Arus Balik.
Karya : Pramoedya Ananta Toer.
Bagian 39
Tuban Jadi Kancah Perang
Kali ini untuk pertama terjadi Tholib Sungkar Az-Zubaid tidak mengawasi barang-barangnya. Orang-orang mengangkutinya ke gedung kesayahbandaran dari dermaga, dan ia berjalan seorang diri mendahului.
Begitu naik ke dermaga Tuban ia bersujud, mencakup tanah berpasir hancuran batu karang, menciumnya. Tak pernah ia mencintai Tuban sebagaimana halnya dengan sekarang.
Selama dalam pelayaran ia tak henti-hentinya mengucapkan syukur karena tidak terbawa oleh kapal Portugis ke Malaka. Tempat yang indah dulu itu kini bisa menjadi kuburannya setelah penganiayaan berat akan mendahului. Setiap Moro akan mengalami itu di tangan Portugis bila terbukti pernah membunuh seorang Nasrani baik Ispanya ataupun Portugis, sekalipun yang dibunuhnya hanya seorang petualang tanpa arti. Ia telah menyedari haridepannya di Andalusia telah musnah. Semenanjung Iberia bukan lagi tempat yang menyenangkan untuk haritua-nya. Bahkan semua negeri dalam kekuasaan Portugis dan Ispanya kini tak lain dari sebuah penggorengan besar bagi dirinya.
Pasir karang itu ia salutkan pada pipi dan seluruh mukanya. Kalau mungkin ia hendak menelannya pula.
Akhir-akhirnya jabatan Syahbandar Tuban sudah cukup baik baginya, biarpun kurang pekerjaan dan kurang penghasilan. Di Tuban sini ia akan hidup tenang dan senang sampai mati. Ia bersumpah di dalam hati untuk memperbaiki kelakuannya dan bertekad hendak membalas budi pada semua orang yang telah berbuat kebajikan padanya. Ia akan minta ampun pada Nyi Gede Kati, dan akan menempatkannya sebagai wanita yang semuliamulianya. Ia akan minta ampun pada istrinya dan akan membantunya dalam segala kesulitannya. Dan ia akan ambil Gelar sebagai anaknya sejati. Ia akan menyerahkan dirinya pada Wiranggaleng bila ia sudah balik dari Malaka. Dan ia akan urus bandar Tuban sebaik-baiknya. Ia akan panggil anak-istrinya yang ada di Goa untuk menemani di harituanya dan kematiannya kelak. Ia bertekad untuk dikuburkan di Bumi Tuban.
Barang-barangnya berbaris dalam pengangkutan di belakangnya, tongkatnya masih tetap setia di tangannya. Juga tarbusnya yang sudah kehilangan banyak warna merahnya. Pakaian Portugis telah ditanggalkannya di perahu, dan kini ia pergunakan pakaian Syahbandar yang lama. Kakinya pun kembali berterompah.
Mendekati kesyahbandaran ia berhenti, membiarkan para pengangkut berjalan mendahului. Ia bersihkan muka, leher dan lengan dengan setangan, kemudian menjentikjentik baju yang terkena pasir. Ia hendak temui Nyi Gede Kati dalam keadaan sebersih-bersihnya: lahir dan batin. Ia tak ambil peduli terhadap bedeng dan galangan dan pasar yang telah runtuh jadi tumpukan arang hitam. Aku tak ikut merusakkan Tuban, pikirnya. Tak ada tanggungan dalam nuraniku. Ia pun tak perhatikan jalan-jalan yang sudah mulai ditumbuhi rumput serta pepohonan yang mati karena terganggang oleh panas kebakaran. Hitam, hitam saja barang ke mana matanya ditujukan. Dan ia berjanji akan membangun kembali bandar ini dalam waktu pendek. Ia membutuhkan kepercayaan dari semua orang. Sambil berjalan ia merencanakan bagaimana harusnya menemui Nyi Gede Kati. Ya, ia akan cium tangan-nya dan segera minta ampun pada saat itu juga. Para pengangkut itu telah memasuki pelataran kesyahbandaran. Paman Merta tak nampak dan taman depan rumah telah kehilangan Keindahannya yang dulu. Juga itu akan ia bangun kembali. Dan gedung ini nampak rusak dan mesum. Pintu-pintu depannya sudah tiada ber-daun lagi. Itu pun ia akan perbaiki.
Ia terbangun dari semua pikiran dan rencananya melihat Kesyahbandaran dijaga oleh prajurit-prajurit pengawal, Seorang prajurit berlarian datang padanya dan memberi tahukan dengan cepat-cepat: Tuan Syahbandar Tuban" Segera tinggalkan tempat ini
Inilah Syahbandar Tuban baru tiba. Segera tinggalkan tempat ini.
Jantungnya berdebar-debar. Barang-barang itu masih tertumpuk di tepi jalanan taman di depan rumah. Para pengangkut masih pada berdiri menunggu perintah. Sudah ada Syahbandar lainkah karena aku pergi tanpa minta diri tanpa ijin" Semua yang direncanakan goyah.
Dalam waktu pendek ia mengambil sikap yang biasa: waspada terhadap segala yang jelek. Otaknya kembali bekerja keras. Ia balik kanan jalan keluar dari pelataran kesyahbandaran dan para pengangkut mulai mengangkati barang-barangnya. Dari belakangnya ia dengar seseorang berlari-larian. Ia berpaling dan melihat seorang prajurit datang menyusulnya dan menyilakannya masuk. Ia tersenyum puas mengetahui ia dikenal dan diakui kembali oleh praja Tuban. Segala-galanya akan jadi baik kembali seperti dulu.
Ia masuki ruang depan. Kosong! Hanya sebuah bangku kayu kasar berdiri di pojokan. Di atas duduk: ya, siapakah orang yang berkumis dan berjenggot itu"
Orang itu diapit oleh dua orang pengawal bertombak, melambaikan tangan memanggilnya agar mendekat Ia tak berikat kepala. Rambut panjangnya yang ikal jatuh bergulung-gulung di atas bahu, punggung dan sebagian malah menutupi mukanya.
Tuan Syahbandar, tegurnya ramah tanpa menghormatinya, bahkan tetap duduk di atas bangku.
Tholib Sungkar Az-Zubaid mendekat, kemudian berhenti dan berdiri empat depa di depannya. Siapakah orang ini" Ia tak mengenalnya lagi Orang Demakkah gerangan" Demak" Keringat dingin mulai mengucur pada punggungnya. Ia hanya dapat membungkuk menghormat dan dengan tangan kanan bertekuk di depan dada.
Dan orang yang duduk di depannya itu bicara tanpa menggerakkan badan atau kepala ataupun tangan. Kepalanya masih juga menunduk. Hanya mata sebelahnya tertutup rambut memandang tajam padanya.
Jadi Tuan Sayid Habibullah Almasawa datang lagi. Barulah Tholib Sungkar tahu ia sedang berhadapan dengan Patih Tuban Kala Cuwil Sang Wirabumi.
Tugas sahaya sebagai Syahbandar Tuban memanggil, Gusti Patih, jawabnya.
Ia lihat tangan Kala Cuwil bergerak. Telunjuknya menuding ke arah muka Syahbandar, dan suaranya terdengar pelahan dan parau: Lihatlah dia, hei kalian, terpanggil kembali oleh tugasnya.
Demikianlah yang ditugaskan oleh Gusti Adipati Tuban pada sahaya.
Kala Cuwil menjatuhkan tangan pada pangkuannya. Ia kelihatan sangat lelah. Kepalanya tetap tak bergerak. Dan Syahbandar itu sudah sangat ingin mengetahui mengapa Sang Patih berada di gedung kesyahbandarannya. Pengawal! kata Sang Patih. Suaranya lelah. Masukkan dia ke dalam krangkeng. Krangkeng" pekik Tholib Sungkar.
Ya, krangkeng orang-orang Peranggi dulu: Dan dua orang pengawal itu menangkapnya.
Apa dosa sahaya. Gusti"
Letakkan di dermaga. Tabuhkan canang untuknya. Peranggi biar tahu, Tuban tetap pada sikapnya. Sahaya Moro, Gusti, bukan Peranggi.
Dengan suara dan tenaga tuanya Tholib Sungkar meronta dan membangkang. Sia-sia. Ia diseret ke belakang kesyahbandaran dan dimasukkan ke dalam krangkeng besi, dikunci dari luar.
Ia pegangi jeriji krangkeng dan digoncang-goncangkan. Besi itu tak sudi takluk pada kemauannya. Matanya liar berpendaran ke mana-mana. Dan tak ada dilihatnya Nyi Gede Kati. Paman Marta pun tidak. Yang ada hanya prajurit-prajurit pengawal.
Orang mulai menyorong krangkeng beroda itu ke dermaga. Ia berseru-seru gila, memanggil-manggil Sang Adipati, Nyi Gede Kati, Paman Merta, bahkan juga Wiranggaleng. Suaranya gemetar seirama dengan geletaran krangkeng yang disorong.
Seorang pengawal berlari-larian menyusul dan menyerahkan tarbus dan tongkatnya yang jatuh.
Sudah, jangan ribut-ribut, nasihat pengawal itu. Nyi Gede Kati nanti akan datang kalau dia tahu kau ada di sini.
Gusti Adipati , ia meraung.
Apa yang kau raungkan" Dia sudah lama mati. Syahbandar itu berhenti meraung. Ia menggigil. Tak ada lagi kekuatan yang sekarang akan melindunginya. Sang Adipati telah lama mati, katanya. Seorang prajurit takkan berkata sekasar itu pada rajanya. Tentu Sang Adipati memang sudah mangkat. Ah-ah, maut ternyata lebih dekat daripada yang diduga. Ia terduduk di pojokan dan tulangtulang-nya terasa sakit terkena ruji-ruji. Sekiranya ia berlayar ke Malaka, pastilah tiada akan begini jadinya.
Dan krangkeng itu berhenti di dermaga. Pengawalpengawal itu telah pergi. Ia pandangi laut dengan perahuperahu kecil yang bertebaran. Dan tak sebuah pun kapal pasukan laut Tuban yang nampak.
Apalah arti hidup semacam ini" Laut itu pun sudah kehilangan arti. Langit di atas hanya menyiksanya dengan panasnya sengangar. Semua manusia hanya memusuhinya. Semua kata hanya menyakitkan hatinya. Dari alun-alun terdengar canang dipukul bertalu-talu memanggil orang untuk mendengarkan pengumuman. Orang pun mulai berduyun-duyun berlarian, berebut dulu untuk dapat melihat Syahbandar Tuban dalam krangkeng. Orang bersorak-sorak
Syahbandar itu membuang muka terhadap bondongan orang yang bakal menontonnya. Ia tak tahu betapa orang sebanyak itu sudah lama terlalu jengkel terhadapnya, dan tak dapat berbuat sesuatu pun karena perlindungan Sang Adipati. Ya, Allah apa lagikah yang akan menimpa diriku ini" Belum cukupkah ketakutanku selama ini, yang telah Kau berikan jalan keluar" Tidakkah aku Kau selamatkan dari orang sebanyak itu"
la telah dengar langkah kaki berlarian menghampiri. Dan ia tahu tak dapat membela diri. Tak ada penolong dalam bentuk manusia akan datang padanya, sekalipun suaranya sampai pada tepian langit, dan sekalipun kerongkongannya sampai pecah karena itu.
Matanya mengembara dari ruji ke ruji, kemudian dilepaskannya ke laut, jauh, jauh, ke tempat tanpa manusia. Tetapi ingatan, bahwa dalam krangkeng ini pula ia telah membunuh Esteban dan Rodriguez, membikin bulu badannya menggermang. Ia melihat jeruji atas di mana dulu salah seorang di antara korbannya menggelantung mengelakkan diri dari tikaman. Dan ia tikam dia waktu kilat mengerjap, dan ia rasai ujung pisau tongkat bertarung oleh tulang, dan tubuh itu jatuh bergede-buk di tempat ia duduk sekarang. Tidak, tidak ada seorang saksi waktu itu. Ia pandangi kelilingnya; mulut-mulut yang meludahi, lobang-lobang hidung yang menganga menyemburkan nafas pengap, mata yang menyala-nyala penuh dendam. Akhirnya ke laut juga pandangnya lebih aman, pada kaki langit, pada perahu-perahu yang semakin kecil juga. Tidak, tidak ada saksi! Tapi apa pula artinya saksi dalam pengurusan hukum Pribumi di Tuban" Mati. Mati juga yang akan dihadapinya.
Dan ia belum rela mati. Dengan pengalaman sebanyak itu, dengan kelincahan dan kefasihan sebanyak dan sebaik itu mungkinkah seorang manusia harus mati dalam keadaan sehina ini" Tidak! Tidak layak! Hanya orang dungu tak berpengalaman, tak berilmu, mati hina.
Orang makin banyak juga datang berduyun. Dalam waktu pendek ia telah mandi air ludah dan keringat sendiri, basah-kuyup. Seluruh badannya berbau amis. Ia tak tahu tulisan apa yang terpasang di luar krangkeng.
Karena tak tahan terhadap perlakuan itu ia mencoba mengusir mereka dengan tongkatnya. Dan mereka sama sekali tidak takut pada tongkat itu. Terpikir olehnya untuk menggunakan pisau tongkat dan mengamuk. Tapi ia masih mengharapkan pengampunan dan hidup. Dan ia tidak berani.
Ia tak dapat membela diri apa lagi melawan orang sebanyak itu, sekalipun mereka hanya meludah dan menyumpah. Dicarinya tempat paling tengah, menjauhi tangan-tangan jahil yang menarik-narik rambut, tarbus dan bahunya, tepat seperti dialami Esteban dan Rodrigeuz dulu. Dan di situlah ia duduk tak mempedulikan kata orang, duduk membungkuk memeluk lutut, menenggelamkan muka, dengan pantat sakit terkena ruji besi.
Ia mencoba berpikir dan berpikir. Jalan harus ditemukan untuk dapat lolos dari krangkeng ini. Yah, Yakub harus datang menolong. Atau,.... terkejut ia. Mungkin dia takkan datang untuk menolong, dia hanya akan menolong dirinya sendiri dan takkan ragu-ragu menuding aku, bahkan membunuh aku, presis seperti aku sendiri telah lakukan terhadap Rodriguez dan Esteban. Dia punya alasan, Yakub terkutuk itu. Dia sudah jual keterangan pada Cortez dan Martinique, pada siapa saja yang mau mendengarkan dan mau membayarnya dengan uang uang apa saja, asal emas atau perak. Di mana si terkutuk itu sekarang" Pantas dia jarang kelihatan lagi.
Hujan ludah terus berlangsung. Suara bising melampiaskan dendam dan kejengkelan terhadap dirinya bergulung tak bisa ditangkap kata-katanya.
Ia menekun ruji-ruji besi di bawahnya dan pasir dermaga yang sebentar tadi telah diciumnya dengan penuh pengharapan. Wajah-wajah di sekelilingnya mengernyit dan mengancam, meringis dan merongos, membelalak dim mengedip-ngedip, mentertawakan dan meledek, meraung dan mengikik, menyengjr dan menyeringai, memonyong dan menjebik.
Orang-orang semua ini akan tetap jadi iblis yang menarinari di sekitarku. Harus ada kekuatan yang melepaskan diri dari semua ini. Hati-hati, kalian, sekali krangkeng ini jebol, dan kekuasaan ada padaku kembali kalian akan remuk di dalam tanganku. Aku bukanlah bagian gerombolan dungu seperti kalian, hewan yang tak berpikiran sendiri! Kalian hanya lalat perubung bangkai! Tidak lebih. Sekali pukul semua kalian akan binasa.
Ia diam saja dalam duduknya. Badan dan pakaiannya semakin basah. Ludah itu bukan lagi menempel pada pakaian dan badan, malahan sudah mulai mengalir dan menetes. Dan udara pengap dan bau amis itu -betapa bedanya dari udara segar di atas sana. Dan angin yang tak henti-hentinya meniup tak sampai padanya, terhalang oleh ratusan, ribuan orang yang mengepungnya.
Para penonton mulai lelah dengan tingkahnya. Mereka mulai menipis. Dengan lirikan ia ikuti di antara ketipisan penonton itu kanak-kanak pada pulang sambil berjingkrak membawa berita gempar untuk di rumah. Ia tak tahu lagi berapa orang yang masih tinggal. Percakapan antar-mereka mulai dapat ia tangkap satu-dua patah kata, tapi tetap tak jelas.
Matari tenggelam dan keadaan mulai sepi Deburan laut kini menjadi jelas mencapai pendengarannya.
Tidak, Yakub, kau tak perlu datang, apa lagi malammalam begini.
Barulah ia mengangkat kepala. Dan segera ia menunduk lagi melihat masih ada seorang berdiri dengan dua tangan berpegangan pada jeruji. Ia perhatikan kakinya. Hanya seorang, dan tak bergerak-gerak. Mengapa dia tak pulang seperti yang lain-lain" Anjing yang seekor ini"
Jantungnya yang selama ini meriut kecil sekarang berdebaran. Ia dengan tarikan nafas orang itu. Siapakah kiranya dia yang berjual simpati pada orang di dalam krangkeng maut ini"
Tuan Syahbandar! ia dengar panggilan pelahan. Tholib Sungkar berdiri bangun dan menubruk penonton yang terakhir itu. Ia tak rasakan kakinya kelu karena semutan.
Kati, Kati! Nyi Gede! desaunya, istriku yang setia. Aku tahu kau akan datang.
Bagaimana, Tuan Syahbandar, mengapa jadi begini" Bagaimana" Bagaimana aku tahu" Hanya kaulah yang bisa tolong aku. Kati, istriku yang setia, hanya kau!
Ah, Tuan, bagaimana Tuan bisa tak tahu Gusti telah mangkat"
Syahbandar itu terbatuk-batuk. Jadi benar juga kata orang. Melalui jeruji besi ia pengangi lengan Nyi Gede, berbisik: Menghadaplah pada Sang Patih.
Sahaya akan menghadap. Tuan.
Ya-ya, menghadaplah kau, istriku yang setia, yang berani, yang mulia. Kati, Nyi Gede Kati .
Mengapakah-Tuan kembali ke Tuban"
Semangat Tholib mulai bangkit lagi. Dengan istrinya ini ia merasa menjadi kuat. Dengan suara berkeyakinan dalam kegugupan ia menjawab: Allah mengirimkan aku kemari dan Allahlah yang akan menghukum orang-orang zalim itu. Allah telah membisikkan padaku untuk mengambil dan memelihara istrinya sebaik-baiknya
Sahaya bawakan makan sekedarnya, Tuan. Makanlah. Juga air minum. Siapa pun tahu Tuan takkan suka makan dalam keadaan seperti ini. Tapi Tuan harus makan, dan minumlah banyak-banyak, karena hari besok akan punya kemungkinan lain.
Ia sorongkan lodong bambu berisi air.
Syahbandar itu merasa agak terhibur. Ia makan sedikit, dan Nyi Gede pergilah tanpa meninggalkan sepatah kata.
Mengetahui suaminya hanya mau makan dari kirimannya Nyi Gede Kati mengusahakan datang ke krangkeng pada setiap hari bila para penonton sudah tiada.
Pada hari ke tiga percakapan di antara jeruji besi terjadi seperti ini: Orang datang padaku hanya untuk mengejek, mencemooh dan meludahi aku, Kati, Tholib mengadu. Mereka menghina, mencibir, mentertawakan. Kalau tiada larangan mungkin mereka telah bunuh aku. Hanya kau, istriku yang setia, yang memeliharakan aku. Allah akan membalas semua kebajikanmu. Ampunilah segala perbuatanku yang pernah menyakitkan hatimu. Demi Allah, bila umur panjang akan aku muliakan kau, Kati. Terimakasih, Tuan. Suka atau tidak, sahaya adalah istri Tuan. Bagaimana bisa membiarkan Tuan begini" Sahaya sudah menghadap Sang Patih.
Ya-ya, bagaimana hasilnya" Tholib menyambar dengan rakus.
Nanti, nanti! kata Gusti Patih, dan cuma itu. Tuan. Syahbandar Tuban melengos dan menghembuskan nafas panjang kemudian duduk tanpa daya.
Ya Allah, keluhnya, siang panas dan malam dingin, terus-menerus terkena angin. Siksa dan aniaya macam apa ini sampai kapankah berakhir"
Sabarlah, Tuan, baru tiga hari. Semua bakal ada akhirnya juga. Lama suami-istri itu berdiam diri. Tholib menunduk dan istrinya mengawasinya dengan dukacita.
Ampunilah sahaya tak dapat berusaha lebih baik. Syahbandar mengangkat muka dengan harapan amat sangat pada kemurahan dan kesudian istrinya: Cobalah menghadap kepala-kepala pasukan, Kati.
Semua telah sahaya usahakan. Tuan.
Syahbandar menunduk lagi. Sekarang terpikir olehnya akan kesulitan Nyi Gede dan bertanya: Bagaimana hidupmu. Kati, istriku"
Seperti yang lain-lain. TuanTiadakah kau mendapatkan kesulitan dari mereka" , Apakah salahnya bersulit-sulit untuk suami yang sedang menderita"
Betapa mulia hatimu. Nyi Gede. Mengapa baru aku ketahui sekarang" Betapa bodohnya aku ini.
Syukur kepada Allah, Tuan, bahwa akhirnya Tuan mengenal juga adanya kemuliaan dalam hati manusia. Sahaya berbahagia mengetahui itu, Tuan.
Dan pergilah wanita itu pulang setelah menyorongkan beberapa lodong bambu air untuk mandi suaminya.
Ia menuju ke gubuknya di daerah bandar, sebuah pondok kecil tak berjendela, berpintu satu, dan semua terbuat dari daun kelapa, bekas tempat tinggal wanita gelandangan.
Kemarin ia mengetahui seorang-dua anak mengikutinya. Sekarang lebih banyak lagi. Mereka bersorak-sorak di belakangnya, seperti sedang mengiringkan orang gila. Ia anggap ini juga bagian dari kesulitannya untuk mengurus suaminya. Maka ia harus menghadapinya dengan tabah dan sabar.
Sudahlah, anak-anak, jangan ganggu juga nenek tua ini, ia berhenti di depan pintu dan menengok pada mereka.
Anak-anak berseru-seru riang setiap ia memperdengarkan suaranya.
Mengapa cuma kau yang mau mengurusi Almasawa" Hanya orang gila mau melayani dia! yang lain menambahi.
Kau gila, Nek" Ya, ya, gila dia. Dulu di gedung bagus, sekarang di gubuk. Bagaimana takkan gila.
Nyi Gede Kati membuka pintu, disambut oleh kegelapan di dalam dan menyilakan anak-anak itu masuk.
Mereka hanya bersorak-sorak senang. Salah seorang yang membawa sebilah ranting mencoba menggelitikinya. Ia tangkap ranting itu dan menariknya. Sejenak anak itu terbawa dan Nyi Gede melepas kembali. Anak itu jatuh terduduk. Yang lain-lain semakin ramai bersorak-sorak
Kalau aku punya anak, pikir Nyi Gede, mungkin ada dia di antara mereka. Ia tersenyum.
Masuklah kalau kalian suka. Biar kita bersenang-senang di dalam gubuk. Mari aku nyalakan lampu. Mari masuk.
Ia percikkan batu api dan menyalakannya pada kawul. Kemudian pada batang kayu berbelerang. Waktu api telah jadi ia nyalakan pelita, menyilakan: Ayoh masuk, di dalam sini masih ada sedikit makanan.
Dan anak-anak itu mulai jadi ragu-ragu. Seorang yang paling kecil dilambainya. Dan anak itu bergerak mundurmundur dengan pandang memancarkan ketakutan. Nah, pulanglah kalau kalian tak suka masuk. Mengapa kau urus si Almasawa" seorang yang terbesar memberanikan diri bertanya.
Mengapa" Dia suamiku.
Dia pengkhianat! Kalau tak jahat tak mungkin di krangkeng.
Sekiranya dia bapakmu, kau pun harus mengurusnya, bukan" Walau dia penjahat"
Tidak bisa! pekik anak paling besar itu. Tidak mungkin bapakku seperti dia!
Ah, Nak, siapa tahu bolak-baliknya nasib" Tapi anak itu tak dapat menenggang kata-kata seperti itu. la ambil batu dan melemparkannya pada Nyi Gede. Wanita itu cepat-cepat menutup pintu, anak-anak yang lain mulai menghujani pondok daun kelapa itu dengan kerikil dan kerakal.
Seminggu Tholib Sungkar Az-Zubaid alias Sayid Mahmud Al-Badawi alias Sayid Habibullah Almasawa dikurung di dalam krangkeng, kembali terjadi keramaian. Tontonan baru telah terjadi untuk penduduk Tuban Kota: Yakub, terikat tangannya, berjalan menunduk dalam pengawalan prajurit-prajurit.
Semua begundal Peranggi tertangkap! seorang prajurit berteriak mengumumkan.
Dulu dibiarkan merajalela.
Pengumuman itu seperti sambaran petir dalam dada Syahbandar. Kini ia mengerti perkaranya. Dan ia harus bersiap-siap menghadapi persoalan itu.
Orang berbondong-bondong turun ke dermaga, tak menggubrisnya lagi. Ia lihat semua orang berjalan cepatcepat atau lari ke jurusan kesyahbandaran. Larangan masuk ke pelataran rumahnya sudah tidak berlaku lagi.
Dari kejauhan ia melihat Yakub terikat dalam giringan. Jantungnya semakin berdebaran: pengadilannya akan segera dibuka. Ia telah dapat mengambil sikap: ia akan lemparkan segala kesalahan pada si pewamng jahanam. Hanya kefasihan sekarang yang akan bisa selamatkan aku, ia memutuskan dalam hati. Hanya kefasihan. Yakub tak kurang fasihnya. Dia harus mengakui keunggulanku sekali ini.
Dan ia lihat Yakub dibawa masuk ke kesyahbandaran. Ia menunggu sampai sore hari.
Seorang prajurit pengawal datang padanya. Tholib menenang-nenangkan hatinya. Sekarangkah pengadilan dimulai" Apa" Prajurit itu tidak membukakan pintu krangkeng. Senyum ramahnya untuk minta keterangan dijawab dengan seringai oleh prajurit itu. Dan seringaian itu mematahkan senyumnya.
Prajurit-prajurit lain pada berdatangan. Kemudian bondongan orang pun berdatangan. Salah seorang yang baru datang menudingnya dengan muka merah oleh murka: Bedebah! Jadi kau sudah sekongkol jadi raja-muda Peranggi di Tuban" Bedebah!
Tidak benar, bantah Tholib. Dan Yakub akan jadi patihmu!
Bohong! pekik Syahbandar, menduga begitulah pengadilan atas perkaranya mulai disidangkan.
Kau kirimkan meriam pada si brandal Kiai Benggala buat tumbangkan Tuban. Semua kawula Tuban, dengarkan jawabannya.
Kepercayaan diri Syahbandar mulai goncang. Kefasihannya yang dipersiapkan macet. Inikah macamnya" Bagaimana Tuban atas diri dan perkaraku" Inikah macamnya" Bagaimana aku mesti membela diri di depan pengadilan semacam ini" Siapa sesungguhnya penuduh dan siapa pula hakimnya"
Kau suruh orang mengambil meriam-meriam dari kapal Peranggi sambil mengantarkan dua orang Peranggi itu dalam keadaan terbelenggu dan terbius.
Bohong! Tidak benar! Fitnah! raung Tholib Sungkar dalam kegugupannya.
Yakub dan gerombolannya yang kau suruh. Yakub keparat! pekik tahanan itu. Ia tetap kehilangan keseimbangannya. Ia berdiri tegang di tengah-tengah krangkeng dengan memegangi tongkat. Semua yang telah dipersiapkan dalam pikiran bubar. Ia merasa tak ada sesuatu pun yang bakal menolongnya. Tuhan tidak, kecerdasan dan kefasihan sendiri pun tidak. Pikirannya tetap tak mau bekerja sebagaimana harusnya. Dengan putus-akal ia tutup mukanya dan hanya kata-kata itu juga yang keluar
Yakub keparat! Yakub keparat!
Raja-muda Tuban! orang-orang mulai bersorak menuduh.
Syahbandar! Syahbandar! Syahbandar! Syahbandar! ia memekik sejadi-jadinya, terus-menerus dalam gelora soraksorai menuduh.
Matanya membeliak tanpa melihat keluar, tapi ke dalam batin sendiri. Dan batin itu kehilangan kemampuan untuk membela nyawa sendiri.
Kiai Benggala berkirim surat padamu melalui Wiranggaleng.
Tidak! Tidak benar. Wiranggaleng keliru! pekiknya, kemudian mendesau-desau, Wiranggaleng keliru! pekiknya, sungguh-sungguh sesat, keliru.
Kau bunuh Esteban. Tidak, tidak, bukan aku membunuhnya. Bukan. Bukan.
Krangkeng itu telah dilingkari oleh padatan manusia. Semua mata tertuju padanya. Dan setiap pandang mengancamnya.
Siapa yang membunuh dia" Bukan aku. Yakub!
Pembohong! pekik orang itu.
Dan orang-orang pun berseru-seru menyumpahinya, mengancam, mencemooh dan menghinanya. Suara-suara itu bergalau menjadi satu. Syahbandar tak dengar kata-kata mereka. Hanya hatinya dapat menangkap ancaman yang terkandung di dalamnya.
Kau bunuh Rodriguez! Tidak. Tidak. Bukan aku. Yakub yang membunuhnya. Pembohong.
Betul. Betul bukan aku. Bukan.
Kau khianati Sultan Mahmud Syah Malaka. Bukan. Bukan aku. Sungguh bukan aku. Yakub yang mengkhianati.
Kau racuni gajah-gajah Sultan Mahmud Syah. Tidak. Bukan. Tidak kuracuni gajah-gajah itu. Panas matari tak tertahankan oleh semua orang. Baik para prajurit maupun rombongan penonton telah menipis meninggalkan dermaga. Angin mendesau pada telinganya, dan terdengar olehnya seakan melanjutkan tuduhan: Kau bius Idayu!
Tidak benar! ia meraung melolong. Tak pernah aku bius Idayu atau siapa pun. Dan Gelar bukan anakku. Benar, tidak, tidak, tidaaaaaak!
Kau nasihati Kiai Benggala untuk menculik Idayu anakberanak, desau angin meneruskan tuduhannya.
Bohong! Semua bohong! Kiai Benggala yang menculik Nyi Gede Idayu. Bukan aku.
Kau tipu Gusti Adipati dengan cerita-cerita bohong. Aku orang suci! raung Tholib putus-akal.
Tiba-tiba ia merasa sangat haus. Ia cari-cari lodong air dari bambu dan meneguknya puas-puas. Ia tebarkan pandangnya ke keliling. Tak ada seorang pun di dekatnya, la mengeluh dan menangisi ketidakmampuannya sendiri.
Aku sudah patah, ia menyedari. Ya, Allah, Kau hukum aku sampai begini macam. Tak Kau biarkan aku membela diri. Kau telah tutup kefasihan dan kecerdasanku. Kau telah rampas keseimbanganku. Kau telah bikin aku jadi gila dan hina begini. Tak pernah pikiran sebebal ini. Bahkan angin pun kukira menuduh pula. Sudah hilang ingatankah aku ini"
la gigit jarinya dan ia masih rasai nyeri. Mereka datang lagi, ia memperingatkan dirinya, Kembali bondongan orang datang. Mereka tetap bersorak-sorai dengan makian, hinaan dan ludahnya. Beramai-ramai mereka mendorong krangkeng beroda itu meninggalkan dermaga. Badan Tholib menggeletar karena geletaran krangkeng dan berayun-ayun mempertahankan keseimbangan.
Besok krangkeng dan isinya akan diceburkan ke laut! seseorang berseru.
Besok, Ulasawa, Raja-muda Peranggi, besok! yang lain menambahi dengan gemasnya.
Dan besok selesailah apa yang dinamai hidup ini. Kiamat pun boleh jadi tidak akan sampai sehebat ini. Keparat! Ia sudah tak peduli akan dibawa ke mana krangkeng itu, dan mengapa dengan isinya sekali.
Mendadak perhatiannya beralih pada rombongan lain yang menyoraki Yakub, menuju ke arah krangkengnya yang telah berhenti di tengah-tengah lapangan bandar.
Ia lihat Yakub berhenti di dekatnya, kemudian orang mengikatnya pada sebatang patok barang tiga depa dari krangkengnya. Suatu padat-an manusia telah melingkar lebar.
Nah, katakan semua tadi, Yakub!
Dia itulah, Yakub memulai dengan menuding Syahbandar Tuban dengan dagunya, dia itulah biangkeladi segala-segalanya. Sahaya sekedar menjalankan perintahnya sebagai bawahan.
Tholib Sungkar Az-Zubaid sengaja berdiam diri. Ia berusaha memulihkan kemampuan dan nilai-nilai pribadinya. Tetapi tuduhan Yakub lebih kuat daripada usahanya. Separah dari semua tuduhan Yakub tertangkap olehnya dan seperempat dari usahanya mendapatkan hasil. Setelah orang mendesak dan memaksa-maksa untuk menjawab, keluar juga kata-katanya: Demi Allah. Orang itu hanya penipu. Telah kujelajahi bandar-bandar di dunia ini, dan semua, semua pewarung arak adalah penipu Tak pernah ada seorang pewarung arak dipercayai omongannya. Siapakah yang lebih dipercaya oleh Gusti Adipati Tuban yang bijaksana itu" Aku ataukah dia" ia tertawa menghinakan.
Siapa yang jadi Syahbandar Tuban" Aku ataukah dia" Ia tertawa menghinakan. Siapa yang jadi Syahbandar Tuban" Aku ataukah dia" Katakan, kau, Yakub, kau bukan penipu. Ayoh, buktikan.
Sekarang Yakublah yang tak mau bicara, Ia hanya menunduk, seseorang telah mengambilkan kopiahnya dan mengenakannya pada kepala Yakub.
Bicara, kau, Yakub! bentak seseorang.
Semua telah sahaya persembahkan pada Gusti Patih Sang Wirabumi, jawabnya. Tak ada guna mengulangi lagi.
Apa telah kau persembahkan, penipu"
Katakan, Yakub, seorang wanita memohon. Dan orang itu adalah Nyi Gede Kati yang berpakaian compangcamping.
Yakub tetap pada sikapnya.
Mendengar suara istrinya Tholib merasa mendapat sokongan kekuatan batin.
Ayoh katakan, penipu, penghasut, pemfitnah, pembunuh! Katakan di depan semua orang ini bagaimana kau menipu dan membunuh! bentaknya.
Sudah tua! menghadapi maut pun kau masih juga tak punya kehormatan dan harga diri! seorang prajurit membentak Syahbandar.
Orang pun bersorak dan menyerang Moro itu dengan ludah.
Kemudian lingkaran orang itu pecah. Beberapa orang terikat didatangkan lagi dan berdiri bejajar diikatkan pada tonggak-tonggak yang telah tersedia. Orang mulai mengerumuni mereka kecuali seorang: Nyi Gede Kati.
Kesempatan untuk membela diri hilang punah. Bentakan terakhir dari prajurit itu betul-betul menyakitkan. Hatinya kembali meriut. Disekanya hidungnya dengan lengan baju yang telah dekil.
Hanya kau tidak percaya aku bersalah, bukan, Kati" Mengapa diam saja" Demi Allah, aku tak bersalah sedikit pun. Memang aku pernah bermaksud menganiaya kau, dulu, tapi kaulah justru yang menganiaya aku, dan aku telah memaafkan. Bukan, Kati" Istriku"
Kati memandanginya dengan iba sambil menyodorkan bungkusan daun pisang dengan sepotong kelapa mengintip dari celah-celah sobekan.
Dari alun-alun terdengar canang bertalu-talu. Orangorang pun berlari-lari dalam bondongan, pergi ke arah datangnya panggilan. Dalam waktu pendek daerah pelabuhan menjadi sunyi kembali.
Beberapa depa dari krangkeng Yakub dan temantemannya berdiri tanpa daya memunggungi tonggak pengikatnya masing-masing. Tak ada di antaranya bicara.
Tuan, biarlah sahaya pergi dulu mendengarkan pengumuman di alun-alun, Nyi Gede Kati minta diri.
Ia pergi tanpa menunggu jawaban. Syahbandar Tuban hanya bisa mengiringkan dengan pandangnya. Sobekan pada kain istrinya itu memperlihatkan sedikit dari betisnya. Dan ia berpaling untuk tak melihatnya.
Ya, beginilah macam pengadilanku, ia meyakinkan dirinya sendiri, Sokrot pun lebih baik, ribuan kali lebih baik dari yang bisa diperbuat oleh orang-orang kafir jahil ini.
Ia melirik pada mereka yang terikat pada tonggak. Tak ada seorang pun di antaranya mencoba bicara .
Pengumuman dari panggung alun-alun itu tak kurang menggemparkan. Seorang peseru menyampaikan: gerombolan Yakub telah dapat ditangkap, dipersalahkan membantu Sayid Habib Almasa wa dalam menggerakkan pemberontakan Kiai Benggala, mengangkut dua pucuk meriam dari kapal Peranggi ke pantai dan mengantarkannya ke Rajeg. Bersama dengan itu dikirimkan pula dua orang pelayan meriam Peranggi bersama dengan meriam itu. Gerombolan ini akan menjalani hukuman mati menurut perintah Gusti Patih Tuban Sang Wirabumi. Sayid Habibullah Almasa wa telah diadili sebagai biang keladi utama dan dijatuhi hukuman krangkeng sampai mati untuk dipertontonkan pada dunia, terutama Portugis.
Pengumuman kedua lebih menggemparkan lagi, menyangkut semua orang: terkecuali desa-desa dua lapis dari kota, termasuk Tuban Kota sendiri, besok harus menyiapkan pasukan pagardesa dan langsung berhimpun di tanah lapang sebelah barat kota sebelum matari terbit.
Habislah segala ria, habis segala sorak-sorai. Sekaligus orang mengerti: perang baru akan kembali berkecamuk. Dan sekarang Tuban tidak lagi bertahan, tapi menyerang. Orang kembali ke rumah masing-masing, tak mengindahkan lagi pada mereka yang dijatuhi hukuman mati. Perang yang akan datang mungkin membunuh setiap orang. Apa pula beda mati pada hari ini atau lusa" Perang! Sekali lagi perang! kapan akan selesai semua ini"
Seminggu setelah pengumuman, perang besar telah terjadi di sebelah barat luar kota.
Demak sedang memusatkan kekuatannya. Trenggono telah bertekad bulat menggunakan pukulan terkuat untuk dihantamkan pada Tuban. Dan Tuban tetap jadi impiannya untuk jadi pangkalan meneruskan penyerangannya ke Gresik dan Blambangan .
Pasukan gajah Tuban yang selama ini diundurkan ke pedalaman sekarang dikerahkan. Seluruh balatentara dipanglimai oleh Banteng Wareng. Kala Cuwil tinggal berkedudukan sebagai Patih Tuban merangkap kepala pasukan gajah.
Balatentara Demak selama ini meremehkan pasukan gajah untuk membesarkan hati tentaranya. Setelah melihat sembilan puluh ekor gajah berbaris dalam satu saf dengan iringan pasukan kaki yang membeludak dan pasukan kuda di sela-selanya, menjadi gopoh-gapah dan gentar. Gajahgajah itu maju terus tanpa menoleh. Dari setiap bentengan kayu di atasnya ditiupkan hujan anak panah tanpa hentihentinya. Canang perang Tuban bertalu berbareng tiada jera-jeranya, ditingkah oleh sorak pasukan kaki dan pagardesa yang dikerahkan.
Pasukan gajah itu berjalan maju, menggiling dan menerjang barang apa yang ada di hadapannya. Baju kubtkerbaunya berjala-jala seperti jubah orang-orang Arab, tak mempan dipedang, di panah ataupun ditombak. Barisan Demak telah goncang dan turun semangat, bimbang untuk terus maju, mundur pun ragu-ragu, takut tak terlindungi dari anak panah. Pasukan gajah itu maju terus seperti matari dari timur menyusupi mega-mega lawan terus ke barat. Semua lari dengan belalai naik dan bersuling berbareng.
Kuda-kuda Demak, melihat bukit-bukit pada berjalan mendatangi, lari belingsatan menerjang-neijang barisan sendiri, tiada terkendalikan.
Maka dari sela-sela gajah-gajah itu keluarlah pasukan kuda Banteng Wareng seperti air curah.
Medan pertempuran menjadi kuning karena kepulan debu dan pasir. Pekikan maut tenggelam dalam sorak-sorai dan canang.
Trenggono pun gugup melihat balatentaranya rusak dan tetap dalam pengejaran. Dengan murkanya ia perintahkan seluruh tentaranya mundur ke barat, ke daerah Rembang. Dan di sinilah ia mesanggrah dan menyusun kembali kekuatannya. Di sini pula ia mengambil putusan untuk menghentikan gerakan militer ke timur buat sementara.
Balatentara Tuban sendiri berhenti di perbatasan dan mendirikan pesanggrahan di lapangan terbuka.
Berlanjut kebagian 40
Tidak ada komentar:
Posting Komentar