Jumat, 18 November 2022

BUMI MANUSIA KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER #4/27


Dan aku cium dia sekali lagi. Kali ini terasa olehku kulitnya halus seperti belUdRu. "Gadis tercantik yang pernah aku temui," bisikku sejujur hatiku. "Aku suka padamu, Ann."
Ia tak menjawab, juga tak menyatakan terimakasih. Hanya dengan isyarat ia mengajak pulang. Dan ia berjalan mpmbisu dan tetap membisu, sampai kami tiba di belakang komplex perumahan. Firasat pun datang padaku: kau akan mendapat kesulitan karena perbuatanmu yang belakangan ini, Minke. Kalau dia mengadu pada Darsam boleh jadi aku akan dipukulnya tanpa kau bisa menggonggong. Ia berjalan menunduk. Baru pada waktu itu aku mengetahui sandalnya tertinggal sebelah di seberang selokan. Dan aku pura-pura tidak tahu. Kemudian aku merasa malu pada diri sendiri karena pura-pura tidak tahu itu. Memperingatkan: "Sandalmu tertinggal, Ann."
Ia tidak peduli. Tidak menjawab. Tidak menoleh. Ia berjalan lebih cepat. Aku bercepat menghampirinya:
"KaU marah, Ann " Marah padaku ?" Ia tetap membisu.
Dari kejauhan nampak istana kayu itu tinggi di atas atap yang lain. Pada sebuah jendela loteng nampak Nyai sedang mengawasi kami. Annelies yang berjalan menunduk tidak tahu. Mata pada jendela itu tetap mengikuti kami sampai atap-atap gudang menutup pemandangan.
Kami memasuki rumah dan duduk lagi di sitje ruangdepan.
Annelies dinaik diam-diam, membiarkan beku semua pertanyaanku. Mendadak ia merentak bangun. Tanpa bicara pergi masuk ke dalam rumah. Aku semakin gelisah di tempat-dudukku. Dia pasti akan mengadu. Dan aku akan menerima hukuman setimpal! Tidak, aku takkan lari.
Tak lama kemudian ia muncul kembali membawa sebuah bungkusan besar kertas. Diletakkannya benda itu di atas meja. Dengan nada dingin ia berkata: "Sudah sore, beristirahatlah. Pintu itu," ia menunjuk ke belakang pada sebuah pintu, "kamarmu. Di dalam bungkusan ini ada sandal, anduk, piyama. Kau mandi di sini. Aku masih ada pekerjaan."
Sebelum pergi ia menghampiri pintu yang ditunjuknya tadi, membukanya dan menyilakan aku masuk.
"Kau sudah tahu di mana kamarmandi," tambahnya. Dan dengan lembutnya ia sorong aku masuk ke dalam, ditutupnya pintu dari luar dan tertinggallah aku seorang diri di dalamnya.
Ketegangan kecil dan besar ini membikin aku sangat lelah. Duga-sangka tentang segala yang mungkin terjadi karena ke-lancanganku mengganggu ketenteraman hatiku. Biar begitu aku tak dapat menyalahkan diriku. Bagaimana dapat salahkan " Apa pemuda lain takkan sama tingkahnya denganku di dekat dara cantik luarbiasa " Kan guru biologi itu...... Ih. persetan dengan biologi.
Memasuki kamarmandi adalah menikmati kemewahan lain lagi. Dinding-dinding dilapis dengan cermin 3 mm berdiri di atas landasan tegel tembikar creme. Baru kali ini aku melihat kamarmandi begini luas, bersih, menyenangkan. Biar dalam komplex kebupatian sekali pun takkan pernah orang dapatkan. Air yang kebiruan di dalam bak berlapis porselen itu memanggil-manggil untuk diselami. Dan barang ke mana mata diarahkan, diri sendiri juga yang nampak: depan, belakang, samping, seluruhnya.
Air jernih, sejuk, kebiruan ini melenyapkan kegelisahan dan duga-sangka. Dan kalau kelak aku sempat menjadi kaya, akan kubangun kemewahan seperti ini juga. Tidak kurang dari ini.
Mama mempersilakan aku duduk di ruangbelakang. Ia sendiri duduk di sampingku dan mengajak aku bicara tentang perusahaan dan perdagangan. Ternyata pengetahuanku tentangnya tiada artinya. Ia mengenal banyak istilah Eropa yang aku tak tahu. Kadang ia malah menerangkan seperti seorang guru. Dan ia bisa menerangkan! Nyai apa pula di sampingku ini "
"Sinyo punya perhatian pada perusahaan dan perdagangan," katanya kemudian, seakan aku sudah mengerti semua yang dikatakannya. "Tak biasa itu terjadi pada orang Jawa, apalagi putra pembesar. Atau  barangkali Sinyo kelak hendak jadi pengusaha atau pedagang ?"
"Selama ini aku sudah mencoba-coba berusaha. Mama." "Sinyo " Putra bupati " mencoba-coba berusaha bagaimana ?" "Mungkin juga karena bukan anak bupati itu," bantahku. "Apa Sinyo usahakan ?"
"Mebel dari kias teratas. Mama," aku mulai berpropaganda, dari gaya dan model terakhir Eropa. "Biasa aku tawarkan di kapal pada pendatang baru, juga di rumahrumah orangtua teman-teman sekolah."
"Dan sekolah Sinyo " tidak tercecer ?" "Belum pernah. Mama."
"Menarik. Bagiku siapa pun berusaha selalu menarik. Sinyo punya bengkel mebel sendiri " Betapa tukangnya ?"
"Tak ada. Hanya menawar-nawarkan dengan membawa gambar." "Jadi kedatanganmu ini juga hendak berdagang " Coba lihat gambar-gambarmu." "Tidak. Datang kemari aku tak membawa sesuatu. Hanya, kalau Mama memerlukan lain kali akan kubawakan: lemari, misalnya, seperti dalam istana raja-raja Austria atau Prancis atau Inggris renaissance, baroc, roccoco, victoria......" Ia dengarkan ceritaku dengan hati-hati. Dua kali kudengar ia berkecap-kecap, entah memuji entah mengejek. Kemudian berkata pelan:
"Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri, dan maju karena pengalamannya sendiri."
Nadanya terdengar seperti keluar dari rongga dada seorang pendeta dalam cerita wayang. Kemudian ia berseru:
"Bukan main!" ia melihat ke atas pada tangga loteng. "Ah!" Dari tangga itu turun bidadari Annelies, berkain batik, berkebaya berenda. Sanggulnya agak ketinggian sehingga menampakkan lehernya yang jenjang putih. Leher, lengan, kuping dan dadanya dihiasi dengan perhiasan kombinasi hijau-putih zamrud-mutiara dan berlian. (Sebetulnya aku tak tahu betul mana intan mana berlian, asli atau tiruan).
Aku terpesona. Pasti dia lebih cantik dan menarik daripada bidadarinya Jaka Tarub dalam dongengan Babad Tanah Jawi. Nampak ia tersenyum malu. Perhiasan yang dikenakannya agak atau memang berlebihan, terlalu mewah. Dan aku merasa dia berhias untuk diriku seorang.
Dan untuk paras dan resam seindah itu rasanya tak diperlukan sesuatu perhiasan. Bahkan telanjang bulat pun masih akan tetap indah. Keindahan karunia para dewa itu masih tetap lebih unggul daripada rekaan orang. Dengan segala perhiasan dari laut dan bumi ia kelihatan jadi orang asing. Sedang pakaian yang tiada biasa dikenakannya itu membikin gerak-geriknya menjadi seperti boneka kayu. Keluwesannya hilang. Segala yang ada padanya diliputi keseakanan. Tapi tak apalah, yang indah akan tetap indah. Hanya aku yang harus pandai menyingkirkan keberlebihannya.
"Dia bersolek untukmu, Nyo!" bisik Nyai. Perempuan hebat, nyai yang seorang ini, pikirku.
Annelies berjailan menghampiri kami sambil masih tersenyum dan mungkin telah menyediakan te-ri-ma-ka-sih dalam hatinya. Belum lagi aku tempat memuji. Nyai telah mendahului:
"Dari siapa kau belajar bersolek dan berdandan seperti itu .
"Ah, Mama ini!  serunya sambil memukul pundak ibunya dan melirik padaku dengan mata besar. Wajahnya kemerahan.
Aku juga tersipu mendengar percakapan ibu dan anak yang terlalu intim untuk didengar oleh orang lain itu. Namun di dekat Mama ini aku merasa berhak untuk berhati tabah. Dan memang aku harus meninggalkan kesan sebagai seorang pria yang tabah, menarik, gagah, penakluk tak terdamaikan dari sang dewi kecantikan. Di depan Sri Ratu pun rasa-rasanya aku harus bersikap demikian pula. Itulah bulu-hias bagi ayam, tanduk bercabang bagi rusa, tanda kejantanannya.
Tak aku campuri urusan anak dan ibu itu.
"Lihat, Ann, Sinyo sudah mau berangkat pulang saja. Beruntung dapat dicegah. Kalau tidak, dia akan merugi tidak melihat kau seperti ini! 
"Ah, Mama ini! " sekali lagi Annelies bermanja dan memukul ibunya. Juga matanya melirik padaku.
"Bagaimana, Nyo " Mengapa kau diam saja " Lupa kau pada adatmu ?" "Terlalu cantik. Mama. Apa kata yang tepat untuk cantiknya cantik " Ya, begitulah kau, Ann."
"Ya," tambah Nyai, pantas untuk jadi Ratu Hindia, bukan Nyo ?" dan berpaling padaku.
"Ah, Mama ini," seru gadis itu untuk kesekian kali.
Hubungan anak-ibu ini terasa aneh olehku. Boleh jadi akibat perkawinan dan kelahiran tidak syah. Barangkali memang begini suasana kekeluargaan nyai-nyai. Bahkan mungkin juga dalam keluarga modern Eropa di Eropa dewasa ini dan pada Pribumi Hindia jauh di kemudian hari. Atau barangkali juga memang tidak wajar, aneh, tidak jamak. Namun aku senang. Dan beruntung puji-memuji itu akhirnya selesai tanpa arah.
Hari semakin gelap. Mama semakin bicara. Kami berdua hanya mendengarkan.
Bagiku bukan saja aku menjadi semakin yakin pada kepatutan dan kekayaan Belandanya, juga terlalu banyak hal baru, yang tak pernah kuketahui dari guruguruku, keluar dari bibirnya. Mengagumkan. Walhasil aku tetap belum juga diperkenankan pulang.
"Dokar ?" katanya. "Di belakang banyak dokar, andong. Kalau Sinyo suka boleh juga pulang naik grobak dorong."
Seorang bujang lelaki mulai menyalakan lampu gas, yang aku tak tahu di mana pusatnya tangki.
Pelayan mulai menutup mejamakan.
Dua orang Robert disilakan masuk ke ruangbelakang. Maka makanmalam dimulai dengan diam-diam.
Seorang pelayan lain masuk ke ruangdepan, menutup pintu. Lampu ruang belakang taram-temaram tertutup kap kaca putih susu. Tak seorang membuka kata. Hanya mata berpendaran dari piring ke basi, dari basi ke bakul. Bunyi sendok, garpu dan pisau berdentingan menyentuh piring.
Nyai mengangkat kepala. Memang ada terdengar pintu depan dibuka tanpa ketukan tanpa pemberitahuan. Kuangkat pandang melihat pada Nyai. Matanya memancarkan kewaspadaan ke arah ruangdepan.
Robert Mellema melirik ke arah yang sama. Matanya bersinar senang dan bibirnya memancarkan senyum puas. Ingin juga aku menengok ke belakang, ke arah pandang mereka tertuju. Kucegah keinginan itu, tidak sopan, tidak baik, bukan gentlemen. Maka kulirik Annelies. Dalam tunduknya bola-matanya terangkat ke atas. Jelas kupingnya sedang ditajamkan. ,
Sengaja aku berhenti menyuap dan mengarahkan pendengaran ke belakang. Terdengar langkah sepatu beijalan menyeret pada lantai. Makin lama makin jelas. Makin dekat. Nyai berhenti makan. Robert Suurhof tak jadi menyuap; ia letakkan sendok-garpunya di atas piring. Yang terdengar olehku: lanekah itu semakin mendekat, mengalahkan bunyi ketak-ketik pendule.'
Robert Mellema meneruskan makannya seperti tiada terjadi sesuatu. Akhirnya Annelies yang duduk di sampingku menengok ke belakang juga. Ia menggeragap kaget. Sendoknya jatuh terpelanting di lantai. Aku berusaha memungutnya. Pelayan datang berlarian dan mengambilkan. Kemudian cepat-cepat menghindar, meninggalkan ruangan, entah kemana. Gadis itu berdiri seperti hendak menghadapi si pendatang yang semakin mendekat.
Kuletakkan sendok dan garpu di atas piring, mengikuti contoh Annelies. berdiri memunggungi meja makan.
Nyai juga bersiaga. Bayang-bayang pendatang itu disemprotkan, oleh lampu ruangdepan, makin lama makin panjang. Langkah sepatu yang terseret semakin jelas. Kemudian muncul seorang lelaki Eropa, tinggi, besar, gendut, terlalu gendut. Pakaiannya kusut dan rambutnya kacau, entahlah memang putih entahlah uban.
la melihat ke arah kami. Berhenti sebentar.
"Ayahmu" bisikku pada Annelies. "Ya." hampir tak terdengar.
Tanpa merubah arah pandang Tuan Mellema berjalan menyeret sepatu langsung padaku. Padaku seorang, la berhenti di hadapanku. Alisnya tebal, tidak begitu putih, dan wajahnya beku seperti batu kapur. Sekilas pandangku jatuh pada sepatunya yang berdebu, tanpa tali. Kemudian teringat olehku pada ajaran guruku: pandanglah mata orang yang mengajakmu bicara. Buru-buru aku angkat lagi pandangku dan beruluk tabik:
"Selamat petang. Tuan Mellema!. dalam Belanda dan dengan nada yang cukup sopan.
Ia menggeram seperti seekor kucing. Pakaiannya yang tiada bersetrika itu longgar pada badannya. Rambutnya yang tak bersisir dan tipis itu menutup pelipis, kuping. "Siapa kasih kowe ijin datang kemari, monyet!" dengusnya dalam Melayu-pasar, kaku dan kasar, juga isinya.
Di belakangku terdengar deham Robert Mellema. Kemudian terdengar olehku Annelies menarik nafas sedan. Robert Suurhof menggeserkan sepatu dan memberi tabik juga. Tapi raksasa di hadapanku itu tidak menggubris.
Aku akui: badanku gemetar, walau hanya sedikit. Dalam keadaan seperti ini aku hanya dapat menunggu kata-kata Nyai.
Tak ada orang lain bisa diharapkan. Celakalah aku kalau dia diam saja. Dan memang dia diam saja.
"Kowe kira, kalo sudah pake pakean Eropa, bersama orang Eropa, bisa sedikit bicara Belanda, lantas jadi Eropa " Tetap monyet!"
"Tutup mulut!" bentak Nyai dalam Belanda denga suara berat dan kukuh. "Dia tamuku."
Mata Tuan Mellema yang tak bersinar itu berpindah pada gundiknya. Dan haruskah akan terjadi sesuatu karena Pribumi seorang yang tak diundang ini " "Nyai!" sebut Tuan Mellema.
"Orang gila sama dengan pribumi gila," sembur Nyai tetap dalam Belanda. Matanya menyala memancarkan kebencian dan kejijikan. "Tak ada hak apa-apa kau di rumah ini. Kau tahu mana kamarmu sendiri!'" Nyai menunjuk ke suatu arah. Dan telunjuk itu runcing seperti kuku kucing.
Tuan Mellema masih berdiri di hadapanku, ragu. "Apa perlu kupanggilkan Darsam "  ancam Nyai.
Lelaki tinggi-besar-gendut itu kacau, menggeram sebagai jawaban. Ia memutar badan, berjalan menyeret kaki ke pintu di samping kamar yang tadi kutinggali. hilang ke dalamnya.
"Rob. panggil Robert Mellema pada tamunya. "Mari keluar. Terlalu panas di sini." Mereka berdua keluar tanpa memberi hormat pada Nyai.
"Bedebah!" kutuk Nyai.
Annellies tersedan-sedan.
"Diam kau. Ann. Maafkan kami, Minke, Nyo. Duduklah kembali. Jangan bikin bising, Ann. Duduk kau di kursimu."
Kami berdua duduk lagi. Annelies menutup muka dengan setangan sutra. Dan Nyai masih mengawasi pintu yang baru tertutup itu, berang.
"Kau tak perlu malu pada Sinyo," Nyai masih juga meradang tanpa menengok pada kami. "Dan kau, Nyo, memang Sinyo takkan mungkin dapat lupakan. Aku takkan malu, jangan Sinyo kaget atau ikut malu. Jangan gusar. Semua sudah kuletakkan pada tempatnya yang benar. Anggap dia tidak ada, Nyo. Dulu aku memang nyainya yang setia, pendampingnya yang tangguh. Sekarang dia hanya sampah tanpa harga. Orang yang hanya bisa bikin malu pada keturunannya sendiri. Itulah papamu, Ann." Puas mengumpat ia duduk kembali. Tak meneruskan makan, Wajahnya meniadi begitu keras dan tajam. Tenang-tenang aku pandangi dia. Wanita macam apa pula dia ini "
"Kalau aku tak keras begini, Nyo maafkan aku harus membela diri sehina ini akan jadi apa semua ini " Anak-anaknya......perusahaannya.....semua sudah akan menjadi gembel. Jadi, aku tak menyesal telah bertindak begini di hadapanmu, Nyo Suaranya kemudian menurun seperti mengadu padaku, "Jangan kau anggap aku biadab," katanya terus dalam Belanda yang patut. "Semua untuk kebaikan dia sendiri. Dia telah kuperlakukan sebagai mana dia kehendaki. Itu yang dia kehendaki memang. Orang-orang Eropa sendiri yang mengajar aku berbuat begini, Minke, orang-orang Eropa sendiri," suaranya minta kepercayaanku. "Tidak disekolahkan, di dalam kehidupan ini."
Aku diam saja. Setiap patah dari kata-katanya kupakukan dalam ingatanku: tidak di sekolahkan, di dalam kehidupan! jangan anggap biadab! orang Eropa sendiri yang mengajar begini....
Sekarang Nyai berdiri, berjalan lambat-lambat ke arah jendela. Dari balik tabir pintu ia tarik seutas tambang lawe yang berujung pada segumpal jumbai-jumbai. Dari kejauhan terdengar j sayup bunyi giring-giring. Muncullah kembali pelayan wanita yang tadi telah kabur. Nyai memerintahkan mengundurkan makanan. Aku masih tetap tak tahu apa harus kukerjakan.
"Pulanglah kau, Nyo," katanya sambil berpaling padaku. "Ya, Mama, lebih baik aku pulang."
Ia berjalan menghampiri aku. Matanya kembali jadi lembut sebagai seorang ibu. "Ann," katanya lebih lunak lagi, "biar tamumu pulang dulu. Seka airmatamu itu." "Aku pulang dulu, Ann. Senang sekali aku di sini," kataku.
"Sayang sekali, Nyo, sayang sekali suasana sebaik itu jadi rusak begini," Nyai menyesali.
"Maafkan kami, Minke," bisik Annelies tersendat-sendat. "Tak apa, Ann."
"Kalau liburan nanti, berpakansi kau di sini saja, Nyo. Jangan ragu. Takkan terjadi apa-apa. Bagaimana " Setuju " Sekarang Sinyo pulang saja, biar Darsam antarkan dengan dokar."
Ia berjalan lagi ke jendela dan menarik tambang tadi. Kemudian ia duduk di tempatnya lagi. Dalam pada itu aku masih mengherani hebatnya nyai seorang ini: manusia dan lingkungan memang berada dalam genggamannya, juga aku sendiri. Lulusan sekolah apa dia maka nampak begitu terpelajar, cerdas dan dapat melayani beberapa orang sekaligus dengan sikap yang berbeda-beda " Dan kalau dia pernah lulus suatu sekolah, bagaimana mungkin bisa menerima keadaan sebagai nyai-nyai " Tak dapat aku temukan kunci untuk mengetahui.
Seorang lelaki Madura datang. Ia tak dapat dikatakan muda. tinggi lebih-kurang satu meter enampuluh, umur mendekati empatpuluh. berbaju dan bercelana serba hitam, juga destar pada kepalanya. Sebilah parang pendek terselit pada pinggang. Kumisnya bapang, hitam-kelam dan tebal.
Nyai memberinya perintah dalam Madura. Aku tak mengerti betul artinya. Kira-kira saja memerintahkan mengantarkan aku dengan dokar sampai selamat di rumah. Darsam berdiri tegak. Tanpa bicara ia pandangi aku dengan mata menyelidik, seperti hendak menghafalkan wajahku, tanpa berkedip.
"Tuanmuda ini tamuku, tamu Noni Annelies," kata Nyai dalam Jawa. "Antarkan. Jangan terjadi apa-apa di jalanan. Hati-hati!" Rupa-rupanya hanya terjemahan dari Madura sebelumnya.
Darsam mengangkat tangan, tanpa bicara, kemudian pergi.
"Sinyo, Minke," Nyai merajuk, "Annelies tak punya teman. Dia senang Sinyo datang kemari. Kau memang tak punya banyak waktu. Itu aku tahu. Biar begitu usahakan sering datang kemari. Tak perlu kuatir pada Tuan Mellema. Itu urusanku. Kalau Sinyo suka , kami akan senang sekali kalau Sinyo mau tinggal di sini. Sinyo bisa diantar dengan bendi setiap hari pulang balik. Itu kalau Sinyo suka." Rumah dan keluarga aneh dan seram ini! Pantas orang menganggapnya angker. Dan aku menjawab:
"Biar kupikir-pikir dulu. Mama: Terimakasih atas undangan pemurah itu." "Jangan tidak, Minke," Annelies merajuk.
"Ya, Nyo, pikirlah. Kalau tidak ada keberatan, biar semua nanti diurus oleh Annelies. Kan begitu, Ann ?"
Annelies Mellema mengangguk mengiakan.
Kereta itu telah terdengar melewati samping rumah. Kami berjalan ke ruangdepan, mendapatkan Robert Suurhof dan Robert Mellema sedang duduk diam-diam memandangi kegelapan luar. Kereta berhenti di depan tangga rumah. Aku dan Suurhof turun dari tangga, naik ke kereta.
"Selamat malam semua, dan terimakasih banyak, Mama, Ann, Rob!" kataku. Dan kereta mulai bergerak.
"Brenti dulu!" perintah Mama. Kereta berhenti. "Sinyo Minke! Coba turun dulu." Seperu seorang sahaya aku sudah tergenggam dalam tangan-nva Tanpa berpikir apa pun aku turun dan menghampiri anak-rangga. Nyai turun satu jenjang, juga Annelies, berkata pelahan pada kupingku:
"Annelies bilang padaku, Nyo jangan gusar benarkah itu, kau telah menciumnya ?" Petir pun takkan begitu mengagetkan. Kegelisahan me-rambat-rambat ke seluruh tubuh, sampai pada kaki, dan kaki pun jadi salah tingkah.
"Benakah itu ?" desaknya. Melihat aku tak dapat menjawab ia tarik Annelies dan didekatkan padaku. Kemudian, "Nah, jadi benar. Sekarang, Minke, cium Annelies di hadapanku. Biar aku tahu anakku tidak bohong."
Aku menggigil. Namun perintah itu tak terlawankan. Dan kucium Annelies pada pipinya.
"Aku bangga, Nyo, kaulah yang telah menciumnya. Pulanglah sekarang." Dalam perjalanan pulang aku tak mampu berkata barang sesuatu. Nyai kurasakan telah menyihir kesedaranku. Annelies memang cantik gilang-gemilang. Namun ibunya yang pandai menaklukkan orang untuk bersujud pada kemauannya. Robert Suurhof menggagu.
Dan kereta berjalan gemeratak menggiling batu jalanan. Lampu karbit kereta menyibak kegelapan dengan cara yang tak kenal damai. Hanya kereta kami yang lewat pada malam itu. Nampaknya orang telah mengalir ke Surabaya, merayakan penobatan dara Wilhelmina.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar