Sabtu, 19 November 2022

BUMI MANUSIA KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER #19/27


Sahabat, Segala apa yang telah mereka lakukan untuk bangsamu pada akhir abad 19 ini sudbh termasuk gaya lama, kata Papa. Sekarang ini, menurut Papa lagi, Pribumi sendiri yang harus berbuat sesuatu untuk bangsanya sendiri. Karena itu kalau dulu kita bicara tentang usaha Doktor Snouck Hurgronje sama sekali bukan suatu kebetulan. Sarjana tsb. menempati kedudukan terhormat dalam penilaian keluarga kami. Kami memuji assosiasi yang justru kau tertawakan itu. Jadi mengertilah, sahabat, mengapa Papa punya perhatian padamu. Memang belum pernah Papa dan kami berdua menemui orang Jawa seperti kau. Sikapmu, katanya, sepenuhnya Eropa, telah terlepas dari acuan budak Jawa dari jaman kekalahan semenjak orang Eropa menginjakkan kaki di bumi kelahiranmu.
Di malam sunyi dalam gedung kami yang besar dan lengang ini, apabila Papa tidak lelah, sukalah kami mendengarkan uraiannya tentang nasib bangsamu, yang pernah melahirkan beratus dan beribu pahlawan dan pemimpin dalam usaha menghalau penindasan Eropa. Seorang demi seorang dari mereka jatuh, kalah, tewas, menyerah, gila, mati dalam kehinaan, dilupakan dalam pembuangan. Tak seorang pun pernah memenangkan perang. Kami dengarkan dengan terharu, juga ikut menjadi jengkel dengan kelakuan para permbesarmu yang menjuali konsessi pada Kompeni untuk kepentingan sendiri sebagai pertanda ke-krbposan watak dan jiwanya. Pahlawanpahlawanmu, dalam cerita Papa, bermunculan dari latarbelakang penjualan konsessi, begitu terus-menerus, berabad-abad, dan tidak mengerti bahwa semua itu hanya ulangan dari yang sudah-sudah, semakin lama semakin kerdil. Dan begitulah, kata Papa, suatu bangsa yang telah mempetaruhkan jiwa-raga dan harta-benda untuk segumpal pengertian abstrak bernama kehormatan.
Mereka dikodratkan kalah, kata Papa, dan lebih mengibakan lagi karena mereka tak mengerti tentang kodratnya. Bangsa besar dan gagah-perwira itu terus juga mencoba mengangkat kepala dari permukaan air, dan setiap kali bangsa Eropa memperosokkan kembali kepalanya ke bawah. Bangsa Eropa tidak rela melihat Pribumi menjengukkan kepala pada udara melihat keagungan ciptaan Allah. Mereka terus berusaha dan terus kalah sampai tak tahu lagi usaha dan kekalahannya sendiri. Menurut Papa, kodrat ummat manusia kini dan kemudian ditentukan oleh penguasaannya atas ilmu dan pengetahuan. Semua, pribadi dan bangsa-bangsa akan tumbang tanpa itu. Melawan pada -yang berilmu dan pengetahuan adalah menyerahkan diri pada maut dan kehinaan.
Maka Papa menyetujui assosiasi. Hanya itu satu-satunya jalan yang baik untuk Pribumi. Ia mengharapkan, juga kami berdua, kau kelak duduk setingkat dengan orang Eropa, bersama-sama memajukan bangsa dan negeri ini, sahabat. Permulaan itu kau sendiri sudah mulai. Pasti kau bisa memahami maksud kami. Kami jangat mencintai ayah kami. Ia bukan sekedar seorang ayah, juga seorang guru yang memimpin kami melihat dan memahami dunia, seorang sahabat  yang masak dan berisi, seorang administrator yang tak mengharapkan keuntungan dari keluh-ke-sah bawahan.
Mari aku ceritai kau tentang kata-katanya setelah kau pulang dari kunjunganmu yang pertama. Kau sendiri pergi dengan hati mengkal atau sebal, bukan " Kami dapat mengerti, karena kau belum mengerti maksud kami. Papa memang sengaja meninggalkan kau, agar kau bisa bicara bebas dengan kami. Tapi sayang, kau bersikap begitu kaku dan tegang. Begitu kau pergi Papa menanyakan pendapat kami tentang kau. Pada akhirnya Minke marah, Sarah melaporkan, Doktor Snouck Hurgronje dan assosiasinya sudah tiga ratus tahun ketinggalan, jadi:tepat seperti kau katakan. Papa terkejut dan terpaksa mendengarkan keterangan lebih jauh dari aku.
Kemudian Papa bilang: Dia bangga sebagai orang Jawa, dan itu baik selama dia punya perasaan hargadiri sebagai pribadi mau pun sebagai anak bangsa. Jangan seperti bangsanya pada umumnya, mereka merasa sebagai bangsa tiada tara di dunia ini bela berada di antara mereka sendiri. Begitu di dekat seorang Eropa, seorang saja, sudah melata, bahkan mengangkat pandang pun tak ada keberanian lagi. Aku setuju dengan pujian untukmu. Selamatlah untukmu, sahabat.
Kemudian, sahabat, dari gedung wayang-orang mulai terdengar suara gamelan. Sudah lebih dua tahun ini Papa menyuruh kami memperhatikan musik menurut pengucapan bangsamu itu. Kalian jnemang sudah lama belajar mendengarkan dan mungkin sudah bisa menikmatinya, katanya lagi. Perhatikan, semua nada bercurahan rancak menuju dan menunggu bunyi gung. Begi"u dalam musik Jawa, tetapi tidak begitu dalam kehidupannya yang nyata, karena bangsa yang mengibakan ini dalam kehidupannya tak juga mendapatkan gungnya, seorang pemimpin, pemikir, yang bisa memberikan kataputus.
Sahabat, aku minta dengan amat sangat kau sudi memahami ucapan yang takkan kau dapatkan dari siapa pun kecuali ayahku itu, juga tidak dari sarjana besar Snouck Hurgronje. Maka kami bangga punya ayah seperti dia. Papa yakin, kau suka pada gamelan, lebih daripada musik Eropa, karena kau dilahirkan dan dibesarkan dalam ayunan gamelanmu yang agung itu.
Minke, sahabatku, di mana gerangan gung Jawa di luar gamelan, dalam kehidupan nyata ini " Kaulah itu bakalnya " Gung yang agung itu " Bolehka kami berdoa untukmu "
Dengarkan gamelan itu, kata Papa lagi. Begitulah berabad-abad belakangan ini. Dan gung kehidupan Jawa tak juga tiba. Gamelan itu lebih banyak menyanyikan kerinduan suatu bangsa akan datangnya seorang Messias merindukan, tidak mencari dan tidak melahirkan. Gamelan itu sendiri menterjemahkan kehidupan kejiwaan Jawa yang ogah mencari, hanya berputar-putar, mengulang, seperti doa dan mantra, membenamkan, mematikan pikiran, membawa orang ke alam lesu yang menyesatkan, tidak ada pribadi. Itu tanggapan dari seorang Eropa, sahabat. Satu orang Jawa pun takkan punya tanggapan demikian. Kata Papa lagi: kalau dalam dua puluh tahun mendatang dia masih tetap begitu, tanpa perubahan, itulah tanda bangsa ini masih tetap tak mendapatkan Messias-nya.
Aduh, sahabat, bagaimana gerangan wajah bangsamu yang mengibakan sekarang ini pada dua puluh tahun mendatang " Pada suatu kali kelak kami akan pulang ke Nederland. aku akan bergerak di lapangan politik, Minke. Cuma sayang sekali Nederland belum membenarkan seorang wanita jadi anggota Tweede Kamer . Aku punya impian, sahabat, sekiranya kelak sudah tidak demikian lagi, dan aku menjadi Yang Terhormat Anggota Tweede Kamer, aku akan banyak bicara tentang negeri dan bangsamu. Kalau aku datang ke Jawa pertama-tama akan kudengarkan kembali gamelanmu, gamelan yang indah dalam kesatuan bunyi tiada duanya itu. Kalau temanya tetap saja, suatu dambaan tanpa usaha itu, berarti belum ada Messias datang atau dilahirkan. Artinya juga: kau belum muncul jadi gung, atau memang tiada seorang Jawa pun akan muncul, hanya akan tenggelam terus dalam curahan nada-nada ulangan dan lingkaran setan. Kalau ada terjadi perubahan, aku akan cari kau, khusus untuk mengulurkan tangan hormat padamu.
Sahabat, dua puluh tahun! itu terlalu amat lama dalam jaman yang menderap berlumba ini, juga cukup panjang biar pun dilihat dari hidup seseorang. Nah, sahabatku Minke, inilah surat pertama yang kau terima dari sahabatmu yang tulus dan berpengharapan baik:
Miriam de la Croix. Waktu aku lipat surat itu kuketahui airmataku telah meninggalkan becak biru di sana-sini, melelehkan tinta. Mengapa aku menangis membaca surat seorang gadis yang baru dua kali kutemui dalam hidupku " bukan sanak bukan saudara, bahkan bukan sebangsa " Dia berpengharapan atas diriku. Dan diri ini --justru sedang kacau karena salah-tingkah sendiri. Dia menghendaki aku berharga bagi bangsaku sendiri, bukan bangsanya. Benarkah ada Multatuli dan van Eysinga gaya baru " Bagaimana harus menjawab surat seindah ini sedang aku sudah merasa diri, seorang pengarang pula " telah dipuji Tuan Maarten Nijmanr Kepala Redaksi S.N.v/d D. " Aku merasa kecil untuk dapat mengimbangi pikiran Miriam. Namun kupaksa juga menulis jawaban. Terimakasih, dan tak lebih dari terima-kasih dalam curahan kata begitu banyak, barangkali juga seperti curahan nada-nada Jawa yang rancak menuju dan menunggu gung. Di dalamnya kunyatakan keherananku, betapa Multatuli dan van Eysinga yang baru saja kukenang-kenang ternyata disebut dalam suratnya. Mungkin, tulisku, karena kita hidup dalam arus jaman liberal yang sama, arus jaman yang sama, dan surat itu kuakhiri dengan:
Miriam yang baik, beruntung aku mendapatkan seorang sahabat pada dirimu. Aku tak tahu apa akan terjadi pada dua puluh tahun mendatang. Aku sendiri tak pernah punya perasaan akan menjadi gung. Menjadi gendang pun tak pernah terimpikan, tak pernah terpikirkan, mungkin takkan terpikirkan sekiranya tak datang suratmu yang indah mengharukan itu. Lebih-lebih lagi karena datangnya bukan dari sebangsaku sendiri. Damai dan sejahtera untukmu, Miriamku yang tulus. Semoga jadilah kelak, seorang Yang Terhormat Anggota Tweede Kamer. Kutelungkupkan muka pada meja. Surat Miriam kuresap-kan, mencoba untuk takkan melupakan seumur hidup. Persahabatan ternyata indah. Dan peningku merosot dan merosot, kemudian lenyap sama sekali, erftah ke mana. Miriam,-kau bukan sekedar mengirimkan surat." Lebih dari itu: ajimat pelenyap tegang. Kalau saja kau tahu: mendadak kini aku merasa berani, dan dunia jadi lebih terang dan gemilang. Jadilah gung! terdengar bergaung-gaung.
"Tuanmuda!" Kuangkat kepala. Melihat orang di depanku sekaligus pala-kia dalam kepala kembali 'menjalankan akar dan semian. Lebih t bersemangat. Dia: Darsam! "Maaf, Tuanmuda. Nampaknya sangat terkejut, sampai begitu pucat." Aku mencoba 'tersenyum, mata melirik pada parang dan tangannya. Ia sendiri tertawa ramah sambil membelai kumis.
"Tuanmuda curiga padaku," katanya, "padahal Darsam ini sahabat Tuanmuda." "Jadi ada apa ?" tanyaku pura-pura tak tahu sesuatu.
"Surat dari Nyai. Noni sakit keras."
Aku terbeliak. Ia masih juga berdiri di seberang meja. Diulurkannya surat itu. Kubaca sambil antara sebentar melirik pada parang dan tangannya. Benar, Annelies sakit keras dalam perawatan Dokter Martinet. Nyai telah menceritakan asal-muasal sakitnya, dan minta dengan amat sangat, bukan sekedar menganjurkan seperti dulu, agar aku segera datang sesuai dengan nasihat dokter. Kata Dokter Martinet, tanpa kehadiranku Anne-Kes tak punya harapan sembuh, boleh jadi akan semakin melarut. "Mari, Tuanmuda, ke Wonokromo,-sekarang juga."
Kepalaku mendenyut seperti hendak pecah. Tegakku meliuk. Segera kuraih ujung meja. Kutatap pendekar itu dengan pandang goyang. Darsam menangkap bahuku. "Jangan kuatir. Sinyo Robert tidak bakal bisa ganggu. Darsam masih tegak berdiri. Mari."
Miriam de la Croix lenyap, meruap, hilang dari peredaran. Kekuatan sihir dari Wonokromo menguasai segala. Dalam papahan Darsam kaki ini membawa diriku ke bendi yang telah menunggu. "Tidak minta diri dari orang rumah ?"
Langkahku terhenti. Kupanggil-panggil Mevrouw Telinga, pamit hendak pergi. Ia berdiri di pintu dan nampak tak berse-nanghati.
"Jangan lama-lama, Tuanmuda," pesannya. "Kesehatanmu." "Tuanmuda akan segera baik di Wonokromo," jawab Darsam.
Takut pada permunculannya yang seram Mevrouw tak menambahi kata-katanya.   "Mana barang-barangnya, Tuanmuda ?"
Aku tak menjawab. Dan tak tahulah aku apa dalam perjalanan di atas bendi itu aku pingsan atau tidak. Yang kuketahui: hanya karena ajakan Robert Suurhof semua ini terjadi, melibatkan banyak orang dan menegangkan hidupku yang semuda ini. Sedang yang kudengar hanya satu suara, satu kalimat, keluar dari mulut pendekar Madura itu: "Bendi dan kuda ini milik Tuanmuda sejak sekarang."
12. BEGITU DARSAM MEMIMPIN AKU MENAIKI TANGGA nampak Nyai Ontosoroh datang gopoh-gapah menyambut:
"Keterlaluan kau, Nyo, ditunggu-tunggu begitu lama. Anne-lies sakit keras merindukan kau!"
"Tuanmuda juga sakit, Nyai, kuangkat juga kemari."
"Tak apa. Kalau dua-duanya sudah bertemu dan kumpul, semua akan beres. Penyakit akan hilang."
Memalukan kata-kata itu, namun terasa sebagai antitoksin yang mulai mencabarkan si palakia dalam kepala. Nyai menangkap bahuku, berbisik lunak pada kupingku sambil tersenyum.
"Suhumu memang agak naik. Tidak apa. Mari ke atas, Nak. Adikmu sudah terlalu lama menunggu. Kau mengirimkan kabar pun tidak."
Suaranya begitu lembut, langsung masuk ke dalam hati, seakan ia ibuku sendiri, Bundaku tersayang, dan aku tak lain bocah kecil dalam bimbingannya. Namun tak"urung mataku jalang ke sana-sini. Robert setiap waktu bisa meloncat dari kegelapan dan menerkam aku dengan otot-ototnya yang perkasa. "Di mana Robert, Ma ?" tanyaku waktu mendaki tangga. "Stt. Tak perlu k&u tanyakan. Dia anak bapaknya."
Mengapa aku jadi begini lunak di tangan wanita  seorang i-ni " Seakan segumpal lempung yang bisa dibentuknya sesuka hatinya " Mengapa tak ada perlawanan dalam diriku " Bzflikan kehendak untuk bertahan pun tiada " Seakan ia tahu dan dapat menguasai .pedalaman diriku, dan memimpinku ke arah yang aku sendiri kehendaki "
Loteng itu jauh lebih mewah. Hampir seluruh lantai korridor digelari permadani. Rasanya diri menjadi seekor kucing, dapat melangkah tanpa meninggalkan bekas. Jendela-jendela yang terbuka melihatkan pemandangan sampai jauh-jauh pada batas nun jauh di sana. Sawah dan ladang dan hutan membentang sambungmenyambung. Serombongan kecil orang sedang menyelesaikan panen taraf terakhir. Sawah yang tertinggal tiada tergarap sedang menunggu penghujung akhir musim kemarau.
Memang koran-koran mengabarkan panen besar tahun ini berlimpahan. Tak perlu mendatangkan beras bermutu rendah dari Siam, sekali pun sawah-sawah tersubur di Jawa Timur dan Tengah praktis hanya menghasilkan gula. Pertanda, kata salah seorang jurutinjau: Ratu Wilhelmina direstui Tuhan sebagai ratu termuda, pada usia sangat muda sebagai ratu.
Kami berdiri di depan ranjang. Nyai memperbaiki letak selimut Annelies. Buah dada dara itu nampak menjulang dari bawahnya. Dan Nyai mengalihkan tangan anaknya pada tanganku.
"Annelies sayang."
Dengan beratnya gadis itu membuka mata. Tak menoleh. Juga tak melihat. Mata, pandang berat itu disapukannya pada langit-langit,, kemudian tertutup lagi. "Minke, Nyo, Nak, jagalah buahhatiku ini," bisik Nyai. "Kalau kau sendiri sakit, sembuhlah sekarang juga. Bawa anakku sembuh bersamamu," suaranya terdengar seperti doa.
Ia pandangi aku dengan mata memohon dengan amat sangat. "Terserah padamu, Nak. Asal anakku bisa sembuh..... Kau
terpelajar. "Kau mengerti maksudku," ia menunduk seperti malu melihat padaku. Kedua belah tangannya memegangi lenganku. Mendadak ia berbalik, pergi keluar kamar.
Kugagapi tangan Annelies di bawah selimut. Dingin. Kudekatkan mulutku pada kupingnya dan kupanggil-panggil namanya, pelan. Ia tersenyum, tapi matanya tetap tertutup. Suhu badannya 46k terlalu tinggi. Dan kuketahui pada kala itu: buah palakia dalam kepalaku telah terpental keluar, tercerabut bersama akar dan semian, jatuh terpelanting entah di mana.
Begini dekat dara ini. Dengan cepatnya jantungku berdebar-an memompa darah panas ke seluruh badan dan mulai berkeringat.
"Kan kau tunggu-tunggu kedatangan Minke ?"
Entah karena bayanganku, entah sesungguhnya demikian, aku lihat ia mengangguk lemah. Matanya tetap tertutup. Juga mulutnya.
"Rindu kau padanya, Ann " Tentu, kau rindu. Juga dia rindu padamu. Sungguh. Kalau saja kau tahu betapa dia ingin selalu ada didekatmu, Ann, menyuntingkan kau dalam hidupnya, seluruh dunia ini akan terasa jadi miliknya, karena kebahagiaan ini adalah kau sendiri. Buka matamu, Ann, karena Minke sudah ada di dekatmu." Terdengar keluhan Annelies. Matanya tetap tertutup. Juga bibirnya. ' " " Adakah gadis ini sudah tak mengenal suaraku lagi " Jadi kubelai wajahnya, pipinya, rambutnya. Ia menelengkan kepala dan mengeluh lagi. Akan matikah anak ini " Dara secantik ini " Aku peluk tubuhnya dan aku kecup bibirnya. Degiipan jantung dalam dadanya kudengar terlalu lambat. Jari-jarinya bergerak pelan, hampir tidak. "Ann, Annelies!" akhirnya aku berseru pada kupingnya. "Bangun, kau, Ann," dan aku guncang-guncangkan bahunya.
IA membuka mata. Pasang bola yang memandang jauh itu tak melihat dan tak sampai pada mukaku.
"Tak kenal lagi kau padaku, Ann " Aku " Minke ?" Ia tersenyum. Pandang matanya tetap melewati mukaku.
"Ann, Ann, jangan begini kau. Tak suka kau kalau Minke datang " Aku sudah datang. Atau aku harus pergi lagi meninggalkan kau " Ann, Annelies, Anneliesku!" Jangan-jangan gadis ini nanti mati dalam pelukanku. Berdiri aku sekarang di depan ranjang. Menyeka keringat dari dahi yang basah.
"Teruskan, Nyo," Nyai memberanikan dari pintu. "Ajak dia bicara terus. Memang itu yang dianjurkan Dokter Martinet."
Aku menoleh. Nyai sedang menutup pintu dari luar. Hatiku lega karena anjuran itu. Jelas Annelies tidak sedang menghadapi ajalnya. Ia hanya belum sadar akan dirinya. Sekarang aku duduk pada tepi ranjang. Ia masih juga membuka mata tanpa melihat. "Tidak bisa begini terus, Ann," kataku meyakinkan diri sendiri. Aku sisihkan selimutnya. Aku tarik kedua belah tangannya. Aku paksa ia duduk. Tapi badan itu begitu lemasnya, dan ia terjatuh ke atas bantal waktu kulepas. Aku lakukan berulang. Ia tak juga dapat duduk.
Apa harus kulakukan lagi "
Sekali lagi kukecup bibirnya. Tangannya mulai bergerak tak kentara, namun lebih banyak. Aku pindahkan lehernya pada lengan kiriku. Mulai lagi aku ajak bicara: "Kalau kau sakit begini, Ann, siapa bantu Mama " Tak ada. Jadi kau jangan sakit. Kau harus sehat. Biar bisa bekerja dan jalan-jalan denganku. Naik kuda, Ann, keliling kota Surabaya."
Aku perhatikan matanya yang memandang jauh dan dapat
kulihat mukaku sendiri kekelaman bola matanya. Tapi ia tetap tidak melihat aku. Aku kira tadinya bayangan mukaku tak ada pada mata itu.
Nyai Ontosoroh datang lagi membawa susu hangat dua gelas. Segelas diletakkannya di atas meja. Yang lain dibawanya padaku dan disugukannya pada bibirku agar segera kuminum.
"Habiskan, Nyo, Nak, Minke," aku minum sampai habis tandas. "Biar kau menjadi sehat dan kuat. Tak ada guna bagi siapa pun orang sakit dan lemah." Kemudian pada Annelies, "Bangun, Ann, Minke sudah ada di dekatmu. Siapa lagi kau tunggu ?" Tanpa mengindahkan ada-tidaknya reaksi ia pergi lagi.
Dalam keadaan seperti itu pula Dokter Martinet datang diantarkan Nyai. Kuletakkan kepala Annelies ke bantal untuk menyambutnya.
"Ini Minke, Tuan Dokter, yang menjaga Annelies hari ini," dan kami bersalaman.
Mata Nyai mengawasi kami sebentar kemudian meneruskan, "Maafkan, aku mesti turun."
"Jadi Tuan Minke ini, siswa H.B.S. " Bagus. Berbahagia seorang pemuda mendapatkan cinta mendalam dari dara secantik ini," katanya dalam Belanda yang terkulum.
"Baru kira-kira sejam lalu di sini, Tuan Dokter. Seperti ini juga keadaan Annelies waktu aku datang. Aku kuatir, Tuan....."
Lelaki berumur empatpuluhan itu tertawa lepas, bergeleng dan mengguncangkan bahuku.
"Tuan suka pada gadis ini " Jawab terus-terang." "Suka, Tuan Dokter."
"Tidak punya maksud mempermainkan, kan ?" ia menetak-kan pandang padaku. "Mengapa mesti mempermainkan ?"
"Mengapa " Karena siswa H.B.S. biasanya jadi pujaan para gadis. Selamanya begitu sejak sekolah itu berdiri. Juga di Betawi, juga di Semarang. Aku ulangi, Tuan Minke, Tuan tidak bermaksud mempermainkannya ?" Melihat aku diam ia meneruskan, "Hanya satu yang dibutuhkan gadis ini: Tuan sendiri. Dia mempunyai semuanya, kecuali Tuan."
Aku menunduk. Kekacauan berkecamuk dalam dada. Memang tak ada maksudku mempermainkan Annelies. Juga tak pernah terniat untuk bersungguh-sungguh dengan seorang gadis. Sekarang Annelies menghendaki diriku seutuhnya untuk dirinya. Sungguh: aku sedang diuji oleh perbuatan sendiri. Dan pertimbangan batin yang memaksa aku mengiakan apa yang belum lagi kuyakini.
"Kan Tuan suka kalau dia sadarkan diri lagi ?" "Tentu saja, Tuan, suka sekali, dan terimakasih banyak." "Dia akan sadar kembali. Memang terus-menerus kubius sampai Tuan datang. Jadi Tuan sebenarnya yang menyebabkan dia terlalu lama dibius. Tanpa ada Tuan dalam keadaan sadar dia akan menanggung kerusakan. Tanpa Tuan dengan biusan terlalu lama bisa rusak jantungnya. Semua kembali pada Tuan Tuan yang menyebabkan." "Maafkan."
"Memang Tuan yang dipilihnya untuk menerima risiko." Aku tak menyambut. Dan ia bicara terus. Kemudian: "Sebentar lagi dia akan sadar. Seperempat jam lagi kira-kira. Kalau sudah mulai agak sadar, mulailah Tuan bicara pada-v nya, yang manis-manis saja. Jangan ada kata keras atau kasar. \ Semua tergantung pada Tuan. Jangan kecewakan dia. Jangan |g dibikin hatinya jadi kecil." "Baik, Tuan Dokter." "Tuan naik dalam tahun pelajaran baru ini ?" "Naik, Tuan."
"Selamat. Tuan tunggu terus dia sampai bebas dari pengaruh bius. Siapa nama keluarga Tuan kalau aku boleh bertanya ?"
"Tak ada, Tuan."


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar