<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-2193814062312084"
crossorigin="anonymous"></script>
Arus Balik.
Karya : Pramoedya Ananta Toer.
Bagian 44
44. Arus Balik Selesai ucapan pernyataan kemenangan rombongan Senapati berpacu ke selatan meninggalkan Kota. Mereka: Senapati dan para pemimpin pasukan. Mereka langsung menuju ke sebuah bukit kecil, turun dari kuda masingmasing, duduk menghadap Senapati.
Tempat itu terlindung oleh semak-semak telekan dan dipayungi oleh pokok laban.
Beberapa saat lamanya mereka semua menunduk diamdiam dalam ucapan syukur. Ketenangan sekitarnya dan kecerahan alam membikin suasana menjadi syahdu.
Aku bawa kalian ke mari, Sang Senapati memulai, karena ada sesuatu yang kalian patut ketahui. Kita telah kalahkan Peranggi dengan penyerangan cepat dan mendadak. Kalian harus ketahui watak musuh yang sangat berbahaya ini: mereka hendak menguasai urat nadi kehidupan kehidupan hanya untuk diri mereka sendiri, dan semua harus mengabdi untuk kepentingan itu, dan: mereka tak sudi kalah untuk kedua kedinya. Mereka takkan datang lagi ke Tuban, bukan saja karena telah dikalahkan di sini, juga karena nadi-kehidupan telah dialihkan dari Tuban ke tempat lain. Peganglah ini sebagai ketentuan.
Jangan bosan-bosan mendengar kata yang sering kuulang ini: kemenangan ini belum banyak artinya, selama Peranggi menguasai jalan rempah-rempah, merekalah yang menguasai dunia, dan kita hanya menduduki pojokan yang gelap, ia teringat pada kata-kata lamanya.
Senapati mengangkat telunjuk memberi peringatan: Makin kuat mereka menguasai jalan rempah-rempah, makin gelap pojokan kita. Apabila mereka tak dihalau dari tempat-tempat mereka berkuasa sekarang ini, bahkan dibiarkan semakin kuat juga, nasib Jawa dan Nusantara sudah dapat ditentukan ambruk entah sampai berapa keturunan.
Senapatiku! Banteng Wareng angkat bicara setelah beberapa saat Senapati berdiam diri sambil mengunyah sirih. Bagaimana menghalau mereka"
Tunggu, tegah Wiranggaleng, biar aku ceritai kalian. Dahulu, di jaman kejayaan Majapahit, arus bergerak dari selatan ke utara, dari Nusantara ke Atas Angin. Majapahit adalah kerajaan laut terbesar di antara bangsa-bangsa beradab di muka bumi ini. Kapal-kapalnya, muatannya, manusianya, amal dan perbuatannya, cita-citanya semua, itulah arus selatan ke utara. Segala-galanya datang dari selatan. Majapahit jatuh. Sekarang orang tak mampu lagi membuat kapal besar. Kapal kita makin lama makin kecil seperti kerajaannya. Karena, ya, kapal besar hanya bisa dibikin oleh kerajaan besar. Kapal kecil dan kerajaan kecil menyebabkan arus tidak bergerak ke utara, sebaliknya, dari utara sekarang ke selatan, karena Atas Angin lebih unggul, membawa segala-galanya ke Jawa, termasuk penghancuran, penindasan dan penipuan. Makin lama kapal-kapal kita akan semakin kecil untuk kemudian tidak mempunyai sama sekali.
Tidak mungkin. Senapatiku! bantah Kala Cuwil. Tidak mungkin asal kalian menguasai jalan laut lagi. Selama mereka yang menguasai, mereka takkan menenggang kapal kita, akan menghancurkannya sama sekali. Sampai kita dibikin tidak beranjak dari dusun kita sendiri di pesisir dan gunung.
Aku telah ceritakan pada kalian jahatnya arus balik dari utara ke selatan. Dalam hidup kita, ada seorang yang bukan hanya menyedari ini, bahkan membendungnya. Bukan hanya membendung, bahkan melawan. Orang itu adalah Gusti Kanjeng Adipati Unus. Mulialah beliau sepanjang jaman. Beliau adalah perpaduan antara brahmana dan satria, seorang aulia yang akan dihormati sampai akhir jaman. Itu sebabnya bukan suatu kebetulan lambangnya berbentuk kupu-tarung.
Mengapa kupu-tarung" Dua ekor kupu bertarung adalah lambang dua kekuatan, dua arus yang sama-sama lebih yang sedang berbenturan, bukan berkasih-kasihan, memperebutkan kasih dan madu dari sang bunga, sari kehidupan. Kedua-duanya sama indah di hadapan sang surya, sama tergila-gila pada kemampuan sayap sendiri, sama lemah terhadap perkisaran angin, sama berasal dari ulat yang hina-dina.
Sebenarnya kupu yang satu, kita ini, sama sekali tak perlu kalah karena lawannya juga tidak kuat. Kalian telah dapat halau Peranggi dari bumi kalian. Bagiku, kita lebih banyak baru menang atas ketakutan terhadap mereka, daripada menang atas Peranggi itu sendiri. Kita belum mengalahkannya sama sekali dari jalan laut.
Jangan sela aku. Biar dapat kuteruskan dengan tenang. Kalau kupu yang satu itu, arus selatan itu, kalah, bukanlah karena kupu Peranggi, arus utara itu, lebih kuat. Hanyalah karena kupu yang satu itu dungu, tak tahu tentang diri dan persoalannya. Dia hindari Peranggi, arus utara itu, dengan berbagai dalih dan kegiatan. Dan bila kegiatan itu justru seperti dilakukan oleh Trenggono, Jawa dan Nusantara akan tenggelam. Surya akan segan memberkahi dengan sinarnya yang menghidupi.
Benarkah sikap dan perbuatan kita terhadap Demak" Banteng Wareng bertanya.
Itulah teka-teki buah si malakama, dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak mati, jawab Wiranggaleng sedih. Kalian hadapi Demak, kalian menjadi lemah di hadapan Peranggi, kalian tidak hadapi, kalian dilindas olehnya dan jadi lemah juga di hadapan Peranggi
Memang persoalannya tak lain dari menghadapi Peranggi, Banteng Wareng membetulkan pertanyaannya.
Bagaimana harus menghadapi Peranggi, Senapati" sekarang Kala Cuwil bertanya.
Majapahit telah memberikan jawaban pada kalian: kesatuan Nusantara. Singosari telah memberikan jawaban: kesatuan Nusantara. Bukankah Singosari telah memberikan jawaban terhadap ancaman kaisar dari utara dulu: kesatuan Nusantara! Dan dikirimkan Raden Wijaya untuk usaha penyatuan itu" Memang pernah dulu ada seorang Gajah Mada yang dapat melaksanakan cita-cita Sri Baginda Kartanegara dari Singosari dan Raden Wirang dari Majapahit
Engkaulah Gajah Mada! Kala Cuwil berseru. Senapatiku, kaulah Gajah Mada! Braja memperkuat Kami semua sependapat! Rangkum menambahi. Tidak bisa lain, bisik Banteng Wareng seperti doa. Sang Senapati menunduk. Orang melihat gelombang dukacita menyaputi wajahnya, dan semua menjadi terdiam.
Semua menunduk seperti kembali mengulangi upacara syukur. Rasa-rasanya nafas sendiri pun dapat didengar.
Gajah Mada dimunculkan tidak di jaman kita. Kalian wajib mengetahui. Pada waktu itu hanya ada satu kerajaan yang kuat, dan kerajaan itu mempunyai cita-cita. Kerajaan yang kuat sekarang adalah Demak, mempunyai balatentara dan armada yang hebat, dalam bilangan hari bisa menaklukkan bandar-bandar, dia pun punya cita-cita, hanya untuk tidak berhadapan dengan Peranggi sendiri. Tanpa raja yang bijaksana dan kuat tidak mungkin lahir seorang Gajah Mada.
Setelah Trenggono melancarkan gerakannya yang dungu, tak seorang pun raja di Nusantara menaruh kepercayaan padanya, tak ada kekuatan gabungan bisa dibina karena jaman kita ini memerlukan kekuatan gabungan sebagaimana dicita-citakan Gusti Kanjeng Adipati Unus. Mulialah nama beliau sepanjang jaman.
Ingatkah kalian pada sejarah lahirnya armada Jepara- Demak" Beberapa kerajaan di Jawa dan seberang telah bersumbang untuk pembangunan itu. Akhirnya armada megah itu digunakan Trenggono bukan untuk kepentingan Nusantara, hanya untuk menguasai Jawa. Sejak itu tak akan ada lagi raja yang bisa diajak bersekutu dan bergabung kekuatan. Nasib Jawa dan Nusantara telah ditentukan. Kaulah Gajah Mada! ulang Kala Cuwil.
Tidak. Aku hanya seorang anak desa bernama Galengtahu takkan mampu membendung perkembangan kemerosotan ini. Pengalaman Malaka yang terakhir adalah bukti tak terbantahkan. Boleh jadi akulah saksi hidup bagaimana satu balatentara telah jadi rusak dan merosot karena kehilangan pegangan.
Ia mengangkat kepala dan memandangi Kala Cuwil: Kau, Kala Cuwil, kau yang tertua di antara semua kepala pasukan, lepaskan destarmu dan gelar di hadapan kita.
Kala Cuwil terheran-heran dan memandangi Senapati dengan mata bertanya-tanya.
Tidak, bukan untuk mengurangi kehormatanmu. Dengan ragu Sang Patih melepas destar, menggelarnya di hadapan Wiranggaleng dan merapikan ujung-ujungnya yang keriput.
Hanya melepas destar pun kau ragu-ragu, Sang Wirabumi, tegur Wiranggaleng. Lebih banyak lagi yang bakal dipinta dari dirimu.
Senapatiku. Nah, dengarkan baik-baik sekarang. Jangan sampai sepatah kata pun terlupa atau tiada terdengar oleh kalian, karena aku takkan mengulangi lagi.
Senapatiku! pekik Rangkum.
Dengarkan! perintah Senapati. Telah aku baktikan masa mudaku dan tenagaku dan kesetiaanku. Biar pun hanya secauk pasir untuk ikut membendung arus balik dari utara. Arus balik itu ternyata tak dapat dibendung. Kekuatan untuk itu ada pada Trenggono, dan Sultan Demak itu tidak bisa diyakinkan untuk menggunakannya. Arus tetap datang dari utara, yang selatan tetap tertindih. Ya, Dewa Batara, kau tak beri aku kekuatan untuk menyedarkan raja dan sultan sehingga jadi gelombang raksasa, bukan sekedar yang mendesak arus balik dan utara, bukan saja untuk jaman kemerosotan ini, juga kelangsungannya untuk selama-lamanya. Gajah Mada, anak desa itu telah berhasil. Ia gerakkan tangannya dan semua jadilah yang dipegangnya, semua bangun yang disentuhnya. Pergilah dia, pergi untuk selama-lamanya, meninggalkan kebesaran dan arus besar yang mengimbakimbak megah berpendaran damai ke utara. Aku bukan Gajah Mada. Tiada sesuatu hasil apalagi kebesaran kutinggalkan kecuali kesakitan dan kekecewaan dalam diri dan terhadap diri sendiri.
Jaman Gajah Mada, jaman anak desa dapat mengedepankan pendapatnya pada Kaisar, telah lewat. Kita tak pernah lagi punya Kaisar selama ini. Raja-raja semakin jadi kedi dan anak, anak desa jadi lebih kecil lagi.
Aku menyedari tak ada kemampuan membendung arus utara, arus balik yang semakin besar juga ini. Maka akulah orang yang paling menderita karena kesedaran ini. Jaman bukan hanya tak membantu, bahkan melawan kita. Itu sebabnya akan kutinggalkan pada kalian, dan semua kuserahkan pada kalian.
Senapatiku! Banteng Wareng menyela.
Aku sadar tak ada kemampuan untuk pekerjaan besar itu. Aku tak ada kemampuan mempersatukan raja-raja dan para sultan. Itu sebabnya akan kutinggalkan kalian, dan semua kuserahkan pada kalian. Setelah ini kalian harus atur dan urus semua tanpa aku. jangan berdukacita, karena surya enggan memancarkan rahmatnya pada yang berdukacita.
Wiranggaleng melepas bungkusan di punggung dan meletakkan di hadapannya. Semua mata mengawasi bungkusan itu.
Lihatlah ini, katanya lagi dan membuka bungkusan, dan meletakkan isinya satu per satu di atas destar Kala Cuwil, cincin, kalung, destar, kain, ikat pinggang, tilam, semua bertanda kupu-tarung. Hanya kasut tidak ada, hilang karena keteledoran pembawanya. Nah, ini gelang, kemudian Senapati menarik keris dari pinggang, dan ini keris bersarung dan berbulu mas dengan kupu-tarung pula. Kalian tahu lambang siapa ini. Jangan pegang. Lihat saja baik-baik.
Dan semua menjalankan apa yang diperintahkan.
Kutinggalkan dan kuserahkan semua ini pada kalian peninggalan Gusti Kanjeng Adipati Unus, melalui Gusti Ratu Aisah, melalui Pada alias Mohammad Firman, melalui aku, Wiranggaleng, Senapati Tuban .
Nah, kalian, empat orang, masing-masing pegangi sudut apa yang diperintahkan. Benda-benda itu menggelantung di tengah destar.
Pegangi terus dan jangan lepaskan. Barangsiapa di antara kalian, ia pandangi para pemimpin pasukan itu seorang demi seorang dapat memahami kata-kataku, memahami arus utara dan selatan, dapat menyelami arus balik dan pesan Gusti Kanjeng Unus, ambillah dan pergunakanlah semua peninggalan itu. Tegakkan Tuban, usahakan mengusir Peranggi dari jalan laut, Pasai, Selat, Semenanjung, Malaka dan Maluku. Lepaskan arus selatan ke utara bergelombang-gelombang sepanjang jaman.
Perhatikan barang-barang itu dan jangan perhatikan Wiranggaleng, Senapati kalian. Wiranggaleng sekarang sudah tidak ada. Sekarang dia hanya seorang petani bernama Galeng. Tinggallah kalian dalam kerukunan, karena perpecahan adalah pembunuh kalian yang pertama. Aku akan pergi dan jangan kalian cari. Hanya bila Peranggi datang lagi, Wiranggaleng akan datang untuk memusnahkannya.
Senapati itu berdiri. Ia tinggalkan kepala-kepala pasukan yang masing-masing memegangi ujung destar Kala Cuwil. Ia melompat ke atas punggung kuda, dan kuda itu melangkah pelan-pelan menuruni bukit, kemudian berpacu ke selatan.
Tiada antara lama seorang penunggang kuda lain berpacu, lebih cepat lagi dan mencoba mengejarnya. Yang dikejar terus berpacu tanpa menengok. Sesampai di sebidang padang rumput tak seberapa luas pengejar itu berseru-seru.
Galeng menghentikan kuda dan menengok. Dilihatnya seorang prajurit Tuban berkuda datang menghampiri. Seluruh badannya telah bersalut debu.
Prajurit itu melompat turun, berjalan berjongkok dengan cepat dan mengangkat sembah mendekati kaki kuda Senapati. Suaranya gemetar dan meletup-letup jadi pekikan tak terkendali: Senapatiku! Bapak! Tiadakah aku patut lagi bersujud padamu dan mencium kakimu"
Siapa kau" Gelar, Bapak, anakmu. Kuterima sujud dan sembahmu dari atas kuda ini, Gelar.
Senapatiku, Bapakku, adakah aku, ia terhisak-hisak. Aku, aku, aku masih patut jadi , hisakannya semakin keras, jadi, jadi, jadi anakmu"
Kuberikan restuku padamu setiap saat kau teringat padaku dan melakukan segala yang baik dan benar, yang tidak mendatangkan kutukan dari Maha Buddha, jawab Senapati dari atas kudanya dengan pandang terarah lurus ke selatan.
Tidak patutkah aku mendapat kata lebih banyak lagi, Senapatiku" Bapakku" kembali ia terhisak dengan punggung terangguk-angguk ke atas.
Segala yang telah kulakukan selama ini sudah bersuara dan bergema dan bergaung dalam hatimu. Engkau sudah tahu dan mengerti.
Ya, Bapak. Ciumlah kakiku, dan kembali kau pada pasukanmu. Patuhlah pada suara dan gaung hatimu. Wiranggaleng bukan Senapati, dia hanya petani biasa. Kutunggu kau di desa, setelah segala yang kau citakan tercapai
Gelar berdiri membungkuk, melepas sembah, memeluk kaki kiri penunggang kuda itu dan menciumnya.
Beberapa bentar kemudian Galeng merenggutkan kaki, menggerakkan kuda, berpacu terus ke selatan.
Gelar tertinggal bersujud di atas tanah dan menangismeraung sekerasnya sampai suara dan airmatanya habis. Dengan punggung masih terangguk-angguk karena hisak ia bangun, berdiri dan memeluk leher kudanya.
Sultan, sebutnya, tinggal kaulah sekarang padaku. Seorang demi seorang telah pergi daripadaku. Tak seorang pun mengajak aku. Sultan, bawalah aku ke mana kau suka.
Ia naik ke atas kuda tanpa mengindahkan sesuatu. Ia turun lagi dan melepas kendali dan abah-abah, dan dibuangnya ke rumputan. Kuda itu telanjang seperti bukan kuda balatentara. Ia naik lagi. Dan kuda itu berjalan lambat-lambat sekehendak hatinya.
Mata Gelar terundukkan ke bawah, bahkan mengiringkan Senapati dengan pandangnya pun tidak.
Senapati itu sendiri terus berpacu ke selatan. Di sebuah jalanan hutan ia berhasil menyusul Idayu dan Kumbang dan turun dari kuda.
Bapak! seru Kumbang. Wiranggaleng mengangkatnya dan menaikkannya di atas punggung binatang itu. Ia berjalan di samping Idayu, pelanpelan tanpa bicara.
Bapak ikut pulang ke desa" tanya Kumbang. Ya, Nak, ikut pulang, jawabnya.
Idayu melirik pada suaminya. Hanya sekilas. Mak, Mak, Bapak ikut pulang.
Ya, Nak, biar sekali-sekali menengok rumah, jawab Idayu dan melirik pada suaminya lagi.
Kau tak membawa perlengkapan perang, Kang" Tidak.
Demak setiap waktu menyerang lagi, Kang. Sekarang Galeng hanya petani, Idayu.
Idayu berhenti berjalan dan memegangi tangan suaminya, memandanginya dengan mata berkaca-kaca. Mereka berbisik-bisik, kemudian berjalan lagi, makin lama makin jauh memasuki daerah hutan dan hilang di balik kehijauan abadi .
Demikianlah cerita tentang seorang anak desa lain yang mengemban cita-cita menahan arus balik. Berbeda dari anak desa yang lain, yang seorang ini tidak berhasil, patah di tengah jalan, namun ia telah mencoba.
Berlanjut kebagian Penutup
Tidak ada komentar:
Posting Komentar