam surat itu, sekarang dalam Jawa halus. Mohammad Firman telah membicarakan kemungkinan ini dengan sahaya, lama dan berkali-kali. Sahaya yakin, tenaga sahaya memang Tuan perlukan, Wira.
Wiranggaleng masih jua belum mengerti maksudnya dan diam mendengarkan.
Mohammad Firman dan sahaya tahu, ada satu kesulitan pada Tuan yang Tuan tidak bisa atasi, yaitu basa Peranggi. Kalau hanya Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Almasawa saja yang bisa, tak adalah orang yang dapat mengawasi pekerjaannya. Sahaya bisa bahasa itu, Tuan. Tiga tahun lamanya sahaya bergaul dengan orangorang Peranggi.
Babah dan Pada sungguh tidak keliru.
Kalau ada surat-surat Peranggi, sahaya akan bacakan untuk Wira.
Sayang, sekiranya Babah datang lebih dulu, Syahbandar-muda itu berkecap-kecap menyesali.
Sahaya datang setelah dapat mengalahkan keraguraguan. Adakah kiranya surat-surat yang harus sahaya bacakan"
Nanti pada waktunya, Babah.
Di samping itu, Tuan Syahbandar-muda, masih ada satu perkara lagi. Sahaya sedang memburu dua orang Peranggi, Esteban dan Rodriguez namanya. Mereka lari dari Lao Sam melalu jalan darat. Mereka lari ke mari. Entah di mana mereka bersembunyi tadinya sahaya tidak tahu. Baru setelah kapal Peranggi itu berangkat, nampak mereka oleh sahaya ada di gubuk pelacuran di daerah pelabuhan.
Tak ada larangan selama mereka tidak meninggalkan pelabuhan atau memasuki kota atau pedalaman.
Benar, Tuan Syahbandar-muda. Tetapi Peranggi adalah Peranggi, di mana-mana kejahatannya sama saja, dan hanya kejahatan itu juga yang bisa diperbuatnya.
Bukankah mereka itu yang dulu dikejar-kejar di Jepara"
Tidak keliru, Wira, itulah mereka. Mata-mata.
Sahaya belum dapat memastikan. Nampaknya memang demikian.
Aku sudah lihat orang-orang itu di bandar Jepara. Bagaimana Babah bisa tahu mereka ada di sini"
Lama sahaya memburu mereka. Tahukah, Tuan, mereka adalah kanonir, penembak meriam Peranggi" Penembak meriam!
Penembak meriam! Dan sekarang mereka bersembunyi di bawah perlindungan Tuan Sayid sendiri" Hampir-hampir satu atap dengan Wira"
Ha" seru Wiranggaleng, ia mencoba menembusi mata Liem Mo Han untuk dapat membaca pedalamannya.
Bukankah Tuan sahabat Mohammad Firman" Wiranggaleng mengangguk membenarkan. Mohammad Firman adalah anak-pungut sahaya. Patutkah sahaya mengatakan yang tidak benar pada Tuan"
Wiranggaleng meletakkan kedua belah tangannya yang kukuh itu pada bahu Liem Mo Han. Dan orang meyakinkannya dengan senyum pada bibir dan matanya.
Mereka tidak melanggar ketentuan, Peranggi-peranggi itu. Syahbandar Tuban pun tidak, kata Sang Patih. Tak ada alasan untuk melarang atau bertindak. Mencurigakan" Ya. Siapa tidak mencurigai Peranggi" Awas-awaslah selalu, tak boleh ada satu kejadian di daerah bandar yang menyalahi ketentuan.
Mereka melakukan kejahatan di mana-mana, Gusti. Di sini tidak atau belum. Babah boleh membantumu, bukan untuk dapat menangkap orang-orang Peranggi itu, tapi untuk mengawasi mereka. Dan jangan kau sampai lena, boleh jadi orang itu bekerja untuk Semarang. Selama soalnya Semarang, persangkutannya selamanya Demak. Jangan kau sampai lupa. Beruntunglah Demak sudah memboroskan hampir seluruh tenaganya di Malaka.
Mereka tinggal di kesyahbandaran, Gusti, Wiranggaleng memotong.
Lebih baik lagi, dan memang sudah jadi hak orang asing di sini. Selidiki dulu benar-tidaknya.
Mereka pelarian dari kapal Peranggi, Gusti, penembakpenembak meriam.
Penembak meriam! Kalau itu benar justru semakin menarik, Wira. Cetbang kita tak bisa tandingi meriam mereka. Dan kalau benar mereka pelarian, dan penembak meriam pula, Gusti Adipati tentu akan menaruh perhatian. Meriam, Wira, bukan cetbang. Meriam adalah meriam, dan kita belum bisa bikin. Kau mungkin sudah pernah melihatnya di Malaka atau di kapal Peranggi kemarin. Aku belum. Meriam, Wira! Setelah kekalahan Pati Unus di Malaka, semua tahu: meriam saja kunci kemenangan. Tuban akan bikin ini jadi pekerjaan, Wira. Siapa tahu mereka bisa membikin untuk Tuban" Biarkan mereka tinggal di kesyahbandaran. Pergi!
Setelah menerima Sang Patih dan setelah bercengkerama di taman kesayangan, Sang Adipati Tuban masuk ke dalam harem.
Pintu-pintu telah tertutup pada malam berangin itu. Pada pengurus baru ia berbisik memperingatkan: Jangan sampai terulang lagi peristiwa Nyi Ayu Sekar Pinjung. Dan jangan kau ulangi perbuatan Nyi Gede Kati. Hukuman yang akan dijatuhkan kemudian akan lebih berat.
Ia diam mendengar-dengarkan.
Dan memang ada didengamya suara-suara beberapa orang selir sedang bicara-bicara dalam salah sebuah bilik yang terkunci dari dalam.
Siapa itu" bisiknya bertanya.
Ampun, Gusti Adipati sesembahan patik, tiada lain dari kawula Gusti Nyi Ayu Ruti dan Nyi Ayu Utami.
Nyi Gede Daludarmi, biasakah mereka berkunci pintu sebelum waktunya"
Tidak, Gusti, patik tidak tahu mengapa sekarang begitu.
Sang Adipati meninggalkan Daludarmi bersimpuh di tanah dan pelan-pelan mendekati pintu untuk mendengarkan.
 siapa tidak tahu tidak kuatir" Sapi-sapi kita bisa punah. Panen kita bisa musnah, penguasa Tuban itu mendengar.
Apa belum juga ada yang mempersembahkan" suara yang lain.
Kerusuhan sudah meruyak ke mana-mana, suara yang ketiga.
Katanya pagardesa sudah tak mampu. Nampaknya Ki Aji Benggala sudah tak mengirimkan ke Tuban. Bagaimana desamu"
Belum sampai ke perbatasan desa kami, jawab yang ke empat.
Tapi siapa tahu" Barangkali mereka sudah sampai juga ke sana sekarang"
Kalau Gusti Adipati belum menggerakkan balatentara, tentu belum ada yang mempersembahkan, suara pertama menyimpulkan.
Sang Adipati kembali mendekati Nyi Gede Daludarmi yang masih juga bersimpuh di tanah.
Berapa umurmu, Daludarmi" bisiknya bertanya. Tiga puluh lima, Gusti, menurut perhitungan surya. Apakah kau Islam"
Patik, Gusti. Mengapa menurut perhitungan bulan" Patik tak tahu menghitungnya, Gusti.
Gila, bulan dipergunakan sebagai hitungan. Daludarmi! Hidup di tengah-tengah selir begini, tidakkah kau ingin juga jadi selir"
Semua Gusti Adipati sesembahan patik yang menentukan, Gusti.
Tiga puluh lima tahun masih muda, Daludarmi, bisik Sang Adipati. Dan kau belum pernah beranak. Sang Adipati mulai merabai tubuh pengurus harem itu. Kau masih lebih kukuh dari si Kati. Ia sejenak tak bicara. Kemudian, Coba, mana mukamu" dan ia pandangi wanita itu dalam kegelapan malam.
Ia tak teruskan dengan membikin cinta. Bagaimana Sekar Pinjung sekarang"
Ampun, Gusti, sepanjang pengetahuan patik, ia jarang keluar dari kamar, sering kedapatan menangis dan pucat. Patik pohonkan ampun untuknya, Gusti, wanita semuda itu, belum panjang pikir, belum lagi delapan belas. Sang Adipati berdiri termangu-mangu Ditariknya Daludarmi berdiri dan diciumnya pada pipinya, kemudian ditinggalkan berdiri. berjalan melewati bilik-bilik selir dan melewati kamar terkunci di mana beberapa selir masih sibuk membicarakan Ki Aji Benggala. Ia langsung menuju ke bilik paling ujung. Pintu itu terbuka dan ia pun masuk ke dalam.
Dua jam kemudian ia keluar lagi dan menuju ke bilik ujung yang lain, Ia mendeham pelan di depan pintu, tetapi tiada berjawab. Ia mendehani sekali lagi. Juga tak berjawab.
Nyi Gede Daludarmi berjalan menghampiri Sang Adipati, berjongkok di bawah dan menyembah, kemudian memanggil-manggil pelan pada pintu: Nyi Ayu, Nyi Ayu Sekar Pinjung! Nyi Ayu!
Nyi Gedekah itu" terdengar suara sayu menjawab dari dalam.
Nyi" Bukalah pintu, rang manis, kata Daludarmi lemah. Pintu itu terbuka ragu-ragu, hanya terkirai sedikit. Dan Sang Adipati masuk ke dalam.
Sekar Pinjung, yang tidak sempurna pakaiannya dan riasnya, langsung menjatuhkan diri pada kaki penguasanya, tersedan-sedan tanpa bisa bicara. Pintu ditutup oleh Daludarmi dari luar.
Lelaki tua itu berdiam diri ragu-ragu. Ada sesuatu yang bergolak di dalam hatinya.
Setelah mendengar pembicaraan para selir dari balik pintu, ia mengerti, ada kepala-kepala desa yang tak berani mempersembahkan keadaan di desanya pada atasannya, maka dipergunakan selir-selir. Mereka selalu mendapat kiriman dari desa, dan tidak jarang juga pesan untuk diteruskan pada Sang Adipati. Demikian mereka dapat melewati atasannya dengan gaya dan cara yang khusus. Memang perbuatan kepala desa semacam itu tak dapat dikatakan melanggar aturan. Tak ada suapan ataupun sogokan menjadi dasar perbuatannya. Dan selamanya cara itu didasarkan atas kepentingan desanya sendiri. Sekarang ia tahu adanya Ki Aji Benggala.
Mungkin percakapan itu tidak seluruhnya benar, namun ada sesuatu yang terjadi di desa-desa pedalaman.
Sekar Pinjung ini lain lagi. Ia mempersembahkan sesuatu berdasarkan suapan. Benar atau palsukah persembahannya" Tidak seluruhnya benar, juga tidak seluruhnya salah. Kepala desanya telah mempersembahkan upeti dua kali lipat. Hampir selama dua tahun ini! Tetapi ia masih juga belum menggubrisnya. Dan sekarang ia baru mulai berpikir tentang kebenaran atau kepalsuan persembahan Sekar Pinjung
Pandangnya jatuh ke bawah pada tubuh gading yang mencium kakinya. Kemudian tangan gading itu memeluk kakinya, seperti seekor cacing yang menunggu diinjak. Hukuman pada Sekar Pinjung dirasainya terlalu berat. Apalagi sekarang sudah jelas siapa sumber ketakutan terhadap Peranggi. Ditambah lagi dengan pengetahuan, Peranggi hanyalah manusia biasa yang juga membutuhkan makan dan minum, hanya kulitnya saja putih dan bahasa dan adatnya lain.
Hukuman itu telah lebih dari dua tahun dijalani oleh Sekar Pinjung, selir kesayangan. Dan seorang satria tidak mencabut kembali kata-katanya.
Wanita berkulit gading itu tak mengindahkan keadaan dirinya. tak dirasainya lagi dingin malam yang menyerbu kulitnya yang tiada tertutup Dingin hati Sang Adipati lebih membekukan.
Ia lihat punggung wanita itu tersengal-sengal kecil karena sedu-sedan permohonan ampun, nampak olehnya begitu hina dan tidak berarti. Hanya seorang satria bisa membikinnya jadi berarti kembali pikimya. Barangkali aku telah berbuat kurang adil terhadapnya. Leluhur mengajarkan agar berhati-hati terhadap isi keputrian, sarang hasutan dan fitnah. Betul. Sarang dengki dan kelobaan. Betul. Tempat raja-raja tumbang karena gosokan. Betul. Tempat si kerdil memasang perangkap untuk menangkap bulan. Betul. Sarang labah-labah yang tak kenal malu. Benar perempuan hina ini hanya memperingatkan. Hanya memperingatkan. Dan aku sudah berbuat kurang adil terhadapnya. Bukankah keadilan semestinya mampu mencabut kata-kata satria yang keliru"
Sebelum Sang Adipati dapat memutuskan pergolakan di dalam dirinya telah keluar kata-kata dari mulutnya, pelahan dan berbisik: Telah dicabut hukuman bagimu, Sekar Pinjung. Berdiri!
Wanita muda itu berdiri gemetar. Seluruh pakaiannya luruh ke lantai. Mukanya pucat. Rambutnya kacau. Kepalanya masih juga terangguk-angguk kecil karena sedusedannya. Tetap ia tiada dapat berkata sepatah pun.
Sang Adipati meraih dua belah tangannya. Didekapkan dia pada dirinya, kemudian dipangkunya.
Sekarang barulah terdengar wanita itu menangis terampuni. Dan luluhlah sudah amarah Sang Adipati, luluh pula duka-cita sang selir, cair ke dalam arus berahi. Daludarmi! panggil Sang Adipati dari dalam bilik.
Wanita pengurus harem itu masuk ke dalam, membawa nampan berisi cawan-cawan tembikar. Pandangnya tertuju pada lantai, untuk tidak melihat pemandangan di hadapannya. Ia berjongkok di bawah kaki Sang Adipati.
Penguasa Tuban itu mengambil cawan jamu dan meminumnya habis
Daludarmi mundur beringsut-ingsut keluar dari kamar. Jangan keluar! Tinggal kau di sini. Letakkan nampan itu di meja.
Tengah hari pada keesokan harinya terjadi kesibukan dalam tubuh pasukan kuda. Puluhan prajurit telah meninggalkan Tuban Kota menuiu ke berbagai jurusan negeri. Yang demikian hampir-hampir tak penuh terjadi selama ini.
Segera orang-orang menghubung-hubungkan gerakan tentara dengan terjadinya kerincuhan di pedalaman, yang selama ini dibiar berlarut jadi desas-desus umum.
Beberapa hari setelah keberangkatan kesatuan-kesatuan kecil pasukan kuda, pendopo kepatihan penuh-sesak dengan kepala-kepala desa, para wedana, demang dan kuwu seluruh negeri. Yang tak hadir hanya wakil dari desa-desa di bawah kekuasaan Rangga Iskak. Mereka semua duduk bersila di atas lantai.
Tanpa sesuatu upacara Sang Patih memulai: Betapa sangat menyesal kami mengetahui, kalian diam-diam tiada mempersembahkan sesuatu yang sedang terjadi di desa-desa kalian. Ketahuilah, Gusti Adipati Tuban sangat murka mendengar adanya huru-hara tidak dari persembahan kalian. Gusti Adipati Tuban mendengar, bahwa pagardesa kalian sudah kewalahan menghadapi para perusuh. Jawab sekarang juga. Benar-tidak"
Ampun, Gusti Patih, seorang kuwu mengangkat sembah. Adanya huru-hara itu memang betul, karena terjadinya di daerah kekuasaan patik. Ada pun patik belum juga mempersembahkan adalah karena patik masih berusaha, belum lagi putus-asa.
Pernahkah kalian menang terhadap mereka" Ampun, Gusti, belum pernah, tapi kalah pun belum. Jangan persembahkan teka-teki.
Begitulah adanya, Gusti, kalau mereka datang, pagardesa lari. Kalau pagardesa datang, mereka yang lari. Apa kalian sedang main petak"
Sunyi seluruh pendopo. Wajah Sang Patih merah menyala-nyala. Suasana tegang. Semua penghadap menunduk.
Mengapa membisu" Hilangkah sudah lidah kalian" Ampun, Gusti, di tempat patik agak lain keadaannya. Telah patik persembahkan ini ke hadapan Gusti Patih, bahwa pagardesa patik selalu masuk ke dalam jebakan dan satu kali pun tidak pernah menjebak.
Apa maksudmu dengan jebak-menjebak"
Maksud patik, Gusti, rajakaya desa hilang kalau tidak dijaga dan tinggal utuh kalau dijaga.
Bicara yang jelas. Kami tidak mengerti maksudmu. Ampun, Gusti. Kalau pagardesa yang menjaga rajakaya itu mengejar mereka, hilanglah yang tidak terjaga itu. Hei, bantulah dia bicara, kami tidak mengerti. Ampun, patik pun tidak mengerti, Gusti. Hei, kepala desa, bersembah kau yang benar dan patut.
Apakah maksudmu perampok rajakaya itu hidup di dalam desamu sendiri"
Kira-kira begitu, Gusti, tetapi patik tidak berani mempersembahkan dengan pasti.
Hei, yang bersangkutan, kau sudah dengar sendiri persembahan bawahanmu. Perhatikan warga dari desa-desa kalian. Nah, dengar ekalian yang menghadap pada hari ini! Kami takkan mengulangi un-tuk kedua kalinya, Sang Patih menebarkan pandang ke seluruh penghadap. Meneruskan, Kami beri waktu untuk kalian satu bulan penuh untuk mengatasi kerusuhan. Aturlah antara kalian sendiri bagaimana mendatangkan bantuan pagardesa dari desa-desa lain yang aman. Kalau gagal, tahu kalian akibatnya"
Tahu, Gusti. Ya, tahu. Biar begitu kami sampaikan juga: Kalau kalian gagal, balatentara Tuban akan bergerak mengambilalih tugas pagardesa. Mengerti kalian artinya" Mengerti, Gusti.
Ya, mengerti. Biar begitu kami sampaikan juga: kalau balatentara bergerak, menjadilah tanggungan pada desadesa yang didatangi bala-tentaranya. Cukup sebulan itu" Lebih dari cukup, Gusti, mereka menjawab berbareng. Kemudian Sang Patih mengendorkan ketegangan dengan cerita: Ki Aji Benggala dahulu adalah punggawa Gusti Adipati Tuban menjabat Syahbandar Tuban Kota. Nama sebutannya adalah Rangga Iskak. Nama kelahirannya adalah Iskak Indrajit.
Semua penghadap gelak tertawa mendengar nama raksasa dalam Ramayana itu, nama yang tidak populer bagi negeri Tuban. Juga Sang Patih ikut tertawa menyertai. Dan ketegangan lenyap.
Cerita pun diteruskan: Iskak Indrajit adalah cucu dari Syahbandar Malaka, seorang Benggala Malabar. Dari kakeknya Rangga Iskak merasa dirinya orang Benggala, maka menamai diri Ki Aji Benggala. Ayahnya, yang berumur pendek, beristrikan seorang Malabar pula. Tetapi bekas Syahbandar itu dilahirkan oleh seorang ibu Melayu, dan dari ibunya ia mendapat nama Indrajit.
Sekali lagi penghadap gelak tertawa.
Ibunya memang bijaksana menamainya demikian. Ruparupanya ia telah mendapat firasat, anak yang dikandungnya nanti akan jadi seorang raksasa dengan gigi taring. Sesungguhnya, Rangga Iskak mempunyai gigi taring yang agak mencolok.
Tetapi keadaan sudah berubah, Sang Patih meneruskan. Jabatannya sebagai Syahbandar tak dapat dipertahankan. la harus diganti. Tetapi ia tidak rela diganti, ia merasa bandar Tuban adalah miliknya pribadi. Segala apa pun yang dikaruniakan Gusti Adipati dung gapnya kurang dan makin kurang. Memang dasar raksasa bergygi tanng Karunia lima buah desa sudah selayaknya ia merasa jadi seorang bupati Tetapi tidak, dengan desa itu ia semakin bertingkah. Ia anggap desa-desa itu didapatnya dari berperang, dan sekarang dipergunakannya jadi modal untuk melawan .
Seperti kebiasaan baru di sebelah timur dan barat negeri Tuban sekarang ini, kalau seorang ningrat, apalagi bukan ningrat telah menamakan diri Ki Aji dan mendapatkan, banyak pengikut, dia merasa sudah setingkat dengan seorang adipati, belagak sebagai raja tanpa pencgasan hak. Seakan-akan kedudukan raja bukan lagi urusan para dewa, seakan-akan sudah boleh ditempati oleh setiap orang. Ajaran leluhur mulai dilupakan, sedangkan ajaran baru belum ada isinya. Itulah kebiasaan baru sekarang ini dari beberapa orang yang bakal bikin celaka semua orang di seluruh pulau Jawa.
Suaranya meningkat dan jadi berkobar-kobar, sarat dan gemas: Kalian harus ingat, Indrajit alias Ki Aji Benggala bukan berdarah ningrat, jangankan berdarah Majapahit, berdarah bupati pun dia tidak. Malahan orang Jawa dia pun tidak. Dia peranakan Keling biasa, yang kebetulan pandai berbagai bahasa. Memang banyak kepandaiannya, terlalu banyak. Hanya dia punya satu kebodohan, satu saja: dia tidak mengerti bagaimana berterimakasih. Dengarkan: tumpaslah dia sebelum menjadi-jadi. Jangan ragu-ragu. Kalian sendiri, sebagaimana diajarkan oleh leluhur, tentu takkan percaya pada orang yang tidak tahu berterimakasih, karena dia sesungguhnya tidak tahu tentang karunia para dewa. Nah, pergi kalian.
Dengan menghadapnya para punggawa orang mendapat gambaran sebenamya tentang gentingnya keadaan pedalaman. Hampir-hampir dapat dipastikan: balatentara Tuban akan bergerak dalam sebulan mendatang.

Di Tuban Kota sendiri telah dirasai adanya perubahan itu. Pertukaran barang dengan pedalaman merosot sejadijadinya. Pasar Kota semakin sunyi. Orang-orang kota banyak yang meninggalkan kampung-halaman dan pindah ke pedalaman. Perdagangan antar-pelabuhan, apalagi antarpulau, beku.
Dan di bandar sendiri, kecuali pemeliharaan dan pembersihan, hampir tak ada pekerjaan lagi .

Wiranggaleng tak pernah lagi kelihatan seorang diri dalam menjalankan tugasnya. Ia pun mendapat tugas baru: menjaga keamanan bandar Kota dan Glondong.
Pekerjaannya semakin banyak, pengetahuannya semakin banyak, dan persahabatannya lebih-lebih lagi.
Hubungannya dengan Liem Mo Han membawanya pada suatu pengetahuan, bahwa benar Portugis dan kapalnya telah belayar ke Panarukan, dan bahwa raja Blambangan, Girindra Wardhana bukan hanya tidak menolaknya, bahkan menitahkan Patih Udara untuk menjemput Martinique Lamaya di pelabuhan dengan segala kebesaran. Dan setelah kapal itu mancal lagi dapat diketahui ada barang sepuluh orang Portugis mengantarkan kapal itu berangkat. Mereka tinggal di Blambangan.
Liem Mo Han pula yang memberitakan padanya: di antara sepuluh orang Portugis itu ada yang masuk lebih ke dalam daratan Blambangan dan membangunkan sebuah rumah. Boleh jadi, kata Liem Mo Han selanjutnya, dengan bantuan kerajaan Hindu itu orang-orang Peranggi akan berhubungan dengan perusuh-perusuh di pedalaman negeri Tuban dan dengan persekutuan itu akan mengancam Tuban dari laut dan darat.
Wira, hanya kekuatan Islam yang menentang Peranggi. Semua kerajaan Hindu serba sebaliknya. Mereka merasa terus-menerus terdesak oleh Islam, mengambil sikap bertahan terhadap arus agama baru itu. Maka begitu Peranggi datang mereka segera mengulurkan tangan penyambutan. Mereka justru mengharapkan perlindungan dari musuh seluruh dunia itu.
Lama ia renungkan kebenaran kata-kata Liem Mo Han. Perbandingan ia tak punya. dari renungannya ia mengetahui adanya tiga kekuatan pokok: Hindu, Islam dan Portugis. Baik Hindu mau pun Islam, dua-duanya menari karena adanya Portugis.
Ya, Peranggi tetap pokok, ia memutuskan. Dan sekarang, berdasarkan renungan itu, ia mengetahui: Tuban berada di antara Hindu dan Islam, tidak punya sikap yang pasti terhadap Peranggi.
Tuban harus menentang Peranggi, tanpa menjadi Islam, juga tidak karena Hindu.
Ia tak persembahkan hasil renungannya pada Sang Patih. Namun kata-kata Liem Mo Han tentang tiga kekuatan itu menjadilah dasar pandangan resmi praja Tuban dalam memahami dunia yang sedang berubah.
Tetapi sahabatnya itu tak pernah bicara tentang Tiongkok, tidak tentang jung-jungnya, tidak tentang perdagangannya, tidak tentang musuh-musuhnya, bahkan tentang kependudukannya di Jawa ia pun tidak pernah membuka mulut. Dan Wiranggaleng merasa tak ada kebutuhan untuk mengetahui.
Telah beberapa kali ia mengundangnya untuk menghadap Sang Patih. Liem Mo Han selalu menolak. Dan dalihnya terakhir adalah: Hanya kerajaan yang sudah sepenuhnya Islam mau melawan Peranggi. Maka yang setengah Islam cuma akan setengah melawan. Biarlah sahaya membantu dari jauh saja, Wira.
Penolakan itu bergema dalam hati Syahbandar-muda. Aku belum pernah jadi Islam. Aku tak kenal dewadewanya. Tapi aku pernah melawan Peranggi, biar pun sudah kalah sebelum bertarung. Dan aku akan tetap melawan. Ia merasa tersinggung karena Liem Mo Han menganggap Tuban setengah Islam. Seperempat pun belum! Tapi aku akan melawan Peranggi. Hanya kesempatan saja belum aku peroleh.
Liem Mo Han tetap tidak mau bicara tentang pribadinya. Ia selalu bicara tentang praja.
Setiap ia mendapat kesempatan dan bertemu dengan sahabatnya, selalu saja ada soal baru yang jadi tambahan pengetahuannya. Dan datangnya pengetahuan itu tidak binal menjompak-jompak sebagaimana diterimanya dari Rama during, tapi tenang-tenang, seakan tidak terjadi sesuatu, dan masuklah dalam hatinya.
Suatu peristiwa telah menyebabkan mereka berdua berpisah. Dan kejadian itu datang begitu mendadak. Pagi waktu itu.
Dengan dua orang pengiringnya ia pulang dari memeriksa seluruh bandar. Baru saja ia turun dari kuda telah terdengar: Wira! Wira! Tholib Sungkar Az-Zubaid memanggilnya.
Sudah lama rasanya ia telah hindari Syahbandar yang dibencinya. Sebaliknya yang terbenci nampaknya merasa juga sedang dihindari. Dan sekarang ia menghadapi permainan hindar-menghindar ini.
Ia naik ke gedung utama dan didapatinya Syahbandar sedang minum kopi di kamar-kerjanya.
Selamat untukmu, Wira, ia berdiri. Wajahnya berseriseri dan nampak seakan bongkoknya sudah hilang sama sekali.
Tuan Syahbandar, inilah sahaya, jawab Wiranggaleng. Dan setiap kali ia melihat bongkok itu hilang dari punggung orang Moro itu telah sering ia perhatikan pasti sedang terjadi galangan kejahatan di dalam hatinya.
Aku baru ingat, Wira, bukankah kau anak pedalaman" tanyanya dan menyilakan duduk. Nah, semestinya kau tahu di mana desa Rajeg
Ia menjadi waspada. Setiap orang tahu, Rajeg adalah sebuah desa pedalaman tempat pemusatan kekuatan Ki Aji Benggala.
Yang sedang banyak dipercakapkan orang itu" Apa yang mereka percakapkan" mata Tholib kelapkelip menyelidik.
Dan waktu nampak olehnya Wiranggaleng tersenyum mengolok-olok ia jadi ragu-ragu. Ia tak meneruskan katakatanya. Dengan mengambil nada lain ia bergumam: Orang-orang bodoh itu. Mana mungkin Rangga Iskak memberontak" Dengan takzim, tawakal dan sabar ia terima semua titah Gusti Adipati. Nada suaranya meningkat lagi, Begini, Wira, kau juga tahu Rangga Iskak ada di Rajeg. Aku mengetahui dari Gusti Patih. Wira, baru saja ketahuan ada barang kesyahbandaran, barang penting, yang terbawa olehnya. Mungkin dia lupa dan tak mengingatnya lagi. Dan itu bisa membikin bahaya terhadap bandar. Barang itu harus di kembalikan pada Syahbandar.
Rupanya penting benar barang itu, Tuan Syahbandar, Wiranggaleng menyembunyikan keheranannya.
Bagaimana bisa dikatakan tidak penting" Cap tera untuk mas, perak dan tembaga! Syahbandar harus mendapatkan barang tersebut sebelum berlarut. Bentuknya memang sama dengan yang sudah kita pakai sekarang, hanya tak ada tulisan Arab tambahan di dalamnya.
Wiranggaleng sibuk menerka maksud orang Moro ini, tetapi belum dapat.
Kau tak perhatikan aku, Wira. Teruskan Tuan Syahbandar.
Aku akan siapkan surat buat dia, dan cobalah nanti sampaikan padanya dengan lisan: Syahbandar Tuban Sayid Habibullah Almasawa dalam keadaan selamat. Cukup itu saja. Aku senang punya pembantu seperti kau. Berani, pandai, cekatan, kuat. Hanya orang seperti kau mampu selesaikan pekerjaan ini.
Terbayang oleh Syahbandar-muda itu akan adanya hubungan antara kerusuhan di pedalaman dengan Syahbandar ini, dan antara Syahbandar dengan Peranggi.
Aku harus buktikan! Aku harus dapat menyampaikan ini pada Sang Patih: orang satu ini memang pengkhianat yang tak patut mendapatkan perlindungan dari Sang Adipati, tidak boleh lebih lama lagi. Dia sepatutnya dienyahkan dari bumi Tuban.
Sebelum berangkat ke Rajeg ia telah temui sahabatnya Liem Mo Han dan berpesan agar membuang waktu untuk terus mengawasi dua orang Peranggi yang mendapat perlindungan resmi dari Syahbandar dan perlindungan tidak resmi dari praja itu.
Dari Sang Patih ia mendapat empat orang prajurit dari pasukan kaki sebagai pengawal dan teman seperjalanan, dan perintah untuk mengetahui sebaik dan sebenarbenamya tentang desa Rajeg, kekuasaan dan pengaruh Ki Aji Benggala, desa-desa sekitar, berapa banyak sesungguhnya desa yang mulai dan sudah berada dalam pengaruhnya, hubungan yang mentautkan Rangga Iskak dengan Sayid Habibullah Almasawa yang bermusuhan pada lahimya itu, dan apa saja yang telah diperbuat dan direncanakan oleh perusuh.
Kerjakan tugasmu dengan baik, pesan Sang Patih. Peranggi semakin mendekati kita. Pedalaman bergolak.
Pedagang-pedagang Islam meninggalkan Tuban Kota, pindah ke kota-kota bandar di barat. Sedang pedagangpedagang Islam yang kecil-mengecil masuk ke pedalaman Patik akan kerjakan sebaik-baiknya, Gusti. Benar kata Syahbandar. Nampaknya hanya kau yang bisa lakukan tugas ini, katanya lagi seakan mengulangi Sayid Habibullah. Kau tahu apa artinya semua ini. Belum, Gusti.
Artinya, memang Tuban diancam oleh kerusakan dari luar dan dari dalam. Kau rela Tuban, negerimu, Gustimu, kebesaran Tuban. rusak"
Dewa Batara! Sama sekali tidak, Gusti. Berangkatlah dengan sejahtera. Dan ia pun berangkat.
la berangkat dengan membawa pengertian: surat dan cap itu hanya sekedar dalih untuk menghubungi Ki Aji Benggala. Sang Patih boleh jadi hanya tersenyum dalam hati. Sedang surat yang telah dibongkar oleh Sang Patih lebih mencurigakan lagi: hanya sebaris tulisan Arab. Itu pun pendek sekali. Jelas hanya isyarat belaka. Dia sungguh cerdik, pikirnya. Dipilihnya aku untuk melakukan pekerjaan ini. Dan dia tak memohon ijin dari Sang Patih. Dia berbuat dengan pilihan dan kemauan sendiri. Tak bisa lain, karena dia pun punya kepentingan dengan kematianku pribadi. Hendak dicapainya dua maksud dengan satu jalan: menghubungi perusuh dan sekaligus menyingkirkan aku. Ki Aji Benggala jelas akan membunuh aku.
Ia benarkan kata orang tua-tua: kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang Iain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang-orang lain pandai. Sayid Habibullah Az-Zubaid juga menganggap diriku bodoh. Aku tidak buta, aku selalu dapat menangkap matamu yang menyala-nyala bila terpandang olehmu Idayu. Bukankah Nyi Gede Kati sendiri tak segan-segan membicarakan ini dengan istrinya, dan istrinya dengannya"
Liem Mo Han pernah memperingatkan: Tuan Syahbandar Tuban sungguh-sungguh dibenci oleh setiap dan semua orang, sampai jauh-jauh di Jepara dan Lao Sam. Dia meremehkan para saudagar Islam dan Tionghoa, sebagaimana ia lakukan di Malaka dulu. Dialah pengkhianat Malaka. Tak urung ia akan jadi pengkhianat Tuban juga. Tingkah-lakunya menjijikkan, seperti dia sendiri Sang Adipati. Di Malaka dulu dia bertingkah sebagai raja muda.
Sebaliknya, Wira, ia meneruskan, Wira dan istri merupakan pasangan yang dicintai dan dihormati. Tak ada satu kebahagiaan yang lebih besar daripada dicintai dan dihormatri semua orang. Itu adalah modal yang membikin orang dapat mencapai segala-galanya. Sahaya harap Wira mengerti perbandingan ini.
Dan ia menganggap dirinya mengerti: Syahbandar Tuban menghalaunya dengan meminjam tangan Rangga Iskak alias Ishak Indrajit alias Ki Aji Benggala, kemudian ia akan menghadap Sang Adipati dan memohon agar Idayu dikaruniakan kepadanya, maka bukan saja ia akan memiliki apa yang diberahikannya selama ini, juga akan dapat meredakan kebencian orang terhadap dirinya. Malalui Idayu sebagai milik pribadi ia akan lebih dapat mempengaruhi Sang Adipati.
Tetapi mengapa Syahbandar Tuban itu begitu dingin terhadap Gelar, anaknya sendiri" Mengapa" Mungkinkah ada seorang yang acuh-tak-acuh terhadap anak sendiri" Ah, mengapa tidak mungkin" bantahnya sendiri. Setiap ningrat yang punya harem adalah juga orang yang tak acuh terhadap anak sendiri, hanya tahu nafsu-nafsu pribadi, memburu dan memuaskannya. Mengapa kau heran" Kasihan kau, Gelar. Seperti seekor anak burung ia teringat pada kata-kata Rama Cluring tentang burungburung.
Dengan bekal itu di dalam hati ia berjalan kaki sebagai petani memasuki pedalaman.
Makin mendekati desa Rajeg, desa-desa yang dilaluinya nampak suram. Pada mata penduduknya nampak terpancar ketakutan dan kegelisahan. Pertanyaan-pertanyaan pada mereka dijawab seperlunya tanpa keramahan dan tiada di antara mereka mengundang singgah, apalagi makan dan menginap.
Hutan, padang ilalang, padang rumput pendek, sawah dan ladang dilaluinya, dan pada suatu hari sampailah ia di tepi sebuah rimba-belantara. Teman-temannya, juga berpakaian tani, berjalan agak jauh di belakangnya.
Gubuk panggung di depannya sana masih seperti dulu juga. Nampaknya tiang bambu dan atap ilalang itu belum juga rusak. Gubuk itu agak besar; khusus didirikan jauh dari desa mana pun untuk tempat berteduh dan menginap para pemikul upeti atau musafir. Ia sendiri pernah menginap di situ bersama tiga orang temannya untuk dapat mendengarkan seorang guru-pembicara dari seberang, yang mengajarkan, bahwa tidak ada sesuatu yang lebih tinggi, lebih berkuasa, maha kuasa, kecuali Allah, dan bahwa semua makhluk gaib takluk padanya. Orang itu bicara dalam Jawa yang begitu anehnya sehingga pendengarpendengar lebih banyak tertawa dan orang tak mengerti betul maksudnya. Orang-orang memberi komentar: guru itu membawakan soal-soal baru yang aneh, itu sebabnya bahasanya juga aneh.
Ia memerlukan singgah dan naik ke atas panggung. Di kejauhan dilihatnya empat orang temannya berjalan aman mengikutinya. Belum lagi ia rebahkan diri didengamya suara-suara pelahan di bawah. la turun untuk melihat apa yang sedang terjadi. Empat orang berbaju dan bersarong putih dan berkopiah putih telah mengepungnya dengan mengacungkan tombak. Sekilas ia lihat senjata-senjata mereka tidak sejenis dengan yang biasa dipergunakan oleh para prajurit tombak-tombak berburu.
Seorang di antara para pengepung itu sudah tua. Yang tiga lainnya masih bocah dan kira-kira saja abang-beradik. Yang termuda sekira dua belas tahun.
Wiranggaleng melirik untuk dapat melihat rambut mereka. Pendek, hampir-hampir dan juga mungkin gundul
Kalau bukan dalam keadaan genting mungkin ia takkan dapat mengendalikan tawanya: orang berpakaian serba putih seperti bangau.
Hei, kau! tegur yang tertua, tidak berbaju tidak berkopiah, biadab! Berambut panjang seperti kuda betina! Sebutkan namamu sebelum nyawamu melayang ke neraka.
Betapa galak, pikir Wiranggaleng. sebelum kena tegur lagi ia berkata sopan dan pelan, dengan senyum damai pada bibir: Ampun, Bapa, tersasar.
Tak pernah ada orang tersasar kemari. Siapa kau! Galeng, Bapa.
Orang itu tertawa melecehkan. dan mata Wiranggaleng tetap waspada. Pada bibirnya senyum itu masih juga menghias.
Galeng" Siapa tidak kenal Galeng" Biar pun kau juara gulat tiga-lima kali berturut, tak ada guna. Kau datang dari kota untuk memata-matai. Kau, kafir sialan, kafir laknat!
Apa yang dimata-matai, Bapa" Nanti dulu, siapa yang aku hadapi ini"
Kurangajar, belum menjawab sudah ganti bertanya. Siapa hendak kau mata-matai"
Tidak ada, Bapa. aku datang untuk menghadap Ki Aji Benggala. Lain tidak.
Penipu! Ki Aji tak menunggu siapa pun di antara orang berambut panjang. Apalagi kau datang dari kota! Begundal Adipati Tuban.
Mengapa Sang Adipati, Bapa, nampaknya Bapak memusuhinya"
Puh, Adipati, satria tidak tahu menepati janji. Apakah orang kota tidak tahu pengkhianatan Tuban terhadap Jepara" Terhadap Aceh, Riau, jambi dan Banten" Malaka tidak jatuh, kemelaratan merajalela di Tuban! Kapal-kapal tak lagi berani belayar. Begundal pengkhianat!
Mengertilah Wiranggaleng, benar Ki Aji Benggala telah menggunakan kemerosotan Tuban untuk menaikkan dirinya sendiri. Berkata pura-pura tak tahu sesuatu: Benar, Bapa, aku tak tahu apa-apa tentang semua itu Aku mencaricari Ki Aji Benggala tak tahu tempatnya, membawa surat untuk beliau surat berbasa dan bertulisan Arab.
Pembohong! Adipatimu tak perlu tulisan dan basa Arab munafik itu.
Aku tak tahu artinya itu, Bapa. Sesungguhnya surat itu bukan dari Gusti Adipati dari Tuan Syahbandar Tuban, dari Sayid Habibullah Almasawa, seorang Arab tulen. Ki Aji tidak menunggu surat dari kota, kataku. Apa lagi dari Syahbandar keparat itu.
Mengapa keparat, Bapa"
Mengapa" Dengan mulutmu yang kotor, najis, kau bertanya mengapa" Coba, bukankah dia juga yang mengaku Arab tulen dan keturunan Nabi besar sekaligus" ia meludah ke tanah. Dia hanya budak kafir Peranggi. Jangan pura-pura tidak tahu, rangkota! Semua rangdesa di sini tahu duduk perkaranya. Kau ini, bukankah budak dari budak kafir Peranggi" Kau, si rambut panjang"
Wiranggaleng berusaha terus bicara dengan harapan pengawal-pengawalnya akan tiba pada waktunya. sementara itu ia mengagumi pengetahuan rangdesa tentang seluk-beluk praja yang sudah sejauh itu. Tentu pengetahuan itu disebarkan oleh Ki Aji untuk membenarkan dirinya sendiri.
Budak dari budak kafir Peranggi, ia bergumam. Sungguh aku tidak tahu barang sesuatu. siapa bisa salahkan orang yang tidak tahu"
Setelah tertawa melecehkan orang itu mengejek: Memang jaman sekarang rangkota lebih dungu, lebih tak tahu diri, lebih tak tahu dari rangdesa. Dungu atau tidak, apa bedanya" Tak urung kau mati juga di sini. Mati tanpa tempat yang dijanjikan.
Aku semakin tidak mengerti, Bapa.
Apa tahumu" Rangdesa tahu, biar kau berpakaian tani, sesungguhnya kau bukan. Kau memang tidak tahu rangdesa sekarang, yang sudah tahu segala-galanya. Huh, mati tanpa tempat yang dijanjikan.
Bagaimana tempat yang sudah dijanjikan itu, Bapa" Nasib kafir sudah ditentukan. Waktu hidup diburu-buru nafsu dan kejahilan, waktu mati diburu-buru api neraka. Itu yang patut kau dengar sebelum mati.
Dan Wiranggaleng harus bicara terus.
Bapa, Bapa bilang aku budak dari budak Peranggi. Tak tahukah, Bapa, rangdesa Galeng ini pernah menyerang Peranggi di Malaka"
Bohong! Penipu! Tak ada Ki Aji pernah katakan itu. Maka aku yang mengatakan.
Karenanya makin jelas kebohonganmu.
Wiranggaleng kini dapat menjajagi betapa pengaruh Rangga Iskak telah mulai mendalam. Ia harus berhati-hati.
Bagaimana, Paman" salah seorang di antara tiga bocah itu bettarn a di belakangnya. Masih juga dia dibiarkan begini"
Nanti dulu, jangan keliru, tegah juara gulat itu sambil menengok sekilas ke belakang. Lihat dulu surat yang aku bawa ini. Tulisan dan bahasa Arab tulen.
Jih! orang yang tertua meludahi tangan Syahbandar muda yang mengulurkan surat. Semua yang keluar dari pokal kafir hanyalah najis .
Hweeee! terdengar bentakan berbareng di belakang mereka.
Orang-orang bertombak itu kaget dan menoleh ke belakang dari tangan mereka dengan bantuan pengawalpengawalnya. Tanpa pengalaman menggunakan senjata menyebabkan mereka segera teringkus tanpa daya. Panjang tombak mereka menjadi penghalang utama untuk membela diri.
Jangan sentuh aku, kafir! pekik orang tertua tak berdaya itu. Matanya menyala-nyala menyemburkan kebencian, kejijikan dan penyesalan.
Bocah-bocah yang juga terikat itu kini berpandangpandangan satu sama lain dengan ketakutan.
Disentuh pun Bapa tidak suka, sedang aku hendak Bapa tombak, gumam Syahbandar-muda. Perdamaian yang sungguh tidak jujur, Bapa.
Mata-mata! Telik! pekik orang itu seperti gila. Suaranya menggaung di tepian rimba. Allah mengutuk kau, dunia dan akhirat!
Siapa yang mengutuk aku, Bapa atau Allah" Ataukah Bapa sama dengan Allah" balas Syahbandar-muda. Sudah, Bapa diam saja. Pinjami aku anak yang terkecil ini. Dan Bapa sendiri, pinjami aku pakaian itu, biar pun terlalu sempit. Dan kalian, ia perintahkan pada para pengawalnya. bawa sisanya ke dalam rimba, terikat! Tunggu sampai aku datang. Sini, Buyung, perintahnya pada tawanannya yang terkecil, biar aku lepas talipengikatmu, dan mari aku diantarkan. Jangan menyasarkan, karena paman dan saudara-saudaramu bisa binasa. Lagipula takkan dapat kau lari dari tanganku.
Ia berjalan dengan pakaian putih serba kekecilan bersama si buyung. tujuan: desa Rajeg, pusat kekuatan Ki Aji Benggala. Ia beruluk salam dengan tangannya pada orang-orang yang dipapasinya di jalanan sebagaimana adat baru itu diajarkan. Ia tarik senyum pada pasang-pasang mata yang nampak heran memandanginya: seorang berbadan besar, berpakaian serba putih dan serba sempit dengan rambut kafir panjang terurai, langkahnya mantap tanpa ragu-ragu, dan mengiringkan seorang bocah.
Di sawah dan ladang orang memerlukan berhenti bekerja untuk da-pat melihat pemandangan aneh itu.
Dan si buyung tak berusaha menerbitkan kesulitan. Beberapa desa telah dilewati. Kemudian sampailah mereka di Rajeg.
Wiranggaleng heran melihat wajah-wajah yang sudah dikenalnya dan sudah mengenalnya. Mereka adalah penduduk Tuban Kota yang biasanya belayar atau berdagang. Dan mereka tidak menegurnya, hanya menyapukan pandang padanya, bahkan membalas senyum dan salamnya pun tidak.
Orang-orang yang sedang bercakap-cakap di pinggir jalan juga memerlukan berhenti bicara, meminggir, memberinya jalan, dan mengawasinya dengan mata bertanya-tanya. Dan Wiranggaleng menyadari betapa sulit keadaannya.
Sampailah keduanya kini di depan sebuah rumah kayu berbentuk joglo. Pendoponya juga sebuah rumah joglo beratap sirap. Tiang-tiang guru terbuat daripada balok-balok kayu bulat berjumlah empat, tanpa ukiran. Lantainya terbuat daripada tanah liat dikeraskan bercampur pasir. Di tengah-tengahnya tergelar tikar lampit dengan sebuah meja rendah di atasnya.
Tak ada orang terdapat di sekitar rumah itu.
Ia berdiri saja dan tak ada nampak kehidupan di pendopo yang kosong melompong itu. Ia heran mengapa tak ada penjagaan di rumah dan sekitarnya. Waktu ia angkat pandangnya untuk melihat susunan kasau, nampak olehnya sepotong kulit kambing terpakukan pada blandar depan. Dan pada kulit itu tertulis tulisan Arab. Barangkali itu mantra penjaga dan pekarangan, pikirnya.
Pelataran depan dan samping-menyamping terbuka luas tiada tertanami, nampaknya memang sengaja akan dibuat men jadi taman. Dan jauh di belakang, melalui atap rumah, nampak tajuk pohon-pohon nyiur dari berbagai umur, terusmenerus bergoyang gelisah.
Nuwun hasalamu halaikoooom! sebutnya. Si buyung pergi ke belakang melalui samping rumah. Cukup lama ia menunggu. Baru muncul yang diharapharapkannya: Ki Aji Benggala. Ia berpakaian serba putih tenunan desa. Dan ia tak menyilakannya naik. Dengan langkah ragu ia mendekati Wiranggaleng. berhenti di depannya, menatapnya dengan pandang ke bawah. Kedua belah tangannya bertolak pinggang, dan mata itu menyalanyala gusar: Wiranggaleng! raungnya.
Sahaya, Ki Aji, ia bersimpuh di tanah dan menyembah. Dan ia tak mengerti mengapa tuanrumah itu mesti meraung.
Berpakaian putih berambut panjang, datang untuk serahkan nyawa.
Sahaya, Ki Aji. Syahbandar-muda, juara gulat . Sahaya, Ki Aji.
Dari suara-suara di belakangnya Wiranggaleng tahu, beberapa orang sudah berdiri dengan tombak untuk sewaktu-waktu akan menjojoh punggungnya.
Kau sudah ringkus penjaga-penjaga perbatasan, Ki Aji tak menerima apa pun dari siapa pun, apalagi hanya orang sebagai kau"
Sahaya, Ki Aji, dan sekilas dalam tunduknya ia dapat menangkap sosok tubuh seorang wanita gemuk sedang menghampiri Rangga Iskak dari belakang. Dialah penolongku, pintanya dalam hati. Sahaya menghadap hanya sebagai utusan. Tidak lebih dan tidak kurang.
Utusan siapa" Hhh! Kafir-kufur yang terkantuk-kantuk menunggu datangnya iblis-iblis Peranggi terkutuk pula itu" ia diam dan menolak ke belakang.
Wiranggaleng mengangkat pandang dan melihat waktu itu menyembah pada Rangga Iskak sambil tetap berdiri, bicara lantang dalam bahasa yang ia tak mengerti. Dan ia Iihat Rangga Iskak alias Ki Aji Benggala mengawasi wanita itu tajam-tajam, kepalanya menggeleng atau mengangguk. Kemudian ia melambaikan tangan menyuruh wanita itu pergi. Tetapi yang disuruhnya manda saja.
Ya, kata Ki Aji tiba-tiba lunak pada Wiranggaleng, hanya orang pemberani seperti kau bisa dan berani datang kemari, ia mengangguk-angguk.
Sahaya datang bukan sebagai utusan Gusti Adipati, Ki Aji, tetapi Tuan Syahbandar Habibullah Almasawa.
Anjing Ispanya itu! Begundal Peranggi! Bekas Syahbandar Malaka keparat! Terlalu lambat orang mengetahuinya.
Wanita di depannya itu menyembah Ki Aji dari belakang, kemudian menepuk bahunya. Kembali suara Ki Aji menjadi lunak.
Munafik keparat! makinya pelan. Tak ada ampun lagi bagi iblis laknat itu. Datang di Goa, dijualnya Goa pada Peranggi. Datang di Malabar, dijualnya Malabar pada Peranggi. Betapa terlambat orang mengetahui. Datang ke Malaka begitu juga. Datang di Tuban apalagi yang sedang diperbuatnya sekarang" Dan adipatimu, si goblok yang cuma tahu selir-selirnya itu, tak tahu ujung dan pangkal keadaan .
Sahaya hanya seorang utusan, Ki Aji Benggala. Lagi-lagi wanita itu bicara berbisik pada Ki Aji. Dan kesempatan itu dipergunakannya untuk mengeluarkan surat dari Sayid Habibullah. Ia lakukan itu dengan sengaja untuk dilihat oleh Ki Aji. Tetapi orang di depannya itu tak menggubrisnya.
Perkenankan sahaya mempersembahkan surat ini, ia terpaksa mengatakan. Ki Aji melihat surat itu dengan raguragu. Wanita di belakangnya nampak memberikan isyarat dan berbisik lagi untuk memberanikan agar menerimanya.
.Ya, gumamnya kemudian, Nabi pun berkirim surat pada umat kafir Romawi dan kaisar kafir yang lain. Betul juga kau, Khaidar. Suaranya sekarang meninggi, Sini surat itu.
Wiranggaleng memanjangkan badan dan menyampaikan.
Bedebah! raung Ki Aji. Ini bukan surat. Ini hanya alasan. Alasan agar kau dapat datang kemari dan mematamatai daerahku. Terkutuk! Laknat! Begundal Peranggi keparat! ia remas-remas surat kertas itu dan melemparkannya pada muka utusan itu. Jangan kalian kira Peranggi bisa raba bumi ini dengan keteranganmu. Apa lagi Tuban, Tuban yang mau untungnya saja dari Islam, tapi tak kerja sesuatu pun untuknya.
Sahaya hanya seorang utusan, Ki Aji, sembah utusan itu. Dan ia telah menyiapkan diri untuk lari bila keadaan semakin genting.
Wanita itu bicara lagi. Ki Aji Benggala mendengarkan, kemudian memberikan isyarat pada Wiranggaleng agar menyerahkan kembali surat teremas yang telah terkapar di tanah itu. Begitu telah diterimanya, wanita itu mengambil dari tangannya dan membacanya, tersenyum, mengangguk dan memandangi Ki Aji sambil bergeleng-geleng. Kata assalamualaikum berkali-kali keluar dari mulut wanita itu. Ki Aji Benggala kembali menatap Wiranggaleng. Surat, katanya menggerutu, hanya berisi assalamu alaikum. Lebih tidak, kekerasan yang hampir meledak lagi tiba-tiba mereda dari wajahnya. Wajiblah bagimu, katanya lebih pada diri sendiri, membalasnya. Ya, wajib, di mana pun dan kapan pun dan dari siapa pun datangnya.
la diam dan nampak berpikir. Kemudian tersenyum dan memperhatikan si penghadap di depannya tanpa berkedip.
Baik, katanya. Bedebah Moro itu berhasil. Dia telah menyampaikan salam damai, begundal Peranggi itu.
Sahaya hanya seorang utusan, Ki Aji. Sekarang sahaya sedang menunggu balasan untuk sahaya bawa pulang.
Kau sedang menyelamatkan tengkukmu sendiri rupanya, Galeng. Kau memang pandai, licik.
Sahaya hanya seorang utusan, apalah yang sahaya bisa perbuat selain menjalankan perintah"
Baik. Kau boleh miliki tengkukmu sendiri. Aku akan balas surat ini. ia merengut. Tunggu kau di situ. Jangan tinggalkan tempatmu. Tombak akan merajang kau. Jangan sentuhkan jari-jari najismu pada tangga dan haram jika mengenainya.
Ia masuk. Wanita itu masih berdiri memandangi utusan itu tapi tiada berkata sesuatu pun.
Dan lama ia harus menunggu.
Terik matari telah memeras keringat dari tubuhnya. Di samping menyampingnya mulai berdatangan bocah-bocah menontonnya. Ia tetap menekuri tanah.
Ki Aji Benggala keluar lagi membawa kertas surat. Hei, kau, Wiranggaleng, sampaikan oleh mulutmu sendiri pada tuanmu begundal Peranggi itu, aku, Ki Aji Benggala, Rangga Iskak, Ishak Indrajit, telah menerima suratnya. Sampaikan: dia harus laksanakan apa yang aku perintahkan sebagaimana termaktub dalam surat ini. Dia akan tahu apa bakal menimpa dirinya kalau tidak. Sahaya, Ki Aji.
Jangan coba-coba menganiaya penjaga perbatasan. Sahaya, Ki Aji.
Lepaskan mereka, kembalikan baju mereka. Sahaya, Ki Aji.
Pergi! bentaknya keras. Tinggalkan bumi ini dan jangan balik kalau tak bosan hidup.
Wiranggaleng mengangkat sembah. Setelah Ki Aji pergi dalam iringan Khaidar baru ia bangkit berdiri, balik kanan jalan, dan pengawal-pengawal berbaju serba putih itu menarik mata tombak mereka dari tubuhnya dan membiarkannya pergi.
Hasalamu alaikoooom! ia mendahului beruluk salam. Tak seorang pun membalasnya. Berlapis-lapis mata tombak memenuhi jalanan yang dilewatinya. Ia terus juga beruluk salam tanpa jawaban.
Mereka membiarkannya lewat tanpa gangguan.

Berlanjut ke bagian 14


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar