Jumat, 18 November 2022

Arus Balik Karya Pramoedya Ananta Toer #19/44


Arus Balik. 
Karya : Pramoedya Ananta Toer.

Bagian 19.
Kesepian di Tuban.
Pelabuhan itu sepi. Hanya kadang saja terdengar seseorang menohok-nohok memperbaiki sesuatu. Pasar pelabuhan kosong. Bangsal-bangsal pelabuhan yang selalu kedatangan rempah-rempah baru dari Maluku sekarang melompong dengan pintu semua terbuka.
Rejeki telah segan datang dari laut. Dari darat pun tiada sesuatu datang ke tempat ini. Dengan gerobak tidak, dengan pikulan pun tidak. Bahkan wanita-wanita gelandangan pada meninggalkan pondok daun kelapanya, mengungsi entah ke mana: Perkampungan orang-orang Islam di sebelah timur sana tertinggal lengang. Tinggal kucing dan ayamnya tidak dibawa mengungsi ke pedalaman masih berkeliaran tanpa pemilik.
Di pantai barang dua puluh atau dua puluh lima perahu tercancang pada patok. Air hujan mulai mengisinya. Mereka berayun tidak menentu, hanya menunggu datangnya hujan deras untuk kemudian tenggelam.
Warung Yakub pun sudah lama tutup. Ada terdengar berita dari seseorang yang telah bertemu dengannya di Gresik, ia telah membuka warung tuak di sana. Berita lain menyebutkan orang pernah memapasi-nya di Pasuruan. Berita ketiga mengabarkan ia telah masuk jadi prajurit pada balatentara Demak. Tak ada berita yang pasti. Yang jelas warungnya tinggal tutup.
Kapal peronda pantai Tuban tiada lagi nampak sebuah pun. Semua telah diungsikan ke Gresik atas perintah Senapati Tuban. Kapal-kapal itu takkan dapat membela diri terhadap serangan Peranggi, percuma mondar-mandir sepanjang pantai untuk menunggu peluru besi. Harus bisa membikin meriam sendiri maka kapal-kapal itu bisa berguna kembali.
Tholib Sungkar Az-Zubaid tak mempunyai kegiatan harian. Ia kelihatan lebih kurus daripada biasanya. Jarang ia nampak di rumah. Ia lebih sering kelihatan di dalam kadipaten, baik dipanggil atau tidak oleh Sang Adipati. Tak sering lagi orang melihatnya berjalan memeriksai bagianbagian pelabuhan yang membutuhkan perbaikan. Dana untuk itu sudah tak ada lagi dalam perbendaharaan kesyahbandaran. Dan setiap berada di dermaga orang dapat melihat ia sedang gelisah meninjau ke jurusan timur.
Menara pelabuhan tiada berpenjagaan lagi. Tinggal canangnya tergantung tanpa disentuh orang lagi. Pemukulnya menggeletak di pojokan geladak.
Kesyahbandaran lebih sunyi daripada di mana pun. Gandok kiri dan kanan tiada berpenghuni. Gedung utama pun kosong. Gedung batu kedua di seluruh negeri Tuban itu kehilangan serinya, nampak seperti candi besar yang telah ditinggalkan oleh pemeluk agamanya. Syahbandar sendiri jarang nampak. Dan tiada terdengar gelaktawa atau tangis Gelar. Ia dibawa oleh Idayu ke Awis Krambil. Nyi Gede Kati ikut pula ke sana. Hanya Paman Marta yang setiap hari kelihatan mengurus taman.
Di luar kesepian ini terdapat kesibukan yang tak dapat difahami oleh penduduk. Ratusan lelaki berjalan kuat dan tegap selalu kelihatan berjalan tersebar ke sana ke mari tanpa pekerjaan. Karena tiada keris pada pinggang dan tiada tombak pada tangan, orang yang tak mengenalnya menduga mereka prajurit-prajurit yang sedang melepaskan diri dari kesatuan. Dan mereka selalu berada di luar daerah pelabuhan.
Orang-orang yang mengenal salah seorang di antara mereka segera tahu, mereka tidak lain daripada anggotaanggota pasukan pengawal kadipaten yang tidak berpakaian prajurit. Gerak-gerik menarik perhatian. Dan orang-orang tak pernah dapat mendapat keterangan apa sedang mereka kerjakan. Karena di balik semak-semak hutan yang membatasi daerah pelabuhan dengan daerah tak berpenghuni ditempatkan cetbang-cetbang yang semua diarahkan ke laut. Orang hanya menduga-duga mereka disiapkan untuk menanggulangi kemungkinan masuknya Peranggi atau sebangsanya dari laut, sementara pertempuran sedang terjadi di pedalaman.
Perkampungan non-Nusantara juga sepi karena setelah terjadi kerusuhan sebagian besar penduduknya telah meninggalkan Tuban belayar entah ke mana. Hanya penduduk Pecinan tidak susut, karena hukum Tuban melindungi mereka di waktu perang. Artinya, semua prajurit dari dua belah tentara yang bermusuhan tidak diperkenankan menginjak daerah itu baik untuk kepentingan penyerangan ataupun pertahanan. Penduduk biasa pun tidak diperkenankan memasuki di waktu perang, sekalipun untuk menyelamatkan diri. Belum jelas benar dari mana asalnya hak perlindungan yang seakan berjalan dengan sendirinya ini. Boleh jadi sudah sejak Majapahit atau lebih tua lagi. Sedang perjanjian antara Ceng He dengan Adipati Tuban memperkokoh perjanjian itu untuk ganti pengakuan armada Tiongkok itu. Pada monopoli Tuban atas sumber rempah-rempah Maluku Pecinan malah mendapat hak bertahan dan hak kepolisian demi keselamatan warganya.
Sunyi pula alun-alun yang biasanya jadi pusat keramaian dan daerah pusat praja. Tak ada orang menginjakkan kaki di sini, apalagi kanak-kanak. Kalau orang tua melewatinya, ia berjalan tanpa semau sendiri. Peristiwa pembunuhan atas diri Sang Patih didekat pohon beringin kurung, telah membikin tempat ini jadi sangar. Bahkan mereka yang tinggal di sekitar situ lebih suka mengambil jalan belakang dan menerjang-nerjang pelataran tetangga.
Mayat Sang Patih masih juga tergeletak, berpindah dari tempat semula karena serbuan anjing. Lalat dan gagak ikut pula menyerangnya. Bau busuk dibawa angin ke seluruh penjuru mata-angin. Tak ada orang memeliharanya. Keluarga Sang Patih sendiri pun tak berani turun tangan.
Di dalam kadipaten Sang Adipati kelihatan selalu murung dan gusar. Tak ada seorang pun prajurit pengawal menjaga kadipaten. Mesin praja lumpuh sama sekali. Arus bahan makanan ke dalam kadipaten terputus, dan bahaya kelaparan akan segera mengancam bila keadaan tidak berubah.
Sang Adipati tak dapat berbuat sesuatu apa tanpa pengawal dan tanpa punggawa. Dan para punggawa telah diperintahkan keluar dari kadipaten oleh pasukan pengawal atas perintah Wiranggaleng.
Untuk pertama kali dalam hidupnya ia baru mengerti, tanpa kawula yang dengan sukarela melayani dan menjalankan perintahnya, ternyata ia tidak berarti sesuatu pun. Anggapan, bahwa seorang raja dimungkinkan oleh para dewa, dan oleh para dewa saja, kini ternyata menghadapi ujian. Dan justru karena pengetahuan baru itu ia menjadi murung dan gusar setiap hari, tak tahu apa harus diperbuatnya.
Dari ajaran-ajaran istana leluhur ia tahu dan yakin, kekuasaan seorang raja tidak berasal dari dunia manusia, untuk mengatur kawula, untuk mengatur perang dan damai, perjanjian dan pembatalannya. Semuanya berasal dari Dia yang membikin hidup. Maka sudah menjadi patokan, barangsiapa melanggar ketentuan praja, membangkangnya, adalah juga melanggar dan membangkang terhadap Dia. Bagaimana sekarang"
Sang Patih jelas telah membangkang terhadap dirinya. Dia layak menerima hukumannya. Kematiannya adalah sudah sepatutnya sebagai satria mendapat tikaman keris sekali. Dalam hal ini para dewa benar. Dia yang membikin hidup telah mengawal aturanNya sendiri. Bila dia tidak mati karena Wiranggaleng, pasti karena perintahnya. Dan itu pasti terjadi. Biarlah itu jadi peringatan pada setiap kawula. Karena itu setiap permohonan untuk memelihara dan merawat mayatnya ia tolak tanpa alasan.
Tetapi Wiranggaleng! Apakah yang diperbuatnya" Dia telah menarik dan mengerahkan semua balatentara Tuban. Ia telah bunuh Sang Patih tanpa perintahnya. Ia telah seret Tuban seluruhnya dalam perang, memberi kelonggaran pada bupati-bupati tetangga untuk datang menyerbu. Ia membiarkan Tuban terbuka terhadap Demak! Dia telah kosongkan kadipaten dari pengawalan dan punggawa. Tanpa kawula, tanpa balatentara, tanpa punggawa, tanpa saksi dunia yang mengagumi, tanpa kebesaran, terutama tanpa kawula yang menghinakan dan merendahkan diri dengan sukarela terhadapnya, tanpa kekecilan di sekitar diri seorang raja tidak mempunyai sesuatu arti. Dia sama dengan seorang desa tak berpendidikan. Bahkan gamelan tiada keindahannya lagi. Tarian tiada daya penarik lagi bagi mata dan hati. Makanan hilang rasa: Tetapi jantung terus juga berdenyut.
Hiburan batin yang ada padanya adalah: balas dendam. Ya, kelak bila semua telah kembali dalam genggaman tangan, tumpaslah mereka yang lancang mengurangi kebesaran dan kekuasaan ini. Tumpaslah semua mereka. Ia akan jatuhkan hukuman yang sekejam-kejamnya. Dan untuk mengisi waktu menunggu datangnya waktu itu ia lewatkan hari-harinya yang sunyi, murung dan gusar di dalam keputrian. Maka harem yang mengisap daya kekuatan tuanya itu menyusutkan diri dan pribadinya. Dendam dalam hati, keriaan yang meriah dan kesenangan badani di luarnya. Ia sudah tidak mengingat lagi musuh dari darat ataupun laut. Negeri dan praja tak punya sesuatu arti lagi baginya.
Terhadap keamanan jiwanya pribadi ia tak pernah punya waswas. Leluhurnya, dari penguasa yang satu pada penguasa yang lain telah membangunkan sikap batin satria: hanya ada satu macam maut dengan tiga nilai, tidak kurang dan tidak lebih. Nilai pertama dan terpuji adalah maut karena lanjut usia. Nilai kedua yang patut adalah karena kehormatan sebagai satria, di medan perang dan di mana saja. Nilai ketiga yang dianggapnya hina adalah karena hukuman dan tidak dengan keris. Dan seorang satria hanya boleh mengambil dua nilai yang sebelum terakhir. Setiap saat ia bersedia mati baik karena usia mau pun karena kehormatan. Ia tak pernah punya keraguan.
Bila ternyata Wiranggaleng kelak melakukan pengkhianatan terhadap dirinya, ia akan mengambil nilai kedua. Dan pengkhianatan itu bisa datang dari setiap sudut, dan ia selalu waspada terhadap setiap kemungkinan. Ia yakin dirinya sendiri, ia akan menghembuskan nafas penghabisan sebagai satria dengan kehormatan. Dan apalah salahnya selama ia tetap satria" Putra-putranya akan mendengar berita kematiannya itu, dan mereka akan mengerti dan menghormatinya.
Dan setiap ia ingat pada putra-putranya, ia mengebaskan mereka semua dari pikirannya. Tak ada perlunya mengingat mereka. Mereka akan dihadapi oleh jamannya, atau jaman itu sendiri akan membunuh-nya bila ia melawannya, karena jaman adalah tidak lebih dan tidak kurang daripada Batara Kala itu sendiri, tak peduli mereka Islam atau Hindu, atau Buddha atau Peranggi sekalipun. Semua sudah mendapat tempatnya.
Tetapi yang satu ini: kekosongan dari kekuasaan. Kesepian dari kebesaran. Tak ada orang-orang kecil di selingkungan yang melaksanakan segala apa yang diri kehendaki. Semua sudah terasa ingkar terhadapnya. Tanpa kekuasaan dan kebesaran segala-galanya menjadi berubah. Dan semua bersumber hanya pada seorang anak desa yang tak tahu adat. Seorang anak desa telah membunuh saudara sepupunya, kemudian mengangkat diri sendiri menjadi Patih Senapati Tuban! Siapakah dewa sembahannya maka dia berbuat tanpa titahku"
Terngiang-ngiang ajaran praja itu: seorang raja tidak akan berbuat sesuatu berdasarkan belas kasihan, ia berbuat hanya demi keselamatan praja. Seseorang raja tidak akan berbuat sesuatu berdasarkan terimakasih, ia berbuat hanya demi keselamatan praja. Dan beberapa kalimat lagi sebangsanya.
Dan praja sekarang lumpuh. Dan praja adalah raja.
Bagaimana pun dan ke mana pun pikirannya ia kerahkan, datangnya pada satu nama itu juga: Wiranggaleng, seorang anak desa tanpa makna yang telah berani membunuh seorang dari darah Majapahit, darah tertinggi dalam kehidupan yang dikenalnya. Anak desa lancang itu begitu bodohnya, dia tidak mengerti, bahwa setiap orang yang dialiri darah Majapahit mempunyai hak untuk menjadi raja.
Pengetahuannya tentang sejarah praja, bahwa Majapahit bisa berdiri hanya karena bantuan orang-orang kebanyakan, dan orang-orang itu kemudian diangkat oleh Sri Baginda Kertarajasa menjadi gubernur terper-caya tak juga mampu melenyapkan dendamnya pada Wiranggaleng. Ia harus membunuhnya, dengan jalan dan cara apa pun sebagaimana o-rang-orang lain telah juga dibunuhnya. Hanya ada kesulitan pelaksanaan terhadap orang yang satu ini: ia dicintai dan dihormati oleh kawula Tuban. Bagaimana menghukum dia kalau semua orang mencintai dan menghormatinya" Tidakkah kawula Tuban akan melindunginya, dan itu berarti menentangnya" Hukuman padanya akan berarti kebencian yang tertujukan kepada raja. Dan bagaimana kalau seluruh kawula karenanya ingkar dan membangkang terhadap dirinya"
Bila demikian maka dewa-dewa tidak lagi membenarkan kekuasaannya, mencabut kembali kebesarannya. Ternyata dewa-dewa juga berpihak pada manusia .
Dan bila pikiran itu sampai di situ ia menjadi pusing. Dalam kepusingan itu satu-satunya tempat yang baik hanya haremnya.
Sang Adipati mendengar peristiwa di dekat pohon beringin itu dari persembahan Syahbandar Tuban. Nampaknya orang lain tak ada yang berani menghadap. Persembahan yang cukup teliti itu telah menyorong Wiranggaleng ke pojokan sebagai biangkeladi segala keonaran yang tak patut mendapat sedikit pun pengampunan daripadanya.
Wira, si anak desa itu, Gusti, telah berani melanggar titah setelah dia mengangkat diri jadi Patih Senapati Tuban, Tholib Sungkar As-Zubaid mengadu, bukan hanya menggerakkan lima ratus prajurit. Dia telah perintahkan semua kepala pasukan untuk mengikuti dan menjalankan perintahnya. Dialah yang pertama-tama menguasakan kepala pasukan pengawal. Dia telah membikin-bikin alasan untuk bertengkar dengan Sang Patih dan membunuhnya, membunuh atasannya, ya Gusti, seperti membunuh anak kambing.
Sang Adipati hanya mengajukan satu pertanyaan: Bagaimana bisa kepala-kepala pasukan mendengarkan dia"
Takut, Gusti. Setan telah merasuki dirinya. Sang Adipati mengerti, bukan karena takut mereka mendengarkannya. Juga bukan karena kerasukan setan. Memang ada sesuatu yang hidup dalam jiwa si anak desa itu. Dan semua itu takkan terjadi tanpa perkenan dewadewa. Dan tidak mungkin kalau hanya karena kepalakepala pasukan itu bukan berdarah ningrat. Sekiranya mereka berdarah ningrat pun, kalau dewa-dewa telah berkenan, mereka akan mendengarkannya juga.
Yang teringat olehnya adalah pemberontakanpemberontakan besar yang berkali-kali meletus dalam masa kejayaan Majapahit, hanya karena pembagian kekuasaan antara ningrat dan tidak ningrat. Ini jugakah akan jadi akhir kadipaten Tuban"
Bila pikirannya sampai di situ ia pun menjadi pusing. Syahbandar Tuban tak membiarkan kesempatan berlalu tanpa membakar-bakar Sang Adipati untuk bertindak terhadap anak desa itu bila keadaan sudah reda.
Tidak bisa dibiarkan anak desa itu mengangkat diri jadi Patih dan Senapati sekaligus, Gusti, itu adalah menyalahi darah, menyalahi takdir, melawan ketentuan kodrat, dan ia merenungkan makna dari darah, takdir dan kodrat.
Tetapi Sang Adipati lebih cenderung untuk mengingatingat akan mendesaknya Gajah Mada, si anak desa itu, ke atas sehingga jadi Mahapatih Majapahit. Ia teringat juga pada anak desa lain, juga mendesak naik terus, bukan saja jadi Patih, malah jadi raja. Dan anak desa itu adalah Ken Arok, orang yang darahnya hidup dalam tubuh raja-raja di Jawa kemudian. Tetapi Wiranggaleng takkan jadi Patih Tuban, juga takkan jadi raja Tuban, selama Adipati Tuban Arya Teja Tumenggung Wilwantikta belum lenyap dari muka bumi.
Dan sejak mempersembahkan peristiwa di alun-alun Tholib Sungkar Az-Zubaid selain berkitar-kitar di sekeliling kadipaten, tak peduli pada bau mayat yang mengembara ke mana-mana. Ia merasa lebih aman di dekat Sang Adipati. Sebaliknya keputrian yang kadang membosankan itu membikin Sang Adipati merindukan Syahbandar Tuban satu-satu orang yang kini dapat diajaknya bicara.
Pada kesempatan-kesempatan seperti itu Tholib Sungkar suka mencoba-coba bicara tentang jalannya pertempuran di pedalaman. Tetapi Sang Adipati tidak pernah melayaninya. Ia percaya pada balatentara Tuban. Biar pun musuh itu menggunakan meriam, balatantaranya takkan mungkin dapat dikalahkan. Dengan atau tanpa Wiranggaleng ataupun Sang Patih, balatentara Tuban pasti akan menang. Tidak percuma selama dua ratus tahun jadi andal-andal Majapahit.
Bila Syahbandar Tuban mulai bicara tentang Wiranggaleng makin jelas gambaran anak desa itu di hadapannya untuk waktu dekat mendatang. Anak desa itu akan menghadap padanya dan mempersembahkan, musuh telah dikalahkan. Dia akan menganggap kemenangan balatentara Tuban sebagai kemenangannya sendiri. Pada waktu itu dia akan tahu, sekiranya ada seekor anjing dapat diangkat jadi Senapati, balatentara Tuban akan tetap menang. Dia akan menghadap seperti seekor anak kambing yang mengembik-ngembik memohon pengesahan. Dan dia akan menunggu datangnya karunia dari tanganku.

Kambing yang mengembik itu takkan mendapat umpan. Selamanya badut yang tidak lucu dihukum oleh penonton.
Ia tidak menanggapi Tholib Sungkar Az-Zubaid. Pertempuran akan segera selesai. Semua akan kembali seperti sediakala, atau semua akan tumpas tanpa ia saksikan sendiri. Sederhana.
Di dalam rumah-rumah penduduk Tuban yang suram pula orang masih juga tak habis-habis pikir tentang perbuatan Wiranggaleng. Tak ada seorang kawula yang mempunyai perasaan tidak senang terhadap Sang Patih. Orang menganggapnya bijaksana. Mengapa justru anak desa itu yang membunuhnya" Mengapa Wiranggaleng" Anak desa yang justru dicintai dan dihormati itu"
Dan orang pun terkenanglah pada masa ia diarak jadi pengantin agung dengan Idayu. Semua orang ikut bersuka cita bersama dengannya. Apakah perbuatannya yang menggoncangkan itu bukan telah diramalkan dalam jatuhnya tandu pengantin" Dan mengapa sebagai Senapati Tuban ia tidak mengerahkan pagardesa dan penduduk" Mengapa hanya balatentara yang dikerahkannya"
Dalam rumah-rumah yang suram dalam suasana yang suram pula pertanyaan-pertanyaan seperti itu tiada pernah terjawab. Maka oranghanya bisa menunggu selesainya pertempuran. Seperti halnya dengan setiap orang Tuban, gumpilan-gumpilan sejarah masalalu tentang seorang anak desa yang naik ke atas. Gajah Mada dan Ken Arok.
Tetap tak ada yang dapat meramalkan apa yang bakal terjadi. Setidak-tidaknya setiap orang percaya, pertempuran di pedalaman akan segera selesai, dan semua akan kembali seperti semula.
Yang orang tak habis-habis mengerti ialah mengapa Syahbandar Tuban, Sayid Habibuliah Almasawa, yang dicurigai dan tak disukai oleh setiap orang itu, justru menjadi semakin dekat pada Sang Adipati. Tak ada seorang pun berani menjamah kulitnya. Dan memang orang tidak tahu apa yang hidup dalam hati Sang Adipati.
Dan Idayu" Seluruh kota Tuban mengerti dia sedang tetirah ke Awis Krambil untuk melahirkan. Dan mungkin juga sudah melahirkan. Mereka semua berdoa dengan diam-diam agar anak yang dilahirkan pada waktu sekitar terjadinya pembunuhan terhadap Sang Patih tidak akan terjatuh dalam pengaruh Sang Banaspati. Semoga anak itu memang menjadi perpaduan kemuliaan antara bapak dan ibunya. Anak cinta itu semestinya jadi gemilang, lebih gemilang daripada kedua orangtuanya.
Pada hari-hari itu langit selalu bermendung, ditingkah oleh guruh dan petir. Hutan-hutan yang hijau kelam di kejauhan nampaknya sedang menggigil ketakutan menunggu datangnya taufan.
Angin tak henti-hentinya bertiup, dan kesenyapan semakin membikin hati gundah.
Di malam hari bintang yang sekecil-kecilnya pun enggan menjenguk bumi. Dan laut pun tak jera-jera berdebur, sedang hati penduduk Tuban tawar kehilangan gairah.
Tinggal Sang Adipati saja percaya: tak lain dari Syahbandar Tuban, Sayid Habibuliah Almasawa yang bisa mendatangkan persahabatan dan Peranggi dan Ispanya.
Ia merasa masih mempunyai cukup kehormatan: Ia tidak akan mengirimkan utusan sebagaimana halnya dengan raja Blambangan Giri Dahanaputra, Girindra Wardhana. Tuban tidak perlu mengakui keunggulan Malaka .

Berlanjut ke bagian 20


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar